PERILAKU ORANGTUA SISWA SMP SANTO THOMAS 3
MEDAN DALAM PEMBERIAN INFORMASI
MENGENAI PENDIDIKAN SEKS
TAHUN 2013
SKRIPSI
Oleh :
STEVANNY MANURUNG
NIM. 091000076
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERILAKU ORANGTUA SISWA SMP SANTO THOMAS 3
MEDAN DALAM PEMBERIAN INFORMASI
MENGENAI PENDIDIKAN SEKS
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
STEVANNY MANURUNG
NIM. 091000076
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Kebutuhan untuk memahami seks yang baik dan benar menunjukkan bahwa pendidikan seks diperlukan. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan komitmen dalam diri seorang anak. Peranan orangtua sangatlah diperlukan dalam perubahan diri seorang anak, terutama dalam hal pemberian informasi yang benar tentang seks khususnya pada masa pubertas. Pentingnya pendidikan seks ini, hendaknya diterapkan dalam pendidikan informal yaitu dimulai dari keluarga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode kuantitatif. Jumlah sampel sebanyak 77 responden dari 397 total populasi yaitu dengan menggunakan teknik proportional random sampling kemudian sampel di simple random sampling agar jelas pembagian sampelnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua siswa dengan menggunakan alat bantu kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 40-44 tahun sebanyak 39,0%, jenis kelamin responden adalah perempuan sebanyak 49 orang (63,6%), pendidikan terakhir responden adalah SMA/sederajat sebanyak 58,4% dan pekerjaan responden sebagai wiraswasta sebanyak 35,1%. Tingkat pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 47 orang (61,0%). Demikian juga halnya dengan tingkatan sikap responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 52 orang (67,5%). Sementara tingkatan tindakan responden termasuk dalam kategori cukup yaitu sebanyak 50 orang (64,9%).
Berdasarkan hasil penelitian maka perlunya dibentuk sebuah komunitas Ibu-ibu bagi para orangtua agar dapat lebih meningkatkan pemahamannya mengenai pendidikan seks.
ABSTRACT
The need to understand the sex is good and right shows that sex education is needed. Sex education is teaching efforts, raising awareness and providing information about sexual issues with instilling moral values, ethics, and commitment in a child. The role of parents is necessary in a child's self changes, especially in terms of providing correct information about sex especially during puberty. The importance of sex education, informal education should be implemented in the beginning of the family.
The purpose of this study is to describe the behavior of the parents of SMP St. Thomas 3 Medan in the provision of information about sex education. This is a descriptive study with quantitative methods. The total sample of 77 respondents of 397 the total population using proportional random sampling technique then sampled in simple random sampling in order to clear the division of the sample. Data was collected through interviews directly to parents by using the questionnaire tool.
The results showed that the majority of respondents aged 40-44 years with as many as 39.0% of respondents are recent high school education / equivalent as much as 58.4% of respondents as self-employed and work as much as 35.1%. The level of knowledge of respondents included in both categories as many as 47 people (61.0%). Similarly, the level of respondents' attitudes included in both categories as many as 52 people (67.5%). While the level of respondents included in the category of action quite as many as 50 people (64.9%).
Based on the research results need to establish a community of mothers for parents in order to further improve its understanding of the sex education.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Stevanny Nicea Novel Manurung
Tempat/Tanggal Lahir : Makassar/20 Nopember 1990
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Kawin
Nama Ayah : Esron Manurung
Nama Ibu : Hermin Mamusung
Jumlah Bersaudara : 4 (anak kedua dari lima bersaudara)
Alamat Rumah : Jl. Gaperta Gg. Gudang No.12 Helvetia Medan
Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 1 Tebing Tinggi : Tahun 1996-2002
2. SLTP Negeri 1 Tebing Tinggi : Tahun 2002-2005
3. SMA Santo Thomas 3 Medan : Tahun 2005-2008
4. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU : Tahun 2009-2013
Riwayat Organisasi
1. POMK FKM USU : Tahun 2009-2010
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas
berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perilaku
Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai
Pendidikan Seks Tahun 2013”
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan material dan
moril dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Namora Lumongga, MSc, PhD dan Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes
selaku dosen pembimbing skripsi saya yang dengan sabar dan penuh kasih
membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari awal sampai berakhirnya
skripsi ini.
2. Bapak Drs. Tukiman, MKM dan Bapak Drs. Eddy Syahrial, MS selaku dosen
penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam menyempurnakan
skripsi ini menjadi lebih baik.
3. Bapak Drs. Tukiman, MKM selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan
dan Ilmu Perilaku Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Lina Tarigan Apt, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
5. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh Dosen dan Staf Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara yang telah membantu dalam urusan administrasi demi kelancaran
skripsi ini.
7. Bapak Drs. Ares Hasugian selaku Kepala Sekolah SMP Santo Thomas 3 Medan
dan seluruh Staf Pegawai SMP Santo Thomas 3 Medan yang telah banyak
membantu penulis dalam melakukan penelitian atas skripsi ini dari awal hingga
akhir.
8. Yang terkasih Ayahanda Esron Manurung dan Ibunda Hermin Mamusung dan
seluruh keluarga yang telah mendoakan dan memberikan pengorbanan baik moril
maupun materil dalam perkuliahan serta dalam penulisan skripsi ini.
9. Yang terkasih kakak penulis Regina Mustika Seni Manurung, SPd, dan adik-adik
penulis Samuel Erick Jansen Manurung, Timothy Eldo Reign Manurung dan
Truicello Carla Giselle Manurung yang telah setia menghibur, menguatkan dan
berdoa bagi keberhasilan penulis.
10.Yang tercinta Agung Zakaria Saragih, Amd yang selalu setia memberikan
masukan, mendoakan dan memberikan penguatan bagi keberhasilan penulis.
11.Sobat setia penulis Lasmanora Oktavia Hutabarat, SSi, Nora Febrini Manik, SS,
Trisna Sutanti Sinambela, S.Kep. atas dukungan doa maupun
masukan-masukannya selama penyusunan skripsi ini.
12.Teman-teman penulis Esteria Siahaan, Ade Lubis, Surya Getsemane, Devi
Adapun selama dalam penulisan skripsi ini penulis melalui berbagai tantangan
dan cobaan namun semua proses demi proses dapat dilalui dengan baik yaitu dengan
adanya kepercayaan, keyakinan dan ketekunan. Juga penulis menyadari satu hal
bahwa selama dalam menulis skripsi bukan hanya ilmu yang dicari dan didapat
namun juga pelajaran hidup yakni mau dan rela mengikuti proses kepribadian dan
mental untuk menjadi pejuang yang tangguh. Yakin dan percayalah bahwa kesukaran
dan penderitaan itulah kebanggaan hidup dimana untuk mencapai yang namanya
peninggian dan kebesaran. Tiada hal yang sempurna di dunia ini untuk itu dengan
segala kerendahan hati penulis sungguh menerima kritik dan saran yang dapat
membangun skripsi ini. Biarlah skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.
Medan, Agustus 2013
DAFTAR ISI
2.4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pendidikan Seks ... 25
2.5. Remaja ... 27
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 33
3.5. Definisi Operasional ... 36
3.6. Aspek pengukuran dan Instrumen ... 37
3.6.1. Aspek pengukuran ... 37
3.6.2. Instrumen ... 40
3.7. Teknik Analisis Data dan Pengolahan Data ... 40
3.7.1. Analisis data ... 40
4.2.1. Berdasarkan Karakteristik Responden ... 43
4.2.2. Berdasarkan Pengetahuan Responden ... 44
4.2.3. Kategori Tingkatan Pengetahuan ... 51
4.2.4. Berdasarkan Sikap Responden ... 52
4.2.5. Kategori Tingkatan Sikap ... 54
4.2.6. Berdasarkan Tindakan Responden ... 55
4.2.7. Kategori Tingkatan Tindakan ... 65
BAB V PEMBAHASAN ... 67
5.1. Karakteristik Responden ... 67
5.1.1. Gambaran Karakteristik Umur ... 67
5.1.2. Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin ... 68
5.1.3. Gambaran Karakteristik Pendidikan ... 68
5.1.4. Gambaran Karakteristik Pekerjaan ... 70
5.2. Pengetahuan Responden ... 71
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tabel Perhitungan Sampel ... 35
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 43
Tabel 4.2. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 44
Tabel 4.3. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Tahap Perkembangan Masa Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 45
Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Masa Pubertas Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai
Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 45
Tabel 4.5. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 46
Tabel 4.6. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pengertian Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 46
Tabel 4.7. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Manfaat Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 47
Tabel 4.9. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Aspek Penting Dalam Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi
Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 48
Tabel 4.10. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Peran Orangtua Selaku Memiliki Remaja Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 49
Tabel 4.11. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Bagaimana Orangtua Dalam Mengontrol Pergaulan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 49
Tabel 4.12. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Perkembangan Remajanya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai
Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 50
Tabel 4.13. Distribusi Kategori Tingkatan Pengetahuan Responden Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 51
Tabel 4.14. Distribusi Sikap Responden Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi
Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 52
Tabel 4.15. Distribusi Kategori Tingkatan Sikap Responden Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 54
Tabel 4.16. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Adanya Kemauan Untuk Memberikannya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 55
Tabel 4.18. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Jika Pernah Memberikan Informasi Apakah Kepada Anak Laki-laki Atau Perempuan Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 56
Tabel 4.19. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Diberikan Pertama Sekali Pada Saat Umur Berapa Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 .. 57
Tabel 4.20. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Dasar Tentang Permasalahan Seksualitas (Misalnya Informasi Darimana Datangnya Bayi) Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 58
Tabel 4.21. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Hal-hal Yang Tidak Diperbolehkan di Depan Umum (Seperti Menggunakan Pakaian Ketat/Minim Saat Berada di Luar Rumah) Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. 58
Tabel 4.22. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Mengenai Organ Reproduksi dan Fungsinya Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai
Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 59
Tabel 4.23. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Penjelasan Tentang Bahaya Aborsi dan Seks Bebas Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 59
Tabel 4.24. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Memberikan Informasi Mengenai Penyakit Kelamin Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 59
Tabel 4.26. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Apakah Orangtua Selalu Memantau Perkembangan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 60
Tabel 4.27. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Apakah Orangtua Selalu Menasehati dan Membatasi Anak Dalam Bergaul dengan Lawan Jenis Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... ... 61
Tabel 4.28. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum Pernah/Sudah/Sedang Berpacaran Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 ... 61
Tabel 4.29. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum/Sudah Pernah Berciuman Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013 .. 61
Tabel 4.30. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Belum/Sudah Pernah Membaca Buku/Majalah/Tabloid Porno atau Menonton Video Porno Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013. ... 62
Tabel 4.31. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Orangtua Mengetahui Anak Sudah Pernah Melakukan Onani/Masturbasi Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013.. ... 62
Tabel 4.32. Distribusi Tindakan Responden Berdasarkan Jika Mengetahui Hal Tersebut Apakah Membiarkan Hal Itu Terjadi Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 63
Tabel 4.34. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Ada Batasan Dalam Berkomunikasi Dengan Anak Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 63
Tabel 4.35. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Apakah Membicarakan Seks Adalah Hal Yang Sangat Tabu Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam
Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 64
Tabel 4.36. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Memberikan Pengetahuan Mengenai Pendidikan Seks Itu Sangat Penting Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... ... 64
Tabel 4.37. Distribusi Tindakan Responden Mengenai Setujukah Orangtua Apabila Pendidikan Seks Tidak Hanya Diterapkan Dalam Lingkungan Rumah Namun Juga Termasuk di Lingkungan Sekolah Sebagai Pendidikan Informal Terhadap Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013... 65
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian
LAMPIRAN 2 Master Olah Data Komputer
LAMPIRAN 3 Output Olah Data Komputer
LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU
ABSTRAK
Kebutuhan untuk memahami seks yang baik dan benar menunjukkan bahwa pendidikan seks diperlukan. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual dengan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan komitmen dalam diri seorang anak. Peranan orangtua sangatlah diperlukan dalam perubahan diri seorang anak, terutama dalam hal pemberian informasi yang benar tentang seks khususnya pada masa pubertas. Pentingnya pendidikan seks ini, hendaknya diterapkan dalam pendidikan informal yaitu dimulai dari keluarga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode kuantitatif. Jumlah sampel sebanyak 77 responden dari 397 total populasi yaitu dengan menggunakan teknik proportional random sampling kemudian sampel di simple random sampling agar jelas pembagian sampelnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua siswa dengan menggunakan alat bantu kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 40-44 tahun sebanyak 39,0%, jenis kelamin responden adalah perempuan sebanyak 49 orang (63,6%), pendidikan terakhir responden adalah SMA/sederajat sebanyak 58,4% dan pekerjaan responden sebagai wiraswasta sebanyak 35,1%. Tingkat pengetahuan responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 47 orang (61,0%). Demikian juga halnya dengan tingkatan sikap responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 52 orang (67,5%). Sementara tingkatan tindakan responden termasuk dalam kategori cukup yaitu sebanyak 50 orang (64,9%).
Berdasarkan hasil penelitian maka perlunya dibentuk sebuah komunitas Ibu-ibu bagi para orangtua agar dapat lebih meningkatkan pemahamannya mengenai pendidikan seks.
ABSTRACT
The need to understand the sex is good and right shows that sex education is needed. Sex education is teaching efforts, raising awareness and providing information about sexual issues with instilling moral values, ethics, and commitment in a child. The role of parents is necessary in a child's self changes, especially in terms of providing correct information about sex especially during puberty. The importance of sex education, informal education should be implemented in the beginning of the family.
The purpose of this study is to describe the behavior of the parents of SMP St. Thomas 3 Medan in the provision of information about sex education. This is a descriptive study with quantitative methods. The total sample of 77 respondents of 397 the total population using proportional random sampling technique then sampled in simple random sampling in order to clear the division of the sample. Data was collected through interviews directly to parents by using the questionnaire tool.
The results showed that the majority of respondents aged 40-44 years with as many as 39.0% of respondents are recent high school education / equivalent as much as 58.4% of respondents as self-employed and work as much as 35.1%. The level of knowledge of respondents included in both categories as many as 47 people (61.0%). Similarly, the level of respondents' attitudes included in both categories as many as 52 people (67.5%). While the level of respondents included in the category of action quite as many as 50 people (64.9%).
Based on the research results need to establish a community of mothers for parents in order to further improve its understanding of the sex education.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk seksual tidaklah pernah bisa luput karena disaat
berbicara masalah seputar seks rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Hanya
kematian yang dapat mencegahnya, karena masalah seks akan tetap hidup dan akan
terus hidup (Dianawati, 2006). Manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna, tidak
dapat dipungkiri adalah makhluk seksual. Jika diterjemahkan, seksualitas adalah
bagaimana seseorang merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksual
yang khusus (Nugraha, 2007).
Seksual dimulai dengan beberapa perubahan pubertas selama masa remaja dan
dilanjutkan seluruhnya dalam kehidupan dewasa (Nugraha, 2007). Oleh karena itu,
dalam hal ini yang paling berperan penting adalah remaja. Masa remaja adalah suatu
masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi
juga fisik. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun
psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh
berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula
dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Bahkan perubahan-perubahan fisik
yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja,
sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari
Saat remaja dalam masa perkembangannya, mulai memasuki masa-masa yang
disebut masa pubertas. Pada masa inilah remaja mengalami perubahan sistem hormon
seksual yaitu berkembangnya organ-organ reproduksi yang membuat perubahan
dalam perkembangan seks sekunder remaja baik pada perempuan maupun pada
laki-laki. Pada umumnya, pada masa ini remaja putri mengalami haid/menstruasi pertama,
dan remaja putra mengalami mimpi basah, sehingga organ-organ fisik dapat
mencapai taraf kematangan yang memungkinkan berfungsinya sistem reproduksi
dengan sempurna (Dariyo, 2007). Selain itu, perkembangan sistem hormonal
menyebabkan perubahan seksual yaitu dengan menimbulkan dorongan-dorongan dan
perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu
merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya (Agustiani, 2009).
Kematangan seks menandakan bahwa adanya perubahan hormon, sehingga
dorongan seks semakin meluap. Perlunya bimbingan yang benar tentang perubahan
ini saat dorongan itu muncul karena jika dibiarkan akan semakin liar. Akibatnya, para
remaja ingin melampiaskannya dengan mencari bacaan atau film-film porno, bahkan
ada juga yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial ataupun melakukan masturbasi (Dianawati, 2006).
Adanya kebutuhan setiap orang terutama remaja pada khususnya untuk dapat
memahami seks dengan baik dan benar merupakan petunjuk bahwa pendidikan seks
diperlukan. Seperti yang kita ketahui, sebagaimana masyarakat itu selalu berkembang
dan mengalami perubahan, yang termasuk pula perubahan nilai dan moralitas serta
peka karena sangat dibutuhkan, namun di pihak lain orang berusaha untuk
menutup-nutupinya. Sebenarnya masalah seks tidak perlu ditutup-tutupi, namun juga tidak
lantas dibicarakan secara terbuka di tempat umum karena seks bukanlah hal yang
tabu, sekalipun dibicarakan di dalam keluarga, antara orangtua dan anak-anaknya
(Wuryani, 2008).
Pada dasarnya, pendidikan seks sudah dikenal sejak saat seseorang dilahirkan.
Seseorang yang terlahir, baik laki-laki maupun perempuan, akan terus mengalami
perkembangan seksual secara fisik dari anak-anak sampai memasuki usia remaja
yang dipengaruhi oleh hormon seks (laki-laki dan perempuan). Seiring dengan
berlalunya waktu, perkembangan fisikoseksual (termasuk biologis dan fisiologis)
diikuti dengan adanya perkembangan psikoseksual. Kedua perkembangan itu harus
berjalan seimbang karena dapat mempengaruhi kehidupan seksualnya ketika
memasuki gerbang perkawinan (Dianawati, 2006).
Pendidikan seksualitas itu dimulai dari manusia itu sendiri yang bertujuan
mengartikan penghayatan kehidupan seksual manusia yang berarti manusia
menjelaskan dan memberikan informasi tentang seksualitas manusia serta
meneguhkan makna atau menafsirkan nilai manusiawi terhadap seksualitas tersebut
(Tukan, 1993). Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian
informasi tentang masalah seksual. Salah satu informasi yang diberikan adalah
pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika,
komitmen agar tidak terjadi 'penyalahgunaan' organ seksual tersebut. Dengan begitu
Pentingnya peran orangtua dalam hal ini akan sangat mendukung perilaku
remaja terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Pada saat sesama orangtua
saling memperdebatkan penting tidaknya membicarakan masalah seks pada
anak-anaknya, permasalahan yang dibahas di media cetak, elektronik, dan dalam
kehidupan sehari-hari juga berkaitan dengan masalah seks ini. Dengan melihat begitu
besar perhatian seseorang terhadap kebutuhan seksualnya, berarti masyarakat kita
sudah mulai menyadari pentingnya mendapatkan pengetahuan seks secara jelas dan
terbuka. Pendidikan seks tidaklah terbatas jangkauannya karena dimulai dari usia
anak-anak, remaja, sampai orangtua. Dalam hal ini dapat dilihat betapa pentingnya
peran orangtua dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ada serta perlunya untuk
lebih terbuka (Dianawati, 2006).
Banyak pihak beranggapan bahwa membicarakan seks kepada anak
remajanya adalah hal yang tabu sehingga hal yang ditakutkan adalah pendidikan seks
justru akan memancing anak dan remaja untuk tertarik berhubungan seksual. Padahal,
secara ilmiah sudah terbukti sebaliknya. Remaja yang diberikan pendidikan seks yang
tepat justru menunda berhubungan seksual (Anna, 2012).
Anggapan kebanyakan orangtua bahwa membicarakan masalah seks adalah
sesuatu hal yang tabu inilah yang seharusnya dihilangkan karena dapat menghambat
penyampaian pengetahuan seks yang seharusnya sudah dapat dimulai dari segala usia.
Selain itu, kemungkinan besar para orangtua merasa kuatir jika si anak mengetahui
lebih banyak masalah seksualitas, karena akan semakin meningkatkan rasa penasaran
mencegah pengaruh dari luar untuk memenuhi rasa ingin tahu si anak yang tidak
perlu dilakukan namun perlu diketahuinya. Pasalnya, setiap anak yang sehat pasti
ingin sekali mengetahui perkembangan dan perbedaan anggota tubuhnya dengan
orang lain, ingin merasakan dan mengetahui arti ciuman dan sentuhan seperti yang
sering dilihatnya, baik di TV atau lingkungan sekitarnya. Bisa juga anak tersebut
ingin mengetahui perasaan, khayalan seksual, dan proses terjadinya reproduksi yang
mungkin masih membingungkannya. Jika hal itu terjadi, maka disitulah peran serta
orangtua yang berkontribusi besar dalam menangani problema yang terjadi
(Dianawati, 2006).
Arti pendidikan seks disini adalah agar dapat membantu para remaja laki-laki
dan perempuan untuk mengetahui risiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan
pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan
hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orangtuanya. Jika para orangtua secara arif
dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh anak-anak dan
lingkungan sekitarnya, maka arti seks itu sendiri akan berubah menjadi sangat indah
dan sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia (Dianawati, 2006).
Pentingnya memberikan pendidikan seks bagi remaja sudah seharusnya kita
pahami. Karena pada dasarnya usia remaja merupakan masa transisi, dimana pada
masa ini terjadinya perubahan baik fisik, emosional, maupun seksual (Dianawati,
2006). Adapun aspek yang penting untuk disampaikan dalam pendidikan seks adalah
anatomi tubuh, sistem reproduksi manusia, kesehatan dan perilaku. Selama ini ilmu
Pengetahuan Alam). Penjelasan anatomi tubuh antara laki-laki dan perempuan
berbeda bentuk dan fungsi, sistem reproduksi dapat mulai berlangsung sejak akil
balig (pada perempuan sejak telah mendapatkan menstruasi) (Arum, 2012).
Survei oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan bahwa pendidikan
seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan yang
berarti pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan seks bebas. Pendidikan
seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak azazi manusia, juga nilai-nilai
kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga akan merupakan pendidikan
akhlak dan moral juga (Zuhra, 2011).
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 68 persen orangtua
tak pernah berusaha menjelaskan masalah seks pada anak-anaknya. Kebanyakan dari
mereka merasa malu untuk menjelaskannya. Bahkan sekitar 47 persen orangtua
percaya bahwa sekolah memiliki tanggung jawab penuh untuk mengajarkan anak
tentang hubungan seksual. Hasil ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh
CouponCodes4u pada 2.305 orangtua yang memiliki setidaknya satu anak berusia di
atas 12 tahun. Sekitar 44 persen orangtua beralasan bahwa mereka terlalu malu untuk
mendiskusikan seks dengan anak. Sekitar 27 persen mengatakan bahwa mereka
menjauhi topik itu karena alasan agama. Sementara 11 persen orangtua tak mau
menjelaskan hal itu karena tak percaya bahwa anak membutuhkan pelajaran seksual.
Uniknya, 15 persen orangtua percaya anggota keluarga lain seperti kakak bisa
menjadi rujukan bagi anak mereka untuk belajar tentang seks. Lebih dari seperlima
persen orangtua merasa televisi dan internet bisa memberikan pelajaran tentang seks
pada anak (Ananda, 2013).
Meski diskusi mengenai seks dengan anak adalah salah satu hal yang ditakuti
orangtua, namun lebih dari 62 persen orangtua setuju bahwa pendidikan seks penting
bagi anak. Hanya 18 persen orangtua mengaku bahwa mereka sendiri baru
mendapatkan pelajaran itu saat dewasa. Sekitar 49 persen orang tua berpikir anak
harus mulai memahami seks ketika berusia 10 atau 15 tahun. Sekitar 37 persen
orangtua juga percaya bahwa mengajarkan tentang seks secara langsung pada anak
juga bisa mencegah anak untuk mencari informasi dari sumber lain, yang bisa jadi
salah dan mendorong mereka melakukan hal yang tak benar (Ananda, 2013).
Dalam memberikan pendidikan seks, sebaiknya orangtua melakukannya
sesuai dengan usia anak. Saat anak berusia balita misalnya, bisa diajarkan mengenai
anggota tubuhnya. Anak biasanya juga mulai bertanya dari mana bayi berasal.
Disinilah bisa memberikan penjelasan dengan cerita yang sesuai dengan
pemahamannya, tidak perlu terlalu detail dan rumit. Karena ketika anak beranjak
remaja sekitar 12-14 tahun, dorongan seksual di masa puber biasanya mulai
meningkat. Disinilah orangtua harus berperan mengajarkan anak mengenai sistem
reproduksi dan cara kerjanya. Jelaskan pada anak konsekuensi jika mereka
Menurut psikolog dan sex educator Ninuk Widyantoro, yang terpenting
sebelum memberikan pendidikan seks pada anak adalah menetapkan tujuan yang
jelas, yaitu mempersiapkan anak secara bertahap agar siap menghadapi berbagai
perubahan fisik dan emosional yang menyangkut seksualitasnya dan bisa melewati
fase-fase hidupnya dengan selamat. Selain itu, ancaman pelecehan seksual, pergaulan
bebas, kehamilan di luar nikah pada usia dini, gempuran informasi melalui media
massa, serta penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS tentu
menjadi alasan kuat untuk membekali anak dengan pendidikan seks, agar mereka bisa
melindungi diri dan berpikir sebelum bertindak (Anonim, 2013).
Sebelum memulai memberikan pendidikan seks, orangtua perlu bekal
pengetahuan yang cukup mengenai seksualitas karena ada orangtua yang bahkan
tidak mengerti perbedaan antara seks dan seksualitas. Seks hanyalah perbedaan
biologis antara pria dan wanita. Sedangkan seksualitas lebih luas dari itu, antara lain
mencakup kebersihan genital, ketertarikan pada lawan jenis, timbulnya nafsu birahi,
hingga orientasi seksual. Disamping itu, orangtua juga perlu memiliki keterampilan
komunikasi, menyangkut cara berbicara dan bahasa tubuh seperti halnya berbicara
dengan nada yang manis pada anak bukan menggurui atau menakut-nakuti selain itu
juga harus lebih bersikap santai. Seks bukanlah sesuatu yang jorok atau dosa tetapi
sesuatu yang normal, karena melalui hubungan sekslah kelangsungan hidup manusia
terpelihara. Berbicara soal seksualitas bukan cuma seputar hubungan intim pria dan
Studi yang digagas oleh organisasi kesehatan reproduksi The Guttmacher
Institute telah membuktikan pentingnya pendidikan seks pada kalangan remaja. Para
ahli menganalisa data sekitar 4.691 remaja Amerika Serikat berusia 15-24 tahun yang
diperoleh dari National Survey of Family Growth antara tahun 2006 hingga 2008.
Pertanyaan dalam survei tersebut antara lain berusaha menggali apakah para remaja
memiliki bekal formal mengenai bagaimana menolak seks dan juga metode
kontrasepsi. Para remaja itu juga menjawab pertanyaan tentang pengalaman pertama
mereka melakukan seks vaginal (Anna, 2012).
Hasil survei menunjukkan, sekitar dua pertiga remaja putri dan 55 persen
remaja pria pernah mendapatkan informasi mengenai pentingnya kontrasepsi dan
mengatakan tidak pada hubungan seks. Sekitar 20 persen menjawab mereka hanya
belajar bagaimana menunda seks dan 16 persen perempuan dan 24 persen anak
laki-laki mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan seks. Kelompok terakhir,
yakni yang tidak mendapat pendidikan seks ternyata memiliki perilaku seksual yang
paling buruk. Dari kelompok ini, lebih dari 80 persen mengaku mereka berhubungan
seks sebelum berusia 20 tahun. Selain itu, remaja yang mendapatkan pendidikan seks
mengaku mereka menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks pertama kali.
Mereka juga cenderung memiliki pasangan yang "lebih sehat", yakni kekasih yang
usianya sepantar atau tidak lebih dari tiga tahun (Anna, 2012).
Survei yang dipimpin oleh Trisha Mueller, pakar penyakit menular dari pusat
penelitian di Atlanta. Sebanyak 2.019 remaja berusia 15-19 menjadi responden.
tidak berhubungan seks sebelum berusia 15 tahun. Sedangkan remaja pria, 71% orang
yang mendapat pendidikan seks mengatakan tidak berhubungan seks sebelum usia 15
tahun. Pada kelompok remaja berisiko tinggi seperti keturunan Afrika Amerika dan
yang tinggal di daerah kota, pendidikan seks memberikan hasil lebih baik. Sekitar
88% mengatakan tidak berhubungan seks sama sekali sebelum usia 15 tahun. Remaja
pria lulusan sekolah menengah dan mendapat pendidikan seks tercatat tiga kali lebih
memperhatikan penggunaan alat kontrasepsi dibanding mereka yang tidak mendapat
pendidikan seks (Ginjow, 2012).
Pendidikan seks masih menjadi kontroversi patut tidaknya untuk dimasukkan
dalam kurikulum di sekolah walaupun sebenarnya pendidikan seks di sekolah sudah
ada sejak tahun 1950-an di negara Swiss dan Swedia, sedangkan di negara Perancis,
Jerman dan Polandia sejak tahun 1970-an (Arum, 2012). Pada usia remaja, seorang
anak belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya. Hal-hal yang mereka lakukan
hanya merupakan kesenangan sesaat. Ketidakjelasan pendidikan seks dari
orangtuanya akan menimbulkan berbagai masalah yang mengacu pada gangguan
seksual ketika memasuki kehidupan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya.
Karenanya sangat dibutuhkan bimbingan dari orangtua yang memang sudah
seharusnya memiliki kedekatan hubungan dengan si anak.
Orangtua haruslah mengerti dan memahami terlebih dahulu jika terjadi
perubahan dalam diri anaknya, sehingga anak pun merasa mendapatkan perhatian dan
kasih sayang dari orangtuanya. Dengan begitu, mereka tanpa segan dan malu akan
membicarakan semua persoalan yang dihadapinya (Dianawati, 2006). Karena
informasi yang muncul. Mereka haus informasi dan selalu merasa ingin tahu akan
sesuatu yang baru. Disinilah peran/bimbingan dari orangtua dan guru sangat
diperlukan. Tetapi di sisi lain, orangtua maupun guru masih banyak yang malu dan
merasa tabu untuk memberikan pendidikan seks pada anak mereka (Arum, 2012).
Tidak ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan seks terhadap sikap mengenai
seks pranikah (Yuniarti, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan 86,7% orangtua di Lingkungan XVII
Kelurahan Tanjung Rejo, Medan memiliki persepsi positif tentang pendidikan seks
bagi remaja. Dari hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa orangtua
mendukung pendidikan seks bagi remaja (Bukit, 2005). Penelitian yang dilakukan
mengenai Perilaku Keluarga Terhadap Pendidikan Seks Bagi Remaja di Kelurahan
Sibuluan Nauli Sibolga bahwa dari 46 responden didapat pada pengetahuan keluarga
terhadap pendidikan seks bagi remaja, responden yang memiliki pengetahuan baik
yakni 38 orang (82,60%), sedangkan 8 orang responden memiliki pengetahuan cukup
(17,39%). Sikap keluarga terhadap pendidikan seks bagi remaja memiliki sikap
positif yakni 46 orang (100%). Pada tindakan keluarga terhadap pendidikan seks bagi
remaja, responden yang memiliki tindakan baik ada 39 orang (84,78%), sedangkan 7
orang (15,21%) memiliki tindakan yang cukup (Azni, 2010). Berdasarkan penjelasan
diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, pada saat melakukan survei pendahuluan
diketahui bahwasanya anak-anak (khususnya siswa SMP Santo Thomas 3 Medan)
sering bermain game online di warnet terdekat (tepat berada di depan sekolah). Selain
bermain mereka juga membuka situs lain yaitu situs porno. Juga didapat informasi
bahwa rata-rata siswa (laki-laki) melakukan onani di kamar mandi. Maka rumusan
masalah penelitian ini adalah bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas
3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku
orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai
pendidikan seks tahun 2013.
1.3.2.Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,
dan pekerjaan orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam
pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.
2. Untuk mengetahui tingkatan pengetahuan orangtua siswa SMP Santo
Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks
3. Untuk mengetahui tingkatan sikap orangtua siswa SMP Santo Thomas 3
Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun
2013.
4. Untuk mengetahui tingkatan tindakan orangtua siswa SMP Santo Thomas
3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun
2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian tentang “Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo
Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun
2013” adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi orangtua siswa untuk meningkatkan
perilakunya dalam hal pemberian informasi mengenai pendidikan seks.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah mengenai perilaku orangtua
siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi
pendidikan seks tahun 2013.
3. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan keilmuan khususnya di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Menambah wawasan baru bagi penulis mengenai perilaku orangtua siswa
SMP Santo Thomas 3 Medan dalam hal pemberian informasi mengenai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Perilaku 2.1.1. Batasan Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar. Manusia sebagai salah satu mahluk hidup mempunyai aktifitas
yang dapat dibagikan menjadi dua kelompok yaitu aktivitas yang dapat dilihat
oleh orang lain dan aktivitas yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Menurut
seorang ahli psikologi Skinner yang dikutip dari Notoatmodjo (2007) beliau
mendapati bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
suatu stimulus (rangsangan dari luar). Oleh sebab itu perilaku manusia terjadi
melalui proses Stimulus, Organisme, dan Respons, sehingga teori Skinner
disebut teori “S-O-R”. Teori Skinner juga menjelaskan adanya 2 jenis respons
yaitu :
a) Responden respon atau refleksif, yakni respons yang ditunjukkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli,
karena menimbulkan respon yang relatif tetap misalnya makanan lezat
akan menimbulkan nafsu untuk makan dan sebagainya.
b) Operant respon atau instrumental respon yakni respons yang timbul dan
Skinner dalam Notoatmodjo (2003) juga mengemukakan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ia
membedakan dengan dua bentuk yaitu :
a) Perilaku tertutup (covert behaviour)
Perilaku ini adalah respons yang masih belum dapat dilihat oleh orang lain.
Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk
"unobservable behavior" atau "covert behavior" yang dapat diukur adalah
pengetahuan dan sikap.
b) Perilaku terbuka (overt behaviour)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
"observable behavior". Yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain.
2.1.2. Domain Perilaku
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat
luas. Benyamin Bloom (seorang ahli psikologi pendidikan) dalam Notoatmodjo
(2003) membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 tingkat ranah yakni :
a) Kognitif (cognitive)
b) Afektif (affective)
Dalam perkembangannya, teori Blum ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Tanpa
pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
Adapun tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan, diantaranya :
1). Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya : tahu bahwa buah jeruk
banyak mengandung vitamin C, penyakit demam berdarah ditularkan melalui
nyamuk Aedes Aegypti, dan sebagainya. Untuk mengetahui dan mengukur
bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.
2). Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya tersebut.
3). Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud
dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut
4). Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat
dalam suatu masalah atau objek yang diketahuinya.
5). Sintetis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintetis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
sudah ada.
6). Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang
berlaku dimasyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2007).
2. Sikap (attitude)
Menurut Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respons yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
yaitu :
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan apabila subjek mau dan memperhatikan stimulus atau objek
yang diberikan.
b) Merespon (responding)
Merespon diartikan apabila subjek memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan apabila subjek dapat memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab diartikan apabila subjek tersebut berani mengambil resiko
terhadap apa yang diyakininya ataupun sesuatu yang telah dipilihnya dan hal
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung yaitu berupa pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.
3. Tindakan (practice)
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam satu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendorong atau situasi kondisi yang memungkinkan.
Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan, yaitu :
1. Persepsi (perception)
Adanya pengenalan dan pemilihan berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat.
2. Respon terpimpin (guided response)
Mengikuti contoh atau melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar
merupakan indikator praktek tingkat kedua.
3. Mekanisme (mechanism)
Sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan dan telah melakukannya dengan
benar secara otomatis sudah mencapai praktek tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Sudah memodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut adalah
suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung
2.1.3. Proses Adopsi Perilaku
Menurut penelitian Rogers (1947) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang
berurutan, yakni :
a. Awarness : Menyadari akan suatu stimulus atau objek.
b. Interest : Dimana seseorang mulai tertarik terhadap suatu stimulus atau
objek.
c. Evaluation : Membandingkan baik tidaknya suatu stimulus atau objek
terhadap dirinya sendiri.
d. Trial : Mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption : Telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap suatu stimulus.
2.2. Determinan Perilaku
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk
dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya
merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, kehendak,
minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
a. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
bawaan, misalnya: umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan,
tingkat emosional, tingkat kecerdasan, dan lain-lain.
b. Faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, dan
ekonomi, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor
yang dominan mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu
berperilaku ada empat alasan pokok yaitu :
1. Pemikiran dan perasaan
Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap,
persepsi, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang
terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan), dan lain-lain.
2. Orang penting sebagai referensi
Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia lakukan
ataupun katakan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap
kelompok referensi seperti kepala suku, guru, kepala desa, dan lain-lain.
3. Sumber-sumber daya
Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya waktu, uang, tenaga kerja,
keterampilan, dan pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat
bersifat positif maupun negatif.
4. Kebudayaan
Norma, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu
kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan
dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap perilaku.
Kebudayaan selau berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan
peradaban umat manusia.
Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri
individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar
dirinya atau disebut dengan faktor eksternal atau faktor lingkungan.
Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang telah dicoba untuk
mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, yang
mengatakan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua
faktor yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu
sendiri terbentuk dari 3 faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain yang merupakan
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan tradisi, dan sebagainya dari
orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,
sikap dan perilaku para petugas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku.
Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku
dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan
perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dimana
ia beraktifitas.
2. Perubahan terencana (planned change) ialah perubahan ini terjadi karena
memang direncanakan sendiri oleh subjek.
3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah
perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program
baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami
perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap
orang mempunyai kesedian untuk berubah yang berbeda-beda.
2.3. Informasi
Arti kata informasi adalah suatu berita yang mengandung maksud tertentu.
Manusia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang selalu ingin dibagikan kepada
orang lain. Pengalaman atau pengetahuan yang dikomunikasikan kepada orang lain
tersebut merupakan pesan atau informasi. Jadi, pesan atau informasi menuntut adanya
mengatakan bahwa informasi adalah suatu data yang sudah diolah menjadi sebuah
bentuk yang berarti bagi pengguna, yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan
saat ini atau mendukung sumber informasi. Sebuah data belum memiliki nilai
sedangkan informasi sudah memiliki nilai yang manfaatnya lebih besar dibanding
biaya untuk mendapatkannya. Kemudahan seseorang dalam hal untuk memperoleh
informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan
yang baru.
Informasi yang berkualitas memiliki 3 kriteria, yaitu :
1. Akurat (accurate)
Informasi harus bebas dari kesalahan, tidak bias ataupun menyesatkan.
Akurat juga berarti bahwa informasi itu harus dapat dengan jelas
mencerminkan maksudnya.
2. Tepat pada waktunya (timeliness)
Informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. Di dalam
pengambilan keputusan, informasi yang sudah usang tidak lagi
bernilai. Bila informasi datang terlambat sehingga pengambilan
keputusan terlambat dilakukan, hal itu dapat berakibat fatal.
3. Relevan (relevance)
Informasi yang disampaikan harus mempunyai keterkaitan dengan
maslaah yang akan dibahas dengan informasi tersebut dan harus
bermanfaat bagi pemakainya. Di samping karakteristik, nilai informasi
information) ditentukan oleh dua hal, yaitu manfaat dan biaya untuk
mendapatkannya
2.4. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Pendidikan Seks
1. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup terhitung dari sejak lahir sampai
dengan sekarang (ulang tahun terakhir). Dengan bertambahnya umur
seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental),
dimana pada aspek psikologi ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan
dewasa artinya semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa lebih dipercaya dari
orang yang belum tinggi kedewasaannya.
Menurut Anonim (2011) bahwa usia memengaruhi terhadap daya tangkap
dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang
pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperolehnya semakin membaik.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan
perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan
menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil
dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan
dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi
(Anonim, 2013).
3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan berupa bimbingan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung
seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi,
baik dari orang lain maupun dari media massa sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat terutama dalam hal kesehatan (Anonim, 2011).
4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Anderson
dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu
diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Media massa (cetak dan elektronik)
Media massa adalah sebagai alat bantu untuk menyampaikan pesan-pesan
dengan sangat bervariasi yang paling banyak digunakan dalam komunikasi
massa (Notoatmodjo, 2003). Kemunculan berbagai media massa memiliki dua
pengaruh, yaitu pengaruh positif dan negatif. Dengan adanya media massa
untuk meningkatkan pengetahuan yang akhirnya dapat berubah kearah positif
terhadap kesehatan (Notoatmodjo,2005).
2.5. Remaja
2.5.1. Pengertian Masa Remaja
Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan
manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri yang bersumber dari
kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa (Agustiani, 2009).
2.5.2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Jahja (2011), ciri-ciri masa remaja yaitu:
1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal
yang dikenal sebagai masa storm & stress.
2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai dengan kematangan
seksual.
3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan
orang lain.
4. Perubahan nilai, di mana apa yang mereka anggap penting pada masa
kanak-kanak menjadi kurang penting karena telah mendekati dewasa.
5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan
yang terjadi.
2.5.3. Perkembangan Masa Remaja
Menurut Agustiani (2009) masa ini hampir selalu merupakan masa-masa sulit
1. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan
pendapatnya sendiri. Tidak terhindarkan, ini dapat menciptakan ketegangan
dan perselisihan, dan dapat menjauhkan ia dari keluarganya.
2. Remaja lebih mudah dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih
lebih muda. Ini berarti pengaruh orangtua pun melemah.
3. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa, baik pertumbuhan
maupun seksualitasnya. Perasaan seksual yang mulai muncul dapat
menakutkan, membingungkan, dan menjadi sumber perasaan salah dan
frustasi.
4. Remaja sering menjadi terlalu percaya diri dan ini bersama-sama dengan
emosinya yang biasanya meningkat, mengakibatkan ia sukar menerima
nasihat orangtua.
2.5.4. Tahap Perkembangan Masa Remaja
Menurut Jahja (2011), bahwa tahap perkembangan masa remaja adalah
sebagai berikut:
1. Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orangtua. Fokus pada tahap ini adalah penerimaan
terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat
2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru.
Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah
lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini
remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang
berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu
penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3. Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang
dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan
yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok sebaya dan
orang dewasa, juga menjadi ciri dalam tahap ini.
2.6. Pendidikan Seks
2.6.1. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas
manusia yang jelas dan benar, yang meliputi terjadinya pembuahan, kehamilan,
tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaaan dan
kemasyarakatan (Sarwono, 2011). Pendidikan tentang tingkah laku yang baik
sehubungan dengan masalah-masalah seks dengan mengutamakan pendidikan
tingkah laku yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan, sebab hal
pendidikan seks memang tidak dapat dihindari pembahasan pengetahuan tentang
seks dalam arti keilmuan (seksologi) (Wuryani, 2008). Pendidikan seks merupakan
proses pembudayaan diri sendiri dalam kehidupan bersama orang lain, yang harus
ditempatkan dalam konteks keluarga dan masyarakat (Tukan, 1993).
Wuryani (2008) mengatakan bahwa supaya informasi tentang seks dapat
dipahami dengan baik oleh anak, maka orangtua harus bersikap jujur berdasarkan
pengalaman mereka sendiri dalam perkawinan yang memuaskan dan
membahagiakan, sehingga anak mengetahui bagaimana perilaku dua orang yang
saling berbeda itu terhadap satu sama lain: saling menunjukkan cinta, saling
menghormati, dan saling menghargai. Sebelum orangtua memberikan pendidikan
seks, mereka harus memperlengkapi diri terlebih dahulu dengan pengetahuan lain,
yaitu pengetahuan tentang perkembangan psikoseksual pada anak-anak terutama
dalam masa remaja.
Ada beberapa catatan mengenai hal ini:
1. Masa remaja adalah masa yang paling penting daibandingkan dengan masa
kanak-kanak ditinjau dari sudut psikoseksual. Pada masa remaja ini anak
perempuan sudah mulai haid pertama dan anak laki-laki mulai mimpi basah
dengan perubahan rohaniah dan kejiwaan (tubuh, roh dan jiwa).
2. Pada gadis mulai umur 10 atau 11 tahun perubahan yang mulai tampak yaitu
buah dada yang membesar dan tumbuh bulu-bulu di bagian ketiak dan
kemaluannya. Pada anak laki-laki perubahan dimulai kira-kira 1 atau 2 tahun
kemudian, yaitu pada umur 11-14 tahun yaitu ditandai dengan bertambah
kemaluannya. Tanda lain yaitu membesarnya tulang kerongkongan yang
menyebabkan perubahan pada suaranya.
3. Di bidang rohaniah terjadi peubahan-perubahan besar yaitu dengan memiliki
tanggung jawab yang besar namun pada masa ini anak berada dalam masa
krisis yang tidak bisa begitu saja menyesuaikan diri dengan lingkungannya
karena adanya perasaan mudah gelisah, tidak tenang, murung, mudah
tersinggung dan marah, daan kurang berkonsentrasi.
4. Pada umur sekitar 13 atau 14 tahun, anak remaja belum mempunyai kontak
yang intim dengan orang lain. Tetapi pada umur 15 tahun ataupun
sebelumnya mulai menunjukkan adanya perubahan. Dimana anak laki-laki
mulai tertarik dengan perempuan dan sebaliknya.
5. Tanpa kita sadari anak sudah masuk ke masa antara 17-22 tahun yaitu pada
masa adolensia yang sudah mengarah menuju kedewasaan.
2.6.2. Tujuan Pendidikan Seks
Tujuan pendidikan seks adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang
sehat terhadap masalah seksual dengan membimbing anak dan remaja ke arah hidup
dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini
dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu sebagai suatu yang
menjijikkan atau kotor. Dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah
bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu atau ingin mencoba hubungan seksual
antara remaja, akan tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas
dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat