Lampiran Poto Dokumentasi
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay, 2007.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi, Jakarta
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, Jakarta
Mawardi, Erman, 2007. Desain Hidraulik Bangunan Irigasi. Alfabeta, Jakarta
Radjualini, 2008. Perencanaan Sistem irigasi. Pend. Teknik Sipil Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2001 Tentang Irigasi, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi Kriteria
Perencanaan 01. Galang Persada, Bandung
Direktorat Jenderal Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi Kriteria
Perencanaan 03. Galang Persada, Bandung
Chow, Ven Te, 1997. Hidrolika Saluran Terbuka. Erlangga, Jakarta
Rangga, Mochamad A. P, 2012. Studi Efisiensi Pemberian Air Irigasi Desa Kutoharjo
Kecamatan Pati Kabupaten Pati Jawa Tengah. Fakultas Teknik Universitas
Negeri Semarang, Semarang
Triatmodjo, Bambang, 1994. Hidraulika I. Beta Offset, Yogyakarta
Sosrodarsono, Suyono, 2003. Hidrologi untuk Pertanian. Pradya Paramita, Jakarta
Priyantoro, D., 1987. Teknik Pengangkutan Sedimen. Himpunan Mahasiswa Pengairan Brawijaya, Malang
Soemarto, C. D., 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga, Jakarta
Soewarno, 1993. Hidrologi : Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai
Agung N, Ferdian, 2011. Pengendalian Sedimentasi Di Saluran Irigasi Dengan
Penempatan Benda Apung. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
Saud, Ismail, 2008. Prediksi Sedimentasi Kali Mas Surabaya. Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Surabaya, Surabaya
Howay, Zakarias, 2012. Pengukuran Laju Sedimentasi Di Daerah Saluran Irigasi
Macuan Distrik Prafi Kabupaten Manokwari. Fakultas Pertanian dan
Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua, Manokwari
Firman, D. Setiawan, dkk, 2011. Analisis Tegangan Geser dan Total Angkutan
Sedimen Pada Gelombang Asimetris. Fakultas Teknik Kelautan
Wirosoedarsono, Ruslan, Alexander T, dkk, 2011. Prilaku Sedimentasi dan
Pengaruhnya Terhadap Kinerja Saluran Pada Jaringan Irigasi Waru Turi Kanan Kediri. Fakultas Teknik Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
Aisyah, Alimuddin, L.,2012. Pendugaan Sedimentasi Pada Das Mamasa Di
Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat. Fakultas Teknik Pertanian
Lokasi Penelitian BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai pada semester ganjil tahun ajaran 2015-2016 dan lokasi
penelitian dilaksanakan pada saluran irigasi Batang Ilung Desa Sibagasi, Kecamatan
Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utarayang berjarak ± 60 km dari Padang
Sidimpuan.
Secara geografis Kabupaten Padang Lawas Utara terletak pada garis 1°13′50′′
–2°2′32′′ Lintang Utara dan 99°20′44′′ –100°19′10′′ Bujur Timur dengan ketinggian
0–1.915 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara
±3.918,05 km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Kabupaten Labuhan Batu
- Sebelah Selatan : Kabupaten Padang Lawas
- Sebelah Barat : Kabupaten Tapanuli Selatan
- Sebelah Timur : Propinsi Riau
Berikut peta lokasi penelitian:
Secara geografis lokasi Irigasi Batang Ilung terletak pada garis 1°30′ Lintang
Utara dan 99°37′ Bujur Timur, yang dibatasi oleh Batang Sigama dibagian barat,
Batang Sirumambe dibagian selatan, Batang Pane dibagian timur dan bagian utara
dibatasi oleh kota Gunung Tua. Jaringan irigasi pada Irigasi Batang Ilung terdiri dari
saluran induk/primer dengan panjang saluran 6.241 meter, saluran sekunder dengan
total panajang saluran 53.510 meter dan saluran tersier yang terdiri dari 61 petak
tersier dengan luas persawahan 4.194 Ha.
3.2 Peralatan Penelitian
Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut :
a. Stopwatch f. Oven
b. Meteran g. Cawan petri
c. Current meter/Pelampung h. Alat tulis, dan
d. Timbangan digital i. Spidol permanen
e. Botol sampel j. Kamera (alat pemotret)
3.3 Pelaksanaan Penelitian
3.3.1 Deskripsi Data Penelitian
Guna memudahkan penyusunan laporan dalam menyatakan saluran yang
diukur, peneliti menggunakan penamaan titik lokasi pengamatan di lapangan sebagai
berikut :
Saluran Primer (P) adalah saluran primer BBI.0-BBI.1 dengan luas areal
irigasi 4107 Ha
Saluran Sekunder Titik 1 (S1) adalah saluran sekunder BBI.6-BGm.1 dengan
Saluran Sekunder Titik 2 (S2) adalah saluran sekunder BGm.10-BGm.11
dengan luas areal irigasi 122 Ha
Saluran Tersier Titik 1 (T1) dan Saluran Tersier Titik 2 (T2) adalah saluran
tersier BGm.1-Gm.1kn bagian hulu dan hilir saluran dengan luas areal irigasi
127 Ha
Saluran Tersier Titik 3 (T3) dan Saluran Tersier Titik 4 (T4) adalah saluran
tersier BGm.11-Gm.11kn bagian hulu dan hilir dengan luas areal irigasi 56 Ha
3.3.2 Persiapan Alat
Sebelum dilakukan survei pengukuran dan pengambilan sampel dilapangan,
harus dilakukan persiapan peralatan. Adapun persiapan alat yang dilakukan sebelum
melaksanakan pengukuran dan pengambilan sampel dilapangan seperti pembuatan
mistar duga, pembuatan benda apung dan botol sampel.
Mistar duga dibuat dari kayu berukuran panjang 200 cm, pada mistar tersebut
dibuat skala pengukuran. Mistar ini digunakan untuk mempermudah pengukuran
kedalaman aliran, lebar dasar saluran, dan sebagainya.
Pembuatan benda apung digunakan untuk mengukur kecepatan aliran. Adapun
benda apung yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola pimpong yang diisi
dengan air hingga setengah volume bola pimpong tersebut dengan tujuan untuk
menstabilkan pergerakan bola pimpong dari pengaruh angin pada saat pengukuran,
sehingga diharapkan benda bergerak benar-benarkarena pengaruh air.
Botol sampel digunakan untuk mengambil/tempat sampel sedimen sebelum di
analisis di laboratorium. Botol sampel tersebut berupa botol plastik bekas air kemasan
dengan volume botol 0,6 liter. Setelah sampel sedimen melayang diperoleh kemudian
3.3.3 Pengumpulan Data
Pengukuran dan pengambilan sampel sedimen melayang dilakukan pada dua
priode pengukuran yaitu pada bulan februari dan bulan maret 2016. Pengukuran dan
pengambilan sampel yang dilakukan pada bulan februari yaitu pada saat musim hujan
(hujan kecil).
Pengukuran dan pengambilan sampel sedimen melayang dilakukan pada satu
titik untuk saluran primer di Desa Pagaran Tonga, dua titik untuk saluran sekunder
Desa Gunung Manaon, empat titik untuk saluran tersier Desa Saba Bangun dan
Rondaman Lombang. Setiap titik pengambilan sampel dilakukan pada sisi kanan,
tengah dan kiri penampang saluran.
3.3.4 Pengukuran Luas Penampang dan Kecepatan Aliran
Luas penampang basah titik pengamatan diukur dengan mengukur kedalaman
aliran dan lebar dasar saluran dilakukan dengan menggunakan mistar duga pada
masing-masing penampang titik pengamatan. Pengukuran kedalaman aliran pada
saluran dilakukan tanpa mengukur tebal sedimen, dengan tujuan untuk melihat
perubahan penampang saluran yang disebabkan oleh sedimentasi. Pengukuran
dilakukan sebanyak 5 kali dalam satu titik untuk mendapatkan kedalaman rata-rata.
Kecepatan aliran air diukur berdasarkan metode apung dengan cara
menghanyutkan benda apung pada aliran, kemudian mencatat waktu yang diperlukan
benda apung tersebut dari titik awal hingga titik akhir lintasan pengamatan yang telah
ditentukan jaraknya. Untuk mengubah data kecepatan menjadi kecepatan rata-rata
maka dengan menggunakan rumus kecepatan aliran air dipermukaan dikalikan
koefisien kalibrasi alat pelampung. Pada penelitian ini, jarak lintasan benda apung
3.3.5 Pengambilan Sampel Sedimen Melayang
Pengambilan sampel sedimen dilakukan secara langsung di saluran primer,
sekunder, dan tersier. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan
ember yang telah diikat dengan tali tampar dan telah diberi pemberat, kemudian
dimasukkan ke dalam saluran irigasi hingga pada kedalaman dimana terdapat
sedimen melayang.
Tabel 3.1 Pengambilan Sampel
Saluran Jumlah Titik Jumlah Sampel
Primer 1 3
Sekunder 2 6
Tersier 4 12
Total 7 21
Botol sampel atau ember tersebut dimasukkan ke kebagian sisi saluran yang
berlawanan dengan arus aliran pada 0,5 cm dari kedalaman aliran dimana
diperkirakan terdapat sedimen melayang. Pada masing-masing titik pengamatan,
sampel sedimen dan air diambil dari sisi kanan, tengah, dan kiri penampang saluran
untuk mendapatkan rata-rata laju sedimentasi pada saluran tersebut. Sampel sedimen
melayang dan air yang diperoleh dari saluran kemudian dianalisis di laboratorium.
Di laboratorium, berat kering sedimen diperoleh dengan cara menguapkan
sampel dalam oven dengan temperatur 105°C. Konsentrasi sedimen diperoleh dengan
perbandingan berat kering sedimen dan volume total sampel. Pada penelitian ini,
analisis konsentrasi sedimen dilakukan di laboratorium mekanika tanah USU.
Gambar 3.5 Analisis Laboratorium
3.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati pada penelitian ini yaitu :
1. Variabel terikat, yaitu laju sedimentasi dan energi spsifik yang terjadi pada
saluran irigasi Desa Sibagasi.
2. Variabel bebas, terdiri dari debit aliran, kecepatan aliran, luas penampang
saluran, jari-jari hidrolis penampang saluran, keliling penampang saluran,
3.5 Rancangan Penelitian
Gambar 3.4 Diagram alur penelitian
Pengolahan Data :
- Laju Kadar Sedimen Melayang - Energi Spesifik
Hasil Perhitungan
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Analisis Kinerja Saluran
Studi Pengaruh Perilaku Sedimentasi Terhadap Kinerja Saluran Irigasi Desa Sibagasi Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara
Pengumpulan Data
Data Laboratorium - Sampel Sedimen Melayang Data Lapangan
- Kecepatan Aliran - Penampang Basah - Kedalaman air
Studi Pustaka
Perhitung Luas Penampang dan Debit Aliran
Metodologi yang digunakan untuk mengolah data dalam penulisan ini adalah
metode kuantitatif deskriptif, yaitu metode perhitungan dan penjabaran hasil
pengolahan data lapangan dari lokasi yang ditinjau. Studi penelitian dilakukan sesuai
urutan di bawah ini:
1. Studi Pustaka
Tahap ini adalah untuk referensi yang dibutuhkan dalam proses pengerjaan
dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Pada tahap
ini, penulis mengumpulkan berbagai teori yang berhubungan dengan
permasalahan yang ada.
2. Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam penelitian ini yaitu data primer, meliputi data :
- Kecepatan aliran air pada saluran, kedalaman air, lebar dasar saluran dan
ukuran penampang basah saluran irigasi
- Sampel sedimen melayang pada saluran
3. Perhitungan dan Pengolahan Data
Setelah semua data yang dibutuhkan diperoleh, langkah selanjutnya adalah
pengolahan data, sehingga diperoleh besar debit aliran air pada saluran, luas
penampang basah dan energi spesifik saluran. Berat isi kering dari sampel
sedimen yang diperoleh dari laboratorium selanjutnya diperoleh juga kadar
konsentrasi sedimen melayang.
4. Hasil Perhitungan dan Analisis Kinerja Saluran
Setelah konsentrasi sedimen dan energi spesifik diperoleh maka diketahui
besar laju sedimentasi, hasil perbandingan kinerja saluran dan perilaku
sedimen melayang terhadap penampang saluran, kecepatan aliran serta
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti akan menyajikan data penelitian yang telah dilakukan di
lapangan, analisis data hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian tentang
pengaruh perilaku sedimentasi terhadap saluran irigasi. Adapun data penelitian
tersebut yaitu data teruktur dan data terhitung. Data teruktur meliputi data kecepatan
aliran, kedalaman air, lebar atas saluran, lebar dasar saluran dan data laboratorium
berupa sampel sedimen. Data terhitung meliputi luas penampang saluran, kecepatan
rata-rata, jari-jari hidrolis, debit aliran lapangan, konsentrasi sedimen, laju
sedimentasi, energi spesifik dan sebagainya.
4.1 Analisis Debit Aliran
4.1.1 Perhitungan Kecepatan Aliran
Berdasarkan pengukuran di lapangan dengan menggunakan metode apung,
kecepatan diperoleh dengan perbandingan jarak dan waktu pengukuran. Untuk
mengubah data kecepatan menjadi kecepatan rata-rata maka dengan menggunakan
rumus kecepatan aliran air dipermukaan dikalikan koefisien kalibrasi alat pelampung,
pada penelitian ini koefisien kalibrasi sebesar 0,90.
Dari Tabel 4.1 perhitungan kecepatan aliran pengukuran ke-1, kecepatan
aliran air pada saluran primer, sekunder titik 1,sekunder titik 2, tersier titik1, tersier
titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh sebesar 0,577 m/s;
0,278 m/s; 0,273 m/s; 0,259 m/s; 0,239 m/s; 0,151 m/s; 0,145 m/s.
Dari Tabel 4.2 perhitungan kecepatan aliran pengukuran ke-2, kecepatan
aliran air pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier
titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh sebesar 0,494 m/s;
Tabel 4.2 Perhitungan Kecepatan Aliran Pengukuran 2
m 1 1,07 m
2,00 m
1,40 m
3,50 m
4.1.2 Perhitungan Luas Penampang Saluran
Luas penampang basah diperoleh dari perkalian antara lebar dasar saluran dan
kedalaman air. Berdasarkan pengukuran di lapangan, bentuk saluran di ukur pada titik
pengukuran yaitu saluran berbentuk persegi dan berbentuk trapesium. Pada penelitian
ini, lebar dasar saluran dianggap sama pada pengukuran priode 1 dan priode 2.
Contoh perhitungan luas penampang basah pada saluran primer dengan lebar dasar
saluran 3,50 m dan kedalaman air 1,40 m, serta contoh perhitungan luas penampang
basah pada saluran sekunder titik 1 dengan lebar dasar saluran 2,0 m dan kedalaman
air 1,07 m. Maka:
A = B . y
= 3,50 x 1,40
= 4,900 m2
Gambar 4.1 Sketsa Penampang
Saluran
Dari Tabel 4.3 Perhitungan luas penampang saluran pengukuran ke-1 pada
saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier
titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh sebesar 4,900 m2; 3,285 m2; 1,575
m2; 0,551 m2; 0,523 m2; 0,159 m2; 0,151 m2 dan pada pengukuran ke-2 pada saluran
primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3,
tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh luas penampang saluran sebesar 4,186
Pada pengukuran ke-1 dan pengukuran ke-2 diperoleh besar luas penampang
basah yang berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi kedalaman air pada saluran,
semakin besar kedalaman air maka akan semakin besar luas penampang basah yang
diperoleh pada saluran tersebut.
Kedalaman aliran rata-rata saluran pengukuran ke-1 dan pengukuran ke-2
pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2,
tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut sebesar 1,298 m; 0,988 m; 0,638 m;
0,379 m; 0,366 m; 0,248 m; 0,243 m.
Dari Tabel 4.3 Perhitungan luas penampang saluran pengukuran ke-1 dan
pengukuran ke-2 diperoleh rata-rata luas penampang pada saluran primer, sekunder
titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara
berturut-turut sebesar 4,543 m2; 2,959 m2; 1,281 m2; 0,486 m2; 0,465 m2; 0,137 m2;
Tabel 4.3 Perhitungan Luas Penampang Saluran
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan)
Persamaan: A = B.y
4.1.3 Perhitungan Debit Aliran
Debit aliran diperoleh dengan perkalian antara kecepatan aliran dan luas
penampang saluran. Contoh perhitungan debit aliran pada saluran primer pengukuran
ke-1 dengan kecepatan aliran 0,577 m/s dan luas penampang basah 4,900 m2. Maka:
Debit (Q) = V.A
= 0,577 x 4,900
= 2,828 m3/s
Dari Tabel 4.4 Perhitungan debit aliran pengukuran ke-1 pada saluran primer,
sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier
titik 4 secara berturut-turut diperoleh debit aliran sebesar 2,828 m3/s; 0,914 m3/s;
0,430 m3/s; 0,143 m3/s; 0,125 m3/s; 0,024 m3/s; 0,022 m3/s. Pengukuran ke-2 pada
saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier
titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh debit aliran sebesar 2,068 m3/s;
0,679 m3/s; 0,200 m3/s; 0,079 m3/s; 0,071 m3/s; 0,015 m3/s; 0,015 m3/s.
Pada pengukuran ke-1 dan pengukuran ke-2 diperoleh debit aliran yang
berbeda, hal ini dikarenakan besarnya luas penampang dan kecepatan aliran yang
berbeda, semakin besar kecepatan aliran maka debit aliran pada saluran tersebut juga
akan semakin besar. Kecepatan rata-rata dari pengukuran ke-1 dan pengukuran ke-2
pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2,
tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh sebesar 0,536 m/s; 0,268
m/s; 0,238 m/s; 0,223 m/s; 0,207 m/s; 0,140 m/s; 0,136 m/s.
Dari Tabel 4.4 Perhitungan debit aliran pengukuran ke-1 dan ke-2 diperoleh
rata-rata debit aliran pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier
titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut sebesar 2,448
Tabel 4.4 Perhitungan Debit Aliran
Saluran
Pengukuran ke-1 Pengukuran ke-2 Rata-rata
Kecepatan
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan)
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Debit Rencana Dengan Debit Pengukuran
Berdasarkan Gambar 4.2 grafik perbandingan debit rencana dengan debit
pengukuran diatas dapat dilihat bahwa debit pengukuran pada saluran primer,
sekunder titik 1, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 tidak
mencapai debit rencana. Hal ini disebabkan oleh adanya sedimen yang mengendap
pada saluran, sesuatu yang menghambat aliran air seperti sampah, potongan-potongan
kayu,dan sebagainya sehingga mempengaruhi kecepatan aliran pada saluran. Pada
saluran sekunder titik 2 dapat dilihat bahwa debit pengukuran lebih besar dari pada
debit rencana. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penggerusan didasar saluran
sehingga kedalaman air bertambah serta mempengaruhi luas penampang saluran
sehingga mempengaruhi debit aliran.
Perbedaan debit saat pengukuran dengan debit rencana dipengaruhi oleh
keadaan saluran yang sudah mulai rusak, terjadinya penggerusan atau pengendapan di
dasar saluran, kecepatan aliran air yang tidak sesuai lagi dengan perencanaan dan
kondisi di sekitar saluran yang mempengaruhi kinerja saluran dalam menyalurkan air
irigasi.
P S1 S2 T1 T2 T3 T4
Debit Perencanaan 7.099 1.538 0.190 0.178 0.178 0.078 0.078
Debit Pengukuran 2.448 0.797 0.315 0.111 0.098 0.019 0.018
4.2 Analisis Sedimentasi
4.2.1 Perhitungan Konsentrasi Sedimen Melayang
Konsentrasi muatan sedimen melayang (suspended load) pada suatu
penampang dapat diketahui dari perbandingan dari berat sedimen kering terhadap
volume total dari sampel. Untuk mendapatkan berat kering sedimen, di laboratorium
sampel sedimen yang berisi air di saring kemudian sampel tersebut dikeringkan
dengan menggunakan oven. Sedimen kering kemudian ditimbang dan dinyatakan
dalam bentuk berat kering total gabungan air dengan sedimen.
Dari Tabel 4.5 Perhitungan konsentrasi sedimen pengukuran ke-1 diperoleh
hasil rata-rata konsentrasi sedimen melayang yang terdapat pada saluran primer,
sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier
titik 4 secara berturut-turut sebesar 102,50 mg/liter; 111,11 mg/liter; 132,50 mg/liter;
140,83 mg/liter; 135,56 mg/liter; 167,78 mg/liter; 152,22 mg/liter.
Dari Tabel 4.6 Perhitungan konsentrasi sedimen pengukuran ke-2 diperoleh
hasil rata-rata konsentrasi sedimen melayang yang terdapat pada saluran primer,
sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier
titik 4 secara berturut-turut sebesar 67,22 mg/liter; 49,44 mg/liter; 43,33 mg/liter;
72,50 mg/liter; 62,78 mg/liter; 99,17 mg/liter; 93,61 mg/liter.
Dari Tabel 4.9 Rata-Rata Konsentrasi dan Rata-Rata Laju Sedimenasi, pada
saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier
titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh rata-rata konsentrasi sedimen
sebesar 84,861 mg/liter; 80,278 mg/liter; 87,917 mg/liter; 106,667 mg/liter; 99,167
4.2.2 Perhitungan Laju Sedimentasi
Laju sedimentasi dengan menggunakan sedimen melayang (suspended load)
diperoleh berdasarkan hasil perkalian konsentrasi sedimen dengan debit aliran dan
factor konversi. Contoh perhitungan laju sedimentasi pengukuran ke-1 pada saluran
primer dengan konsentrasi sedimen sebesar 104,17 mg/liter dan debit aliran 2,828
m3/s, maka :
Laju sedimentasi (Qs) = 0,0864 x Cs x Q
= 0,0864 x 0,10417 x 2,828
= 0,0255 kg/s
= 1,199 ton/hari
Dari Tabel 4.7 Perhitungan Laju Sedimentasi Pengukuran ke-1 diperoleh
rata-rata laju sedimentasi dengan sampel sedimen melayang pada saluran primer, sekunder
titik 1, sekunder titik 2, tersier titik1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara
berturut-turut sebesar2,164 ton/hari; 0,758 ton/hari; 0,426 ton/hari; 0,150 ton/hari;
0,126 ton/hari; 0,030 ton/hari; 0,025 ton/hari.
Dari Tabel 4.8 Perhitungan Laju Sedimentasi Pengukuran ke-2 diperoleh
rata-rata laju sedimentasi dengan sampel sedimen melayang pada saluran primer, sekunder
titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara
berturut-turut sebesar 1,038 ton/hari; 0,251 ton/hari; 0,065 ton/hari; 0,043 ton/hari;
0,033 ton/hari; 0,011 ton/hari; 0,010 ton/hari.
Dari Tabel 4.9 Rata-Rata Konsentrasi dan Rata-Rata Laju Sedimentasi pada
saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik1, tersier titik 2, tersier
titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut diperoleh rata-rata laju sedimentasi sebesar
1,601 ton/hari; 0,505 ton/hari; 0,245ton/hari; 0,096 ton/hari; 0,080 ton/hari; 0,020
Tabel 4.7 Perhitungan Laju Sedimentasi Priode 1
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan) Persamaan:
Tabel 4.8 Perhitungan Laju Sedimentasi Priode 2
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan) Persamaan:
Tabel 4.9 Rata-Rata Konsentrasi dan Rata-Rata Laju Sedimentasi
Saluran Cs Priode 1 (mg/liter)
Cs Priode 2 (mg/liter)
Cs Rata-rata (mg/liter)
Qs Priode 1 (ton/hari)
Qs Priode 2 (ton/hari)
Qs Rata-rata (ton/hari)
P 102,50 67,22 84,861 2,164 1,038 1,601
S1 111,11 49,44 80,278 0,758 0,251 0,505
S2 132,50 43,33 87,917 0,426 0,065 0,245
T1 140,83 72,50 106,667 0,150 0,043 0,096
T2 135,56 62,78 99,167 0,126 0,033 0,080
T3 167,78 99,17 133,472 0,030 0,011 0,020
T4 152,22 93,61 122,917 0,025 0,010 0,017
Gambar 4.3 Grafik Laju Sedimentasi
Gambar 4.4 Grafik Hubungan Debit Aliran Dengan Laju Sedimentasi 2.164
Laju Sedimen Pengukuran 1 Laju Sedimen Pengukuran 2
0.000
0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
La
Berdasarkan Gambar 4.3 grafik laju sedeimentasi diatas dapat dilihat bahwa
laju sedimentasi terbesar terjadi pada pengukuran ke-1 yaitu pengukuran saat musim
hujan (hujan kecil). Laju sedimentasi terbesar terjadi pada saluran primer
dibandingkan dengan saluran sekunder dan saluran tersier, hal ini disebabkan debit
aliran pada saluran primer lebih besar serta akan mempengaruhi laju sedimentasi.
Berdasarkan Gambar 4.4 grafik hubungan debit aliran dengan laju sedimentasi
dapat dilihat pengaruh debit aliran terhadap besar laju sedimentasi. Debit aliran pada
saluran akan mempengaruhi besar laju sedimentasi yang terjadi pada saluran tersebut.
Laju sedimentasi terbesar yaitu sebesar 2,164 ton/hari terjadi pada saluran primer
pengukuran ke-1 dengan debit aliran 2,828 m3/s dan laju sedimentasi terkecil terjadi
pada saluran tersier titik 4 pengukuran-2 yaitu sebesar 0,010 ton/hari dengan debit
aliran 0,015 m3/s.
Laju sedimentasi yang terjadi pada bagian sisi kanan atau kiri saluran lebih
besar dibandingkan laju sedimentasi yang terjadi pada bagian tengah saluran. Hal ini
disebabkan karena kecepatan aliran air pada sisi saluran lebih kecil dari pada bagian
tengah saluran, sehingga menyebabkan banyaknya sedimen yang mengendap pada
bagian pinggir saluran.
Besarnya laju sedimentasi bukan hanya dipengaruhi kadar konsentrasi
sedimen tetapi dapat juga dipengaruhi debit aliran, perubahan musim, kebutuhan
petani serta perubahan kecepatan akibat aktivitas manusia. Laju sedimentasi pada
saluran akan mengakibatkan terjadinya penggerusan di beberapa tempat serta
terjadinya pengendapan di tempat lain pada dasar saluran, dengan demikian dimensi
saluran tersebut akan berubah sehingga volume air yang dialirkan juga berkurang
Gambar 4.5 Grafik Hubungan Debit Aliran Dengan Laju Sedimentasi Saluran
Primer
Gambar 4.6 Grafik Hubungan Debit Aliran Dengan Laju Sedimentasi Saluran
Sekunder
Gambar 4.7 Grafik Hubungan Debit Aliran Dengan Laju Sedimentasi Saluran
Tersier
0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500
D
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800
D
0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160
Berdasarkan titik lokasi pengukuran, baik pengukuran dimensi saluran,
pengukuran kecepatan untuk mendapatkan debit aliran, maupun pengambilan sampel
sedimen dan pengukuran konsentrasi sedimen untuk mendapatkan laju sedimentasi,
pada saluran sekunder yang ditunjukkan pada gambar 4.6 diperoleh hubungan antara
laju sedimentasi berbanding terbalik dengan debit aliran. Sedangkan pada gambar 4.5
dan gambar 4.7 hubungan debit aliran dengan laju sedimentasi pada saluran primer
dan tersier diperoleh hubungan antara laju sedimentasi benbanding lurus dengan debit
aliran.
Berdasarkan persamaan regresi linier, pada saluran primer diperoleh
persamaan regresi yaitu y = 0.885x + 0.752 dengan koefisien kolerasi (R) = 1
menunjukkan hubungan debit aliran dengan laju sedimentasi menggunakan sampel
sedimen melayang pada saluran primer yaitu hubungan positip sempurna. Pada
saluran sekunder diperoleh persamaan regresi yaitu y = 0,993x + 0,217 dengan
koefisien korelasi (R) = 0,902, dan pada saluran tersier diperoleh persamaan regresi
yaitu y = 0,896x + 0,013 dengan koefisien korelasi (R) = 0,940. Persamaan regresi
pada saluran sekunder dan tersier menunjukkan hubungan debit alirandan laju
sedimentasi menggunakan sampel sedimen melayang padasaluran sekunder dan
tersier yaitu hubungan langsung positip baik yaitu berada antara 0,6<R<1,0
4.3 Analisis Hidrolik
4.3.1 Dimensi Asal Saluran
Data dimensi asal/perencanaan meliputi data lebar dasar saluran, kedalaman
air, kekasaran manning, kemiringan talud, kemiringan dasar saluran, dan sebagainya.
1. Data dimensi saluran primer
B = 3,5 m n = 2,92 S = 0,001248 y = 1,20 m
Q = 7,099 m3/s V = 1,69 m/s A = 4,200 m2 Areal= 4170 Ha
2. Data dimensi saluran sekunder titik 1
B = 1,8 m n = 1,89 S = 0,000198 y = 0,95 m
Q = 1,538 m3/s V = 0,589 m/s A = 2,613 m2 Areal = 989 Ha
3. Data dimensi saluran sekunder titik 2
B = 1,2 m n = 2,00 S = 0,000254 y = 0,60 m
Q = 0,190 m3/s V = 0,264 m/s A = 1,080 m2 Areal =122 Ha
4. Data dimensi saluran tersier titik 1
B = 0,5 m n = 1,00 S = 0,000618 y = 0,50 m
Q = 0,178 m3/s V = 0,436 m/s A = 0,500m2 Areal = 127 Ha
5. Data dimensi saluran tersier titik 2
B = 0,5 m n = 1,00 S = 0,000618 y = 0,50 m
Q = 0,178 m3/s V = 0,436 m/s A = 0,500m2 Areal = 127 Ha
6. Data dimensi saluran tersier titik 3
B = 0,3 m n = 1,00 S = 0,001833 y = 0,30 m
Q = 0,078 m3/s V = 0,336 m/s A = 0,180m2 Areal = 56 Ha
7. Data dimensi saluran tersier titik 4
B = 0,3 m n = 1,00 S = 0,001833 y = 0,30 m
Tabel 4.10 Data Dimensi Perencanaan
4.3.2 Karakteristik Saluran Pada Pengukuran
Data dimensi saluran yang diperoleh dari pengukuran dilapangan meliputi
data lebar dasar saluran, kedalaman air, kecepatan aliran dan sebagainya. Dari data
dimensi saluran yang telah diukur tersebut akan diperoleh data karakteristik hidrolik
saluran, seperti keliling tampang basah, jari-jari hidrolis, kemiringan dasar saluran,
dan sebagainya.
2. Saluran sekunder titik 1
B = 2,00 m y = 0,99 m V = 0,268 m/s Q = 0,797 m3/s A= 2,959 m2
P = B+2y√ = 2,0 + 2 x 0,99√ = 4,794 m
R = =
S = ⁄ =
⁄
= 0,48907
3. Saluran sekunder 2
B = 1,35 m y = 0,64 m V = 0,238m/s Q = 0,315 m3/s A= 1,281 m2
P = B+2y√ = 1,35 + 2 x 0,64√ = 3,922 m
R = =
= 0,406 m
S = ⁄ =
⁄
= 0,75198
4. Saluran tersier titik 1
B = 0,90 m y = 0,38 m V = 0,223m/s Q = 0,111m3/s A= 0,486 m2
P = B+2y√ = 0,9 + 2 x 0,38√ = 1.972 m
R = =
= 0,247 m
S = ⁄ =
⁄
= 0,32274
5. Saluran tersier titik 2
B = 0,90 m y = 0,37 m V = 0,207m/s Q = 0,098m3/s A= 0,465 m2
P = B+2y√ = 0,9 + 2 x 0,37√ = 1.935 m
R = =
= 0,240 m
S = ⁄ =
⁄
= 0,28768
6. Saluran tersier titik 3
B = 0,30 m y = 0,25 m V = 0,140m/s Q = 0,019m3/s A= 0,137 m2
P = B+2y√ = 0,3 + 2 x 0,25√ = 1,001 m
R = =
S = ⁄ =
⁄
= 0,27880
7. Saluran tersier titik 4
B = 0,30 m y = 0,24 m V = 0,136m/s Q = 0,018 m3/s A= 0,132 m2
P = B+2y√ = 0,3 + 2 x 0,24√ = 0,987 m
R = =
= 0,134 m
S = ⁄ =
⁄
Tabel 4.11 Data Dimensi Saluran Pengukuran Lapangan
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan) Persamaan:
A = ( B + m.y ) y P = B + 2.y √
A = B . y P = B + 2.y
Tabel 4.12 Data Dimensi Saluran Pengukuran Lapangan
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan)
Persamaan:
A = ( B + m.y ) y P = B + 2.y √
A = B . y P = B + 2.y
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan Luas Penampang
Berdasarkan gambar 4.8 grafik perbandingan luas penampang dapat dilihat
bahwa luas penampang asal atau luas penampang perencanaan berbeda dengan luas
penampang pengukuran di lapangan. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya proses
penggerusan atau pengendapan, sehingga dimensi saluran mengalami perubahan.
Salah satu penyebab terjadinya penggerusan dan pengendapan yaitu terjadinya
sedimentasi pada saluran tersebut.
Laju sedimentasi pada saluran irigasi mempengaruhi dimensi saluran, seperti
kedalaman air dan lebar dasar saluran. Terjadinya penggerusan pada saluran yang
disebabkan laju sedimentasi akan mengakibatkan kedalaman air dan lebar dasar
saluran bertambah besar sehingga luas penampang saluran juga akan bertambah besar
dan terjadinya pengendapan pada saluran yang disebabkan laju sedimentasi akan
mengakibatkan kedalaman air dan lebar dasar saluran semakin kecil sehingga luas
penampang saluran juga akan semakin kecil.
P S1 S2 T1 T2 T3 T4
A Perencanaan 4.200 2.613 1.080 0.500 0.500 0.180 0.180
A Pengukuran 4.543 2.959 1.281 0.486 0.465 0.137 0.132
4.4 Perhitungan Energi Spesifik dan Bilangan Froude
Energi spesifik dalam suatu penampang saluran dinyatakan sebagai jumlah
energi tekanan dan energi kecepatan di suatu titik pengamatan. Perubahan tinggi
tekanan terhadap energi spesifik dalam suatu penampang saluran merupakan unsur
penentu laju pengaliran air pada saluran, dan berpengaruh terhadap kinerja saluran
dalam pendisribusian air irigasi. Pengaruh sedimen terhadap energi spesifik
penampang saluran dapat diketahui dari hasil perhitungan mengkombinasikan data
dimensi asal saluran atau data perencanaan dengan data pengukuran di lapangan.
4.4.1 Energi Spesifik Minimum
Energi spesifik minimum merupakan energi spesifik yang diperoleh dengan
menggunakan data asal/perencanaan yang meliputi data kedalaman air dan kecepatan
aliran. Kedalaman air dan kecepatan aliran tersebut merupakan kedalaman kritis dan
kecepatan keritis. Contoh perhitungan energi spesifik minimum pada saluran primer
dengan kedalaman air 1,20 m dan kecepatan aliran 1,69 m/s, maka:
Emin = y +
= 1,20 +
= 1,343 m
Dari Tabel 4.13 Perhitungan Energi Spesifik Saluran diperoleh energi spesifik
minimum pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1, tersier
titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut yaitu 1,343 m; 0,967 m; 0,603
4.4.2 Energi Spesifik Lapangan
Energi spesifik lapangan merupakan energi spesifik yang diperoleh dengan
menggunakan data pengukuran lapangan yang meliputi data kedalaman aliran dan
kecepatan aliran setelah terjadi sedimentasi pada saluran. Contoh perhitungan energi
spesifik lapangan pengukuran ke-1 pada saluran primer dengan kedalaman air 1,40 m
dan kecepatan aliran 0,577 m/s, maka:
Emin = y +
= 1,40 +
= 1,417 m
Dari Tabel 4.13 Perhitungan Energi Spesifik Saluran diperoleh energi spesifik
lapangan pengukuran ke-1 pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2,
tersier titik1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut yaitu
1,417 m; 1,074 m; 0,754 m; 0,421 m; 0,405 m; 0,277 m; 0,267 m. Energi spesifik
lapangan pengukuran ke-2 pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2,
tersier titik 1, tersier titik 2, tersier titik 3, tersier titik 4 secara berturut-turut yaitu
1,208 m; 0,909 m; 0,528 m; 0,342 m; 0,332 m; 0,221 m; 0,221 m.
Energi spesifik saluran pengukuran lapangan pada saluran primer dengan
kemiringan dasar saluran 0,001248o yaitu 1,312 m, energi spesifik pada saluran
sekunder titik 1 dengan kemiringan dasar saluran 0,000198o yaitu 0,992 m, energi
spesifik pada saluran sekunder titik 2 dengan kemiringan dasar saluran 0,000254o
yaitu 0,641 m, energi spesifik pada saluran tersier titik 1 dengan kemiringan dasar
saluran 0,000618o yaitu 0,382 m, energi spesifik pada saluran tersier titik 2 dengan
kemiringan dasar saluran 0,000618o yaitu 0,368 m, energi spesifik pada saluran
tersier titik 3 dengan kemiringan dasar saluran 0,001833o yaitu 0,249 m, dan energi
spesifik pada saluran tersier titik 4 dengan kemiringan dasar saluran 0,001833o yaitu
4.4.3 Perhitungan Bilangan Froude
Bilangan Forude (Fr) didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata (V) dibagi
akardari gravitasi (g) dan kedalaman air (y). Aliran pada saluran terbuka berdasarkan
bilangan froude dapat digolongkan menjadi tiga bagian dengan ketentuan
masing-masing yaitu:
Aliran sub kritis : bila Fr < 1
Aliran kritis : bila Fr = 1
Aliran super kritis : bila Fr > 1
Contoh perhitungan angka froude pada saluran primer dengan kecepatan
aliran air 0,536 m/s dan kedalaman air 1,3 m, maka:
Fr =
√
=
√
= 0,149 < 1 Subkritis
Pada saluran primer dengan kecepatan aliran air 0,536 m/s dan kedalaman air
1,3 m diperoleh froude number sebesar 0,149 (subkritis), pada saluran sekunder titik
1 dengan kecepatan aliran 0,268 m/s dan kedalaman air 0,99 m diperoleh froude
number sebesar 0,085 (Subkritis), pada saluran sekunder titik 2 dengan kecepatan
aliran 0,238 m/s dan kedalaman air 0,64 m diperoleh froude number sebesar 0,094
(Subkritis), pada saluran tersier titik 1 dengan kecepatan aliran 0,223 m/s dan
kedalaman air 0,38 m diperoleh froude number sebesar 0,115 (Subkritis), pada
saluran tersier titik 2 dengan kecepatan aliran 0,207 m/s dan kedalaman air 0,37 m
diperoleh froude number sebesar 0,108 (Subkritis), pada saluran tersier titik 3 dengan
kecepatan aliran 0,140 m/s dan kedalaman air 0,25 m diperoleh froude number
sebesar 0,089 (Subkritis), pada saluran tersier titik 4 dengan kecepatan aliran 0,136
4.5 Analisis Kinerja Saluran
Irigasi Batang Ilung dibangun dengan tujuan sebagai penyediaan air irigasi
persawahan dan perkebunan yang dialirkan melalui saluran irigasi. Aliran pada
saluran irigasi merupakan aliran yang tidak seragam atau berubah karena pengaruh
kebutuhan air untuk persawahan dan faktor cuaca.
Pada saat musim tanam, debit air yang dialirkan pada saluran lebih besar
dibandingkan setelah panen, dilakukan untuk menjaga kebutuhan air agar tetap
memenuhi kebutuhan persawahan dan perkebunan. Pada musim hujan debit air pada
saluran berbeda dengan musim kemarau sehingga kecepatan aliran dan kedalaman air
pada saluran juga berbeda. Perbedaan kecepatan aliran dan kedalaman air pada setiap
musimnya akan mempengaruhi luas penampang basah pada saluran.
Pada saluran primer (BBI.0-BBI.1) dengan panjang 3092,95 m dan
kemiringan dasar saluran rencana 0.001248o diperoleh laju sedimentasi sebesar 1,601
ton/hari. Jika diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu tahun,
maka laju sedimen melayang yang melewati saluran primer sebesar 584,295
ton/tahun. Laju sedimentasi per volume saluran primer diperoleh sebesar 0,00011
ton/m3/hari atau 0,042 ton/m3/tahun.
Pada saluran sekunder titik 1 (BBI.6-BGm.1) dengan panjang saluran 1016,60
m dan kemiringan dasar saluran rencana 0.000198o diperoleh laju sedimentasi sebesar
0,505 ton/hari. Jika diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu
tahun, maka laju sedimen melayang yang melewati saluran sekunder titik 1 sebesar
184.160 ton/tahun. Laju sedimentasi per volume saluran sekunder titik 1 diperoleh
Pada saluran sekunder titik 2 (BGm.10-BGm.11) dengan panjang saluran 393
m dan kemiringan dasar saluran rencana 0.000254o diperoleh laju sedimentasi sebesar
0,245 ton/hari. Jika diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu
tahun, maka laju sedimen melayang yang melewati saluran sekunder titik 2 sebesar
89,440 ton/tahun. Laju sedimentasi per volume saluran sekunder titik 2 diperoleh
sebesar 0,00049ton/m3/hari atau 0,178 ton/m3/tahun.
Pada saluran tersier titik 1 (BGm.1-Gm.1kn) dengan kemiringan dasar saluran
rencana 0.000618o diperoleh laju sedimentasi sebesar 0,096 ton/hari. Jika
diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu tahun, maka laju
sedimen melayang yang melewati saluran tersier titik 1 sebesar 35,190 ton/tahun.
Laju sedimentasi per volume saluran tersier titik 1 diperoleh 0,00018 ton/m3/hari atau
0,064 ton/m3/tahun.
Pada saluran tersier titik 2 (BGm.1-Gm.1kn) dengan kemiringan dasar saluran
rencana 0.000618o diperoleh laju sedimentasi sebesar 0,080 ton/hari. Jika
diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu tahun, maka laju
sedimen melayang yang melewati saluran tersier titik 2 sebesar 29,160 ton/tahun.
Laju sedimentasi per volume saluran tersier titik 2 diperoleh 0,00015 ton/m3/hari atau
0,056 ton/m3/tahun.
Pada saluran tersier titik 3 (BGm.11-Gm.11kn) dengan kemiringan dasar
saluran rencana 0.001833o diperoleh laju sedimentasi sebesar 0,020 ton/hari. Jika
diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu tahun, maka laju
sedimen melayang yang melewati saluran tersier titik 3 sebesar 7,480 ton/tahun. Laju
sedimentasi per volume saluran tersier titik 3 diperoleh 0,00020 ton/m3/hari atau
Pada saluran tersier titik 4 (BGm.11-Gm.11kn) dengan kemiringan dasar
saluran rencana 0.001833o diperoleh laju sedimentasi sebesar 0,017 ton/hari. Jika
diasumsikan debit aliran sama sepanjang saluran selama satu tahun, maka laju
sedimen melayang yang melewati saluran tersier titik 4 sebesar 6,374 ton/tahun. Laju
sedimentasi per volume saluran tersier titik 4 diperoleh 0,00018 ton/m3/hari atau
0,064 ton/m3/tahun.
Berdasarkan besarnya laju sedimentasi dengan menggunakan sedimen
melayang yang diperoleh dari pengamatan, diperediksikan akan terjadi pengendapan
atau penggerusan pada saluran yang sangat cepat. Jika sedimentasi pada saluran
tersebut dibiarkan semakin banyak maka akan berpengaruh pada saluran itu sendiri,
kualitas air yang disalurkan dan kinerja saluran dalam penyaluran air yang sampai ke
petak persawahan. Dari besarnya sedimentasi yang terjadi pada saluran, disarankan
agar dilakukan perawatan berupa pengerukan sedimen yang terdapat pada saluran
pada priode waktu yang lebih cepat agar kinerja saluran dalam menyalurkan air tetap
normal seperti yang di rencanakan.
Proses penggerusan dan pengendapannya tidak hanya tergantung dari
sifat-sifat aliran tetapi juga tergantung pada sifat-sifat-sifat-sifat sedimen itu sendiri. Sedimen yang
terdapat di saluran dapat menyebabkan perubahan dimensi saluran dari dimensi asal
saluran serta dapat mempengaruhi energi spesifik penampang saluran sehingga secara
tidak langsung dapat mengakibatkan kurang optimumnya kinerja saluran irigasi.
Proses sedimentasi akan mengakibatkan penggerusan ataupun pengendapan
pada saluran sehingga mempengaruhi kedalaman dan kecepatan aliran pada saluran,
Pada saluran primer (BBI.0-BBI.1) dengan luas penampang asal atau luas
penampang perencanaan 4,200 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,352 ton/m2/hari
mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas penampang
saluran membesar menjadi 4.543 m2.
Pada saluran sekunder titik 1 (BBI.6-BGm.1) dengan luas penampang asal
atau luas penampang perencanaan 2,613 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,171
ton/m2/hari mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas
penampang saluran mengecil menjadi 2,959 m2.
Pada saluran sekunder titik 2 (BGm.10-BGm.11) dengan luas penampang asal
atau luas penampang perencanaan 1,080 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,191
ton/m2/hari mempengaruhi kedalaman dan kecepatan airpada saluran sehingga luas
penampang saluran membesar menjadi 1,281 m2.
Pada saluran tersier titik 1(BGm.1-Gm.1kn) dengan luas penampang asal atau
luas penampang perencanaan 0,500 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,198 ton/m2/hari
mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas penampang
saluran mengecil menjadi 0,486 m2.
Pada saluran tersier titik 2 (BGm.1-Gm.1kn) dengan luas penampang asal atau
luas penampang perencanaan 0,500 m2, terjadi sedimentasi sebesar ton/m2/hari
mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas penampang
saluran mengecil menjadi 0,465 m2.
Pada saluran tersier titik 3 (BGm.11-Gm.11kn) dengan luas penampang asal
atau luas penampang perencanaan 0,180 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,150
ton/m2/hari mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas
Pada saluran tersier titik 4 (BGm.11-Gm.11kn) dengan luas penampang asal
atau luas penampang perencanaan 0,180 m2, terjadi sedimentasi sebesar 0,132
ton/m2/hari mempengaruhi kedalaman dan kecepatan air pada saluran sehingga luas
penampang saluran mengecil menjadi 0,132 m2.
Berdasarkan bilangan froude, aliran air pada saluran yang telah diamati
merupakan sifataliran subkritis karena angka froude lebih kecil dari 1. Pada saluran
primer dengan kecepatan aliran 0,536 m/s diperoleh angka froude yaitu 0,149. Pada
saluran sekunder titik 1 dengan kecepatan aliran 0,268 m/s diperoleh angka froude
yaitu 0,085. Pada saluran sekunder titik 2 dengan kecepatan aliran 0,238 m/s
diperoleh angka froude yaitu 0,094. Pada saluran tersier titik 1 dengan kecepatan
aliran 0,223 m/s diperoleh angka froude yaitu 0,115. Pada saluran tersier titik 2
dengan kecepatan aliran 0,207 m/s diperoleh angka froude yaitu 0,108. Pada saluran
tersier titik 3 dengan kecepatan aliran 0,140 m/s diperoleh angka froude yaitu 0,089.
Pada saluran tersier titik 4 dengan kecepatan aliran 0,136 m/s diperoleh angka froude
yaitu 0,087.
Keadaan aliran pada saluran yang bersifat subkritis menunjukkan peranan
gaya tarik bumi lebih menonjol sehingga aliran mempunyai kecepatan rendah dan
sering dikatakan tenang dan keadaan gelombang air akan disebarkan ke hulu akibat
adanya gangguan atau hambatan di saluran.
Kecapatan aliran tidak sesuai dengan kecepatan yang dianjurkan sehingga
akan mengakibatkan terjadinya sedimentasi. Pada perencanaan saluran pasangan,
kecepatan maksimum dianjurkan pada pemakaian untuk aliran subkritis yaitu untuk
pasangan batu kecepatan maksimum 2 m/s, untuk pasangan beton kecepatan
Saluran ferrocemen dengan penampang tapal kuda disyaratkan tidak timbul
atau terjadi endapan dalam saluran. Kecepatan minimum aliran ditetapkan V >0,6 m/s
agar pasir ataulumpur tidak mengendap disepanjang saluran.
Kecepatan aliran akan mempengaruhi laju sedimentasi, kecepatan yang
rendah terjadi akibat adanya gangguan atau hambatan yang mengakibatkan
pengendapan sedimen pada saluran. Pengendapan yang lebih besar terjadi pada
bagian hilir saluran yang lebih dekat dengan bangunan bagi di mana kecepatan aliran
yang lebih kecil. Jika sedimen terus terjadi pengendapen akan menimbulkan
kerusakan pada saluran dan akan mempengaruhi kualitas air yang di alirkan ke petak
persawahan. Pada saluran sekunder, pengendapan terjadi pada bagian sisi kanan dan
kiri saluran serta terjadi penggerusan pada dasar saluran yang mengakibatkan luas
penampang akan berubah.
Perubahan tinggi tekanan terhadap energi spesifik dalam suatu penampang
saluran merupakan unsur penentu laju pengaliran air pada saluran dan akan
berpengaruh terhadap kinerja saluran dalam pendisribusian air irigasi. Pengaruh
sedimen terhadap energi spesifik pada penampang saluran dapat diketahui dari hasil
perhitungan mengkombinasikan data dimensi asal/perencanaan saluran dengan data
pengukuran di lapangan.
Apabila keadaan kinerja saluran pada perencanaan atau data asal dikatakan
dengan energi spesifik sebesar 100% dalam mendistribusikan air irigasi, maka
berdasarkan hasil perhitungan tinggi tekanan dan energi spesifik dapat diketahui
bahwa sedimen yang terdapat di saluran irigasi akan menyebabkan penurunan kinerja
Dari Tabel 4.13 perhitungan energi spesifik saluran, apabila keadaan kinerja
saluran pada perencanaan dikatakan dengan energi spesifik sebesar 100%, maka pada
saluranprimer hanya bekerja 98,97% dari kinerja yang direncanakan dengan
penurunan kinerja 1,03%, saluran sekunder titik 1 hanya bekerja 99,02% dari kinerja
yang dikerjakan dengan penurunan kinerja 0,98%, saluran sekunder titik 2 hanya
bekerja 99,03% dari kinerja yang direncanakan dengan penurunan kinerja 0,97%,
saluran tersier titik 1 hanya bekerja 98,65% dari kinerja yang direncanakan dengan
penurunan kinerja 1,35%,saluran tersier titik 2 hanya bekerja 98,60% dari kinerja
yang direncanakan dengan penurunan kinerja 1,40%,saluran tersier titik 3 hanya
bekerja 98,76% dari kinerja yang direncanakan dengan penurunan kinerja 1,24%,
saluran tersier titik 4 hanya bekerja 98,74% dari kinerja yang direncanakan dengan
Tabel 4.13 Perhitungan Energi Spesifik Saluran
Pengukuran Saluran
Data Perencanaan Data Pengukuran Lapangan
E%
Tabel 4.14 Perhitungan Sedimen Dalam Penampang Saluran
(Sumber: Hasil pengukuran dan perhitungan)
Tabel 4.15 Perhitungan Bilangan Froud
Saluran
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang diuraikan dalam pembahasan
studi pengaruh perilaku sedimentasi pada saluran irigasi Batang Ilung, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Laju sedimentasi dengan menggunakan sampel sedimen melayang (suspended
load) pada saluran primer sebesar 1,601 ton/hari dengan konsentrasi sedimen
84,861 mg/liter. Laju sedimentasi pada saluran sekunder titik 1 sebesar
0,505ton/hari dengan konsentrasi sedimen 80,278 mg/liter. Laju sedimentasi
pada saluran sekunder titik 2 sebesar 0,245 ton/hari dengan konsentrasi
sedimen 87,917 mg/liter. Laju sedimentasi pada saluran tersier titik 1 sebesar
0,096 ton/hari dengan konsentrasi sedimen 106,667 mg/liter. Laju sedimentasi
pada saluran tersier titik 2 sebesar 0,080 ton/hari dengan konsentrasi sedimen
99,167 mg/liter. Laju sedimentasi pada saluran tersier titik 3 sebesar 0,020
ton/hari dengan konsentrasi sedimen 133,473 mg/liter. Laju sedimentasi pada
saluran tersier titik 4 sebesar 0,017 ton/hari dengan konsentrasi sedimen
122,917 mg/liter.
2. Laju sedimentasi pada saluran irigasi mempengaruhi luas penampang saluran
karena terjadinya perubahan kedalaman dan kecepatan air pada saluran. Pada
saluran primer terjadi sedimentasi 0,352 ton/m2/hari mengakibatkan luas
penampang bertambah besardari 4,200 m2 menjadi 4.543 m2. Pada saluran
sekunder titik 1 terjadi sedimentasi 0,171 ton/m2/hari mengakibatkan luas
penampang bertambah besar dari 2,613 m2 menjadi 2,959 m2. Pada saluran
penampang bertambah besar dari 1,080 m2 menjadi 1,281 m2. Pada saluran
tersier titik 1 dan titik 2 terjadi sedimentasi 0,185 ton/m2/hari mengakibatkan
luas penampang mengecil dari 0,500 m2 menjadi 0,475 m2. Pada saluran tersier
titik 3 dan titik 4 terjadi sedimentasi 0,141 ton/m2/hari mengakibatkan luas
penampang mengecil dari 0,180 m2 menjadi 0,135 m2.
3. Aliran air pada saluran primer, sekunder titik 1, sekunder titik 2, tersier titik 1,
tersier titik 2, tersier titik 3 dan tersier titik 4 digolongkan pada sifat aliran
subkritis dengan Froude number lebih kecil dari 1 secara berturut-turut yaitu
0,149; 0,085; 0,094; 0,115; 0,108; 0,089; 0,087.
4. Laju sedimentasi pada saluran irigasi menyebabkan perubahan kinerja saluran.
Saluran primer hanya bekerja 98,97% dari kinerja yang direncanakan dengan
penurunan kinerja 1,03%, saluran sekunder titik 1 hanya bekerja 99,02% dari
kinerja yang direncanakan dengan penurunan kinerja 0,98%, saluran sekunder
titik 2 hanya bekerja 99,03% dari kinerja yang direncanakan dengan penurunan
kinerja 0,97%, saluran tersier titik 1 hanya bekerja 98,65% dari kinerja yang
direncanakan dengan penurunan kinerja 1,35%, saluran tersier titik 2 hanya
bekerja 98,60% dari kinerja yang direncanakan dengan penurunan kinerja
1,40%, saluran tersier titik 3 hanya bekerja 98,76% dari kinerja yang
direncanakan dengan penurunan kinerja 1,24%, saluran tersier titik 4 hanya
bekerja 98,74% dari kinerja yang direncanakan dengan penurunan kinerja
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini diajukan saran sebagai
berikut :
1. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan dengan titik lokasi
pengukuran dan pengambilan sampel yang lebih banyak pada saat musim
hujan dan musim kemarau sehingga mendapat rata-rata laju sedimentasi
pertahun yang lebih akurat.
2. Dilakukan pengulangan pengukuran dan pengambilan sampel dengan interval
waktu pengukuran yang lebih sempit dengan jangka waktu yang lebih lama
sehingga mendapat data laju sedimentasi yang lebih akurat.
3. Untuk meningkatkan kinerja saluran dalam menyalurkan air pada Irigasi
Batang Ilung sebaiknya dilakukan pengerukan endapan sedimen yang terdapat
pada kantong lumpur serta perlu dilakukan perbaikan dan pemeliharaan saluran
dengan interval waktu yang lebih sempit.
4. Untuk pemeliharaan saluran sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan
masyarakat dengan melakukan penyuluhan kepada kelompok tani yang sudah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Irigasi
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 Bab I pasal 1 tentang irigasi
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan irigasi adalah usaha penyediaan dan
pengaturan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi air
permukaan, irigasi air tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.
Sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi,
kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia. Penyediaan air irigasi
menentukan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air
untuk suatu daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah dan mutu sesuai dengan
kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya.
Tujuan utama irigasi adalah mewujudkan pemanfaatan air yang menyeluruh
dan mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian
dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya
petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi.
Pada umumnya sistem irigasi di Indonesia pengaliran airnya dengan sistem
gravitasi dan sistem jaringannya ada 3 golongan antara lain (Radjualini, 2008) :
1. Sistem Irigasi Sederhana
Sistem irigasi ini baik bangunan maupun pemeliharaannya dilakukan oleh
para petani dan pada umumnya jumlah arealnya relative kecil. Biasanya
terdapat dipegunungan, sedangkan sumber airnya didapat dari sungai-sungai
kecil yang airnya mengalir sepanjang tahun. Bangunan bendungnya dibuat
sederhana serta tidak dilengkapi dengan pintu air dan alat ukur debit air
sehingga pembagian airnya tidak dapat dilakukan dengan baik.
2. Sistem Irigasi Sederhana Teknis
Sistem irigasi ini seluruh banguan yang ada didalam jaringan irigasi setengan
teknis konstruksinya bisa permanent atau setengah permanent hanya tidak
dilengkapi dengan pintu air dan alat pengukur debit. Untuk pengaturan air
cukup dipasang balok sekat saja, sehingga pembagian dan pengaturan
debitnya tidak dapat dilakukan dengan baik. Namun irigasi ini dapat
ditingkatkan secara bertahap menjadi sistem irigasi teknis. Pada sistem ini
pembangunannya dilakukan oleh pemerintah.
3. Sistem Irigasi Teknis
Sistem irigasi ini seluruh bangunan yang ada didalam jaringan irigasi teknis
semua konstruksinya permanen dan juga dilengkapi dengan pintu-pintu air
dan alat ukur debit, dimana pembagian airnya bisa diatur dan bisa diukur
disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga pembagian/pemberian air ke
sawah-sawah dilakukan dengan tertib dan merata. Disamping itu untuk menjamin
tidak kebanjiran, dibuat jaringan pembuang tersier, sekunder dan induk, yang
nantinya air tersebut dialirkan langsung ke sungai. Saluran ini juga berfungsi
untuk membuang air sisa pemakaian dari sawah.
2.2 Air Irigasi
Air merupakan factor yang penting dalam bercocok tanam. Selain jenis
tanaman, kebutuhan air bagi suatu tanaman juga dipengaruhi oleh sifat dan jenis
tanaman, keadaan iklim, kesuburan tanah, cara bercocok tanam, luas areal, topografi,
periode tumbuh dan sebagainya. Cara pemberian air irigasi pada tanaman padi
Air untuk irigasi dipergunakan untuk tanaman padi, palawija, termasuk tebu
dan padi gadu, buah-buahan, dan rumput. Padi bukanlah tanaman air tapi untuk
hidupnya padi memerlukan air. Dalam penentuan kebutuhan air untuk tanaman
terdapat cara sebagai berikut :
1. Menurut tingginya air yang dibutuhkan guna sebidang tanah yang ditanam
atau banyaknya air sama dengan tingginya air yang dibutuhkan dikalikan luas
tanah.
2. Banyaknya air yang dibutuhkan pada kesatuan luas untuk sekali penyiraman
atau selama pertumbuhannya.
3. Kesatuan pengaliran air yaitu isi dalam kesatuan waktu pengalirannya untuk
kesatuan luas atau liter/detik/hektar.
4. Menentukan luas tanaman yang dapat dialiri oleh pengaliran air yang
banyaknya tertentu.
Cara pemakaian air tergantung dari keadaan irigasi, tanah, tanaman yang diairi
dan sebagainya. Cara pemakaian air dapat dibedakan menjadi yaitu merendam tanah,
merembeskan air, pengaliran, dan pengeringan, pembasahan dalam tanah, menyiram
dan menyemprot. Merendam tanah dengan pembaruan air lazim digunakan dalam
penanaman padi.
Dalam peningkatan produksi pangan, irigasi mempunyai peranan penting
yaitu untuk menyediakan air untuk tanaman dan dapat digunakan dalam mengatur
kelembaman tanah, membantu menyuburkan tanah melalui bahan-bahan kandungan
sedimen yang dibawa oleh air, dapat menekan pertumbuhan gulma, dapat menekan
perkembangan hama penyakit tertentu dan memudahkan pengolahan tanah.
Kualitas air menjadi bagian penting dalam pengembangan sumber daya air,
ketersediaan air untuk keperluan kehidupan manusia, pertanian, industri, dan
sebagainya. Karakteristik fisik dapat mempengaruhi kualitas air, dengan demikan
dapat berpengaruh pada ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan keperluan
kehidupan manusia, pertanian, industri, dan sebagainya adalah kensentrasi sedimen,
suhu air dan tingkat oksigen terlarut dalam suatu sistem aliran air (Asdak C, 2007).
Larutan sedimen yang sebagian besar terdiri atas larutan lumpur dan beberapa
berbentuk koloida dari berbagai material yang sering mempengaruhi kualitas air
dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya air. Meningkatnya suhu perairan
yang dapat diklasifikasi sebagai pencemar perairan dapat mempengaruhi kehidupan
organism akuatik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, oksigen
terlarut dalam perairan dapat dimanfaatkan untuk indikator atau indeks sanitasi
kualitas air.
2.3 Jaringan Irigasi
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang irigasi,
yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan
pelengkap yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi
mulai dari penyedian, pengambilan, pembagian, pemberian, penggunaan dan
pembuangan air irigasi.
Jaringan irigasi utama adalah jaringan irigasi yang berada dalam satu sistem
irigasi, mulai dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran sekunder dan
bangunan sadap serta bangunan pelengkapnya.
Jaringan irigasi sekunder merupakan bagian dari jaringan irigasi yang terdiri
dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap,
Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai
prasarana pelayanan air di dalam petak tersier yang terdiri dari saluran pembawa yang
disebut saluran tersier, saluran pembagi yang disebut saluran kuarter dan saluran
pembuang serta saluran pelengkapnya, termasuk jaringan irigasi pompa yang luas
areal pelayanannya disamakan dengan areal tersier.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2001 tentang irigasi,
pemeliharaan jaringan irigasi dapat dilakukan dengan beberapa macam pemeliharaan
yang berbeda, antara lain:
1. Pemeliharaan Rutin
Pemeliharan ringan pada bangunan dan saluran irigasi yang dapat dilakukan
sementara selama eksploitasi tetap berlangsung, dimana pemeliharaan hanya
bagian bangunan/saluran yang ada di permukaan saja.
2. Pemeliharaan Berkala
Pemeliharaan yang dilakukan pada bagian bangunan dan saluran dibawah
permukaan air, pada waktu melaksanakan pekerjaan ini saluran dikeringkan
terlebih dahulu.
3. Pemeliharaan Pencegahan
Pemeliharaan pencegahan ini merupakan usaha untuk mencegah terjadinya
kerusakan pada jaringan irigasi akibat gangguan manusia yang tidak
bertanggung jawab atau akibat gangguan hewan.
4. Pemeliharaan Darurat
Pekerjaan yang dilakuan untuk memperbaiki akibat kerusakan yang tidak
2.4 Saluran Irigasi
Saluran irigasi di daerah irigasi teknis dibedakan menjadi saluran irigasi
pembawa dan saluran pembuang. Ditinjau dari jenis dan fungsi saluran irigasi
pembawa dapat dibedakan menjadi saluran primer, sekunder, tersier dan kuarter.
Saluran pembuang berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air secara gravitasi dari
persawahan untuk mencegah terjadinya terjadinya genangan dan kesurasakan
tanaman atau mengatur banyaknya air tanah sesuai dengan yang dibutuhkan tanaman
(Mawardi E, 2007).
Dalam desain hidroulik sebuah saluran terdapat parameter pokok yang harus
tentukan apabila kapasitas rencana sudah diketahui yaitu :
1. Perbandingan kedalaman air dengan lebar dasar
2. Kemiringan memanjang saluran
Disamping hal itu, pada saluran pembawa dijumpai tiga kondisi yang harus
dibedakan yaitu :
1. Air irigasi tanpa sedimen di saluran tanah; terjadi jika air berasal dari waduk
secara langsung.
2. Air irigasi bersedimen di saluran pasangan; dengan demikian criteria angkutan
sedimen mempengaruhi desain.
3. Air irigasi bersedimen di saluran tanah; situasi ini yang paling sering dijumpai
di Indonesia.
Menurunnya kapasitas debit di bagian hilir dari jaringan saluran akan dapat
menimbulkan terjadinya pengendapan sedimen. Untuk itu dalam desain harus
disyaratkan bahwa pengendapan dan penggerusan setempat di seitiap potongan
Berdasarkan Standar Perencanaan lrigasi Bagian Jaringan lrigasi KP-O1,
saluran irigasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Saluran primer atau saluran induk yaitu saluran yang membawa air dari
jaringan utama ke saluran sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi dan
saluran ini berakhir pada bangunan bagi yang terakhir.
2. Saluran sekunder yaitu saluran yang membawa air dari saluran primer ke
petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung
saluran ini yaitu bangunan sadap terakhir. Saluran muka tersier yaitu saluran
yang membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak
di seberang petak tersier lainnya.
3. Saluran tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier
dijaringan utama ke dalam petak tersier lalu ke saluran kuarter. Saluran ini
berakhir pada boks kuarter yang terakhir.
2.4.1 Saluran Tanah Tanpa Pasangan
Berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi Kriteria Perencanaan Bagian Saluran
KP-03, pengaliran air irigasi saluran berpenampang trapesium tanpa pasangan adalah
bangunan pembawa yang paling umum dipakai dan ekonomis. Perencanaan saluran
harus memberikan penyelesaian biaya pelaksanaan dan pemeliharaan yang paling
rendah. Erosi dan sedimentasi di setiap potongan melintang harus minimal dan
berimbang sepanjang tahun.
Sedimentasi di dalam saluran dapat terjadi apabila kapasitas angkut
sedimennya berkurang. Dengan menurunnya kapasitas debit di bagian hilir dari
jaringan saluran adalah penting untuk menjaga agar kapasitas angkutan sedimen per