• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode tahun 2008 hingga saat ini (setelah adanya kebijakan pencadangan HTR)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

5.3.3 Periode tahun 2008 hingga saat ini (setelah adanya kebijakan pencadangan HTR)

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen dapat diketahui bahwa pengelolaan sumber daya hutan kebijakan pembangunan pola HTR di Lamban Sigatal dimulai akhir tahun 2007, oleh karenanya penting

untuk memahami aturan setelah keluarnya kebijakan HTR tersebut. Hasil analisis, setelah adanya kebijakan pencadangan HTR adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Pengelolaan sumber daya hutan desa Lamban Sigatal periode tahun 2008 hingga saat ini.

Periode

Aturan pengelolaan Lembaga

Pengatur

Pola dan tujuan

Pemanfaatan Bentuk Aturan

Tipe Hak Pemilikan Kinerja Setelah pencadangan HTR Pengelolaan sumber daya hutan diatur oleh Negara (Departemen yang membidangi Kehutanan) Hutan Tanaman Rakyat untuk tujuan produksi kayu Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pembangunan HTR (Tata cara permohonan IUPHHK pada HTR, petunjuk teknis pembangunan HTR) Pemegang IUPHHK: Hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, eksklusi HTR Pemegang IUPHHK minim, tetap berlangsung pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (madu, jernang) oleh masyarakat

Berdasarkan hasil analisis dapat dinyatakan bahwa setelah adanya pencadangan areal HTR hak pemilikan masyarakat tidak mengalami banyak perubahan. Hal ini ditunjukan oleh masih sedikitnya penerbitan IUPHHK-HTR. Berdasarkan laporan data progres pembangunan HTR di Propinsi Jambi oleh BPPHP Wilayah IV, Pemerintah Kabupaten Sarolangun sampai dengan Agustus 2010 baru mengeluarkan IUPHHK-HTR di wilayah Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh seluas 154.66 ha untuk 4 (empat) kelompok tani yang terdiri dari 18 orang dengan pola atau kategori perorangan. Pemberian IUPHHK-HTR kepada anggota masyarakat ini dimungkinkan karena adanya dukungan dana pengurusan IUPHHK-HTR dari proyek EC-Indonesia FLEGT SP yang dilaksanakan pada tahun 2007. Proyek ini memang dilaksanakan sebagai dukungan kebijakan pembangunan HTR berupa upaya perumusan model pembangunan HTR yang tepat untuk Indonesia. Pada proyek ini dapat difasilitasi pendanaan untuk penguatan kelembagaan pemohon (masyarakat) mulai dari pembentukan kelompok/koperasi hingga kegiatan permohonan IUPHHK-HTR, sesuatu hal yang belum dapat difasilitasi pada kasus pengajuan IUPHHK-HTR oleh masyarakat lainnya.

Selain Kabupaten Sarolangun, perizinan HTR yang dimulai pada tahun 2007 melalui penetapan lokasi oleh Menteri Kehutanan dan penetapan izin oleh Bupati atau Walikota, sampai dengan Desember 2009 baru terdapat 9 izin, yaitu 4 izin kepada perorangan dan 5 izin kepada Koperasi dengan luas keseluruhannya

21 157.35 Ha (Dephut, 2009). Di samping itu, mulai terdapat munculnya pemodal dari luar wilayah yang berupaya mengambil alih hak kepemilikan melalui masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Di pihak masyarakat, rendahnya tingkat pendapatan menjadi faktor penyebab utama. Sebagian besar diantara mereka belum memiliki bukti diri, yang notabene merupakan syarat wajib untuk mengajukan permohonan IUPHHK-HTR. Untuk mendapatkan bukti diri tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul jernang menyatakan bahwa mereka perlu mengeluarkan biaya pengurusan terkait dengan penggantian biaya transportasi aparat pemerintah desa saat pengurusan ke ibukota kecamatan. Di sisi lain, berdasarkan wawancara dengan staf pemerintahan desa mengatakan bahwa lembaga/instansi pemerintah yang terkait dengan pemenuhan syarat untuk permohonan IUPHHK-HTR juga belum mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Secara umum hal ini disebabkan oleh lemahnya infrastruktur lembaga itu sendiri, baik dari sisi sumber daya manusia dan/atau keuangan (anggaran).

5.4 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat

Institusi pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal sangat dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang mulai diberlakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007. Pencapaian tujuan institusi pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal tidak terlepas dari kebijakan pembangunan HTR tersebut. Oleh karenanya memahami berbagai permasalahan yang terkait dengan kebijakan HTR tersebut patut dilakukan, khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan sasaran HTR, mekanisme pencadangan HTR, mekanisme dan verifikasi pemberian izin serta tahapan kegiatan dan pola pembangunan HTR, sebagaimana diuraikan berikut:

5.4.1 Prinsip dan sasaran

Menteri Kehutanan dalam sambutannya pada workshop pembangunan HTR pada tanggal 21-22 Februari 2007 menyatakan bahwa HTR sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan, dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan

masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Kebijakan HTR ini sekaligus juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan 2004-2009 terutama revitalisasi sektor kehutanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan konstribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja.

Peningkatan partisipasi masyarakat semakin nampak jelas pada prinsip penyelenggaraan HTR yang dijabarkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Lampiran 1 – Bab II), yaitu:

1) Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri. Prinsip ini dikembangkan dalam kelembagaan kelompok sehingga ada tanggung renteng atas kewajiban terhadap lahan atau hutan, keuangan dan kelompok;

2) Kegiatan pembangunan HTR harus bersifat padat karya;

3) Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global.

Selanjutnya, untuk dapat memenuhi prinsip-prinsip tersebut di atas, maka ditetapkan sasaran program HTR dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Lampiran 1 – Bab II) sebagai berikut: 1) Masyarakat yang menjadi sasaran program HTR adalah masyarakat yang

berada di dalam dan atau di sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial yang didasarkan pada persamaan mata pencarian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan;

2) Kawasan hutan yang dapat menjadi sasaran lokasi HTR adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif, tidak dibebani izin atau hak lain,

letaknya diutamakan dekat dengan industri hasil hutan dan telah ditetapkan pencadangannya sebagai lokasi HTR oleh Menteri Kehutanan. Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari hutan alam dan atau IPK dari hasil reboisasi;

3) Kegiatan yang menjadi sasaran program HTR berupa fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya antara lain melakukan pengakuan status legalitas, penguatan kelembagaan (institusi), bimbingan dan penyuluhan teknis, pendidikan dan latihan, akses ke pembiayaan, akses terhadap pasar;

4) Kegiatan IUPHHK-HTR adalah pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman yang meliputi tahapan kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan kayu dari hutan tanaman rakyat.

5.4.2 Mekanisme pencadangan areal hutan tanaman rakyat

Pencadangan areal HTR merupakan langkah awal di dalam implikasi kebijakan pembangunan HTR. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 yang sudah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Lampiran 1 – Bab III), secara detil menjelaskan prosedur pencadangan lokasi HTR sebagai berikut: 1) Pemberian Izin UPHHK-HTR hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan

produksi yang telah ditetapkan Menteri Kehutanan melalui pencadangan areal HTR.

2) Dalam rangka percepatan proses pencadangan areal HTR, Badan Planologi Kehutanan (saat ini Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan) atas nama Menteri Kehutanan menyerahkan peta arahan indikatif lokasi HTR (berikut

menyampaikan sosialisasi program HPH) kepada gubernur dan

bupati/walikota dengan tembusan disampaikan antara lain kepada Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Kehutanan;

3) Kesesuaian informasi dalam Peta Arahan Indikatif Lokasi HTR masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut di tingkat kabupaten/kota, oleh karena itu

pemerintah daerah melalui Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan melakukan koordinasi dengan UPT Departemen Kehutanan khususnya Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) untuk melakukan klarifikasi melalui pemeriksaan lapangan terhadap Peta Arahan Indikatif Lokasi HTR.

4) Klarifikasi dilakukan khususnya terhadap kesesuaian informasi kondisi areal, keberadaan masyarakat calon peserta HTR, tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi serta program pembangunan daerah kabupaten/kota.

5) Hasil klarifikasi peta arahan indikatif lokasi HTR (skala 1:50.000) digunakan

untuk penyusunan pertimbangan teknis kepala dinas kehutanan

kabupaten/kota yang selanjutnya disampaikan kepada bupati/walikota guna pengusulan pencadangan areal HTR kepada Menteri Kehutanan.

6) Kelengkapan usulan pencadangan areal HTR dimaksud terdiri atas surat pertimbangan teknis dari kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dan peta usulan lokasi HTR yang ditandatangani bupati/walikota dan atau kepala dinas kabupaten/kota yang membidangi kehutanan.

7) Kawasan hutan produksi yang berada di luar peta arahan indikatif sepanjang telah memenuhi persyaratan areal untuk HTR, dapat diusulkan oleh Bupati/Walikota kepada Menteri Kehutanan untuk dicadangkan sebagai areal HTR.

5.4.3 Mekanisme dan verifikasi pemberian izin

Langkah setelah diterbitkan peta pencadangan areal untuk pembangunan HTR adalah permohonan izin dari masyarakat untuk dapat melakukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat dalam hutan tanaman. Adapun tata cara permohonan izin tersebut berdasarkan Permenhut No. P.23/Menhut-II/2007 dan dijelaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina

Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Lampiran 1 – Bab V) dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Mekanisme pemberian izin UPHHK-HTR pada dasarnya mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1. Permohonan IUPHHK-HTR dari perorangan diajukan kepada

Bupati/Walikota melalui Kepala Desa, sedangkan permohonan dari Koperasi diajukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala Desa.

2. Berdasarkan permohonan dari perorangan dan tembusan dari Koperasi, Kepala Desa melakukan verifikasi atas keabsahan persyaratan permohonan.

3. Kepala Desa menyampaikan rekomendasi hasil verifikasi keabsahan

persyaratan permohonan kepada Bupati/Walikota sekaligus

menyampaikan berkas permohonan untuk pemohon perseorangan. Tembusan rekomendasi Kepala Desa disampaikan kepada Camat dan BPPHP dilampiri salinan berkas permohonan.

4. Berdasarkan tembusan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala BPPHP berkoordinasi dengan Kepala BPKH melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dan hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.

5. Berdasarkan rekomendasi dari Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BPPHP, Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan melakukan penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR.

6. Hasil penilaian atas permohonan IUPHHK-HTR disampaikan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.

7. Dalam hal Bupati/Walikota menyetujui permohonan IUPHHK-HTR, Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan menyiapkan konsep Keputusan Bupati/Walikota dan konsep Peta Areal Kerja IUPHHK-HTR.

8. Bupati/Walikota menerbitkan keputusan IUPHHK-HTR kepada

perorangan atau koperasi dengan format yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan.

B. Verifikasi pemberian izin

a. Memeriksa kelengkapan administrasi permohonan IUPHHK-HTR berupa:

1) Salinan KTP bagi perorangan/akte pendirian koperasi yang masih berlaku bagi koperasi.

2) Surat keterangan kepala desa bahwa pemohon berdomisili di desa dimaksud (bagi pemohon perorangan) / Surat keterangan kepala desa bahwa koperasi dibentuk oleh masyarakat sekitar (bagi pemohon koperasi). Apabila anggota Koperasi berasal dari lebih dari 1 (satu) desa maka surat keterangan kepala desa berasal dari tiap desa yang menjadi lingkup kerjanya

3) Sketsa/peta areal yang dimohon yang memuat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, koordinat dan batas-batas yang jelas dan dapat diketahui luas arealnya serta diketahui oleh penyuluh kehutanan setempat/penyuluh pertanian setempat/pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.

b. Membuat surat rekomendasi yang menyatakan keabsahan persyaratan permohonan telah dipenuhi yang ditujukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Kepala BPPHP/Kepala BPKH dan Camat setempat.

2. Berdasarkan tembusan rekomendasi dari Kepala Desa, Kepala BPPHP:

a. Memeriksa kelengkapan dokumen administrasi permohonan. b. Memeriksa status dan fungsi areal yang dimohon serta menyiapkan

sketsa/peta skala 1 : 50 000 berkoordinasi dengan BPKH setempat. c. Menelaah kondisi dan potensi areal yang dimohon untuk dapat

dipilah menjadi areal yang dipertahankan alami sebagai fungsi lindung dan areal yang akan dikerjakan. Dalam hal areal yang dicadangkan masih merupakan Hutan Produksi yang produktif dan dapat dikerjakan, maka pengelolaannya wajib menerapkan sistem silvikultur sesuai tapaknya.

d. Menyampaikan pertimbangan teknis dengan dilampiri sketsa/peta 1 : 50 000 disampaikan kepada Bupati/Walikota.

Pada saat sudah mendapatkan IUPHHK-HTR maka pemohon memiliki hak dan kewajiban. Meskipun demikian, berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 yang dirubah dengan Permenhut

No.P.5/Menhut-II/2008 Tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman terdapat pembatasan terhadap hak pemilikan yang dipunyai oleh masyarakat pemegang IUPHHK-HTR. Mereka dapat mengelola HTR maksimal seluas 15 hektar/KK (Pasal 8) dan jangka waktu pengelolaan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun (Pasal 14). Mereka tidak dapat memperjualbelikan, memindahtangankan dan mewariskan IUPHHK- HTR yang dimilikinya (Pasal 15). Sementara itu pada pasal 23 dinyatakan IUPHHK-HTR hapus karena: berakhirnya masa berlaku izin (huruf c) dan meninggalnya pemegang izin HTR perorangan (huruf d).

5.4.4 Jenis Tanaman

Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (Lampiran 1 – Bab VI) menjelaskan bahwa jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat terdiri dari tanaman sejenis (tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu species beserta varietasnya) dan tanaman berbagai jenis (tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu).Tanaman hutan berkayu, seperti: meranti, kruing, jati, sengon dan akasia. Tanaman budidaya tahunan yang berkayu seperti: karet, durian, nangka, durian, rambutan, kemiri, duku, dan pala.

Tanaman pokok berbagai jenis dimaksudkan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu penebangan kayu, disamping hasil tambahan lain dari kegiatan tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut:

a. Tanaman Hutan Berkayu ± 70 %.

b. Tanaman Budidaya Tahunan Berkayu ± 30 %

(Pemegang izin dapat melakukan kegiatan Tumpang sari tanaman Budidaya musiman/Palawija diantara tanaman pokok sampai dengan 2-3 tahun)

Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan. Disamping tanaman pokok, pada batas areal kerja atau batas antar blok/petak tanman pokok dapat dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan.

Selanjutnya Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 dirubah dengan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Perubahan peraturan Dirjen ini dilakukan dengan pertimbangan dari adanya perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 menjadi No. P.5/Menhut-II/2008. Pada petunjuk teknis ini dalam Lampiran 1 – Bab VI dijelaskan bahwa jenis tanaman yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat terdiri dari tanaman pokok dan tanaman tumpang sari.

Tanaman pokok adalah tanaman berkayu (pohon) yang dapat ditanam sejenis atau berbagai jenis, antara lain : a) kelompok jenis meranti; b) kelompok jenis kruing; c) kelompok Non Dipterocarpaceae (jati, sengon, dll); d) kelompok kayu serat, ( eucaliptus, akasia, dll); e) kelompok multi purpose tree species

(MPTS), antara lain: karet, durian, nangka, mangga, rambutan, kemiri, duku, pala, dll.

Tanaman tumpang sari adalah tanaman pangan setahun/semusim yang ditanam untuk memperoleh hasil tambahan selama masa menunggu waktu penebangan tanaman pokok antara lain jagung, padi, palawija dan lain-lain. Pengaturan penanaman disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan berdasarkan pertimbangan penyuluh kehutanan/pertanian setempat. Pada batas areal kerja atau batas antar blok/petak tanaman pokok dapat dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang berfungsi sebagai tanaman tepi, tanaman sekat bakar, dan tanaman pelindung.

Perubahan terhadap peraturan ini terlihat bahwa kebijakan untuk pembangunan HTR masih cenderung pada usaha budidaya untuk tanaman berkayu. Sedangkan hasil hutan bukan hanya tanaman berkayu, tetapi juga hasil hutan bukan kayu. Sehingga pengaturan ini masih memperlihatkan bahwa

pemerintah belum menjadikan sumber daya lokal sebagai dasar untuk kebijakannya. Tetapi sudah terdapat perbaikan dengan tidak lagi mengatur prosentase komposisi jenis tanaman untuk dikembangkan.

5.5 Interaksi Antar Kelompok Masyarakat dan Dengan Sumber Daya Hutan