• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Antar Kelompok Masyarakat dan Dengan Sumber Daya Hutan Lamban Sigatal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5 Interaksi Antar Kelompok Masyarakat dan Dengan Sumber Daya Hutan Lamban Sigatal

5.5.1 Interaksi Antar Kelompok Masyarakat Desa Lamban Sigatal

Kondisi perekonomian masyarakat Desa Lamban Sigatal tidak terlepas dari keberadaan kelembagaan lokal. Kelembagaan di Desa Lamban Sigatal dapat dibagi atas aspek pemerintahan atau aspek non-pemerintahan. Kelembagaan yang ada terkait dengan pemerintahan terdiri atas lembaga formal yang terdiri atas pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa dan dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan dan Kaur Umum. Selain itu jalannya pemerintahan desa juga dibantu oleh 2 orang Kadus dengan pembagian wilayah kerja RT 1 dan 2 dipimpin oleh Kadus II dan RT 3 – 4 dipimpin oleh Kadus I.

Lembaga formal lainnya yang terkait dengan pemerintahan desa adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan anggota sebanyak 6 (enam) orang. Lembaga ini memiliki fungsi sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat dan menyelesaikan konflik internal maupun konflik individu antar lembaga yang ada di desa. Lembaga formal pemerintahan desa lainnya, yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Kedua lembaga tidak berfungsi karena kesibukan masing-masing anggota pengurusnya. Tidak ada aktivitas atas usulan anggota masyarakat yang dilaksanakan maupun disampaikan pada lembaga- lembaga pemerintahan serupa di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Lembaga informal, baik terkait dengan kehidupan sosial dan ekonomi, yang ada di Desa Lamban Sigatal terdiri atas lembaga adat, kelompok pengajian dan kelompok pemuda. Lembaga adat yang ada di Desa Lamban Sigatal sudah ada sejak lama dan masyarakat setempat pada dasarnya sangat mematuhi dan menghormati keberadaan tokoh-tokoh adat dalam lembaga adat ini. Namun tidak berfungsinya tugas dan kewenangan masing-masing tokoh dan adanya koflik kepentingan pribadi antar tokoh memberikan dampak kurang baik.

Kesepakatan adat yang ada dan terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan lebih bersifat instan dan untuk kepentingan program dari pihak luar, misalnya kesepakatan adat tentang pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan yang merupakan program kerjasama Yayasan Gita Buana dan BirdLife Indonesia. Akibatnya kesepakatan-kesepakatan adat tersebut cenderung tidak dipatuhi atau dilanggar. Peraturan-peraturan adat yang masih dipegang teguh hanyalah yang terkait dengan pernikahan. Lembaga informal keagamaan, seperti kelompok pengajian, saat ini juga tidak berfungsi dengan baik. Adapun kelompok pemuda lebih terfokus kegiatannya pada kegiatan peringatan hari besar dan acara-acara pernikahan.

Gambar 10 Hubungan antar lembaga-lembaga lokal di Desa Lamban Sigatal. Lembaga informal yang berjalan adalah lembaga ekonomi berupa kelompok tani. Bahkan salah satu kelompok tani yang dibentuk oleh masyarakat, yaitu Kelompok Tani Kemang Manis, telah mampu menjual bibit-bibit tanaman

dalam berbagai jenis serta mengakses bantuan-bantuan dari instansi terkait. Kelompok tani dalam hal ini berhubungan dengan lembaga formal berupa petugas penyuluh lapang (PPL). Hubungan tersebut masih sebatas permasalahan teknis sehingga untuk permasalahan permodalan dan pemasaran kelompok tani sangat tergantung pada hubungan mereka secara langsung dengan tauke desa dan secara tidak langsung dengan tauke dari luar desa. Belum ada lembaga ekonomi formal seperti koperasi pertanian yang dapat menggantikan fungsi dan peran dari para tauke. Gambar 10 menggambarkan kelembagaan lokal berdasarkan hubungan dan jarak hubungan antar lembaga lokal yang ada di desa tersebut.

Fenomena yang menonjol terkait dengan kelembagaan lokal adalah: (i) kelembagaan ekonomi lebih mendominasi kehidupan masyarakat; dan (ii) kurangnya interaksi antara lembaga-lembaga formal dan informal pada aspek pemerintahan ataupun sosial dengan lembaga-lembaga informal yang sangat berperan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Kelembagaan lokal yang ada dirasakan oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal, khususnya yang berprofesi sebagai petani karet dan pengolah jernang, belum dapat berperan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kesadaran atas kondisi tersebut serta adanya pengetahuan atas potensi jernang yang semakin menyusut hasil dari pemetaan potensi sumber daya alam yang dilakukan oleh anggota masyarakat dengan difasilitasi oleh LSM, sebagian masyarakat Desa Lamban Sigatal kemudian membentuk sebuah kelompok yang dinamai Bangko Koneng Jaya (BKJ). Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah menciptakan lembaga informal untuk membuat kegiatan konservasi hutan melalui pembudidayaan tanaman rotan jernang. Secara teoritis, pembentukan kelompok BKJ dan pengusulan kawasan kelola jernang oleh kelompok tersebut merupakan suatu upaya untuk membangun institusi yang mapan (robust institutions) di masyarakat Desa Lamban Sigatal. Dalam hal ini, kelompok BKJ berupaya menegaskan batas kepemilikan mereka terhadap suatu sumber daya alam, yaitu kawasan kelola jernang itu sendiri.

Pada saat dibentuk pada bulan Februari 2007 jumlah anggota sebanyak 22 orang. Berdasarkan hasil kesepakatan bersama, seluruh anggota selanjutnya bergotong royong membangun rumah pembibitan jernang yang berlokasi 3 km

dari pusat desa (daerah Bangko Koneng), mencari bibit anakan jernang didalam hutan dan melakukan penyemaian bibit hingga tersedia 2 900 bibit, dimana 300 bibit diantaranya siap untuk ditanam di lahan demplot.

Berbagai kegiatan yang wajib diikuti oleh setiap anggota tersebut di atas pada akhirnya berakibat 5 (orang) anggotanya, termasuk ketua kelompok, mengundurkan diri karena merasa keberatan dengan curahan tenaga dan waktu yang harus disisihkan. Secara teoritis, serangkaian kegiatan tersebut sesungguhnya merupakan suatu proses pembentukan aksi kolektif, suatu aksi yang dilakukan oleh sekelompok individu, baik secara langsung atau melalui suatu organisasi, untuk mencapai tujuan bersama. Disamping itu, serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kelompok menunjukan adanya proses homogenisasi komunitas. Dengan kata lain, anggota yang tersisa adalah suatu kelompok komunitas yang homogen.

Sebagai organisasi formal dengan struktur organisasi (Gambar 11), kelompok telah berhasil membuat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga kelompok. Organisasi ini berikut seluruh anggota bertujuan membangun masyarakat sejahtera, maju yang berlandaskan kekeluargaan dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan (Pasal 4).

Keterangan:

Garis Instruksi : Garis Pengambilan Keputusan :

Gambar 11 Struktur organisasi BKJ.

Pencapaian tujuan kelompok tersebut di atas diupayakan melalui beberapa tahapan, meliputi (pasal 5):

a) usaha pembibitan jernang; b) pembuatan bank bibit jernang;

c) budidaya jernang pada lahan demplot; d) pembentukan koperasi; dan

e) usaha pembibitan gaharu.

Dalam pasal-pasal berikutnya didalam AD-ART dinyatakan pula hal-hal penting terkait dengan pemenuhan perancangan institusi yang mapan (robust institution) sebagai berikut:

a) Anggota kelompok adalah masyarakat Lamban Sigatal yang telah mendaftarkan diri kepada kelompok (Pasal 6). Hal ini merupakan upaya menghilangkan keanggotaan yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab. b) Setiap anggota mempunyai hak bicara dan suara dan mendapatkan pembagian

keuntungan hasil usaha yang adil dan merata dari setiap usaha kelompok (Pasal 16). Hal ini merupakan upaya memenuhi prinsip kongruensi, adanya distribusi manfaat yang tepat, proporsional dengan pembiayaannya berdasarkan pertimbangan antara waktu, tempat, teknologi dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan kondisi lokal.

c) Adanya pengaturan pilihan bersama berupa kewajiban yang mengikat bagi seluruh anggota, diantaranya adalah: menghadiri setiap pertemuan kecuali ada alasan tertentu, melaksanakan kegiatan gotong-royong setiap hari jumat, kecuali ada kesepakatan lain.

d) Adanya monitoring dan pemberian sanksi bagi setiap anggota yang tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah disepakati, yaitu: denda sebesar Rp 30 000,- atau mencari pengganti orang untuk kerja dan dianggap mengundurkan diri dari kelompok apabila tidak hadir 3 kali berturut-turut.

5.5.2 Interaksi Masyarakat dengan Sumber Daya Hutan

Berdasarkan ruang dan waktu, pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal dapat dilihat melalui kalender musim yang disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan kalender musim dapat dinyatakan bahwa

masyarakat berinteraksi dengan sumber daya hutan Lamban Sigatal, khususnya berkenaan dengan hasil hutan non kayu sebagai sumber penghidupan. Hal ini dapat dilihat dari upaya pencarian madu, rotan manau, burung dan rotan Jernang yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu sebagai usaha menambah penghasilan. Bagi sebagian masyarakat yang tidak memiliki lahan perkebunan yang luas, pencarian jernang dan madu ini merupakan mata pencaharian pokok. Khusus pada penelitian ini dilakukan kajian pada pemanfaatan jernang.

Tabel 18 Kalender musim pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal.

Keterangan : P = Pria W = Wanita

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 1 Pengolahan Lahan

Menebas P

Menumbang P

Ngampar Reboh (menjemur kayu) P

Membakar P Mendinginkan tanah Membibitkan Karet P/W Menanam Karet P/W Menanan Padi W Menanam Cabe W Merumput W

Membuat Pondok Kebun P

Membuat Bilik Simpan padi P

Panen Padi P/W

Angkut Padi Ke Dusun P/W

Menjemur Padi W

Giling Padi P/W

2 Paceklik

3 Menyadap Karet P/W

Angkut Karet Ke Dusun P/W

4 Cari Burung P

5 Cari Manau Rotan P

6 Cari Madu P 7 Cari Jernang P 8 Cari Ikan P 9 Musim Buah Durian Duku Bedaro Bacang 10 Perkawinan Bulan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pencari jernang (Lampiran 1) dapat dinyatakan hal-hal sebagai berikut:

1) Pencarian buah rotan jernang biasanya dilakukan berkelompok. Jumlah anggota satu kelompok umumnya terdiri dari 3 sampai 7 orang. Jumlah setiap kelompok selalu ganjil, aturan ini merupakan kebiasaan karena bila kelompok dalam jumlah genap dipercayai akan selalu mendapat halangan seperti musibah atau sakit.

2) Waktu pencaharian Jernang berkisar antara 1 sampai 2 minggu. Pencaharian Jernang biasanya dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada saat panen besar antara bulan Juli sampai September dan panen sela antara bulan Desember dan Januari. Di luar musim tersebut, setiap bulan masih ada saja kelompok yang mencari jernang walaupun mendapatkan hasil yang terbatas.

3) Jernang yang diperoleh dari hutan tidak langsung, tetapi diolah terlebih dahulu. Tahap pengolahan pascapanen tersebut dilakukan secara sederhana, yakni buah jernang dipotong dan dipisahkan dari rangkaian tandan buah, selanjutnya dimasukan ke dalam karung plastik dan di lakukan penjemuran hingga kulit buah kering (Gambar 12). Tahap selanjutnya, dengan cara menggoyang dalam tapisan akan diperoleh jernang dalam bentuk tepung (Gambar 13). Agar getah jernang tidak mudah terhambur, melalui sedikit pemanasan dalam wadah tertentu akan diperoleh produk getah jernang dalam bentuk lempengan yang mudah untuk dikemas (Gambar 14). Kualitas getah jernang dibedakan dalam dua kualitas yakni jernang kualitas 1 dan jernang kualitas 2. Jernang kualitas 1 merupakan ekstraksi murni dari buah jernang dengan bahan campuran kurang dari 30%. Sementara itu, Jernang kualitas 2 adalah ekstraksi serbuk Jernang dari buah Jernang yang telah dicampur dengan daging buah Jernang yang ditumbuk halus ataupun dengan damar batu kucing atau dengan campuran antara 30% - 50%.

Gambar 12 Buah jernang

Gambar 13 Tepung buah jernang (berwarna merah)

4) Semakin langkanya jernang dan semakin jauhnya wilayah jelajah pencaharian Jernang (Gambar 9) telah menyebabkan biaya operasional untuk pencarian jernang semakin besar. Biaya operasional tersebut bersumber dari anggota masyarakat yang berprofesi sebagai pembeli jernang para pengumpul jernang dan disebut sebagai seorang tauke. Lingkup pembelian jernang mereka tidak hanya Desa Lamban Sigatal namun juga mencapai desa-desa sekitarnya, yaitu Desa Lubuk Napal dan Desa Sepintun. Saat ini, di Desa Lamban Sigatal terdapat 4 (empat) orang yang berprofesi sebagai tauke. Tiga diantaranya memiliki anggota atau pengumpul jernang tetap sedangkan seorang lagi tidak memiliki anggota pengumpul jernang. Bagi kelompok pejernang yang dinaungi tauke maka pembiayaan kelompok untuk mencari jernang akan dibiayai tauke. Besarnya pembiayaan berkisar antara Rp1 350 000 sampai Rp1 500 000 bagi setiap individu pengumpul jernang. Dari nominal tersebut, individu pengumpul jernang akan membaginya untuk beberapa keperluan dengan persentase sebagai berikut:

a) Uang untuk keluarga yang ditinggalkan b) Bahan makanan untuk keluarga

c) Biaya transportasi ke lokasi ; dan

d) Bahan makanan selama pengumpulan jernang di lapangan.

Uang tunai yang diserahkan tauke kepada para pengumpul jernang hanyalah uang untuk keluarga dan biaya transportasi ke lokasi. Adapun bahan makanan, baik untuk dibawa ke lapangan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan, tidak dibeli secara tunai oleh pengumpul jernang melainkan sudah disediakan oleh tauke.

5) Banyaknya bagian bagi anggota kelompok dihitung berdasarkan rata-rata pendapatan Jernang. Kesepakatan ini disebut dalam seloko adat yaitu “terendam samo basah, terampai samo kering”, artinya bila ada hasil maka sama-sama mendapatkan dan bila tidak ada hasil maka sama-sama pula tidak mendapatkannya. Dalam hal ini toleransi antar anggota dalam kelompok menjadi hal yang utama.

5.6 Respon Pemerintah Daerah dan Masyarakat Terhadap Kebijakan