• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU ORANGTUA SISWA SMP SANTO THOMAS 3

MEDAN DALAM PEMBERIAN INFORMASI

MENGENAI PENDIDIKAN SEKS

TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh :

STEVANNY MANURUNG

NIM. 091000076

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERILAKU ORANGTUA SISWA SMP SANTO THOMAS 3

MEDAN DALAM PEMBERIAN INFORMASI

MENGENAI PENDIDIKAN SEKS

TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

STEVANNY MANURUNG

NIM. 091000076

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Kebutuhan untuk memahami seks yang baik dan benar menunjukkan bahwa pendidikan seks diperlukan. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan komitmen dalam diri seorang anak. Peranan orangtua sangatlah diperlukan dalam perubahan diri seorang anak, terutama dalam hal pemberian informasi yang benar tentang seks khususnya pada masa pubertas. Pentingnya pendidikan seks ini, hendaknya diterapkan dalam pendidikan informal yaitu dimulai dari keluarga.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode kuantitatif. Jumlah sampel sebanyak 77 responden dari 397 total populasi yaitu dengan menggunakan teknik proportional random sampling kemudian sampel di simple random sampling agar jelas pembagian sampelnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua siswa dengan menggunakan alat bantu kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 40-44 tahun sebanyak 39,0%, jenis kelamin responden adalah perempuan sebanyak 49 orang (63,6%), pendidikan terakhir responden adalah SMA/sederajat sebanyak 58,4% dan pekerjaan responden sebagai wiraswasta sebanyak 35,1%. Tingkat pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 47 orang (61,0%). Demikian juga halnya dengan tingkatan sikap responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 52 orang (67,5%). Sementara tingkatan tindakan responden termasuk dalam kategori cukup yaitu sebanyak 50 orang (64,9%).

Berdasarkan hasil penelitian maka perlunya dibentuk sebuah komunitas Ibu-ibu bagi para orangtua agar dapat lebih meningkatkan pemahamannya mengenai pendidikan seks.

(5)

ABSTRACT

The need to understand the sex is good and right shows that sex education is needed. Sex education is teaching efforts, raising awareness and providing information about sexual issues with instilling moral values, ethics, and commitment in a child. The role of parents is necessary in a child's self changes, especially in terms of providing correct information about sex especially during puberty. The importance of sex education, informal education should be implemented in the beginning of the family.

The purpose of this study is to describe the behavior of the parents of SMP St. Thomas 3 Medan in the provision of information about sex education. This is a descriptive study with quantitative methods. The total sample of 77 respondents of 397 the total population using proportional random sampling technique then sampled in simple random sampling in order to clear the division of the sample. Data was collected through interviews directly to parents by using the questionnaire tool.

The results showed that the majority of respondents aged 40-44 years with as many as 39.0% of respondents are recent high school education / equivalent as much as 58.4% of respondents as self-employed and work as much as 35.1%. The level of knowledge of respondents included in both categories as many as 47 people (61.0%). Similarly, the level of respondents' attitudes included in both categories as many as 52 people (67.5%). While the level of respondents included in the category of action quite as many as 50 people (64.9%).

Based on the research results need to establish a community of mothers for parents in order to further improve its understanding of the sex education.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Stevanny Nicea Novel Manurung

Tempat/Tanggal Lahir : Makassar/20 Nopember 1990

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Nama Ayah : Esron Manurung

Nama Ibu : Hermin Mamusung

Jumlah Bersaudara : 4 (anak kedua dari lima bersaudara)

Alamat Rumah : Jl. Gaperta Gg. Gudang No.12 Helvetia Medan

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri 1 Tebing Tinggi : Tahun 1996-2002

2. SLTP Negeri 1 Tebing Tinggi : Tahun 2002-2005

3. SMA Santo Thomas 3 Medan : Tahun 2005-2008

4. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU : Tahun 2009-2013

Riwayat Organisasi

1. POMK FKM USU : Tahun 2009-2010

(7)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas

berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perilaku

Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai

Pendidikan Seks Tahun 2013”

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan material dan

moril dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Ibu Namora Lumongga, MSc, PhD dan Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes

selaku dosen pembimbing skripsi saya yang dengan sabar dan penuh kasih

membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari awal sampai berakhirnya

skripsi ini.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM dan Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS selaku dosen

penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam menyempurnakan

skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan

dan Ilmu Perilaku Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Lina Tarigan Apt, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah

(8)

5. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara yang telah membantu dalam urusan administrasi demi kelancaran

skripsi ini.

7. Bapak Drs. Ares Hasugian selaku Kepala Sekolah SMP Santo Thomas 3 Medan

dan seluruh Staf Pegawai SMP Santo Thomas 3 Medan yang telah banyak

membantu penulis dalam melakukan penelitian atas skripsi ini dari awal hingga

akhir.

8. Yang terkasih Ayahanda Esron Manurung dan Ibunda Hermin Mamusung dan

seluruh keluarga yang telah mendoakan dan memberikan pengorbanan baik moril

maupun materil dalam perkuliahan serta dalam penulisan skripsi ini.

9. Yang terkasih kakak penulis Regina Mustika Seni Manurung, SPd, dan adik-adik

penulis Samuel Erick Jansen Manurung, Timothy Eldo Reign Manurung dan

Truicello Carla Giselle Manurung yang telah setia menghibur, menguatkan dan

berdoa bagi keberhasilan penulis.

10.Yang tercinta Agung Zakaria Saragih, Amd yang selalu setia memberikan

masukan, mendoakan dan memberikan penguatan bagi keberhasilan penulis.

11.Sobat setia penulis Lasmanora Oktavia Hutabarat, SSi, Nora Febrini Manik, SS,

Trisna Sutanti Sinambela, S.Kep. atas dukungan doa maupun

masukan-masukannya selama penyusunan skripsi ini.

12.Teman-teman penulis Esteria Siahaan, Ade Lubis, Surya Getsemane, Devi

(9)

Adapun selama dalam penulisan skripsi ini penulis melalui berbagai tantangan

dan cobaan namun semua proses demi proses dapat dilalui dengan baik yaitu dengan

adanya kepercayaan, keyakinan dan ketekunan. Juga penulis menyadari satu hal

bahwa selama dalam menulis skripsi bukan hanya ilmu yang dicari dan didapat

namun juga pelajaran hidup yakni mau dan rela mengikuti proses kepribadian dan

mental untuk menjadi pejuang yang tangguh. Yakin dan percayalah bahwa kesukaran

dan penderitaan itulah kebanggaan hidup dimana untuk mencapai yang namanya

peninggian dan kebesaran. Tiada hal yang sempurna di dunia ini untuk itu dengan

segala kerendahan hati penulis sungguh menerima kritik dan saran yang dapat

membangun skripsi ini. Biarlah skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.

Medan, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

2.4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pendidikan Seks ... 25

2.5. Remaja ... 27

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 33

(11)

3.5. Definisi Operasional ... 36

3.6. Aspek pengukuran dan Instrumen ... 37

3.6.1. Aspek pengukuran ... 37

3.6.2. Instrumen ... 40

3.7. Teknik Analisis Data dan Pengolahan Data ... 40

3.7.1. Analisis data ... 40

4.2.1. Berdasarkan Karakteristik Responden ... 43

4.2.2. Berdasarkan Pengetahuan Responden ... 44

4.2.3. Kategori Tingkatan Pengetahuan ... 51

4.2.4. Berdasarkan Sikap Responden ... 52

4.2.5. Kategori Tingkatan Sikap ... 54

4.2.6. Berdasarkan Tindakan Responden ... 55

4.2.7. Kategori Tingkatan Tindakan ... 65

BAB V PEMBAHASAN ... 67

5.1. Karakteristik Responden ... 67

5.1.1. Gambaran Karakteristik Umur ... 67

5.1.2. Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin ... 68

5.1.3. Gambaran Karakteristik Pendidikan ... 68

5.1.4. Gambaran Karakteristik Pekerjaan ... 70

5.2. Pengetahuan Responden ... 71

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Tabel Perhitungan Sampel ... 35

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 43

Tabel 4.2. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 44

Tabel 4.3. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tahap Perkembangan Masa Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 45

Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Pubertas Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai

Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 45

Tabel 4.5. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 46

Tabel 4.6. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 46

Tabel 4.7. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Manfaat Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 47

(13)

Tabel 4.9. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Aspek Penting Dalam Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi

Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 48

Tabel 4.10. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Peran Orangtua Selaku Memiliki Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 49

Tabel 4.11. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Bagaimana Orangtua Dalam Mengontrol Pergaulan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 49

Tabel 4.12. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Perkembangan Remajanya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai

Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 50

Tabel 4.13. Distribusi Kategori Tingkatan Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 51

Tabel 4.14. Distribusi Sikap Responden Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi

Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 52

Tabel 4.15. Distribusi Kategori Tingkatan Sikap Responden Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 54

Tabel 4.16. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Adanya Kemauan Untuk Memberikannya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 55

(14)

Tabel 4.18. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Jika Pernah Memberikan Informasi Apakah Kepada Anak Laki-laki Atau Perempuan Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 56

Tabel 4.19. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Diberikan Pertama Sekali Pada Saat Umur Berapa Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 .. 57

Tabel 4.20. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Dasar Tentang Permasalahan Seksualitas (Misalnya Informasi Darimana Datangnya Bayi) Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 58

Tabel 4.21. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Hal-hal Yang Tidak Diperbolehkan di Depan Umum (Seperti Menggunakan Pakaian Ketat/Minim Saat Berada di Luar Rumah) Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. 58

Tabel 4.22. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Mengenai Organ Reproduksi dan Fungsinya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai

Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 59

Tabel 4.23. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Penjelasan Tentang Bahaya Aborsi dan Seks Bebas Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 59

Tabel 4.24. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Mengenai Penyakit Kelamin Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 59

(15)

Tabel 4.26. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Apakah Orangtua Selalu Memantau Perkembangan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 60

Tabel 4.27. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Apakah Orangtua Selalu Menasehati dan Membatasi Anak Dalam Bergaul dengan Lawan Jenis Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... ... 61

Tabel 4.28. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum Pernah/Sudah/Sedang Berpacaran Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 61

Tabel 4.29. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum/Sudah Pernah Berciuman Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 .. 61

Tabel 4.30. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum/Sudah Pernah Membaca Buku/Majalah/Tabloid Porno atau Menonton Video Porno Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013. ... 62

Tabel 4.31. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Sudah Pernah Melakukan Onani/Masturbasi Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 62

Tabel 4.32. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Jika Mengetahui Hal Tersebut Apakah Membiarkan Hal Itu Terjadi Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 63

(16)

Tabel 4.34. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Ada Batasan Dalam Berkomunikasi Dengan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 63

Tabel 4.35. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Membicarakan Seks Adalah Hal Yang Sangat Tabu Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam

Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 64

Tabel 4.36. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Memberikan Pengetahuan Mengenai Pendidikan Seks Itu Sangat Penting Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... ... 64

Tabel 4.37. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Setujukah Orangtua Apabila Pendidikan Seks Tidak Hanya Diterapkan Dalam Lingkungan Rumah Namun Juga Termasuk di Lingkungan Sekolah Sebagai Pendidikan Informal Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 65

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian

LAMPIRAN 2 Master Olah Data Komputer

LAMPIRAN 3 Output Olah Data Komputer

LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU

(18)

ABSTRAK

Kebutuhan untuk memahami seks yang baik dan benar menunjukkan bahwa pendidikan seks diperlukan. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan komitmen dalam diri seorang anak. Peranan orangtua sangatlah diperlukan dalam perubahan diri seorang anak, terutama dalam hal pemberian informasi yang benar tentang seks khususnya pada masa pubertas. Pentingnya pendidikan seks ini, hendaknya diterapkan dalam pendidikan informal yaitu dimulai dari keluarga.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode kuantitatif. Jumlah sampel sebanyak 77 responden dari 397 total populasi yaitu dengan menggunakan teknik proportional random sampling kemudian sampel di simple random sampling agar jelas pembagian sampelnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua siswa dengan menggunakan alat bantu kuesioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 40-44 tahun sebanyak 39,0%, jenis kelamin responden adalah perempuan sebanyak 49 orang (63,6%), pendidikan terakhir responden adalah SMA/sederajat sebanyak 58,4% dan pekerjaan responden sebagai wiraswasta sebanyak 35,1%. Tingkat pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 47 orang (61,0%). Demikian juga halnya dengan tingkatan sikap responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 52 orang (67,5%). Sementara tingkatan tindakan responden termasuk dalam kategori cukup yaitu sebanyak 50 orang (64,9%).

Berdasarkan hasil penelitian maka perlunya dibentuk sebuah komunitas Ibu-ibu bagi para orangtua agar dapat lebih meningkatkan pemahamannya mengenai pendidikan seks.

(19)

ABSTRACT

The need to understand the sex is good and right shows that sex education is needed. Sex education is teaching efforts, raising awareness and providing information about sexual issues with instilling moral values, ethics, and commitment in a child. The role of parents is necessary in a child's self changes, especially in terms of providing correct information about sex especially during puberty. The importance of sex education, informal education should be implemented in the beginning of the family.

The purpose of this study is to describe the behavior of the parents of SMP St. Thomas 3 Medan in the provision of information about sex education. This is a descriptive study with quantitative methods. The total sample of 77 respondents of 397 the total population using proportional random sampling technique then sampled in simple random sampling in order to clear the division of the sample. Data was collected through interviews directly to parents by using the questionnaire tool.

The results showed that the majority of respondents aged 40-44 years with as many as 39.0% of respondents are recent high school education / equivalent as much as 58.4% of respondents as self-employed and work as much as 35.1%. The level of knowledge of respondents included in both categories as many as 47 people (61.0%). Similarly, the level of respondents' attitudes included in both categories as many as 52 people (67.5%). While the level of respondents included in the category of action quite as many as 50 people (64.9%).

Based on the research results need to establish a community of mothers for parents in order to further improve its understanding of the sex education.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk seksual tidaklah pernah bisa luput karena disaat

berbicara masalah seputar seks rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Hanya

kematian yang dapat mencegahnya, karena masalah seks akan tetap hidup dan akan

terus hidup (Dianawati, 2006). Manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna, tidak

dapat dipungkiri adalah makhluk seksual. Jika diterjemahkan, seksualitas adalah

bagaimana seseorang merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksual

yang khusus (Nugraha, 2007).

Seksual dimulai dengan beberapa perubahan pubertas selama masa remaja dan

dilanjutkan seluruhnya dalam kehidupan dewasa (Nugraha, 2007). Oleh karena itu,

dalam hal ini yang paling berperan penting adalah remaja. Masa remaja adalah suatu

masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi

juga fisik. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun

psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh

berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula

dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Bahkan perubahan-perubahan fisik

yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja,

sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari

(21)

Saat remaja dalam masa perkembangannya, mulai memasuki masa-masa yang

disebut masa pubertas. Pada masa inilah remaja mengalami perubahan sistem hormon

seksual yaitu berkembangnya organ-organ reproduksi yang membuat perubahan

dalam perkembangan seks sekunder remaja baik pada perempuan maupun pada

laki-laki. Pada umumnya, pada masa ini remaja putri mengalami haid/menstruasi pertama,

dan remaja putra mengalami mimpi basah, sehingga organ-organ fisik dapat

mencapai taraf kematangan yang memungkinkan berfungsinya sistem reproduksi

dengan sempurna (Dariyo, 2007). Selain itu, perkembangan sistem hormonal

menyebabkan perubahan seksual yaitu dengan menimbulkan dorongan-dorongan dan

perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu

merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya (Agustiani, 2009).

Kematangan seks menandakan bahwa adanya perubahan hormon, sehingga

dorongan seks semakin meluap. Perlunya bimbingan yang benar tentang perubahan

ini saat dorongan itu muncul karena jika dibiarkan akan semakin liar. Akibatnya, para

remaja ingin melampiaskannya dengan mencari bacaan atau film-film porno, bahkan

ada juga yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks

komersial ataupun melakukan masturbasi (Dianawati, 2006).

Adanya kebutuhan setiap orang terutama remaja pada khususnya untuk dapat

memahami seks dengan baik dan benar merupakan petunjuk bahwa pendidikan seks

diperlukan. Seperti yang kita ketahui, sebagaimana masyarakat itu selalu berkembang

dan mengalami perubahan, yang termasuk pula perubahan nilai dan moralitas serta

(22)

peka karena sangat dibutuhkan, namun di pihak lain orang berusaha untuk

menutup-nutupinya. Sebenarnya masalah seks tidak perlu ditutup-tutupi, namun juga tidak

lantas dibicarakan secara terbuka di tempat umum karena seks bukanlah hal yang

tabu, sekalipun dibicarakan di dalam keluarga, antara orangtua dan anak-anaknya

(Wuryani, 2008).

Pada dasarnya, pendidikan seks sudah dikenal sejak saat seseorang dilahirkan.

Seseorang yang terlahir, baik laki-laki maupun perempuan, akan terus mengalami

perkembangan seksual secara fisik dari anak-anak sampai memasuki usia remaja

yang dipengaruhi oleh hormon seks (laki-laki dan perempuan). Seiring dengan

berlalunya waktu, perkembangan fisikoseksual (termasuk biologis dan fisiologis)

diikuti dengan adanya perkembangan psikoseksual. Kedua perkembangan itu harus

berjalan seimbang karena dapat mempengaruhi kehidupan seksualnya ketika

memasuki gerbang perkawinan (Dianawati, 2006).

Pendidikan seksualitas itu dimulai dari manusia itu sendiri yang bertujuan

mengartikan penghayatan kehidupan seksual manusia yang berarti manusia

menjelaskan dan memberikan informasi tentang seksualitas manusia serta

meneguhkan makna atau menafsirkan nilai manusiawi terhadap seksualitas tersebut

(Tukan, 1993). Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian

informasi tentang masalah seksual. Salah satu informasi yang diberikan adalah

pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika,

komitmen agar tidak terjadi 'penyalahgunaan' organ seksual tersebut. Dengan begitu

(23)

Pentingnya peran orangtua dalam hal ini akan sangat mendukung perilaku

remaja terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Pada saat sesama orangtua

saling memperdebatkan penting tidaknya membicarakan masalah seks pada

anak-anaknya, permasalahan yang dibahas di media cetak, elektronik, dan dalam

kehidupan sehari-hari juga berkaitan dengan masalah seks ini. Dengan melihat begitu

besar perhatian seseorang terhadap kebutuhan seksualnya, berarti masyarakat kita

sudah mulai menyadari pentingnya mendapatkan pengetahuan seks secara jelas dan

terbuka. Pendidikan seks tidaklah terbatas jangkauannya karena dimulai dari usia

anak-anak, remaja, sampai orangtua. Dalam hal ini dapat dilihat betapa pentingnya

peran orangtua dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ada serta perlunya untuk

lebih terbuka (Dianawati, 2006).

Banyak pihak beranggapan bahwa membicarakan seks kepada anak

remajanya adalah hal yang tabu sehingga hal yang ditakutkan adalah pendidikan seks

justru akan memancing anak dan remaja untuk tertarik berhubungan seksual. Padahal,

secara ilmiah sudah terbukti sebaliknya. Remaja yang diberikan pendidikan seks yang

tepat justru menunda berhubungan seksual (Anna, 2012).

Anggapan kebanyakan orangtua bahwa membicarakan masalah seks adalah

sesuatu hal yang tabu inilah yang seharusnya dihilangkan karena dapat menghambat

penyampaian pengetahuan seks yang seharusnya sudah dapat dimulai dari segala usia.

Selain itu, kemungkinan besar para orangtua merasa kuatir jika si anak mengetahui

lebih banyak masalah seksualitas, karena akan semakin meningkatkan rasa penasaran

(24)

mencegah pengaruh dari luar untuk memenuhi rasa ingin tahu si anak yang tidak

perlu dilakukan namun perlu diketahuinya. Pasalnya, setiap anak yang sehat pasti

ingin sekali mengetahui perkembangan dan perbedaan anggota tubuhnya dengan

orang lain, ingin merasakan dan mengetahui arti ciuman dan sentuhan seperti yang

sering dilihatnya, baik di TV atau lingkungan sekitarnya. Bisa juga anak tersebut

ingin mengetahui perasaan, khayalan seksual, dan proses terjadinya reproduksi yang

mungkin masih membingungkannya. Jika hal itu terjadi, maka disitulah peran serta

orangtua yang berkontribusi besar dalam menangani problema yang terjadi

(Dianawati, 2006).

Arti pendidikan seks disini adalah agar dapat membantu para remaja laki-laki

dan perempuan untuk mengetahui risiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan

pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan

hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orangtuanya. Jika para orangtua secara arif

dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh anak-anak dan

lingkungan sekitarnya, maka arti seks itu sendiri akan berubah menjadi sangat indah

dan sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia (Dianawati, 2006).

Pentingnya memberikan pendidikan seks bagi remaja sudah seharusnya kita

pahami. Karena pada dasarnya usia remaja merupakan masa transisi, dimana pada

masa ini terjadinya perubahan baik fisik, emosional, maupun seksual (Dianawati,

2006). Adapun aspek yang penting untuk disampaikan dalam pendidikan seks adalah

anatomi tubuh, sistem reproduksi manusia, kesehatan dan perilaku. Selama ini ilmu

(25)

Pengetahuan Alam). Penjelasan anatomi tubuh antara laki-laki dan perempuan

berbeda bentuk dan fungsi, sistem reproduksi dapat mulai berlangsung sejak akil

balig (pada perempuan sejak telah mendapatkan menstruasi) (Arum, 2012).

Survei oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan bahwa pendidikan

seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan yang

berarti pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan seks bebas. Pendidikan

seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak azazi manusia, juga nilai-nilai

kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga akan merupakan pendidikan

akhlak dan moral juga (Zuhra, 2011).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 68 persen orangtua

tak pernah berusaha menjelaskan masalah seks pada anak-anaknya. Kebanyakan dari

mereka merasa malu untuk menjelaskannya. Bahkan sekitar 47 persen orangtua

percaya bahwa sekolah memiliki tanggung jawab penuh untuk mengajarkan anak

tentang hubungan seksual. Hasil ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh

CouponCodes4u pada 2.305 orangtua yang memiliki setidaknya satu anak berusia di

atas 12 tahun. Sekitar 44 persen orangtua beralasan bahwa mereka terlalu malu untuk

mendiskusikan seks dengan anak. Sekitar 27 persen mengatakan bahwa mereka

menjauhi topik itu karena alasan agama. Sementara 11 persen orangtua tak mau

menjelaskan hal itu karena tak percaya bahwa anak membutuhkan pelajaran seksual.

Uniknya, 15 persen orangtua percaya anggota keluarga lain seperti kakak bisa

menjadi rujukan bagi anak mereka untuk belajar tentang seks. Lebih dari seperlima

(26)

persen orangtua merasa televisi dan internet bisa memberikan pelajaran tentang seks

pada anak (Ananda, 2013).

Meski diskusi mengenai seks dengan anak adalah salah satu hal yang ditakuti

orangtua, namun lebih dari 62 persen orangtua setuju bahwa pendidikan seks penting

bagi anak. Hanya 18 persen orangtua mengaku bahwa mereka sendiri baru

mendapatkan pelajaran itu saat dewasa. Sekitar 49 persen orang tua berpikir anak

harus mulai memahami seks ketika berusia 10 atau 15 tahun. Sekitar 37 persen

orangtua juga percaya bahwa mengajarkan tentang seks secara langsung pada anak

juga bisa mencegah anak untuk mencari informasi dari sumber lain, yang bisa jadi

salah dan mendorong mereka melakukan hal yang tak benar (Ananda, 2013).

Dalam memberikan pendidikan seks, sebaiknya orangtua melakukannya

sesuai dengan usia anak. Saat anak berusia balita misalnya, bisa diajarkan mengenai

anggota tubuhnya. Anak biasanya juga mulai bertanya dari mana bayi berasal.

Disinilah bisa memberikan penjelasan dengan cerita yang sesuai dengan

pemahamannya, tidak perlu terlalu detail dan rumit. Karena ketika anak beranjak

remaja sekitar 12-14 tahun, dorongan seksual di masa puber biasanya mulai

meningkat. Disinilah orangtua harus berperan mengajarkan anak mengenai sistem

reproduksi dan cara kerjanya. Jelaskan pada anak konsekuensi jika mereka

(27)

Menurut psikolog dan sex educator Ninuk Widyantoro, yang terpenting

sebelum memberikan pendidikan seks pada anak adalah menetapkan tujuan yang

jelas, yaitu mempersiapkan anak secara bertahap agar siap menghadapi berbagai

perubahan fisik dan emosional yang menyangkut seksualitasnya dan bisa melewati

fase-fase hidupnya dengan selamat. Selain itu, ancaman pelecehan seksual, pergaulan

bebas, kehamilan di luar nikah pada usia dini, gempuran informasi melalui media

massa, serta penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS tentu

menjadi alasan kuat untuk membekali anak dengan pendidikan seks, agar mereka bisa

melindungi diri dan berpikir sebelum bertindak (Anonim, 2013).

Sebelum memulai memberikan pendidikan seks, orangtua perlu bekal

pengetahuan yang cukup mengenai seksualitas karena ada orangtua yang bahkan

tidak mengerti perbedaan antara seks dan seksualitas. Seks hanyalah perbedaan

biologis antara pria dan wanita. Sedangkan seksualitas lebih luas dari itu, antara lain

mencakup kebersihan genital, ketertarikan pada lawan jenis, timbulnya nafsu birahi,

hingga orientasi seksual. Disamping itu, orangtua juga perlu memiliki keterampilan

komunikasi, menyangkut cara berbicara dan bahasa tubuh seperti halnya berbicara

dengan nada yang manis pada anak bukan menggurui atau menakut-nakuti selain itu

juga harus lebih bersikap santai. Seks bukanlah sesuatu yang jorok atau dosa tetapi

sesuatu yang normal, karena melalui hubungan sekslah kelangsungan hidup manusia

terpelihara. Berbicara soal seksualitas bukan cuma seputar hubungan intim pria dan

(28)

Studi yang digagas oleh organisasi kesehatan reproduksi The Guttmacher

Institute telah membuktikan pentingnya pendidikan seks pada kalangan remaja. Para

ahli menganalisa data sekitar 4.691 remaja Amerika Serikat berusia 15-24 tahun yang

diperoleh dari National Survey of Family Growth antara tahun 2006 hingga 2008.

Pertanyaan dalam survei tersebut antara lain berusaha menggali apakah para remaja

memiliki bekal formal mengenai bagaimana menolak seks dan juga metode

kontrasepsi. Para remaja itu juga menjawab pertanyaan tentang pengalaman pertama

mereka melakukan seks vaginal (Anna, 2012).

Hasil survei menunjukkan, sekitar dua pertiga remaja putri dan 55 persen

remaja pria pernah mendapatkan informasi mengenai pentingnya kontrasepsi dan

mengatakan tidak pada hubungan seks. Sekitar 20 persen menjawab mereka hanya

belajar bagaimana menunda seks dan 16 persen perempuan dan 24 persen anak

laki-laki mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan seks. Kelompok terakhir,

yakni yang tidak mendapat pendidikan seks ternyata memiliki perilaku seksual yang

paling buruk. Dari kelompok ini, lebih dari 80 persen mengaku mereka berhubungan

seks sebelum berusia 20 tahun. Selain itu, remaja yang mendapatkan pendidikan seks

mengaku mereka menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks pertama kali.

Mereka juga cenderung memiliki pasangan yang "lebih sehat", yakni kekasih yang

usianya sepantar atau tidak lebih dari tiga tahun (Anna, 2012).

Survei yang dipimpin oleh Trisha Mueller, pakar penyakit menular dari pusat

penelitian di Atlanta. Sebanyak 2.019 remaja berusia 15-19 menjadi responden.

(29)

tidak berhubungan seks sebelum berusia 15 tahun. Sedangkan remaja pria, 71% orang

yang mendapat pendidikan seks mengatakan tidak berhubungan seks sebelum usia 15

tahun. Pada kelompok remaja berisiko tinggi seperti keturunan Afrika Amerika dan

yang tinggal di daerah kota, pendidikan seks memberikan hasil lebih baik. Sekitar

88% mengatakan tidak berhubungan seks sama sekali sebelum usia 15 tahun. Remaja

pria lulusan sekolah menengah dan mendapat pendidikan seks tercatat tiga kali lebih

memperhatikan penggunaan alat kontrasepsi dibanding mereka yang tidak mendapat

pendidikan seks (Ginjow, 2012).

Pendidikan seks masih menjadi kontroversi patut tidaknya untuk dimasukkan

dalam kurikulum di sekolah walaupun sebenarnya pendidikan seks di sekolah sudah

ada sejak tahun 1950-an di negara Swiss dan Swedia, sedangkan di negara Perancis,

Jerman dan Polandia sejak tahun 1970-an (Arum, 2012). Pada usia remaja, seorang

anak belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya. Hal-hal yang mereka lakukan

hanya merupakan kesenangan sesaat. Ketidakjelasan pendidikan seks dari

orangtuanya akan menimbulkan berbagai masalah yang mengacu pada gangguan

seksual ketika memasuki kehidupan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya.

Karenanya sangat dibutuhkan bimbingan dari orangtua yang memang sudah

seharusnya memiliki kedekatan hubungan dengan si anak.

Orangtua haruslah mengerti dan memahami terlebih dahulu jika terjadi

perubahan dalam diri anaknya, sehingga anak pun merasa mendapatkan perhatian dan

kasih sayang dari orangtuanya. Dengan begitu, mereka tanpa segan dan malu akan

membicarakan semua persoalan yang dihadapinya (Dianawati, 2006). Karena

(30)

informasi yang muncul. Mereka haus informasi dan selalu merasa ingin tahu akan

sesuatu yang baru. Disinilah peran/bimbingan dari orangtua dan guru sangat

diperlukan. Tetapi di sisi lain, orangtua maupun guru masih banyak yang malu dan

merasa tabu untuk memberikan pendidikan seks pada anak mereka (Arum, 2012).

Tidak ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan seks terhadap sikap mengenai

seks pranikah (Yuniarti, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan 86,7% orangtua di Lingkungan XVII

Kelurahan Tanjung Rejo, Medan memiliki persepsi positif tentang pendidikan seks

bagi remaja. Dari hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa orangtua

mendukung pendidikan seks bagi remaja (Bukit, 2005). Penelitian yang dilakukan

mengenai Perilaku Keluarga Terhadap Pendidikan Seks Bagi Remaja di Kelurahan

Sibuluan Nauli Sibolga bahwa dari 46 responden didapat pada pengetahuan keluarga

terhadap pendidikan seks bagi remaja, responden yang memiliki pengetahuan baik

yakni 38 orang (82,60%), sedangkan 8 orang responden memiliki pengetahuan cukup

(17,39%). Sikap keluarga terhadap pendidikan seks bagi remaja memiliki sikap

positif yakni 46 orang (100%). Pada tindakan keluarga terhadap pendidikan seks bagi

remaja, responden yang memiliki tindakan baik ada 39 orang (84,78%), sedangkan 7

orang (15,21%) memiliki tindakan yang cukup (Azni, 2010). Berdasarkan penjelasan

diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui

bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian

(31)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, pada saat melakukan survei pendahuluan

diketahui bahwasanya anak-anak (khususnya siswa SMP Santo Thomas 3 Medan)

sering bermain game online di warnet terdekat (tepat berada di depan sekolah). Selain

bermain mereka juga membuka situs lain yaitu situs porno. Juga didapat informasi

bahwa rata-rata siswa (laki-laki) melakukan onani di kamar mandi. Maka rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas

3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku

orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai

pendidikan seks tahun 2013.

1.3.2.Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,

dan pekerjaan orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam

pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.

2. Untuk mengetahui tingkatan pengetahuan orangtua siswa SMP Santo

Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks

(32)

3. Untuk mengetahui tingkatan sikap orangtua siswa SMP Santo Thomas 3

Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun

2013.

4. Untuk mengetahui tingkatan tindakan orangtua siswa SMP Santo Thomas

3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun

2013.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian tentang “Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo

Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun

2013” adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi orangtua siswa untuk meningkatkan

perilakunya dalam hal pemberian informasi mengenai pendidikan seks.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah mengenai perilaku orangtua

siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi

pendidikan seks tahun 2013.

3. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan keilmuan khususnya di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Menambah wawasan baru bagi penulis mengenai perilaku orangtua siswa

SMP Santo Thomas 3 Medan dalam hal pemberian informasi mengenai

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku 2.1.1. Batasan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia, baik dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati

oleh pihak luar. Manusia sebagai salah satu mahluk hidup mempunyai aktifitas

yang dapat dibagikan menjadi dua kelompok yaitu aktivitas yang dapat dilihat

oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Menurut

seorang ahli psikologi Skinner yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) beliau

mendapati bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap

suatu stimulus (rangsangan dari luar). Oleh sebab itu perilaku manusia terjadi

melalui proses Stimulus, Organisme, dan Respons, sehingga teori Skinner

disebut teori “S-O-R”. Teori Skinner juga menjelaskan adanya 2 jenis respons

yaitu :

a) Responden respon atau refleksif, yakni respons yang ditunjukkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli,

karena menimbulkan respon yang relatif tetap misalnya makanan lezat

akan menimbulkan nafsu untuk makan dan sebagainya.

b) Operant respon atau instrumental respon yakni respons yang timbul dan

(34)

Skinner dalam Notoatmodjo (2003) juga mengemukakan bahwa perilaku

merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ia

membedakan dengan dua bentuk yaitu :

a) Perilaku tertutup (covert behaviour)

Perilaku ini adalah respons yang masih belum dapat dilihat oleh orang lain.

Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk

"unobservable behavior" atau "covert behavior" yang dapat diukur adalah

pengetahuan dan sikap.

b) Perilaku terbuka (overt behaviour)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah

berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau

"observable behavior". Yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh

orang lain.

2.1.2. Domain Perilaku

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat

luas. Benyamin Bloom (seorang ahli psikologi pendidikan) dalam Notoatmodjo

(2003) membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 tingkat ranah yakni :

a) Kognitif (cognitive)

b) Afektif (affective)

(35)

Dalam perkembangannya, teori Blum ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil

pendidikan kesehatan, yakni :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Tanpa

pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

Adapun tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan, diantaranya :

1). Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya : tahu bahwa buah jeruk

banyak mengandung vitamin C, penyakit demam berdarah ditularkan melalui

nyamuk Aedes Aegypti, dan sebagainya. Untuk mengetahui dan mengukur

bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.

2). Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya tersebut.

3). Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud

dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut

(36)

4). Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan,

kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat

dalam suatu masalah atau objek yang diketahuinya.

5). Sintetis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintetis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang

sudah ada.

6). Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya

didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang

berlaku dimasyarakat (Notoatmodjo, 2003).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden (Notoatmodjo, 2007).

2. Sikap (attitude)

Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respons yang

masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam

(37)

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude).dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan

yaitu :

a) Menerima (receiving)

Menerima diartikan apabila subjek mau dan memperhatikan stimulus atau objek

yang diberikan.

b) Merespon (responding)

Merespon diartikan apabila subjek memberikan jawaban atau tanggapan

terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c) Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan apabila subjek dapat memberikan nilai yang positif

terhadap objek atau stimulus. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab diartikan apabila subjek tersebut berani mengambil resiko

terhadap apa yang diyakininya ataupun sesuatu yang telah dipilihnya dan hal

(38)

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara

langsung yaitu berupa pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

3. Tindakan (practice)

Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam satu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendorong atau situasi kondisi yang memungkinkan.

Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan, yaitu :

1. Persepsi (perception)

Adanya pengenalan dan pemilihan berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat.

2. Respon terpimpin (guided response)

Mengikuti contoh atau melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar

merupakan indikator praktek tingkat kedua.

3. Mekanisme (mechanism)

Sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan dan telah melakukannya dengan

benar secara otomatis sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Sudah memodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut adalah

suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,

atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung

(39)

2.1.3. Proses Adopsi Perilaku

Menurut penelitian Rogers (1947) mengungkapkan bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang

berurutan, yakni :

a. Awarness : Menyadari akan suatu stimulus atau objek.

b. Interest : Dimana seseorang mulai tertarik terhadap suatu stimulus atau

objek.

c. Evaluation : Membandingkan baik tidaknya suatu stimulus atau objek

terhadap dirinya sendiri.

d. Trial : Mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption : Telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran

dan sikapnya terhadap suatu stimulus.

2.2. Determinan Perilaku

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut

determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk

dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal

maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya

merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, kehendak,

minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut

(40)

a. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat

bawaan, misalnya: umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan,

tingkat emosional, tingkat kecerdasan, dan lain-lain.

b. Faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, dan

ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor

yang dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu

berperilaku ada empat alasan pokok yaitu :

1. Pemikiran dan perasaan

Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap,

persepsi, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang

terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan), dan lain-lain.

2. Orang penting sebagai referensi

Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia lakukan

ataupun katakan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap

kelompok referensi seperti kepala suku, guru, kepala desa, dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya

Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya waktu, uang, tenaga kerja,

keterampilan, dan pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat

bersifat positif maupun negatif.

4. Kebudayaan

Norma, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu

(41)

kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan

dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap perilaku.

Kebudayaan selau berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan

peradaban umat manusia.

Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri

individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar

dirinya atau disebut dengan faktor eksternal atau faktor lingkungan.

Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang telah dicoba untuk

mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, yang

mengatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua

faktor yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu

sendiri terbentuk dari 3 faktor, yaitu sebagai berikut :

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat

kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain yang merupakan

(42)

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tradisi, dan sebagainya dari

orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,

sikap dan perilaku para petugas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku.

Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku

dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

1. Perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan

perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dimana

ia beraktifitas.

2. Perubahan terencana (planned change) ialah perubahan ini terjadi karena

memang direncanakan sendiri oleh subjek.

3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah

perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program

baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami

perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap

orang mempunyai kesedian untuk berubah yang berbeda-beda.

2.3. Informasi

Arti kata informasi adalah suatu berita yang mengandung maksud tertentu.

Manusia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang selalu ingin dibagikan kepada

orang lain. Pengalaman atau pengetahuan yang dikomunikasikan kepada orang lain

tersebut merupakan pesan atau informasi. Jadi, pesan atau informasi menuntut adanya

(43)

mengatakan bahwa informasi adalah suatu data yang sudah diolah menjadi sebuah

bentuk yang berarti bagi pengguna, yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan

saat ini atau mendukung sumber informasi. Sebuah data belum memiliki nilai

sedangkan informasi sudah memiliki nilai yang manfaatnya lebih besar dibanding

biaya untuk mendapatkannya. Kemudahan seseorang dalam hal untuk memperoleh

informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan

yang baru.

Informasi yang berkualitas memiliki 3 kriteria, yaitu :

1. Akurat (accurate)

Informasi harus bebas dari kesalahan, tidak bias ataupun menyesatkan.

Akurat juga berarti bahwa informasi itu harus dapat dengan jelas

mencerminkan maksudnya.

2. Tepat pada waktunya (timeliness)

Informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. Di dalam

pengambilan keputusan, informasi yang sudah usang tidak lagi

bernilai. Bila informasi datang terlambat sehingga pengambilan

keputusan terlambat dilakukan, hal itu dapat berakibat fatal.

3. Relevan (relevance)

Informasi yang disampaikan harus mempunyai keterkaitan dengan

maslaah yang akan dibahas dengan informasi tersebut dan harus

bermanfaat bagi pemakainya. Di samping karakteristik, nilai informasi

(44)

information) ditentukan oleh dua hal, yaitu manfaat dan biaya untuk

mendapatkannya

2.4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pendidikan Seks

1. Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup terhitung dari sejak lahir sampai

dengan sekarang (ulang tahun terakhir). Dengan bertambahnya umur

seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental),

dimana pada aspek psikologi ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan

dewasa artinya semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa lebih dipercaya dari

orang yang belum tinggi kedewasaannya.

Menurut Anonim (2011) bahwa usia memengaruhi terhadap daya tangkap

dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang

pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara

biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan

perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan

menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil

dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan

(45)

dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi

(Anonim, 2013).

3. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan berupa bimbingan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung

seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi

pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi,

baik dari orang lain maupun dari media massa sehingga semakin banyak pula

pengetahuan yang didapat terutama dalam hal kesehatan (Anonim, 2011).

4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Anderson

dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu

diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

5. Media massa (cetak dan elektronik)

Media massa adalah sebagai alat bantu untuk menyampaikan pesan-pesan

dengan sangat bervariasi yang paling banyak digunakan dalam komunikasi

massa (Notoatmodjo, 2003). Kemunculan berbagai media massa memiliki dua

pengaruh, yaitu pengaruh positif dan negatif. Dengan adanya media massa

(46)

untuk meningkatkan pengetahuan yang akhirnya dapat berubah kearah positif

terhadap kesehatan (Notoatmodjo,2005).

2.5. Remaja

2.5.1. Pengertian Masa Remaja

Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan

manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri yang bersumber dari

kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan

masa dewasa (Agustiani, 2009).

2.5.2. Ciri-ciri Masa Remaja

Menurut Jahja (2011), ciri-ciri masa remaja yaitu:

1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal

yang dikenal sebagai masa storm & stress.

2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai dengan kematangan

seksual.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan

orang lain.

4. Perubahan nilai, di mana apa yang mereka anggap penting pada masa

kanak-kanak menjadi kurang penting karena telah mendekati dewasa.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan

yang terjadi.

2.5.3. Perkembangan Masa Remaja

Menurut Agustiani (2009) masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit

(47)

1. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan

pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan

dan perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya.

2. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih

lebih muda. Ini berarti pengaruh orangtua pun melemah.

3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan

maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul dapat

menakutkan, membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan

frustasi.

4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan

emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima

nasihat orangtua.

2.5.4. Tahap Perkembangan Masa Remaja

Menurut Jahja (2011), bahwa tahap perkembangan masa remaja adalah

sebagai berikut:

1. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan

berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak

tergantung pada orangtua. Fokus pada tahap ini adalah penerimaan

terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat

(48)

2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru.

Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah

lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini

remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar

mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang

berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu

penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang

dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan

vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan

yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok sebaya dan

orang dewasa, juga menjadi ciri dalam tahap ini.

2.6. Pendidikan Seks

2.6.1. Pengertian Pendidikan Seks

Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas

manusia yang jelas dan benar, yang meliputi terjadinya pembuahan, kehamilan,

tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaaan dan

kemasyarakatan (Sarwono, 2011). Pendidikan tentang tingkah laku yang baik

sehubungan dengan masalah-masalah seks dengan mengutamakan pendidikan

tingkah laku yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan, sebab hal

(49)

pendidikan seks memang tidak dapat dihindari pembahasan pengetahuan tentang

seks dalam arti keilmuan (seksologi) (Wuryani, 2008). Pendidikan seks merupakan

proses pembudayaan diri sendiri dalam kehidupan bersama orang lain, yang harus

ditempatkan dalam konteks keluarga dan masyarakat (Tukan, 1993).

Wuryani (2008) mengatakan bahwa supaya informasi tentang seks dapat

dipahami dengan baik oleh anak, maka orangtua harus bersikap jujur berdasarkan

pengalaman mereka sendiri dalam perkawinan yang memuaskan dan

membahagiakan, sehingga anak mengetahui bagaimana perilaku dua orang yang

saling berbeda itu terhadap satu sama lain: saling menunjukkan cinta, saling

menghormati, dan saling menghargai. Sebelum orangtua memberikan pendidikan

seks, mereka harus memperlengkapi diri terlebih dahulu dengan pengetahuan lain,

yaitu pengetahuan tentang perkembangan psikoseksual pada anak-anak terutama

dalam masa remaja.

Ada beberapa catatan mengenai hal ini:

1. Masa remaja adalah masa yang paling penting daibandingkan dengan masa

kanak-kanak ditinjau dari sudut psikoseksual. Pada masa remaja ini anak

perempuan sudah mulai haid pertama dan anak laki-laki mulai mimpi basah

dengan perubahan rohaniah dan kejiwaan (tubuh, roh dan jiwa).

2. Pada gadis mulai umur 10 atau 11 tahun perubahan yang mulai tampak yaitu

buah dada yang membesar dan tumbuh bulu-bulu di bagian ketiak dan

kemaluannya. Pada anak laki-laki perubahan dimulai kira-kira 1 atau 2 tahun

kemudian, yaitu pada umur 11-14 tahun yaitu ditandai dengan bertambah

(50)

kemaluannya. Tanda lain yaitu membesarnya tulang kerongkongan yang

menyebabkan perubahan pada suaranya.

3. Di bidang rohaniah terjadi peubahan-perubahan besar yaitu dengan memiliki

tanggung jawab yang besar namun pada masa ini anak berada dalam masa

krisis yang tidak bisa begitu saja menyesuaikan diri dengan lingkungannya

karena adanya perasaan mudah gelisah, tidak tenang, murung, mudah

tersinggung dan marah, daan kurang berkonsentrasi.

4. Pada umur sekitar 13 atau 14 tahun, anak remaja belum mempunyai kontak

yang intim dengan orang lain. Tetapi pada umur 15 tahun ataupun

sebelumnya mulai menunjukkan adanya perubahan. Dimana anak laki-laki

mulai tertarik dengan perempuan dan sebaliknya.

5. Tanpa kita sadari anak sudah masuk ke masa antara 17-22 tahun yaitu pada

masa adolensia yang sudah mengarah menuju kedewasaan.

2.6.2. Tujuan Pendidikan Seks

Tujuan pendidikan seks adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang

sehat terhadap masalah seksual dengan membimbing anak dan remaja ke arah hidup

dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini

dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu sebagai suatu yang

menjijikkan atau kotor. Dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah

bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu atau ingin mencoba hubungan seksual

antara remaja, akan tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas

dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat

Gambar

Tabel 3.1. Tabel Perhitungan Sampel
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013
Tabel 4.2. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3
Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Pubertas Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap perencanaan pada Sikus I, terlebih dahulu guru sekaligus peneliti merancang perencanaan yang akan dijadikan acuan implementasi tindakan pada siklus

PENGUM UM AN PEM ENANG LELANG TAHAP-XVIII UNIT LAYANAN PENGADAAN (ULP) KABUPATEN KLATEN.. POKJA PENGADAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

Sekretariat : Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Klaten Jalan Sulawesi No.. Bersama ini kami umumkan Pemenang Lelang

Hardcopy Softcopy 1 Kejadian luar biasa keracunan Pangan Segar Asal Tumbuhan Bidang Konsumsi dan Kewaspadaan Pangan saat ada kejadian 521 5 tahun. 2 Informasi masuknya

Jurusan kimia FMIPA Universitas Negeri Padang. Kimia Lingkungan dan Green

dan untuk mencari file tersebut bisa gunakan syntax #find imagemagick.tar.gz (nama harus sama dengan filenya) contohnya saya, file imagemagick.tar.gz

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pengumpulan data, pengelolaan data, dan analisis data mengenai "Pengaruh Kualitas Layanan (Service Quality)

The determination of chemical kinetics constant of triphenyltin(IV) p-hydroxybenzoate by the use of cyclic voltammetry has been performed, The compound used was