• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Respon Pemerintah Daerah dan Masyarakat Terhadap Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dan Inisiasi Agroforestri Karet Jernang

5.8.2 Kapasitas Lembaga Pelaksana

Kepastian hak kepemilikan seseorang atau sekelompok masyarakat tidak lepas dari modal finansial dan modal sosial yang dimilikinya yang mendukung diperolehnya kepastian hak kepemilikan itu sendiri sebagaimana diharapkan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan informan, di Desa Lamban Sigatal saat ini terdapat 50 KK yang kehidupannya bergantung tidak hanya pada hasil kebun karet namun juga tergantung pada penjualan getah jernang yang mereka kumpulkan dari tumbuhan jernang liar di kawasan hutan ataupun di kebun-kebun karet yang mereka miliki. Data dalam Tabel 21 menggambarkan secara statistik karakter ekonomi rumah tangga kelompok produsen tersebut, yang diasumsikan sebagai besarnya manfaat yang mereka peroleh dari hasil kegiatan ekonomi yang mereka lakukan selama ini.

Tabel 21 Karakter ekonomi rumah tangga pengolah jernang Desa Lamban Sigatal Pendapatan per tahun Pengeluaran per tahun Rata-rata 19 580 000 11 424 400 Median 18 120 000 9 600 000 Modus 9 600 000 6 000 000 Kisaran 50 400 000 28 200 000 Nilai minimum 8 400 000 3 000 000 Nilai maksimum 58 800 000 31 200 000 Jumlah responden 50 50

Sumber; Hasil survei, diolah (2010)

Dari sisi pendapatan, tertinggi adalah Rp 58.8 juta sedangkan terendah adalah Rp 8.4 juta. Pendapatan tertinggi dimiliki oleh masyarakat yang memiliki profesi sebagai petani karet dengan lahan yang relatif luas dan merangkap sebagai tauke getah karet/jernang. Pendapatan terendah dimiliki oleh masyarakat yang berprofesi hanya sebagai petani karet dengan lahan yang sempit dan pengumpul/pengolah jernang.

Pendapatan tahunan masyarakat Desa Lamban Sigatal yang terkait dengan pengolahan jernang pada umumnya sekitar Rp 9.6 juta. Dengan rata-rata setiap kepala keluarga terdiri atas 4 orang maka pendapatan per kapita tahunan kelompok masyarakat tersebut sekitar Rp 2.4 juta atau Rp 6 600 hari-1 kapita-1. Berdasarkan acuan Badan Pusat Statistik terkait dengan garis kemiskinan masyarakat Indonesia adalah sekitar Rp 9 000 hari-1kapita-1 maka secara umum

kelompok masyarakat pengolah jernang di Desa Lamban Sigatal masih tergolong masyarakat dengan perekonomian dibawah garis kemiskinan hingga garis kemiskinan.

Fakta sosial ekonomi tersebut diatas dapat dijadikan indikasi bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat Desa Lamban Sigatal dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar mereka belum dapat mengangkat taraf hidup mereka secara layak. Seberapa luas lahan yang dimiliki, khususnya yang telah diupayakan menjadi budidaya (kebun) karet, merupakan faktor penentu tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat tersebut. Dikaitkan dengan hak kepemilikan, lahan budidaya merupakan satuan dari besarnya kepastian hak kepemilikan individu meskipun diperoleh dari aktivitas pembukaan kawasan hutan di sekitar tempat tinggal mereka untuk kemudian secara individu mereka kuasai dan kelola; nyatanya lahan tersebut masuk dalam areal pencadangan HTR.

5.8.3 Margin Tata Niaga Jernang

Margin pemasaran Jernang yang dianalisis berdasarkan hasil wawancara tentang harga pembelian dan biaya yang dikeluarkan pada masing-masing lembaga yang terlibat dalam tata niaga (Lampiran 8) adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 22 berikut:

Tabel 22 Margin pemasaran dalam tata niaga jernang

Komponen Petani Pengumpul

Desa Kabupaten Provinsi

Biaya (Rp/kg) 333 750 450 000 580 000 700 000 1) Biaya modal 318 750 425 000 500 000 - 2) Biaya pengemasan 5 000 5 000 10 000 - 3) Biaya penyimpanan 10 000 10 000 20 000 - 4) Biaya transportasi - 10 000 50 000 - Pendapatan (Rp/kg) 425 000 500 000 700 000 - Margin (Rp/kg) 91 250 50 000 120 000 - Margin (%) 27.34 14.98 35.95 -

Sumber: Data primer, diolah (2010)

Berdasarkan data dalam Tabel 15 dapat dilihat bahwa margin yang diperoleh pencari jernang atas dasar harga yang diterima dari harga yang dibayarkan pedagang (Tauke Desa) adalah sebesar 27.34%, sedangkan margin

yang diperoleh pedagang pengumpul di desa dan di kabupaten secara berturut- turut sebesar 14.98% dan 35.95%. Sehingga margin yang besar dari tataniaga jernang justru didapat oleh pedagang perantara, terutama pedagang pengumpul di kabupaten.

Alasan yang menyebabkan tingginya margin pedagang pengumpul kabupaten karena mereka melakukan transaksi pembelian jernang di desa atau pedagang kabupaten menjemput hasil jernang di desa, sehingga harga jernang yang didapatkan dari pedagang pengumpul didesa sebagai modal pembelian dapat ditingkatkan penjualannya dari biaya pembelian Rp 500 000,- (harga pada agustus 2009) menjadi harga tertinggi pada pedagang besar di provinsi sebesar Rp 700 000,- dengan alasan besarnya biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mengumpulkan jernang.

Hasil analisis saluran pemasaran jernang memperlihatkan margin tata niaga masih belum efisien karena persentase yang besar dari margin ini masih dimiliki oleh tauke khususnya tauke kabupaten. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa sistem tataniaga jernang di desa Lamban Sigatal masih belum dapat dikatakan efisien, karena menurut Tomek dan Robinson (1990) apabila semakin besar margin pemasaran akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien. Kondisi tata niaga jernang ini menunjukkan bahwa berdasarkan institusi informal yang berlaku, hak kepemilikan yang seyogyanya berada di tangan masyarakat pengolah jernang Desa Lamban Sigatal juga belum pasti.

5.9 Permasalahan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya

Hutan Desa Lamban Sigatal

Permasalahan institusi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal dinilai berdasarkan fakta-fakta empiris yang telah dianalis dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Sumber daya hutan Lamban Sigatal merupakan sumberdaya milik Negara yang memiliki potensi unit sumber daya berupa “Rotan Jernang” yang telah lama dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat. Namun kebijakan HTR belum memperhatikan potensi dan karakteristik sumber daya lokal tersebut. Padahal

mengacu pada Hess dan Ostrom (2007) karakteristik sumber daya merupakan dasar bagi pengaturan pengelolaan sumberdaya.

b) Akses masyarakat yang dibuktikan dengan terbitnya IUPPHK-HTR sebagaimana yang diamanatkan dalam kebijakan HTR belum dapat dipenuhi syarat-syaratnya oleh masyarakat, hal ini cenderung disebabkan oleh kemampuan masyarakat untuk mengakses masih rendah serta panjangnya mekanisme pengurusan IUPHHK-HTR. Bahkan hingga kini terbitnya IUPHHK-HTR yang sudah dimiliki masyarakat terwujud berkat adanya kegiatan proyek. Mengacu pada Hanna et al (1995), belum terbitnya izin mengakibatkan masyarakat belum dapat mengelola sumber daya hutan sesuai dengan kebijakan yang diharapkan seperti hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya, hak untuk mengelola dan hak untuk menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain.

c) Mengacu pada Schmid (1987) tingkat kehidupan masyarakat desa Lamban Sigatal masih rendah (miskin) yang dibuktikan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Hal ini merupakan bukti bahwa kapasitas masyarakat yang masih masih rendah secara ekonomi untuk dapat memenuhi persyaratan yang diharuskan untuk mendapatkan IUPHHK.

d) Mengacu pada Hanna et al (1995) distribusi manfaat dari sistem pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal secara sosial masih belum berkeadilan (fairness distribution), dimana penetapan harga produk jernang masih ditentukan oleh tauke. Secara ekonomi belum terwujud efisiensi dalam tata niaga rotan jernang, hal ini terlihat dari margin tata niaga yang masih besar didapatkan oleh pedagang (tauke). Secara ekologi keberlanjutan produk rotan jernang tidak terjamin karena berkurangnya produksi jernang sebagai akibat rusaknya sumber daya hutan Lamban Sigatal.

e) Pembangunan HTR pola agroforestri karet dan jernang oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal sebagai solusi alternatif mewujudkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan belum juga dapat terealisasi.

5.10 Desain Pengembangan Institusi Pengelolaan Sumber Daya Hutan Desa