TINJAUAN YURIDIS TENTANG STATUS YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 16 TAHUN 2001 JO UU
NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
(STUDI KASUS DI YAYASAN PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM: 110200498
SYARAH ERMAYANTI NASUTION
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TENTANG STATUS YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 16 TAHUN 2001 JO UU
NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
(STUDI KASUS DI YAYASAN PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 110200498
SYARAH ERMAYANTI NASUTION
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, S.H.,M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Malem Ginting, S.H., M.Hum
NIP : 195707151983031002 NIP : 196402161989111001 Syamsul Rizal, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna
menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum.Adapun judul skripsi adalah “Tinjauan Yuridis Tentang Status
Yayasan Yang Didirikan Sebelum Berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (Studi Kasus Di Yayasan Pendidikan Harapan Medan).
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis ucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting
selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
USU Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum USU Medan.
3. Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum USU Medan.
4. Bapak Dr. O.K, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
USU Medan.
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen
Hukum Keperdataan USU Medan.
6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum USU Medan.
7. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang
penuh sabar membimbing saya mulai dari titik awal penulisan skripsi
8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, yang
juga dengan penuh kesabaran membimbing penulis mulai dari titik awal
penulisan skripsi sampai dengan selesainya penulisan.
9. Bapak Mulhadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik
penulis.
10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan staf Fakultas Hukum USU Medan yang
telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.
11. Bapak Drs. H. Awaluddin Sibarani, M.Si., selaku Ketua IV Yayasan
Pendidikan Harapan Medan yang telah membantu penulis memberikan
data-data yang diperlukan penulis untuk pengerjaan skripsi ini
12. Terimakasih yang tak terhingga juga kepada Mama dan Ayah yang
terkasih dan tercinta, yang selalu memberikan semangat, doa, kasih
sayang pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta
pengorbanannya anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang
tua.
13. Buat adik-adikku Emir Baskara Nasution, M. Fauzan Erio Nasution,
Sylvia Rosa Nasution, yang selalu mengingatkan untuk menyelesaikan
skripsi secepat mungkin, terimakasih atas semangat dan dorongannya
semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksesan dan
membanggakan kedua orang tua kita.
14. Buat sahabat-sahabat yang tidak setiap saat selalu kulewati bersama
mereka tetapi selalu ada disaat senang maupun susah, Asri nanas,
Yuncek, Fira, Wirda, semoga kita semua jadi orang sukses kedepannya.
15. Buat sahabat-sahabat terbaik selama perkuliahan, Utet, Apre, Ipeh, Mala,
Marni, Yana, Happy, Ime, Icha, Oppa Rizky, Adabi, Agung, Tulang
Kaya, semoga kita dapat bertemu kembali di puncak kesuksesan kita
semua.
16. Teman-teman Stambuk 2011 (Dari PRM sampai Reguler), khususnya
teman-teman grup E, senang bisa mengenal kalian semua (Tata, Selly,
Kak Rika, Febri, Abdel, Bang Rasyid, Christi) dan semua pihak yang
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari sepenuhnya bahwa tulisan
ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan,
kemampuan, wawasan, serta bahan-bahan literatur yang penulis dapatkan. Namun
tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak.
Medan, Oktober 2015
Penulis,
ABSTRAK
Syarah Ermayanti Nasution*) Malem Ginting, S.H., M.Hum**) Syamsul Rizal, S.H., M.Hum ***)
Yayasan berkembang pesat bahkan jauh sebelum hadirnya Undang-Undang Yayasan yang menjadi landasan yuridisnya. Akan tetapi perkembangan Yayasan di Indonesia pada kala itu berjalan tidak seragam karena tidak ada peraturan khusus yang mengaturnya. Hal yang umum terjadi di masa lalu pembagian harta kekayaan Yayasan dibagikan secara merata kepada seluruh organ Yayasan dalam bentuk gaji, upah dan honorarium. Permasalahan lain yang sering timbul ialah adanya kesimpangsiuran pendapat mengenai pelabelan Yayasan sebagai badan hukum. Permasalahan yang dibahas yakni bagaimana status badan hukum dan pembagian harta kekayaan Yayasan yang didirikan sebelum berlaku UU Yayasan, penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan atas berlakunya UU Yayasan, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam rangka penyesuaian tersebut, beserta penyelesaian-penyelesainnya di Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
Metode yang digunakan ialah metode normatif yakni penelitian dilakukan dengan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan metode sosiologis yakni dengan melihat realita yang ada di masyarakat dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang sifatnya meneliti suatu kondisi untuk mendapat gambaran secara sistematis dan akurat.
Hasil dari penelitian yang dilakukan ialah Yayasan Pendidikan Harapan Medan pada dasarnya didirikan pada tahun 1967 dengan nama Yayasan Pendidikan Harapan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mendapat izin dari instansi terkait. Untuk dapat memperoleh status badan hukum Yayasan harus melaksanakan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, namun karena terganjal batas waktu penyesuaian Yayasan ini membuat akta pendirian baru dengan mengaitkannya dengan akta-akta Yayasan yang sebelumnya sehingga berhubungan dan telah disahkan oleh Depkumham sebagai badan hukum. Status pembagian harta kekayaan Yayasan sah mengikuti ketentuan pada pasal 5 UU Yayasan. Penyesuaian-penyesuaian terhadap UU Yayasan yakni penyesuaian Anggaran Dasar, organ Yayasan, prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada laporan tahunan. Hambatan yang dihadapi ialah adanya kesamaan nama dengan Yayasan lain sehingga ditolak akta penyesuaian dan terlambat untuk didaftar kembali, sulitnya mencari individu untuk ditempatkan menjadi Pembina dan Pengawas. Penyelesaian atas hambatan tersebut ialah membuat akta baru dengan nama Yayasan Pendidikan Harapan Medan dan menghubungkannya dengan akta-akta yang terbit sebelumnya, membuat surat dan akta-akta pernyataan serta penghibahan aset dan izin-izin atas nama Yaspendhar ke Yaspendhar Medan.
Kata Kunci : Yayasan, Badan Hukum, Harta Kekayaan Yayasan
*)
Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
**)
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
***)
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Permasalahan . ... 8
C.Tujuan Penulisan ... 9
D.Manfaat Penulisan ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Keaslian Penulisan . ... 12
G.Sistematika Penulisan . ... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YAYASAN A.Pengertian Yayasan . ... 17
B. Sejarah dan perkembangan Yayasan di Indonesia ... 20
C.Latar belakang lahirnya Undang-Undang Tentang Yayasan ... 24
D.Perangkat / Organ Yayasan ... 29
1. Pembina ... 29
2. Pengurus ... 32
3. Pengawas ... 35
E. Kekayaan Yayasan ... 36
1. Kekayaan yang dipisahkan ... 37
3. Jenis kekayaan Yayasan ... 42
F. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan ... 44
1. Penggabungan Yayasan ... 44
2. Pembubaran Yayasan ... 47
BAB III TINJAUAN UMUM PENDIRIAN YAYASAN A.Tujuan Pendirian Yayasan ... .51
B. Jangka waktu pendirian Yayasan ... .62
C.Persyaratan dan Prosedur Pendirian Yayasan ... .63
1. Sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan ... .63
2. Sesudah berlakunya Undang-Undang Yayasan ... .68
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG STATUS YAYASAN YANG DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 16 TAHUN 2001 Jo UU NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN (STUDI KASUS DI YAYASAN PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN) A.Gambaran Umum Yayasan Pendidikan Harapan Medan ... .77
B. Status Yayasan didirikan sebelum berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo. UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan 1. Status Yayasan sebagai Badan Hukum ... 87
2. Status Pembagian Harta Kekayaan Yayasan ... 99
D.Hambatan-hambatan yang dihadapi dan Penyelesaian yang
dilakukan Yayasan Pendidikan Harapan Medan atas berlakunya.
UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan ... 110
E. Penyelesaian-Penyelesaian Yang Dilakukan Yayasan Atas
Hambatan-Hambatan Yang dihadapi dalam Rangka
Penyesuaian-Penyesuaian Atas Berlakunya UU No. 28 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan ... 114
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Syarah Ermayanti Nasution*) Malem Ginting, S.H., M.Hum**) Syamsul Rizal, S.H., M.Hum ***)
Yayasan berkembang pesat bahkan jauh sebelum hadirnya Undang-Undang Yayasan yang menjadi landasan yuridisnya. Akan tetapi perkembangan Yayasan di Indonesia pada kala itu berjalan tidak seragam karena tidak ada peraturan khusus yang mengaturnya. Hal yang umum terjadi di masa lalu pembagian harta kekayaan Yayasan dibagikan secara merata kepada seluruh organ Yayasan dalam bentuk gaji, upah dan honorarium. Permasalahan lain yang sering timbul ialah adanya kesimpangsiuran pendapat mengenai pelabelan Yayasan sebagai badan hukum. Permasalahan yang dibahas yakni bagaimana status badan hukum dan pembagian harta kekayaan Yayasan yang didirikan sebelum berlaku UU Yayasan, penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan atas berlakunya UU Yayasan, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam rangka penyesuaian tersebut, beserta penyelesaian-penyelesainnya di Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
Metode yang digunakan ialah metode normatif yakni penelitian dilakukan dengan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan metode sosiologis yakni dengan melihat realita yang ada di masyarakat dengan sifat penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang sifatnya meneliti suatu kondisi untuk mendapat gambaran secara sistematis dan akurat.
Hasil dari penelitian yang dilakukan ialah Yayasan Pendidikan Harapan Medan pada dasarnya didirikan pada tahun 1967 dengan nama Yayasan Pendidikan Harapan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mendapat izin dari instansi terkait. Untuk dapat memperoleh status badan hukum Yayasan harus melaksanakan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, namun karena terganjal batas waktu penyesuaian Yayasan ini membuat akta pendirian baru dengan mengaitkannya dengan akta-akta Yayasan yang sebelumnya sehingga berhubungan dan telah disahkan oleh Depkumham sebagai badan hukum. Status pembagian harta kekayaan Yayasan sah mengikuti ketentuan pada pasal 5 UU Yayasan. Penyesuaian-penyesuaian terhadap UU Yayasan yakni penyesuaian Anggaran Dasar, organ Yayasan, prinsip keterbukaan dan akuntabilitas pada laporan tahunan. Hambatan yang dihadapi ialah adanya kesamaan nama dengan Yayasan lain sehingga ditolak akta penyesuaian dan terlambat untuk didaftar kembali, sulitnya mencari individu untuk ditempatkan menjadi Pembina dan Pengawas. Penyelesaian atas hambatan tersebut ialah membuat akta baru dengan nama Yayasan Pendidikan Harapan Medan dan menghubungkannya dengan akta-akta yang terbit sebelumnya, membuat surat dan akta-akta pernyataan serta penghibahan aset dan izin-izin atas nama Yaspendhar ke Yaspendhar Medan.
Kata Kunci : Yayasan, Badan Hukum, Harta Kekayaan Yayasan
*)
Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
**)
Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
***)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya di Indonesia, Yayasan bukanlah merupakan hal
yang baru dan asing di dalam masyarakat. Bahkan keberadaan Yayasan dengan
berbagai macam karakteristiknya ini sudah banyak terdapat dalam masyarakat
sejak zaman Hindia Belanda, yang dikenal dengan sebutan “stichting”.
Di Belanda sendiri, Yayasan ini barulah pada tahun 1956 diatur dengan
Wet op Stichtingen van 31 Mei 1956 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1957, dan juga di dalam Het Nieuw Burgelijke Wet Boek (NBW Nederland). Di
Inggris Yayasan ini telah dikenal sejak tahun 1601 yang diatur dalam Charitable
Uses Acts Of 1601. Di Amerika Serikat Yayasan sebagai organisasi nirlaba juga
diatur dalam Nonprofit Corporation Act. Dalam Revised Nodel Nonprofit
Corporation Act 1987 (Act 1987) yang menggantikan TheOld Model Act (Old
Act) 1964. Demikian pula halnya di Jepang, Yayasan dan badan hukum untuk
kepentingan publik lainnya telah diatur di dalam Undang-Undang Hukum Perdata
Jepang.1
Dari sejumlah Yayasan yang ada di negara Indonesia dapat dilihat
kegiatannya antara lain seperti memberikan santunan kepada yatim piatu,
1
memberikan kesejahteraan kepada penderita cacat badan, memberikan beasiswa
kepada anak yang kurang/tidak mampu, memberikan bantuan kepada keluarga
yang sedang berduka, membantu memberikan pelayanan kesehatan kepada
penderita suatu penyakit dan sebagainya.2
Keinginan untuk segera memiliki Undang-Undang Yayasan sebenarnya
sudah lama, bahkan belakangan di era reformasi keinginan untuk segera memiliki
Undang-Undang Yayasan itu bersamaan dengan keinginan untuk menertibkan Terlihat dalam aspek kegiatannya, Yayasan tampak menonjol di sektor
sosial, pendidikan dan agama. Keberadaan Yayasan juga tak luput dari keinginan
masyarakat untuk memiliki suatu wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan
sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karena itu terbentuklah Yayasan yang
dalam menjalankan roda kegiatannya diharap dapat memberikan manfaat dan
kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Kendati pun perkembangan Yayasan di Indonesia berlangsung dengan
pesat, keberadaan Yayasan masih hidup dan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang
hidup di dalam masyarakat, doktrin dan yurisprudensi. Tidak adanya peraturan
hukum yang pasti dan mengatur secara khusus mengenai Yayasan membuat
ketidakseragaman aturan yang diterapkan dalam suatu Yayasan antara Yayasan
yang satu dengan yang lainnya.
2
Yayasan-Yayasan yang semula didirikan oleh Pemerintah dan kemudian dipimpin
oleh mantan tokoh-tokoh Pemerintahan seperti mantan Presiden Soeharto.3
Sebagaimana diketahui, sebelum lahirnya hukum yang mengatur mengenai
Yayasan secara khusus, tidak terdapat aturan yang jelas dan merinci mengenai
Yayasan. Akan tetapi secara sporadis dalam beberapa Pasal Undang-Undang
disebut adanya Yayasan, seperti : Pasal 365, 899, 900 dan 1680 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUHPerdata), kemudian dalam
Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan. Dalam ketentuan perpajakan juga
disebutkan tentang Yayasan. Di dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan
Agraria, dimungkinkan pula bagi Yayasan untuk mempunyai hak atas tanah. Setelah 56 tahun pasca kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada
tanggal 6 Agustus 2001 lahirlah Undang-Undang yang mengatur tentang Yayasan
yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Lembaran Negara
(LN) No. 112 Tahun 2001 Tambahan Lembaran Negara (TLN) 4132 dan telah
direvisi dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan LN No. 115 T.L.N. 4430
(Selanjutnya disebut dengan UU Yayasan).
4
3
Nindyo Pramono, Reformasi Yayasan, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2002), hal. 2.
4
Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 3.
Selain Yayasan yang dikenal dalam KUHPerdata, dalam praktik dikenal juga
seperti misalnya Yayasan Tionghoa (Chineeshe Stichting), dan Yayasan dalam
Akan tetapi dari peraturan-peraturan tersebut hanya menyinggung
mengenai Yayasan, tanpa menjelaskan lebih rinci mengenai defenisi dari Yayasan
atau bagaimana cara pendirian Yayasan, dan kejelasan status hukum Yayasan
yang masih banyak diperdebatkan para pihak kala itu.
Pada praktik yang terjadi di masa lalu Yayasan didirikan berdasarkan
pada kebiasaan dengan meniru cara pendirian Yayasan-Yayasan lain yang terlebih
dahulu telah berdiri, yakni dengan melakukan pendirian di hadapan Notaris atau
dibuat dengan akta Notaris dengan syarat dan prosedur yang mudah dan juga tidak
memakan waktu yang lama. Proses pendirian Yayasan yang mudah dan tanpa
memerlukan pengesahan dari Pemerintah ini yang cenderung mendorong
mayarakat mendirikan Yayasan dalam menjalankan kegiatan mereka, meskipun
terkadang tidak sedikit dari Pendirinya yang masih belum memahami tujuan ideal
dari pendirian Yayasan.
Pendirian Yayasan di masa lalu pun juga ditandai dengan adanya
pemisahan harta kekayaan si Pendiri ataupun Pengurusnya terhadap Yayasan yang
hendak didirikan, dengan kata lain Yayasan memiliki harta sendiri. Selain dari
pemisahan harta kekayaan Pendiri atau Pengurusnya, kekayaan Yayasan pun juga
dapat berasal dari sumbangan masyarakat, wakaf, hibah ataupun wasiat. Akan
tetapi dalam praktiknya di masa lalu terdapat ketidakseragaman khususnya dalam
hal pembagian harta kekayaan Yayasan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang
Undang Yayasan, harta kekayaan Yayasan tidak boleh dibagikan kepada
terafiliasi dengan Pendiri, Pembina dan Pengawas, dan ia melaksanakan
kepengurusan secara langsung.
Dalam praktiknya di Indonesia, tidak adanya peraturan yang dapat
dijadikan payung hukum khusus bagi Yayasan pada saat itu mengakibatkan
banyak terjadinya kesimpangsiuran dan multitafsir dalam perkembangannya. Hal
ini mengakibatkan kecenderungan melencengnya Yayasan dari tujuan awalnya
dan banyaknya ditemukan Yayasan yang bersifat tertutup. Hal ini dikarenakan
tidak adanya pengawasan pihak Pemerintah terhadap suatu Yayasan, sebab
pendaftaran suatu Yayasan kepada Instasi Pemerintahan pada saat itu bukanlah
hal yang wajib. Sifat tertutup Yayasan ini pun mengakibatkan keberadaan suatu
Yayasan tidak diketahui oleh masyarakat banyak.
Yayasan terkadang dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk
memperkaya diri Pendiri, Pembina, Pengurus, maupun Pengawasnya, dengan
langkah berkedok seperti sebuah Perseroan Terbatas (PT) untuk mendapatkan
keuntungan finansial sebesar-besarnya, yang menyimpang dari tujuan mulia
Yayasan. Tujuan Yayasan itu sendiri pada dasarnya adalah tidak bersifat
komersial atau tidak mencari keuntungan (nirlaba atau non profit), melainkan
untuk membentuk sebuah wadah yang bertujuan ideal yang bermanfaat bagi
masyarakat luas di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan juga
berbeda dengan perusahaan seperti Firma, PT atau Persekutuan Komanditer yang
dalam menjalankan usahanya bertujuan untuk mencari keuntungan, ataupun
(Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau Non Government Organisation (NGO).
Selain itu adanya anggapan dari masyarakat bahwa Yayasan dalam
menjalankan kegiatannya dikenakan bebas pajak atau diberi kelonggaran atas
biaya pajak, membuat banyaknya orang tergiur membentuk sebuah Yayasan untuk
menjalankan misi komersial terselubung di balik kegiatan yang seharusnya
bersifat mulia tersebut. Hal ini sedikit banyaknya membuat Yayasan berubah
menjadi sarana untuk memperkaya diri Pendirinya yang berlindung di balik nama
Yayasan yang dianggap selalu bertujuan mulia tersebut.
Permasalahan lain yang sering menjadi perbincangan adalah mengenai
status badan hukum Yayasan. Beberapa Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia yang secara tidak tegas mengakui bahwa Yayasan adalah badan hukum
yakni Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi yang terdapat pada Pasal 15 mengatur tentang penghukuman terhadap
badan hukum Yayasan. Demikian pula Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
No. 5 Tahun 1960, pada Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 49 jo Pasal 1 PP No. 38
Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai
Hak Milik Atas Tanah, mengakui bahwa Yayasan dapat memiliki hak atas tanah.5
Namun masalahnya, suatu organisasi dapat dikatakan sebagai badan
hukum harus melalui suatu proses yaitu adanya pengesahan dari Pemerintah.
Dengan tidak adanya peraturan tertulis tentang Yayasan pada waktu itu,
5Ibid
mengalami kesulitan untuk dapat mengatakan bahwa Yayasan itu adalah badan
hukum. Adanya yurisprudensi yang menetapkan suatu Yayasan sebagai badan
hukum sifatnya hanya perkasus saja, dan Pengadilan mempertimbangkan status
Yayasan yang dimaksud tidak terlepas dari penerapan teori badan hukum yang
dilakukan oleh Yayasan. Hanya Yayasan yang berpekara di Pengadilan dan
ditetapkan sebagai badan hukum, sedangkan yang lainnya masih belum jelas
statusnya.6
Pengakuan Yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subjek
hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya di
dasarkan antara lain karena adanya kekayaan terpisah, mempunyai tujuan tertentu,
mempunyai organisasi yang teratur dan didirikan dengan akta Notaris. Ciri
demikian memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umumnya.7
6
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 5.
7
Nindyo Pramono, Op.Cit, hal. 3.
Sehingga pada masa lalu pandangan eksistensi Yayasan sebagai badan
hukum terbagi dua, dimana pihak yang satu beranggapan bahwa tanpa sebuah
Perundang-Undangan sebagai landasan hukum positif pun Yayasan adalah
merupakan badan hukum dengan berpegangan pada kebiasaan, doktrin dan
yurisprudensi. Dan pihak lain yang beranggapan bahwa sebuah organisasi baru
dapat menjadi badan hukum apabila ada Peraturan Perundang-Undangan khusus
yang mengaturnya, karena pijakan terhadap putusan Hakim ataupun yurisprudensi
Masih lemahnya status badan hukum Yayasan pada masa itu tidak
mengurangi arus perkembangan Yayasan, khususnya pada sektor pendidikan.
Pada umumnya Yayasan pendidikan yang didirikan bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan dan meningkatkan mutu
pendidikan. Yayasan Pendidikan Harapan Medan merupakan salah satu sarana
pendidikan formal berbentuk Yayasan yang mulai menjalankan kegiatannya pada
tahun 1967. Sebagai Yayasan Pendidikan yang berdiri sebelum adanya landasan
hukum yang mengaturnya, Yayasan ini mengalami pasang surut perkembangan
Yayasan di Indonesia, dan hal inilah yang menarik penulis untuk menjadikannya
sebagai tempat penelitian yang menjadi bahasan pokok pada skripsi ini.
Dengan uraian di atas tersebut, maka dipilih skripsi dengan judul
“Tinjauan Yuridis Tentang Status Yayasan Yang Didirikan Sebelum Berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo UU No. 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Kasus Di Yayasan Pendidikan Harapan Medan).”
B. Perumusan Masalah
Agar dapat dianalisis sehingga memberi gambaran yang tepat tentang isi
skripsi ini, permasalahan akan dibatasi pada masalah-masalah yang timbul,
1. Bagaimana status badan hukum dan status pembagian harta kekayaan Yayasan
yang didirikan sebelum berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo UU No. 28
Tahun 2004 tentang Yayasan di Yayasan Pendidikan Harapan Medan ?
2. Bagaimana penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan Yayasan atas berlakunya
UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan ?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi Yayasan dalam rangka
penyesuaian-penyesuaian atas berlakunya UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ?
4. Bagaimana penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan Yayasan atas hambatan
yang dihadapi dalam rangka penyesuaian terhadap UU No. 28 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui status badan hukum dan pembagian harta kekayaan di
Yayasan Pendidikan Harapan Medan atas berlakunya UU No.16 Tahun 2001
2. Untuk mengetahui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan Yayasan
Pendidikan Harapan Medan setelah berlakunya UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Yayasan Pendidikan
Harapan Medan dalam rangka penyesuaian-penyesuaian atas berlakunya UU
No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.
4. Untuk mengetahui penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan Yayasan
Pendidikan Harapan Medan atas hambatan yang dihadapi dalam rangka
penyesuaian terhadap UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.
16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan
ilmu hukum pada khususnya.
2. Secara praktik, diharapkan penulisan ini dapat memberikan wawasan mengenai
status hukum Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya UU No. 16 Tahun
2001 Jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana yang dilakukan
dengan metode ilmiah, bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa
yang ada.8 Penelitian hukum adalah penelitian yang berobjek pada hukum.
Hukum bukan hanya dalam arti sebagai kaidah atau norma saja (law in book),
tetapi meliputi hukum yang berkaitan dengan perilaku kehidupan masyarakat (law
in action).9
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Oleh karena itu, penelitian dan metode ilmiah sebenarnya mempunyai
hubungan yang sangat erat, jika tidak dikatakan yang sama.10
Sedangkan jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu dalam
melakukan penelitian, peneliti akan melihat pada ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan dan bahan-bahan kepustakaan hukum lain yang berhubungan dengan
permasalahan, dan yuridis sosiologis, yaitu penelitian dilakukan dengan melihat 1. Sifat dan Jenis Penelitian
Sifat Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, yaitu jenis penelitian yang sifatnya meneliti suatu kelompok manusia atau suatu kondisi yang bertujuan untuk mendapat suatu gambaran secara
sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti.
8
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung : Alfabeta, 2014), hal. 34.
9
Ibid, hal. 39.
10 Ibid,
realita yang ada di masyarakat, dimana penelitian dilaksanakan di Yayasan
Pendidikan Harapan Medan.
2. Jenis Data
Guna mendapatkan data dalam penelitian, peneliti menggunakan dua jenis
data, yaitu:
a. Data Primer, yaitu suatu data yang didapatkan dari hasil penelitian lapangan
yang diperoleh secara langsung dari responden/narasumber (field research)
yang dilaksanakan dengan wawancara kepada narasumber yakni Organ
Pengurus di Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
b. Data Sekunder, yaitu suatu data yang didapatkan dari hasil penelitian pustaka
(library research) atau bahan lain berupa Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku, laporan-laporan, dan bahan lain yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun cara untuk mengumpulkan data, peneliti lakukan dengan teknik
sebagai berikut:
a. Untuk mengumpulkan data primer (field research), penulis melakukan studi
(interview) dengan responden/narasumber di Yayasan Pendidikan Harapan Medan terkait permasalahan yang dibahas pada skripsi ini. Wawancara adalah
bertanya langsung secara bebas kepada responden dengan mempersiapkan
terlebih dahulu daftar pertanyaan secara terbuka sebagai pedoman.
b. Untuk mengumpulkan data sekunder (library research), peneliti melakukannya
dengan mempelajari Peraturan Perundang-Undangan, hasil-hasil penelitian,
hasil karya ilmiah para sarjana, kamus-kamus, ensiklopedia dan seterusnya,
yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data tersebut, peneliti mempergunakan analisis
deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis yang sifatnya menjelaskan atau
menggambarkan mengenai peraturan-peraturan yang berlaku, kemudian dikaitkan
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dan akhirnya diambil kesimpulan.
Dalam penelitian kualitatif bertujuan untuk menemukan pola-pola
kebudayaan yang membuat hidup menjadi berarti bagi orang atau masyarakat,
dimana teknik penelitian yang digunakan berupa wawancara, dokumen pribadi,
buku harian ataupun surat-surat.11
11
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013), hal. 61.
Skripsi ini merupakan karya asli dari penulis. Sepanjang yang diketahui
berdasarkan penelusuran lebih lanjut dan informasi data uji bersih yang dilakukan
pada perpustakaan Fakultas Hukum USU, diketahui bahwa belum pernah ada
penelitian sebelumnya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Status
Yayasan Yang Didirikan Sebelum Berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo UU No.28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Kasus di Yayasan Pendidikan Harapan Medan)”.
Adapun judul skripsi yang memiliki unsur kemiripan mengenai pokok
pembahasan dengan penelitian antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Susanna, Nomor Induk Mahasiswa
010222198, dengan judul : Kajian Yuridis Tata Cara Pendirian Yayasan
Ditinjau Dari UU Nomor 28 Tahun 2004 (Studi Kasus Yayasan Elida).
2. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Jamron, Nomor Induk Mahasiswa
070200324, dengan judul : Implementasi UU No 28 Tahun 2004 Tentang
Yayasan Dalam Pengelolaan Yayasan Di Yayasan Pesantren Modern Daar
Al-Uluum Asahan-Kisaran.
G. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) Bab. Dimana masing-masing gambaran
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG YAYASAN
Adapun yang dibahas di dalam bab dua ini adalah Tinjauan Umum
Tentang Yayasan yakni Pengertian Yayasan, Sejarah dan
Perkembangan Yayasan Di Indonesia, Latar Belakang Lahirnya
Undang-Undang tentang Yayasan, Organ Yayasan yang terbagi
atas Pembina, Pengurus dan Pengawas, Kekayaan Yayasan yang
terbagi atas Kekayaan Yang Dipisahkan, Perolehan Kekayaan
Yayasan dan Jenis Kekayaan Yayasan, serta Penggabungan dan
Pembubaran Yayasan.
BAB III : TINJAUAN UMUM PENDIRIAN YAYASAN
Tinjauan Umum tentang Pendirian Yayasan yang terdiri dari
Tujuan Pendirian Yayasan, Jangka Waktu Pendirian Yayasan,
Persyaratan dan Prosedur Pendirian Yayasan yang dibagi Sebelum
Berlakunya Undang-Undang Yayasan dan Setelah Berlakunya
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TENTANG STATUS YAYASAN YANG
DIDIRIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 16 TAHUN
2001 Jo UU NO. 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN
(STUDI KASUS DI YAYASAN PENDIDIKAN HARAPAN
MEDAN)
Bab ini merupakan bagian yang paling pokok dalam penulisan
skripsi ini, dalam bab ini akan dibahas tentang Status Yayasan
Yang Berdiri Sebelum Berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 Jo UU
No. 28 Tahun 2004 (Studi kasus di Yayasan Pendidikan Harapan
Medan) yang terbagi atas Status Badan Hukum dan Status
Pembagian Harta Kekayaan Yayasan, Penyesuaian-Penyesuaian
yang dilakukan Yayasan atas berlakunya UU No. 28 Tahun 2004,
Hambatan-Hambatan yang dihadapi Yayasan dalam Rangka
Penyesuaian-Penyesuaian Atas Berlakunya UU No. 28 Tahun 2004
dan Penyelesaian-Penyelesaian Yang Dilakukan Yayasan Atas
Hambatan-Hambatan Yang dihadapi Yayasan dalam Rangka
Penyesuaian-Penyesuaian Atas Berlakunya UU No. 28 Tahun
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi Kesimpulan dan Saran yang ditarik berdasarkan apa yang telah dijabarkan secara jelas di dalam BAB Pembahasan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG YAYASAN
A. Pengertian Yayasan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
merupakan titik terang bagi lembaga Yayasan yang sudah lama tumbuh dan
berkembang tanpa adanya landasan hukum formal yang mengatur di Indonesia.
Sebelum keluarnya UU Yayasan yang lalu, tidak ditemukan pengertian
dari Yayasan dalam peraturan khusus di Indonesia. Adapun pengertian yang di
dapat adalah kutipan dari para sarjana atau ahli hukum.
Van Apeldoorn mengatakan Yayasan adalah harta benda yang mempunyai
tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya. Adanya harta benda
demikian adalah suatu kenyataan. Juga suatu kenyataan bahwa dalam pergaulan
hukum ia diperlakukan seolah-olah sebagai suatu subjek hukum.12
Scholten memberi definisi tentang pengertian Yayasan adalah suatu badan
hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak, dan pernyataan itu harus
berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan
penunjukan bagaimanakah kekayaan itu diurus dan digunakan.13
Breigsten menyatakan Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan
dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan harta
12
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 66.
13Ibid
kekayaan dan penghasilannya kepada Pendiri ataupun penguasanya di dalam
Yayasan atau kepada orang-orang lain, terkecuali sepanjang yang mengenai
terakhir ini, yang demikian adalah untuk kegunaan tujuan ideal.14
Utrecht berpendapat bahwa Yayasan ialah tiap kekayaan (vermogen) yang
tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan
tertentu. Dalam pergaulan hukum Yayasan itu bertindak sebagai pendukung hak
dan kewajiban tersendiri.15
Achmad Ichsan mengatakan Yayasan tidaklah mempunyai anggota karena
Yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang atau benda
lainnya untuk maksud-maksud ideal itu, sedangkan oleh pendirinya dapat berupa
Pemerintah atau orang sipil sebagai penghibah dibentuk suatu Pengurus untuk
mengatur pelaksanaan ideal itu.16
Ali Rido mengatakan Yayasan adalah suatu badan hukum yang tidak
mempunyai anggota, dan didirikan oleh suatu pernyataan sepihak yang berisikan
pemisahan kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan memberikan petunjuk
bagaimana kekayaan itu harus diurus dan digunakan.17
Setelah diundangkannya UU Yayasan pada tahun 2001, disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (1) bahwa Yayasan adalah badan hukum terdiri atas kekayaan yang
14Ibid
, hal. 66.
15
Abdul Muis, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1991), hal. 37.
16Ibid. 17Ibid
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan
dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Dapat dilihat dari ketentuan Pasal tersebut, tidak terdapat banyak
perbedaan dengan apa yang dikemukakan beberapa pendapat para ahli hukum di
atas mengenai Yayasan. Hanya saja dalam Pasal tersebut terdapat penegasan
bahwa harta kekayaan yang dimaksud diperuntukkan untuk tujuan-tujuan di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Dari defenisi Yayasan yang terdapat dalam Pasal tersebut terdapat empat
poin penting :
1. Yayasan merupakan badan hukum, yakni Yayasan secara hukum dianggap
dapat melakukan tindakan-tindakan yang sah dan mempunyai akibat hukum
walaupun secara nyata yang bertindak adalah organ-organ Yayasan, baik
Pembina, Pengawas maupun Pengurusnya.
2. Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan, yakni Yayasan mempunyai aset,
yang diperoleh dari modal atau kekayaan yang telah dipisahkan pendirinya.
Maka Yayasan secara hukum memiliki kekayaan sendiri yang terlepas dan
mandiri. Pemisahan harta kekayaan tersebut sebenarnya bertujuan mencegah
jangan sampai kekayaan awal Yayasan masih merupakan bagian dari harta
pribadi atau harta bersama Pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut
dianggap masih tetap sebagai kekayaan milik Pendiri Yayasan.
3. Yayasan mempunyai tujuan tertentu yang merupakan pelaksanaan nilai-nilai,
Yayasan sejak awal didesain sebagai organisasi nirlaba yang tidak bersifat
untuk mencapai keuntungan (profit oriented) sebagaimana badan usaha, seperti
PT, CV, Firma dan lain-lain.
4. Yayasan tidak mempunyai anggota. Maksudnya, Yayasan tidak mempunyai
semacam pemegang saham sebagaimana PT atau sekutu-sekutu dalam CV atau
anggota-anggota dalam badan usaha lainnya. Namun, Yayasan tentu saja
digerakkan oleh organ-organ Yayasan, baik Pembina, Pengawas dan terlebih
lagi peran utama pengorganisasian Yayasan berada di tangan Pengurus dengan
Pelaksana Hariannya.
B. Sejarah dan Perkembangan Yayasan di Indonesia
Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal
sejarah. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti “keagamaan” dan
“pendidikan” sudah sejak lama pula ada. Para Pharaoh, lebih dari seribu tahun
sebelum masehi, telah memisahkan sebagian kekayaannya untuk tujuan
keagamaan. Xenophon mendirikan Yayasan dengan cara menyumbangkan tanah
dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan
minuman bagi yang membutuhkan, dan hewan-hewan korban. Pada tahun 347
sebelum masehi, sebelum menjelang kematiannya Plato memberikan hasil
didirikannya. Ini mungkin merupakan Yayasan yang pertama tercatat dalam
sejarah.18
Pada zaman klasik terdapat banyak Yayasan, yang walaupun ditemukan di
dalam naskah dan sumber-sumber semacam “corpus iuris”, tetapi di dalam
“corpus iuris” sendiri jarang disebut, sehingga di abad pertengahan kurang
berpengaruh.19
Eksistensi Yayasan di Indonesia berawal dengan diberlakukannya
Staatblad 1917 Nomor 12, yang mengatur tentang ketentuan penundukan diri bagi
golongan Bumiputera pada semua ketentuan Burgelijk Wetboek (BW). Jadi untuk
memahami tentang dasar hukum Yayasan maka perlu kita arahkan pandangan kita
pada hukum tentang Yayasan yang berlaku di Nederland. Perlu diketahui bahwa
sejak tahun 1965, Nederland sudah mengubah dasar hukumnya (Burgelijk
Wetboek) bahkan untuk membentuk Yayasan yang sudah terdapat ketentuan
khusus dalam BW-nya yang menggantikan Wet op de Stichtingen dari tahun 1954.
Sebelum tahun 1954 bisa dikatakan Nederland menghadapi keadaan yang sama
seperti di Indonesia, artinya sebelum tahun 1954 tidak ada peraturan yang
mengatur hukum tentang Stichting, walaupun pada tahun 1873 dan 1925 oleh
Nederlandse Juristenvereniging dan tahun 1919 dalam pra advice OUD telah
didesak untuk diberlakukannya peraturan tentang Stichtingen tetapi ternyata gagal
juga. Dan dalam tahun 1937 diajukan lagi suatu rancangan peraturan tentang
Stichting tetapi belum juga berhasil. Bahkan dalam tahun 1948 rencana peraturan
18
Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 10-12.
19Ibid
itu ditarik kembali dan diumumkan bahwa pengaturan Stichting akan bersama-sama dengan BW baru. Tahun 1954 diajukan lagi rancangan baru dan setelah
diadakan berbagai perubahan dalam rancangan, akhirnya pada tanggal 21 mei
1956 diberlakukan Wet op de Stichtingen Stb, Nomor: 327.20
Sering kali manusia tidak dapat memperoleh hak-haknya yang paling asasi
sekalipun. Disini timbul pertanyaan, siapa yang akan memenuhi hak-hak manusia
yang paling asasi itu. Hak selalu dihubungkan dengan kewajiban. Dalam
hubungan inilah Pendiri dan Pengurus Yayasan mempunyai tanggung jawab
sosial dari hati nurani mereka ketika melihat manusia yang menderita. Tanggung
jawab sosial ini bukan merupakan belas kasihan atau amal (charity). Manusia
melakukan pekerjaan sosial bukan saja untuk kepentingan sesama, tapi juga untuk
dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan manusia bukan lagi “homo homini lupus”,
melainkan “homo homini socius”.
Masyarakat Indonesia pada masa lalu memiliki banyak permasalahan,
khususnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sumber kehidupan yang
cukup, atau kesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Pada stuktur
pendidikan khususnya, untuk menciptakan generasi muda yang berbobot
dibutuhkan sarana pendidikan formal untuk membimbing para calon pemimpin di
masa depan dengan pendidikan yang layak dan mencukupi.
21
20
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung : Eresco, 1993), hal. 159-160.
21
Jelas disini bahwa Pendiri dan Pengurus Yayasan mempunyai tanggung
jawab sosial, sekaligus tanggung jawab moral. Dari sudut pandang moral, maka
tanggung jawab sosial itu merupakan suatu kewajiban. Kewajiban ini sebenarnya
juga berada di pundak semua orang yang mampu. Salah satu definisi Yayasan
yang lain adalah sarana atau tempat dimana golongan kaya memberikan
sumbangannya bagi kepentingan umum.22
Jika kembali menelusuri sejarah Yayasan, maka terlihat bahwa sebenarnya
cikal bakal Yayasan ini telah lama dikenal di Indonesia. Cikal bakal dari Yayasan
adalah wakaf yang telah lama dikenal oleh orang Indonesia yang beragama Islam.
Namun Yayasan ini bukan merupakan lembaga hukum asli bangsa Indonesia.
Pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1676, sebelum masuknya agama Islam di
Sulawesi Selatan belum dikenal adanya Yayasan. Namun demikian telah ada
bentuk kerja sama yang dikenal dengan istilah “Gaddong” yang bersifat badan
Maksud dan tujuan sosial dari Yayasan inilah yang membuat
perkembangan Yayasan di Indonesia berlangsung dengan pesat. Banyaknya
ditemukan Yayasan yang didirikan di seluruh penjuru kota di Indonesia dengan
segala macam aturan yang diterapkan dalam pengelolaannya, dikarenakan pada
kala itu Yayasan masih didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung
disekitarnya. Hal ini yang membuat aturan yang diterapkan pada suatu Yayasan
tergantung pada kebiasaan di lingkungan masing-masing Yayasan.
hukum privat, sedang badan hukum publik adalah persekutuan masyarakat itu
sendiri.23
Ketiadaan ketentuan yang mengatur secara khusus terhadap Yayasan
tersebut, bukan berarti selama ini di Indonesia tidak ada sama sekali upaya untuk
membuat peraturan tentang Yayasan. Sejak masa pemerintahan Soeharto telah
diajukan suatu Rancangan Undang-Undang disebut Rancangan Undang-Undang
tentang Yayasan. Kemudian pada masa pemerintahan B.J. Habibie telah diajukan
pula rancangan tersebut dengan nama Rancangan Undang-Undang tentang
Yayasan dan Perkumpulan, dan yang terakhir pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid telah diajukan lagi Rancangan Undang-Undang yang diberi
nama Rancangan Undang tentang Yayasan. Ketiga Rancangan
Undang-Undang tersebut hingga pertengahan tahun 2001, belum disahkan menjadi
Undang-Undang.
Umumnya di Indonesia Yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat
juga oleh seorang saja, dengan memisahkan suatu harta dari seorang atau
beberapa orang pendirinya, dengan tujuan sosial yang tidak mencari keuntungan.
Yayasan mempunyai Pengurus yang diwajibkan mengurus dan mengelola segala
sesuatu yang bertalian dengan kelangsungan hidup Yayasan. Dan umumnya
Pendiri merupakan donatur, sekaligus sebagai Pengurus, sehingga betul
bertanggung jawab atas kelangsungan Yayasan.
24
23
Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 15.
24Ibid
C. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Tentang Yayasan
Pada hakikatnya manusia ialah makhluk individu yang selalu ingin
dihormati dan didahulukan kepentingannya, beserta makhluk sosial atau makhluk
yang bermasyarakat (homo socius) yang selalu berkeinginan untuk bersosialisasi
dengan sesamanya dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan manusia lain meskipun ia
mempunyai kedudukan maupun kekayaan yang mencukupi. Adanya kesadaran
manusia sebagai makhluk sosial menciptakan rasa tanggung jawab manusia
tersebut untuk mengayomi individu lain yang lebih lemah. Selain itu manusia juga
tidak terlepas dari berbagai macam kebutuhan, salah satunya ialah kebutuhan akan
kerohanian dan kebutuhan sosial.
Keberadaan Yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang
menginginkan adanya suatu wadah atau lembaga yang bersifat sosial, keagamaan
dan kemanusiaan. Adanya suatu lembaga yang telah diakui keberadaannya dalam
lalu lintas hukum di Indonesia ini merupakan suatu bentuk penyaluran kebutuhan
rohani dan sosial manusia maupun rasa tanggung jawab manusia sebagai makhluk
dalam mengarahkan kehidupannya untuk senantiasa berbuat kebaikan, guna
membantu dan meningkatkan kehidupan sosial bagi sesamanya.
Sejak zaman dahulu Yayasan ditandai dengan kegiatannya yang bersifat
sosial khususnya di bidang keagamaan, pendidikan dan kesehatan. Tradisi sifat
sosial Yayasan ini diteruskan sampai sekarang dan masih melekat kuat dan tidak
Yayasan selama ini lebih dipahami sebagai suatu organisasi sosial nirlaba
atau tidak mencari keuntungan dalam kegiatannya. Bila seseorang atau beberapa
orang akan melakukan kegiatan yang penuh idealisme serta bertujuan sosial dan
kemanusiaan, biasanya bentuk organisasi yang dipilih adalah Yayasan. Kegiatan
sosial yang dipilih terutama menyangkut bidang kesehatan, pendidikan dan
panti-panti sosial. Wadah Yayasan dipergunakan oleh para pendirinya untuk melakukan
berbagai kegiatan sosial untuk kepentingan umum.
Akan tetapi yang terjadi dalam lapangan, kegiatan Yayasan dewasa ini
sudah berubah menjadi fungsi komersial dibandingkan fungsi sosial. Kegiatan
yang pada awalnya mengutamakan pelayanan masyarakat, kini berubah menjadi
kegiatan yang berbasis laba. Namun demikian bentuk kegiatan usaha dalam
bentuk Yayasan, hingga saat ini masih juga dipergunakan, meskipun dari sisi
praktis kegiatan yang dinaungi Yayasan tersebut telah bergeser dari kegiatan
sosial menjadi kegiatan yang mencari keuntungan. Bahkan tidak hanya sampai
disitu, banyak sekali Yayasan yang keberadaannya didirikan oleh kewenangan
kekuasaan atau pengaruh tertentu dari suatu instansi, jabatan atau wibawa tertentu,
guna menembus hambatan birokrasi.
Dalam kehidupan akan selalu terjadi perubahan-perubahan, baik
perubahan itu menuju pada kemajuan dan tidak mengurangi kemungkinan pada
sebuah kemunduran pula. Masyarakat Indonesia khususnya mengalami perubahan
yang terjadi secara cepat dari waktu ke waktu dalam berbagai aktivitas. Interaksi
konteks inilah eksistensi hukum sangat diperlukan untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam masyarakat.
Selama ini sebelum adanya peraturan formal tentang Yayasan, pendirian
Yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan
Yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan memang belum adanya
peraturan hukum tertulis yang mengatur Yayasan, bahkan KUHPerdata dan
KUHDagang buatan Belanda juga tidak mengatur hal mengenai Yayasan ini.
Munculnya putusan-putusan Pengadilan yang menjadi Yurisprudensi kala
itu hanya sebagai pengisi kekosongan hukum dan masih belum dapat memberikan
kepastian hukum bagi Yayasan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya
penyimpangan tujuan ideal Yayasan, dimana Yayasan masih dikelola dengan
manajemen yang tertutup. Tidak ada kewajiban bagi Yayasan untuk membuat
pelaporan keuangan secara terbuka untuk dapat diakses oleh masyarakat. Bahkan,
kondisi yang juga sangat lumrah terjadi adalah tidak diatur pula bagaimana cara
Yayasan mendapatkan dananya, tidak diatur pula apakah organ Yayasan atau
Pengurus dapat menerima uang Yayasan untuk dibagikan bersama bagi mereka.25
25
Adib Bahari, Prosedur Pendirian Yayasan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal. 19.
Hal ini menimbulkan kecenderungan terjadinya sengketa pihak internal yakni
antara Pendiri dengan Pengurusnya semakin kuat karena tidak adanya kepastian
yang diberikan sehingga masih terdapat banyak Yayasan yang tumbuh dan
Sekalipun hukum positif kita belum mengatur, telah dimungkinkan
Yayasan mempunyai hak-hak atas tanah. Hanya saja nampaknya dalam praktik
perbankan, selama itu masih belum bisa menerima Yayasan sebagai badan
hukum. Hal ini antara lain dengan sulitnya untuk Yayasan dapat membuka
rekening di bank, hingga dalam praktik terpaksa rekening Yayasan dibuka dengan
rekening atas nama pribadi Pengurus. 26
Pemikiran bahwa Indonesia memerlukan suatu Undang-Undang tentang
Yayasan telah berlangsung cukup lama. Pada umumnya pemikiran itu bertolak
dari kenyataan bahwa dalam ketidakadaan Undang-Undang, Yayasan telah
berkembang pesat dan telah terjadi pula penyimpangan dari tujuan yang
seharusnya dimiliki oleh suatu Yayasan.27
Menurut Hamid Attamimi “Mengenai Rancangan Undang-Undang
Yayasan masih dipertanyakan bagaimana dengan lembaga yang tujuan dan
sifat kegiatannya seperti Yayasan, tetapi tidak bernama atau tidak
berbentuk Yayasan. Apakah harus dibuat Rancangan Undang-Undang
tersendiri untuk Organisasi yang memakai nama Perkumpulan, Paguyuban
atau yang yang lain-lain sejenis itu. Atau bahkan yang tidak memakai
nama Yayasan, Perkumpulan dan sebagainya seperti Palang Merah
Indonesia (PMI). Saran yang diajukan Sekretariat Negara kepada Menteri
Kehakiman adalah menyusun suatu Rancangan Undang-Undang yang
dapat menjawab semua permasalahan tersebut sekaligus. Konkretnya,
26
Rudhi Prasetya, Yayasan dalam teori dan praktik, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal. 4.
27
membuat Rancangan Undang-Undang yang mengatur semacam nonprofit organization.”28
Pandangan tersebut kemudian antara lain melahirkan Rancangan
Undang-Undang Yayasan dan Perkumpulan. Dan pandangan tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima karena di samping tidak mempertimbangkan prioritas suatu
Undang-Undang, di banyak negara Undang-Undang yang mengatur Yayasan,
Perkumpulan dan Organisasi Tanpa Tujuan Laba (OTTL) diatur dalam
Undang-Undang yang berbeda. Tampaknya kepentingan politis lebih mendominasi alasan
belum dibahasnya Rancangan Undang-Undang Yayasan pada waktu itu.29
Setelah melalui pergantian Pemerintahan, barulah Rancangan
Undang Yayasan dibicarakan di DPR, disetujui untuk disahkan menjadi
Undang-Undang pada tanggal 11 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001
sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.30
Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Yayasan
dengan Nomor 16 Tahun 2001, diharapkan usaha untuk mencapai kepastian
hukum dan ketertiban hukum tentang Yayasan di Indonesia dapat diwujudkan.
Adanya hukum positif dalam aturan-aturan tertulis yang secara jelas dan lengkap
berarti memberikan landasan yuridis yang pasti tentang Yayasan, serta
mengembalikan fungsi Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud
28
Hamid Attamini, Setneg Tidak Hambat Rancangan Undang-Undang, dalam Harian Suara Pembaruan, 10 Maret 1992, hal. XVI, sebagaimana dikutip oleh Chatamarrasjid Ais, Ibid, hal. 170.
29Ibid
.
30Ibid
dan tujuan pendiriannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan dan
menambah nilai akan keberadaan dan status hukum Yayasan mengenai
kewajiban-kewajiban (liabilities), kedudukan dan tugas yang jelas dari para
Pendiri, Pembina, Pengawas dan Pengurus, serta memberikan perlindungan
hukum bagi aset-asetnya.31
Lahirnya UU Yayasan tersebut dipandang tergolong lama, jika hal itu
diukur sejak negara kita merdeka. Kelahirannya seolah-olah menunggu setelah
adanya reformasi atau baru terpikirkan ketika negara memasuki era reformasi.
Selain itu juga dikarenakan kemungkinan selama ini persoalan Yayasan yang ada
dipandang tidak begitu merugikan masyarakat pada umumnya. Persoalan Yayasan
lebih banyak menyangkut masalah intern.
Akan tetapi setelah dua tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
Yayasan No. 16 Tahun 2001, UU Yayasan ini dirubah kembali dengan alasan
yang terdapat dalam konsideran Undang-Undang No.28 Tahun 2004 tentang
Yayasan sebagai revisinya, yakni karena Undang-Undang No. 16 Tahun 2001
dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang
dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Perubahan yang dilakukan tidak secara
menyeluruh, hanya beberapa pasal saja yang diubah, dan kedua Peraturan
Perundangan ini saling berkaitan.
32
31
Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 2002), hal. 9.
32
D. Perangkat / Organ Yayasan
UU Yayasan yang lahir menyebabkan terjadinya perubahan terhadap perangkat/organ suatu Yayasan, dimana menjadi terbagi dalam tiga perangkat yang meliputi Pembina, Pengawas dan Pengurus. Ketiga perangkat tersebut bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup suatu Yayasan dalam menjadi tujuan Yayasan.
1. Pembina
Dalam Pasal 28 UU Yayasan disebutkan Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-Undang atau Anggaran Dasar.
Dalam hal ini Pembina adalah merupakan organ Yayasan yang
mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan mengenai segala hal yang menyangkut Yayasan, yang tidak dapat diserahkan pada organ lain oleh UU Yayasan ataupun Anggaran Dasar Yayasan. Pembina juga merupakan organ tertinggi dalam Yayasan jika dibandingkan dengan organ lain seperti Pengurus ataupun Pengawas.
Adapun kewenangan yang dimaksud di atas yakni meliputi :
a. Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar.
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas.
c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan.
d. Pengesahan program kerja dan rancangan Anggaran Tahunan Yayasan.
e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Selain memiliki wewenang seperti di atas, Pembina juga mempunyai
kewajiban lain seperti melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban
tahunan yang diadakan paling kurang sekali setahun, dan kewajiban lainnya untuk
menunjuk likuidator jika Yayasan bubar.
Pengangkatan anggota Pembina dilakukan berdasarkan dengan rapat anggota Pembina. Pengangkatan Pembina juga tidak selalu didasarkan pada siapa Pendirinya, dalam artian tidak selamanya seorang Pembina adalah Pendiri
Yayasan. Adapun kualifikasi yang dapat dijadikan Pembina yakni orang
perseorangan sebagai Pendiri Yayasan (dikarenakan pendirilah yang merancang tujuan maupun maksud pendirian Yayasan), atau seseorang yang berdedikasi tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan, dan yang bukan seorang Pengurus atau Pengawas (agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan kewenangan dan tugas).
Diciptakannya organ Pembina, sebagai pengganti Pendiri disebabkan dalam kenyataannya, Pendiri Yayasan pada suatu saat dapat tidak ada sama sekali, yang diakibatkan karena Pendiri meninggal dunia ataupun mengundurkan diri. Keadaaan dimana tidak ada seorang pun Pendiri atau Pendiri hanya tinggal satu orang memberikan kesempatan pada Pendiri yang masih ada untuk memanipulasi Yayasan untuk kepentingan diri sendiri. Hal yang sama juga dapat dilakukan Pengurus dalam hal ketiadaan Pendiri. Adapun organ Pembina ini merupakan suatu hal yang baik untuk menghindarkan hal-hal yang mengakibatkan Yayasan beralih dari tujuannya.
Dalam hal terjadinya kekosongan Pembina, apakah dikarenakan meninggal dunia atau pengunduran diri, dan tidak adanya anggota Pembina lain yang dapat mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (4) UU Yayasan, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal kekosongan itu, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat anggota Pembina. Adapun pengangkatan anggota Pembina tersebut dengan memerhatikan Pasal 28 ayat (3), yakni anggota Pembina yang diangkat dinilai memiliki dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.
Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Orang yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang
perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
Struktur kepengurusan sebagaimana ditentukan dalam UU Yayasan, terdapat susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu seorang Ketua, seorang Sekretaris dan seorang Bendahara.
Ketentuan minimal tersebut dapat dipahami apabila sebuah Yayasan tergolong dalam Yayasan yang kecil, sehingga dengan tiga personel Yayasan dianggap cukup untuk mengelola Yayasan. Namun apabila sebuah Yayasan tergolong maju dan banyak kegiatannya, kemungkinan tidak cukup Pengurusnya hanya berjumlah tiga orang, maka susunan kepengurusan juga perlu
dikembangkan. Jika Ketua Yayasan tugasnya banyak dan kesibukannya tergolong tinggi, bisa dibentuk jabatan Wakil Ketua. Selain itu juga dapat dikembangkan jabatan Ketua yaitu Ketua I dan Ketua II, begitu pula untuk Sekretaris dan Bendahara. Selanjutnya masih dapat dikembangkan lagi dengan pembentukan Seksi-Seksi, misalnya Seksi Umum, Seksi Keuangan, Seksi Personalia, dan
sebagainya. 33
33Ibid
, hal. 88.
Sebuah Yayasan tidak dikehendaki diurus oleh seorang Pengurus saja. Dalam UU Yayasan menginginkan Pengurus lebih dari satu orang, agar pekerjaan Pengurus dapat dibagi-bagi dengan Pengurus-Pengurus lainnya, sehingga beban kepengurusan dapat menjadi ringan untuk dipikul secara bersama-sama.
Pengangkatan Pengurus Yayasan dilakukan oleh Pembina dalam rapat Pembina. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2001, Pengurus yang diangkat akan mengurus Yayasan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk mengurus Yayasan dalam 1 (satu) kali masa jabatan. Akan tetapi setelah
perubahan pada UU No. 28 Tahun 2004 tepatnya pada pasal 32 ayat (2) tidak membatasi jangka waktu kepengurusan, dan diserahkan masa jabatannya kepada apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan.
Apabila pengangkatan, pemberhentian atau penggantian Pengurus
dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, maka atas permohonan yang berkepentingan atau permintaan Kejaksaan, Pengadilan dapat
Dalam menjalankan tugasnya Pengurus wajib menanamkan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) UU Yayasan. Konsekuensi pun menanti apabila Pengurus dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan Anggaran Dasar yang menyebabkan kerugian terhadap Yayasan ataupun pihak ketiga. Konsekuensi ini terdapat dalam pasal 35 ayat (5) UU Yayasan, dimana tanggung jawab atas kerugian tersebut dipikul secara pribadi oleh Pengurus yang
bersangkutan.
Dalam hal Pengurus melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan, maka Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir berdasarkan Rapat Pembina. Ketika terjadinya pergantian Pengurus, yang memberitahukan kepada Menteri ialah Pengurus yang baru dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 pasal 33, dimana Pembinalah yang wajib memberitahukan kepada Menteri apabila terjadi
pergantian Pengurus.
Apabila Pengurus dinyatakan bersalah dalam melakukan kepengurusan Yayasan dan tindakannya tersebut membawa kerugian bagi Yayasan, masyarakat ataupun Negara, berdasarkan putusan Pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tesebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.
Adapun kewajiban dari Pengurus antara lain ialah :
a. Membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai
hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha
Yayasan.
b. Membuat dan menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti
pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan.
c. Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib
dan akuntabilitas pada masyarakat yang harus dilaksanakan Yayasan dengan
sebaik-baiknya.
3. Pengawas
Selain Pembina dan Pengurus, organ Yayasan yang terakhir ialah
Pengawas. Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan
pengawasan serta memberikan nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan roda
kegiatan Yayasan.
Berbeda dengan Pembina yang tidak disebut secara jelas, jumlah
Pengawas sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Yayasan
berjumlah minimal satu orang. Akan tetapi dalam realitanya, jumlah Pengawas
dalam suatu Yayasan disesuaikan dengan kebutuhan Yayasan itu sendiri.
Adapun syarat untuk diangkat menjadi Pengawas ialah orang perseorangan
yang mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 40 ayat (3)), dan tidak boleh
Menurut L.Boedi Wahyono dan Suyud Margono, yang dapat diangkat
menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan
hukum artinya disini adalah34
a. Orang yang telah cukup umur atau dewasa.
:
b. Cakap di hadapan hukum.
c. Tidak berada di bawah pengampuan.
d. Tidak dalam keadaan pailit.
e. Tidak sedang menjalani hukuman pidana.
f. Mampu melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Perundang-Undangan
yang berlaku.
Anggota Pengawas diangkat oleh Pembina dalam rapat Pembina untuk
masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam jangka waktu
sesuai dengan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Yayasan.
Pengawas diberi kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota
Pengurus. Dalam catatan pemberhentian sementara ini dilakukan dengan alasan
yang jelas dan dapat membuktikan pelanggaran yang dibuat oleh anggota
Pengurus tersebut. Pengawas diwajibkan Pasal 43 ayat (2) untuk melapor secara
tertulis kepada Pembina dalam tempo tujuh hari terhitung sejak tanggal
pemberhentian. Berdasar laporan tersebut, Pembina wajib memanggil anggota
Pengurus yang bersangkutan untuk membela diri dalam tempo tujuh hari. Dan
dalam tempo paling lambat tujuh hari terhitung sejak pembelaan diri anggota
34
Pengurus, dalam Pasal 43 ayat (4) Pembina diwajibkan untuk mengambil
keputusan bersifat final, apakah mencabut keputusan pemberhentian sementara
tersebut, atau memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan. Dan dalam
hal apabila Pembina tidak mengambil sikap apapun terhadap pemberhentian
sementara tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (5) pemberhentian
sementara tersebut batal demi hukum.
E. Kekayaan Yayasan
Berbeda dengan Koperasi dan PT yang memakai istilah “modal”, Yayasan
menamakan harta benda awalnya dengan istilah “kekayaan”. Hal ini dikarenakan
Koperasi dan PT memiliki kedudukan sebagai badan usaha atau perusahaan yang
mencari keuntungan. Hal ini jelas berbeda dengan Yayasan yang tercantum secara
jelas dalam tujuannya yakni merupakan wadah kegiatan sosial untuk mencapai
tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Yayasan ditentukan Yayasan didirikan oleh
satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya,
sebagai kekayaan awal.
Jumlah kekayaan awal yang didirikan oleh orang Indonesia, yang berasal
dari pemisahan harta kekayaan pribadi Pendiri, paling sedikit senilai Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan jumlah kekayaan awal yang
berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi Pendiri, paling sedikit senilai Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
1. Kekayaan Yang Dipisahkan
Dalam pendirian Yayasan, pemisahan harta kekayaan oleh Pendiri bisanya
dibuktikan dengan surat pernyataan Pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan
yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen
keuangan yang dipisahkan. Hal ini sebagai pernyataan bahwa harta itu diperoleh
tidak dengan cara melawan hukum, misal tindak pidana korupsi maupun tindak
pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pendiri Yayasan.
Pemisahan harta kekayaan ini merupakan salah satu syarat materiil
pendirian suatu Yayasan untuk menghindari adanya percampuran antara kekayaan
Yayasan dengan harta pribadi Pendiri atau harta bersama Pendiri. Kekayaan
Yayasan yang dipisahkan ini merupakan kekayaan awal Yayasan yang nantinya
dipergunakan untuk mengelola kelangsungan hidup Yayasan demi mencapai
tujuannya. Dalam hal ini berarti Pendiri tidak lagi mempunyai kendali ataupun
hak atas harta kekayaan yang diberikan tersebut, karena harta yang dipisahkan
olehnya telah menjadi milik Yayasan. Dan Pendiri Yayasan bukanlah merupakan
pemilik Yayasan. Organ Yayasanlah yang bertanggung jawab secara penuh
terhadap pengelolaan kekayaan Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan
Tujuan itu sendiri haruslah merupakan tujuan yang ideal, bukanlah untuk
tujuan komersial maupun tujuan untuk mencapai kepentingan sendiri. Dan yang
harus dijaga ialah Yayasan tidak boleh berubah menjadi perkumpulan.35
Selain kekayaan yang berasal dari pemisahan kekayaan Pendiri, Yayasan
juga dapat memperoleh kekayaan dari sumber-sumber lain yakni sumbangan atau
bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, wasiat dan peroleh lain yang tidak Sebelum adanya UU Yayasan pun, Yayasan sudah ditandai dengan adanya
pemisahan harta kekayaan pribadi pendirinya. Di masa lalu sebelum adanya UU
Yayasan yang mengatur, pemisahan harta kekayaan ini hanya berdasarkan atas
kebiasaan dan Doktrin. Scholthen dalam defenisinya mengenai Yayasan seperti
yang disebut sebelumnya menyatakan Yayasan sebagai badan hukum lahir oleh
pernyataan sepihak yang berisi pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan tertentu.
Akan tetapi tidak disebutkan dengan jelas pemisahan kekayaan tersebut dalam
bentuk apa.
2. Perolehan Harta Kekayaan Yayasan
Untuk melakukan fungsinya sehingga Yayasan dapat mencapai tujuannya
yang filantropis, maka dibutuhkan dana yang cukup. Persoalan dana ini
merupakan hal yang paling penting bagi Yayasan, terutama jika Yayasan tersebut
tidak mempunyai sumber pen