• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber daya Milik Bersama: Karakter dan Permasalahan Pengelolaannya

Jenis-jenis sumber daya alam dapat diklasifikasikan berdasarkan motivasi pengelolaannya, serta tingkat diperlukannya kegiatan manusia untuk menghasilkan dan mempertahankan fungsi sumber daya alam tersebut seperti terlihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1 Jenis barang dan jasa dari sumber daya alam berdasarkan tujuan dan tingkat aktivitas manusia untuk mengadakan atau melindungi fungsi sumber daya alam

SDA memerlukan aktivitas manusia

SDA hampir tidak

memerlukan aktivitas manusia Produksi untuk diperdagangkan/ekspor1) Pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif

Kawasan dilindungi Tipe I: Jasa lingkungan Produksi untuk dikonsumsi/tidak dapat diekspor Kawasan untuk rekreasi

Kawasan dilindungi Tipe II: Keanekaragaman hayati, pengetahuan, kekayaan budaya

Sumber : Berge (2004) Keterangan :

1)

Jenis barang dan jasa dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya yang dapat disimpan dan dipindahkan. Sedangkan jenis barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya hanya bisa dikonsumsi di tempat dimana barang dan jasa tersebut dihasilkan. Oleh karena itu pengertian diperdagangkan/diekspor tidak senantiasa mewujudkan kegiatan perdagangan dan ekspor, melainkan lebih mempunyai arti memindahkan tempat pemanfaatan barang dan jasa tersebut dari tempat produksinya.

Karakteristik sumber daya yang dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa hasil-hasil pertanian, kehutanan, berbagai bentuk kegiatan ekstraktif dari sumber daya alam, serta jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Berge 2004):

1. Secara umum jenis sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifatsubstractable,yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tidak dapat memperolehnya;

2. Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis- jenis sumber daya (ikan, kayu, bahan tambang, dll) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak memungkinkan kelompok secara keseluruhan menguasai sumber daya ini secara bersama-sama. Demikian pula,

hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut;

3. Masalah keadilan pemanfaatan sumber daya ini maupun masalah kelestarian fungsinya adalah masalah manajemen pengelolaan sumber daya tersebut.

Karakteristik sumber daya yang tidak dapat diperdagangkan/diekspor baik berupa jasa rekreasi serta jasa dari kawasan dilindungi Tipe II adalah sebagai berikut (Berge 2004):

1. Secara umum sumber daya alam ini diproduksi dari sumber daya yang bersifat

non-substractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tetap dapat memperolehnya;

2. Hak untuk memanfaatkan jenis sumber daya ini bersifat independen antara satu dengan yang lainnya. Namun, pemerintah dapat menguasainya –dalam bentuk mengeluarkan kebijakan- pengelolaan sumber daya tersebut. Apabila terdapat individu/private menguasai sumber daya ini, kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan kepadanya perlu memperhatikan kepentingan pihak lain;

3. Masalah manajemen pengelolaan sumber daya ini adalah bagaimana dalam penguasaan individu atas sumber daya alam juga dapat dijalankan kebijakan publik.

Nilai dan tujuan keberadaan sumber daya alam dapat diinterpretasikan berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan (Ostrom 1977), yaitu sebagaiprivate goods, club goods, common pool goods danpublik goods (tabel 2), yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan (Kartodihardjo 2006). Misalnya kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada berbagai prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumber daya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sangsi, penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi.

Tabel 2 Tipologi barang dan jasa

Jenis sumber daya Pengguna

Excludable Non-excludable

Substractable Private Goods Common Pool Goods

Non-substractable Club Goods Public Goods

Sumber: Ostrom dan Ostrom (2007) dalam Berge (2004)

Dalam setiap tipologi mengandung sifat yang melekat pada barang dan jasa tersebut. Sifat tersebut merupakan atribut yang sepatutnya disertakan kedalam sifat- sifat lain dari barang dan jasa yang sedang dibicarakan. Terdapat dua faktor yang menentukan atribut tersebut, yaitu:

1. Sifat rivalitas/persaingan (rivalry) atas barang dan jasa. Dalam hal ini apabila barang dan jasa dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai private goods (misalnya air kemasan, kayu, ikan, dll) dancommon pool goods (misalnya danau, sungai, dll). Sebaliknya apabila dimanfaatkan seseorang tetapi dalam jangka pendek tidak mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain, maka diklasifikasikan sebagai

Club goods(misalnya air dalam PDAM, dll) dan public goods(misalnya udara, keamanan, dll).

2. Sifat pengguna (excludability) barang dan jasa. Apabila pengguna barang dan jasa dapat dipisahkan satu dari yang lain, maka private goods dan club goods

termasuk di dalamnya. Sedangkan apabila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, maka common pool goods dan public goods masuk di dalamnya. Dalam common pool goods, dapat terjadi fenomena open access

sebagaimana dalam public goods, apabila kelembagaan pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan tidak dapat mengatasi para pencari kesempatan atau penunggang gratis (free rider).

Sumber daya milik bersama adalah sumber daya yang dapat dimiliki oleh masyarakat, baik sebagai pemanfaat maupun penghasil. Sumber daya alam milik bersama dapat berada di suatu lokasi yang tetap seperti hutan atau dapat pula bergerak dan berpindah-pindah seperti satwa liar. Beberapa mencakup luasan yang sangat luas seperti lautan sehingga tidak dapat dibagi dan diorganisasi oleh hak

kepemilikan pribadi yang terpisah-pisah. Lainnya, mencakup luasan yang kecil sehingga dapat diorganisasi oleh suatu kelompok dengan aturan sosial tertentu. Meskipun demikian, satu pertanyaan yang masih muncul hingga kini terkait dengan pengelolaan sumber daya milik bersama adalah bagaimana mengkoordinasi pihak- pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatannya dalam rangka mendapatkan tingkat produksi atau konsumsi yang optimal bagi seluruh pihak (Oarkerson 1992).

Menurut Hardin (1968), sumber daya milik bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (tragedy of the commons). Hal ini terjadi, karena semua pemanfaat cenderung berlomba untuk mengeksploitasi sumber daya alam tersebut semaksimal mungkin dan akhirnya terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya tragedi tersebut.

Hardin mencontohkan pemanfaatan suatu padang penggembalaan ternak yang luasannya terbatas namun dapat dimanfaatkan secara terbuka oleh siapa saja. Tidak adanya pengaturan akan memicu setiap penggembala untuk memaksimumkan pemanfaatan padang penggembalaan tersebut bagi ternak yang dimilikinya. Selama pemanfaatan masih berada dibawah ambang batas daya dukung padang penggembalaan, maka tidak terdapat permasalahan pakan bagi semua ternak yang ada. Permasalahan perebutan sumber pakan muncul saat jumlah ternak yang digembalakan meningkat dan melampaui ambang batas daya dukung padang penggembalaan. Tanpa adanya penyelesaian masalah yang konkrit, perebutan padang penggembalaan sebagai sumber pakan berakhir pada tragedi untuk semua (tragedy of the common) berupa kematian ternak dalam jumlah besar akibat ketidakseimbangan antara pakan dan jumlah ternak yang ada.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, Hardin (1968) menambahkan pemanfaatan sumber daya milik bersama yang bebas akses atau tidak memiliki pengaturan dalam pemanfaatannya hanya dapat dibenarkan dalam kondisi populasi rendah. Saat terjadi peningkatan populasi, kebebasan dalam mengakses dan menggunakan sumber daya bersama tidak lagi dapat digunakan sebagai prinsip pemanfaatan sumber daya milik bersama tersebut.

Untuk menghindari sumber daya milik bersama bebas akses atau tanpa aturan pemanfaatannya, dibutuhkan pengaturan sosial yang bersifat memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab (Hardin 1968). Pengertian memaksa

(coercion) yang dimaksudkan adalah ‘mutual coercion’ yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Untuk itu, Hardin menawarkan pengalihan status sumber daya bersama menjadi ‘private property.’ Dalam hal ini, privatisasi akan menginternalisasi biaya yang timbul akibat perilaku pemanfaatan sumber daya tersebut, mengurangi ketidakpastian, dan dengan demikian meningkatkan tanggung jawab individual atas sumber daya yang digunakannya. Alternatif lainnya yang ditawarkan dengan cara tetap mempertahankan sumber daya bersama sebagai ‘public property’, tetapi diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan pengalokasian hak untuk mengakses tersebut dapat saja didasarkan pada sistem lelang, penghargaan atas prestasi, sistem undian, atau dengan menggunakan prinsip siapa yang datang terlebih dulu, maka merekalah yang memiliki hak akses.

Tesis Hardin mengenai “the tragedy of the commons” mendapat tanggapan kritis dari Ostrom (1990). Menurutnya, terdapat beberapa hal yang melemahkan tesis dan solusi yang disampaikan Hardin terkait dengan pengelolaan sumber daya milik bersama, meliputi: (i) Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam pelbagai situasi sumber daya bersama; (ii) Hardin terlalu berharap pada pemerintah untuk dapat berperan besar dan mengabaikan keberadaan dan peran kelompok atau komunitas lokal dalam menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan; (iii) Hardin mengabaikan bukti- bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi/institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya bersama, termasuk hubungan- hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumber daya tersebut; dan (iv) Privatisasi atau intervensi pemerintah dapat melemahkan, bahkan menghancurkan keberadaan dan peranan institusi atau institusi sosial komunitas pengguna sumber daya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu yang relatif lama.

Terlepas dari tesis Ostrom tersebut diatas, tesis Hardin (1968) masih relevan untuk dikaji. Pada akhirnya, pengkajian tesis dari kedua ahli tersebut relevan terkait dengan upaya memahami berbagai fenomena dan penyalahgunaan penggunaan

sumber daya alam. Terpenting adalah penerapan konsepsinya berpegang pada konteks sosial ekonomi, politik dan ekologis dari fenomena yang bersangkutan.

2.2 Teori Hak Kepemilikan dan Rezim Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan ikatan atau kumpulan hak untuk mengawasi dan menggunakan sumber daya alam oleh seseorang atau sekelompok orang. Menurut Schmid (1987) hak kepemilikan adalah menggambarkan hubungan individu dengan lainnya terhadap sumber daya alam atau sesuatu yang lainnya. Sedangkan Bromley dan Cernea (1989) mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut.

Schlager dan Ostrom (1992) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk access dan withdrawal, management, exclusiondan alienation, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: owner, proprietor, claimant, danauthorized user.

Hak akses (access rights), hak pemanfaatan (withdrawal rights), Hak

pengelolaan (management rights), Hak eksklusi (exclusion rights) dan hak pengalihan (alienation rights) terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam, dijelaskan oleh Schlager dan Ostrom (1992) sebagai berikut:

1) Hak akses, yaitu hak untuk memasuki suatu area sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif nya;

2) Hak pemanfaatan, yaitu hak untuk memanfaatkan suatu unit sumber daya atau produk dari suatu sistem sumber daya (misalnya menangkap ikan);

3) Hak pengelolaan, yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya;

4) Hak eksklusi, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain (menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain);

5) Hak pengalihan, yaitu hak untuk menjual dan menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) pengelompokan hak pemilikan tersebut menjadi lima kelas kelompok pengguna, sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat

Tipe Hak Pemilik

(owner) Pemilik Terikat (Proprietor) Penyewa (Authorized Claimant) Pengguna (Autorized User) Pengikut (Authorized entrant) Akses dan pemanfaatan X X X X X Pengelolaan X X X Eksklusi X X Pengalihan X

Sumber: Schlager dan Ostrom (1992)

Magrat (1989) dan Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) menyatakan bahwa apabila hak kepemilikan terdefenisikan dengan jelas, maka tindakan pengurasan sumber daya alam menjadi tidak ekonomis sehingga mendorong ke arah pemanfaatan secara berkelanjutan. Schmid (1988) menyatakan bahwa kepastian hak menjadi sangat penting karena mempengaruhi kinerja ekonomi.

Menurut Stevenson (1991) dalam Suhaeri (2005) hak kepemilikan belum bermakna apabila belum dihubungkan dengan bentuk fisik (kongkrit) dari sumber daya alam. Hak kongkrit menurut Harsono (1999) adalah apabila hak penguasaan tanah sudah dihubungkan dengan obyek dan subyeknya (individu atau badan hukum) sebagai pemegang haknya. Unsur hak kongkrit adalah sebagai berikut : penciptaan hak, pembebanan dengan hak lainnya, peralihan hak, hapusnya hak, dan pembuktian hak.

Beberapa studi menunjukkan bahwa hak kepemilikan yang tidak jelas cenderung mengakibatkan terjadinya penebangan hutan sebagai cara strategis untuk mengklaim hak kepemilikan lahan (Anderson dan Hill 1999; Mendelson 1994; Angelsen 1999 dalam Yustika 2008). Hak kepemilikan yang tidak jelas (poorly defined property rights) dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kegagalan pasar (Byron 1999). Ada hubungan yang kuat antara hak kepemilikan yang jelas dan kualitas lingkungan (Dasqupta et al 1995), misalnya para petani dengan hak atas tanah yang aman lebih besar kecenderungannya untuk mau melakukan investasi

dalam konservasi tanah, teknik-teknik pembudidayaan yang berkesinambungan, dan praktik perlindungan lingkungan lain (Feder 1987 dalam Yustika 2008).

Menurut Yustika (2008), kejelasan/kepastian atas hak kepemilikan adalah hal yang paling penting untuk dipertegas sehingga setiap pengelola/pemiliknya mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya. Hak milik privat, dianggap akan memberi insentif yang besar bagi pemiliknya untuk memanfaatkan agar diperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya, hak milik negara atau komunitas juga bisa mendonorkan kemampuan yang besar bagi pemiliknya melalui proses negosiasi dan partisipasi yang utuh. Model-model hak kepemilikan tersebut bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga sesungguhnya tidak dapat disimpulkan mana yang lebih baik diantara bentuk hak-hak kepemilikan tersebut. Lebih relevan dari itu, jika setiap pemiliknya diketahui dengan jelas, apapun tipe dari hak kepemilikan tersebut, maka tidak hanya mewartakan para pemiliknya untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi hak milik, tetapi juga meletarikan dan melindunginya sehingga tetap terjaga untuk kepentingan jangka panjang. Inilah yang menjadi kunci efisiensi ekonomi (khususnya untuk kasus sumberdaya alam), yakni adanya kepastian hak kepemilikan yang dijamin melalui produk dan penegakan hukum.

Dalam hubungannya dengan sumber daya, Hanna et al. (1996)

mengemukakan empat tipe rejim kepemilikan, yaitu: 1) pemilikan individual (private property); 2) pemilikan bersama (common property); pemilikan Negara (state property); dan 4) akses terbuka (open acces). Karakteristik masing-masing rejim tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan tugas pemilik oleh Hanna et al (1996) diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik

Tipe Rejim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik

Pemilikan individual Individual Penggunaan diterima secara sosial; mengendalikan akses

Menghindari penggunaan yang tidak dapat diterima secara sosial

Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yang

bukan pemilik

Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan

Pemilikan negara Warga Negara Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial

Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada