• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

5.3.2 Periode tahun 1970 –

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang sama (lampiran 3) dan salah seorang staf Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun serta penelusuran dokumen dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumber daya hutan Lamban Sigatal melalui pola HPH dimulai pada tahun 1970, sedangkan kebijakan pembangunan pola HTR dimulai akhir tahun 2007, oleh karenanya analisis pengelolaan sumber daya hutan Lamban Sigatal dilihat berdasarkan periode tersebut (tahun 1970 – 2007). Hasil analisis periode tahun 1970 - 2007 secara umum adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 15.

Pola pengelolaan sumber daya hutan Desa Lamban Sigatal berubah pada dekade 1970an. Pada awal tahun 1970an, dimulainya sistem konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk pengelolaan sumber daya hutan telah berimplikasi pada diberikannya izin pemanfaatan hutan kepada perusahaan. Perusahaan HPH pertama di kawasan Desa Lamban Sigatal yaitu PT. Pitco yang dalam operasinya membangun jalan yang mengelilingi Desa Sepintun, Desa Lamban Sigatal dan Desa Lubuk Napal melalui Desa Semaran. Hal ini berlangsung pada tahun 1976. Perusahaan ini diberi hak kelola hutan seluas lebih kurang 76 000 hektar dengan masa konsesi tahun 1970-1990.

Tabel 15 Pengelolaan sumber daya hutan desa Lamban Sigatal tahun 1970 - 2007.

Periode

Institusi Pengelolaan Lembaga

Pengatur

Pola dan tujuan

pemanfaatan Bentuk Aturan Tipe Hak Pemilikan Kinerja 1970 sampai 2007 Pengelolaan sumber daya hutan diatur oleh Negara (Departemen yang membidangi Kehutanan)

1). Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh perusahaan pemegang konsesi HPH oleh PT. Pitco,dan PT. Inhutani V, untuk tujuan produksi kayu hutan alam 2). Pemanfaatan kawasan

hutan dengan pola HTI dan perkebunan sawit untuk tujuan produksi kayu dan produksi minyak sawit Pemberian konsesi HPH, HTI dan Perkebunan serta pemberlakuan pemerintah desa 1)Perusahaan:Hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu 2) Masyarakat: hak akses dan pemanfaatan hasil hutan non kayu (jernang, madu)

Menurunnya hasil hutan kayu sebagai indikasi hutan terdegradasi, semakin berkurangnya kawasan hutan larangan, menurunnya hasil hutan non kayu dan wilayah Pencarian jernang jauh dari desa

Setelah itu izin konsesi pemanfaatan hutan diberikan pada PT. Inhutani V pada tahun 1992 seluas 29 300 hektar dengan masa hak konsesi tahun 1992 hingga tahun 2012. Dalam pelaksanaannya, PT. Inhutani V selanjutnya bekerja sama dengan PT. Tunas Guna Lestari (tahun 1992), PT. Alam Karya Lestari (tahun 2000)

dan yang terakhir adalah dengan PT. Wira Karya Abadi (tahun 2001) sebagai perusahaan yang mengoperasionalkan hak konsesi PT. Inhutani tersebut.

Setelah era HPH, pemerintah memberikan hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada pihak-pihak tertentu. Pemberian hak tersebut berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada lahan HTI diberikan pada PT. Sam Hutani seluas 26 500 hektar yang dimulai pada tahun 2002. Pada tahun 2004, pemerintah juga memberikan hak pengelolaan dalam bentuk perkebunan pada PT. Agrindo Panca Tunggal Perkasa seluas 1 900 hektar. Pada tahun 2008 diberikan pula izin perkebunan sawit kepada PT. Agro Lestari Nusantara seluas 10 785 hektar. Seluruh izin perkebunan sawit tersebut diberikan pada kawasan eks. konsesi HPH PT. Pitco (lampiran 3). Dinamika pengelolaan sumber daya hutan pada periode ini dapat ditabulasikan dan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Daftar perusahaan HPH dan HTI di wilayah sekitar Lamban Sigatal

No Nama Perusahaan SK nomor Luas

(ha) Berakhir Izin Keterangan

1* PT. Pitco Indonesia 301/kpts/Um/5/1970 22-05-1970 76 000 22-05-1990 HPH Dicabut dengan SK. Menhut No. 587/Kpts- II/91 27-08-1992 2* PT. Inhutani V (eks PT. Pitco Indonesia) 1079/Kpts-II/92 21-11-1992 29 300 21-11-2012 HPH 3** PT. Wanakasita Nusantara 672/Kpts-II/1995 18-12-1995 9 030 43 tahun mulai 21-02-1992 berakhir 21-02-2035 HTI-Trans 4** PT. Samhutani 300/Kpts-II/96 16-06-1996 625/Menhut-IV/97 04-06-1997 86/Kpts-II/1999 25-02-1999 13 125 26 500 35 955 43 tahun Mulai 18-06-1996 berakhir 18-06-2039 HTI-Pertukangan Sumber :

*Statistik Kehutanan Provinsi Jambi 2002, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2002) ** Data Pokok Kehutanan Sampai Dengan Juni 2010, Dinas Kehutanan Prov. Jambi (2010)

Pengaturan pemanfaatan sumber daya dikuasai oleh perusahaan, tetapi dalam kesehariannya masyarakat masih dapat memanfaatkan sumber daya hutan khususnya yang bukan kayu. Aturan-aturan pemanfaatan sumber daya khususnya jernang masih mengacu pada aturan lama yang dikembangkan di masyarakat.

Pada periode ini, terjadi penurunan kualitas sumber daya hutan. Kinerja institusi yang rendah pada periode ini dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai berikut:

a) Akses pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat terhadap kawasan hutan sudah tidak lagi berdasarkan pengelolaan yang dilakukan oleh adat. Pada prinsipnya hak masyarakat untuk mengelola hutan sudah dibatasi oleh adanya perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan oleh negara. Masyarakat tidak lagi dengan leluasa dapat memanfaatkan sumber daya hutan kayu, tetapi masih dapat memanfaatkan sumber daya hasil hutan lain seperti jernang, madu dan tanaman obat serta hewan buruan yang terdapat di hutan.

b) Wilayah “Guguk Larangan” tinggal 2 hektar. Akibatnya, terjadinya kelangkaan kayu bulian yang ditunjukan oleh semakin tingginya harga jual kayu tersebut hingga mencapai sekitar Rp 5 juta per meter kubik. Kelangkaan disamping banyak dicari orang juga karena proses permudaan alami di hutan bekas tebangan umumnya kurang berjalan dengan baik. Perkecambahan biji kayu bulian membutuhkan waktu cukup lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan relatif rendah, produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit. c) Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil kayu. Hal ini diketahui dari

sudah tidak banyaknya tegakan kayu yang besar setelah tidak lagi beroperasinya perusahaan-perusahaan yang sebelumnya memegang izin konsesi hutan. Pada akhirnya kawasan hutan tersebut beralih fungsi menjadi areal perkebunan.

d) Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil hutan bukan kayu. Hal ini diketahui dari langkanya pohon sialang dan ruang jelajah masyarakat untuk mencari jernang yang semakin jauh dari pemukiman. Hasil survey menunjukkan areal pencarian jernang tersebut sudah mencapai kawasan hutan PT REKI, yang bergerak pada upaya restorasi hutan, dengan jarak tempuh 12 jam berjalan kaki dan pada wilayah eks. HPH PT. Asialog (Gambar 9).

Beberapa kebijakan pemerintah merupakan pemicu terjadinya hal tersebut dan dari sudut pandang institusi adalah: (1) di bidang kehutanan, kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi pengelolaan hutan Desa Lamban Sigatal kepada perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan menunjukan pengalihan hak kepemilikan atau institusi pengelolaan hutan dari masyarakat adat kepada perusahaan-perusahaan tersebut; (2) di luar bidang kehutanan, kegagalan pelaksanaan instrumen kebijakan pengusahaan hutan alam produksi juga terjadi pada pengusahaan hutan alam produksi di hutan Desa Lamban Sigatal. Pada wilayah ini muncul kebijakan pemerintah berupa pemberian izin perkebunan pada areal hutan eks. HPH dipadu dengan pembukaan unit-unit satuan pemukiman (USP) transmigrasi di sekitar hutan. Dimungkinkannya kebijakan-kebijakan ini menandakan adanya penurunan tingkat produktivitas sumber daya hutan, dilihat dari potensi tegakan, sehingga tidak dapat lagi masuk ke dalam kategori hutan alam produksi; (3) kebijakan pemerintah lainnya yang turut berkontribusi terhadap rusaknya tatanan institusi pengelolaan sumber daya hutan adalah pemberlakuan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Diberlakukannya peraturan perundangan ini telah berakibat beralihnya institusi pemerintahan desa dari “pasirahan” yang dipimpin oleh seorang depati atau kepala marga menjadi desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa dan didampingi oleh lembaga-lembaga formal yang mewakili berbagai elemen masyarakat di desa. Kewenangan institusi pemerintahan desa yang baru ini tidak seluas institusi pemerintahan desa yang lama, karena sebatas pada urusan administrasi kependudukan. Disamping itu, institusi pemerintahan desa ini juga tidak lagi berdasarkan nilai-nilai lokal yang kuat sesuai lingkungan fisik dan sosial masyarakat. Akibatnya, terjadi pengabaian kearifan lokal yang sebelumnya sudah terbangun sejak lama.

5.3.3 Periode tahun 2008 hingga saat ini (setelah adanya kebijakan