• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inisiasi Agroforestri Karet-Jernang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Respon Pemerintah Daerah dan Masyarakat Terhadap Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dan Inisiasi Agroforestri Karet Jernang

5.6.3 Inisiasi Agroforestri Karet-Jernang

Kebijakan pemerintah daerah ini dimulai dari kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan didampingi oleh Lembaga Perkumpulan Gita Buana, salah satu Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Jambi. Adanya komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah daerah menghasilkan suatu aksi bersama dalam bentuk penanaman perdana tanaman jernang untuk budidaya. Penanaman dilaksanakan pada tanggal 28 November 2006 yang secara simbolik dilakukan oleh Bupati, kemudian diperkuat lagi dalam Workshop tanggal 28 Agustus 2008. Workshop dilakukan dengan topik tentang upaya menjadikan desa Lamban Sigatal sebagai sentra pengembangan jernang di Kabupaten Sarolangun. Hasil dari workshop ini, maka Bupati memberikan rekomendasi untuk mengembangkan tanaman rotan penghasil jernang ini sebagai komoditi yang dapat menjadi unggulan daerah.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa inisiasi Agroforestri Karet Jernang (AK-J) di Lamban Sigatal dilatar-belakangi oleh kebiasaan masyarakat membudidayakan Karet, pemahaman tanaman Jernang memerlukan tanaman pohon untuk rambatan, hasil pengumpulan jernang dari hutan semakin menurun dan harga jernang yang cukup mahal. Hasil penelitian ini mempunyai kemiripan dengan hasil penelitian Sumarna (2004), pengusahaan budidaya karet telah lama dilakukan oleh masyarakat di Desa Lamban Sigatal Sarolangun, Jambi. Selain itu dari pemanfataan hasil hutan di lakukan juga pemanfaatan jernang. Hingga saat ini pengumpulan jernang dari hutan oleh masyarakat tetapi hasil yang didapatkan sudah tidak begitu banyak. Oleh karenanya muncul inisiasi dari masyarakat untuk dapat membudidayakan rotan jernang sebagai penghasil jernang.

Oleh karena budidaya pola AK-J belum ada yang sampai pada produksi, maka perhitungan kelayakan ekonomi AK-J yang diinisiasi oleh masyarakat dilakukan berdasarkan pada pengalaman dan pemahaman masyarakat tentang Jernang dan pengalaman masyarakat membudidayakan Karet. Hasil analisis menunjukkan, apabila 1 ha lahan budidaya tanaman jernang dan tanaman karet sebagai inang dengan jarak tanam 3m x 7m, didapatkan komposisi 476 batang tanaman karet dan 384 rumpun tanaman jernang (Gambar 16). Pada awal panen (tahun ke-5), tanaman karet akan memproduksi getah sebanyak 500 kg ha-1 dan

1000 kg ha-1 pada panen berikutnya hingga peremajaan pada tahun ke-30 (kayunya dijual). Sedangkan pada panen perdana (tahun ke-8) diprediksi tanaman rotan jernang menghasilkan getah jernang sebanyak 59 kg dan 117 kg ha-1 pada tahun ke 12 dan seterusnya hingga periode produktif 30 tahun.

Gambar 16 Komposisi budidaya tanaman karet dan jernang.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial HTR pola AK-J diperoleh NPV dengan df 12 % sebesar Rp 36 378 459 serta IRR sebesar 15.06 %. Dari perhitungan tersebut diketahui NPV (Rp 36 378 459) > 0 dan IRR (15.06%) > tingkat bunga berlaku (12.00%), hal ini berarti usaha tersebut layak secara finansial (Lampiran 5). Menurut Waldiyono dkk (1996),Net Present Value (NPV)

sering diterjemahkan sebagai nilai tunai bersih (sekarang) suatu proyek dikurangi dengan biaya (sekarang) proyek tersebut. Jika present value benefit lebih besar dari present value cost, berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan atau menguntungkan. Dengan perkataan lain, apabila NPV > 0 berarti proyek tersebut menguntungkan, dan sebaliknya jika NPV < 0 maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Selanjutnya menurut Soekartawi (1995) apabila IRR lebih besar dari nilai tingkat bunga yang berlaku maka usahatani layak untuk diusahakan.

Kebutuhan hidup layaknya (KHL) petani (dengan jumlah KK 5 orang) di desa Lamban Sigatal adalah sebesar Rp 32 000 000,-. Perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) masyarakat disekitar hutan di Desa Lamban Sigatal selengkapnya tertera pada Tabel 20.

Tabel 20 Kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat disekitar hutan1) Jenis Pengeluaran % Kg Beras Harga Beras (Rp kg-1)2) Pengeluaran (Rp orang-1th-1) Jumlah Keluarga3) Kebutuhan (Rp KK-1th-1) KHM 100 320 8 000 2 560 000 5 12 800 000 Pendidikan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 Kesehatan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 Sosial/Tabungan 50 160 8 000 1 280 000 5 6 400 000 KHL 6 400 000 32 000 000

Sumber : Hasil Survey,diolah (2010)

1)

dimodifikasi dari Monde (2008) 2)

rata-rata harga beras di Kabupaten Sarolangun pada saat penelitian 3)

diasumsikan jumlah anggota keluarga 5 orang 4)

KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) 5)

KLH (Kebutuhan Hidup Layak)

Ini berarti bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang layak maka masyarakat haruslah memiliki pendapatan sebesar Rp.32 000 000 dan minimal sebesar Rp.12 800 000 setiap tahunnya. Apabila pendapatan masyarakat kurang dari nilai KHM maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut tergolong kepada masyarakat yang miskin.

Secara rinci sistem insentif diketahui dari perhitungan arus kas budidaya jernang yang dikombinasikan dengan karet sebagai tanaman rambat atau pola agroforestri karet jernang (AK-J). Usaha ini memberikan pendapatan bersih rata- rata per hektar per tahun pola AK-J adalah Rp 31 237 635, sedangkan KHL per KK per tahun adalah sebesar Rp 32 000 000. Hal ini berdasarkan perhitungan berarti dengan mengusahakan AK-J 1.03 ha telah dapat memenuhi kebutuhan hidup layak petani. Mengacu kepada pendapat Soekartawi (1995) dan Sinukaban (2007) maka usaha budidaya Agroforestry Karet-Jernang (AK-J) layak untuk diusahakan dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.

Pengusulan kawasan kelola untuk budidaya jernang dan diusahakannya pola agroforestri karet jernang diharapkan dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi. Menurut Maydell (1986) salah satu tujuan agroforestri yaitu untuk memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan dan jasa lingkungan setempat dengan bentuk mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, sebagai pohon pelindung dan pengelolaan sumber air secara baik.

Mengacu pada Rianse (2010), pengkombinasian dua komponen atau lebih tanaman yang dalam hal ini tanaman karet dan jernang menghasilkan diversitas yang tinggi baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari sisi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar, dari sisi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal permanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya monokultur. Selain itu, dari aspek sosial dengan pengembangan pola agroforestri akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan memanfaatkan secara maksimal usaha budi daya.

Pengembangan tanaman pola agroforestri dapat dijadikan sebagai suatu pola dalam pembangunan HTR, karena pola agroforestri merupakan salah satu kebijakan dari kementerian kehutanan yang dimasukkan dalam program perhutanan sosial (social forestry). Perhutanan sosial adalah upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal disekitar hutan. Selain itu didalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan no. P.06/VI-BPHT/2007 tentang petunjuk teknis pembangunan hutan tanaman rakyat pada bab VI dimungkinkan untuk dapat mengembangkan pola agroforestri atau tanaman tumpang sari.

5.7 Stakeholder

Berdasarkan situasi aksi yang dihadapi maka stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan Desa Lamban Sigatal adalah sebagai berikut:

a. Masyarakat Desa Lamban Sigatal

b. Kelompok masyarakat pengumpul jernang Desa Lamban Sigatal c. Kelompok masyarakat toke jernang

d. Kelompok masyarakat diluar kawasan e. Lembaga permodalan/ keuangan formal f. Kepala Desa Lamban Sigatal

g. Camat Pauh

h. Balai Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kecamatan Pauh i. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sarolangun

k. Dinas Pertanian Kabupaten Sarolangun

l. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Sarolangun m. Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun

n. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Sarolangun

o. Bupati Sarolangun

p. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun q. Yayasan Gita Buana

r. BPKH Wil.II s. BP2HP Wil.IV

Kepentingan, sikap/perilaku serta pengaruh dari masing-masing stakeholder

tersebut ditabulasi dalam sebuah matrik sebagaimana disajikan pada (lampiran 6). Hasil analisis menunjukan stakeholder berdasarkan kepentingannya dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: i) stakeholder pengguna (users), yaitu

stakeholder yang mendapat atau akan mendapatkan manfaat secara langsung dari terwujudnya pengelolaan HTR jernang secara berkelanjutan; ii) stakeholder

penyedia jasa (service providers), yaitu stakeholder yang berdasarkan tanggung jawabnya seyogyanya terlibat dan berpengaruh langsung didalam terwujudnya pengelolaan HTR jernang secara berkelanjutan; dan (ii) stakeholder pendukung (enabling agency), yaitu stakeholder yang berdasarkan tanggung jawabnya seyogyanya terlibat dan berpengaruh tidak langsung terhadap agenda pengembangan HTR jernang.

Dengan kata lain, kepentingan stakeholder ditentukan berdasarkan aturan main sehari-hari atau aturan informal yang berlaku di masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya HTR jernang (stakeholder pemanfaat) hingga kepentinganstakeholderyang muncul berdasarkan tugas pokok dan fungsi atau tanggung jawab secara langsung (stakeholder penyedia jasa) ataupun tidak langsung (stakeholder pendukung) karena diberlakukannya aturan main formal yang disediakan oleh peraturan-perundangan yang terkait.

Adapun pembagianstakeholders berdasarkan kategori kepentingan tersebut pada saat ini adalah:

1. Stakeholders pengguna : masyarakat Desa Lamban Sigatal, pokmas pengolah jernang Desa Lamban Sigatal, pokmas tauke jernang, pokmas pendatang / diluar kawasan.

2. Stakeholders penyedia jasa: Kepala Desa Lamban Sigatal, Bupati Sarolangun, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan, BP2HP Wil.IV, BPKH Wil.II, Balai Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan (BP3K), 3. Stakeholders pendukung : Camat Pauh, Lembaga Permodalan Formal, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, LSM (Yayasan Gita Buana).

Berdasarkan analisis stakeholder terhadap kepentingan dan pengaruh pada institusi pengelolaan HTR, maka stakeholder daerah yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap pengambilan keputusan dalam pembangunan HTR adalah sebagai berikut:

a. Bupati Sarolangun

b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun c. Kepala Desa Lamban Sigatal

d. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun

e. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sarolangun f. Yayasan Gita Buana

g. Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah II

h. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah IV Bupati Sarolangun sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun memiliki pengaruh yang kuat untuk dapat mensukseskan keberhasilan pembangunan HTR. Kemauan politik bupati untuk dapat mengarahkan kebijakan terhadap pembangunan HTR sangatlah penting, karena pimpinan daerah dapat berperan strategis dalam mengarahkan program dan kegiatan satuan kerja perangkat daerah pada penguatan masyarakat petani jernang (desa Lamban Sigatal).

Kemauan politik ini selanjutnya harus didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mengesahkan penganggaran untuk program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat dan pembangunan HTR. Dinas Perkebunan dan Kehutanan sebagai leading sektor pengembangan

kehutanan dan dalam hal ini untuk pembangunan HTR, semestinya mengusulkan anggaran kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut. Mulai dari program sosialisasi hingga terlaksananya pembangunan HTR khususnya terkait dengan penerbitan IUPHHK HTR. Hal ini harus diikuti dengan memasukkan kegiatan perencanaan pembangunan HTR oleh Bappeda untuk diusulkan sebagai program dan kegiatan dalam penganggaran pembangunan.

Kepala Desa sebagai pihak yang memverifikasi awal persyaratan untuk pengajuan IUPHHK HTR melalui tindakan mempermudah persyaratan permohonan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat keterangan domisili dan sketsa areal yang dimohonkan. Kaitan persyaratan untuk mendapatkan izin ini, BP2HP dan BPKH sebagai pihak yang memverifikasi atas persyaratan administrasi lebih dapat lebih memudahkan persyaratan dengan menganggarkan biaya untuk proses verifikasi dan pembuatan sketsa/peta tersebut.

Berkaitan dengan sumberdaya keuangan dalam pembangunan HTR ini maka stakeholder yang berperan yaitu Dinas Perkebunan dan Kehutanan sebagai instansi teknis haruslah memiliki anggaran untuk dapat memproses terbitnya izin IUPHHK HTR. Didukung oleh Lembaga Permodalan dalam menyiapkan biaya pembangunan seperti dari Badan Layanan Umum (BLU) dan permodalan formal lainnya.

Terhadap kapasitas sumberdaya manusia, stakeholder yang berperan dalam pembangunan HTR ini yaitu Dinas Perkebunan dan Kehutanan, juga Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun untuk dapat mengadakan program kegiatan yang diarahkan untuk peningkatan sumber daya masyarakat. Misalnya asistensi teknis berupa pendidikan dan pelatihan dalam usaha budidaya karet jernang. Peran LSM juga patut dipertimbangkan, karena lembaga dapat berpengaruh dalam keberhasilan program melalui proses pendapingan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stakeholders penting bagi keberhasilan kebijakan pembangunan HTR yang ditujukkan bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah Bupati Sarolangun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun, Dinas Perkebunan dan

Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana (LSM), menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut :

Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode.

Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources). Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana (LSM), menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut :

Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode.

Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources). Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana (LSM), menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.

5.8 Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Desa Lamban Sigatal Saat Ini

5.8.1 Kepastian Hak Kepemilikan Terhadap Sumber Daya Hutan

Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal terbagi atas tiga periode yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-2007, dan periode 2008 hingga sekarang seperti terlihat pada gambar 17 berikut :

Gambar 17 Dinamika pemanfaatan hutan desa Lamban Sigatal selama tiga periode.

Periode sebelum tahun 1970, aturan-aturan berkenaan dengan Jernang menunjukkan masyarakat desa Lamban Sigatal memiliki kearifan lokal. Mereka memiliki kesadaran bahwa karakter hutan dengan fenomena yang “open access” perlu diatur agar tidak terjadi perebutan pemanfaatan yang berujung pada perusakan sumber daya hutan itu sendiri. Tanpa disadari, masyarakat sudah menerapkan pemahaman karakteristik sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama (common pool resources). Melalui aturan-aturan tersebut, mereka telah menciptakan mekanisme pendistribusian manfaat sesuai dengan upaya setiap

pihak yang berkepentingan atau terlibat. Disamping itu, mereka membatasi ruang gerak setiap pihak yang berperilaku tidak mau turut bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya hutan. Hal ini berarti pula masyarakat lokal desa Lamban Sigatal telah menerapkan hak dan kewajiban pemilikan sumber daya, sesuai dengan teori hak pemilikan yang dikemukakan oleh Hanna et al. (1996), yaitu pemilik sumberdaya bersifat kolektif dengan hak mengeluarkan yang bukan pemilik serta dengan kewajiban melakukan pemeliharaan dan membatasi tingkat penggunaan. Mengacu pada pendapat Schlager dan Ostrom (1992) masyarakat (komunitas) lokal desa Lamban Sigatal pada periode ini merupakan pemilik

(owner) sumber daya hutan, karena mereka dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan, mengelolanya secara bersama dan mengeluarkan pihak-pihak yang bukan pemilik serta dapat memindahtangankan hak kepemilikannya.

Periode ini dapat dikatakan bahwa institusi yang dijalankan oleh masyarakat dengan pengaturan oleh lembaga adat menjadikan kondisi institusi yang baik. Penerapan aturan kepemilikan masyarakat, penerapan pemanfaatan sumber daya hutan, dan penerapan sangsi yang dijalankan menjadikan kondisi sumber daya dapat terjaga dengan baik. Ini dibuktikan dengan adanya masyarakat yang diberikan sangsi oleh adat pada periode tersebut dan masih tersedianya hutan guguk larangan dengan kondisi vegetasi yang masih baik (lampiran 3).

Periode 1997 sampai 2007, berbagai kebijakan pemerintah pada periode ini cenderung mengubah karakter pemilikan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal. Mengacu pada pendapat Hanna et al. (1996) sumber daya hutan Lamban Sigatal adalah sumber daya yang dikuasai oleh Negara (state property) yang diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan (private property). Pada sisi masyarakat, masyarakat secara de jure (legal) tidak dapat lagi mendapat aliran manfaat yang bersumber dari sumber daya hutan. Tetapi secara de facto

masyarakat masih dapat memperoleh aliran manfaat sumber daya hutan tersebut berupa hasil hutan yang bukan kayu. Kondisi ini menyebabkan apabila masyarakat memanfaatkan hasil hutan kayu dan memanfaatkan lahan menjadi sesuatu yang dilarang atau illegal. Hal ini berarti pemerintah, sebagai pihak pengelola hutan, tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pihak-pihak diluar perusahaan yang merupakan pihak yang diberikan hak dan tanggungjawab

atas pengelolaan sumber daya tersebut. Hal ini menimbulkan situasiopen access,

yang memicu terjadinya degradasi sumber daya hutan desa Lamban Sigatal. Periode setelah adanya kebijakan pembangunan HTR diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya melalui izin yang akan diberikan berupa IUPHHK-HTR. Memperhatikan substansi isi kebijakan pembangunan HTR, khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan sasaran pembangunan HTR dapat dinyatakan bahwa kebijakan pembangunan HTR merupakan sebuah institusi pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kebijakan ini mengarahkan masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya, melibatkan banyak anggotanya berdasarkan legalitas dari pemerintah. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, sejarah, keterikatan tempat domisili, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Kawasan hutan yang dikelola merupakan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin atau hak lain. Di sisi lain, pemerintah merupakan pihak yang memberikan izin kepada masyarakat untuk membangun HTR, melaksanakan fasilitasi, melakukan pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan (institusi), memberikan bimbingan dan penyuluhan teknis, melakukan pendidikan dan latihan, mengupayakan akses ke pembiayaan dan akses terhadap pasar.

Mengacu pada penjaminan kepastian hak kepemiikan terhadap sumber daya hutan berupa lahan melalui kontrak antara principals dan agent (Richter 2000 dalam Yustika 2008), secara prinsip kebijakan pembangunan HTR yang diberlakukan sudah mendukung terjadinya situasi tersebut bagi masyarakat Desa Lamban Sigatal. Meskipun demikian, kondisi ideal institusi yang dibentuk melalui kebijakan pembangunan HTR tersebut belum terwujud. Dalam hal ini, transfer hak dari pemerintah (principal) kepada masyarakat (agent) belum dapat dipenuhi, dibuktikan oleh belum ada satupun masyarakat mampu mendapatkan IUPHHK-HTR. Di sisi lain, dapat dikatakan principals belum mampu memfasilitasi keberhasilan pengurusan perizinan sebagaimana yang didelegasikan kepada pihakagent.

Berdasarkan substansi isi kebijakan yang mengatur mekanisme pencadangan areal HTR di atas dapat diketahui bahwa proses pencadangan HTR melibatkan banyak lembaga/organisasi dengan banyak tahapan yang harus dilalui. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Nugroho (2009) bahwa proses pencadangan areal HTR melibatkan 9 lembaga/organisasi. Lebih lanjut Nugroho menyatakan bahwa langkah yang harus ditempuh dalam proses pencadangan areal HTR terdiri atas 29 tahapan. Analisis Nugroho (2009) terhadap proses mekanisme pencadangan areal HTR merinci secara detail tahapan kegiatan dan memperhitungkan proses tembusan surat sebagai aktivitas yang perlu dipertimbangkan.

Berdasarkan substansi isi kebijakan pembangunan HTR tentang tata cara permohonan izin dapat dinyatakan permohonan izin melalui 29 tahapan kegiatan dimulai dari proses pengusulan sampai dengan keluarnya izin, melibatkan 10 unit kerja/lembaga. Hal ini sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Nugroho (2009) terhadap proses tersebut memperlihatkan bahwa untuk permohonan IUPHHK-HTR melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non-kehutanan dengan 29 langkah/kegiatan yang harus ditempuh. Gambaran detail tentang hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Mekanisme pemberian izin HTR berdasarkan Permenhut No.P.23/Menhut-II/2007.

Masyarakat sekitar kawasan merupakan agent pembangunan HTR, atas dasar posisi tersebut, pemerintah memberikan hak seluas-luasnya kepada

masyarakat untuk mengatur diri-sendiri (self governing) dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan. Namun, hasil kajian Noordwijk,et al (2007) dan Kartodihardjo (2011) menyebutkan pelayanan pemerintah dalam memberi hak dan akses bagi masyarakat lokal dalam perhutanan sosial secara umum terhambat pada saat penetapan lokasi. Pada sisi lain, tata cara permohonan izin yang rumit dan panjang dapat berakibat pada terjadinya biaya transaksi tinggi yang disebabkan oleh penguasaan informasi yang tidak seimbang dan administrasi perizinan. Menurut Williamson (1985) dalam Kartodihardjo (2003) penguasaan informasi yang tidak seimbang diantara pihak-pihak yang sedang melakukan transaksi dapat menimbulkan sikap oportunis. Menurut Kartodihardjo (2003), akibat perilaku oportunis ini dapat menimbulkan biaya yang disebut biaya tidak langsung dari biaya transaksi yang meliputi biaya negosiasi, biaya untuk mendapatkan informasi, kontrak, membayar suap, korupsi. Selanjutnya menurut Kartodihardjo (2003), administrasi perizinan menimbulkan biaya tinggi.

Berkenaan dengan biaya transaksi tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang terlibat dengan program Proyek FLEGT SP diketahui