• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PERSIAPAN PELAKSANAAN UPAYA KHUSUS MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN DI JAWA TENGAH I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PERSIAPAN PELAKSANAAN UPAYA KHUSUS MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN DI JAWA TENGAH I. PENDAHULUAN"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

1

KAJIAN PERSIAPAN PELAKSANAAN UPAYA KHUSUS MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian untuk pembangunan (agriculture for development) menjadi isu hangat sepanjang sejarah kehidupan manusia (FAO, 2011). Urgensi pembangunan pertanian untuk pembangunan nasional suatu negara secara teoritis telah teruji dan tidak terbantahkan lagi, namun dalam tataran impelementasi kebijakan terutama di negara-negara berkembang sering terjadi ketidak konsistenan antara apa yang secara formal tertuang dalam rumusan kebijakan dengan tataran implementasinya, sehingga pembangunan pertanian tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Wong (2007) mengemukakan tiga argumen pentingnya pertanian untuk pembangunan, yaitu : (1) Revolusi di bidang bioteknologi pertanian, terutama dipicu oleh pengembangan ilmu genetika dan mikrobiologi, (2) Tumbuh pesatnya pasar modern seperti super market dan hiper market yang mentransformasikan rantai pasokan pertanian ke makanan, dan (3) Penurunan kemiskinan dan pelestarian lingkungan, dimana sektor pertanian menjadi kendaraan utama untuk menurunkan kemiskinan dan pelestarian lingkungan di kawasan pedesaan.

Rendah dan tidak stabilnya pertumbuhan produksi padi, jagung dan kedelai dalam beberapa tahun terakhir ini diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, jika tidak dilakukan upaya khusus untuk mengatasinya. Setidaknya ada dua argumen pokok yang melandasi perkiraan tersebut. Pertama, lambatnya pertambahan luas areal tanam baru akibat terbatasnya anggaran untuk pembangunan lahan sawah baru dan pentingnya rehabilitasi infrastruktur irigasi secara luas. Kedua, berdasarkan beberapa penelitian empiris gejala melambatnya pertumbuhan produktivitas pangan masih belum berhasil dipecahkan secara holistik (Simatupang, 2000; Kasryno et al., 2001). Kondisi ini akan semakin berat dengan terjadinya iklim El-Nino yang terjadi di wilayah di Indonesia.

Pada tatanan operasional di lapangan, terdapat beberapa permasalahan pokok usahatani dan peningkatan kesejahteraan petani, yaitu: (a) Penyempitan penguasaan lahan karena faktor fragmentasi sebagai akibat peningkatan jumlah

(2)

2

penduduk dan pola pewarisan lahan; (b) Semakin terbatasnya peningkatan kapasitas produksi usahatani padi, jagung dan kedelai; dan (c) Terdapat beberapa kendala baik yang bersifat teknis, sosial-kelembagaan, dan ekonomi dalam pengembangan komoditas padi, jagung dan kedelai.

Dalam jangka pendek ke depan, peluang dan aksesibilitas kesempatan kerja non-pertanian bagi sebagian besar petani diperdesaan akan tetap terbatas. Pilihan yang dinilai strategis adalah upaya khusus mendukung swasembada pangan khususnya padi, jagung dan kedelai. Terdapat dua sumber pertumbuhan produksi pangan, yaitu perluasan areal tanam atau panen dan peningkatan produktivitas komoditas pangan. Perluasan tanam secara ektensifikasi horisontal sudah terbatas di Jawa Tengah, namun peningkatan luas areal melalui ekstensifikasi secara vertikal melalui peningkatan intensitas tanam masih cukup terbuka melalui perbaikan infrastruktur pertanian, terutama infrastruktur irigasi serta alat dan mesin pertanian.

Secara teoritis terdapat tiga sumber pertumbuhan produktivitas, yaitu perubahan teknologi (technological change/TC), peningkatan efisiensi teknis (technical efficiency, TE), dan skala usaha ekonomi (economic of scale/ES) (Coelli et al., 1998). Sumber pertumbuhan produktivitas yang terpenting adalah perubahan teknologi ke arah teknologi yang lebih maju. Menurut Gathak dan Ingersent (1984), perbaikan teknologi di bidang pertanian memiliki dua karakteristik, yaitu : (1) membentuk fungsi produksi yang baru yang lebih tinggi dari penggunaan sejumlah input yang jumlahnya tetap, dan (2) dapat dihasilkan output yang sama akan dapat dihasilkan dengan memberikan sejumlah input yang lebih sedikit, sehingga akan menurunkan biaya produksi.

1.2. Justifikasi

Definisi atau pengertian ketahanan pangan versi negara Republik ini telah dirumuskan dalam UU Pangan (Suryana, 2013b,). Dengan mengacu pada berbagai definisi yang berlaku di Indonesia dan di masyakat internasional, para penyusun UU Pangan ini merumuskan batasan ketahanan pangan yang didalamnya merangkum beberapa butir penting sebagai berikut: (1) Terpenuhinya kebutuhan pangan bagi negara sampai tingkat perseorangan; dan (2) Tolok ukur terpenuhinya itu adalah: (a) dari sisi kuantitas jumlahnya cukup, (b) dari sisi kualitas mutunya baik, aman

(3)

3

dikonsumsi, jenis pangan tersedia beragam, memenuhi kecukupan gizi, (c) dari sisi keamanan pangan rohani, pangan harus tidak bertentangan dengan kaidah agama, keyakinan dan budaya masyarakat, dan (d) dari sisi keterjangkauan ekonomi, pangan tersedia merata ke seluruh pelosok Indonesia dengan harga terjangkau oleh seruruh komponen masyarakat.

Definisi ini belum mengindikasikan sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat. Dengan masuknya konsep kedaulatan pangan dan kemandirian pangan, aspek sumber pangan menjadi salah satu hal yang penting dan stategis yang diatur dalam pasal-pasal pada UU Pangan tersebut, diantaranya pada pasal 14 dan 15 (Suryana, 2013b). Pasal tersebut mengatur bahwa sumber penyediaan pangan berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. Apabila dari kedua sumber tersebut tidak mencukupi, pangan dapat dipenuhi dari impor dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain impor pangan adalah kebijakan terakhir yang dapat diambil (food import is the last resort).

Ketahanan pangan merupakan isu multi-dimensi dan sangat komplek, meliputi aspek teknis, sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik. Aspek terakhir seringkali menjadi faktor dominan pada proses pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan pangan. Mewujudkan swasembada pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai secara berkelanjutan menjadi isu dan prioritas utama bagi Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo-Yusuf Kala.

Pentingnya swasembada pangan dalam tatanan ekonomi global dan nasional telah dipahami oleh berbagai kalangan, baik kepala negara dan pemerintahan, pimpinan organisasi internasional, pengelola sektor swasta, maupun lembaga kemasyarakatan. Satu hal yang mereka sadari bersama adalah pemenuhan pangan bagi setiap individu merupakan hak azasi dan pemenuhannya menjadi kewajiban bersama, termasuk individu itu sendiri.

Mewujudkan swasembada pangan pada tingkat makro (nasional) ke depan akan semakin sulit karena kecenderungan pergerakan penawaran dan permintaan pangan menuju ke arah yang berlawanan. Penawaran atau pasokan pangan pertumbuhannya akan semakin terbatas karena menghadapi berbagai kendala fisik, ekonomi dan lingkungan; sementara itu permintaan pangan akan terus tumbuh

(4)

4

sejalan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta preferensi dan dinamika permintaan pasar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada pangan. Peran ketersediaan sumberdaya lahan dan air, kapasitas SDM yang handal, inovasi dan teknologi, serta rekayasa sosial-kelembagaan yang mampu meningkatkan efisiensi usaha, produktivitas dan dayasaing produk pangan mutlak diperlukan.

1.3. Tujuan

Kajian persiapan pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada pangan di Jawa Tengah ini bertujuan untuk :

1. Membangun sistem koordinasi yang efektif antar intansi terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai.

2. Memantau perkembangan data dan validasi data terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai.

3. Menganalisis faktor-faktor baik teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan dan aspek kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai.

1.4. Keluaran

Kajian persiapan pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada pangan di Jawa Tengah ini bertujuan untuk :

1. Terbangunnya sistem koordinasi yang efektif antar intansi terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai.

2. Terpantaunya perkembangan data dan validasi data terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai.

3. Diketahuinya faktor-faktor baik teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan dan aspek kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai.

(5)

5

1.5. Penerima Manfaat

Penerima manfaat dari kegiatan yang akan dilaksanakan adalah para stakeholder di bidang pembangunan pertanian mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat petani. Beberapa manfaat antara lain adalah : terbangunnya sistem koordinasi yang efektif antar instansi terkait, tersedianya data dan informasi yang akurat, dan tesridentifikasinya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi, jagung, dan kedelai, baik yang bersifat teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, serta aspek kebijakan pendukung.

II. METODOLOGI

2.1. Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian meliputi 5 (lima) kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yaitu : (1) Kabupaten Klaten, (2) Kabupaten Sukoharjo, (3) Kabupaten Wonogiri, (4) Kabupaten Magelang, dan (5) Kabupaten Temanggung. Kabupaten Klaten, Sukoharjo, dan wonogiri mewakili daerah sentra produksi padi, jagung, dan kedelai baik untuk lahan sawah dataran rendah maupun lahan sawah dataran tinggi, sedangkan Kabupaten Magelang dan Temanggung mewakili lahan sawah dataran tinggi. Waktu penelitian dilakukan dari Januari - Maret 2014, karena ditujukan untuk kajian awal persiapan pelaksanaan Program Upaya Khusus Mendukung Swasembada padi, jagung dan kedelai.

2.2. Sumber dan Jenis Data

Untuk mendukung kelengkapan data dan informasi dalam penelitian analisis kebijakan kajian awal program upsus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai, maka ada beberapa data yang dibutuhkan baik berupa data primer maupun data sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instansi pemerintah terkait, seperti Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Kabupaten. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap informan kunci terutama yang terkait dengan persiapan pelaksanaan Program Upsus Mendukung Swasembada Padi, Jagung dan Kedelai di Provinsi Jawa Tengah, terutama dari Dinas

(6)

6

Pertanian, Koordinanor Jabatan Fungsional (Koordinator Penyuluh Pertanian), UPTD, Mantri Tani dan PPL dengan menggunakan instrumen wawancara secara terbuka terkait dengan tujuan penelitian.

2.3. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu: “Membangun sistem koordinasi yang efektif antar intansi terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai” diperlukan informasi berupa data dan informasi kualitatif terkait organisasi dan sistem koordinasi baik dipusat, daerah, serta antara pusat dan daerah. Analisis data dan informasi dilakukan dengan pendekatan kelembagaan dan deskriptif-kualitatif.

Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu: “Memantau perkembangan data dan validasi data terkait dalam pelaksanaan upaya khusus mendukung swasembada padi, jagung dan kedelai”, diperlukan informasi berupa data perkembangan luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas padi, jagung dan kedelai. Berdasarkan data yang tersedia dapat diketahui potensi produksi serta peluang peningkatan kapasitas produksi masing-masing komoditas pangan, yaitu padi, jagung dan kedelai. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi.

Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu: “Diketahuinya faktor-faktor baik teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan dan aspek kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai” diperlukan informasi dari berbagai stakeholder terkait, seperti Dinas Pertanian, KJF, UPTD, Mantri Tani dan PPL. Dengan mengetahui faktot-faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya peningkatan produksi, maka diharapkan akan dapat direkomendasikan upaya-uapaya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan serta aspek dukungan kebijakan pemerintah secara lebih baik.

(7)

7

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH

3.1. Kabupaten Klaten

3.1.1. Iklim

Anomali iklim yang sering terjadi di wilayah nusantara akibat perubahan iklim global adalah El Nino dan La Nina. Gejala munculnya El Nino biasanya dicirikan dengan meningkatnya suhu muka laut di kawasan pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox, 2000; Nicholls and Beard, 2000). Secara meteorologis kejadian El Nino dan La Nina tersebut ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan perubahan suhu permukaan laut di samudra Pasifik (World Meteorology Organization, 1999). Pada kondisi iklim normal nilai SOI berkisar antara -1 hingga +1 tetapi pada peristiwa El Nino nilai SOI dapat turun di bawah kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian La Nina naik di atas normal.

Bagi sektor pertanian kedua dampak perubahan iklim global tersebut dapat menimbulkan pengaruh negatif. Meningkatnya permukaan air laut dapat meningkatkan salinitas tanah di daerah pantai sehingga mengurangi lahan pertanian yang potensial untuk ditanami padi dan palawija, sedangkan kejadian anomali iklim dapat menimbulkan perubahan curah hujan (kekurangan atau kelebihan) yang selanjutnya menimbulkan kekeringan atau banjir dan eksplosi hama/penyakit di daerah tertentu. Kondisi curah hujan di Kabupaten Klaten selama tahun 2013 sebesar 100.373 mm dengan hari hujan sebanyak 5.086 hari hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2013 sebesar 22.774 mm dan terendah terjadi pada bulan September 2013 sebesar 0,00 mm.

Berdasarkan kondisi iklim terutama curah hujan di Klaten, Badan Litbang Pertanian telah menyusun kalender tanam pertama untuk padi di Kabupaten Klaten diperinci menurut kecamatan (Tabel 1). Kalender tanam berdasarkan prediksi sifat hujan dimana konsisi curah hujan dibawah normal, namun diperkirakan di Kabupaten Klaten dapat menanam secara keseluruhan luas lahan baku sawah yang ada.

(8)

8

Tabel 1. Kalender Tanam Padi Tanam Pertama di Kabupaten Klaten, 2014-2015

No. Kecamatan Luas Baku

Sawah Prediksi Sifat Hujan Waktu tanam Tanam Pertama (dasarian) Luas (ha)

1 Prambanan 1.264 Bawah Normal Nov III-Des I 1.264

2 Gantiwarno 1.628 Bawah Normal Nov III-Des I 1.628

3 Wedi 1.160 Bawah Normal Nov III-Des I 1.160

4 Bayat 819 Bawah Normal Nov III-Des I 819

5 Cawas 2.333 Bawah Normal Nov III-Des I 2.333

6 Trucuk 1.926 Bawah Normal Nov III-Des I 1.926

7 Kalikotes 757 Bawah Normal Nov III-Des I 757

8 Kebonarum 730 Bawah Normal Nov III-Des I 730

9 Jogonalan 1.593 Bawah Normal Nov III-Des I 1.593

10 Manisrenggo 1.516 Bawah Normal Nov III-Des I 1.516

11 Karangnongko 767 Bawah Normal Nov III-Des I 767

12 Ngawen 1.053 Bawah Normal Nov III-Des I 1.053

13 Ceper 1.582 Bawah Normal Nov III-Des I 1.582

14 Pedan 888 Bawah Normal Nov III-Des I 888

15 Karangdowo 2.054 Bawah Normal Nov III-Des I 2.054

16 Juwiring 2.017 Bawah Normal Nov III-Des I 2.017

17 Wonosari 2.257 Bawah Normal Nov III-Des I 2.257

18 Delanggu 1.339 Bawah Normal Nov III-Des I 1.339

19 Polanharjo 1.934 Bawah Normal Nov III-Des I 1.934

20 Karanganom 1.697 Bawah Normal Nov III-Des I 1.697

21 Tulung 1.746 Normal Nov III-Des I 1.746

22 Jatinom 610 Normal Nov III-Des I 610

23 Kemalang 54 Normal Nov III-Des I 54

24 Klaten Selatan 868 Bawah Normal Nov III-Des I 868

25 Klaten Tengah 342 Bawah Normal Nov III-Des I 342

26 Klaten Utara 392 Bawah Normal Nov III-Des I 392

Jumlah 33.326 33.326

3.1.2. Sumberdaya Lahan dan Air

Batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air, vegetasi, lanscape, dan komponen-komponen iklim mikro suatu ekosistem. Dari sudut pandang sumberdaya, masalah lahan terkait dengan konfigurasi daratan, persebaran penduduk, dinamika sosial budaya mayarakat, serta kebijakan pemerintah. Lahan merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan usahatani, bukan saja lahan merupakan media tumbuh bagi tanaman, namun kepemilikan lahan mempunyai arti sosial bagi pemiliknya (Sumaryanto dkk., 2002; Saptana dkk., 2003).

Luas wilayah Kabupaten Klaten seluas 65.556 Ha terdiri atas lahan sawah 33.220 Ha (50,67 %), bukan sawah 6.581 Ha (10,04 %), dan lahan bukan pertanian

(9)

9

25.755 Ha (39.29 %). Rata-rata luas lahan sawah pada periode (2009-2013) sebesar 33.344 Ha, namun perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten mengalami penurunan sebesar -0.14 %/tahun, sehingga pada tahun 2014 tinggal 33.326 Ha. Informasi secara terperinci tentang perkembangan luas wilayah Kabupaten Klaten menurut jenis lahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Luas Wilayah menurut Jenis Lahan di Kabupaten Klaten, Tahun 2009-2013

Tahun

Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah Lahan Bukan Pertanian Total Lahan 2009 33412 6384 25760 65556 2010 33398 6383 25775 65556 2011 33374 6384 25798 65556 2012 33314 6396 25856 65556 2013 33220 6581 25755 65556 Rata-rata 33343.6 6425.6 25788.8 65556 Trend (%/tahun) -0.14 0.77 0.00 0.00

Sumber: BPS Kabupaten Klaten, 2013.

Distribusi luas wilayah Kabupaten Klaten menurut kecamatan dapat disimak pada Tabel 3 berikut. Luas wilayah terbesar dijumpai di Kecamatan Kemalang dengan luas wilayah mencapai 5.166 Ha yang sebagian merupakan lahan kering dataran tinggi yang berada di lereng Merapi sebelah Timur dan Selatan. Luas wilayah terkecil dijumpai di Kecamatan Klaten Tengah hanya seluas 890 Ha yang merupakan wilayah perkotaan. Jika diperhatikan dari luas lahan sawah saja, maka kecamatan yang memiliki lahan sawah terluas dijumpai di Kecamatan Cawas dengan luas mencapai 2.318 Ha, sedangkan terkecil ditemukan di Kecamatan Kemalang hanya seluas 54 Ha. Daerah persawahan tersebar di daerah selatan dari Kecamatan Prambanan, Ganti Warno, Wedi hingga Cawas, sedangkan di daerah utara dari barat ke timur terhampar dari Kecamatan Karanganon, Polanharjo, Delanggu, Juwiring dan Wonosari.

(10)

10

Tabel 3. Luas Wilayah menurut Kecamatan dan Jenis Lahan di Kabupaten Klaten, Tahun 2013

No Kecamatan Sawah Lahan Lahan Bukan Sawah Lahan Bukan Pertanian Total Lahan

1. Prambanan 1.251 13 1.179 2.443 2. Gantiwarno 1.625 155 784 2.564 3. Wedi 1.555 18 865 2.438 4. Bayat 815 785 2.343 3.943 5. Cawas 2.318 46 1.083 3.447 6. Trucuk 1.911 2 1.468 3.381 7. Kalikotes 753 8 537 3.300 8. Kebonarum 722 2 243 966 9. Jogonalan 1.577 1 1.092 2.670 10. Manisrenggo 1.510 139 1.047 2.696 11. Karangnonko 764 851 1.059 2.674 12. Ngawen 1.064 8 643 1.697 13. Ceper 1.556 7 882 2.445 14. Pedan 875 445 597 1.917 15. Karangdowo 2.048 69 806 2.923 16. Juwiring 2.005 12 962 2.979 17. Winosari 2.224 14 876 3.114 18. Delanggu 1.313 1 564 1.878 19. Polanharjo 1.824 92 468 2.384 20. Karanganom 1.689 11 706 2.406 21. Tulung 1.739 467 994 3.200 22. Jatinom 607 1.543 1.403 3.553 23. Kemalang 54 1.848 3.264 5.166 24. Klate Selatan 820 3 620 1.444 25. Klaten Tengah 300 1 591 890 26. Klaten Utara 319 40 679 1.038 Total 33.220 6.581 25.755 65.556

Sumber: BPS Kabupaten Klaten, 2013.

Luas lahan sawah di Kabupaten Klaten pada tahun 2013 seluas 33.220 Ha terdiri atas lahan sawah irigasi teknis seluas 19.097 Ha (57,49 %), sawah setengah teknis seluas 10.430 Ha (31,40 %), sawah irigasi sederhana seluas 2.038 Ha (6,13 %), dan sawah tadah hujan seluas 1.665 Ha (5,01 %). Rata-rata luas lahan sawah pada periode (2009-2013) sebesar 33344 Ha, namun perkembangan luas lahan sawah di Kabupaten Klaten mengalami penurunan sebesar -0.14 %/tahun. Informasi secara terperinci tentang perkembangan luas lahan sawah Kabupaten Klaten menurut tipe irigasi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

(11)

11

Tabel 4. Perkembangan Luas Lahan Sawah menurut Jenis Irigasi di Kabupaten Klaten, Tahun 2009-2013

Tahun Teknis ½ Teknis Sederhana Tadah Hujan Jumlah

2009 19193 10099 2657 1463 33412 2010 19859 9877 2441 1221 33398 2011 19210 10439 2068 1657 33374 2012 19119 10443 2038 1714 33314 2013 19097 10430 2038 1665 33220 Rata-rata 19296 10258 2248 1544 33344 Trend (%/tahun) -0.10 0.85 -6.22 4.94 -0.14

Distribusi luas lahan sawah menurut tipe irigasi di Kabupaten Klaten menurut kecamatan dapat disimak pada Tabel 5 berikut. Luas lahan sawah sawah terluas dijumpai di Kecamatan Cawas dengan luas mencapai 2.318 Ha, sedangkan terkecil ditemukan di Kecamatan Kemalang hanya seluas 54 Ha. Jika hanya ditinjau dari luas lahan sawah irigasi teknis, maka luas lahan sawah irigasi teknis terluas dijumpai di Kecamatan Wonosari seluas 1998 Ha, sedangkan terkecil ditemukan di Kecamatan Jatinom hanya seluas 41 Ha.

Tabel 5. Luas Sawah menurut Kecamatan dan Jenis Pengairan di Kabupaten Klaten, Tahun 2013

No Kecamatan Teknis ½ teknis sederhana Tadah hujan Jumlah

1. Prambanan 973 177 - 101 1.251 2. Gantiwarno 633 394 456 142 1.625 3. Wedi 700 705 90 60 1.555 4. Bayat 129 38 215 433 815 5. Cawas 1.123 860 - 335 2.318 6. Trucuk 968 732 - 211 1.911 7. Kalikotes 117 559 67 10 753 8. Kebonarum 722 - - - 722 9. Jogonalan 704 765 108 - 1.577 10. Manisrenggo 158 652 567 133 1.510 11. Karangnonko 123 411 230 - 764 12. Ngawen 448 595 3 - 1.046 13. Ceper 1.556 - - - 1.556 14. Pedan 531 324 20 - 875 15. Karangdowo 1.310 646 18 74 2.048 16. Juwiring 1.366 509 - 130 2.005

(12)

12 17. Winosari 1.998 192 - 34 2.224 18. Delanggu 1.313 - - - 1.313 19. Polanharjo 1.438 381 5 - 1.824 20. Karanganom 1.689 - - - 1.689 21. Tulung 507 1.001 231 - 1.739 22. Jatinom 41 563 1 2 607 23. Kemalang 54 - - - 54 24. Klaten Selatan 93 710 17 - 820 25. Klaten Tengah 84 216 - - 300 26. Klaten Utara 319 - - - 319 Total 19.097 10.430 2.028 1.665 33.220

Sumber: BPS Kabupaten Klaten, 2013.

Permasalahan utama lahan pertanian di Kabupaten Klaten berkaitan dengan masalah penguasaan lahan yang kecil, degradasi sumberdaya lahan, struktur penguasaan yang tidak merata, perpecahan (division) dan perpencaran (fragmentation) lahan, konversi lahan, dan tidak terkonsolidasi denga baik. Selama tahun 2013, terjadi perubahan lahan dari sawah dan tegalan menjadi bangunan untuk perumahan, industri, perusahaan dan jasa seluas 79.77 Ha, atau naik sebesar 28,68 % dibanding konversi yang terjadi pada tahun 2012 (BPS Kabupaten Klaten, 2014).

Berdasarkan pada sifat tanah dan tipe iklim terdapat enam jenis agroekosistem sebagai basis pengembangan pola pertanaman dalam setahun (annual cropping pattern) yang dapat dilakukan di Kabupaten Klaten sebagai berikut:

(1) Lahan sawah irigasi dengan ketersediaan air irigasi 10-12 bulan dapat dikembangkan pola tanam: (a) padi sawah-padi sawah-padi sawah. Pola ini dianjurkan pada kondisi kesulitan drainase, dengan kewajiban menggunakan VUTW dan pengembalian bahan organik tanaman atau pemakaian kompos dan pergiliran varietas; (b) padi sawah-padi sawah-palawija/sayuran.

(2) Lahan sawah irigasi dengan jaminan ketersediaan air irigasi 7-9 bulan dapat dikembangkan pola tanam : (a) Padi sawah-padi sawah walik jerami-palawija/sayuran; (b) padi sawah-palawija/sayuran-palawija/sayuran.

(3) Lahan sawah irigasi dengan ketersediaan air irigasi 5-6 bulan terutama pada lahan sawah irigasi setengah teknis dan irigasi sedehana dapat dikembangkan

(13)

13

pola tanam: (a) Padi gogo rancah-padi sawah walik jerami-palawija; (b) Palawija-padi sawah-palawija/ sayuran; (c) Padi sawah-palawija/sayuran.

(4) Lahan sawah tadah hujan dapat dikembangkan pola tanam : (a) Padi gogo rancah-padi sawah-kacang tunggak; (b) Padi sawah-palawija/sayuran-bera; (c) Padi gogo rancah-palawija-palawija/sayuran; dan (c) Budidaya usahatani dengan sistem surjan.

3.1.3. Sumberdaya Manusia

Kualitas sumberdaya manusia (SDM) pertanian di Kabupaten Klaten tergolong moderat, yaitu antara lulus SMP hingga lulus SLTA dan bahkan beberapa petani lulusan sarjana, namun secara umum mengalami kemunduran dalam budaya bertaninya. Diperlukan kerjasama yang harmonis antara pemerintah daerah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perguruan tinggi dan swasta dalam menciptakan SDM yang berkualitas berupa pelatihan dan penyuluhan pertanian, mulai dari hulu hingga hilir. Revitalisasi SDM pertanian di Kabupaten Klaten dapat difokuskan pada pemantapan sistem penyuluhan pertanian dan pemantapan sistem pelatihan pertanian.

Dalam UU No. 16/2006 Pasal 4, penyuluhan pertanian berfungsi menumbuhkan kemandirian petani dan ini sejalan dengan salah satu target Kementerian pertanian berupa upaya khusus swasembada pangan teruatama komoditas padi, jagung dan kedelai (PJK). PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (produk turunan UU No. 32/2004), pada Bab V tentang besaran organisasi dan perumpunan perangkat daerah yang membatasi jumlah instansi/dinas di daerah (pasal 20-21). Hal ini tidak sinkron dengan UU No. 16/2006 pasal 8 mengenai kelembagaan penyuluhan. PP No. 41/2007 menjadi kendala untuk terbentuknya kelembagaan penyuluhan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan. Hingga kini kelembagaan penyuluhan dalam bentuk KJF (Koordinator Jabtan Fungsional) dan masih dibawah Dinas Pertanian Pangan dan Hortikultura. Visi dan misi pimpinan daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) terhadap pembangunan pertanian dan penyuluhan pertanian sangat mempengaruhi dan menentukan dalam membuat kebijakan kelembagaan penyuluhan di tingkat

(14)

14

provinsi dan kabupaten/kota. Ditingkat provinsi Jawa Tengah telah ada Bakorluh, namun di Kabupaten Klaten belum ada Bapeluh.

Kelembagaan penyuluhan pertanian dinilai penting dalam mengakselerasikan kegiatan pembangunan pertanian, karena dengan kejelasan bentuk institusi, seperti struktur kewenangan dalam sistem pemerintah daerah, SDM yang sesuai dengan kompetensi, struktur organisasi yang menopang operasional kewenangan, sistem pendanaan, dan sistem akuntabilitas), dapat dilakukan pembinaan dan pengawasan kepada penyuluh baik PNS, THL maupun penyuluh swadaya secara optimal. Penyuluh pertanian dapat melaksanakan pendampingan dengan baik, sehingga diharapkan dapat berdampak terhadap peningkatan kemampuan petani baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerial dalam usahatani terutama komoditas padi, jagung dan kedelai.

Kelembagaan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang didasarkan pada UU No 16 tahun 2006 dibentuk dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Dalam implementasinya di beberapa provinsi maupun kabupaten tidak semua diatur oleh peraturan daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Klaten.

Pada Pasal 18 UU No. 16/2006 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penyuluhan pemerintah diatur dengan peraturan presiden.” Perpres mengatur hal yang lebih spesifik dan lebih operasional, dibanding dengan PP yang mencakup pengaturan lebih luas. Kelengkapan peraturan yang berupa Perpres ini sampai saat ini belum diterbitkan. Dengan adanya otonomi daerah, pembentukan kelembagaan penyuluhan disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diatur dengan PP 41/2007.

Untuk melihat keterkaitan antara UU No. 16/2006 dengan PP No. 38/2007 dalam konteks kegiatan penyuluhan yang mendukung swasembada pangan perlu mencermati Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis (Renstra) dinas/institusi terkait. Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam RPJMD dan Renstra. Provinsi Jawa Tengah termasuk provinsi pendukung utama bagi tercapainya swasembada pangan dalam RPJMD.

Dalam implementasi di lapangan program yang mendukung ketahanan pangan dan swasembada pangan, keduanya dilakukan bersamaan, termasuk program/kegiatan pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pembedanya adalah

(15)

15

besaran dan sumber anggaran yang dialokasikan. Program peningkatan ketahanan pangan (yang merupakan unsur wajib) didukung dana APBD yang relatif besar, sedangkan program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mendukung swasembada pangan didanai APBN, melalui dana dekonsentrasi (provinsi) dan tugas pembantuan (kabupaten).

Kebijakan operasional penyuluhan diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana di lapangan, di Kabupaten Klaten dibawah koordinasi KJF. Kewenangan penyuluh pertanian lapangan hendaknya jelas batas-batasnya, baik batas materi teknis, maupun batas operasional fisik. Guna mencermati hal ini, seyogyanya dilakukan pemantauan terhadap proses penyusunan programa penyuluhan sesuai kebutuhan petani, dan pelaksanaannya mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional.

Kemampuan penyuluh pertanian saat ini kurang mendapatkan perhatian, pelatihan-pelatihan terkait dengan tupoksinya dalam mensukseskan program-pembangunan pertanian dirasakan penyuluh sangat kurang. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya standar kompetensi penyuluh, dan juga tidak ada pelatihan kearah penjenjangan fungsional. Tugas penyuluh kurang fokus, banyak penyuluh yang alih tugas ke jabatan lain, sehingga berakibat pada penurunan jumlah dan kinerja kegiatan penyuluh pertanian. Eksistensi dan keberadaan penyuluh pertanian harus mendapatkan perhatian pemerintah daerah, dengan mengembangkan pola pengembangan karir yang jelas, kenaikan jabatan fungsional dan pangkat berjalan lancar, dan kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan perlu ditingkatkan.

Penyuluh pertanian yang ada sekarang pada umumnya belum menyadari terjadinya perubahan dari petani dengan budaya petani produsen menjadi petani dengan budaya bisnis, akibatnya misi penyuluhan pertanian untuk menjadikan petani sebagai aktor dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Dari aspek pembinaan pada kelompok tani berjalan sangat lambat. Metode penyuluhan konvensional masih sangat melekat dalam diri penyuluh pertanian yaitu bagaimana melakukan trasfer teknologi dan belum sampai bagimana memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi petani dalam mengambil keputusan terkait usahataninya. Nampak peningkatan keterampilan teknis menonjol dan kurang pada aspek kapabilitas manajerial petani.

(16)

16

Pola integrasi antara program pembangunan pertanian antar unit eselon satu diakui dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyuluhan pertanian. Pengintegrasian antara Program PTT, SL-PTT, dan GP-PTT antara Badan Litbang Pertanian yang merancang teknologinya, Program SL-PTT yang merupakan program Ditjen Tanaman Pangan dan dukungan penyuluh pertanian yang telah dilatih SL-PTT yang merupakan pendidikan non formal merupakan tupoksi dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian meningkatkan akselerasi pencapaian target program-program pembangunan pertanian. Hal yang masih kurang optimal adalah pengembangan SL-PTT dan GP-PTT masih terfokus pada daerah sentra produksi lama dan bukan pada daerah pengembangan baru, sehingga dampak terhadap peningkatan produksi pangan nasional masih terbatas.

Dinamika pola pikir petani dan pergeseran orientasi kegiatan pertanian yang semakin bergeser ke arah kegiatan pertanian terpadu (dari hulu ke hilir) mulai dari bertanam sampai ke pemasaran produk olahan harus disikapi dengan mengevolusikan posisi tenaga penyuluh dari posisi agen perubahan ke posisi pendamping petani. Baik UU No.16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, maupun kondisi operasional di lapangan belum menunjukkan arah perubahan status dan posisi penyuluh sebagai pendamping petani.

Instrumen UU No. 16/2006 dan beberapa produk peraturan turunannya (PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub, dan Perbup), diperkirakan dapat mendukung pencapaian swasembada beras di tahun 2014 dengan catatan apabila program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat dijalankan secara sinergis dan terintegrasi lintas sektoral (dengan dukungan anggaran yang memadai). Dalam hal ini termasuk kegiatan penyuluhan dan pendampingan pelaksanaan dan implementasi program-program tersebut. Produksi padi yang dihasilkan petani peserta program (SL-PTT, GP-PTT, kaji terap, denfarm) meningkat sekitar 29-32,7 % dibandingkan petani non peserta yang tidak mengikuti teknologi anjuran yang diterapkan petani peserta program dan tanpa pendampingan/pengawalan penyuluh pertanian.

Rekrutmen penyuluh (terutama PNS) relatif lambat, padahal banyak penyuluh yang berusia mendekati pensiun dan ini berdampak negatif terhadap keberadaan penyuluh PNS di masa mendatang. Demikian juga dengan diklat penyuluh yang

(17)

17

relatif lambat. Frekuensi penyuluh mengikuti diklat dapat dikatakan sangat jarang dalam lima tahun terakhir. Padahal untuk dapat melakukan perannya sebagai fasilitator juga sebagai pendidik, penyuluh dituntut mengikuti perkembangan yang sangat dinamis dalam masyarakat, juga informasi global.

Materi teknis penyuluhan yang merupakan teknologi yang telah direkomen-dasikan, sebagian besar (70 persen) berupa teknik budidaya (hulu). Proporsi materi penyuluhan tentang penanganan pascapanen, pengolahan dan pemasaran (hilir) hanya sekitar 30 persen, termasuk di dalamnya nilai-nilai kewirausahaan untuk peningkatan nilai tambah pengelolaan sumberdaya keluarga petani di pedesaan.

PP No. 43/2009 tentang pembiayaan memberikan insentif bagi Pemerintah Daerah berupa aliran dana dari Pusat ke Daerah melalui dana APBN. Demikian juga Permentan No. 51/Permentan/ OT.140/12/2009 mendukung adanya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian. Di Kabupaten Klaten dukungan sarana dan prasarana masih terfokus pada 5 (lima) UPTD, belum semua Balai Penyuluhan yang ada di kecamatan mendapat fasilitas yang memadai, yaitu masih terbatas di UPTD Delanggu, UPTD Pedan, UPTD Jogonalan, UPTD Ngawen, dan UPTD Jatinom.

Permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian terkait program upaya khusus dalam rangka swasembada pangan nasional adalah : ketersediaan benih varietas unggul, ketersediaan pupuk, infrastruktur pengairan, ketersediaan alsintan dan ketersediaan penyuluhan. Secara umum permasalahan dari aspek kelembagaan pertanian di Klaten adalah : (1) Kurangnya jumlah SDM penyuluh, mantri tani, dan POPT; (2) Pentingnya peningkatan pengetahuan bagi tenaga penyuluh pertanian, mantri tani dan POPT; (3) Kurangnya sarana dan prasarana/alat penyebaran materi penyuluhan pertanian; dan (4) Pentingnya peningkatan keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial penyuluh dalam memberikan penyuluhan teknis pertanian dan pilihan-pilihan keputusan terbaik terkait usahatani padi, jagung dan kedelai.

Secara empiris permasalahan penyuluh pertanian di Kabupaten Klaten : (1) Ketersediaan tenaga penyuluh masih kurang, dimana jumlah PPL 207 orang terdiri PNS 80 orang dan THL 127 orang, sedangkan kebutuhan ideal 295 orang, sehingga ada kekurangan sebanyak 88 tenaga penyuluh; (2) Jumlah mantri tani hanya 15 orang dan tinggal 9, karena 6 diantaranya menjelang pensiun, idealnya dalam 1 kecamatan terdapat 1 petugas mantri tani, (3) Tenaga POPT juga mengalami

(18)

18

kekurangan, idealnya ada 1 tenaga POPT per kecamatan; (4) Untuk mengatasi kekurangan tenaga PPL, mantri tani dan POPT dilakukan kerjasama antara Bupati Klaten dengan Kodim melalui keterlibatan Brigader Babinsa dalam pelaksanaan program upsus padi, jagung dan kedelai.

Kelemahan sistem penyuluhan dapat ditelusuri antara lain mulai dari aspek struktur kelembagaan, materi dan program penyuluhan, sistem penunjang, hingga kualifikasi dan penyebaran SDM penyuluh. Saat ini kuantitas penyuluh mulai berkurang karena sebagian sudah memasuki masa purna tugas (pensiun) sementara pengangkatan penyuluh PNS tetap terbatas bahkan mengalami moratorium selama 5 tahun, status penyuluh THL masih belum jelas apakah kontrak diperpanjang atau tidak, dan eksistensi penyuluh swadaya juga masih belum optimal. Honor penyuluh THL 10 bulan ditanggung Kementerian Pertanian dan 2 bulan ditanggung Pemda. Perbaikan kualitas penyuluh dapat dilakukan melalui penerapan prinsip efisiensi dalam manajemen administrasi dan keuangan, produksi dan distribusi, serta komunikasi dan informasi agar mampu melancarkan pelayanan kepada petani secara berkesinambungan.

Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian tidak semata-mata dapat ditempuh hanya melalui perbaikan kelembagaan internal penyuluhan dengan cara pembentukan Bakorluh dan Bapeluh semata, melainkan juga harus ada revitalisasi SDM penyuluh dan materi penyuluhan pertanian. Revitalisasi SDM dilakukan baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerialnya mengikuti sub-sistem agribisnis. Revitalisasi materi penyuluhan terkait dengan inovasi teknologi, pembentukan dan penguatan kelembagaan, serta keluasan cakupan yang mengacu pada sub-sistem agribisnis secara terpadu.

Revitalisasi sistem pelatihan pertanian ditujukan guna menghasilkan SDM pertanian yang kompeten dalam pengembangan pertanian secara lebih baik (better farming), lebih menguntungkan (better business), lebih sejahtera (better living), dan lebih sehat (better environment). Pola SL-PTT dapat terus dilanjutkan dengan fokus pada daerah-daerah sentra pertumbuhan produksi baru, yaitu pada lokasi-lokasi yang memiliki titik ungkit peningkatan produksi dan produktivitas yang tinggi.

(19)

19

3.1.4. Alat dan Mesin Pertanian

Terdapat tiga sumber pertumbuhan produktitvitas pertanian, yaitu (Coelli et al, 1998): (1) Perubahan teknologi ke arah penggunaan teknologi yang lebih maju; (2) Perbaikan atau peningkatan efisiensi teknis dengan memberikan input sesuai kebutuhan tanaman dan atau ternak; dan (3) Peningkatan skala usaha sehingga mencapai skala yang ekonomis. Perubahan teknologi merupakan faktor pertama dan utama dalam meningkatkan produktivitas pertanian khususnya komoditas pangan.

Dalam penerapan teknologi pertanian harus memperhatikan beberapa hal berikut (Ellis, 1988): (1) Apakah paket teknologi baru tersebut dapat memecahkan permasalahan pokok yang dihadapi oleh petani; (2) Apakah pengguna teknologi mengetahui tentang teknik,cara, dan bahan yang digunakan; (3) Apakah petani mengetahui makna dan logika yangterkandung dalam paket teknologi tersebut; dan (4) Apakah paket teknologi tersebut mampu beradaptasi terhadap permasalahan alamiah dan sosial ekonomiyang dihadapi oleh petani pengguna.

Analaisis ketersediaan dan kebutuhan Alat dan Mesin (Alsin) UPJA terutama untuk Traktor Roda 2 (TR 2) dan Combine Harvester (CB) belum semua berhasil diidentifikasi dengan baik. Beberapa kecamatan yang berhasil diidentifikasi pada tahap awal terbatas TR 2 dan CB di beberapa kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6. Ketersediaan dan Kebutuhan Traktor Roda 2 di Kabupaten Klaten menurut Kecamatan, Tahun 2014-2015

Kecamatan Luas baku

(ha) Luas tanam existing (ha) IP Existing Kebutuhan TR2 (unit) Ketersediaa n TR2 (unit) Kekurangan TR2 (unit) Prambanan 1264.3 1384.38 1.09 152 83 69 Jogonalan 1592.6 1650.65 1.04 181 106 75 Manisrenggo 1515.5 2216.21 1.46 244 102 142 Ceper 1581.6 1972.97 1.25 217 93 124 Pedan 887.9 1305.30 1.47 143 90 53 Karanganom 1696.7 1768.77 1.04 194 74 120 Tulung 1745.7 1471.47 0.84 162 58 104 Jatinom 609.6 432.43 0.71 48 19 29 Klaten Utara 392 308.57 0.79 34 19 15

(20)

20 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Klaten (2015)

Tabel 7. Kebutuhan Power Thresher/Combine Harvester di Kabupaten Klaten menurut Kecamatan, Tahun 2014-2015

Kecamatan Luas baku

(ha) Luas tanam existing (ha)

IP

Existing Tanam Luas Dg IP 1,8 Kebutuhan Power Thresher (unit) Kebutuhan Combine Harvester (unit) Prambanan 1264.3 1384.38 1.09 2275.74 175 14 Jogonalan 1592.6 1650.65 1.04 2886.68 221 17 Manisrenggo 1515.5 2216.21 1.46 2727.90 210 16 Ceper 1581.6 1972.97 1.25 2846.88 219 17 Pedan 887.9 1305.30 1.47 1598.22 123 10 Karanganom 1696.7 1768.77 1.04 3054.06 235 18 Tulung 1745.7 1471.47 0.84 3142.26 242 19 Jatinom 609.6 432.43 0.71 1097.28 84 7 Klaten Utara 392 308.57 0.79 705.60 54 4

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Klaten (2015)

3.2. Kabupaten Sukoharjo

3.2.1. Iklim

Kabupaten Sukoharjo terletak di Provinsi Jawa Tengah bagian Selatan Pulau Jawa, perbatasan sebelah Timur adalah Kabupaten Klaten, sebelah selatan Kabupaten Wonogori, sebelah Barat Daerah Istimewa Yogkarta dan sebelah utara adalah Karang Anyar dan Boyolali. Keadaan iklim yang dicirikan oleh jumlah curah hujan di kabupaten Sukoharjo, secara rinci dapat dilihat seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Keadaan curah hujan di Kabupaten Sukoharjo, 2007-2013

Kecamatan Bulan (mm)

Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des. Total 010. W e r u 322 274 90 377 161 0 19 0 0 22 224 306 1795 020. B u l u ts ts ts ts ts ts ts ts ts ts ts ts ts 030. Tawangsari 247 252 171 404 231 185 59 0 0 42 157 285 2033 040. Sukoharjo 461 381 229 236 179 107 56 0 0 131 145 261 2186 050. Nguter 274 318 236 454 181 201 131 0 0 196 217 274 2482 060. Bendosari 341 337 178 374 168 219 92 0 0 112 190 199 2210 070. Polokarto 134 232 193 192 173 113 76 0 0 59 159 247 1578

(21)

21 080. Mojolaban 156 167 121 404 209 141 169 0 0 273 165 236 2041 090. Grogol 263 194 175 239 133 222 40 4 0 205 81 333 1889 100. B a k i 286 181 237 233 41 144 70 2 5 83 173 263 1718 110. G a t a k 153 220 112 232 0 103 79 2 0 55 97 133 1186 120. Kartasura 169 231 206 298 127 139 36 0 0 88 110 238 1642 Rata-Rata Kab 255 253 177 313 146 143 75 1 0 115 156 252 1887 2012 320 302 169 187 94 15 1 0 0 42 202 312 1644 2011 326 217 320 197 193 11 31 0 2 97 153 243 1790 2010 307 258 339 203 239 88 43 64 233 248 271 331 2624 2009 490 312 241 162 183 48 1 0 0 103 151 132 1823 2008 169 294 471 146 59 7 0 4 2 239 303 188 1882 2007 152 355 274 369 57 29 16 1 0 100 159 591 2103 Sumber : Statistik Kabupaten Sukoharjo, 2014

Dari data curah hujan tersebut dapat dijelaskan bahwa iklim di Kabupaten Sukoharjo termasuk dalam kategori sedang. Total curah hujan pada tahun 2013 mencapai 1.887 mm dan penyebaran curah hujan antara kecamatan relative tidak merata, kisarannya adalah antara 1.186 – 2.400 mm per tahun. Curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Gatak yaitu 1.186 mm per tahun dan curah hujan tertinggi adalah terjadi di Kecamatan Nguter yaitu sebanyak 2.482 mm per tahun.

Berdasarkan data sebaran curah hujan menurut bulan sepanjang tahun, maka di Kabupaten Sukaharjo sangat memungkinan pengembangan pola tanam yang beragam, dan pada wilayah yang jaringan irigasinya baik memungkinan intensitas tanam padi dapat ditingkatkan, hal ini disebabkan karena : (1) Jumlah curah hujan tergolong sedang hingga tinggi; (2) sebaran curah hujan menurut bulan relatif merata; dan (3) Jumlah bulan keringnya sangat sedikit yaitu hanya pada bulan Agustus dan September.

Berdasarkan sebaran curah hujan bulanan, sebenarnya pola tanam padi pada MT-I yang dapat dimulai dari bulan oktober. Akhir-akhir ini agak bergeser ke bulan November terutama terjadi pada tahun 2011, 2012 dan sedikit 2013. Oleh karena itu, menurut aparat Dinas Pertanian, sebenarnya petani tidak berani mulai menanam padi jika curah hujan belum stabil yaitu jika dalam satu bulan sudah mencapai lebih dari 150 mm/bulan.

(22)

22

3.2.2. Sumberdaya Lahan dan Air

Potensi lahan di Sukoharjo cukup luas, secara keseluruhan mencapai sekitar 46.500 hektar yang sebagian besar terdiri dari lahan pertanian sawah, pertanian bukan sawah dan lahan non pertanian. Secara rinci luas potensi luas lahan di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada Tabel 10.

Tadel 10. Potensi luas lahan di kabupaten Sukoharjo, 2014

No Kecamatan Sawah Non Sawah NonPert. Total

1 Weru 1,989 634 1,395 4,018 2 Bulu 1,123 1,647 1,616 4,386 3 Tawangsari 1,674 757 1,567 3,998 4 Sukoharjo 2,363 101 1,994 4,458 5 Nguter 2,569 875 2,044 5,488 6 Bendosari 2,569 890 1,840 5,299 7 Polokarto 2,453 1,749 2,016 6,218 8 Mojolaban 2,169 13 1,372 3,554 9 Grogol 934 67 1,999 3,000 10 Baki 1,249 0 948 2,197 11 Gatak 1,251 4 691 1,946 12 Kartasura 471 3 1,449 1,923 Jumlah 20,814 6,740 18,931 46,485

Sumber : Dinas Pertanian Sukoharjo, 2015

Dari sekitar 46.500 hektar terdapat 21 Ha (44,8 %) adalah merupakan lahan sawah, 6.740 Ha (14,5%) adalah lahan pertanian non sawah, dan 19 ribu Ha (40,7%) adalah pekarangan dan penggunaan lainnya. Dengan demikian potensi pengembangan pertanian di kabupaten Sukoharjo adalah pertanian lahan sawah baik dengan padi maupun palawija. Sedangkan di lahan sawah sendiri, potensi pengembangan pertanian lebih besar pada lahan irigasi teknis. Proporsi luas lahan sawah dapat di lihat pada tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Proporsi luas lahan sawah menurut jenis irigasi, di Sukoharjo, 2014

No Kecamatan Pertanian Sawah (ha)

Teknis 1/2 Teknis Sederhana Tadah hujan Jumlah

1 Weru 1,082 20 511 376 1,989

2 Bulu 587 125 - 411 1,123

(23)

23 4 Sukoharjo 2,363 - - - 2,363 5 Nguter 1,350 26 688 505 2,569 6 Bendosari 1,234 936 - 399 2,569 7 Polokarto 1,116 788 258 291 2,453 8 Mojolaban 2,169 - - - 2,169 9 Grogol 395 266 273 - 934 10 Baki 1,249 - - - 1,249 11 Gatak 1,251 - - - 1,251 12 Kartasura 471 - - - 471 Jumlah 14,751 2,161 1,895 2,007 20,814

Sumber : Dinas Pertanian Sukoharjo, 2015

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari sekitar 21 ribu hektar lahan sawah ada 14,8 ribu hektar merupakan sawah irigasi teknis, dan ada 2.161 hektar lahan sawah setengah teknis, 1.895 hektar sawah irigasi sederhana dan 2.007 hektar sawah tadah hujan. Kondisi intensitas pertanaman (IP) pada lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Sukoharjo sudah berada pada kisaran 230-240% yang berarti tergolong tinggi. Dengan demikian potensi pengembangan IP pada lahan pertanian sawah adalah pada lahan irgasi teknis, setengah teknis, sederhana dan lahan tadah hujan. Sedangkan potensi pengembangan pertanian pada lahan kering khususnya dapat digunakan untuk komoditas jagung dan kedelai adalah tertera pada Tabel 12.

Tabel 12. Proporsi potensi lahan non Sawah (lahan kering) di Sukoharjo, 2014

No Kecamatan Pertanian Non Sawah (ha)

Tegal Kolam Negara Hutan Rakyat Hutan Perkebunan Jumlah

1 Weru 334 3 - 297 - 634 2 Bulu 681 1 378 587 - 1,647 3 Tawangsari 505 - 12 240 - 757 4 Sukoharjo 75 26 - - - 101 5 Nguter 751 3 - 121 - 875 6 Bendosari 797 1 - 92 - 890 7 Polokarto 1,039 2 - - 708 1,749 8 Mojolaban 11 2 - - - 13 9 Grogol 61 6 - - - 67 10 Baki - - - - - 0 11 Gatak - 4 - - - 4 12 Kartasura - 3 - - - 3 Jumlah 4,254 51 390 1,337 708 6,740

(24)

24

Potensi pertanian pada lahan kering adalah pada lahan tegalan, kolam dan perkebunan. Luas tegalan di Sukoharjo mencapai 4.254 hektar, kolam 51 hektar dan perkebunan 708 hektar. Untuk komoditas pertanian yang dikembangkan di lahan tegalan pada umumnya tanaman campuran antar tanaman semusim (jaging, kedelai, kacang tanah, ubikayu, ubijalar) dengan tanaman tahunan, seperti kelapa, nangka, bamboo, dan lain-lain. Sementara untuk potensi air, hanya dapat diterangkan mengenai aliran sungai dan sumber pasokan air dari Daerah Aliran Sungai atau Catchment Area. Kabupaten Sukoharjo terletak dilembah dua Gunung yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi, namun aliran sungai yang melintas ke Sukoharjo lebih banyak dari Gungung Lawu.

3.2.3. Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian

Keberhasilan sektor pertanian sangat tergantung kepada siapa pengelolanya, siapa yang mengkoordinasikan, siapa yang memberikan motivasi, seperti apa lembaganya, bagaimana rasio pengelola dibandingkan dengan luas wilayah. Sumberdaya pertanian terdiri atas rumah tangga petani, gapoktan dan Penyuluh Pertanian. Semua ini akan terlihat seperti pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Komposisi luas wilayah/jumlah desa dengan SDM Pertanian, Sukoharjo, Tahun 2013

No SDM Pertanian Jumlah Rasio per desa

1 Jumlah Desa 168 1.00

2 Rumah Tangga Petani 41,526 247.18

a. Tanaman Pangan 40,034 238.30 b. Hortikultura 375 2.23 c. Perkebunan - - d. Peternakan 1,117 6.65 3 Peyuluh pertanian 239 1.42 a. PNS 67 0.40 b. THL 60 0.36 c. Swadaya 112 0.67 4 Gapoktan 169 1.01

Sumber : Statistik SDM dan Kelembagaan Petani, 2013

Dengan memperhatikan tabel tersebut tampak bahwa Kabupaten Sukoharjo dapat dikatakan sebagai suatu wilayah yang basis ekonominya adalah pertanian,

(25)

25

dimana sumber pendapatan utama masyarakatnya adalah dari pertanian tanaman dan peternakan. Dari total rumah tangga pertanian sebanyak 41.526 rumah tangga ternyata hampir 96% adalah rumah tangga pertaniaan tanaman pangan. Urutan kedua adalah jumlah rumahtangga peternakan yaitu sejumlah 1117 rumah tangga. Dengan jumlah desa 168 maka rata-rata rumah tangga pertanian tanaman pangan adalah 238.80 rumah tangga/desa. Sedangkan sumber pendapatan kedua di sektor pertanai di Sukoharjo adalah dari peternakan mencapai 1117 rumah tangga atau 6,65 rumah tangga per desa.

Untuk menggerakkan petani dalam berusahatani dan beternak, terutama dalam penyampaian inovasi pertanian kepada rumah tangga pertanian digerakan oleh sekitar 239 penyuluh pertanian (agricultural extension worker). Dari sujumlah penyuluh tersebut terdiri dari 67 penyuluh PNS, 60 penyuluh THL dan 112 penyuluh swadaya masyarakat (tokoh). Dalam konsep penyuluhan pertanian, idealnya 1 desa adalah 1 penyuluh pertanian. Di Sukoharjo dari total penyuluh sudah melebihi 1 penyuluh per desa, namun disana terdapat penyluh THL yang masih honorer dan swadaya. Permasalahan penyuluh THL adalah tidak dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan seterusnya menjadi penyuluh, manakala ada kesempatan lain yang lebih menguntungkan, maka penyuluh tersebut dipastikan akan pindah profesi. Begitu juga penyuluh swadaya, jika ikatan diantara mereka tidak diikat dengan kepentingan bersama, maka eksistensi penyuluh swadaya pun tidak akan terjamin secara berkelanjutan. Sedangkan mengikatkan kepentingan bersama sangat terkait erat dengan aktivitas dan kreativitas dari penyuluh penyuluh PNS.

Begitu juga kelembagaan petani, pada saat ini menjadi prasyarat utama untuk mendapat program dari pemerintah terkait dengan pengembangan pertanian dan perdesaan. Jika di pertanian perdesaan tidak ada kelompok tani atau gapoktan, maka pemerintah kesulitan untuk menyalurkan program-program yang telah dicanangkan. Di kabupaten Sukoharjo dipastikan bahwa seluruh desa memeiliki gabungan kelompok tani (Gapoktan), dari jumlah desa 168 terdapat Gapoktan sebanyak 169 artinya ada satu desa yang memiliki 2 Gapoktan. Masing-masing Gapoktan biasanya memiliki antara 5-7 kelompok tani (Poktan), tergantung jumlah dusun.

(26)

26

Selain itu, di dalam menggerakan pelaksanaan Upsus ini, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan SK tentang mekanisme hubungan kerja antar lembaga yang membidangi pertanian dalam mendukung peningkatan produksi pangan strategis nasional yaitu Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 131/Permentan/ OT.140/12/2014. Dalam Bab II SK tersebut memuat tentang organisasi Penyelenggaran Peningkatan Produksi Pangan Strategis Nasional, dimana tim pelaksana ada 4 level yakni : (a) Tim Pelaksana Kecamatan, (b) Tim Pelaksana Kabupaten/Kota, (c) Tim Pelaksana Pembina dan (d) Tim Pelaksana Pengendali. Masing-masing tim pelaksana ini memiliki tugas masing-masign sesuai dengan tusinya. Badan Litbang pertanian adalah sebagai anggota dari Tim Pengendali yang ketuanya adalah semua ditjen teknis sesuai dengan tusinya. Di dalam tugas da ntanggungjawab masing-masing lembaga, Badan Litbang pertanian memiliki tugas adalah : (a) memberikan rekomendasi varietas unggul dan teknologi tepat guna, (b) menyediakan kalender tanam terpadu, (c) memberikan rekomendasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, (d) menyediakan benih/bibit sumber untuk pangan strategis nasional, (e) melaksanakan monitoring dan supervise penerapan inovasi teknologi tepat guna, (f) menyediakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan pertanian sebagai bahan materi penyuluhan, dan (g) mengalokasikan anggaran untuk mendukung program dan kegiatan pengembangan komoditas pangan strategis nasional.

3.2.4. Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan)

Dalam kaitannya peningkatan produksi di Kabupaten Sukoharjo, dibarengi dengan telah beralihnya tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian, maka pada saat ini tenaga kerja disektor pertanian semakin langka, bahkan ada indikasi untuk pengelola pertanian itu sendiri dilaksanakan oleh petani-petani yang sudah berusia lanjut (aging), penduduk usia muda cenderung beralih bekerja ke sektor non pertanian. Secara rinci alat mesin pertanian yang ada di kabupaten Sukoharjo pada tahun 2014 tersaji di Tabel 14.

Dari data tersebut menginformasikan bahwa alat mesin pertanian yang paling utama digunakan di Sukoharjo adalah penggunaan traktor (1.306 unit), sprayer 9.995 unit, pompa air 2.923 unit dan thresher 1.639 unit. Sementara untuk

(27)

27

tranplanter masih belum digunakan kecuali di kecamatan Tawangsari ada 4 unit dan Mojolaban ada 1 unit. Dapat dipahami bahwa di Tawangsari adalah kecamatan yang sudah merupakan wilayah urban, sehingga tenaga wanita untuk kegiatan menanam padi sudah dirasakan semakin sulit. Sementara di kecamatan lain tenaga untuk tanam padi masih menggunakan tenaga wanita.

Tabel 14. Alat mesin pertanian di kabupaten Sukoharjo, 2014 N

o Kecamatan

Luas

Sawah Alsin Tanaman Pangan

(ha) Traktor Transplanter Sprayer Pompa Air Threser RMU

1 Weru 1,989 79 0 671 182 58 30 2 Bulu 1,123 66 0 480 133 18 19 3 Tawangsari 1,674 82 4 686 151 39 42 4 Sukoharjo 2,363 141 0 1,440 370 82 40 5 Nguter 2,569 104 0 913 200 338 25 6 Bendosari 2,569 180 0 940 359 395 43 7 Polokarto 2,453 142 0 1,524 248 350 96 8 Mojolaban 2,169 149 1 1,312 511 168 65 9 Grogol 934 106 0 722 189 29 21 1 0 Baki 1,249 131 0 478 286 67 53 1 1 Gatak 1,251 88 0 615 163 86 32 1 2 Kartasura 471 38 0 214 131 9 4 Jumlah 20,814 1,306 5 9,995 2,923 1,639 470 Sumber : Dinas Pertanian Sukoharjo, 2015

Sementara itu, tenaga kerja untuk pengolahan lahan sudah mulai dipergunakan tenaga kerja traktor, yang menjadi pertimbangan petani memilih menggunaan traktor adalah : (a) dari sisi biaya lebih murah dibanding dengan tenaga manusia, (b) diperlukan kecempatan waktu, karena mengejar musim tanam, (c) tenaga kerja pria untuk mencangkul sudah relatif jarang/sulit untuk dicari, dan (d) lebih praktis. Apabila dilihat rasio luas areal sawah di kecamatan dengan populasi traktor, tampak bahwa rata- rata pengolahan lahan sawah di Kabuapaten Sukoharjo adalah 15,9 hektar per 1 unti traktor. Apabila rata-rata kemampuan mengolahan lahan sawah 2 hektar per hari, maka masa pengolahan lahan dapat diselesaikan selama 7-8 hari. Sementara itu, sebaran menurut kecamatan tampak bahwa di Kecamatan Weru Nguter dan Tawangsari relatif masih kurang traktor, hal ini

(28)

28

diindikasikan bahwa rata-rata pengolahan lahan per musim adalah 20-25 hektar per musim. Namun demikian, dalam radius kabupaten atau antar kecamatan di Sukoharjo masih dapat dicapai dengan memindahkan unit traktor dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya.

3.3. Kabupaten Wonogiri 3.3.1. Iklim

Topografi lahan di Kabupaten Wonogiri sebagian tanahnya berupa perbukitan, dengan ± 20% bagian wilayah merupakan perbukitan kapur, terutama yang berada di wilayah selatan Wonogiri. Sebagian besar topografi tidak rata dengan kemiringan rata-rata 300, sehingga terdapat perbedaan antara kawasan yang satu dengan

kawasan lainnya yang membuat kondisi sumberdaya alam yang saling berbeda. Hanya sebagian kecil wilayah yang memiliki kesuburan dan potensial untuk pertanian. Dengan topografi daerah yang tidak rata, perbedaan antara satu kawasan dengan kawasan lain membuat kondisi sumber daya alam juga saling berbeda. Di Kabupaten Wonogiri hampir sebagian besar tanahnya tidak terlalu subur untuk pertanian, berbatu kapur dan kering membuat penduduknya lebih banyak merantau (nglemboro).

Kabupaten Wonogiri mempunyai Waduk buatan yaitu Gajah Mungkur yang selain menjadi sumber mata pencaharian petani nelayan dan sumber irigasi persawahan juga merupakan aset wisata yang telah banyak dikunjungi oleh para wisatawan domestik. Kondisi waduk Gajah Mungkur saat sangat memprihatinkan, karena sedimen yang semakin besar menyebabkan pendangkalan waduk, sehingga diperkirakan umur ekonomis akan berkurang (tidak sesuai target awal pembangunan waduk. Bila hal tersebut tidak ditangani dengan baik, antara lain dengan pengerukan, maka akan berdampak pada daerah hilir yang dalam hal ini sebagai pengguna air irigasi.

Secara Klimatologi, Kabupaten Wonogiri beriklim tropis, mampunyai 2 musim yaitu penghujan dan kemarau dengan suhu rata-rata antara 240 - 320 dengan curah hujan rata-rata 1,845 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 100 hari/tahun. Besarnya hujan potensial pertahun rata-rata 3.631.708.820 m3 dengan

(29)

29

pertahun rata-rata sebesar 3.268.537.937 m3 dengan penyebaran daerah hujan yang

tidak merata.

3.3.2. Sumberdaya Lahan Pertanian

Kondisi lahan pertanian di Kabupaten terdiri dari lahan sawah dan lahan kering, namun berdasarkan luasnya maka pertanian di Wonogiri didominasi di lahan kering (>70%). Luas sawah (bersih) tercatat 32 170 hektar, dari luasan tersebut sebagian besar ditanami padi pada musim hujan. Berdasarkan frekuensi tanam padi maka dapat dijelaskan bahwa hanya ditanami padi satu kali sekitar (35 %), sawah bisa ditanami padi dua kali setahun (40,3 %), dan dapat ditanami padi 3 kali (23,4 %). Sisanya sekitar (5,2 %) ditanami lainnya (tidak ditanami padi). Untuk lahan yang dapat ditanami padi satu kali umumnya adalah sawah tadah hujan, sehingga sulit untuk meningkatkan IP di lahan tersebut, kecuali suplesi dengan tambahan air irigasi pompa, terutama yang dekat sumber air (sungai atau mata air). Secara rinci Tabel 15 menyajikan sebaran lahan sawah menurut kreteria frekuensi tanam padi dan kecamatan. Untuk mendukung program UPSUS Pajale, maka dengan meningkatkan IP, diharapkan dapat berpeluang meningkatkan produksi Pajale.

Hal yang menarik untuk disimak adalah lahan pasang surut, pasang surut dalam hal ini bukan merupakan irigasi pasang surut (pantai), tetapi merupakan lahan sekeliling waduk Gajah Mungkur yang memenfaatkan lahan untuk budidaya tanaman. Wilayah yang tercakup dalam kreteria tersebut adalah Kecamatan Nguntoronadi, Batu Retno, Eromoko, Wonogiri, Wuryantoro dan Selogiri. Lahan sekitar waduk tersebut mestinya untuk konservasi, namun bagi masyarakat sekitar lahan tersebut merupakan peluang memperluas usaha budidaya tanaman pertanian, khususnya padi. Dilain pihak fenomena tersebut mengganggu konservasi air di waduk tersebut, sehingga terjadi kedangkalan karena menumpuknya sedimen mestinya dilakukan pengerukan secara berkala, pengerukan yang dilakukan cenderung hanya sekitar lokasi turbin. Bila hal tersebut dibiarkan maka akan berdampak menurunnya permukaan air waduk, lebih lanjut akan menurunkan umur teknis dari waduk itu sendiri.

Waduk Gajahmungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak beroperasi tahun 1982 sampai tahun 2082, dengan kemampuan maksimal penyimpanan sedimen (dead strorage) sebesar 120 juta m3 dengan asumsi laju sedimen (endapan

(30)

30

lumpur) sebesar 2 milimeter per tahun. Tetapi kenyataan sekarang laju sedimentasi mencapai 8 milimeter per tahun. DAS Keduang penyumbang sedimentasi terbesar kepada Waduk Gajah Mungkur, sedangkan penyumbang sedimentasi lainnya dari DAS Tirtomoyo, Temon, Solo Hulu, Alang dan beberapa DAS kecil lainnya Dikhawatirkan pintu intake Waduk Gajah Mungkur menjadi tidak berfungsi sebagai akibat dari percepatan laju sedimen di Sungai Keduang yang mengarah ke pintu intake tersebut (Ahmad dan Ardi, 2009). Penanganan sedimentasi Waduk Gajahmungkur harus dilihat dari sumber permasalahan secara umum dan sumber penyebab sedimentasi itu sendiri. Tanpa adanya kajian permasalahan untuk duduk bersama-sama dari berbagai lembaga dan instansi terkait lepas dari kepentingan tertentu maka penyelamatan waduk tak akan membuahkan hasil yang optimal.

Selain sawah, potensi lahan kering untuk pertanian tanaman pangan sangat prospektif, luas lahan kering menurut penggunaanya disajikan pada Tabel 16. Jenis lahan yang potensial untuk pertanian Tanaman Pangan adalah Tegal/Kebun yang mencapai luas 88.836 hektar. Lahan ini merupakan penyangga untuk produksi tanaman pangan, baik padi (gogo), jagung, kedelai dan tanaman palawija lainnya. Di Kabupaten Wonogiri, tanaman padi sawah banyak dihasilkan oleh petani di wilayah Kecamatan Giriwoyo, Tirtomoyo, Baturetno, Eromoko, Selogiri, Ngadirojo, Sidoharjo, Purwantoro, Slogohimo, Jatisrono, dan Girimarto.

Dari data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Wonogiri jumlah penduduk Tahun 2013 menurut registrasi sebanyak 1.252.930 jiwa bertambah 7.007Jiwa dari tahun sebelumnya 1.245.923 jiwa. Dari jumlah penduduk akhir tahun 2011 tersebut 629.439 laki-laki dan 623.498 perempuan. SementaraWarga NegaraAsing yang tercatat hanya 1 orang. Penduduk terbanyak tercatat di Kec.Wonogiri (98.151 jiwa) dan paling sedikit di Kec.Paranggupito (21.515 jiwa). Dari jumlah penduduk akhir tahun 2011 yang tercatat maka tingkat kepadatan penduduk per kilometer adalah 688 jiwa.

(31)

31

Tabel 15. Luas Lahan Sawah menurut Jenis Irigasi dan Frekuensi Tanam Padi, di Kabupaten Wonogiri, 2013

No. Kecamatan Irigasi

JUM LAH

Tadah Hujan JUM Rawa Pasang Surut

JUM LAH

JUMLAH 1X 2X 3X Ditanami Tan lain 1X 2X Ditanami tan lain LAH 1X 2X Ditanami Tan lain SAWAH

1 Pracimantoro 323 410 - - 733 228 - - 228 - - - - 961 2 Paranggupito - - - - 3 Giritontro 136 55 - - 191 - - - 191 4 Giriwoyo - 377 223 - 600 556 - - 556 - - - - 1,156 5 Batuwarno - 29 116 - 145 279 - - 279 - - - - 424 6 Karangtengah 11 16 15 - 42 418 146 - 564 - - - - 606 7 Tirtomoyo - 1,055 421 - 1,476 - 330 - 330 - - - - 1,806 8 Nguntoronadi 40 132 - - 172 550 541 - 1,091 200 25 - 225 1,488 9 Baturetno 150 700 360 113 1,323 100 - 55 155 300 - 555 855 2,333 10 Eromoko 413 960 20 - 1,393 600 - - 600 100 103 - 203 2,196 11 Wuryantoro - 399 545 - 944 - 215 - 215 125 - - 125 1,284 12 Manyaran 30 136 149 - 315 214 558 253 1,025 - - - - 1,340 13 Selogiri - 1,132 479 - 1,611 211 200 - 411 25 - - 25 2,047 14 Wonogiri 352 461 92 - 905 120 - - 120 - - 75 75 1,100 15 Ngadirojo - 1,052 683 248 1,983 312 - 130 442 - - - - 2,425 16 Sidoharjo 554 606 500 - 1,660 245 - - 245 - - - - 1,905 17 Jatiroto 146 238 289 - 673 413 - 2 415 - - - - 1,088 18 Kismantoro 354 333 75 - 762 158 195 - 353 - - - - 1,115 19 Purwantoro 513 486 208 - 1,207 223 - - 223 - - - - 1,430 20 Bulukerto - 373 258 14 645 109 258 - 367 - - - - 1,012 21 Slogohimo 123 906 471 50 1,550 80 20 - 100 - - - - 1,650 22 Jatisrono - 193 1,072 - 1,265 160 - - 160 - - - - 1,425 23 Jatipurno - 47 584 - 631 137 - 366 503 - - - - 1,134 24 Girimarto 415 268 972 - 1,655 - - - 1,655 25 Puh Pelem 364 - - - 364 35 - - 35 - - - - 399 JUMLAH 3,924 10,364 7,532 425 22,245 5,148 2,463 806 8,417 750 128 630 1,508 32,170

(32)

32

Tabel 16. Luas Lahan menurut Penggunaannya di Kabupaten Wonogiri, Tahun 2013

Kecamatan

Luas Sawah

Lahan Bukan Sawah (Ha)

Lahan Bukan Pertanian

Luas Baku Tegal/kebun Ladang/huma Perkebunan Hutan rakyat Padang rumout Sementara tdk diush Lainnya JUMLAH

Pracimantoro 961 9484 0 0 0 22 0 366 9872 3381 14214 Paranggupito - 5726 0 0 0 0 0 0 5726 749 6475 Giritontro 191 4205 0 0 328 0 0 373 4906 1066 6163 Giriwoyo 1,156 7686 0 0 0 828 0 0 8514 390 10060 Batuwarno 424 3865 0 0 326 0 0 112 4303 438 5165 Karangtengah 606 4343 0 413 541 0 0 1983 7280 573 8459 Tirtomoyo 1,806 4258 0 0 0 0 0 1662 5920 1575 9301 Nguntoronadi 1,488 2340 0 0 200 0 0 634 3174 3379 8041 Baturetno 2,333 2916 0 0 400 22 0 308 3646 2931 8910 Eromoko 2,196 5755 0 0 1001 0 0 300 7056 2784 12036 Wuryantoro 1,284 2977 0 0 0 0 0 70 3047 2930 7261 Manyaran 1,340 3519 0 0 0 79 0 200 3798 3026 8164 Selogiri 2,047 1376 0 0 58 0 0 864 2298 673 5018 Wonogiri 1,100 2482 0 60 0 0 0 1680 4222 2970 8292 Ngadirojo 2,425 5781 0 0 0 0 0 250 6031 870 9326 Sidoharjo 1,905 2337 0 0 0 31 0 741 3109 706 5720 Jatiroto 1,088 3359 0 0 0 0 0 1315 4674 515 6277 Kismantoro 1,115 1256 0 0 0 0 0 2316 3572 2299 6986 Purwantoro 1,430 2841 0 0 0 0 167 191 3199 1324 5953 Bulukerto 1,012 1274 0 0 0 0 0 739 2013 1027 4052 Slogohimo 1,650 1836 0 0 448 0 0 1515 3799 966 6415 Jatisrono 1,425 2942 0 0 0 0 0 8 2950 628 5003 Jatipurno 1,134 1782 0 0 163 0 0 1228 3173 1239 5546 Girimarto 1,655 2142 0 0 356 3 0 557 3058 1524 6237 Puh Pelem 399 2354 0 0 0 1 0 254 2609 154 3162 JUMLAH 32,170 88836 0 473 3821 986 167 17666 111949 38117 182236

(33)

33 3.4. Kabupaten Magelang

3.4.1. Sumberdaya Pertanian

Kabupaten Magelang mempunyai wilayah seluas 108.573 ha. Dari wilayah seluas itu, terdiri atas lahan sawah sekitar (34,05 %), lahan kering sekitar (38,61 %) dan sisanya bukan lahan pertanian sekitar (27,34 %) (Gambar 3.1). Lahan sawah di Kabupaten Magelang mayoritas adalah lahan sawah irigasi sederhana yaitu sekitar 26,33%. Untuk lahan kering didominasi oleh tegal/kebun dengan luasan sekitar 84,66 % dari seluruh lahan kering di Kab. Magelang (Tabel 3.1). Seiring dengan terjadinya proses urbanisasi dan pengembangan ekonomi di wilayah Magelang, maka terjadi konversi lahan termasuk lahan sawah. Pada Tabel 17 terlihat selama tiga tahun (2009-2012) terjadi konversi lahan sawah. Konversi lahan irigasi teknis mencapai 446 hektar lebih kecil dibandingkan konversi lahan sawah irigasi setengah teknis yang mencapai 680 hektar. Dari Tabel 17 terlihat bahwa konversi lahan sawah tidak hanya untuk irigasi setengah teknis dan teknis, namun juga pada irigasi sederhana dan lahan sawah tadah hujan.

Gambar 3.1. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kab. Magelang, 2012

Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang letaknya berbatasan dengan beberapa kabupaten dan kota, antara lain Kabupaten Temanggung, Semarang, Boyolali, Purworejo, Wonosobo, serta Kota Magelang dan Provinsi Daerah Iistimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data curah hujan tahun 2008, jumlah curah hujan bervariasi antar bulan, paling banyak pada

(34)

34

bulan November sebesar 8282 dan bulan Maret (8016 m2) dengan hari hujan banyak juga bulan Maret (305 m2). Berdasarkan curah hujan tersebut Kabupaten Magelang sangat potensial untuk menghasilkan prduksi pertanian baik untuk lahan sawah maupun lahan kering dataran tinggi.

Tabel 17. Lahan sawah Menurut Kriteria di Kab. Magelang, 2012

Sumber Data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang, 2013

3.4.2. Sumberdaya Manusia

Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Magelang pada tahun 2012 sejumlah 1.219.371 jiwa yang terdiri dari 611.711 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 607.660 jiwa berjenis kelamin perempuan. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2000-2010 sebesar 0,62 % lebih rendah daripada tahun 1990-2000 (0,91%). Kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Mertoyudan yaitu sebesar 109.147 jiwa atau sekitar 8,95 % dari total penduduk di Kabupaten Magelang. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Kajoran yaitu sebesar 617 jiwa/km2. Hal ini disebabkan secara

Gambar

Tabel 3.  Luas Wilayah menurut Kecamatan dan Jenis Lahan di Kabupaten Klaten,                Tahun 2013
Tabel 4. Perkembangan Luas Lahan Sawah menurut Jenis Irigasi di Kabupaten Klaten,               Tahun 2009-2013
Tabel 6.  Ketersediaan dan Kebutuhan Traktor Roda 2 di Kabupaten Klaten menurut       Kecamatan, Tahun 2014-2015
Tabel 7.  Kebutuhan Power Thresher/Combine Harvester di Kabupaten Klaten                 menurut Kecamatan, Tahun 2014-2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya masyarakat akan makan bersama dengan diselingi saling komunikasi ringan untuk menciptakan keakraban, bahkan diselingi dengan seni pantun (megenjek) untuk menambah

Wirasena Inti Nusa Temuwulan terutama dalam kinerjanya dapat dilihat dari penyelesaian dari pekerjaannya secara tepat waktu untuk menentukan target perusahaan, hal itu

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Akmal (2010) bahwa hukum permintaan tenaga kerja pada hakekatnya adalah semakin rendah upah

Penelitian ini memiliki kelebihan dimana mampu memanfaatkan kulit kayu gelam yang awal mulanya tidak memiliki nilai jual dan tidak terpakai pada lokasi proyek

Maka sama halnya dengan puisi, ruang kosong pada puisi, sesuatu yang tidak hadir dalam teks puisi tersebut pada hakikatnya adalah penopang adanya puisi dan menjadi

Hasil berbeda terlihat pada hubungan antara faktor eksternal pola kerja terhadap tingkat kelelahan dimana diketahui bahwa pengemudi dump truck yang bekerja dalam pola

bahwa dalam rangka menggali potensi sumber- sumber pendapatan asli daerah yang dapat mendukung semakin menigkatnya perkembangan dunia usaha industri, perdagangan,

Badan otoritas di negara lain juga telah melakukan tindak lanjut regulatori terkait keamanan penggunaan ketoconazole oral tersebut seperti US-FDA Amerika dan Health