• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGUNG SETIAWAN

NIM 091501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AGUNG SETIAWAN

NIM 091501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL

BUNGA PEPAYA JANTAN (

Carica papaya

L

.)

PADA MENCIT JANTAN

OLEH:

AGUNG SETIAWAN NIM 091501051

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 15 Juli 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 130953857 NIP 195301011983031004

Pembimbing II, Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130953857

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, S.Si., M.Si., Apt. NIP 195709091985112001 NIP 197506102005012003

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica

papaya L.) Pada Mencit Jantan. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan

Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama

perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt.,

yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberikan petunjuk

dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima

kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku

ketua penguji juga kepada Ibu Dr

telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan I

membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga

tercinta, Ayahanda Alm. Muhammad Rusli dan Ibunda Tukarni, serta kakanda

dan abangda tercinta Teti Irawati, Dewi Utari, Dedi Ahmad Fauzi, Sri Ayu Rizky

(5)

kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima

kasih kepada Geje, Sulek, Makmor, Halem, Nurol, Iwen, Panjang, Sus, Ceripel,

dan semua teman-teman masinis 2009 yang telah mendoakan, membantu dan

memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah membalas segala budi

baik dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan

khususnya di bidang farmasi.

Medan, 15 Juli 2014 Penulis,

(6)

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

Abstrak

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae, ekstrak etanolnya berkhasiat sebagai antimutagenik, antioksidan, antibakteri dan antikanker payudara. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ).

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan dengan rotary evaporator ± 40oC dandi freeze dryer ± -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 25 ekor dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol diberi akuades, perlakuan diberi EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb yang diberi secara oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS) versi 19.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Mencit yang mati pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak ada dijumpai sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05) yaitu kontrol (35,20 IU/L), EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L), dosis 2000 mg/kg bb (70,80 IU/L), rata-rata kadar ALT ketiga kelompok tersebut masih dalam batas normal, sedang dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L), dosis 8000 mg/kg bb (97,00 IU/L) sudah di atas batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai perubahan organ, yang berarti EEBPJ toksik pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb.

(7)

Subchronic Toxicity Test Ethanol Extract Of Male Papaya Flowers (Carica papaya L.) On Male Mice

Abstract

Subchronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that appear after administration of the test preparation with repeated doses which are given orally to test animals for 28 or 90 days. Male papaya flowers (Carica papaya L.) is included in Caricaceae family which its ethanol extract can be used as antimutagenic, antioxidant, antibacterial and breast anticancer. The purpose of this study is to determine the toxic effects and safety range dose ethanol extract of male papaya flowers (EEBPJ).

Simplex powder was macerated by ethanol 80% and evaporated by using rotary evaporator ± 40oC and freeze dried ± -40oC then obtained extract was tested for its subchronic toxicity using 25 mice which were divided into 5 groups: control group was given distilled water, the treatment groups which were given with EEBPJ dose 1000, 2000, 4000 and 8000 mg/kg bw which were administered orally everyday for 28 days. Observations were conducted everyday including toxic symptoms, weight loss, death, measurement of ALT level, macropathology and histopathology of liver then data were analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS) version 19.

The results showed that there were no toxic symptoms in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed toxic symptoms. Result of statistic showed no significant difference in weight gain within treatment groups given with EEBPJ (p > 0.05). Death mice in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw didnt show, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed. Result of ALT level showed significant differences within all groups (p < 0.05), which were control group (35.20 IU/L), EEBPJ dose 1000 mg/kg bw (56.40 IU/L), EEBPJ dose 2000 mg/kg bw (70.80 IU/L), ALT level of these three groups were still in the normal state, whereas ALT level in treatment groups given EEBPJ dose 4000 mg/kg bw (88.50 IU/L) and EEBPJ dose 8000 mg/kg bw (97.00 IU/L) exceeds the upper limit of normal state. Macropathology and histopathology of liver result in the control group and treatment groups given with EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw showed no changed while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed changed organ, which mean EEBPJ were toxic at dose 4000 and 8000 mg/kg bw.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Tumbuhan ... 5

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 5

2.1.2 Morfologi tumbuhan ... 5

2.1.3 Nama daerah ... 6

2.1.4 Kandungan kimia ... 7

(9)

2.2 Ekstraksi ... 7

2.3 Toksisitas ... 9

2.3.1 Toksisitas umum ... 10

2.3.1.1 Toksisitas akut ... 10

2.3.1.2 Toksisitas subkronik ... 10

2.3.1.3 Toksisitas kronik ... 11

2.3.2 Toksisitas khusus ... 11

2.3.2.1 Uji teratogenik ... 11

2.3.2.2 Uji mutagenik ... 12

2.3.2.3 Uji karsinogenik ... 12

2.4 Hati ... 12

2.4.1 Anatomi hati ... 13

2.4.2 Fisiologi hati ... 13

2.4.3 Histologi hati ... 14

2.4.4 Intoksikasi hati ... 15

2.5 ALT (Alanin Aminotransferase) ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan ... 18

3.1.1 Alat ... 18

3.1.2 Bahan ... 18

3.2 Hewan Percobaan ... 18

3.3 Penyiapan Sampel ... 19

3.3.1 Pengumpulan tumbuhan ... 19

3.3.2 Identifikasi tumbuhan ... 19

(10)

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan ... 19

3.5 Pengujian Efek Toksistas ... 20

3.5.1 Pembuatan sediaan uji ekstrak etanol bunga pepaya jantan ... 20

3.5.2 Uji pendahuluan ... 20

3.5.3 Pengujian toksisitas subkronik ... 20

3.5.4 Pengamatan ... 21

3.5.4.1 Gejala toksik ... 21

3.5.4.2 Berat badan ... 21

3.5.4.3 Kematian hewan ... 21

3.5.4.4 Pengukuran kadar ALT ... 22

3.5.4.5 Makropatologi ... 22

3.5.4.6 Histopatologi organ hati ... 22

3.5.5 Analisis statistik ... 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 23

4.2 Hasil Ekstraksi Serbuk Bunga Pepaya Jantan ... 23

4.3 Hasil Uji Pendahuluan ... 23

4.4 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronik ... 23

4.4.1 Hasil pengamatan gejala toksik ... 24

4.4.2 Hasil pengamatan berat badan ... 25

4.4.3 Hasil pengamatan kematian ... 26

4.4.4 Hasil pengukuran kadar ALT ... 27

4.4.5 Hasil pengamatan makropatologi ... 28

(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil pengamatan gejala toksik ... 24

4.2 Hasil rata-rata berat badan ... 25

4.3 Hasil pengamatan kematian ... 26

4.4 Hasil pengamatan makropatologi ... 28

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4

2.1 Anatomi hati ... 13

2.2 Histologi hati ... 14

4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT ... 27

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 43

2 Gambar tumbuhan bunga pepaya jantan ... 44

3 Simplisia dan serbuk bunga pepaya jantan ... 45

4 Bagan pembuatan ekstrak ….. ... 46

5 Bagan alur penelitian uji toksisitas subkronik ... 47

6 Contoh perhitungan dosis ... 48

7 Hasil uji pendahuluan ... 49

8 Hasil pengukuran kadar ALT ... 50

9 Hasil rata-rata kadar ALT ... 51

10 Hasil gambar makropatologi organ hati ... 52

11 Gambar alat, bahan dan objek yang digunakan ... 54

12 Gambar hewan percobaan yang digunakan ... 56

13 Hasil analisis spss berat badan ... 57

(15)

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

Abstrak

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari. Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae, ekstrak etanolnya berkhasiat sebagai antimutagenik, antioksidan, antibakteri dan antikanker payudara. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek toksik dan mengetahui batas keamanan dosis ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ).

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan dengan rotary evaporator ± 40oC dandi freeze dryer ± -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkroniknya menggunakan mencit sebanyak 25 ekor dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol diberi akuades, perlakuan diberi EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb yang diberi secara oral setiap hari selama 28 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi gejala toksik, berat badan, kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati, kemudian dianalisis statistik dengan ANOVA menggunakan Statistical Program Service Solution (SPSS) versi 19.

Hasil pengamatan tidak ditemukan gejala toksik pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik. Hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Mencit yang mati pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak ada dijumpai sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai. Hasil rata-rata kadar ALT terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05) yaitu kontrol (35,20 IU/L), EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L), dosis 2000 mg/kg bb (70,80 IU/L), rata-rata kadar ALT ketiga kelompok tersebut masih dalam batas normal, sedang dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L), dosis 8000 mg/kg bb (97,00 IU/L) sudah di atas batas normal. Hasil makropatologi dan histopatologi organ hati pada kelompok kontrol, EEBPJ dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak dijumpai perubahan sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb dijumpai perubahan organ, yang berarti EEBPJ toksik pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb.

(16)

Subchronic Toxicity Test Ethanol Extract Of Male Papaya Flowers (Carica papaya L.) On Male Mice

Abstract

Subchronic toxicity test is a test to detect the toxic effects that appear after administration of the test preparation with repeated doses which are given orally to test animals for 28 or 90 days. Male papaya flowers (Carica papaya L.) is included in Caricaceae family which its ethanol extract can be used as antimutagenic, antioxidant, antibacterial and breast anticancer. The purpose of this study is to determine the toxic effects and safety range dose ethanol extract of male papaya flowers (EEBPJ).

Simplex powder was macerated by ethanol 80% and evaporated by using rotary evaporator ± 40oC and freeze dried ± -40oC then obtained extract was tested for its subchronic toxicity using 25 mice which were divided into 5 groups: control group was given distilled water, the treatment groups which were given with EEBPJ dose 1000, 2000, 4000 and 8000 mg/kg bw which were administered orally everyday for 28 days. Observations were conducted everyday including toxic symptoms, weight loss, death, measurement of ALT level, macropathology and histopathology of liver then data were analyzed by ANOVA using the Statistical Program Service Solution (SPSS) version 19.

The results showed that there were no toxic symptoms in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed toxic symptoms. Result of statistic showed no significant difference in weight gain within treatment groups given with EEBPJ (p > 0.05). Death mice in the control group, EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw didnt show, while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed. Result of ALT level showed significant differences within all groups (p < 0.05), which were control group (35.20 IU/L), EEBPJ dose 1000 mg/kg bw (56.40 IU/L), EEBPJ dose 2000 mg/kg bw (70.80 IU/L), ALT level of these three groups were still in the normal state, whereas ALT level in treatment groups given EEBPJ dose 4000 mg/kg bw (88.50 IU/L) and EEBPJ dose 8000 mg/kg bw (97.00 IU/L) exceeds the upper limit of normal state. Macropathology and histopathology of liver result in the control group and treatment groups given with EEBPJ dose 1000 and 2000 mg/kg bw showed no changed while EEBPJ dose 4000 and 8000 mg/kg bw showed changed organ, which mean EEBPJ were toxic at dose 4000 and 8000 mg/kg bw.

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam

lingkungan. Secara umum toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, sub kronik

dan kronik (Priyanto, 2009). Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian

untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan

dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari

(OECD, 2008).

Hati merupakan organ dalam tubuh yang terlibat dalam metabolisme suatu

zat (Lu, 1995). Hati sering menjadi organ sasaran karena zat makanan, sebagian

besar obat-obatan serta toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal

dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati

menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum

organ lain (Santoso dan Nurlaini, 2006). Pemeriksaan enzim seringkali menjadi

satu-satunya petunjuk adanya kerusakan pada sel hati. Gangguan hati ditandai

dengan peningkatan aktivitas serum aminotransferase berupa ALT (Alanin

Aminotransferase) (Widmann, 1995).

Masyarakat selama ini beranggapan bahwa obat tradisional tidak bisa

menyebabkan keracunan tetapi karena mengandung zat kimia dan digunakan

dalam waktu yang panjang maka efek toksik bisa saja terjadi. Oleh karena itu

perlu terlebih dahulu dilakukan uji keamanan sebagai dasar untuk menjadikan

(18)

Obat tradisional agar dapat diterima di masyarakat maupun pelayanan

kesehatan, maka harus didukung secara ilmiah adanya khasiat dan keamanan

penggunaannya pada manusia (Dewoto, 2007).

Salah satu tumbuhan berkhasiat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat dan

makanan adalah bunga pepaya jantan (Carica papaya L.), famili Caricaceae

daunnya hal ini disebabkan oleh kandungan alkaloid carpein (C14H25NO2) (Kalie,

1996; Anonim, 2013). Alkaloid banyak digunakan dalam pengobatan (Sumardjo,

2008). Golongan alkaloid dikenal dengan toksisitasnya, namun tidak semua

senyawa alkaloid bersifat toksik (Simbala, 2009).

Hasil skrining bunga pepaya jantan ditemukan adanya alkaloid,

flavonoida, tannin dan steroida-triterpenoida (Henova, 2012). Hasil karakterisasi

simplisia bunga pepaya jantan diperoleh kadar air 7,32%, kadar sari larut dalam

air 19,25%, kadar sari larut dalam etanol 10,61%, kadar abu total 2,25% dan kadar

abu tidak larut asam 0,22% (Sitorus, 2012). Hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap khasiat bunga pepaya jantan antara lain, ekstrak etanol sebagai

antimutagenik (Sitorus, 2012), fraksi etil asetat sebagai antimutagenik (Fransisca,

2012), ekstrak etanol sebagai antioksidan (Henova, 2012), ekstrak metanol

sebagai antibakteri (Iman, 2009) dan ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi

etilasetat sebagai antioksidan dan antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan pengujian

toksisitas subkronik ekstrak etanol bunga pepaya jantan (EEBPJ) pada mencit

jantan, mengingat pemanfaatannya yang beragam dan belum ditemukan informasi

(19)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada

penelitian ini adalah:

a. apakah EEBPJ berpengaruh terhadap gejala toksik mencit jantan?

b. apakah EEBPJ berpengaruh terhadap berat badan mencit jantan?

c. apakah EEBPJ memberikan efek toksik pada organ hati mencit jantan?

d. berapakah batas keamanan dosis EEBPJ terhadap mencit jantan?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian

ini diduga:

a. EEBPJ berpengaruh terhadap gejala toksik mencit jantan.

b. EEBPJ tidak berpengaruh terhadap berat badan mencit jantan.

c. EEBPJ memberikan efek toksik pada organ hati mencit jantan.

d. EEBPJ aman digunakan pada dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui:

a. pengaruh EEBPJ terhadap gejala toksik mencit jantan.

b. pengaruh EEBPJ terhadap berat badan mencit jantan.

c. pengaruh EEBPJ terhadap organ hati mencit jantan.

(20)

1.5Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi

mengenai efek toksik yang ditimbulkan dari EEBPJ dan memberikan informasi

mengenai batas keamanan dosis dari EEBPJ serta sebagai acuan uji klinik untuk

dijadikan sebagai obat.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap mencit jantan yang diberikan EEBPJ selama

28 hari. Tardapat 5 variabel bebas yaitu kelompok kontrol (akuades), perlakuan

EEBPJ dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb. Variabel terikat potensi

ketoksikan seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.1.

Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae yang merupakan tanaman berasal dari Amerika tropis dimana pusat penyebarannya berada di

daerah Meksiko bagian selatan dan Nikaragua (Kalie, 1996). Di Indonesia pepaya

tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga

kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1-1000 meter dari

permukaan air laut (BPOM, 2010).

2.1.1Sistematika tumbuhan

Tumbuhan pepaya memilki sistematika sebagai berikut (BPOM, 2008):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Cistales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L.

2.1.2Morfologi tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman herba dengan batang

berongga, biasanya tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter.

Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan

tangkai daun panjang (BPOM, 2008). Bunga pepaya terdiri dari bunga jantan,

(22)

Secara morfologis, bunga pepaya jantan termasuk bunga majemuk yang

memiliki bentuk serupa terompet kecil warnanya kuning pucat cenderung putih

dan dilengkapi dengan tangkai yang memanjang (Anonim, 2013). Bunga pepaya

jantan adalah bunga yang hanya memiliki benang sari saja dengan panjang

kira-kira 2,5 cm. Mahkota terdiri dari lima helai dan berukuran kecil-kecil. Benang sari

berjumlah 10 yang tersusun menjadi dua lapis (Kalie, 1996).

2.1.3Nama daerah

Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai

macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara,

Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM, 2010).

Sumatera : kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates,

kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih,

pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang,

punti kayu.

Jawa : gedang, ketela gantung, kates, gedhang.

Kalimantan : bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang

mentela, gadang, bandas.

Nusa Tenggara : gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu,

paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa, kasi.

Sulawesi : kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa,

tangan-tangan nikare, kaliki, rianre.

Maluku : tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya,

sempain, tapaya, kapaya.

(23)

2.1.4 Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining bunga pepaya

jantan menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,

steroid-triterpenoid (Henova, 2012).

2.1.5 Khasiat tumbuhan

Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat (Kalie,

1996). Daunnya berkhasiat sebagai antibakteri (Kalie, 1996; Setyowati, dkk.,

2011), antimalaria (Kalie, 1996; Rehena, 2010), antijerawat (Budiman, dkk.,

2010), analgesik (Lasarus, dkk., 2013), antikanker (Sukardiman, dkk., 2006),

penambah nafsu makan (Heyne, 1987; Kalie 1996).

Bunganya berkasiat sebagai antimutagenik (Sitorus, 2012; Fransisca,

2012), antioksidan (Henova, 2012; Suwarso, dkk., 2013), antibakteri (Iman,

2009), antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013). Bijinya berkhasiat sebagai

antibakteri (Martiasih, dkk., 2011), mengobati cacing kremi (Kalie, 1996).

Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan saruni, 2006),

gangguan saluran kencing (Kalie, 1996), antidiuretik (BPOM, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu

pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat

digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.

Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan

mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM,

(24)

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung (Depkes, 1979). Metode ekstraksi yang umum digunakan

dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen POM, 2000) yaitu:

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan

remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam

bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan

penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam.

3. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi

menuju pendingin dan kembali ke labu.

4. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang

selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan

(25)

5. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada

temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50°C.

6. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 15 menit.

7. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Toksisitas

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan

(Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik

suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas

dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi

mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada

manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan

manusia (OECD, 2008).

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji

untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji

toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik)

dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Dewoto, 2007;

(26)

2.3.1Toksisitas umum 2.3.1.1Toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik

yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam

dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan

dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (potensi

ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin kecil harga LD50

maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat

dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per

kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan

kematian (OECD, 2001).

2.3.1.2Toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek

toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang

diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi

adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi

kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang

dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik

dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut

(OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang

rentan) (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa

(27)

dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan

harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan

pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup

diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap

organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia

klinis dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.1.3Toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji

berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto,

2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas

subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12

bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik,

monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,

biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD,

2008).

2.3.2Toksisitas khusus 2.3.2.1Uji teratogenik

Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi

adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa

perkembangan embrio (Priyanto, 2009).

Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan

kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa

organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat sebelum

waktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD,

(28)

2.3.2.2Uji mutagenik

Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi

mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa. Efek

mutagenik merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat

genetika sel tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).

2.3.2.3Uji karsinogenik

Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi

mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1995) dan

untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat

menimbulkan kanker . Uji ini dilakukan jika nantinya obat akan digunakan dalam

jangka panjang selama 2 tahun (Priyanto, 2009).

2.4Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah

hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati oleh karenanya

berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati

disebut hepatotoksik (Wisaksono, 2002).

2.4.1Anatomi hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat

rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di

bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan

utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004).

Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut

terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).

(29)

Gambar 2.1 Anatomi hati

Secara anatomi hati terdiri dari beberapa lobus tergantung pada

spesiesnya, untuk mencit terdapat empat lobus (lobus medial, kaudal, lateral kiri

dan lateral kanan) (Harada, et al., 1999). Setiap lobus hati terdiri dari beberapa

lobulus yang terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena

sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel

kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2007).

2.4.2Fisiologi hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar

obat dan toksikan (Lu, 1994). Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan

kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu :

a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu

liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi

(30)

b. Fungsi metabolik

Hati berperaan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,

vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea,

untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.

c. Fungsi pertahanan tubuh

Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan

oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau

konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat

yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer

yang terdapat di dinding sinusoid hati.

2.4.3Histologi hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Di bagian tengah

setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial

oleh sel-sel hati (hepatosit) (Junqueira dan Corneiro, 2007). Gambar histologi hati

dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut (Eroschenko, 2010).

(31)

Sel hati bebentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah dan

kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak

sempurna (Dellman and Brown 1992). Sel tersebut terletak di antara sinusoid

yang berisi darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin

dibawa dari usus kemudian masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati

sinusoid menuju vena sentralis (Macfarlane, et al., 2000).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri hepatika

kiri dan kanan, dan darah vena dari vena porta hepatika yang mengalir dari

saluran pencernaan dan limpa (Underwood, 1994). Sebanyak 80% dari aliran

darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya

(20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen. Darah

meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava

inferior (Underwood, 1994).

2.4.4Intoksikasi hati

Metabolisme umumnya berlangsung di hati karena di hati banyak terdapat

enzim pemetabolisme. Tujuannya adalah membuat senyawa menjadi lebih polar

sehingga mudah dieksresikan dan menjadi kurang toksik, namun ada senyawa

tertentu yang setelah mengalami metabolisme menjadi lebih toksik (Priyanto,

2009).

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset

pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan

(Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara

(reversible) dan tetap (irreversible) (Wisaksono, 2002). Sel akan mengalami

perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidupnya, perubahan ini biasa

(32)

disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang

bersifat toksik (Cheville, 1999).

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di

intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan

membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan

terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air

masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon

awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal

dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur

oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan

mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto,

2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga

terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat

atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan

tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat

terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur

bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood,

1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan

kerusakan akut (Lu, 1995).

2.5ALT (Alanine Aminotransferase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam

organ hati adalah dengan mengukur serum aminotransferase yaitu ALT (Alanine

(33)

dkk., 2005). ALT memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa

keto-glutamat, fungsi ini penting untuk pembentukan asam-asam amino yang

dibutuhkan untuk menyusun protein di hati (Sacher dan Richard, 2004).

ALT merupakan enzim aminotransferase yang dibuat dalam sel hati

(hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim

lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan AST terdapat lebih banyak di

jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012).

ALT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada AST (Sherlock, 1981; Bauer,

1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama pada

kerusakan dalam hati dibandingkan dengan AST (Hadi, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut

berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher

dan Richard, 2004). Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat

diketahui dengan mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran

darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis.

Pemeriksaan enzim seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati

yang dini atau setempat (Widman, 1995). ALT darah mencit normal adalah 1777

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian yaitu pengumpulan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan

simplisia, pembuatan ekstrak, pengamatan meliputi gejala toksik, berat badan,

kematian, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan histopatologi organ hati

kemudian dilakukan analisis statistik.

3.1Alat dan Bahan 3.1.1Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas

laboratorium, alat bedah (Wells spencer), alat destilasi, blender (Miyako), freeze

dryer (Edward), kamera digital, lemari pengering, neraca digital (Vibra), neraca

hewan (Presica Geniweigher GW-1500), neraca kasar (ohaus), oral sonde, rotary

evaporator (heidolph VV-300) dan spuit 1 ml (Terumo).

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan

tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan yaitu bunga pepaya

jantan (Carica papaya L.). Bahan kimia yang digunakan yaitu akuades, etanol

80%, formalin 10%, kloroform dan natrium klorida 0,9%.

3.2 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat

badan 25-35 gram, berumur 2-3 bulan. Sebelum pengujian, mencit diaklimatisasi

terlebih dahulu selama 7-14 hari. Sebanyak 25 ekor mencit dibagi dalam 5

(35)

3.3 Penyiapan Sampel

3.3.1 Pengumpulan tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Tumbuhan yang

digunakan adalah bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) yang diperoleh dari

desa Gunung Berkat, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Provinsi

Sumatera Utara.

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) dilakukan di

Herbarium Medanense (MEDA), Universitas Sumatera Utara.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) yang masih segar dipisahkan dari

tangkainya, dicuci kemudian ditiriskan dan ditimbang beratnya sebagai berat

basah (6200 g). Selanjutnya dikeringkan dalam lemari pengering hingga kering

yang ditandai dengan sampel mudah dipatahkan, kemudian ditimbang kembali

sebagai berat kering selanjutnya diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk

simplisia (1200 g). Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi

etiket dan disimpan di tempat yang sesuai.

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan

Pembuatan EEBPJ dilakukan secara maserasi menggunakan etanol 80%.

Cara kerja:

Sebanyak 1200 g serbuk simplisia bunga pepaya jantan dimasukkan ke

dalam bejana, kemudian dituangi dengan 9 liter etanol 80%. Ditutup dan

(36)

diperas. Ampas dicuci kembali dengan 3 liter etanol 80%, dipindahkan ke dalam

bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari,

selanjutnya disaring (Depkes RI, 1979). Maserat etanol yang diperoleh diuapkan

dengan menggunakan rotary evaporator ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental

kemudian dipekatkan dengan freeze dryer ± -40oC.

3.5 Pengujian Efek Toksisitas

Pengujian efek toksisitas meliputi pembuatan sediaan uji EEBPJ, uji

pendahuluan, pengujian toksisitas subkronik meliputi gejala toksik, perubahan

berat badan, kematian hewan, pengukuran kadar ALT, makropatologi dan

histopatologi organ hati.

3.5.1 Pembuatan sediaan uji ekstrak etanol bunga pepaya jantan

Sediaan uji dibuat dengan konsentrasi 25%, ditimbang ekstrak kemudian

dimasukkan ke dalam lumpang, dan ditambahkan akuades digerus hingga merata.

Sediaan uji EEBPJ dimasukkan ke dalam labu ukur, cukupkan dengan akuades

hingga dicapai batas volume.

3.5.2 Uji pendahuluan

Sebanyak 10 ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok, setiap kelompok

terdiri dari 2 ekor. Kelompok kontrol diberi akuades 1% bb, kelompok perlakuan

diberi EEBPJ dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb secara oral selama 28 hari

dan dilakukan pengamatan (Hasti, dkk., 2012).

3.5.3Pengujian toksisitas subkronik

Berdasarkan hasil uji pendahuluan maka didapatkan dosis untuk dilakukan

(37)

masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit yaitu: kelompok kontrol (1) dan

kelompok perlakuan (2-5).

- Kelompok 1: kontrol, diberi akuades 1% bb - Kelompok 2: diberi EEBPJ dosis 1000 mg/kg bb - Kelompok 3: diberi EEBPJ dosis 2000 mg/kg bb - Kelompok 4: diberi EEBPJ dosis 4000 mg/kg bb - Kelompok 5: diberi EEBPJ dosis 8000 mg/kg bb 3.5.4Pengamatan

Penimbangan mencit dilakukan pada hari ke-0 kemudian pada hari ke-1

diberi sediaan uji secara oral setiap hari selama 28 hari dan dilakukan pengamatan

(OECD, 2008; Krysanti dan Widjanarko, 2014; Murtini, dkk., 2010; Prasetyawati,

dkk., 2004).

3.5.4.1Gejala toksik

Pengamatan dilakukan 3 jam pertama setelah pemberian sediaan uji

(Prasetyawati, dkk., 2004). Pengamatan untuk gejala toksik diamati adanya

kejang, salivasi, diare, lemas, perubahan bulu, gerak-gerik mencit seperti berjalan

mundur dan berjalan dengan perut (OECD, 2008).

3.5.4.2Berat badan

Mencit ditimbang setiap hari selama 28 hari untuk menentukan volume

sediaan uji yang akan diberikan. Perubahan berat badan dianalisis seminggu

sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih hidup ditimbang dan diotopsi

(OECD, 2008).

3.5.4.3Kematian hewan

Kematian mencit diamati dari hari pertama sampai hari terakhir dan

mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji segera diotopsi (Hendriani,

(38)

3.5.4.4Pengukuran kadar ALT

Pada akhir periode pemberian sediaan uji semua mencit yang masih hidup

diotopsi. Hewan dianestesi dengan kloroform kemudian darah diambil melalui

jantung (intra cardiac) secara perlahan-lahan menggunakan alat suntik steril

sebanyak 1-3 ml. Sebanyak 1 ml darah dimasukkan ke dalam tabung

mikrosentrifuge dan didiamkan pada suhu kamar selama 10 menit, kemudian

dipindahkan ke dalam tangas es dan segera disentrifuge selama 10 menit dengan

kecepatan 3000 rpm. Serum dipisahkan dan disimpan dalam lemari beku (OECD,

2008; Sagita, dkk., 2012). Kadar ALT selanjutnya diperiksa di Balai

Laboratorium Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

3.5.4.5Makropatologi

Mencit yang mati segera diotopsi dan dilakukan pengamatan (OECD,

2008). Pengamatan meliputi warna, permukaan dan konsistensi organ hati secara

visual (Anggraini, 2008).

3.5.4.6Histopatologi organ hati

Pada akhir periode pemberian sediaan uji semua mencit yang masih hidup

dianestesi dengan kloroform kemudian diotopsi, selanjutnya diambil organ hati

dan dicuci dengan larutan fisiologis 0,9% kemudian dimasukkan dalam larutan

dapar formaldehida 10% dan hasilnya dilihat di bawah mikroskop (OECD, 2008;

Hendriani, 2007). Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU.

3.5.5Analisis statistik

Pengamatan berat badan, pengukuran ALT dianalisis dengan

menggunakan one-way analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense (MEDA),

Universitas Sumatera Utara Medan, disebutkan sampel yang digunakan adalah

tumbuhan bunga pepaya jantan (Carica papaya L.) suku Caricaceae. Hasil

identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan gambar tumbuhan pada Lampiran

2.

4.2 Hasil Ekstraksi Serbuk Bunga Pepaya Jantan

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi menggunakan

pelarut etanol 80%. Hasil maserasi dari 1200 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak

kental 97,38 g (randemen 8,115%).

4.3 Hasil Uji Pendahuluan

Hasil uji pendahuluan selama 28 hari tidak ditemukan adanya gejala toksik

dan kematian serta tidak ada perbedaan yang signifikan antara kenaikan berat

badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05) pada kelompok kontrol maupun

kelompok perlakuan dosis 100, 200, 400 dan 800 mg/kg bb. Hasil uji pendahuluan

dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.4 Hasil Pengujian Toksisitas Subkronik

Berdasarkan hasil uji pendahuluan dari EEBPJ maka didapatkan dosis

untuk pengujian toksisitas subkronik yaitu dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000

mg/kg bb. Pengamatan dilakukan selama 28 hari meliputi gejala toksik, berat

(40)

4.4.1 Hasil pengamatan gejala toksik

Hasil pengamatan yang dilakukan setiap hari selama 28 hari terhadap

adanya kejang, salivasi, diare, lemas, perubahan bulu, gerak-gerik hewan seperti

berjalan mundur dan berjalan dengan perut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil pengamatan gejala toksik

Kelompok Kejang Salivasi Diare Lemas

Perubahan dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan; (-) = tidak menunjukkan gejala; (+) = menunjukkan adanya gejala

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pemberian EEBPJ tidak ditemukan adanya

gejala toksik pada kelompok kontrol dan perlakuan pada dosis 1000 dan 2000

mg/kg bb. Pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb ditemukan gejala toksik yaitu

terjadi kejang, lemas dan perubahan bulu pada mencit. Hal tersebut menunjukkan

adanya hubungan antara dosis dan efek toksik, dimana makin besar dosis yang

diberikan makin besar efek toksik yang timbul (Lu, 1995). Zat dapat

menimbulkan efek yang tidak diinginkan berkaitan dengan dosis yang diberikan

yaitu efek samping, efek merugikan dan efek toksik (Priyanto, 2009).

Setiap zat bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan

menimbulkan gejala-gejala toksik (Ganiswara, 1995). Hewan percobaan yang

bereaksi terhadap toksisitas suatu senyawa tertentu, akan disertai tanda-tanda

seperti bulu berdiri, diare, serta pembengkakan atau pembentukan warna merah

(41)

4.4.2 Hasil pengamatan berat badan

Penimbangan berat badan dilakukan setiap hari dari hari 0 sampai hari ke

28 untuk menentukan volume sediaan yang diberikan, sedangkan yang dianalisis

secara statistik dilakukan seminggu sekali. Rata-rata berat badan dapat dilihat

pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil rata-rata berat badan

Hari Rata-rata berat badan (g) ± SD

P1 P2 P3 P4 P5

0 25,80±0,64 25,72±0,51 25,76±0,63 25,80±0,44 25,94±0,47 7 32,58±4,31 34,22±1,69 32,92±1,88 33,92±2,34 36,92±4,74 14 34,40±4,05 35,04±5,49 34,50±4,56 34,56±1,95 40,10±7,91 21 34,04±3,46 35,34±6,68 35,96±3,98 35,06±2,45 44,50±- 28 35,76±2,03 36,18±6,95 36,42±4,14 36,05±0,49 44,70±- 29 35,28±1,80 35,84±7,19 35,58±3,97 34,70±0,56 43,10±- Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000

dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.2 hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan antara kenaikan berat badan dengan pemberian EEBPJ (p > 0,05). Hal

ini dapat dinyatakan bahwa pemberian EEBPJ selama 28 hari tidak berpengaruh

terhadap perkembangan berat badan mencit.

Parameter yang merupakan indikator sensitif untuk mengetahui toksisitas

yaitu gejala toksik dan berat badan. Hewan uji diamati setiap hari untuk gejala

toksik dan berat badan diukur secara berkala (Gupta dan Bhardwaj, 2012).

Berkurangnya pertambahan berat badan merupakan indeks efek toksik

yang sederhana namun sensitif (Lu, 1995). Kekurangan protein dalam ransum

dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Secara umum penambahan

berat badan akan dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan yang dimakan dan

(42)

4.4.3 Hasil pengamatan kematian

Mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji dapat dilihat pada

Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil pengamatan kematian

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.3 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000

mg/kg bb tidak ada mencit yang mati selama waktu pemberian sediaan uji, sedang

pada dosis 4000 mg/kg bb jumlah mencit yang mati 3 ekor dan dosis 8000 mg/kg

bb 4 ekor. Hal tersebut dikarenakan pemberian EEBPJ setiap hari selama 28 hari

sehingga terjadi kerusakan organ yang dapat menyebabkan kematian pada mencit.

Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam EEBPJ juga merupakan penyebab

kematian mencit. Alkaloid cukup toksik sehingga pemberian dalam jumlah yang

besar dapat menyebabkan kematian (Elya, dkk., 2010).

Suatu zat pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan

ditentukan oleh dosis dan cara pemberian, namun dosis merupakan faktor utama

yang terpenting (Ganiswara, 1995).

Efek toksik merupakan efek yang sangat berbahaya dan dapat

menyebabkan kematian. Efek toksik suatu zat dipengaruhi oleh zatnya, target

organ, besar dosis dan kondisi fisiologi membran biologi yang terpapar (Priyanto,

2009).

Kelompok Jumlah mencit Jumlah

(43)

35,2 4.4.4 Hasil pengukuran kadar ALT

Pengukuran kadar ALT dilakukan pada hari ke 29, hasil rata-rata kadar

ALT dapat dilihat pada Lampiran 9. Grafik rata-rata dapat dilihat pada Gambar

4.1.

Gambar 4.1 Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar ALT

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa terdapat adanya perbedaan yang

signifikan antara kelompok perlakuan (p < 0,05). Pada kelompok kontrol rata-rata

kadar ALT (35,20 IU/L), dosis 1000 mg/kg bb (56,40 IU/L) dan 2000 mg/kg bb

(70,80 IU/L), terlihat hasil rata-rata kadar ALT dari ketiga kelompok tersebut

masih dalam batas normal. Pada dosis 4000 mg/kg bb (88,50 IU/L) dan dosis

8000 mg/kg bb (97,00 IU/L), rata-rata kadar ALT kelompok tersebut di atas batas

normal. Kadar ALT darah mencit normal adalah 1777 IU/L (Anonymous,

2009).

Indikator yang spesifik untuk kerusakan hati adalah besarnya kandungan

(44)

(Sherlock, 1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Enzim ALT adalah enzim

yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati

dibandingkan dengan enzim lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan

dalam jantung, ginjal, otak dan otot rangka kurang jika dibandingkan dengan

SGOT (Hadi, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut

berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher

dan Richard, 2004).

4.4.5 Hasil pengamatan makropatologi

Hasil gambar makropatologi organ hati dapat dilihat pada Lampiran 10.

Hasil pengamatan makropatologi meliputi pengamatan warna, permukaan dan

konsistensi organ hati dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil pengamatan makropatologi

Kelompok Pengamatan

Warna Permukaan Konsistensi

P1 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P2 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P3 Merah kecoklatan Licin Kenyal

P4 Merah kehitaman Licin Kenyal

P5 Pucat Tidak licin Tidak kenyal

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan

Pada Tabel 4.4 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000

mg/kg bb organ hati masih dalam keadaan normal yang berwarna merah

kecoklatan, permukaannya licin dan konsistensinya kenyal. Kriteria normal pada

organ hati bila tidak ditemukan perubahan warna, perubahan struktur permukaan

dan perubahan konsistensi (Anggraini, 2008). Pada dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb

sudah terjadi perubahan warna menjadi merah kehitaman dan pucat. Perubahan

(45)

mendapatkan informasi mengenai toksisitas zat uji yang berkaitan dengan organ

sasaran dan efek terhadap organ tersebut (Lu, 1995).

4.4.6 Hasil histopatologi organ hati

Organ hati pada mencit yang mati segera diambil dan pada akhir periode

pemberian sediaan uji, semua mencit yang masih hidup diotopsi. Organ hati

diambil kemudian dibuat menjadi preparat histopatologi selanjutnya dilihat

kerusakan jaringan di bawah mikroskop, hasil kerusakan dapat dilihat pada Tabel

4.5.

Tabel 4.5 Hasil histopatologi berdasarkan kerusakan hepatosit

Keterangan: P = perlakuan; 1 = kontrol; 2, 3, 4 dan 5 = dosis 1000, 2000, 4000 dan 8000 mg/kg bb; bb = berat badan; (-) = normal; (+) = ringan; (++) = sedang; (+++) = parah

Pada Tabel 4.5 terlihat pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000

mg/kg bb tidak terjadi kerusakan hepatosit, sedang pada dosis 4000 dan 8000

mg/kg bb terjadi kerusakan hepatosit yaitu degenerasi hidropik dan nekrosis

dengan tingkat keparahan ringan sampai parah.

Penggunaan bahan obat yang sama dalam jangka waktu panjang dapat

menyebabkan penumpukan metabolit dalam hati yang bersifat toksik terhadap

hepatosit (Donatus, 2001). Organ-organ tubuh akan bekerja keras untuk

menyaring dan membuang senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan oleh tubuh

(Nisa, dkk., 2012). Hasil gambar histopatologi dari organ hati dapat dilihat pada

Gambar 4.2.

Kelompok Jenis kerusakan hepatosit

Degenerasi hidropik Nekrosis

P1 - -

P2 - -

P3 - -

P4 ++ +

(46)

Gambar 4.2 Gambar histopatologi organ hati dengan perbesaran (10x40)

Keterangan: kelompok kontrol

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 3

2

(47)

Keterangan: perlakuan dosis 1000 mg/kg bb

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 3

2

(48)

Keterangan: perlakuan dosis 2000 mg/kg bb

1 = hepatosit; 2 = vena sentral; 3 = sinusoid

3 2

1 1

3 2

(49)

Keterangan: perlakuan dosis 4000 mg/kg bb

1 = degenerasi hidropik; 2 = kariopiknosis; 3 = karioreksis; 4 = kariolisis; 5 = vena sentral; 6 = sinusoid

6 5

4 3 2 1 6

5

(50)

Keterangan: perlakuan dosis 8000 mg/kg bb

1 = degenerasi hidropik; 2 = kariopiknosis; 3 = karioreksis; 4 = kariolisis; 5 = vena sentral; 6 = sinusoid

6 5

4 3 2 1 6

5

(51)

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa kelompok kontrol, dosis

1000 dan 2000 mg/kg bb menunjukkan gambaran histopatologi masih dalam

keadaan normal yaitu dengan menunjukkan hepatosit tersusun secara radial dalam

lobulus hati. Celah antara lempeng-lempeng ini mengandung sinusoid-sinusoid

kapiler yang dinamakan sinusoid hati. Sinusoid merupakan pembuluh yang

melebar tidak teratur dan hanya terdiri atas satu lapisan endotel yang tidak

kontinyu (Junqueira dan Corneiro, 2007). Pada dosis 4000 dosis 8000 mg/kg bb

hepatosit sudah mengalami kerusakan yaitu sebagian dari hepatosit sudah

mengalami degenerasi hidropik hal ini terjadi karena adanya gangguan membran

sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma dan sebagian juga terjadi nekrosis.

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset pemaparan

yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan (Jubb, dkk.,

1993).

Hasil histopatologi tersebut sesuai dengan pengukuran kadar ALT dimana

pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb rata-rata kadar ALT masih

dalam batas normal, sedangkan pada kelompok dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb

rata-rata kadar ALT sudah di atas batas normal. Jika sel hati mengalami nekrosis

dapat segera dideteksi melalui peningkatan aktivitas enzim. Salah satu enzim yang

dihasilkan oleh hati dan peka terhadap kelainan fungsi hati adalah enzim ALT

(Elisma, dkk., 2009).

Hepatosit merupakan sebagian besar dari organ hati yang bertanggung

jawab terhadap metabolisme. Sel-sel ini terletak di antara sinusoid yang berisi

darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin dibawa

dari usus, masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju

(52)

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di

intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan

membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan

terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air

masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon

awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal

dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur

oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan

mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto,

2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga

terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat

atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan

tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat

terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur

bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood,

1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan

(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari

penelitian ini adalah:

a. EEBPJ pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak

berpengaruh terhadap gejala toksik sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb

berpengaruh pada mencit jantan.

b. EEBPJ sampai dengan dosis 8000 mg/kg bb tidak berpengaruh terhadap berat

badan mencit jantan.

c. EEBPJ pada kelompok kontrol, dosis 1000 dan 2000 mg/kg bb tidak

memberikan efek toksik sedang dosis 4000 dan 8000 mg/kg bb memberikan

efek toksik pada organ hati mencit.

d. EEBPJ pada dosis 4000 mg/kg bb mulai toksik terhadap mencit jantan.

5.2Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan kepada

peneliti selanjutnya untuk menguji toksisitas kronik EEBPJ pada organ hati,

ginjal, jantung dan lain sebagainya dan menguji toksisitas khusus EEBPJ seperti

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Adjirni dan saruni (2006). Penelitian Antiinflamasi dan Toksisitas Akut Ekstrak Akar Pepaya (Carica papaya L.) Pada Tikus Putih. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 129(3): 42-44.

Anderson, J.W., Nicolosi R.J., and Borzelleca J.F. (2005). Glucosamine Effects In Humans: A Review Of Effects On Glucose Metabolism, Side Effects, Safety Considerations And Efficacy. Food and Chem Toxicol. 43(18): 675-687.

Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopik dan Mikroskopik Hati dan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Halaman 52.

Anonim. (2013). Pepaya. Diakses tanggal 20 September 2013.

Anonymous. (2009). Reference Values for Laboratory Animals, Normal Hematology Values. ReseachAnimal Resources. University of Minnesota. Page 275.

Arifin, H., Leny, S., dan Netty, M. (2006). Kajian Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Capo (Blumea Balsamifera L.) Dan Pengaruhnya Terhadap Gambaran Histologi Ginjal Mencit Putih Jantan. Jurnal Media farmasi. 14(2): 120-124.

Bauer, J.D. (1982). Clinical Laboratory Methods. 9th edition. The C.V. Mosby Company, London. page 578.

Budiman, A., Wulandari, R.S., dan Darma, E. (2010). Uji Aktivitas Antijerawat Sediaan Krim Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) dan Madu Terhadap Bakteri Propionibacterium acne. Jurnal Farmaka. 8(2): 211-217.

BPOM. (2010). Acuan Sediaan Herbal. Volume Kelima Edisi Pertama. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 74.

BPOM. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Deputi Bidang Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. Halaman 20.

Cheville, N.F. (1999). Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press. Page 214.

Dellmann, H.D., dan Brown, E. (1992). Buku Teks Histologi Veteriner I dan II. Penerjemah: Hartono. Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 376.

(55)

Dewoto, H.R. (2007). Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Jurnal Maj Kedokt Indon. 57(7): 205-211.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 3-5, 10-11.

Donatus, A.I. (2001). Toksikologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas Biofarmasi Universitas Gajahmada. Halaman 67-79.

Elisma, Arifin, H., dan Handayani, D. (2009) Pengaruh Fraksi Daun Sidaguri (Sida Rhombifolia L.) Terhadap Kadar Asam Urat Dan Uji Toksisitas Sub Akutnya pada Mencit Putih Jantan. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 32(1): 15-19.

Elya, B., Amin, J., dan Emiyanah. (2010). Toksisitas Akut Daun Justicia gendarussa Burm. Jurnal Makara Sains. 14(2): 129-134.

Eroschenko, V.P. (2010). Atlas Histologi diFiro: dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 325-334. Francisca, N. (2012). Uji Antimutagenik Fraksi Etilasetat Bunga Pepaya Jantan

(Carica papaya L.) Pada Mencit Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 763-764.

Gupta, D., and Bhardwaj, S. (2012). Study of Acute, Subacute and Chronic Toxicity Test. International Journal of Advanced Research in Pharmaceutical and Bio Sciences (IJARPB). 1(2): 103-114.

Hadi, S. (1995). Gastroenterologi. Edisi 6. Bandung: Alumni, pp: 400-12 ; 644-50.

Harada, T., Enotomo, A., Boorman, G., and Maronpot, R.R. (1999). Liver and Gallbladder. In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. 1st ed. Cache River Press. Pages 120-141.

Hasti, S., Novita, G., dan Ramadhani, G.W. (2012). Toksisitas Sub Kronis Ekstrak Etanol Daun Beringin (Ficus benjamina L.) Terhadap Fungsi Ginjal Mencit Putih Betina. Jurnal Scientia. 2(1): 2087-5045.

Hendriani, R. (2007). Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) Dan Rimpang Jahe Gajah (Zingiber officinale rosc.) Pada Tikus Wistar. Karya Ilmiah. 11(4): 312-316.

Gambar

Gambar tumbuhan bunga pepaya jantan  ..........................................
Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Anatomi hati
Gambar 2.2 Histologi hati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efektoksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yangdiberikan secara oral dalam dosis

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama

Uji toksisitas akut dermal menggunakan hewan percobaan yang diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji.

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan

Uji toksisitas subkronik adalah suatu pengujian untuk mengetahui efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis yang diberikan secara oral

Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan dengan rotary evaporator ± 40 o C dan di freeze dryer ± -40 o C selanjutnya ekstrak yang diperoleh

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada