• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hama Gudang Ordo Coleoptera Pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor Dan Status Resistensi Terhadap Fosfin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hama Gudang Ordo Coleoptera Pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor Dan Status Resistensi Terhadap Fosfin"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

HAMA GUDANG ORDO COLEOPTERA

PADA BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IMPOR

DAN STATUS RESISTENSINYA TERHADAP FOSFIN

INDAH DARSILAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hama Gudang Ordo Coleoptera pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor dan Status Resistensinya terhadap Fosfin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(4)

RINGKASAN

INDAH DARSILAWATI. Hama Gudang Ordo Coleoptera pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor dan Status Resistensi terhadap Fosfin. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI HARAHAP dan HERMANU TRIWIDODO.

Masuknya serangga hama gudang, khususnya strain yang resisten terhadap fosfin, melalui impor bahan baku pakan ternak dari negara tertentu akan memperumit permasalahan hama dalam industri pakan ternak di Indonesia. Penelitian ini bertujuan melakukan inventarisasi serangga hama gudang pada komoditi impor bahan baku pakan di lima perusahaan pakan ternak yang berada di bawah wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon dan menguji resistensi Tribolium castaneum, yang merupakan hama utama pada bahan baku pakan ternak, terhadap fosfin.

Inventarisasi serangga hama gudang ordo Coleoptera dilaksanakan dengan mengoleksi serangga hama gudang yang ikut terambil saat pengambilan contoh komoditi bungkil kedelai dan biji jagung di setiap lokasi gudang tempat penelitian. Contoh komoditi ini diambil secara sistematik menggunakan probe pada setiap gudang bahan baku dan pengkoleksian dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval satu minggu. Pengujian resistensi imago T. castaneum terhadap fosfin dilakukan menggunakan metode FAO tahun 1980. Data hasil penelitian ini kemudian dielaborasi dengan data sekunder Badan Karantina Pertanian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga hama gudang yang ditemukan adalah T. castaneum, Cryptolestes ferrugineus, Sitophilus zeamays, Alphitobius diaperinus, dan Oryzaephilus surinamensis. Berdasarkan data intersepsi, keanekaragaman spesies serangga hama gudang pada bahan baku pakan ternak dari India lebih tinggi daripada negara lainnya. Faktor resistensi (RF) untuk T. castaneum bervariasi antara 3 sampai 33 kali.

(5)

SUMMARY

INDAH DARSILAWATI. Stored-product Pests of Imported Raw Feed and Its Resistance to Phosphine. Supervised by IDHAM SAKTI HARAHAP and HERMANU TRIWIDODO.

Introduction of stored-product pests, especially phosphine resistant strains, through the importation of feed raw materials from certain countries, will complicate pest problems in feed industries in Indonesia. The objectives of this study were to invent stored-product pests in imported commodities of five feed factories in Cilegon Quarantine Agency working area and to test phosphine resistant of Tribolium castaneum, the major pest of raw feed materials.

Inventory survey was conducted three times with one-week interval in five feed factory facilities by sampling of corn meals and soybean meals. In each feed factory facilities, five samples were sistematically taken. Resistance test of T. castaneum against phosphine were conducted using the method developed by FAO (1980). All the results then compared with secondary data extracted from documents of Indonesian Agricultural Quarantine Agency.

The results showed that insect pests found were T. castaneum, Cryptolestes ferrugineus, Sitophilus zeamays, Alphitobius diaperinus, and

Oryzaephilus surinamensis. Among the countries of origin for those pests, India

had the most diverse of insect pests found. Resistance factors (RF) for T. castaneum were varied beetween 3 – 33 times.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

HAMA GUDANG ORDO COLEOPTERA

PADA BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IMPOR

DAN STATUS RESISTENSINYA TERHADAP FOSFIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)

vi

(9)
(10)

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Hama Gudang Ordo Coleoptera pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor dan Status Resistensinya terhadap Fosfin. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi spesies serangga gudang ordo Coleoptera yang ada pada

gudang pakan ternak dan menguji resistensi imago hama utama, Tribolium castaneum, yang ditemukan di gudang pakan ternak.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir Banun Harpini, MSc selaku Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa, Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi dan Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam penelitian dan penulisan tesis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Pudjianto, MSi dan Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku Ketua Program studi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof Dr Bambang Purwantara selaku Direktur Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology, Drh Bambang

Haryanto, MM selaku Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon, Ir Iyus Hidayat, MP selaku Kasi KT BKP Kelas II Cilegon, dan seluruh staf BKP Kelas II Cilegon atas bantuannya selama penelitian di BKP Kelas II Cilegon, serta Ibu Wiwid dan Bapak Eeng atas bantuannya selama penelitian di SEAMEO BIOTROP. Rasa hormat dan ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada abah, ibu, suami dan anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

(11)

DAFTAR ISI

Inventarisasi Hama Gudang Ordo Coleoptera 5

Tribolium castaneum Herbst 6

Fosfin 7

Resistensi Hama Gudang terhadap Fumigasi Fosfin 8

BAHAN DAN METODE 10

Studi data sekunder Badan Karantina Pertanian 10 Inventarisasi serangga hama gudang di gudang pakan ternak 11 Pengujian resistensi Tribolium castaneum terhadap fosfin

Jenis Serangga Hama Gudang yang Terbawa Bahan Baku Pakan

Ternak Impor 13

Inventarisasi Serangga Hama Ordo Coleoptera di Gudang Pakan

Ternak 16

Pengujian Resistensi Tribolium castaneum terhadap Fosfin di

(12)

x

DAFTAR TABEL

1 Volume (ton) biji jagung dan bungkil kedelai impor Indonesia 3 2 Volume dan frekuensi impor bahan baku pakan ternak biji jagung dan

bungkil kedelai yang melalui pelabuhan di BKP Kelas II Cilegon tahun

2010-2013 3

3 Persyaratan mutu biji jagung sebagai bahan baku pakan ternak 4 4 Persyaratan mutu bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak 5

5 Deskripsi fumigan fosfin 7

6 Bahan baku pakan ternak yang masuk ke Indonesia dan hasil intersepsi

laboratorium sejak tahun 2011-2013 13

7 Hasil inventarisasi hama gudang ordo Coleoptera dan populasinya dalam 1 Kg contoh komoditi yang ditemukan di lima gudang pakan

ternak selama pengamatan 18

8 Intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon pada komoditi biji jagung dan bungkil kedelai dari berbagai negara dari tahun 2010-2013 di lima

gudang pakan ternak impor 21

9 Persentase mortalitas imago T.castaneum setelah pemaparan 20 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi 22 10 Faktor resistensi imago T. castaneum setelah 14 hari dari kegiatan

aerasi pemaparan fosfin selama 20 jam 22

11 Persamaan garis regresi dan korelasi antara mortalitas imago T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin pada gudang bahan baku

pakan ternak 23

DAFTAR GAMBAR

1 Imago Tribolium castaneum Herbst 6

2 Alat untuk menghasilkan gas fosfin 11

3 Bungkil kedelai dan biji jagung impor dari berbagai negara pada kelima gudang pakan ternak sejak tahun 2010-2013 14

4 Imago Cryptolestes ferrugineus 16

5 Imago Tribolium castaneum 16

6 Imago jantan Sitophilus zeamays 17

7 Imago Alphitobius diaperinus 17

8 Imago Oryzaephilus surinamensi 18

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penghitungan volume gas fosfin aktual yang akan diaplikasikan dari

phosphin 56% ke dalam tabung desikator fumigasi ukuran 2 liter 33 2 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari

gudang pakan ternak P1 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam 34 3 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari

gudang pakan ternak P2 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam 34 4 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari

gudang pakan ternak P3 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam 34 5 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari

gudang pakan ternak P4 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam 34 6 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari

gudang pakan ternak P5 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam 34 7 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap

fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P1 35 8 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap

fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P2 36 9 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap

fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P3 37 10 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap

fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P4 38 11 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuhnya industri peternakan unggas nasional yang semakin meningkat membutuhkan pasokan bahan baku pakan yang berkesinambungan dengan mutu yang memenuhi syarat. Bahan baku yang memiliki peranan penting dalam produksi pakan ternak unggas antara lain biji jagung sebesar 50-55% dan soya bean meal/bungkil kedelai sebesar 25-30% (Medion 2013). Sampai saat ini Indonesia belum dapat memproduksi soya bean meal sehingga bahan pakan ini masih 100% diimpor untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan (Maksum 2013). Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan pakan ternak melakukan impor untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industrinya.

Bahan baku pakan ternak yang masuk ke negara Indonesia membuka peluang masuknya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dari negara lain, baik berupa organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) atau OPT yang sudah ada di Indonesia tetapi dengan strain yang berbeda. Untuk pencegahan resiko ini maka salah satu tindakan yang sering dilakukan yaitu perlakuan fumigasi fosfin terhadap biji jagung dan bungkil kedelai sebelum komoditi tersebut dikirim ke Indonesia. Perlakuan fumigasi yang dilakukan sebagai tindakan karantina dan kegiatan pengendalian serangga hama yang rutin di gudang diduga dapat berpengaruh terhadap sifat genetik populasi serangga hama yang ada di gudang tersebut terutama responnya terhadap fosfin.

Fumigasi fosfin untuk perlakuan hama gudang yang terdapat pada produk biji-bijian yang disimpan mengalami peningkatan sejak adanya perjanjian internasional untuk phasing out penggunaan metil bromida. Saat ini fosfin adalah satu-satunya fumigan yang dapat digunakan pada bahan pangan dan pakan. Fosfin mempunyai beberapa keunggulan antara lain: merupakan senyawa yang sangat beracun; tidak mempengaruhi atau memiliki efek terhadap aroma, warna dan cita rasa terhadap komoditas yang difumigasi; dan penyerapan oleh produk rendah (Barantan 2007). Hal ini yang menyebabkan ketergantungan industri pangan dan pakan terhadap fosfin sebagai fumigan. Penggunaan jangka panjang fumigan tunggal dapat meningkatkan resiko pengembangan resistensi serangga terhadap fosfin (Benhalima et al. 2004).

(16)

2

pengujian resistensi fosfin terhadap beberapa serangga hama gudang di beberapa gudang bahan baku pakan ternak.

Perumusan Masalah

Kewajiban untuk mengurangi pemakaian metil bromida secara bertahap sebagaimana diatur dalam Protokol Montreal, menyebabkan penggunaan fosfin semakin meningkat. Peningkatan penggunaan fosfin untuk mengendalikan serangga hama gudang menyebabkan perubahan keragaman genetik pada serangga-serangga hama gudang tersebut dan beberapa serangga hama gudang di beberapa negara diketahui sudah mengalami resistensi yang tinggi terhadap fosfin. Kegiatan perdagangan antar negara yang semakin tinggi juga meningkatkan resiko berpindahnya serangga hama gudang yang resistensi tinggi terhadap fosfin masuk ke suatu negara yang resistensi serangga hamanya rendah. Resistensi yang tinggi terhadap fosfin pada sejumlah spesies hama gudang di beberapa negara dapat mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama gudang yang ada di Indonesia kalau terjadi perkawinan di antara mereka.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menginventarisasi spesies serangga hama gudang ordo Coleoptera yang ada pada bahan baku pakan ternak impor dan menguji resistensi imago hama utama di gudang pakan, yaitu T. castaneum, terhadap fosfin.

Manfaat Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Baku Pakan Ternak

Keberadaan bahan baku pakan ternak sangat penting dalam keberhasilan usaha peternakan unggas. Biji jagung dan bungkil kedelai merupakan bahan baku utama untuk membuat pakan ternak unggas. Ketersediaan biji jagung dan bungkil kedelai secara berkesinambungan dengan mutu yang memenuhi persyaratan sebagai bahan baku pakan ternak semakin penting seiring dengan pertumbuhan industri peternakan unggas yang semakin tinggi. Banyaknya biji jagung dan bungkil kedelai impor berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 1).

Tabel 1 Volume (ton) biji jagung dan bungkil kedelai impor Indonesia

Komoditi Tahun

Berdasarkan data Badan Karantina Pertanian (2014), komoditi impor biji jagung dan bungkil kedelai yang masuk melalui Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Cilegon tahun 2010-2013 juga menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kecenderungan peningkatan ini dapat dilihat dari aspek volume dan frekuensinya (Tabel 2).

Tabel 2 Volume dan frekuensi impor bahan baku pakan ternak biji jagung dan bungkil kedelai yang melalui pelabuhan di BKP Kelas II Cilegon tahun 2010-2013

Tahun Komoditi Berat (ton) Frekuensi

2010 Biji jagung 729 980.92 114

Bungkil kedelai 911 798.26 305

(18)

4

Biji jagung merupakan sumber energi utama untuk ternak unggas sehingga biji jagung ini merupakan bahan pakan utama dalam campuran bahan pakan ternak. Tingginya kandungan energi biji jagung ini berkaitan dengan kandungan karbohidrat atau pati yang tinggi (>60%). Disamping itu biji jagung mempunyai kandungan serat kasar yang relatif rendah sehingga cocok untuk pakan ayam (Maksum 2013).

Kurangnya pasokan dari produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak di Indonesia membuat para pengusaha pakan ternak melakukan impor biji jagung tersebut dari beberapa negara. Importasi jagung selama ini sebagian besar berasal dari Argentina, Brazil, Amerika Serikat dan India. Persyaratan mutu biji jagung untuk pakan berdasarkan SNI (1998) terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3 Persyaratan mutu biji jagung sebagai bahan baku pakan ternak

No Komposisi Persyaratan

1 Kadar air (maksimal) 14 %

2 Kadar protein kasar (minimum) 7.5%

3 Kadar serat kasar (maksimal) 3 %

Sumber : SNI 01-4483-1998.; ppb: parts per billion

Bahan baku pakan ternak lainnya yang berperan penting sebagai sumber protein nabati adalah Soya bean meal/bungkil kedelai. Bungkil kedelai merupakan produk sampingan dari proses pengolahan minyak kedelai. Dalam proses pembuatan minyak kedelai, yang diambil hanyalah sedikit bagian dari kedelai dan sisanya diolah menjadi bentuk bungkil dengan menggiling ampas kedelai yang dihasilkan menjadi bubuk kasar yang kita kenal dengan Soya bean meal/bungkil kedelai.

(19)

Tabel 4 Persyaratan mutu bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak

Sumber : SNI 01-4227-1996; ppb: parts per billion

Inventarisasi Hama Gudang Ordo Coleoptera

Ordo Coleoptera merupakan ordo yang terbesar pada kelas insekta dan mempunyai sekitar 40% spesies dari jumlah spesies yang sudah diketahui di kelas insekta ( Borror et al 1996). Serangga hama gudang ordo Coleoptera yang bersifat primer maupun sekunder sering ditemukan pada bahan baku pakan ternak yang disimpan di gudang penyimpanan, terbawa selama proses pengangkutan, atau industri pengolahan. Serangga ini dapat merusak kualitas maupun kuantitas dari bahan baku pakan ternak tersebut.

Serangga hama gudang ini tersebar ke seluruh dunia, melalui komoditas yang didistribusikan atau melalui sarana transportasi. Serangga ini kemudian beradaptasi dengan lingkungan yang baru sebelum menetap di suatu daerah tertentu. Sumber serangan serangga hama gudang dapat berasal dari penyimpanan komoditas baru yang disimpan ditempat yang sama dengan komoditas yang sudah terinfestasi atau serangga aktif terbang dan masuk ke dalam gudang penyimpanan melalui ventilasi atau lubang-lubang kecil yang terdapat pada dinding dan atap gudang (Harahap 2012).

Inventarisasi serangga hama ini dapat diperoleh secara langsung menggunakan alat pengambil contoh biji-bijian; seperti probe, sekop, spear sample, dan lain-lain atau menggunakan perangkap. Pendugaan kepadatan populasi serangga di gudang penyimpanan dapat dilakukan melalui pendugaan kepadatan absolut dan pendugaan kepadatan relatif. Pendugaan kepadatan populasi absolut berdasarkan jumlah absolut serangga yang ikut tertangkap dalam contoh komoditi yang diambil. Sedangkan pendugaan kepadatan populasi relatif berdasarkan pada jumlah serangga yang masuk dalam perangkap dan pendugaan ini lebih tergantung pada keefektifan alat (Subramanyam & Hagstrum 1996). Pengumpulan dan penanganan spesimen serangga pada saat inventarisasi dilakukan sebaik mungkin agar serangga yang didapatkan tidak rusak dan mudah diidentifikasi (Mc Maugh 2007).

(20)

6

menjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi spesies tersebut. Suatu komunitas yang kondisi lingkungannya ekstrim untuk suatu spesies tertentu dan kondisi lingkungan yang selalu mendapatkan gangguan secara rutin atau berkala menyebabkan keragaman spesiesnya menjadi rendah akan tetapi kelimpahan spesiesnya tinggi (Michael 1994)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan suatu populasi suatu spesies dapat disebabkan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal antara lain persaingan antara individu dalam satu populasi atau dengan spesies lain, perubahan lingkungan kimia akibat adanya sekresi dan metabolisme, kekurangan makanan, serangan predator/parasit/penyakit, emigrasi, faktor iklim misalnya suhu dan kelembaban. Sedangkan faktor internal melibatkan perubahan genetik dari populasi (Oka 1995).

Tribolium castaneum Herbst

T. castaneum (Coleoptera: Tenebrionidae) adalah salah satu hama kosmopolit di gudang penyimpanan pada daerah hangat sampai panas. Warna tubuh coklat kemerahan, panjang 3-4.5 mm, antena capitate dengan bendolan tiga ruas. Mata facet dari samping terlihat seperti terbagi. Telur berwarna putih, berukuran kecil, dan ditutupi cairan perekat yang menyebabkan partikel makanan menempel dan menyebabkan telur sulit terlihat di antara partikel makanan. Larva mempunyai bentuk compodeiform berwarna krem dengan kepala dan urogomphi berwarna gelap (Rees 2007).

Siklus hidup sekitar 26 hari pada kondisi optimum; temperatur optimum 33°C dan RH 70%. Keperidian 400-500 butir telur, betina dapat hidup sekitar satu tahun bahkan bisa mencapai lima tahun (Sauer 2008). Tidak dapat menyerang biji-bijian utuh, tetapi menyebabkan kontaminasi pada bahan simpanan dalam bentuk tubuh serangga mati, bekas ganti kulit, kotoran, maupun ekskresi benzonguinones dalam bentuk cairan yang dapat menyebabkan perubahan warna dan bau pada bahan simpanan (Hagstrum et al. 2012).

Serangga hama gudang sebagian besar dapat bertahan hidup pada sisa-sisa bahan simpanan yang tercecer di lantai, sudut ruangan, atau tempat-tempat tersembunyi lainnya seperti celah-celah atau retakan-retakan pada dinding dan pintu gudang. T. castaneum merupakan salah satu serangga hama yang sering ditemukan ditempat seperti itu (Harahap 2012).

(21)

Fosfin

Kewajiban untuk mengurangi pemakaian metil bromida secara bertahap sebagaimana diatur dalam Protokol Montreal, menyebabkan fumigasi fosfin banyak dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor untuk keperluan karantina tumbuhan. Fumigasi fosfin maupun aplikasi insektisida dalam bentuk penyemprotan permukaan saat ini masih umum dan sering dilakukan di gudang pakan ternak untuk mengendalikan serangga hama yang ada digudang tersebut. Fumigasi fosfin masih dianggap sebagai cara utama untuk mengendalikan serangga hama yang menyerang komoditi di gudang (Dadang 2012).

Sebelum pelaksanaan fumigasi fosfin perlu memperhatikan ketersediaan waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran. Toksisitas fosfin bergantung pada lamanya waktu pemaparan, temperatur, konsentrasi dan spesies serangga. Spesies dan stadia perkembangan serangga hama gudang juga mempengaruhi daya toksisitas fosfin. Saat pelaksanaan fumigasi fosfin kita juga harus memperhatikan sifat-sifat fisik maupun kimia fosfin (Tabel 5), untuk keefektifan dan keselamatan pekerja atau orang-orang yang berada di sekitar lokasi fumigasi.

Tabel 5 Deskripsi fumigan fosfin

No Deskripsi Fosfin

1 Rumus kimia PH3

2 Bau Karbit/Bawang putih

3 Titik didih 87.4°C

7 Kelarutan dalam air Sangat larut

8 Rekomendasi WHO/FAO

a Biji-bijian yang belum diolah 0.1 ppm b Biji-bijian yang telah diolah 0.01 ppm

9 Efek pada serangga Syaraf dan pernafasan

a Telur Lambat

(22)

8

Perlakuan fumigasi yang efektif memerlukan konsentrasi gas fumigan yang cukup dan periode waktu tertentu saat proses fumigasi. Kaidah Haber menyatakan bahwa perkalian antara konsentrasi dan waktu menghasilkan tingkat kematian tertentu yang konstan. Kombinasi antara konsentrasi (C) dan waktu fumigasi (T) biasanya disebut CT product. CT product yang terendah merupakan tingkat kritis yang menentukan apakah serangga akan mati atau masih tetap hidup (Winks 1984). Daya kerja fosfin efektif pada konsentrasi yang rendah dan periode pemaparan yang panjang. Fumigasi dengan konsentrasi fosfin yang tinggi dapat menyebabkan respon narkosis serangga dan menyebabkan serangga hama yang difumigasi terlindungi dari fosfin (Winks 1985). Naskosis merupakan suatu keadaan dimana serangga tidak bergerak dan menutup spirakelnya sebagai usaha untuk bertahan hidup walaupun terkadang serangga ini akhirnya juga mati (Reichmuth 1989).

Perlakuan fumigasi harus dilaksanakan di ruang yang kedap gas dengan konsentrasi fosfin minimum 200 ppm di pusat tumpukan komoditas yang harus terjaga selama waktu papar gas fosfin. Untuk membunuh serangga hama yang menyerang biji-bijian pada umumnya digunakan dosis 2 g fosfin/ton (Barantan 2007).

Resistensi Hama Gudang terhadap Fumigasi Fosfin

Fumigasi fosfin dapat membunuh hama melalui sistem pernafasan sehingga daya bunuhnya bergantung pada aktifitas pernafasan. Pada serangga hama, fumigan akan mempunyai daya bunuh yang efektif pada waktu serangga mempunyai aktifitas pernafasan paling tinggi. Pupa dan telur merupakan fase yang paling toleran terhadap fumigan karena aktifitas pernafasannya rendah. Menurut Winks and Waterford (1986), stadia telur dan pupa lebih toleran terhadap fosfin dibandingkan larva dan imago ketika waktu papar fumigasi yang digunakan pendek.

Di beberapa negara sudah dilaporkan terjadinya resistensi beberapa hama gudang terhadap fosfin. Hal ini beralasan karena fumigan fosfin sementara ini merupakan fumigan yang di nilai mempunyai beberapa keunggulan sejak dilarangnya penggunaan metil bromida.

Sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetik dan bersifat tidak bisa kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida tertentu apabila suatu serangga telah menunjukkan sifat resisten dalam waktu yang cukup lama. Evolusi sifat resistensi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu genetik, biologi, dan teknik aplikasi. Melalui proses seleksi alami populasi serangga didominasi oleh populasi yang memiliki gen yang resisten yang nantinya akan diturunkan pada keturunannya, sedangkan populasi yang tidak memiliki gen dominan akan terbunuh oleh pestisida dan menghilang dari populasi tersebut (Untung 1996).

(23)
(24)

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon (BKP Kelas II Cilegon), Jl. Raya Transit Cikuasa Pantai Merak Cilegon, Banten dan Laboratorium Entomologi Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor.

Kegiatan inventarisasi serangga hama gudang ordo Coleoptera dilaksanakan pada lima gudang pakan ternak di Wilayah Kerja BKP Kelas II Cilegon, dan oleh karena alasan tertentu maka nama gudang pakan ternak yang menjadi lokasi penelitian disingkat dengan gudang P1-P5.

Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dilaksanakan di Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai Desember 2014.

Alat dan Bahan

Alat

Alat yang digunakan untuk inventarisasi spesies serangga hama gudang ordo Coleoptera adalah probe, lup, kuas, tabung koleksi, mikroskop, kunci identifikasi serangga gudang Bousquet (1990), Gorham (1991), dan Rees (2007). Alat untuk pengujian resistensi adalah seperangkat alat pengujian fumigasi di laboratorium, stoples yang merupakan modifikasi dari desikator yang digunakan dalam metode FAO (1980). Pipa paralon panjang 2.5 cm dan diameter 2.5 cm yang beralas dan bertutup kain kasa sebagai tempat serangga uji, plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin, alat suntik (gastight syringe), alat monitor fosfin, dan magnetic stirrer.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium fosfida dalam bentuk tablet, asam sulfat (H2SO4) 10%, akuades, kain kasa, dan tepung terigu. Serangga uji (imago T. castaneum) generasi pertama yang dikumpulkan dari lima perusahaan gudang pakan ternak yang berbeda.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui studi data sekunder Barantan, inventarisasi spesies serangga hama gudang ordo Coleoptera di gudang pakan ternak dan pengujian tingkat resistensi T. castaneum terhadap fosfin di laboratorium.

Studi data sekunder Badan Karantina Pertanian

(25)

Inventarisasi serangga hama gudang di gudang pakan ternak

Kegiatan ini dilaksanakan dengan pengambilan contoh komoditi bungkil kedelai dan biji jagung di setiap lokasi gudang tempat penelitian. Pengambilan contoh komoditi ini menggunakan alat pengambil contoh (probe) diameter 8 cm dan panjang 50 cm. Pengambilan contoh dilakukan secara langsung pada bahan baku pakan ternak yang dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu tujuh hari. Contoh komoditi diambil sebanyak satu kilogram dari lima titik berbeda yang ditentukan secara sistematik berbentuk diagonal pada curahan komoditi. Serangga yang ditemukan kemudian dikoleksi dan diidentifikasi di Laboratorium BKP Kelas II Cilegon menggunakan kunci identifikasi Bousquet (1990), Gorham (1991), dan Rees (2007).

Hasil survei inventarisasi hama gudang pada gudang pakan ternak kemudian dielaborasi dengan data hasil intersepsi Laboratorium Entomologi BKP Kelas II Cilegon dari tahun 2010 sampai 2013. Variabel yang diamati yaitu nama gudang pakan ternak (P1-P5), jenis komoditi, spesies dan populasi hama gudang yang ditemukan pada masing-masing contoh.

Pengujian resistensi Tribolium castaneum terhadap fosfin di laboratorium

Pemeliharaan serangga uji. Serangga uji berupa imago T. castaneum yang didapatkan dari lima gudang pakan ternak dibiakkan untuk mendapatkan keturunan yang seragam dan dalam jumlah yang banyak. Media untuk pengembangbiakkan T. castaneum sebelumnya disterilkan dengan cara dioven pada suhu 110°C selama satu jam. Serangga uji ini kemudian dibiakkan dalam media steril pada kondisi lingkungan dengan suhu 25-30°C dan kelembaban 70%. Keturunan pertama hasil pembiakan serangga diatas digunakan sebagai serangga uji untuk menilai resistensinya terhadap fosfin.

Persiapan pengujian. Fosfin yang digunakan pada pengujian berasal dari aluminium fosfida yang berbentuk tablet yang dirubah menggunakan alat pengubah fosfin tablet menjadi gas (Gambar 2).

(26)

12

Tabung desikator yang digunakan dalam metode FAO (1980) diganti dengan stoples ukuran 2 liter yang telah dimodifikasi dengan menggantungkan kawat kasa ditengah-tengah stoples sebagai tempat untuk meletakkan serangga uji dan ditutup dengan tutup stoples yang bagian tengahnya telah dilubangi dan diberi sumbat karet (rubber stopper) sebagai tempat untuk menyuntikan gas fosfin menggunakan gastight syringe. Pada bagian dasar stoples diletakkan batangan magnet yang berfungsi sebagai pengaduk gas fosfin agar tersebar merata di dalam stoples. Serangga uji keturunan pertama sebanyak 50 ekor yang tidak dibedakan alat kelaminnya umur ± 1 minggu dari masing-masing gudang pakan ternak dimasukkan ke dalam pipa paralon (diameter 2.5 cm dan tinggi 2.5 cm) yang telah diberi alas dan tutup kain kasa halus. Pipa paralon yang berisi serangga uji tersebut diletakkan di atas kawat kasa yang sudah dipasang pada bagian tengah stoples. Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali yang berisi masing-masing 50 ekor serangga uji. Stoples yang berisi serangga uji ini kemudian ditutup rapat dan diantara tutup stoples dan dinding luar stoples direkatkan menggunakan plastisin untuk menghindari kebocoran gas fosfin.

Pelaksanaan fumigasi. Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples berisi serangga uji yang telah ditutup rapat dan direkatkan dengan plastisin. Gas fosfin konsentrasi 0 (kontrol), 0.005, 0.014, 0.023, 0.031, 0.040 mg/l yang diperoleh dari alat untuk menghasilkan gas fosfin, kemudian disuntikkan ke dalam stoples kaca menggunakan gastight syringe. Setelah itu, lubang tempat untuk menyuntikkan gas fosfin ke dalam stoples ditutup dan diberi plastisin untuk mencegah kebocoran gas fosfin. Gas fosfin dalam stoples kemudian diaduk selama dua menit menggunakan magnetic stirrer agar gas yang ada didalam stoples cepat tersebar merata ke seluruh bagian.

Pengujian resistensi. Serangga T. castaneum hasil perbanyakan di laboratorium yang dikumpulkan dari lima gudang pakan ternak, masing-masing dipapar fumigan fosfin selama 20 jam. Setelah pemaparan selesai dilakukan, serangga uji yang berada dalam stoples kaca tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke dalam stoples baru yang telah diberi sedikit tepung sebagai pakan serangga uji sampai pada saat pengamatan dan penghitungan mortalitas. Pengamatan dan penghitungan mortalitas serangga uji dilakukan pada 14 hari setelah 20 jam pemaparan fosfin selesai dilakukan.

Analisa data pengujian resistensi. Data mortalitas serangga uji pada pengujian resistensi imago T. castaneum terhadap fosfin dianalisa probit dengan menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LC50 dan LC99 serangga uji dari masing-masing gudang yang menjadi lokasi penelitian. Nilai LC99 serangga uji tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai discriminating concentration (LC99) T. castaneum dari FAO (1980) untuk mengetahui tingkat resistensinya. Faktor resitensi (RF) dihitung menggunakan rumus :

Nilai LC99 T. castaneum uji RF =

Nilai discriminating concentration T. castaneum FAO

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Serangga Hama Gudang yang Terbawa Bahan Baku Pakan Ternak Impor

Serangga hama gudang yang terbawa bahan baku pakan ternak yang berasal dari negara-negara yang sudah dilaporkan terdapat serangga hama gudang strain resisten terhadap fosfin dapat mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama gudang di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena terjadinya perkawinan diantara mereka. Berbagai jenis serangga hama gudang yang ditemukan terbawa pada bahan baku pakan ternak yang diimpor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Bahan baku pakan ternak yang masuk ke Indonesia dan hasil intersepsi laboratorium sejak tahun 2011-2013

Jenis pakan

Pintu

pemasukan Negara asal Frekuensi Volume (ton) Intersepsi laboratorium

Bungkil

(28)

14

Berdasarkan Tabel 6, volume dan frekuensi impor bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan biji jagung. Negara asal komoditi bungkil kedelai dan biji jagung yang masuk ke Indonesia yaitu: Argentina, Brazil, USA, India, Cina, Taiwan, Malaysia, Philipina, Thailand, Korea Selatan, Kanada, Singapura, Australia, Belanda, Ukraina, Uruguay, Paraguay, Pakistan dan Afrika Selatan. Bahan baku pakan ternak ini di pulau Jawa masuk melalui BKP Cilegon, BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno Hatta, BKP Semarang, dan BBKP Surabaya.

Volume, frekuensi, dan negara asal bungkil kedelai dan biji jagung yang masuk melalui salah satu pintu pemasukan impor Indonesia, BKP kelas II Cilegon, dan disimpan dalam gudang bahan baku pakan ternak yang menjadi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Bungkil kedelai dan biji jagung impor (A) volume dan (B) frekuensi pemasukan dari berbagai negara pada kelima gudang pakan ternak sejak tahun 2010-2013; Sumber: Barantan (2014)

Volume (Kg)

(29)

Semakin tinggi volume dan frekuensi komoditi bahan baku impor yang masuk ke suatu gudang, maka semakin besar peluang serangga hama gudang strain resisten terhadap fosfin dari luar negeri mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama gudang yang ada di Indonesia. Asal komoditi biji jagung dan bungkil kedelai impor yang masuk melalui pelabuhan di wilayah kerja BKP Kelas II Cilegon selama empat tahun terakhir didominasi dari Argentina, Brazil, India dan USA. Beberapa literatur yang telah disebutkan di depan melaporkan bahwa beberapa serangga hama gudang di Brazil, India, USA telah resisten terdap fosfin.

Hasil pengamatan terhadap kelima gudang bahan baku pakan ternak yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan bahwa pemilik kelima gudang pakan ternak tersebut adalah perusahaan swasta dengan variasi jarak antara lokasi gudang bahan baku dengan pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan ternak. Lokasi gudang bahan baku P1, P2 dan P3 berdekatan atau satu komplek dengan pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan ternak, sedangkan lokasi gudang bahan baku P4 dan P5 letaknya berjauhan atau tidak satu komplek dengan pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan atau hanya sebagai tempat penyimpanan bahan baku saja.

Sistem pengelolaan komoditi bahan baku pakan ternak yang masuk dan keluar dari gudang pada kelima gudang lokasi penelitian sudah menggunakan sistem fist in fist out, dimana bahan baku yang masuk lebih dahulu akan dikeluarkan lebih dahulu juga. Walaupun menggunakan sistem fist in fist out, penyimpanan komoditi yang baru datang kadang-kadang diletakkan dalam satu ruang dengan komoditi bahan baku yang sudah lama jika komoditi bahan baku pakan ternak banyak yang masuk dan kondisi gudang banyak yang penuh. Penyimpanan bahan baku pakan ternak ini di gudang penyimpanan kurang lebih selama satu sampai tiga bulan. Penyimpanan bahan baku pakan ternak yang baru masuk dan sudah difumigasi dengan bahan baku pakan ternak yang sudah disimpan cukup lama di gudang mendorong berpindah serangga hama gudang dari komoditi yang sudah lama disimpan ke komoditi yang baru datang.

Kegiatan fumigasi pada gudang bahan baku yang berdekatan dengan komplek pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan dilakukan sangat intensif baik oleh perusahaan itu sendiri maupun perusahaan fumigasi. Hal ini untuk mencegah berpindahnya serangga hama gudang dari bahan baku ke gudang pakan ternak yang sudah siap untuk didistribusikan. Kegiatan fumigasi jarang bahkan tidak pernah dilakukan di gudang bahan baku yang lokasinya tidak mempunyai atau tidak berada dalam satu komplek dengan pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan pabrik pakan. Di gudang P4 dan P5, tindakan pengendalian terhadap serangga hama biasanya hanya dengan perlakuan penyemprotan atau pengabutan dengan pestisida berbahan aktif organofosfat.

(30)

16

Inventarisasi Serangga Hama Ordo Coleoptera di Gudang Pakan Ternak

Hasil inventarisasi dari lima gudang pakan ternak yang menjadi lokasi

penelitian ditemukan lima spesies serangga hama yaitu T. castaneum, O. surinamensis, C. ferrugineus, A. diaperinus, dan S. zeamays (Gambar 4-8).

Spesies serangga yang dikoleksi dari gudang-gudang pakan tersebut hampir sama dengan spesies-spesies yang ditemukan dari hasil intersepsi laboratorium BKP kelas II Cilegon dan Badan Karantina Pertanian di pintu-pintu pemasukan komoditi impor. Menurut Kalshoven (1981), T. castaneum, O. surinamensis, C. ferrugineus, A. diaperinus, S. zeamays sering ditemukan pada gudang-gudang penyimpanan biji-bijian di Indonesia.

Gambar 4 Imago Cryptolestes ferrugineus (a); Adanya ridge di samping mata yang memanjang sampai ke thorak (b); Tidak adanya ridge transversal pada pronotum (c)

Gambar 5 Imago Tribolium castaneum (a); Bentuk mata facet (b); Bentuk antena(c); Posisi fossa maksilla terhadap mata facet bagian bawah (d)

a b

c d

1 mm a

1 mm

(31)

Gambar 6 Imago jantan Sitophilus zeamays (a); Bentuk moncong dan posisi mata facet terhadap antena (b); Midline pada pronotum (c); Bentuk puncture pada elitra (d); Bentuk skerit bebas pada dasar medial lobe aedagus (e); Dua cekungan longitudinal pada medial lobe aedagus (f)

Gambar 7 Imago Alphitobius diaperinus (a); Bentuk mata faset (b); Bentuk pronotum (c); Proporsi mata faset dengan bagian depan kepala (d); Bentuk tibia 1 (e); Elytra yang tidak mempunyai ridge (f)

e d

c

b

a 1 mm

a b c

d e f

1 mm

(32)

18

Gambar 8 Imago Oryzaephilus surinamensis dengan 6 buah gerigi pada pronotum (a); Panjang tonjolan bagian belakang mata pada

kepala ≥ dibandingkan dengan panjang mata facet (b)

Spesies-spesies serangga hama gudang hasil inventarisasi ini sudah banyak ditemukan di Indonesia dan tersebar hampir di seluruh dunia bahkan di beberapa negara sudah menunjukkan tingkat resistensi yang lebih tinggi terhadap fosfin. Jumlah spesies dan populasi serangga hama gudang dari masing-masing komoditi pada kelima gudang bervariasi (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil inventarisasi hama gudang ordo Coleoptera dan populasinya (ekor) dalam 1 Kg contoh komoditi yang ditemukan di lima gudang pakan ternak selama pengamatan

Perusahaan OPT Pengamatan ke- Total

(33)

Variasi serangga hama gudang yang ditemukan pada komoditi bungkil kedelai hampir sama dengan serangga hama yang ditemukan pada biji jagung. T. castaneum merupakan serangga hama yang ditemukan hampir di semua gudang yang menjadi lokasi penelitian dengan jumlah populasi bervariasi pada setiap gudang bahan baku pakan ternak. Rata-rata populasi serangga hama gudang

tertinggi pada komoditi bungkil kedelai dan biji jagung ditunjukkan oleh T. castaneum pada gudang pakan ternak P2, P4 untuk bungkil kedelai dan pada

P4, P5 untuk biji jagung.

Spesies serangga hama yang ada di gudang mempunyai bioekologi berbeda-beda sehingga mempengaruhi pola penyebaran spesies serangga tersebut pada komoditi yang disimpan dalam suatu gudang. Pola penyebaran suatu spesies dalam komoditi juga mempengaruhi peluang serangga hama gudang tersebut ikut terambil alat pengambil contoh sehingga mempengaruhi penghitungan populasi

pada kegiatan inventarisasi serangga hama gudang. Penyebaran serangga T. castaneum lebih terkonsentrasi pada lapisan atas, sedangkan C. ferrugineus

dan O. Surinamensis mempunyai penyebaran yang lebih merata pada gandum yang disimpan curah pada suhu 250C dengan kadar air 14% (Haines 1991).

Kondisi bahan yang disimpan dan kebersihan gudang juga menentukan jenis-jenis serangga hama yang dapat menyerang biji-bijian tersebut. Rendahnya populasi serangga hama di gudang pada komoditi bungkil kedelai dan biji jagung kemungkinan karena beberapa gudang pakan ternak sudah menerapkan sanitasi gudang yang bagus. Ditemukannya serangga hama gudang A. diaperinus pada gudang P5 baik pada komoditi bungkil kedelai maupun biji jagung menunjukkan bahwa gudang tersebut kondisinya lembab dan kurang bersih. Menurut Rees (2007), kehadiran serangga A. diaperinus merupakan salah satu indikator bahwa di lokasi tersebut kelembabannya tinggi dan tingkat kebersihannya rendah.

(34)

20

Berdasarkan data intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon pada komoditi bahan baku pakan ternak impor yang akan dikirim ke lima gudang pakan ternak yang menjadi lokasi penelitian sejak tahun 2010-2013 ditemukan spesies-spesies serangga hama gudang yang sudah kosmopolit atau tersebar luas di Indonesia. Serangga hama OPTK A1 Trogoderma granarium dalam kondisi mati ditemukan dalam komoditi bahan baku pakan ternak impor dari India di gudang P2, P3 dan dari Pakistan di Gudang P1 (Tabel 8).

Serangga hama gudang fase telur dan pupa sulit untuk dilihat pada saat bercampur dengan komoditi yang berbentuk seperti tepung, sehingga fase telur dan pupa ini berpeluang untuk lolos dan berinteraksi dengan serangga hama gudang yang ada di Indonesia. Fase telur dan pupa kurang aktif bernafas sehingga pada saat dilakukan fumigasi, maka kedua fase serangga hama gudang ini lebih toleran terhadap fumigan dan lolos dari pemeriksaan. Berdasarkan hasil intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon, jumlah spesies serangga hama gudang dari India lebih bervariasi dibandingkan dari negara lainnya.

Pengujian Resistensi Tribolium castaneum terhadap Fosfin di Laboratorium

Hasil pengujian tingkat resistensi T. castaneum terhadap fosfin yang dilakukan di laboratorium dapat dilihat dari tingkat mortalitas (Tabel 9) dan nilai faktor resistensi (Tabel 10) dari serangga uji yang telah diambil dari setiap gudang bahan baku pakan ternak.

Hasil analisis ragam (Lampiran 2-6) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi fosfin berpengaruh nyata (Pvalue < P0.05) terhadap mortalitas imago T. castaneum pada semua gudang bahan baku pakan ternak. Uji nilai tengah

Duncan terhadap perlakuan konsentrasi fosfin terhadap mortalitas imago T. castaneum dengan selang kepercayaan (95%) dapat dilihat pada Tabel 9.

Persentase mortalitas imago T. castaneum yang rendah menunjukkan bahwa serangga dari gudang tersebut semakin resisten. Tingkat mortalitas imago T. castaneum yang rendah (< 50%) dari lima lokasi gudang pakan ternak yang menjadi lokasi penelitian ditunjukkan oleh gudang pakan ternak P2 dan P4 pada saat pemaparan fosfin 20 jam. Berdasarkan analisis probit (Lampiran 7-11) nilai LC50 dan LC99 untuk imago T. castaneum yang sudah resisten maka nilai LC50 dan LC99 semakin tinggi. Faktor resistensi T. castaneum terhadap fosfin yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa semua T. castaneum yang diuji diduga sudah resisten dengan kisaran faktor resistensi 3 sampai 33 kali. Nilai RF dari tertinggi sampai terendah pada pemaparan fosfin selama 20 jam terdapat pada T. castaneum yang diambil dari gudang bahan baku pakan ternak P1, P2 yang diikuti oleh gudang P3, P4, dan P5 (Tabel 10).

(35)

21

Tabel 8 Intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon pada komoditi biji jagung dan bungkil kedelai dari berbagai negara dari tahun 2010-2013 di lima gudang pakan ternak impor

Gudang Intersepsi dari berbagai negara

pakan ternak Argentina Brazil USA India Pakistan Korea Selatan Thailand Paraguay Afrika Selatan

P1 T. castaneum*;

P4 T. castaneum* T. castaneum* Tidak ditemukan

(36)

22

Tabel 9 Persentase mortalitas imago T. castaneum setelah pemaparan 20 jam gas fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi

Waktu paparan Konsentrasi Persentase rata-rata mortalitas a

Rata-ratapersentase mortalitas yang diikuti oleh huruf pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan taraf 5%, P: gudang pakan ternak perusahaan.

Tabel 10 Faktor resistensi imago T. castaneum setelah 14 hari dari kegiatan aerasi pemaparan fosfin selama 20 jam

Gudang resistensi); LC: Lethal concentration

0,04

Gambar 9 Respon mortalitas T. castaneum dari lima gudang bahan baku pakan ternak terhadap beberapa konsentrasi fosfin dengan pemaparan 20 jam

Keterangan

(37)

Besarnya derajat kemiringan garis respon mortalitas T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin yang kecil atau cenderung mendatar (Gudang P2 dan P4) menunjukkan bahwa T. castaneum di gudang tersebut sudah resisten.

Hasil ini juga didukung oleh hasil analisis korelasi antara mortalitas imago T. castaneum dari berbagai gudang dengan konsentrasi fosfin (Lampiran 12-16). Hasil perhitungan analisis korelasi untuk mengukur derajat keeratan hubungan antar variabel konsentrasi fosfin dan mortalitas imago T. castaneum dapat dilihat pada Tabel 11. Koefisien korelasi antara konsentrasi fosfin dengan mortalitas imago T. castaneum yang mendekati atau sama dengan angka 1, berarti antara konsentrasi fosfin dengan mortalitas imago T. castaneum memiliki hubungan yang erat, dimana dengan meningkatnya konsentrasi akan memberikan persentase mortalitas imago yang semakin tinggi juga. Besarnya nilai faktor resistensi T. castaneum pada gudang P1 hampir sama dengan nilai faktor resistensi pada gudang P2 yaitu sebesar 33 kali. Hasil analisis regresi dan korelasi, besarnya derajat kemiringan hubungan mortalitas T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin pada gudang P2 lebih kecil dibandingkan pada gudang P1 dan hubungan korelasinya sebesar 0.96 (sangat erat) dibandingkan dengan hubungan korelasi pada gudang P1 yang hanya sebesar 0.53. Besarnya nilai korelasi pada gudang P2 ini menunjukkan bahwa hubungan antara respon mortalitas T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin lebih erat dan tingkat resistensi yang terjadi pada gudang P2 lebih besar dibandingkan pada gudang P1.

Tabel 11 Persamaan garis regresi dan korelasi antara mortalitas imago T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin pada gudang bahan baku

pakan ternak

Gudang Persamaan regresi dan korelasi P1 y = 12.92 + 1 331.55x ; R2 = 0.53 P2 y = - 1.96 + 608.28x ; R2 = 0.96 P3 y = 0.34 + 1 583.63x ; R2 = 0.97 P4 y = - 2.69 + 434.97x ; R2 = 0.86 P5 y = - 7.82 + 1 956.03x ; R2 = 0.93

Tingginya resistensi imago T. castaneum yang diuji kemungkinan dipengaruhi oleh perlakuan rutin fumigasi yang dilakukan di lokasi gudang bahan baku pakan ternak impor maupun terjadinya perkawinan antara T. castaneum yang ada di Indonesia dengan T. castaneum yang terbawanya dari negara asal komoditi pada saat stadia T. castaneum yang toleran terhadap fosfin dan tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan.

(38)

24

ke gudang P2 tersebut. Berdasarkan Gambar 3, volume dan frekuensi komoditi bahan baku pakan ternak yang masuk pada gudang P2 banyak berasal dari negara Argentina, Brazil, dan India. Walaupun demikian, Nilai RF pada gudang P4 yang tidak pernah difumigasi lebih tinggi dibandingkan gudang P1 dan P3 yang sering difumigasi. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh T. castaneum yang terbawa bahan baku impor, terutama dari Argentina, Brazil dan India yang merupakan negara yang mendominasi volume dan frekuensi komoditi pakan ternak yang masuk pada gudang P4 dan gudang P2. Volume dan frekuensi komoditi bahan baku pakan yang berasal dari Argentina dan Brazil pada gudang P2 dan P4 mendominasi di kedua gudang ini sehingga komoditi yang berasal dari Argentina dan Brazil mempunyai peluang yang besar untuk mempengaruhi resistensi hama yang ada di gudang P2 dan P4 dan menyebabkan nilai RF T.castaneum terhadap fosfin di gudang P2 dan P4 lebih tinggi dibandingkan gudang yang lainya. Kemungkinan peluang masuknya T. castaneum dari Argentina dan Brazil di dukung oleh hasil intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon (Tabel 8) yang menemukan T. castaneum pada komoditi yang berasal dari Argentina dan Brazil.

Teknik aplikasi fumigan yang kurang tepat, misalnya kebocoran pada plastik fumigasi dan waktu pemaparan fumigan yang kurang, juga telah meningkatkan tekanan seleksi untuk resistensi. Hal ini menyebabkan terjadinya seleksi serangga hama yang difumigasi, dimana hanya individu yang resisten saja yang bertahan hidup dan berkembang biak menjadi suatu populasi yang resisten (Benhalima et al. 2004). Menurut Winks (1985), perlakuan fumigasi dengan fosfin lebih baik memperpanjang waktu fumigasi daripada meningkatkan konsentrasi. Peningkatan konsentrasi fosfin yang tinggi (>0,5 mg jam/L) pada serangga hama gudang dapat mengakibatkan efek narkosis, serangga menjadi tidak aktif, sehingga menghambat penyerapan fosfin oleh serangga dan menyebabkan serangga menjadi lebih toleran.

Menurut Benhalima et al. (2004), faktor lain yang dapat mempengaruhi evolusi resistensi serangga terhadap fosfin adalah gerakan serangga karena perdagangan komoditas. Kondisi serangga pada stadia telur dan pupa yang tidak aktif (diapuse) membuka peluang masuknya OPT yang tingkat resistensinya terhadap fosfin berbeda masuk ke wilayah negara Indonesia. Menurut Pimentel et al. (2010), evolusi resistensi fosfin pada T. castaneum yang terjadi di Brazil disebabkan oleh perdagangan komoditi dalam negeri dan proses seleksi yang terjadi di negara tersebut.

Berdasarkan survei Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1972-1973, faktor resistensi Tribolium spp. terhadap fosfin di negara USA, India, China, Jepang, Australia lebih besar 16 kali dari discriminating dose FAO, negara Argentina dan Kanada sebesar 3 kali, sedangkan negara Indonesia pada saat itu belum ada laporan terjadinya resistensi (Champ 1985). Rajendran (2007) menyatakan bahwa resistensi T. castaneum pada 4x discriminating concentration FAO di India telah ditemukan pada 110 lokasi pengambilan contohnya dan Opit et al. (2012) menyatakan bahwa T. castaneum di Oklahoma-USA memiliki resistensi faktor terhadap fosfin sebesar 119 kali.

(39)
(40)

26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Inventarisasi serangga hama ordo Coleoptera pada gudang pakan ternak

menemukan T. castaneum, C. ferrugineus, S. zeamays, A. diaperinus, O. surinamensis. Nilai faktor resitensi (RF) T. castaneum terhadap fosfin

bervariasi dengan kisaran faktor resistensi 3 sampai 33 kali. Saran

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Athie I and Mills KA. 2005. Resistance to phosphine in stored grain insect pest in Brazil. Brazilian Journal of Food Technology. 8(2): 143-147.

[Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2007. Manual Fumigasi Fosfin (Untuk Perlakuan Karantina Tumbuhan). Jakarta (ID): Badan Karantina Pertanian [Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2014. Laporan Tahunan Tahun Anggaran

2010-2013 dan Data Sistem E-plaq. Jakarta(ID):Badan Karantina pertanian. Benhalima H, Chaudhry MQ, Mills KA, Price NR. 2004. Phosphine resistance in stored product insect collected from various grain storage facilities in Morocco. J Stored Prod Res. 40: 241-249.

Bousquet Y. 1990. Beetles Associated with Stored Products in Canada: An Identification Guide. Canada (CA): Agriculture and agri-food Canada. 214 page.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insect. 1083 page. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Data impor biji jagung dan soybean meal

2009-2013 [Internet]. [diunduh 2014 Agustus 20]. Tersedia pada: http:// www.bps.go.id/exim-frame.php.

[CABI] CAB International. 2014. Datasheet Tribolium castaneum [Internet]. [diunduh 25 Nopember 2014]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/cpc/ datasheet/54667.

Champ BR. 1985. Occurrence of resistance to pesticides in grain storage pests. In Champ BR and Highley E, editor. Pesticides and Humid tropical grain storage systems; 1985 May 27-30; Manila, Philippines. Manila [PH]: ACIAR proceeding. P 229-255.

Collins PJ, Daglish GJ, Nayak MK, Ebert PR, Schlipalius D, Chen W, Pavic H, Lambkin TM, Kopittke R, and Bridgeman BW. 2000. Combating resistance to phosphine in Australia. In Donahaye EJ, Navarro S, and Leesch JG, Eds. Proc. Int. Conf. Controlled Atmosphere and Fumigation in Stored Products; 2000 Oct 29-Nov 3; Fresno,CA. CA[US]: Executive Printing Services. page 593-607.

Collins PJ, Daglish GJ, Bengston M, Lambkin TM, Pavic H. 2002. Genetics of resistance to phosphine in Rhyzopertha dominica (Coleoptera:Bostrichidae). Journal of Economic Entomology 95 (4): 862-869. doi: http://dx.doi.org/ 10.1603/0022-0493-95.4.862

Dadang. 2012. Monitoring populasi serangga hama gudang. Di dalam: Prijono D, Dharmaputra OS, Widayanti S,editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP, KLH, UNINDO. hlm 97-121.

[FAO] Food Agriculture Organisation. 1969. A Manual of fumigation for Insect Control 2nd ed. Rome [IT]: FAO. 379 p.

(42)

28

Fragoso DB, Guedes RNC, Peternelli LA. 2005. Developmental rates and population growth of insecticide resitant and susceptible population of Sitophilus zeamais. J. Stored Product. Res. 41: 271-281.

Gorham JR. 1991. Insect and mite pest in food: An illustrated key part 1. Amerika Serikat (US): United States Department of Agriculture. 297 hal.

Haines CP. 1991. Insect and Arachnids of Tropical Stored Products:Their Biology and Identification (A Training Manual). United Kingdom (GB): Natural Resources Institute. 246p.

Hagstrum DW, Phillips TW, Cupeus G. 2012. Stored Product Protection. Amerika Serikat (US): Kansas state university. 350 p.

Harahap IS. 2012. Ekologi serangga hama gudang. Di dalam: Prijono D, Dharmaputra OS,Widayanti S, editor. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP, KLH, UNINDO. hlm 53-70.

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crop in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta (ID): PT.Ichtiar baru-Van hoeve. Terjemahan dari: De plagen van de cultuurgewassen in Indonesie.

Maksum M. 2013. Profil bahan pakan impor [Internet]. [diunduh 2014 Nov 14]. Tersedia pada http: // pakan. ditjennak. deptan. go.id/index.php/regulasi/ get-file/62.

Mc Maugh T. 2007. Pedoman surveilensi organisme pengganggu tumbuhan di Asia dan Pasifik. ACIAR Monograph No.119a: 176-180.

Medion. 2013. Mencampur ransum sendiri. Medion online [Internet]. [diunduh 11 Des 2014]; Okt 2013. Tersedia pada http: //info.medion.co.id/index. php/component/content/article.

Michael P. 1994. Metode ekologi untuk penyelidikan lapangan dan laboratorium. Yanti R Koestoer,penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari:Ecological methods for field and laboratory investigations. Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.

Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada Press.

Opit GP, Phillips TW, Aikins MJ, Hasan MM. 2012. Phosphine in T. castaneum and R. dominica from stored wheat in Oklahoma. J. Econ. Entomol. 105 (4): 1107-1114. doi: http://dx.doi.org/10.1603/EC12064.

Pimentel MAG, Faroni LRD’A, Silva FHD, Batista MD, Guedes RNC. 2010.

Spread of phosphine resistance among brazilian populations of three species of stored product insects. Neotrop. Entomol. 39(1). doi: http://dx.doi.org/ 10.1590/S1519-566X2010000100014.

Rajendran S. 2007. Phosphine resistance in stored grain insect pest in India. In Proceedings of the 7th International Working Conference on Stored Product Protection Volume 1. [Internet]. hlm 635-641; [diunduh 2014 Sep 4]. Tersedia pada: http://spiru.cgahr.ksu.edu/proj/iwcspp/pdf2/7/635.pdf.

Rees D. 2007. Insects of Stored Grain: A Pocket Reference. 2nded. Australia (AU): CSIRO Publishing. 77 hal.

(43)

Ridley AW, Schlipalius DI, Daglish GJ.2012. Reproduction of phosphine resistant Rhyzopertha dominica (F.) following sublethal exposure to phosphine. Journal of Stored Products Research (48): 106-110. doi: 10.1016/j.jspr. 2011.10.005

Sauer DB. 2008. Storage of Cereal Grains and Their Products. Fourth edition. Amerika Serikat (US): American Association of Cereal Chemists, Inc. 606 hal.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1996. Bungkil Kedelai Bahan Baku Pakan. Jakarta (ID): Badan standarisasi nasional.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Jagung Bahan Baku Pakan. Jakarta (ID): Badan standarisasi nasional.

Subramanyam H, Hagstrum DW. 1996. Sampling. In Subramanyam H, Hagstrum DW, editors. Integrated Management of Insects in Stored products. Amerika Serikat (US): Marcel Dekker, Inc. pp 135-193.

Surahmat EC, Milantina M, Arifin S, Sunjaya, Widayanti S. 2012. Buku Panduan Fumigasi Fosfin yang Baik dan Benar. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP, KLH, UNINDO. 33 hlm.

Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. 273 hal.

Winks RG. 1984. The toxicity of phosphine to adults of Tribolium castaneum (Herbst): Time as a dosage factor. J. Stored Prod. Res. 20 : 45-56.

Winks RG. 1985. The toxicity of phosphine to adults of Tribolium castaneum (Herbst): Phosphine-induced narcosis. J. Stored Prod. Res. 21 (1): 25-29. Winks RG, Waterford CJ. 1986. The relationship between concentration and time

(44)
(45)
(46)
(47)

Lampiran 1 Penghitungan volume gas fosfin aktual yang akan diaplikasikan dari fosfin 56% ke dalam tabung desikator fumigasi ukuran 2 liter

Rumus (FAO 1980) :

D1(µl) x 273 x 1000 x 33.9977 (GMW fosfin) x 56 X1(mg/l) =

298 x V1(l) x 22.414 x 1000 x 1000 x 100 Keterangan:

X1 : Konsentrasi fosfin (mg/l)

D1 : Volume gas fosfin aktual yang diaplikasikan dari fosfin 56% (µl) V1 : Volume desikator fumigasi (l)

56% sumber fosfin ekuivalen dengan konsentrasi 0.778152 µg/µl, sehingga : X1(µg/l) x V1(l)

D1(µl) =

0.778152 (µg/µl)

Maka volume fosfin aktual (µl) yang diambil syringe untuk dimasukkan ke dalam tabung desikator fumigasi ukuran 2 liter dari lima konsentrasi uji X1 0.005; 0.014; 0.023; 0.031; 0.040 mg/l adalah:

X1 dalam mg/l X1 dalam( µg/l) D1(µl)

0.005 5 12.85 ≈ 13

0.014 14 35.99 ≈ 36

0.023 25 59.15 ≈ 59

0.031 31 79.69 ≈ 80

(48)

34

Lampiran 2 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari gudang pakan ternak P1 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam Sumber

Keterangan: ** berbeda sangat nyata pada P = 0.01

Lampiran 3 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari gudang pakan ternak P2 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam Sumber

Keterangan: ** berbeda sangat nyata pada P = 0.01

Lampiran 4 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari gudang pakan ternak P3 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam Sumber

Keterangan: ** berbeda sangat nyata pada P = 0.01

Lampiran 5 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari gudang pakan ternak P4 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam Sumber

Keterangan: ** berbeda sangat nyata pada P = 0.01

Lampiran 6 Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari gudang pakan ternak P5 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam Sumber

(49)

Lampiran 7 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P1

parameter standard error t ratio

DFTC 2.1547921 .33847212 6.3662321 SLOPE 1.3155063 .19551721 6.7283399 Variance-covariance matrix

DFTC SLOPE

DFTC .1145634 .6520127E-01 SLOPE .6520127E-01 .3822698E-01

chi-square 47.746 degrees of freedom 3 heterogeneity 15.915 Index of significance for potency estimation:

g(.90) = 1.9471 g(.95)=3.5606 g(.99)=11.994 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 DFTC .02301

LD90 DFTC .21687 LD95 DFTC .40960 LD99 DFTC 1.35024

Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam setelah 14 hari di gudang pakan ternak P1

DFTC subjects 500 controls 100

Log (L) = -320.2 slope = 1.316+.196 nat.resp.= .000 + .000 heterogeneity = 15.92 g = 3.561

(50)

36

Lampiran 8 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P2 parameter standard error t ratio

DFTC 2.0673139 .63527969 3.2541791 SLOPE 2.0028106 .40092082 4.9955266 Variance-covariance matrix

DFTC SLOPE

DFTC .4035803 .2527293 SLOPE .2527293 .1607375

chi-square 1.5138 degrees of freedom 3 heterogeneity .50 Index of significance for potency estimation:

g(.90) = .10842 g(.95) = .15393 g(.99) = .26587 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 DFTC .09285 lower .06646 .06338 .05835

upper .17554 .21389 .36372 LD90 DFTC .40520 lower .20419 .18569 .15770 upper 1.55698 2.37647 7.45058 LD95 DFTC .61527 lower .28002 .25113 .20827 upper 2.89748 4.71636 17.60260 LD99 DFTC 1.34690 lower .50594 .44197 .35042 upper 9.29833 17.07949 88.43432 Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam setelah 14 hari di gudang pakan ternak P2

DFTC subjects 500 controls 100

log(L) = -158.0 slope = 2.003+.401 nat.resp. = .000 + .000 heterogeneity = .50 g = .154

(51)

Lampiran 9 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P3

parameter standard error t ratio DFTC 2.6210776 .36674724 7.1468229 SLOPE 1.7501004 .21629986 8.0910845 Variance-covariance matrix

DFTC SLOPE

DFTC .1345035 .7824079E-01 SLOPE .7824079E-01 .4678563E-01

chi-square 11.484 degrees of freedom 3 heterogeneity 3.8279 Index of significance for potency estimation:

g(.90) = .32384 g(.95) = .59220 g(.99) = 1.9948 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 DFTC .03179 lower .02203

upper .06745 LD90 DFTC .17163 lower .07612 upper 2.86022 LD95 DFTC .27682 lower .10428 upper 8.58468 LD99 DFTC .67857 lower .18683 upper 67.96821

Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam setelah 14 hari di gudang pakan ternak P3

DFTC subjects 500 controls 100

(52)

38

Lampiran 10 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P4 parameter standard error t ratio

DFTC 3.6166357 1.1538015 3.1345389 SLOPE 3.2477169 .76336667 4.2544652 Variance-covariance matrix

DFTC SLOPE

DFTC 1.331258 .8776879 SLOPE .8776879 .5827287

Index of significance for potency estimation:

g(.90) = .14947 g(.95) = .21223 g(.99) = .36656 Effective Doses

dose limits 0.9 0 0.95 0.99 LD50 DFTC .07699 lower .05878 .05668 .05324

upper .13853 .17019 .31691 LD90 DFTC .19099 lower .11419 .10668 .09507 upper .60405 .90796 3.12631 LD95 DFTC .24710 lower .13765 .12742 .11181 upper .91825 1.46188 5.99504 LD99 DFTC .40060 lower .19532 .17769 .15142 upper 2.01567 3.57458 20.35221

Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam setelah 14 hari di gudang pakan ternak P4

DFTC subjects 500 controls 100

log(L) = -102.1 slope = 3.248+.763 nat.resp. = .000+.000 heterogeneity = .03 g = .212

(53)

Lampiran 11 Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P5 parameter standard error t ratio

DFTC 5.7424342 .60090197 9.5563578 SLOPE 3.7262736 .37698152 9.8844992 Variance-covariance matrix

DFTC SLOPE

DFTC .3610832 .2250981 SLOPE .2250981 .1421151

chi-square 19.147 degrees of freedom 3 heterogeneity 6.3823 Index of significance for potency estimation:

g(.90) = .36178 g(.95) = .66159 g(.99) = 2.2286 Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99 LD50 DFTC .02877 lower .02201

upper .04206 LD90 DFTC .06351 lower .04300 upper .25745 LD95 DFTC .07950 lower .05001 upper .44743 LD99 DFTC .12113 lower .06583 upper 1.27191

Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dengan pemaparan 20 jam setelah 14 hari di gudang pakan ternak P5

DFTC subjects 500 controls 100

Gambar

Tabel 1  Volume (ton) biji jagung dan bungkil kedelai impor Indonesia
Tabel 3  Persyaratan mutu biji jagung sebagai bahan baku pakan ternak
Tabel 5  Deskripsi fumigan fosfin
Gambar 2  Alat untuk menghasilkan gas fosfin;  (Sumber: FAO 1980)
+7

Referensi

Dokumen terkait

proses dan hasil belajar belajar yang diharapkan dicapai peserta didik sesuai dengan

(3) Personil yang ditunjuk Kepala Dinas menjadi anggota Tim Teknis wajib mentaati prosedur dan standar teknis yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Teknis.. (4) Personil

[r]

Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, egara, budaya dan politik yang semakin

Sebagai langkah awal di dalam Manajemen Keperawatan yang harus dilakukan adalah mengumpulkan segala informasi yang dibutuhkan di dalam Manajemen Keperawatan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemungutan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Penerapan yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran CTL (contextual taching and learning) dengan menggunakan

Prakonsentrasi merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menaikkan konsentrasi analit tanpa melalui proses penambahan standar atau secara sederhana dapat disebut juga dengan