• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN INSTITUSI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN INSTITUSI PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)

A R D I

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

Agroforestry System (Case Study of Lamban Sigatal, Sarolangun Jambi). Under direction of Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman and Bramasto Nugroho This research was due to the current policy of People’s Plantation Forest (HTR) that imposed by the Government to meet the public demand for forest management. The main purpose of this research is to formulate the institutional development for HTR management on agroforestry system that can improve the welfare of society mainly the community manager of jernang plant. Data collection methods used in this study include techniques of observation, structured interviews, in-depth interviews and documentation study. The sampling technique applied in this study consisted of a deliberate sampling (purposive sampling), and snowball sampling. The methods of analysis using the framework of institutional analysis development (IAD) to describe the characteristics of biophysical conditions, characteristics of community, rules in used, understanding of arena action and patterns of interaction. It is include the public analysis, policy analysis, analysis of the Jernang trading system and marketing margins, financial feasibility analysis of Jernang Rubber Agroforestry, decent living needs analysis, analysis policy issues, and synthesis is done using the analysis of strategic planning and focus group discussions (FGD). The results show that Lamban Sigatal forest is resources that have the potential of resource units in the form of "Jernang" as a shared resource (common pool resources), which is used by the group penjernang with operational rules and the rules of the collective group of customary institutions. The government has put the back-up region of HTR, on the other side of the community has initiated the proposed Jernang governance in the region with the HTR-provisioning Jernang Rubber Agroforestry system and group management. Potential development of HTR with Jernang Rubber agroforestry system (AK-J) that can provide an average income per hectare per year is Rp. 31,237,635. Where to meet the needs of life Rp. 32 million per year is needed concessions area of AK-J about 103 ha. Access to backup land in Lamban Sigatal that community is expected in the form of IUPHHK-HTR can not be realized because the public has not been able to meet the requirements as mandated by law as a result of policies that do not attention to the characteristics of local resources, community capacity and resource efficiency trading system. Contribution of research results to State resources management theory is as follows: the management of shared resources which manages the state owned by a perfect society need access to land in the form of licensing and pay attention to the local character of resources, community capacity and efficiency of trading systems.

(4)

Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi).

Dibimbing oleh Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman, dan Bramasto Nugroho. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang diberlakukan pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pemanfaatan hutan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan (mendesain) pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola tanaman rotan jernang. Tujuan utama dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) Mengetahui karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan sumber daya. (2) Mengetahui respon pemerintah dan inisiasi masyarakat terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (3) Menemukan permasalahan dalam institusi pembangunan HTR dari sisi kepastian hak pemilikan masyarakat, kapasitas masyarakat dan efisiensi pasar.

(5)

pola silvikultur karet-jernang untuk pengembangan institusi pengelolaan HTR diketahui melalui data/informasi berkenaan dengan respon masyarakat untuk membangun aksi kolektif yang mendorong kepastian hak kepemilikan dalam pengelolaan sumber daya hutan melalui kebijakan HTR.

(6)

dibutuhkan dalam institusi pembangunan HTR. (6) Sintesis pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri, Hasil identifikasi permasalahan selanjutnya digunakan sebagai topik diskusi, sedangkan hasil identifikasi stakeholder menjadi kriteria di dalam menentukan pesertaFocus Group Discussion(FGD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sumberdaya hutan Lamban Sigatal merupakan sumberdaya milik Negara yang memiliki potensi unit sumberdaya berupa “Rotan Jernang” sebagai sumberdaya bersama (common pool resources), yang dimanfaatkan oleh kelompok penjernang dengan aturan operasional kelompok dan aturan kolektif lembaga adat. (2) Pemerintah telah mewujudkan kawasan pencadangan HTR, di sisi lain masyarakat telah berinisiasi mengusulkan kawasan kelola Jernang di dalam kawasan pencadangan HTR dengan pola Agroforestri Karet-Jernang serta kelompok pengelola. (3)Adanya potensi pembangunan HTR dengan pola agroforestri Karet Jernang (AK-J) yang dapat memberikan pendapatan rata-rata per hektar per tahun sebesar Rp 31 237 635. Di mana untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak sebesar Rp 32 000 000 pertahun dibutuhkan pengusahaan AK-J seluas 1.03 ha. (4) Akses terhadap lahan pencadangan HTR di Desa Lamban Sigatal yang diharapkan masyarakat dalam bentuk IUPHHK-HTR belum dapat terwujud karena masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan peraturan perundangan sebagai akibat kebijakan yang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya. (5) Kontribusi hasil penelitian terhadap teori pengelolaan sumberdaya milik Negara adalah sebagai berikut: pengelolaan sumberdaya bersama milik Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat diperlukan akses yang sempurna terhadap lahan dalam bentuk perizinan dan memperhatikan karakter sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga.

(7)
(8)

(Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)

A R D I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Pada Ujian Tertutup (20 Mei 2011) : 1. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS

(Ketua Departemen Manajemen Hutan – MNH IPB)

2. Dr. Ir. Iin Ichwandi, MS

(Staf pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)

Pada Ujian Terbuka (27 Juni 2011)

1. Dr. Ir. Bejo Santosa, M.Si

(Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Republik Indonesia)

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

(11)

Nama : A r d i

NRP : P062070201

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

(12)

kekuatan, berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun - Jambi)” ini dapat diselesaikan. Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan komisi pembimbing, yang telah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis tentang bagaimana seharusnya mengkaji permasalahan yang terkait dengan institusi pengelolaan sumber daya alam. Disamping itu, peran yang cukup besar juga diberikan oleh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, khususnya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses studi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA serta Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman angkatan 2007 PSL yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesaikannya disertasi ini.

Disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan disertasi ini.

Bogor, Juni 2011

(13)

1970 sebagai anak sulung dari pasangan H. A. Halim Saleh dan Hj. Marianis. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Pada Tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 dengan biaya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun. Penulis telah memiliki istri yaitu Dr. Sunarti, SP., M.P dan telah dikaruniai dua orang anak, Muhammad Raidan Azani (10 th) dan Muhammad Adli Rahmat Solihin (9 th).

Penulis saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun mulai tahun 2007. Sebelumnya pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung (1997) dan Pemerintah Kota Jambi (2002). Selain itu penulis juga aktif pada kegiatan sosial kemasyarakatan, saat ini masih menjadi anggota pada Yayasan Gita Buana Jambi

(14)

! " #

$ %" #! & !"

'

( )&) *"&* + ,

' )-)"" " .

/ "0 " "

1 %2)"

3456 789 :;

< % (

$ )&2=>& !2*&?!! ="@ &* +"@ " # A "" > (

$$ A !%@ & !"="B & !%@& !" ,

$( A !* *& $

$' "*) *="%"- "*) * $$

$/ "#&2" #"C "#)"=") 2+""*) * $(

$1 "* @ *""*) * $/

$D " * *"#& 2 "#""*) * $D

$, " * *%2-!" (/

$E #A0A * > (1

$. "&"A"< ""# (,

$ *+"% '.

F

'(

( &@ ="G!)" " '(

($ "H" #"" " ''

($ A =" #)&@) " ''

($$ !"!"")""0A &"

'1 ($( A !)*%-"" "=" I"0A &*" " 'D

($' < "*=") & 2 ',

(( A =" * * 'E

(( " * *%! *!)& 2 >) " 'E

(($ " * *%! *!%A& )"* *>! 'E

((( " * *)"J)">" # #)" !" *> ! 'E

(((" * * "&! !%@ & !" 'E

((($" * *%2-! ")""&"!> /.

((' " * * #< ""# /.

((/ " * *% >! " ""* ="%2))+"=)@ >! /

(15)

NOP QRSTNU NVW VWTXY ZX[\ YSY ]N^ NXS _`

aPb Ucdefegh eij ckelmcnmf eoLph cp e _`

aPq Uefeieh eir fep e feie _s

aP t ^efeog Lhur vw

aPa Qnih Lp Lj eg eih eik ei eg vb

OP [X UN]TXS\YWxX[XUXS v t

_Pb Qefelkc fL pk L lUu yzcfTe{e[uk eiTcp e]eyzeiULmekej v t _Pq Qefelkc fL pk L lQcj nyrnlWep{efel ek\cyei oe ekZnk ei|cfieim vv _P t Xkufei{ei mh L mui el eih ejey\cyei o eek eiU u yzcfTe{e[ukei `w

_P tPb \cfLnh cp czcju yk eguibs`w `w

_P tPq \cfLnh ckeguibs` w }qww` `a

_P tP t \cfLnhckeguiqww~g Limmep eekLi L p ckcj eg

ehei{elczL delei

rci€ ehei mei

[^Z ` ~

_Pa QczL delei[ukei^ei eyeiZel{ek ~w

_PaPb \fLi pL rh eip epefei ~w

_PaPq Wclei Lpycrci€eh eim eief cejgukeik eieyeifel{ek ~q _PaP t Wclei Lpych eiM c fLo L lep LrcyzcfL eiL‚ Li ~t

_PaPa |ci Lp^ei eyei ~v

_P_ Nik c felp LQcjnyrnlWep{e fel ekhci meiUu y zcfTe{e ~~ _P_Pb Nikcfelp LXik e fQcjnyrnlWep{e fel ekTcpe]eyzeiULmekej ~~

_P_Pq Nikcfelp LWep{efel ekh ci meiUu yzcfTe{e s q

_Pv Zcp rni\cycfLik egTecf egh eiyep{efel ekkcfg eh erQczL delei[uk ei ^ei eyei Zel{ekheiNi Lp Lep LXmfnon fcpk fLQefck|cfi ei m s`

_PvPb Zcp rni\cycfLik egTecf eg^cfgeh erQczLd elei[^Z s` _PvPq Ni Lp L ep L\ci mupuj eiQeƒep eiQcjnj e|cfi eim s~

_PvP t Ni Lp L ep LXmfno nfcpkfLQefck}|cfi ei m bwb

_P` Ukel cg nj h cf bwa

_P ~ \cimcj nje eipu yzcfhe{egukei h L

Tcp e]eyzeiULmekejUeekNi L bw ~ _P ~Pb Qcrepk L ei[elQc rcyLjLlei^cfg eherUu yzcfTe{e[uk ei bw ~

_P ~Pq Qerep Lkepj cyzem ercj elp ei e bb_

_P ~P t WefmLi^ekei L em e|cfi eim bbv

_Ps \cfyepejeg eihejey\cyeio eek ei hei

\cimcjnj eei

Uu yzcfTe{e[ukeiTcp e]eyzeiULm ekej bb`

_Pbw TLp eLirci mcyzei m eiLi pk Lkup Lr cimcj njeeipuyzcfh e{egukei

Tcp e]eyzeiULmekej bbs

ON QYUNW\ V]XSTXSUXZXS bqt

TX„^X Z\ VU^XQX bq_

(16)

‡ˆ‰Š ˆ‹ŠˆŒŽ

‘’“ ” • –“— ˜ ™š“› œ“ ˜ œš— ˜ž’™– š œŸ  ‘’ ™–š œ˜š “ ¡žž“ œ“

¡—“› ¡  ¡—†— ¡˜ ’“ž ˜— ž“¡ž  ’–“›œ “ ¡ž ’–‘—“œž“›— ¢ž“›˜—

˜ž’™–šœŸ ‘’ ”£

¤ ¥— ¦§‘§›—™š“›œ“˜ ”¨

£   ©ª Ÿ “›¡– š— ¡™–š œ˜š “¦§ ˜—˜— –‘§’¦§  ’ ˜ Ÿš ¡ ”«

¬

¥— ¦–š–­—’ª ¦–’—‘— “œ–“›“¦–’—‘—  ®ª ¦–’—‘—  œ–“›“

 –¯—™“¦–’—‘—   ¤°

¨ ±ž’¦ž‘“¢  ¡§ š  š—¡—˜ž“¡ž  –˜ž  ˜– ˜“¦–“›¡ž š“˜ž’™– šœŸ’—‘—  ™– š˜’ 

² ³´µµ´¶·´ ´¸¹ º» ´¼ ¹ ³º» ½

¤¾

¾ ¿– §’–“œ˜— ¡ š“ ¦ž ¦ž  œ“ ¢š– ž–“˜— ¦ –’ž ¦ž “ ¡“’“  š– ¡

˜– ˜ž—œ–“›“ž’ž š¡“  ’ “ ¬¤

À Á“¢§š’ “ ž“ —œ“ž’ ‘ª—“ ¢§ š’“ ž“—Ÿ“›œ—¦– š›ž“  “œ‘’

¦–“–‘—¡—“ ¬À

Ã

ė“’—  —“˜ ¡— ¡ž˜—¦–“›–‘§‘“˜ž’™–šœŸªž ¡“œ– ˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ¨° « ǐ¡š—  ˜ ¦–“–‘—¡—“ ¦–“›–’™“›“ —“˜ ¡—¡ž ˜— ¦–“›–‘§‘“ ªž ¡“ ¡“’ “

š Ÿ¡¦§‘› š§¢§ š–˜ ¡ š— ¨¬

”° ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘™–š™ž —¡Ä–˜Å’™“Æ— ›¡ ‘ ¾” ”” ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘œ¡š“Ä–˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ¾¤ ”¤ ±§“œ— ˜—‘ª“œ“¡“ª¦œš– ‘—š“˜ž“›—Ä– ˜Å’™“Æ— ›¡ ‘ ¾¤ ”£ ˜—‘ ¦“–““ –š“ “› ¦– š ¡ªž“ ¦œ ˜– ¡—¦ ‘§ ˜— ¦–“š—“ œ— ªž ¡“

Ė ˜Å’™“Æ—›¡ ‘²  ›½ ¾¨

”¬

Ȗ“›–‘§‘ “˜ž’™– šœŸªž ¡“œ–˜Å’™“Æ—›¡ ‘˜–™–‘ž’¡ªž“

”« À° À°

”¨ Ȗ“›–‘§‘ “˜ž’™– šœŸªž ¡“œ–˜Å’™“Æ—›¡ ‘ ”« À°©¤°°À À¬ ”¾ Đ ¢¡š¦ – šž ˜ª“

È 

œ“¥Áœ—¯—‘Ÿª˜ – — ¡šÅ’™“Æ— ›¡‘ À¨ ”À Á“˜¡— ¡ž ˜—¦–“›–‘§‘“¦ –š—§ œ–¡ªž“¤°°Ãª—“››˜¡—“—²˜– ¡–‘ªœ“Ÿ

 – ™—  “¦–“œ“›“¥ ¿½ À«

”Ã

± ‘–“œ–š’ž ˜—’¦–’ “¢¡“˜ž’™– šœŸ’ ˜Ÿš ¡Ä– ˜Å’™“

(17)

ÌÍ ÎÏÐÑ ÏÒÑËÓ ÔÑ ÕÔÐÔÖ Ô××ÏÐ Ø ÔÙÔÒÖ ÏÚËÛ ÔÖÔÜÝÞ× ÔÜß Ô ÜÔÓ ÔÜàÔÖÕÔ× ÍÍ áâ ãÏÚ Þ×ÞØÔÜØËÙÞ Òä Ô ÕÔÖåãÝæçÓÔÑÕÔÐ ÔÖ Ô×ÙËÑ ÏÖË×ÔÐØÞ× ÔÜ Ìâè áÌ ãÔÐ ÔÖ× ÏÐÏÖé ÜéÓËÐ ÞÓ ÔØ×ÔÜêê ÔÒÏÜêéäÔØÛÏÐ ÜÔÜêÙÏÑ ÔæÔÓ Ú ÔÜëËêÔ×Ôä ÌÌì

(18)

òó ôõóö÷óøùóö

úûüûýûþ

ÿ ûþûýññûþþüññ ûþ

ý ûþ ýûûüûûþþüññûþ ÿ

ûþû ûþ ûþûüññþýûþûþñ þñ ñ

þûýûþ û þûþ

ûýûþüññûþ

û þ

þ û ûþûþú

ûûûûû ýûþñûû ü

û ü ûþûûþñûû þûþñûýûþñûû ü û ûþ û üûþþ

û ü ûþûûþñûû þûþûûýýñ ðñþñ ûýñ

û ûþýüûþþûþý ûûûû ûûýûþñûû ü

ÿ úþûþûþûüýûû üýûûüû üñûûýûþñûûü

ÿÿ ûþñûñ! ÿ

ÿ !ûþ ûþ

ÿ þû þûþ

ÿ þ þ ûþ

ûüûý

ý ûûþ

ÿ ûüûþû"ûûþü üû þûþû ûû"ûû þþ ûûþûþú

üýû ûûû ûûýûþñûû ü ÿ

ÿ ýñññûûûþûý ûþûûþ þûþ ÿ

ÿ ñþûý ñûý ûûþ#ûûûþûþ ûûýûþñûû üüûýûñû

ñ ÿ

ÿ $ûþñýý ñûþñ %ñ þú ûûûþ ýþ

(19)

-./0 .12.345 1.6

7898:8; < 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;DE A;?8@,8;F A@;8;D <GG H 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D=8 9I @8;C8C8;,8D8F A@;8;D <J<

G

78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D=AF8@8KE A:8 ; L88C8;=I: MA @B8N8

<JO J 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D@A=EP;EA:A@,;C8KB8A@8K

C A@K8B8EQAM,F8Q8;7R S

<OH

O T;8 9,=,=QA98N8 Q8;L,; 8;=,898D @P LP@ A= C@,Q8@ACF A@;8;D <OG

U V8C@,Q=T@A;8TQ=,WXC8QAKP 9BA@=YE A;D8@IKB8;QAE AC,;D8; = C8QAKP 9BA@=E8B8Z;= C,CI =,[ A;DA9P 988;7R S

<OJ

\

78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;D M,8N8

EA;DI @I=8;Z][77^ _ 7R S :A98 9I,E @PNAQ`ab cRX[

<U<

d 78=, 9>8>8;?8@8:A;B8 9 8:C A;C8;DM,8N8EA;?8@,8;e A@;8;DB8;K8@D8 F A@;8;DE8B8:8=,;D_:8=,;D9A: M8D8E A:8=8@8;

<UH

f gPCI9A;=,hijklmn ikopq ljkl l qirs`ct uB8 98:@8;DQ8

E A;D A: M8;D8;,;= C,CI =,EA;D A9P 988;7R SEP 98TD @P LP@A= C@,^8@AC e A@;8;D

(20)

1.1 Latar Belakang

vwx ywz {z ||x }~|x ~x~ € |‚| ƒ wx„ w…|} w†| €|x |x ƒwƒ| €ƒ~ †€| x ƒ|„y|†| €| „ w„ ~|‡ |ƒ|x | €{x„ ‡ ~„ ‡ ˆx|xy ‰ˆx |x y Š|„ |† ‹ ŒŽ y|xy w† ~|xy ‚||‚|„ |z  |y| () ‡ | €z|}~ €~‚ }|x|y wxy|x‚wƒ ‘|xy~x|x w€{x {ƒ ‡ y|xy ‘w†’{€~„ ‚ || ‚wx‡ x y€| |x ‚ w†~ƒ‘~}|x  w|‚‡ ‚ w†z~ ‡‚w†} |‡€| x …~ y| ‚ wƒ ‘|xy~x|x |„‚ w€ z|‡xx|y  w†~ |ƒ | „ {„ ‡|z ‘~ |y|  |x z‡ x y€~xy|x“ vw†„ {|z |x „ {„ ‡|z ‘~||”y z ‡x y€~xy|x |x w€{x {ƒ‡ y|xy w†€|‡   wxy|x ‚ wxywz {z || x }~|x |x|†| z|‡x ‘w†„ ~ƒ ‘ w† |†‡  ‡| €  ‡z‡‘| €|x x|y ƒ|„y|†| €| z {€|z |z|ƒ ‚ wx ywz {z ||x |x ‚wƒ |x ’|| |x „ ~ƒ ‘ w† |y| }~ | x“ •z w} €|† wx | ‡~ „ {z ~ „ ‡ y| xy ‡ |w|† €|x||z |}‚ wxywƒ‘|x y|x €w‘‡ …|€ |x„ w| † |‚|† ‡„ ‡ ‚| ‡ ’wxy|xƒ wz‡ ‘| €|x ‘w†‘| y|‡‚‡}| €”w†~ |ƒ|ƒ |„y| †| €| ‡ „ w€‡ |†}~ |x“Š wxy|xwƒ ‡ €‡ |x†|x |xy|x €w‘‡ …|€|x ‚ †| € ‡„ |z|ƒ ‚ wxywz{z||x  |x ‚ wƒ|x’|| |x „ ~ƒ ‘w† ||y } ~| x | €|x  w†‡xwy†|„ ‡  wxy|x € w‚ wx‡ x y|x w€{x {ƒ‡” „{„ ‡ |z ‘~|y|  |x ‚ wzw„ |†‡ |x z‡ x y€~xy|xƒ|„| †| €|y „ w wƒ ‚|“

–|† {z|x y~x | |z |} „ |z|} „ |~ —| ‘~‚| wx ‡ v† {‚‡x„ ‡ ˜|ƒ‘‡ y|xy ƒwƒ‡ z‡€‡ €|w|„ |x }~|x | |†|x † wx |}  wxy|x ‚ {wx„ ‡ „ ~ƒ‘w†  ||y €w}~ |x | x y|xy ‡ x yy‡“ ™~|x ‡x‡ ƒ wƒ‡ z‡ €‡ biodiversity ‘w†| y|ƒ y| xy |‚| ‡ ƒ|x ’||€| x ~x ~ € €w‘~~}|x ƒ|x~„ ‡|“ ™|„ ‡ z  |†‡ }~|x | |z |} |x |ƒ|x €|~y |x |x |ƒ|x ‘~ €|x €|y~“–|z|}„ | ~} |„ ‡z}~  |x‘~ €|x€|y~ y|xy|‚ |‡ ƒ|x ’||€|x| |z |}|x|ƒ |x † {|x“ š|x |ƒ|x † {|x ‚ || ~ƒ ~ƒx|y ‡ w€„ ‚z{‡ |„ ‡ ~x ~ € ‡|ƒ‘‡z ‘| | x yx|”y  w |‚‡||‚~z | y| xyƒwƒ|x ’||€|x‘~ |}x|y~x~ €‡{z|}ƒwx …|‡y w |}…w†x|xy“

š|x|ƒ|x † {|x y| xy ƒwx y}|„‡ z €|x … w†x |xy  wz|} z |ƒ | ‡ ƒ|x ’|| €|x {z w} ƒ|„y|†| €|„ w…|€|}~z~ ƒ ‡„ |zx|y ‡€|w|„ |x}~|x‚† {~ €„ ‡›~ €‡›|}|† ‰š| …|~ vw|}“ —|w|„ |x ‘z{€ } ~|x ›~ €‡  ›|} |† ‰ š | …| ~ vw|} w† |‚| ‡ —|‘~‚| wx –|† {z|x y~x |x —|‘~ ‚|wx ›||xy}|†‡” €} ~ „ ~„ ‡ —|‘~‚|wx –|†{z|x y~x ƒ w†~‚| €|x„ |z |}„ | ~|w†|}„ wx† |‚† {~ €„ ‡‚ wxy}|„ ‡z…w†x |xy“

˜w†x |x y  |‚ | ƒwx…|‡ €{ƒ {‡  |„ ~x yy~z|x ~x ~ € ‡€wƒ ‘|x y€|x €|†wx | ‘w‘w†|‚ |’| € {†„ w‘|y|‡‘w†‡ €~œ‹)Nilai Ekonomi :„ |ƒ ‚|‡„ ||‡ x‡… w†x|x yƒ |„ ‡} ƒ w†~‚| €|x „ |z |} „ |~ €{ƒ {‡ ‡ }|„ ‡z }~ |x ‘~ €|x €|y~ (

™™›—) y

(21)

¤¥ ¦§¨©ª «¬­¤ ¬® ¬¯® ¬¯°¥ ± ¬­­y¬¨ ¬²w¬° § ±¯¥­ª ¬¬­³§ ±­¬­´±µª ¬­° ¬®¥ ­´«©± ¬­´¶·· ªµ ­ °§ ± ª ¬²© ­ ¤§ ­´¬­ °§­´§ ¯¨¬­´¬­ ° ¬¦ ¬ ± ¤¥ «©¬¦ ¬¥ µ ®§ ² ¸ ²¥ ­¬ ¤ ¬­ ¹¥­´¬° ©±¬º £) Nilai Ekologi : ª ¬­ ¬ ¯ ¬­ ³ §±­¬­´ ¤ ¬®¬¯ ° ± ¬« ª§ « ¨©¤¥ ¤ ¬¬­y ¬y ¯§ ¯¨ © ª© ²«¬­ ª ¬­¬¯¬­ °µ ²µ ­ ¦§¨ ¬´ ¬¥ ª§´ ¬«¬­ (³§±­¬­´ ª© ¯¨© ²¬­ ¯§ ­³ ¬®¬± ª ¬°¥ ª¥ ¤ ¬« ° ¬±¬¦¥ª)º »§ ­´§ª¬²© ¬­ ®µ «¬® ¯¬¦y¬±¬«¬ª ¼ ³§±­¬­ ´ ¦ ¬­´ ¬ª ½µ½µ« ¤¥«§ ¯¨ ¬­´«¬­ ¤¥ «¬w¬¦ ¬­ ²©ª ¬­¼ ¦§ ²¥ ­´´ ¬ ¤§ ­´ ¬­ ¯§¯¨©¤¥¤¬¬ «¬­y ³ §±­ ¬­´ ¦§½¬±¬ ®¬­´¦© ­´ ³© ´¬ ¨§ ±¬±ª ¥ ¯§ ­³ ¬´ ¬ «§®§¦ª¬ ±¥¬­ ²©ª¬ ­º ¾) Nilai Sosial : ª ¬­¬¯¬­ ³§ ±­¬­ ´ ¦©¤ ¬² ¤¥«§­¬® ¤ ¬­ ¤¥ ¯ ¬­¿¬¬ª «¬­ µ ®§² ¯ ¬¦¬ ± ¬«¬ªy À§ ¦ ¬ Á¬¯¨ ¬­ ¹¥ ´¬ª¬® ¦§³ ¬« ¤ ¬²© ®© º § ±­¬­´ ¤¥ ¯ ¬­¿¬¬ª «¬­ µ ®§ ² ¯ ¬¦y¬ ±¬«¬ª ¦§¨¬´¬¥ µ¨ ¬ª õ¨¬ª¬­ (medicinal plant product)¼ ¯¥¦¬® ­¬y © ­ª © « ¯§­ ´µ¨¬ª ¥ ®© «¬ ¬«¥¨ ¬ª ´ ¬ª ¬® ô ¬ª ¬®¼ ³©´ ¬ ¦§¨¬´¬¥ ±¬¯© ¬­ (philis)

y

¬ ­´¤¥ µ ®§ ¦ « ¬­¤¥ «§ ­¥­´¥¨© Ã¥¨ © y¬­´¨¬±©¯§ ®§w¬ª¥° ±µ ¦§ ¦°§ ±¦ ¬®¥ ­¬­º

Ĭ¯©­ ¤§ ¯¥«¥ ¬­¼ ¯§ ­© ±©ª Ŭy¬¦ ¬­ Æ¥ ª ¬ Ç©¬­¬ (£ ··È) ª ¬­¬¯ ¬­ ³§ ±­ ¬­ ´ ª§ ®¬² ¨§ ±«©±¬­ ´ °µ°© ® ¬¦ ¥­y¬ ¤¥ ¨ ¬­¤¥ ­´«¬­ ¦ §¨§ ®© ¯ ¬¤ ¬­y¬ °§ ­´© ¦ ¬² ¬¬­ ²©ª ¬­ µ ®§ ²°§ ±© ¦ ¬² ¬¬­°§¯¥ ®¥ ««µ ­¦§ ¦¥²¬«° §­´© ¦ ¬²¬ ¬­ ²©ª¬­ (É»É)¤¥¤ ¬§ ± ¬²ª § ±¦§¨© ª ¤ ¬­ ¯ ¬±¬«­y¬ ° § ­½©±¥¬­ «¬©y ( illegal loging) y¬­´ ¤¥®¬«© « ¬­ µ ®§ ² ¯ ¬¦y¬ ± ¬« ¬ª ®µ «¬® ¯ ¬©°© ­ °§ ­¤ ¬ª ¬­´º »¬¤¬²¬® ¯ ¬¦¬ ±¬«¬ªy y¬ ­´ ¯§ ­´§®µ ®¬ ¨©¬² ª ¬­¬¯¬­ ±µª¬­ © ­ª © « ¯§ ­³ ¬¤¥ ³ §±­¬­´

½© «©°

¨ ¬ ­y¬« ¼

¥ ­¥ ¯§ ±©° ¬«¬­ ¦© ¯¨§ ± ¯ ¬ª¬ °§­½¬² ¬±¥ ¬­

ª¬¯¨ ¬²¬­¤ ¬ ­¨ ¬´¥¦§¨ ¬´¥ ¬­µ ±¬­ ´³© ´¬¯§ ±©°¬«¬­¯ ¬ª¬

°§ ­½¬²¬±¥¬­ ©ª ¬¯¬ º

À¥ ¦¥ ¦¥ ®¬¥­¼ ¯§­©±©ª ¤¬ª ¬ «§¦§³ ¬²ª§ ±¬ ¬­ ¤¬±¥ ÇÊ ÊÇÄ Ê¬¨©°¬ª§­ ¹¬±µ ® ¬­´© ­ (£ ··Ë)¼ «§²¥¤©°¬­ ¯¬¦Ì¬±¬«¬ª ¤¥ ¦§«¥ª¬± ²©ª¬­ ¨§®©¯ ¦§³¬²ª§±¬ ¤¥ ¯ ¬­ ¬ ¶ËÍ ¤ ¬±¥ ªµª¬® ¯ ¬¦¬ ±¬« ¬ªy y¬ ­´ ª ¥ ­´ ´¬® ¤¥ ¤§ ¦ ¬ ä§ ¦ ¬ ¤¥ « ¬w¬¦¬­ ²©ª ¬ ­ Ç© «¥ ª Ǭ²¬± – ά³ ¬© »§½¬ ² ¤¥ ´µ ®µ ­´«¬­ ¦§¨ ¬´ ¬¥ ¯ ¬¦y¬ ±¬« ¬ª ¤§ ­´ ¬­ ª¥­´«¬ª «§¦§³ ¬²ª §± ¬¬­ ±§ ­¤ ¬² («§ ®¬ ¦ »±¬ ¹§³¬²ª § ±¬ £ÈÍ ¤ ¬­ «§ ®¬¦ ¹§³ ¬²ª §±¬ Ï £ÐÍ)º Î¥ ­´«¬ª «§° ¬±¬²¬­ «§ ¯ ¥ ¦ «¥­¬­ (poverty severity) ¤¥ w¥®¬y¬² ¥ ­¥ ®§¨¥² ª ¥ ­´´¥ ¤¥¨ ¬­¤¥­´«¬­ ¤ § ­´¬­ «µ­¤¥ ¦¥ © ¯© ¯ ʬ¨©° ¬ª § ­ ¹¬±µ ®¬­´© ­º À¬ª¬ Ç»¹ (£ ··Ë)¼ ¯§ ­© ­³ © ««¬­ ¨ ¬²w¬ ʬ¨©° ¬ª §­ ¹ ¬±µ ®¬­´© ­ ¯§ ¯¥ ®¥ «¥ ¯¬¦y¬ ±¬« ¬ª ° ± ¬ ¦§³ ¬²ª §±¬ ¦§¨ ¬­¬«y È Ñ·£« §° ¬® ¬«§ ®© ¬±´¬¤¬±¥¶·ËÈ·«§ ®© ¬ ±´ ¬¬ª ¬©¦ §¨ ¬­¬«y Ѷ ºÐ ¶Í º

(22)
(23)

y y

y ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas maka diperlukan pemahaman

terhadap institusi berkenaan dengan pengaturan hak kepemilikan dan juga

bagaimana kelembagaan pengelolaan jernang dilihat dari pasar produksi jernang

yang berkelanjutan dan distribusi aliran pendapatan. Oleh karenanya, diperlukan

suatu kajian yang mendalam dan menyeluruh dengan memperhatikan aspek aturan

yang digunakan, tata niaga jernang serta keluaran-keluaran (outcomes) yang ada,

juga melihat kapasitas dan inisiasi lembaga masyarakat (stakeholder) terkait

dengan kebijakan yang ditetapkan, dan aksi bersama dalam masyarakat untuk

memenuhi kepentingan meningkatkan kesejahteraannya.

Mengingat program HTR relatif baru, maka data dan informasi hasil

penelitian HTR masih sangat terbatas khususnya dalam aspek kajian institusi atau

kelembagaan. Beberapa hasil kajian yang terkait dengan kebijakan HTR adalah

aspek dan prinsip-prinsip dasar kebijakan HTR (Emila & Suwito 2007),

paradigma kebijakan HTR (Noordwijket al. 2007), kajian penetapan harga dasar

kayu rakyat untuk mendukung program HTR (Irawatiet al. 2008), efektifitas dan

strategi Kebijakan HTR (Nugroho 2009), strategi pengelolaan HTR di Kabupaten

Sarolangun Provinsi Jambi (Masyithah 2009), dan proses perumusan kebijakan

dan rancang bangun model konseptual kebijakan HTR (Herawati 2011) . Oleh

karena itu penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi ketersediaan data dan

informasi terkait kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dan pola pengelolaan yang

berbasiskan sumberdaya lokal.

1.2 Kerangka Pemikiran

Sumber daya menurut Fauzi (2004) dalam pengertian umum didefinisikan

sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi, sedangkan sumber daya

alam diartikan sebagai segala sumber daya hayati dan non-hayati yang

dimanfaatkan umat manusia sebagai sumber pangan, bahan baku, dan energi.

Menurut Kartodihardjo, et al (2004), sumber daya alam dapat digolongkan ke

dalam bentukstockatau modal alam (natural capital) seperti daerah aliran sungai

(DAS), danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak

(24)

sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang

diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi.

Sumber daya hutan merupakan sumber daya alam yang terdapat pada

kawasan hutan. Kawasan hutan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999

tentang kehutanan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap. Pada pasal 4 disebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Sumber daya hutan memberikan manfaat langsung dan tidak langsung bagi masyarakat di hutan maupun sekitarnya. Menurut Sarjono (2004) manfaat

hutan pada fungsi hutan produksi bagi masyarakat secara langsung yaitu

memberikan hasil hutan kayu dan turunannya, hasil hutan bukan kayu (seperti

buah-buahan, biji-bijian, sayur mayur, getah-getahan, rotan, bambu, gaharu,

sarang burung, madu), dan areal untuk bercocok tanam atau ladang. Secara tidak

langsung memberikan manfaat penghasilan (semi komersil dan komersil),

pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasiskan produk hutan, pelestarian dan

industri rumah tangga masyarakat.

Berdasarkan pendapat di atas maka dalam pemanfaatan sumber daya hutan

diperlukan adanya pengaturan atau institusi. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani

(2006) institusi adalah pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi

dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang

diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Selanjutnya menurut

Kartodihardjo et al. (2004), unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh

batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan (jurisdictional boundary), hak

pemilikan (property rights) dan aturan representasi/keterwakilan (rule of

representation). Pemahaman terhadap kemapanan institusi dapat dinilai dari

kinerjanya. Menurut Pratiwi (2008) kinerja institusi diukur melalui pencapaian

tujuan kolektif (diantaranya pemenuhan kebutuhan anggotanya) dan berjalan atau

tidaknya fungsi dan tugas institusi melalui wadah pelaksananya yaitu organisasi

formal dan informal.

Untuk dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat saat ini maka

(25)

kerangka mewujudkan kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat yang dilakukan dengan pendekatan konsep perhutanan sosial melalui

program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang salah satunya

dengan konsep Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Program ini merupakan suatu

sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan negara, dengan

melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka

peningkatan kesejahteraan dan mewujudkan hutan lestari (Direktorat Bina

Perhutanan Sosial, 2007). Penerapan HTR dilandasi dengan konsep

prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu : 1) Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity), 2) Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive), 3) Prinsip ketiga adalah Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar (Emilaet al. 2007).

Kelembagaan atau institusi sesungguhnya memberi batasan jelas terhadap

hak pemilikan (property rights) dan aturan pemilikan (property rules) bagi setiap

aktor yang terlibat dan berkepentingan (stakeholder) dengan implikasi penerapan

kebijakan publik yang dimaksud (Hanna dan Munasinghe 1995). Hak kepemilikan

adalah hak dan tanggung jawab setiap aktor yang terlibat (stakeholder), sedangkan

aturan pemilikan (property rules) adalah aturan-aturan yang mengatur bagaimana

setiap aktor tersebut dapat memperoleh dengan baik atas haknya dan sepenuhnya

menjalankan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan bersama yang telah

disepakati (Bromley 1992).

Dalam tataran fenomena keseharian masyarakat, hak pemilikan dan aturan

kepemilikan yang dimaksud dalam suatu kelembagaan tercermin pada pola

perilaku masyarakat (Ostrom 2004). Pola perilaku masyarakat tidak lain

merupakan pilihan-pilihan individu maupun kolektif (kelompok-kelompok

masyarakat) yang diimplementasikan dalam bentuk aksi bersama (collective

(26)

keberlanjutan hidupnya. Beberapa aksi bersama yang dilakukan dapat

menyelesaikan situasi yang membutuhkan aksi bersama untuk dapat

menyelesaikan persoalan (Heckathorn 1993 dalam Yustika 2008) seperti dalam

sistem untuk mengelola sumber daya bersama (common pool resources) (Ostrom

1990). Situasi ini memprasyaratkan adanya aksi bersama agar kegiatan

pemanfaatan sumber daya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan lebih

dari itu, aksi bersama menjadi krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik

dan kemungkinan dieksploitasinya salah satu/beberapa pihak dalam kegiatan

tersebut (Yustika 2008).

Melalui pengkajian terhadap aspek kelembagaan atau institusi dalam

pengelolaan hutan dilihat dari pemberian hak-hak yang dapat dimiliki oleh

masyarakat dan adanya aksi bersama (collective action) pada masyarakat dalam

menghadapi kebijakan pencadangan HTR, diharapkan akan dapat dirumuskan

institusi yang dapat dihandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dari pengembangan institusi yang telah berjalan. Secara umum uraian kerangka

pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut :

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Masyarakat

Feedback

Sumberdaya Kawasan Hutan

Institusi untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kinerja Institusi

Social Forestry

Hutan Tanaman Rakyat Institusi

Saat ini

(27)

1.3 Rumusan Permasalahan

Kondisi institusi saat ini pada masyarakat pemanfaat sumber daya hutan

dapat dilihat dari karakteristik sumber daya, karakteristik kelompok, dan saling

hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok

serta tatanan institusi sebagai faktor kritis. Menurut hasil sintesis Agrawal (2001)

yang mengacu pada hasil identifikasi Wade (1988), Ostrom (1990), Baland dan

Platteau (1996), faktor kritis penentu kesuksesan tata kelola sumberdaya milik

bersama (common pool resources) terkait dengan 1) karakteristik sistem

sumberdaya (resource system characteristic); 2) karakteristik kelompok (group

characteristic); 3) saling hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan

karakteristik kelompok (relationship between resource system characteristic and

group characteristic), dan 4) tatanan institusi (institutional arrangement).

Kondisi institusi saat ini akan memperlihatkan permasalahan yang telah

terjadi melalui kinerja institusi. Menurut Schmid (1987) kinerja institusi diukur

oleh siapa mendapat apa? Biaya (cost) siapa yang dipertimbangkan? Pada

sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan,

keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupan secara umum. Kinerja

institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdaya/kekayaan dan kesempatan,

atau diukur dari kebebasan (bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi),

pertumbuhan (optimalisasi total dari nilai produksi) dan efisiensi (pilihan untuk

mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan).

Berdasarkan pendapat Schmid diatas, institusi yang tidak baik akan

menimbulkan permasalahan yang terkait dengan 3 (tiga) faktor, yaitu

ketidakpastian hak pemilikan, rendahnya kapasitas lembaga dan tidak efisiennya

mekanisme pasar yang berlaku. Schmid (2004) memaparkan kepastian hak

pemilikan menjadi sumber insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan hal

ini memicu kinerja mereka berdasarkan ukuran-ukuran dimensi ekonomi.

Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmampuan

sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau sebuah sistem) untuk melakukan

fungsinya sesuai yang direncanakan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan

untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan dalam mendukung misi

(28)

dalam Bateson et al. 2008). Adapun ketidakefisienan mekanisme pasar menunjukkan instrumen penggerak aktivitas (ekonomi) tidak banyak memberikan

akses dan manfaat ekonomi kepada seluruh partisipan (Yustika 2008).

Kebijakan terkini terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan produksi

adalah kebijakan pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kebijakan ini

diwujudkan untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan, dan

akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi

dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan

lestari. Merespon kebijakan pemerintah pusat ini, berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan nomor 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008,

pemerintah Kabupaten Sarolangun telah mencadangkan 18 840 hektar kawasan

hutan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.

Dicadangkannya kawasan hutan produksi untuk kawasan HTR menjadikan

adanya suatu institusi baru yang dilaksanakan oleh masyarakat sehingga institusi

yang telah ada di masyarakat perlu dikembangkan. Dalam hal ini masyarakat

pengelola rotan jernang sebagai masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan

tersebut akan menjadi kelompok masyarakat yang dapat menikmati manfaat

pengelolaan sumber daya hutan dengan diberlakukannya kebijakan. Manfaat

tersebut diperoleh karena pada dasarnya pemberlakuan kebijakan HTR adalah

dalam rangka pengaturan hak kepemilikan melalui mekanisme kontrak yang

diharapkan melahirkan aksi bersama yang mengarah pada peningkatan

kesejahteraan.

Pentingnya pengembangan institusi pembangunan HTR semakin krusial

karena indeks persentase penduduk miskin di Kabupaten Sarolangun sebesar 1.15

menunjukan tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif masih tinggi dibandingkan

dengan rata-rata tingkat kemiskinan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Jambi

secara keseluruhan (IPPMD) sebesar 1.01. Terlebih lagi di kawasan hutan Bukit

Bahar-Tajau Pecah yang menjadi kawasan pencadangan HTR. Dimana sebanyak

57% masyarakat yang tinggal di desa-desa di dalam kawasan tersebut masih

tergolong memiliki tingkat kesejahteraan rendah (BPS Kabupaten Sarolangun

(29)

sumber daya hutan di kawasan ini, oleh karenanya masih diperlukan perbaikan

institusi.

Untuk dapat mengetahui perbaikan terhadap kinerja institusi pengelolaan

sumber daya hutan di Lamban Sigatal digunakan analisis pengembangan institusi

(Institutional Analysis and Development) atau IAD. Kerangka kerja IAD cocok

digunakan untuk menganalisis beragam jenis sumber daya bersama (common-pool

resources). Sebagai contoh pada kajian rusaknya atau baiknya sebuah kawasan

hutan, IAD membantu dalam memahami komunitas pemanfaat, sistem

pengelolaan, beragam hak kepemilikan yang terlibat dan penggunaan aturan saat

ini yang bertingkat-tingkat (multiple rules-in-use) dan tidak hanya sekedar kondisi

biofisik hutan (Gibson, McKean dan Ostrom 2000; Moran dan Ostrom 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

(research questions), sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat

sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan

sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan

sumber daya?

2. Bagaimanakah respon pemerintah daerah dan inisiasi masyarakat terkait

dengan kebijakan HTR?

3. Apakah permasalahan dalam kebijakan HTR yang menyebabkan kepastian hak

pemilikan masyarakat belum terwujud, bagaimanakah dinamika pengelolaan

sumber daya hutan Lamban Sigatal? Bagaimana kapasitas masyarakat? Dan

bagaimana aliran manfaat dari sumber daya dilihat dari efisiensi pasar?

4. Bagaimanakah pengembangan institusi pengelolaan HTR yang mampu

memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola

tanaman rotan jernang?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan (mendesain)

pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri yang mampu

memperbaiki kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pengelola tanaman

(30)

1. Mengetahui karakteristik sumber daya hutan, kelompok masyarakat pemanfaat

sumber daya hutan dan aturan-aturan yang digunakan dalam pemanfaatan

sumber daya hutan serta interaksi antar kelompok masyarakat dan dengan

sumber daya.

2. Mengetahui respon pemerintah dan inisiasi masyarakat terkait kebijakan Hutan

Tanaman Rakyat.

3. Menemukan permasalahan dalam institusi pembangunan HTR dari sisi

kepastian hak pemilikan masyarakat, kapasitas masyarakat dan efisiensi pasar.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini adalah :

a) Sebagai informasi ilmiah bagistakeholderyang berkepentingan.

b) Memberikan informasi dan pengetahuan tentang pengembangan institusi

untuk masyarakat petani rotan jernang dalam pelaksanaan kebijakan hutan

tanaman rakyat bagistakeholderyang berkepentingan.

c) Bahan masukan dalam merumuskan institusi untuk masyarakat bagi

kebijakan pemerintah di daerah.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty

(kebaruan) yaitu : fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah

(scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama,

fokus penelitian ini ialah melihat secara langsung permasalahan kelembagaan atau

institusi pada masyarakat pengelola rotan jernang dan bagaimana

pengembangannya. Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang

dipublikasikan, maupun penelusuran on-line pada website science direct serta di

perpustakaan IPB, belum ditemukan adanya penelitian yang berkaitan dengan

institusi pada pengelolaan tanaman rotan jernang pada pencadangan kawasan

hutan tanaman rakyat (HTR). Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode ilmiah. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif

dan kualitatif yaitu berkaitan dengan tujuan penelitian yang mengarahkan pada

(31)

Gambar 2 Rumusan permasalahan pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri. Policy Analysis

Konsep Perhutanan Sosial (Social Forestry) - Hutan Tanaman Rakyat

Institutional Analysis

Karakteristik Individu dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat Karakteristik

Sumber daya Alam

Aturan-aturan yang digunakan

1. Hak Kepemilikan 2. Aksi Bersama

1. Ketidakpastian Hak

2. Kapasitas Lembaga belum baik

3. Instrumen Ekonomi/Pasar belum baik

Institusi yang diharapkan Kinerja Institusi

(32)

2.1 Sumber daya Milik Bersama: Karakter dan Permasalahan Pengelolaannya

Jenis-jenis sumber daya alam dapat diklasifikasikan berdasarkan motivasi

pengelolaannya, serta tingkat diperlukannya kegiatan manusia untuk menghasilkan

dan mempertahankan fungsi sumber daya alam tersebut seperti terlihat pada tabel 1

berikut:

Tabel 1 Jenis barang dan jasa dari sumber daya alam berdasarkan tujuan dan tingkat aktivitas manusia untuk mengadakan atau melindungi fungsi sumber daya alam

SDA memerlukan aktivitas manusia

SDA hampir tidak

memerlukan aktivitas manusia Produksi untuk

diperdagangkan/ekspor1)

Pertanian,

kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif

Kawasan dilindungi Tipe I: Jasa lingkungan

Produksi untuk

dikonsumsi/tidak dapat diekspor

Kawasan untuk rekreasi

Kawasan dilindungi Tipe II: Keanekaragaman hayati, pengetahuan, kekayaan budaya

Sumber : Berge (2004)

Keterangan : 1)

Jenis barang dan jasa dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya yang dapat disimpan dan dipindahkan. Sedangkan jenis barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya hanya bisa dikonsumsi di tempat dimana barang dan jasa tersebut dihasilkan. Oleh karena itu pengertian diperdagangkan/diekspor tidak senantiasa mewujudkan kegiatan perdagangan dan ekspor, melainkan lebih mempunyai arti memindahkan tempat pemanfaatan barang dan jasa tersebut dari tempat produksinya.

Karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa

hasil-hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif dari sumber

daya alam, serta jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Berge 2004):

1. Secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang

bersifatsubstractable,yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain

tidak dapat memperolehnya;

2. Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan

jenis-jenis sumber daya (ikan, kayu, bahan tambang, dll) bersifat independen satu

dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara

(33)

hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak

penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut;

3. Masalah keadilan pemanfaatan sumber daya ini maupun masalah kelestarian

fungsinya adalah masalah manajemen pengelolaan sumber daya tersebut.

Karakteristik sumber daya yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor baik

berupa jasa rekreasi serta jasa dari kawasan dilindungi Tipe II adalah sebagai berikut

(Berge 2004):

1. Secara umum sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat

non-substractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain

tetap dapat memperolehnya;

2. Hak untuk memanfaatkan jenis sumber daya ini bersifat independen antara satu

dengan yang lainnya. Namun, pemerintah dapat menguasainya –dalam bentuk

mengeluarkan kebijakan- pengelolaan sumber daya tersebut. Apabila terdapat

individu/private menguasai sumber daya ini, kebijakan pengelolaan sumber

daya alam yang diterapkan kepadanya perlu memperhatikan kepentingan pihak

lain;

3. Masalah manajemen pengelolaan sumber daya ini adalah bagaimana dalam

penguasaan individu atas sumber daya alam juga dapat dijalankan kebijakan

publik.

Nilai dan tujuan keberadaan sumber daya alam dapat diinterpretasikan

berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan (Ostrom 1977), yaitu

sebagaiprivate goods, club goods, common pool goods danpublik goods (tabel 2),

yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya.

Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan

(Kartodihardjo 2006). Misalnya kelembagaan untuk pengelolaan common pool

goods didasarkan pada berbagai prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumber

daya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sangsi,

penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan yang

(34)

Tabel 2 Tipologi barang dan jasa

Jenis sumber daya Pengguna

Excludable Non-excludable

Substractable Private Goods Common Pool Goods

Non-substractable Club Goods Public Goods

Sumber: Ostrom dan Ostrom (2007) dalam Berge (2004)

Dalam setiap tipologi mengandung sifat yang melekat pada barang dan jasa

tersebut. Sifat tersebut merupakan atribut yang sepatutnya disertakan kedalam

sifat-sifat lain dari barang dan jasa yang sedang dibicarakan. Terdapat dua faktor yang

menentukan atribut tersebut, yaitu:

1. Sifat rivalitas/persaingan (rivalry) atas barang dan jasa. Dalam hal ini apabila

barang dan jasa dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia

bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai private goods (misalnya air

kemasan, kayu, ikan, dll) dancommon pool goods (misalnya danau, sungai, dll).

Sebaliknya apabila dimanfaatkan seseorang tetapi dalam jangka pendek tidak

mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai

Club goods(misalnya air dalam PDAM, dll) dan public goods(misalnya udara,

keamanan, dll).

2. Sifat pengguna (excludability) barang dan jasa. Apabila pengguna barang dan

jasa dapat dipisahkan satu dari yang lain, maka private goods dan club goods

termasuk di dalamnya. Sedangkan apabila penggunanya tidak dapat dipisahkan

satu dari yang lainnya, maka common pool goods dan public goods masuk di

dalamnya. Dalam common pool goods, dapat terjadi fenomena open access

sebagaimana dalam public goods, apabila kelembagaan pengelolaan sumber

daya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau

penunggang gratis (free rider).

Sumber daya milik bersama adalah sumber daya yang dapat dimiliki oleh

masyarakat, baik sebagai pemanfaat maupun penghasil. Sumber daya alam milik

bersama dapat berada di suatu lokasi yang tetap seperti hutan atau dapat pula

bergerak dan berpindah-pindah seperti satwa liar. Beberapa mencakup luasan yang

(35)

kepemilikan pribadi yang terpisah-pisah. Lainnya, mencakup luasan yang kecil

sehingga dapat diorganisasi oleh suatu kelompok dengan aturan sosial tertentu.

Meskipun demikian, satu pertanyaan yang masih muncul hingga kini terkait dengan

pengelolaan sumber daya milik bersama adalah bagaimana mengkoordinasi

pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatannya dalam rangka mendapatkan

tingkat produksi atau konsumsi yang optimal bagi seluruh pihak (Oarkerson 1992).

Menurut Hardin (1968), sumber daya milik bersama yang aksesnya bebas

dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the

commons). Hal ini terjadi, karena semua pemanfaat cenderung berlomba untuk

mengeksploitasi sumber daya alam tersebut semaksimal mungkin dan akhirnya

terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya tragedi tersebut.

Hardin mencontohkan pemanfaatan suatu padang penggembalaan ternak

yang luasannya terbatas namun dapat dimanfaatkan secara terbuka oleh siapa saja.

Tidak adanya pengaturan akan memicu setiap penggembala untuk memaksimumkan

pemanfaatan padang penggembalaan tersebut bagi ternak yang dimilikinya. Selama

pemanfaatan masih berada dibawah ambang batas daya dukung padang

penggembalaan, maka tidak terdapat permasalahan pakan bagi semua ternak yang

ada. Permasalahan perebutan sumber pakan muncul saat jumlah ternak yang

digembalakan meningkat dan melampaui ambang batas daya dukung padang

penggembalaan. Tanpa adanya penyelesaian masalah yang konkrit, perebutan

padang penggembalaan sebagai sumber pakan berakhir pada tragedi untuk semua

(tragedy of the common) berupa kematian ternak dalam jumlah besar akibat

ketidakseimbangan antara pakan dan jumlah ternak yang ada.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, Hardin (1968) menambahkan

pemanfaatan sumber daya milik bersama yang bebas akses atau tidak memiliki

pengaturan dalam pemanfaatannya hanya dapat dibenarkan dalam kondisi populasi

rendah. Saat terjadi peningkatan populasi, kebebasan dalam mengakses dan

menggunakan sumber daya bersama tidak lagi dapat digunakan sebagai prinsip

pemanfaatan sumber daya milik bersama tersebut.

Untuk menghindari sumber daya milik bersama bebas akses atau tanpa

aturan pemanfaatannya, dibutuhkan pengaturan sosial yang bersifat memaksa, yang

(36)

(coercion) yang dimaksudkan adalah ‘mutual coercion’ yaitu pengaturan yang

disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumber daya

tersebut. Untuk itu, Hardin menawarkan pengalihan status sumber daya bersama

menjadi ‘private property.’ Dalam hal ini, privatisasi akan menginternalisasi biaya

yang timbul akibat perilaku pemanfaatan sumber daya tersebut, mengurangi

ketidakpastian, dan dengan demikian meningkatkan tanggung jawab individual atas

sumber daya yang digunakannya. Alternatif lainnya yang ditawarkan dengan cara

tetap mempertahankan sumber daya bersama sebagai ‘public property’, tetapi

diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan

pengalokasian hak untuk mengakses tersebut dapat saja didasarkan pada sistem

lelang, penghargaan atas prestasi, sistem undian, atau dengan menggunakan prinsip

siapa yang datang terlebih dulu, maka merekalah yang memiliki hak akses.

Tesis Hardin mengenai “the tragedy of the commons” mendapat tanggapan

kritis dari Ostrom (1990). Menurutnya, terdapat beberapa hal yang melemahkan

tesis dan solusi yang disampaikan Hardin terkait dengan pengelolaan sumber daya

milik bersama, meliputi: (i) Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang

untuk bekerjasama dalam pelbagai situasi sumber daya bersama; (ii) Hardin terlalu

berharap pada pemerintah untuk dapat berperan besar dan mengabaikan keberadaan

dan peran kelompok atau komunitas lokal dalam menangani masalah-masalah

kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan; (iii) Hardin mengabaikan

bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi/institusi sosial yang

ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka

mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya bersama, termasuk

hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumber daya tersebut; dan (iv)

Privatisasi atau intervensi pemerintah dapat melemahkan, bahkan menghancurkan

keberadaan dan peranan institusi atau institusi sosial komunitas pengguna sumber

daya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan

pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu

yang relatif lama.

Terlepas dari tesis Ostrom tersebut diatas, tesis Hardin (1968) masih relevan

untuk dikaji. Pada akhirnya, pengkajian tesis dari kedua ahli tersebut relevan terkait

(37)

sumber daya alam. Terpenting adalah penerapan konsepsinya berpegang pada

konteks sosial ekonomi, politik dan ekologis dari fenomena yang bersangkutan.

2.2 Teori Hak Kepemilikan dan Rezim Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk mengawasi

dan menggunakan sumber daya alam oleh seseorang atau sekelompok orang.

Menurut Schmid (1987) hak kepemilikan adalah menggambarkan hubungan

individu dengan lainnya terhadap sumber daya alam atau sesuatu yang lainnya.

Sedangkan Bromley dan Cernea (1989) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai

hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang

lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut.

Schlager dan Ostrom (1992) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya,

hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management,

exclusiondan alienation, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak yang seharusnya

dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan

dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: owner, proprietor,

claimant, danauthorized user.

Hak akses (access rights), hak pemanfaatan (withdrawal rights), Hak

pengelolaan (management rights), Hak eksklusi (exclusion rights) dan hak

pengalihan (alienation rights) terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam,

dijelaskan oleh Schlager dan Ostrom (1992) sebagai berikut:

1) Hak akses, yaitu hak untuk memasuki suatu area sumber daya yang memiliki

batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif nya;

2) Hak pemanfaatan, yaitu hak untuk memanfaatkan suatu unit sumber daya atau

produk dari suatu sistem sumber daya (misalnya menangkap ikan);

3) Hak pengelolaan, yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan secara internal atau

menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya;

4) Hak eksklusi, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses

dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain (menentukan

keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain);

5) Hak pengalihan, yaitu hak untuk menjual dan menyewakan sebagian atau seluruh

(38)

Lebih lanjut dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) pengelompokan

hak pemilikan tersebut menjadi lima kelas kelompok pengguna, sebagaimana

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat

Tipe Hak Pemilik

(owner)

Pemilik Terikat (Proprietor)

Penyewa (Authorized

Claimant)

Pengguna (Autorized User)

Pengikut (Authorized

entrant)

Akses dan pemanfaatan

X X X X X

Pengelolaan X X X

Eksklusi X X

Pengalihan X

Sumber: Schlager dan Ostrom (1992)

Magrat (1989) dan Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) menyatakan

bahwa apabila hak kepemilikan terdefenisikan dengan jelas, maka tindakan

pengurasan sumber daya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong ke arah

pemanfaatan secara berkelanjutan. Schmid (1988) menyatakan bahwa kepastian hak

menjadi sangat penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi.

Menurut Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) hak kepemilikan belum

bermakna apabila belum dihubungkan dengan bentuk fisik (kongkrit) dari sumber

daya alam. Hak kongkrit menurut Harsono (1999) adalah apabila hak penguasaan

tanah sudah dihubungkan dengan obyek dan subyeknya (individu atau badan

hukum) sebagai pemegang haknya. Unsur hak kongkrit adalah sebagai berikut :

penciptaan hak, pembebanan dengan hak lainnya, peralihan hak, hapusnya hak, dan

pembuktian hak.

Beberapa studi menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang tidak jelas

cenderung mengakibatkan terjadinya penebangan hutan sebagai cara strategis untuk

mengklaim hak kepemilikan lahan (Anderson dan Hill 1999; Mendelson 1994;

Angelsen 1999 dalam Yustika 2008). Hak kepemilikan yang tidak jelas (poorly

defined property rights) dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kegagalan

pasar (Byron 1999). Ada hubungan yang kuat antara hak kepemilikan yang jelas dan

kualitas lingkungan (Dasqupta et al 1995), misalnya para petani dengan hak atas

(39)

dalam konservasi tanah, teknik-teknik pembudidayaan yang berkesinambungan, dan

praktik perlindungan lingkungan lain (Feder 1987 dalam Yustika 2008).

Menurut Yustika (2008), kejelasan/kepastian atas hak kepemilikan adalah hal

yang paling penting untuk dipertegas sehingga setiap pengelola/pemiliknya

mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Hak milik

privat, dianggap akan memberi insentif yang besar bagi pemiliknya untuk

memanfaatkan agar diperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya, hak milik negara

atau komunitas juga bisa mendonorkan kemampuan yang besar bagi pemiliknya

melalui proses negosiasi dan partisipasi yang utuh. Model-model hak kepemilikan

tersebut bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga sesungguhnya

tidak dapat disimpulkan mana yang lebih baik diantara bentuk hak-hak kepemilikan

tersebut. Lebih relevan dari itu, jika setiap pemiliknya diketahui dengan jelas,

apapun tipe dari hak kepemilikan tersebut, maka tidak hanya mewartakan para

pemiliknya untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi hak milik, tetapi juga

meletarikan dan melindunginya sehingga tetap terjaga untuk kepentingan jangka

panjang. Inilah yang menjadi kunci efisiensi ekonomi (khususnya untuk kasus

sumberdaya alam), yakni adanya kepastian hak kepemilikan yang dijamin melalui

produk dan penegakan hukum.

Dalam hubungannya dengan sumber daya, Hanna et al. (1996)

mengemukakan empat tipe rejim kepemilikan, yaitu: 1) pemilikan individual

(private property); 2) pemilikan bersama (common property); pemilikan Negara

(state property); dan 4) akses terbuka (open acces). Karakteristik masing-masing

rejim tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan tugas pemilik

oleh Hanna et al (1996) diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik

Tipe Rejim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik

Pemilikan individual Individual Penggunaan diterima secara sosial; mengendalikan akses

Menghindari penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial

Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yang

bukan pemilik

Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan

Pemilikan negara Warga Negara Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial

Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada

(40)

2.3 Teori Aksi Bersama

Teori aksi bersama menurut Yustika (2008) pertama kali diformulasikan oleh

Mancur Olson (1971), khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok

kepentingan (interest groups). Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah

penunggang bebas (free rider) dan mendesain jalan keluar bersama (cooperative

solutions) bagi pengelolaan sumber daya bersama (common resources) atau

penyediaan barang-barang publik (public goods). Menurut Olson, determinan

penting bagi keberhasilan suatu aksi bersama adalah ukuran (size), homogenitas

(homogeneity), dan tujuan kelompok (purpose of the group).

Terwujudnya pengaturan hak kepemilikan hanya dapat dicapai apabila telah

terwujud aksi bersama dikarenakan memberi kesempatan bagi seseorang untuk

mengatasi keterbatasannya atas sumber daya, kekuasaan dan hak suara. Aksi

bersama diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan oleh sekelompok individu, baik

secara langsung atau melalui suatu organisasi, untuk mencapai tujuan bersama.

Kelompok tersebut dapat terbentuk sendiri secara sukarela, informal maupun formal

dibangun oleh pihak luar (Marshall 1998 dalam Pratiwi 2008). Aksi bersama akan

timbul bila lebih dari satu individu dibutuhkan untuk berkontribusi guna mencapai

satu tujuan (Ostrom 2004). Dengan kata lain, aksi bersama diartikan sebagai suatu

aksi yang dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat untuk mencapai

kepentingan dan tujuan kelompok dalam penguatan hak kepemilikan.

Berbagai studi menunjukkan peran aksi bersama dalam meningkatkan akses

masyarakat terhadap pihak institusi yang lebih tinggi ketika mereka menuntut

pelayanan pubik atau meminta perlindungan (Di Gregorio et al 2004; Mahmud

2001). Dalam sistem pemerintahan desentralisasi dengan sebagian kewenangan

pusat beralih pada daerah, seperti halnya dalam perencanaan pembangunan menurut

UU 25/2004, aksi bersama dibutuhkan dalam mengkoordinir kegiatan-kegiatan

individu, menyusun aturan kelompok dan memobilisasi sumberdaya berupa uang,

tenaga dan materi lainnya (Dick-Meinzen dan Knox 1999). Aksi bersama

mendorong masyarakat memainkan peran sosial dan politiknya, misalnya melalui

partisipasi mereka dalam proses kebijakan. Aksi bersama bagi masyarakat

merupakan mekanisme agar ”suara” mereka bisa lebih didengar (Mahmud 2001).

(41)

setempat dan memperbaiki pelayanan publik, tetapi juga mengurangi peluang

terjadinya elite capture (Das Gupta et al 2000; 2003). Dalam hal ini elite capture

dipahami sebagai suatu sikap atau tindakan yang dilakukan orang atau sekelompok

orang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan agar hasilnya

memberikan keuntungan bagi mereka sendiri.

2.4 Institusi dan Kinerja Institusi

Baik Hardin (1968) maupun Ostrom (1990), keduanya menempatkan

institusi sebagai titik pusat dari solusi kebijakan dilema pengelolaan sumber daya

milik bersama. Dari pendapat berbagai ahli, dapat disimpulkan bahwa institusi

adalah tataran dan pola hubungan koordinasi atau instruktif yang bersifat formal

dan/atau informal antar pihak yang berkepentingan dan diwadahi dalam sebuah

organisasi atau jaringan (Uphoff 1986; Douglas North dalam Gordillo de Anda

1997; Kartodihardjo dan Jhamtani 2006; Rachbini 2006; Pratiwi 2008).

Institusi berperan didalam mengatur perilaku individu dan kelompok dalam

rangka pencapaian tujuan bersama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup

masyarakat (Douglas North dalam Gordillo de Anda 1997; Koentjaraningrat 1997;

Kartodihardjo dan Jhamtani 2006; Pratiwi 2008). Fungsinya adalah memberikan

pedoman bagi perilaku dan menjaga keutuhan masyarakat atau kelompok sosial

tertentu (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Suhaeri 2004). Berjalannya peran dan

fungsi institusi dapat membentuk struktur masyarakat yang stabil yang mendukung

interaksi ekonomi dan sosial dalam rangka mengurangi derajat ketidakpastian dan

peningkatan taraf kehidupan mereka (Gordillo de Anda 1997).

Berbagai ahli menyatakan berbagai ukuran keberhasilan suatu institusi dalam

mencapai tujuannya atau ukuran kinerja institusi tersebut. Schmid (1987)

menyatakan bahwa kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa? Biaya (cost)

siapa yang dipertimbangkan? Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat

dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas

kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi

sumberdaya/kekayaan dan kesempatan atau diukur dari kebebasan (bebas

(42)

produksi) dan efisiensi (pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan

pemasukan).

Uphoff (1997) menyatakan bahwa kinerja suatu institusi diukur dari

bagaimana institusi menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok

tersebut adalah: pengambilan keputusan (termasuk perencanaan dan evaluasi),

mobilisasi dan manajemen sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan

penyelesaian konflik.

Hannaet al (1995) menyatakan bahwa kinerja institusi dapat diukur melalui

satu atau kombinasi dari tiga dimensi: ekonomi, sosial dan ekologi. Seluruh dimensi

adalah saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan

(keterlekatan:embedded) dalam sebuah sistem. Ukuran kinerja institusi pada aspek

ekonomi adalah efisiensi ekonomi, yaitu tingkat produksi dengan keluaran ekonomi

terbaik (the best economic outcomes) melalui produksi dengan kombinasi input

biaya rendah. Ukuran kinerja institusi pada aspek sosial adalah terwujudnya

keadilan distribusi (fairness distribution) manfaat dan biaya. Adapun ukuran kinerja

institusi pada aspek ekologi adalah terjaminnya persediaan modal alam (stock of

natural capital) yang dikelola. Adapun Pratiwi (2008) menyatakan bahwa ukuran

kinerja institusi adalah sejauh mana tujuan kolektif dapat dicapai melalui berjalan

atau tidaknya fungsi dan tugas institusi dalam suatu organisasi formal dan/atau

informal.

2.5 Pengembangan, Penguatan dan Perubahan Institusi

Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan. Namun ketika

institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan maka diperlukan suatu langkah

perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki

kinerja institusi yaitu melalui : pengembangan institusi (institutional development),

penguatan institusi (institutional strengthening) atau perubahan institusi

(institutional change) (Pratiwi 2008).

Menurut Nasution (1999) dalam Karyana (2007) pengembangan institusi

(institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan hubungan antar

individu dalam masyarakat, sehingga menjadi institusi yang dikehendaki. Tujuan

Referensi

Dokumen terkait