• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Dharma - Hindu Indonesia SAMVARA DAN NIRJARA SADHANA RAHASIA PENGHAPUSAN KARMA BURUK. Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rumah Dharma - Hindu Indonesia SAMVARA DAN NIRJARA SADHANA RAHASIA PENGHAPUSAN KARMA BURUK. Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

Rumah Dharma - Hindu Indonesia

SADHANA RAHASIA

PENGHAPUSAN KARMA BURUK

Ditulis oleh :

I Nyoman Kurniawan

SAMVARA DAN

NIRJARA

(2)
(3)

SAMVARA DAN NIRJARA

SADHANA RAHASIA PENGHAPUSAN KARMA BURUK

Penulis :

I Nyoman Kurniawan

Diterbitkan oleh :

Rumah Dharma - Hindu Indonesia Senin, 07 Juli 2014

(4)
(5)

BAGIAN

PERTAMA

(6)
(7)

1

TIDAK ADA TAKDIR TUHAN

Setiap manusia dan setiap mahluk pastilah menginginkan pengalaman bahagia dalam hidupnya. Tidak ada satupun yang menginginkan pengalaman sengsara. Adakah manusia yang tidak ingin bahagia ? Kalaupun seandainya ada, sudah pasti sangat sulit ditemukan.

Tapi dalam kenyataannya tidak semua dari kita bisa menemukan pengalaman bahagia di dalam perjalanan hidup. Tidak terhitung banyaknya orang yang mengalami banyak hambatan, berbagai macam rintangan, kegagalan usaha, kegagalan perkawinan, penderitaan penyakit, dsb-nya. Ketika nasibnya baik maka manusia akan bersenang hati dan bergembira, akan tetapi ketika nasibnya buruk maka manusia akan bersedih, murung dan wajahnya kusut.

(8)

Mengamati alur perjalanan kehidupan manusia di dunia sungguhlah sangat bermacam-macam, ada yang naik, ada juga yang jatuh dan ada juga yang datar-datar saja. Seluruh kehidupan ini benar-benar diatur oleh garis nasib. Segala perolehan dan kehilangan, harta dan kedudukan, kebahagiaan dan kesedihan, pertemuan dan perpisahan, semuanya tidak lepas dari garis nasib. Berbagai macam pengalaman dalam kehidupan, semuanya dikendalikan oleh garis nasib.

Tentu saja banyak sekali orang yang mencoba untuk merubah nasibnya, agar dapat menemukan kebahagiaan, karena semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin menderita. Tapi kebanyakan dari mereka tidak mengerti caranya sehingga akhirnya hasilnya sia-sia belaka.

Garis nasib pasti bisa dirubah. Tapi untuk tahu caranya, terlebih dahulu di awal kita harus memahami secara benar apa yang menyebabkan timbulnya nasib yang baik dan buruk, serta siapa yang mengatur semua itu.

Ada beberapa pandangan dimana sesungguhnya pandangan ini sesungguhnya adalah salah :

1]. Kehidupan kita manusia di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir Tuhan. Lalu apa gunanya kita terus menerus

(9)

melakukan kebaikan ? Hidup ini hanya sekali jadi harus dinikmati.

2]. Kehidupan kita manusia di dunia ini sudah ditentukan oleh karma kehidupan kita sebelumnya. Ini tidak bisa dirubah, Lalu apa gunanya kita terus menerus melakukan kebaikan ?

Pertanyaan paling mendasar dari semua drama kehidupan adalah, siapakah sebenarnya yang menentukan garis nasib kita ? Apakah benar ini semua sudah ditakdirkan Tuhan ? Benarkah Tuhan telah menetapkan nasib manusia ada yang kaya dan miskin, ada yang mulia dan hina, ada yang berlimpah makanan dan ada yang mati kelaparan ?

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa begitu seorang bayi dilahirkan, saat itu juga telah ditentukan takdirnya. Bahagia tidaknya perjalanan hidupnya kemudian sepenuhnya tergantung dari pemberian takdir Tuhan. Padahal rentang antara kaya dan miskin itu ternyata sangat besar, rentang antara yang sehat dan sakit ternyata sangat besar, rentang antara yang bertubuh cacat dan sehat ternyata sangat besar. Bahkan kita melihat di beberapa belahan bumi ada orang-orang yang mati kelaparan menderita dengan sangat mengerikan. Jadi bukankah pemberian takdir Tuhan itu sangat tidak adil ?

(10)

Tentu saja bagi orang yang hidupnya melarat akan mempertanyakan, “mengapa orang lain gampang sekali memperoleh rejeki dan mudah mencapai sukses, sedangkan saya selalu banyak halangan dan terlunta-lunta ?”

Orang yang perkawinannya hancur akan mempertanyakan, “mengapa orang lain rumah tangganya bisa begitu harmonis, sedangkan saya disia-siakan oleh pasangan ?

Orang yang mengalami musibah bencana alam [seperti tsunami, gunung meletus, angin topan, dsb-nya] atau mengalami kecelakaan transportasi akan mempertanyakan, “mengapa orang lain selamat, sedangkan saya mempunyai nasib yang begitu buruk ?

Orang yang sakit-sakitan akan mempertanyakan, ”mengapa orang lain sehat berusia panjang, sedangkan saya terus lelah bergulat dengan penyakit ?”

Orang yang memiliki cacat lahir akan mempertanyakan, “mengapa orang lain demikian cantik atau tampan, sedangkan saya badan fisik saja kekurangan ?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja sangat wajar, karena siapapun yang merasa mendapat

(11)

perlakuan tidak adil secara mutlak tentu saja sangat manusiawi mempertanyakannya.

Sangat mudah mengatakan bahwa kesengsaraan yang kita alami disebabkan oleh kehendak atau takdir Tuhan. Sesungguhnya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah penyebab dari kesengsaraan yang kita alami, kita telah melemparkan tanggung jawab kita kepada Tuhan. Dengan kata lain kita sebenarnya menuduh Tuhan berkehendak sewenang-wenang dan tidak adil. Tuhan adalah diktator yang kejam dan sewenang-wenang.

Hanya rasa hormat membabi-buta atau rasa takut absolut sajalah yang membuat kesewenang-wenangan seperti ini tampak sebagai keadilan. Ini tidak ada bedanya seperti obat penenang yang menghilangkan rasa sakit, namun tidak menyembuhkan penyakitnya.

Terasa jauh lebih berat untuk mengakui bahwa kesengsaraan yang kita alami merupakan akibat dari perbuatan kita sendiri.

Inilah kebenaran yang sesungguhnya, kita tidak perlu menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil, Tuhan itu memilih, ataupun permainan-permainan pikiran lainnya. Tapi kita langsung melihat kepada kenyataan, kepada pergerakan dan dinamika hukum-hukum yang berlaku nyata di alam semesta ini.

(12)

Hukum alam semesta, yaitu hukum karma, hukum sebab-akibat, adalah yang sepenuhnya menjadi penentu garis nasib bagi diri kita sendiri. Bagaimana kita terlahir dan bagaimana perjalanan kehidupan kita, semua itu selalu berhubungan dengan karma kita sendiri. Diri kita sendiri adalah pemilik dan pewaris karma kita sendiri dari masa-masa sebelumnya dan disaat ini.

Setiap manusia dan setiap mahluk pastilah menginginkan pengalaman bahagia dalam hidupnya. Karma dibentuk oleh diri kita sendiri dan selalu dapat dirubah oleh diri kita sendiri. Pandangan yang mengatakan bahwa garis nasib sudah ditentukan dan tidak bisa dirubah, lalu menyerah begitu saja bagaikan kayu lapuk, adalah termasuk pandangan yang salah.

(13)

2

GARIS NASIB DITENTUKAN

OLEH DIRI SENDIRI

Mungkin ada sebagian orang yang tidak mengetahui ataupun tidak mempercayai apa yang diajarkan oleh para Maharsi, Mahayogi dan Mahasiddha, para orang-orang suci melalui ajaran dharma. Dimana mengenai Hukum Karma dengan jelas telah diterangkan kepada kita, bahwa penentu garis nasib adalah diri kita sendiri.

Melalui samadhi mendalam dan kemampuan penembusan mata spiritual pada fenomena alam semesta, para Maharsi, Mahayogi dan Mahasiddha dapat mengetahui bahwa garis nasib kehidupan para mahluk sepenuhnya ditentukan oleh hukum karma. Hukum karma adalah yang menyebabkan timbulnya nasib baik dan nasib buruk, serta diri kita sendirilah yang

(14)

sepenuhnya mengatur semua itu. Semuanya adalah perbuatan kita sendiri dan ditanggung oleh diri kita sendiri.

Mengamati perjalanan kehidupan ini, kita bisa melihat ada banyak orang miskin beruntung dan berhasil dalam upaya menjadi kaya, maupun sebaliknya ada orang kaya yang mengalami kesialan menghancurkan dalam hidupnya. Hidup sebagai manusia benar-benar terikat oleh garis nasib. Segala keberhasilan, kegagalan, pertemuan, perpisahan dan berbagai macam pengalaman hidup semuanya dikendalikan oleh garis nasib. Sedikitpun tidak dapat menghindarkan diri dari garis nasib yang telah ditentukan dalam perjalanan kehidupan.

Dasar utama dari garis nasib kehidupan seseorang ditentukan oleh karmaphala atau buah karma “sebab” dan “akibat”. Bahwa karena perbuatan kita pada masa-masa sebelumnya maka kita menerima akibat dari perbuatan tersebut pada kehidupan disaat ini. Demikian juga garis nasib kehidupan kita yang akan datang ditentukan oleh perbuatan kita yang sekarang.

Garis nasib sangat ditentukan oleh hukum karma. Dimana karma itu saling kait-mengait dan bersaling-silang secara rumit. Manusia harus sadar bahwa segala sesuatu ditentukan karmaphala-nya sendiri.

(15)

Semua mahluk ingin bahagia, tidak ada mahluk yang ingin menderita. Kalau pada kehidupan sekarang ini kita terlahir miskin, tidak beruntung, sakit-sakitan, sering kena musibah, memiliki kekurangan fisik, dsb-nya, kita janganlah berputus asa. Yang menentukan garis nasib kita untuk menjadi kaya, miskin, sehat, sakit, memiliki jabatan, terlunta-lunta, dsb-nya, tidak ditentukan oleh orang lain, tapi ditentukan oleh diri kita sendiri. Kita bisa merubah garis nasib kita sendiri agar menjadi lebih baik.

ASAL-MULA DAN PENENTU GARIS NASIB

Tentunya kita semua pasti ingin berusaha meraih kebahagiaan dan memiliki garis nasib yang baik. Sayangnya banyak orang yang tidak tahu apa dan bagaimana prinsip dasar utama meraih kebahagiaan dan memiliki garis nasib yang baik, sehingga mereka tidak mendapatkan cara-cara yang tepat. Akhirnya semua yang diupayakan hasilnya sia-sia belaka.

Untuk dapat merubah atau memperbaiki garis nasib yang ditentukan, pertama-tama harus mengerti dulu bagaimana asal-mula terjadinya nasib baik dan nasib buruk. Dan kedua siapa yang berperan dalam menguasai garis nasib.

Darimanakah asal-mula garis nasib ? Siapakah yang sebenarnya menentukan garis nasib ? Apakah Tuhan ? Benarkah Tuhan secara tidak adil dan memilih

(16)

telah menetapkan garis nasib manusia ada yang wajahnya menarik dan jelek, ada yang rejekinya berlimpah dan miskin, ada yang beruntung dan sial, ada yang mulia dan hina ? Padahal dalam dinamika hukum karma telah dengan jelas menerangkan pada kita bahwa, asal-mula dan penentu garis nasib sejati tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri ! Semuanya adalah berasal dari perbuatan diri kita sendiri dan semuanya ditanggung juga oleh diri kita sendiri.

Apa yang kita perbuat pada masa sekarang belum tentu akan segera menerima akibatnya. Ada yang setelah masa tuanya barulah akan menerima akibatnya, serta ada yang baru akan diterima pada masa kelahiran yang akan datang. Dan apa yang kita terima pada masa kehidupan sekarang, justru kebanyakan adalah “akibat” dari “sebab” yang telah kita perbuat pada masa kehidupan yang lalu. Tepatnya bisa kita anggap seperti “hutang-piutang”.

Misalnya di masa sekarang seseorang telah banyak melakukan kebaikan, tapi dia malah dibenci atau dirugikan orang yang ditolongnya. Ini tidak lain disebabkan karena pada masa-masa sebelumnya dia pernah melakukan perbuatan serupa, yaitu membalas kebaikan dengan kejahatan. Jadi dia telah ber-”hutang” pada masa kehidupan yang lalu, sehingga pada masa kini ia akan merasakan hal yang serupa. Dia harus membayar hutang akumulasi karma buruknya terlebih dahulu.

(17)

Setelah hutang ini lunas, barulah ia akan menerima akibat baik dari karma baiknya melakukan kebaikan.

Atau misalnya pada masa kehidupan sekarang kita banyak berbuat kebaikan, tapi jalan kehidupan kita justru banyak ada hambatan. Ini disebabkan karena kita pada masa kehidupan yang lalu sering merugikan orang lain, sering memotong rejeki orang lain atau sering menjadi penghalang bagi orang lain untuk mendapat kebahagiaan. Jadi kita telah ber-”hutang” pada masa kehidupan yang lalu, sehingga pada masa kini kita akan merasakan hal yang serupa. Setelah hutang itu lunas, barulah kita dapat menerima akibat baik dari karma baik yang telah kita lakukan.

Sebaliknya ada orang yang pada masa kehidupan sekarang sifatnya buruk dan sering melakukan pelanggaran dharma, tapi rejekinya mudah dan berlimpah. Ini disebabkan pada masa kehidupan yang lalu dia telah banyak melakukan kebaikan-kebaikan dan pada masa kehidupan sekarang dia menerima akibat baik dari karma baiknya sendiri. Setelah akumulasi karma baik itu habis, barulah dia akan menerima akibat buruk dari karma buruk yang telah dilakukannya.

Selain itu perlu diketahui bahwa perputaran waktu matangnya buah karma itu tidak sama. Ada yang dalam beberapa tahun dimasa ini sudah menerima akibatnya, ada juga yang setelah beberapa puluh tahun,

(18)

ada juga yang menerimanya di masa kehidupan yang akan datang dan bahkan ada juga yang setelah setelah melewati banyak masa kehidupan dalam siklus samsara [beberapa kehidupan yang akan datang] barulah buah karmanya matang dan dia mendapatkan akibatnya.

Dan jika “hutang” karma buruk dari masa sebelumnya itu besar, maka jangka waktu pelunasan hutang juga lebih lama. Jika “hutang” karma buruk dari masa sebelumnya itu ringan, maka jangka waktu pelunasan “hutang” juga menjadi lebih singkat.

Sebaliknya jika “tabungan” karma baik dari masa sebelumnya itu besar, maka jangka waktu menimmati tabungan juga lebih lama. Jika “tabungan” karma baik dari masa sebelumnya itu ringan, maka jangka waktu menimmati tabungan juga menjadi lebih singkat.

Ada juga fenomena pengurangan akumulasi karma, dimana ini dapat terjadi baik pada akumulasi karma baik maupun pada akumulasi karma buruk.

Misalnya akibat baik dari kebaikan yang kita lakukan pada masa sebelumnya, membuat kita pada masa sekarang menerima rejeki berlimpah selama 20 tahun. Tapi karena pada masa sekarang kita banyak melakukan pelanggaran dharma, maka ini akan mengakibatkan rejeki berlimpah kita tersebut berkurang jangka waktunya selama beberapa tahun.

(19)

Atau sebaliknya, akibat buruk dari kejahatan yang kita lakukan pada masa sebelumnya, membuat kita pada masa sekarang difitnah, disakiti, dihina dan dikucilkan oleh semua orang. Tapi karena pada masa sekarang kita banyak melakukan kebaikan, tekun ber-sadhana dan menapaki jalan dharma, maka ini akan mengakibatkan kita disaat terburuk juga masih ada orang yang menolong. Bahkan jika kebaikan dan sadhana yang kita lakukan di masa sekarang terus bertambah dan berlimpah, ini dapat menghapus seluruh akibat buruk [karma buruk] dari kejahatan yang kita lakukan pada masa sebelumnya.

Ini adalah cara dasar pandangan untuk memperbaiki garis nasib. Kalau dalam masa kehidupan ini kita banyak mementingkan diri sendiri, banyak menyakiti, serta banyak mengambil kebahagiaan yang berasal dari hal-hal yang melanggar dharma, maka sudah pasti kelak akan semakin banyak juga akibat buruk dan kesengsaraan yang akan kita dapatkan.

Sebaliknya bila dalam masa kehidupan ini kita banyak menolong dan membantu orang lain serta mahluk lain, tidak menyakiti, serta teguh melakukan pengendalian diri [tidak mengambil kebahagiaan yang berasal dari hal-hal yang melanggar dharma], maka sudah pasti kelak akan semakin banyak juga akibat baik dan kebahagiaan yang akan kita dapatkan.

(20)

Dan jangan melupakan dinamika hukum karma yang sangat terkait erat dengan siklus samsara [siklus kelahiran-kematian yang berulang-ulang]. Orang yang semasa hidupnya melakukan terlalu banyak pelanggaran dharma yang berat, maka disebabkan karena beban akumulasi karma buruk yang terlalu berat, maka sangat mungkin orang tersebut setelah kematian akan terjerumus menjadi mahluk-mahluk alam bawah atau bisa juga akan mengalami kelahiran kembali sebagai binatang. Ini adalah hal yang sangat tidak diharapkan, karena kemungkinan untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia akan sangat sulit.

Setiap manusia sudah pernah berkali-kali terlahir sebagai manusia, di dalam badan fisik, pengalaman hidup, pikiran, ingatan dan perasaan yang selalu berbeda-beda. Ketika satu masa kehidupan berlalu semuanya akan terlupakan begitu saja. Badan fisik, pengalaman hidup, pikiran, ingatan dan perasaan, semua hal akan digantikan dengan yang baru.

Kebanyakan manusia tidak akan pernah dapat mengingat apapun dari masa kehidupan-kehidupan sebelumnya. Badan fisik, pengalaman hidup, pikiran, ingatan dan perasaan selalu berganti dan berbeda dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Tetapi Atma [roh] yang melakukan perjalanan dalam siklus samsara dan menanggung beban karma tetap sama tidak berubah.

(21)

Kalau kita adalah orang awam yang tidak mampu melakukan penembusan meditatif ke dalam siklus samsara dan fenomena hukum karma, maka kita selayaknya mengandalkan pengetahuan yang diajarkan oleh para Maharsi, Mahayogi dan Mahasiddha, para orang-orang suci melalui ajaran dharma.

Tapi seandainya [kalau bisa terjadi], kelak secara spiritual kita sudah sangat maju dan kita memiliki kemampuan mata spiritual melakukan penembusan meditatif ke dalam siklus samsara dan fenomena hukum karma, dengan sendirinya kita akan secara langsung sebagai pengalaman dapat menemukan, melihat, mengenali dan merasakannya. Hukum karma dan siklus samsara, fenomena alam semesta yang melampaui batas-batas tubuh, waktu dan ruang.

Darimanapun sumber pengetahuan tersebut, apabila kita telah mengetahui bahwa apapun garis nasib dan pengalaman hidup kita di kehidupan ini, asal-mula dan penyebabnya adalah diri kita sendiri pada masa-masa sebelumnya, baik itu kebaikan ataupun kejahatan yang telah kita lakukan. Menyadari hal tersebut, kita harus secepatnya sadar, bertobat dan segera memasuki jalan dharma. Agar karma buruk tidak bertambah dan karma baik yang terus-menerus bertambah. Inilah satu-satunya cara untuk merubah garis nasib, agar selalu

(22)

dapat bergerak kearah kesuksesan, kebahagiaan dan kedamaian.

GARIS NASIB SELALU DIRUBAH OLEH DIRI KITA

SENDIRI

Jadi semua asal-mula dan penyebab garis nasib dan pengalaman hidup, adalah diri kita sendiri. Kita sendirilah yang telah menetapkan garis nasib kita sendiri. Siapapun tidak dapat memaksakan garis nasib pada kita, semuanya adalah perbuatan kita sendiri dan kita alami sendiri.

Seburuk apapun garis nasib kita, selalu dapat ditolong. Kunci dasarnya adalah kita mau bertekad melakukan perubahan. Merubah sikap kita terhadap kehidupan, merubah sifat-sifat kita dan merubah kebiasaan hidup, akan merubah garis nasib.

Keberadaan kita sekarang berwajah menarik atau jelek, rejeki berlimpah atau miskin, beruntung atau sial, mulia atau hina, wajib kita terima dengan hati lapang dan damai. Kalau sikap kita terhadap kehidupan, sifat-sifat kita dan kebiasaan hidup kita cenderung negatif, maka hasilnya pasti kita akan terjerembab ke dalam lubang kesengsaraan.

Saat ini kita berwajah jelek, miskin, sial atau hina, tidak masalah. Yang terpenting dengan penuh semangat

(23)

menatap hari esok dengan penuh harapan. Menyadari hukum sebab-akibat, rela menerima hari ini dengan hati lapang dan damai, serta menatap masa depan dengan kesadaran penuh bahwa diri kita sendiri yang menentukannya.

Perjalanan kehidupan adalah pilihan, perjuangan, tanggung-jawab dan perubahan diri kita sendiri.

Orang berwajah jelek bisa berubah menjadi menarik karena punya inner-beauty [kecantikan dari dalam], orang berwajah menarik bisa berubah menjadi tidak menarik karena punya sifat-sifat buruk.

Orang miskin bisa berubah menjadi kaya karena banyak melakukan kebaikan dan mau bekerja keras, orang kaya bisa berubah menjadi miskin karena banyak melakukan pelanggaran dharma.

Orang sial bisa berubah menjadi beruntung karena selalu melakukan kebaikan, orang beruntung bisa berubah menjadi sial karena banyak melakukan pelanggaran dharma.

Orang hina bisa berubah menjadi mulia karena pengorbanan mulia, orang mulia bisa berubah menjadi hina karena punya sifat-sifat buruk dan mementingkan diri sendiri.

(24)

Semuanya selalu berubah !

Hukum karma, hukum sebab-akibat, adalah yang sepenuhnya menentukan kesuksesan dan kebahagiaan diri kita sendiri. Bagaimana kita terlahir dan bagaimana perjalanan kehidupan kita, semua itu selalu berhubungan dengan karma kita sendiri. Diri kita sendiri adalah pemilik dan pewaris karma kita sendiri. Marilah kita melakukan pilihan yang terbaik dengan jalan dharma, berjuang dengan penuh tanggung-jawab untuk melakukan perubahan pada kehidupan kita sendiri.

(25)

BAGIAN

KEDUA

(26)
(27)

1

LIMA KEPASTIAN HUKUM

KARMA

Dalam hidup ini manusia itu disebut “swatantra katah”, yang artinya manusia itu bebas melakukan perbuatan atau perkataan apa saja. Tapi manusia tidak akan dapat bebas dari akibatnya karena adanya hukum karma di alam semesta ini.

Hukum karma adalah hukum besi yang berlaku pasti di alam semesta ini, hukum alam yang tidak bisa dibendung, yaitu apapun perbuatan atau perkataan kita secara pasti akan direspon balik oleh alam semesta menjadi akibat. Dalam bahasa paling sederhana, ibaratnya jika kita bermain air maka kita akan basah, jika kita bermain api maka kita akan terbakar. Seperti itulah hukum di alam semesta ini. Yang berarti bahwa segala bentuk kebahagiaan atau kesengsaraan yang kita alami

(28)

dalam hidup ini, sesungguhnya semua berasal dari perbuatan atau perkataan kita sendiri di masa waktu sebelumnya.

Para Maharsi, para Guru dharma dan para Danghyang yang wikan dari berbagai jaman, dengan mata spiritual mereka telah melakukan penelitian dan penembusan niskala dengan sangat hati-hati, teliti dan mendetail mengenai hukum karma. Darisana dapat diketahui bahwa hukum karma itu sesungguhnya sangat rumit dan kompleks. Sehingga jika kita membicarakan hukum karma, maka hal itu akan terlihat seperti pembahasan-pembahasan yang sangat panjang, yang mungkin agak ribet untuk dikenali satu-persatu. Tapi bagaimanapun juga pembahasan-pembahasan ini akan dapat memberikan kita petunjuk sangat berharga sebagai panduan ketika kita melakukan perbuatan atau perkataan dalam hidup ini.

Ada lima kepastian hukum sebab-akibat semesta [hukum karma], yaitu :

1. Semua Sebab Akan Menghasilkan Akibat

Jika kita mengalami kesengsaraan [misalnya jatuh sakit, ban motor pecah di jalan, kecurian, kecelakaan, kena tipu, dsb-nya], hal itu pasti merupakan akibat dari karma-karma buruk kita di masa waktu sebelumnya.

(29)

Sebaliknya jika kita mengalami kebahagiaan, hal itu pasti merupakan akibat dari karma-karma baik kita di masa waktu sebelumnya. Kaitan erat antara perbuatan atau perkataan kita, yang kelak akan menghasilkan kesengsaraan atau kebahagiaan, sangat penting untuk dipahami sebagai hukum mutlak yang bekerja di alam semesta ini.

2. Semua Akibat Berasal Dari Sebab

Jika kita tidak melakukan suatu perbuatan atau perkataan tertentu, kita tidak akan mengalami akibat-akibatnya.

Misalnya ada sebuah kecelakaan bis dimana banyak orang yang tewas, tapi ada juga beberapa orang yang bisa selamat. Ini disebabkan karena mereka tidak melakukan sebab-sebab yang memungkinkan mereka tewas dalam kecelakaan itu, jadi mereka tidak mengalami akibat-akibatnya.

3. Adanya Kepastian Akibat

Jika kita melakukan suatu perbuatan atau perkataan tertentu, akibat karmanya tidak akan lenyap dengan sendirinya. Pada suatu waktu karma itu pasti akan datang. Mungkin saja perlu waktu 100.000 [seratus ribu] tahun, tapi karma itu pasti tetap akan datang.

(30)

4. Adanya Peningkatan Dari Akibat

Karma itu dapat berdampak berantai. Dari perbuatan atau perkataan kecil, kemudian akibat-akibat yang sangat besar dapat muncul. Misalnya kita berkata atau bertindak kasar pada pasangan kita, kemudian kita tidak bicara satu sama lain. Semakin lama kita membiarkannya tanpa mencoba menyelesaikan masalahnya, maka semakin besar kemarahan terasa dan semakin sulit atau rumit masalahnya dapat diselesaikan.

Selain itu, akibat karma tidak selalu terjadi seperti laju sebuah garis lurus. Berbagai perbuatan atau perkataan dapat berakibat sekaligus pada satu hal saja. Demikian juga sebaliknya, satu perbuatan atau perkataan dapat berakibat banyak hal pada berkali-kali masa kehidupan. Misalnya kita memfitnah seorang Guru dharma yang asli, atau pembawa ajaran dharma yang asli [ajaran dharma yang sesuai dengan kenyataan kosmik], maka akibatnya selama berkali-kali masa kehidupan kita akan tenggelam dalam kegelapan awidya.

5. Karma Buruk Bisa Dihapuskan

Jika kita melakukan suatu perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta [merugikan, menyengsarakan atau menyakiti mahluk lain], pada suatu waktu karma itu pasti akan datang. Karena dalam

(31)

hukum karma, semua sebab akan menghasilkan akibat dan akibat itu suatu saat pasti akan datang. Kecuali jika kita tekun melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk.

Jika kita mengalami kesengsaraan [misalnya jatuh sakit, ban motor pecah di jalan, kecurian, kecelakaan, kena tipu, dsb-nya], sudah pasti hal itu merupakan akibat dari karma-karma buruk kita di masa waktu sebelumnya. Tapi ini tidak berarti bahwa jika di masa waktu sebelumnya kita pernah melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta, maka kemudian semuanya akan menghasilkan akibat kesengsaraan. Tidak selalu. Karena karma-karma buruk dapat dihapuskan melalui ketekunan kita melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk.

Jika kita telah tekun menahan diri dari melakukan kejahatan dan banyak melakukan kebaikan-kebaikan, serta kita sangat tekun melakukan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk, maka sesungguhnya tidak ada lagi bahaya yang harus kita takutkan. Bahkan jika kita pergi ke suatu tempat penuh bahaya, dengan banyak penjahat kejam berkeliaran di sana, kita tidak akan mengalami perampokan, karena karma-karma buruk kita sebagai penyebab yang memungkinkan kita dirampok telah terhapuskan.

(32)

Karma tidaklah bersifat statis atau mutlak tidak berubah, tapi bersifat dinamis. Tidak ada sesuatu yang kekal di alam semesta ini, semuanya ada dalam gerak dinamis yang selalu berubah, termasuk karma. Sehingga karma setiap mahluk juga berubah-ubah, yang semata-mata ditentukan oleh apa pilihan perkataan dan perbuatan kita masing-masing.

Karma adalah hukum sebab dan akibat. Sebab dan akibat berarti setiap pengalaman bahagia dan sengsara yang kita alami dalam kehidupan pasti ada sebabnya. Jika sebabnya diringankan maka ringan juga akibatnya. Jika sebabnya dapat diatasi [dihapuskan] dengan melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk, maka akibatnya-pun juga akan lenyap. Kebahagiaan dapat dihadirkan dan penderitaan juga dapat dihindari, jika kita merubah sebab-sebabnya.

(33)

2

LANDASAN DAMPAK AKIBAT

KARMA

Membicarakan hukum karma kita sama sekali tidak membicarakan kesan-kesan pikiran-perasaan [samskara] atau gagasan [wasana] mengenai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor, dsb-nya. Kita sama sekali tidak membicarakan moralitas agama, atau membicarakan norma dan susila masyarakat.

Ketika membicarakan hukum karma, secara mendasar berarti kita membicarakan hukum alam semesta, yaitu karena ada perbuatan atau perkataan kita yang menjadi sebabnya kemudian muncul akibatnya. Secara mendasar sesederhana itu saja. Hukum alam semesta [hukum karma] itu netral, disana tidak ada penilaian salah-benar, baik-buruk, suci-kotor, dsb-nya. Dalam hukum karma kita membicarakan

(34)

kekuatan alam semesta yang bekerja berlandaskan pada suatu hukum kosmik, bahwa karena adanya sebab akan menghasilkan dampak akibat.

Dimana dampak [akibat] dari suatu perbuatan atau perkataan [sebab] dibedakan berlandaskan 4 [empat] landasan di bawah ini:

1. Dampak [Akibat] Dan Dorongan [Niat, Motif]

Dampak akibat dari suatu perbuatan atau perkataan yang kita lakukan dibedakan berdasarkan dua hal, yaitu :

1]. Perbuatan atau perkataan kita yang berdampak SUKHACITTA atau yang membahagiakan mahluk lain [seperti misalnya menolong, menyelamatkan, menyenangkan, membahagiakan mahluk lain, dsb-nya], atau sebaliknya, yaitu perbuatan atau perkataan kita yang berdampak DUKHACITTA atau yang merugikan, menyengsarakan, menyakiti mahluk lain, dsb-nya.

2]. Landasan yang mendorongnya [niat,motif].

Dalam hukum karma, tidak hanya perbuatan dan perkataan kita saja yang akan menimbulkan akibat karma, tapi dorongan [motif, niat] kita di dalam melakukannya juga ikut menimbulkan akibat-akibat karma. Disini kita tidak membicarakan kesalahan, pahala

(35)

atau hukuman, melainkan tindakan dan dorongan kita yang direspon oleh hukum alam semesta [hukum karma] menjadi akibat.

Kita bisa melakukan sebuah tindakan baik [berdampak sukhacitta] dengan dorongan yang buruk [berdampak dhukacitta]. Misalnya saat kita membantu atau menolong orang lain tapi kita melakukannya dengan motif, atau dengan niat mengharapkan balasan. “Saya membantu kamu mengerjakan ini agar nanti kamu membantu saya” atau “saya menolong kamu agar nanti kamu bersikap baik kepada saya” atau “saya menyumbang ke panti asuhan agar saya terkenal dan dikagumi orang”. Tindakan membantu atau menolong ini berdampak sukhacitta, tapi mengharapkan balasan ini berdampak dhukacitta. Tindakan sukhacitta akan berakibat kebahagiaan tertentu, sementara dorongan yang berdampak dhukacitta akan berakibat kesengsaraan tertentu.

Atau sebaliknya, kita bisa melakukan sebuah tindakan buruk [berdampak dhukacitta] dengan dorongan yang baik [berdampak sukhacitta]. Misalnya kita memarahi dan mencubit anak kita, tapi dorongannya [motifnya] sangat baik, untuk menyelamatkan nyawanya. Sebagai contoh, jika anak kita lari ke jalan dan kita berbicara lembut, “sayang, kamu jangan lari ke jalan,” ini tidak akan menghentikannya. Jika kita menangkapnya,

(36)

memarahinya dan mencubitnya, ini sangat mungkin akan berhasil, yaitu anak kita terselamatkan. Tapi tetap saja bahwa tindakan berdampak dhukacitta akan berakibat kesengsaraan tertentu, sementara dorongan yang berdampak sukhacitta akan berakibat kebahagiaan tertentu.

Yang sangat harus dihindari adalah sebuah tindakan buruk [berdampak dhukacitta] dengan dorongan yang juga buruk [berdampak dhukacitta]. Misalnya kita menjelekkan atau memojokkan orang lain untuk melampiaskan rasa marah, rasa kecewa atau rasa tidak puas kita, kita merendahkan agama lain untuk secara egois membenarkan agama yang kita yakini, kita melakukan selingkuh untuk membahagiakan diri sendiri, kita melakukan korupsi agar bisa dugem, kita ngebut dijalan [mengganggu dan membahayakan orang lain] untuk mendapat perhatian orang atau untuk menyenangkan diri sendiri, dsb-nya. Tentu selain itu ada banyak sekali contoh lainnya lagi.

Hukum karma itu sangat rumit dan kompleks. Berapa besar akibat kebahagiaan atau kesengsaraan yang secara karma akan kita terima sangat tergantung kepada berapa besar tindakan kita yang berdampak sukhacitta atau dhukacitta, serta berapa besar dorongan [motif, niat] kita yang berdampak sukhacitta atau dhukacitta. Sehingga kita memerlukan kebijaksanaan

(37)

untuk dapat benar-benar mengenali, mana yang berdampak sukhacitta dan mana yang dhukacitta.

Sebagai contoh untuk memperjelas, kita ambil lagi contoh anak yang lari ke jalan itu, tindakan buruk [berdampak dhukacitta] memarahi dan mencubit anak kita akan menghasilkan sedikit akibat kesengsaraan. Tapi dorongannya [motifnya] yang baik [berdampak sukhacitta] akan menghasilkan akibat kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan menghasilkan akibat sengsara-nya, yaitu anak kita terselamatkan, serta anak kita menghargai kita karena kita peduli kepadanya.

Atau contoh lain misalnya, kita menggugurkan kandungan diluar nikah untuk menjaga nama keluarga. Dorongan [motifnya] menghasilkan akibat kebahagiaan, yaitu nama keluarga terjaga. Tapi menggugurkan kandungan itu tindakan yang sangat buruk [berdampak dhukacitta], termasuk karma berat pembunuhan. Yang kelak akan menghasilkan akibat kesengsaraan yang jauh lebih besar dibandingkan menghasilkan akibat bahagia-nya.

Yang paling disarankan di jalan dharma adalah sebuah tindakan baik [berdampak sukhacitta] dengan dorongan yang juga baik [berdampak sukhacitta]. Misalnya menolong orang lain dengan tulus [tanpa mengharapkan timbal balik dalam bentuk apapun], dengan dorongan [motif, niat] semata untuk

(38)

kebahagiaan orang itu saja, kita rajin belajar untuk membahagiakan orang tua kita, kita rajin sembahyang, melukat atau meditasi, agar kita lebih sabar sehingga lebih sedikit menyakiti orang lain, dsb-nya.

2. Desa, Kala, Patra [Tempat, Waktu, Kondisi

Keadaan]

Yaitu dampak akibat dari suatu perbuatan atau perkataan dibedakan berdasarkan desa-kala-patra [tempat, waktu, kondisi keadaan]. Suatu perbuatan atau perkataan yang sama persis, dapat menghasilkan dampak yang sangat berbeda [membahagiakan atau menyengsarakan] semata-mata karena berlandaskan kepada desa-kala-patra.

Jika kita melakukan suatu perbuatan atau perkataan yang walaupun dianggap baik dan patut secara norma dan susila masyarakat, tapi jika kita melakukannya pada desa kala patra [tempat, waktu dan keadaan] yang salah, maka itu tidak akan menghasilkan karma baik, tapi malah menghasilkan karma buruk. Sebaliknya jika kita melakukan suatu perbuatan atau perkataan yang walaupun dianggap tidak patut secara norma dan susila masyarakat, tapi jika kita melakukannya pada desa kala patra [tempat, waktu dan keadaan] yang tepat, maka itu tidak akan menghasilkan karma buruk, tapi menghasilkan karma baik.

(39)

Dalam mengenali hukum karma, kita memerlukan semacam kelenturan dan keluwesan, kita memerlukan kesadaran untuk dapat membeda-bedakan. Bagaimana suatu perbuatan atau perkataan kita yang tepat dan mana yang tidak tepat, sesuai dengan desa kala patra [tempat, waktu dan keadaan].

Dalam mengenali suatu perbuatan atau perkataan yang berlandaskan dharma, kita memerlukan kecerdasan untuk mengenali banyak aspek berlawanan yang berbeda-beda, tidak hanya satu atau dua saja. Kita tidak membicarakan tentang kesan-kesan pikiran [samskara] atau gagasan [wasana] mengenai dualitas salah-benar, baik-buruk, atau suci-kotor, dsb-nya.

Hukum karma tidak mengenal dualitas pikiran, hukum karma hanya mengenal sebab dan akibat. Yaitu apapun perbuatan yang kita lakukan dan apapun perkataan yang kita ucapkan, disebut sebagai SEBAB, secara pasti akan direspon balik oleh alam semesta menjadi AKIBAT.

Kita sama sekali tidak membicarakan moralitas agama, atau membicarakan norma, etika dan susila masyarakat. Karena dualitas pikiran hanya cara pikiran manusia mengerti dan bukan kebenaran semesta itu sendiri. Karena hukum karma hanya mengenal sebab dan akibat. Serta karena kehidupan dan keberadaan kita sangat rumit dan kompleks, sehingga satu jalan tertentu

(40)

tidak akan selalu menjadi cara paling tepat pada tempat, waktu atau keadaan yang berbeda-beda.

Agar kita dapat benar-benar mampu menerapkan beberapa jalan dalam kehidupan sehari-hari, kita dituntut memiliki banyak keluwesan dan kesadaran untuk membedakan.

Cara termudah sebagai pedoman untuk mengenalinya adalah berlandaskan kepada dua hal, yaitu :

1]. Perbuatan atau perkataan yang kita lakukan tersebut memang tepat sesuai dengan tuntutan desa kala patra [tempat, waktu dan keadaan].

2]. Perbuatan atau perkataan yang kita lakukan tersebut bukan suatu tindakan yang bersifat mementingkan diri sendiri. Kita tidak hanya peduli kepada diri sendiri. Kita tidak hanya memandang diri kita sendiri saja dan tidak menaruh perhatian pada masalah atau kepentingan orang lain. Suatu bentuk perasaan bahwa masalah-masalah kita, atau segala sesuatu tentang diri kita adalah yang paling penting di dunia [ego, ke-aku-an, ahamkara]. Tidak ada masalah orang lain yang penting.

Dengan dua hal tersebut sebagai landasan, kita akan memiliki sedikit dasar-dasar keluwesan dan kesadaran untuk membedakan.

(41)

3. Kekuatan Akibat Dari Karma Buruk

Karma buruk secara pasti memiliki kekuatan akibat yang menyengsarakan. Tapi jika sebabnya dapat diatasi [dihapuskan] dengan cara kita melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk, maka akibatnya-pun juga akan berubah.

Akan tetapi juga terdapat pedoman, bahwa ada karma-karma buruk tertentu yang sangat sulit untuk dihapuskan, yaitu jika karma buruk tersebut memenuhi lima ketentuan.

Jika salah satu saja ketentuan ini tidak ada, maka karma-karma buruk tersebut masih dapat dihapuskan dengan melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk. Tapi sebaliknya jika semua lima ketentuan ini ada, maka karma-karma buruk akan berdampak maksimal, sangat sulit dihapuskan, walaupun dengan cara kita melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk.

Lima ketentuan tersebut sebagai berikut ini :

==== 1. Kita benar-benar secara nyata ada melakukan suatu perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta [merugikan, menyengsarakan, atau menyakiti mahluk lain].

(42)

Ketentuan pertama adalah adanya perbuatan atau perkataan kita yang nyata. Kita harus benar-benar ada melakukan suatu perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta.

Misalnya jika kita berniat untuk mencaci-maki seseorang, tapi kemudian handphone kita berdering dan kita tidak jadi melakukannya. Atau kita memikirkan [membayangkan] untuk melukai seseorang, tapi kita tidak pernah benar-benar melakukannya, kita hanya sebatas memikirkan [membayangkan] saja. Dalam kedua kejadian tersebut, walaupun kita ada niat atau ada memikirkan yang mungkin disertai dengan tumpukan rasa marah atau benci, tapi tidak pernah ada terjadi perbuatan atau perkataan nyata yang terlibat di sana. Sehingga tidak memungkinkan adanya sebab-sebab karma. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan jika kita benar-benar melakukan perbuatan atau perkataan yang nyata.

==== 2. Perbuatan atau perkataan berdampak dhukacitta tersebut memiliki sasaran dan berdampak penuh sesuai niat.

Ketentuan kedua adalah adanya orang atau mahluk yang menjadi sasaran dituju dari perbuatan atau perkataan kita yang berdampak dhukacitta, serta berdampak penuh sesuai yang kita niatkan.

(43)

Misalnya kita ingin menembak mati seekor anjing, tapi kemudian yang kena tembak seekor ayam [bukan sasaran yang dituju], itu berarti perbuatan kita tidak mencapai sasaran yang dituju. Atau anjing itu kena tembak hanya di kakinya saja dan tidak mati, itu berarti tidak mencapai akhir yang diniatkan. Secara karma berarti hal itu tidak sekuat jika kita benar-benar berhasil menembak mati anjing tersebut [tepat sasaran dan berdampak penuh sesuai yang kita niatkan].

==== 3. Motif, niat atau kesengajaan di dalam melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta.

Ketentuan ketiga adalah motif, niat atau kesengajaan kita di dalam melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta.

Misalnya kita membunuh seekor ular yang masuk ke rumah dan motif kita melakukannya bukan karena kita benci pada ular itu, tapi karena kita sayang pada keluarga kita dan ingin melindungi mereka. Secara karma hal itu akan berbeda [lebih ringan dan bisa dihapuskan] jika dibandingkan kalau kita membunuh ular tersebut karena rasa benci. Atau misalnya kita sedang naik sepeda dan tiba-tiba secara tidak sengaja kita menabrak seseorang. Walaupun kita tidak berniat melakukannya [tidak sengaja], itu tetap saja suatu

(44)

perbuatan yang berdampak dhukacitta, hanya saja secara karma itu tidak begitu kuat. Secara karma hal itu akan berbeda sekali [jauh lebih ringan dan bisa dihapuskan] jika dibandingkan dengan kalau kita menabrak orang itu secara sengaja.

==== 4. Kita tidak merasa bersalah dengan perbuatan atau perkataan kita tersebut.

Setelah perbuatan atau perkataan berdampak dhukacitta tersebut kita lakukan, kita tidak merasa bersalah dengan perbuatan atau perkataan kita tersebut.

==== 5. Kita tidak merasa menyesal dan tidak meminta maaf.

Setelah perbuatan atau perkataan berdampak dhukacitta tersebut kita lakukan, kita tidak merasa menyesal dan tidak meminta maaf. Setidaknya menyesal dan meminta maaf dari jauh dalam bentuk doa.

Jika suatu perkataan atau perbuatan memenuhi semua lima ketentuan diatas maka karma buruknya akan sangat sulit untuk dihapuskan. Walaupun kita dengan tekun melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk. Tapi jika salah satu saja ketentuan itu tidak ada, maka karma-karma buruknya

(45)

masih dapat dihapuskan dengan melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk.

4. Besar-Kecilnya Akibat Karma Dari Suatu

Perbuatan Atau Perkataan

Terdapat beberapa penunjang yang dapat mempengaruhi besar-kecil kekuatan akibat dari suatu karma baik maupun dari suatu karma buruk, yaitu : ==== 1. Penunjang dalam bentuk perasaan yang menyertai perkataan atau perbuatan.

Melukai seseorang dengan perasaan sangat marah dan benci akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan melukai seseorang dengan sedikit saja rasa marah atau benci. Atau jika kita mencuri dengan dilandasi perasaan serakah [tidak puas atau tidak bersyukur dengan apa yang kita miliki] akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kita mencuri agar tidak mati kelaparan.

Demikian juga sebaliknya, dalam perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta [menolong, menyelamatkan atau membahagiakan mahluk lain], jika kita melakukannya dengan dilandasi perasaan belas kasih dan kebaikan yang benar-benar tulus, itu akan menghasilkan akibat karma baik yang jauh lebih besar

(46)

jika dibandingkan dengan kita membantu orang karena ada maunya, atau karena diberikan imbalan, atau mengharapkan balasan.

==== 2. Penunjang berupa awidya [kebodohan, kesalahpahaman] yang menyertai perkataan atau perbuatan.

Jika kita melakukan suatu perbuatan atau perkataan secara egois, hanya peduli pada diri kita sendiri dan tidak peduli pada masalah penting orang lain atau yang menyakiti mereka.

Misalnya kita pergi ke suatu tempat, kemudian disana kita secara sengaja melanggar aturan adat yang dianggap sangat penting oleh masyarakat disana [tuan rumah] karena kita merasa diri kita sepenuhnya benar. Atau kita ikut berperang untuk membunuh semua orang dari kelompok tertentu dan kita berpikir bahwa hal itu sepenuhnya benar karena kita merasa membela kebenaran. Atau kita membunuh binatang dan merasa itu sepenuhnya benar karena mereka diciptakan Tuhan untuk kita gunakan. Jika pikiran [awidya] seperti itu menyertai perbuatan atau perkataan kita, maka akibat karma buruknya akan jauh lebih besar dan berat.

Lebih jauh dari itu, suatu tindakan berdampak dhukacitta secara karma akan menjadi berat sekali bobotnya jika kita melakukannya dengan riang-gembira,

(47)

kita merasa senang atau puas setelah melakukannya, tidak menganggapnya sebagai sebuah kesalahan dan tidak menganggap hal itu memiliki akibat karma buruk.

Kebalikan dari hal ini adalah jika kita secara terbuka mengakui bahwa perbuatan atau perkataan yang kita lakukan itu merupakan sebuah kesalahan. Bahkan walaupun disaat melakukannya kita tidak menganggapnya sebagai suatu kesalahan, tapi kemudian setelah itu terjadi kita menyadari dan mengakui bahwa itu merupakan kesalahan, hal itu akan mulai meringankan kekuatan akibat karma buruknya. Yang lebih mendalam lagi jika kita berpikir untuk melakukan upaya memperbaiki dampak dhukacitta yang telah kita timbulkan dengan cara melakukan tindakan-tindakan penyeimbang yang berdampak sukhacitta. ==== 3. Penunjang dalam bentuk besarnya dampak perkataan atau perbuatan.

Bagaimana besar dampak kesengsaraan atau kebahagiaan yang diakibatkan dari perbuatan atau perkataan kita terhadap mahluk lain. Misalnya membunuh seseorang akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan memukulnya. Memfitnah seseorang akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan membentaknya. Sekali menipu merugikan ratusan orang akan menghasilkan akibat

(48)

karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekali menipu merugikan satu orang saja.

Demikian juga sebaliknya, terkait perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta. Misalnya menyelamatkan nyawa seseorang akan menghasilkan akibat karma baik yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan memberikannya pakaian, karena perbedaan besar dampaknya. Atau memberikan uang Rp. 1 juta kepada orang miskin akan menghasilkan akibat karma baik yang lebih besar jika dibandingkan dengan memberikannya kepada seorang kaya-raya. ==== 4. Penunjang dalam bentuk manfaat orang yang menjadi sasaran perbuatan atau perkataan kita.

Ini tergantung dari manfaat yang kita terima [atau yang diterima orang lain] dari orang tersebut di masa lampau, di masa kini dan di masa depan. Misalnya menjelek-jelekkan seorang Guru dharma yang asli atau penyebar ajaran dharma yang asli [ajaran dharma yang sesuai kenyataan kosmik] akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar dan berat jika dibandingkan dengan menjelek-jelekkan orang awam, karena manfaat mereka.

Demikian juga sebaliknya, dalam perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta, misalnya melayani atau menolong seorang Guru dharma yang asli

(49)

atau penyebar ajaran dharma yang asli akan menghasilkan akibat karma baik yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan melayani atau menolong orang awam, karena manfaat mereka.

==== 5]. Penunjang dalam bentuk tingkat kondisi keadaan dari orang yang menjadi sasaran perbuatan atau perkataan kita.

Misalnya menyakiti orang yang sedang terpuruk [tertekan, stress], atau misalnya orang yang dalam keadaan mengalami sakit, maka itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kita menyakiti orang yang sedang bahagia atau dalam keadaan sehat. Atau melukai orang yang memiliki banyak sifat-sifat yang baik dan belas kasih, maka itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan melukai orang yang memiliki sifat egois atau yang banyak melakukan pelanggaran dharma.

Demikian juga sebaliknya, dalam perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta, misalnya menolong orang yang sedang terpuruk [tertekan, stress] atau misalnya dalam keadaan sakit, akan menghasilkan akibat karma baik yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan menolong orang yang sedang bahagia atau dalam keadaan sehat.

(50)

==== 6]. Penunjang dalam bentuk janji atau sumpah. Misalnya kita mencaci-maki seseorang yang melukai kita padahal kita sudah bersumpah untuk tidak mencaci-maki siapapun, itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang lebih berat jika dibandingkan ketika kita belum bersumpah apapun.

Demikian juga sebaliknya, jika kita menahan diri sekuat-kuatnya untuk tidak mencaci-maki seseorang yang melukai kita karena kita sudah bersumpah untuk tidak mencaci-maki siapapun, maka tindakan itu kemudian akan menghasilkan akibat karma baik tertentu.

==== 7]. Penunjang dalam bentuk pengulangan.

Misalnya kita melakukan suatu pencurian dan di masa sebelumnya kita telah berkali-kali melakukannya, maka pencurian itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang lebih berat dibandingkan jika kita baru sekali ini saja melakukan pencurian. Atau jika kita tidak memiliki kehendak untuk berhenti mengulanginya. Misalnya kita menghidupkan musik keras-keras di malam hari dan tidak peduli hal itu membuat tetangga tidak bisa tidur, kemudian kita mengulanginya lagi dimalam-malam berikutnya.

(51)

Demikian juga sebaliknya, dalam perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta, misalnya jika kita memberikan makanan kepada pengemis kelaparan dan di masa sebelumnya kita telah berkali-kali melakukannya, maka tindakan memberikan makanan kepada pengemis kelaparan itu akan menghasilkan akibat karma baik yang lebih kuat dibandingkan jika kita baru sekali ini saja melakukannya.

==== 8]. Penunjang dalam bentuk jumlah orang yang melakukan suatu perbuatan atau perkataan.

Misalnya kita melakukan korupsi dan kita adalah bagian dari suatu komplotan, itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kalau kita melakukannya sendirian. Atau jika kita mengeroyok seseorang itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kalau kita sendirian saja memukulinya.

Demikian juga sebaliknya, dalam perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta, seperti ngayah di pura, menyumbang ke panti asuhan, dsb-nya, jika kita melakukannya dengan membuat kelompok bersama banyak orang lainnya [yang ikut dengan senang hati, bukan terpaksa], maka akan menghasilkan akibat karma baik yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kita melakukannya sendirian.

(52)

==== 9]. Penunjang dalam bentuk ada atau tidaknya kekuatan penyeimbangnya.

Misalnya kita mencuri uang milik seseorang [berdampak dhukacitta], apakah kita di masa sebelumnya pernah memberikannya uang [berdampak sukhacitta] sebagai penyeimbang, jika demikian itu akan menghasilkan akibat karma buruk yang lebih ringan jika dibandingkan kita di masa sebelumnya tidak pernah memberikannya uang.

Demikian juga sebaliknya, terkait perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta. Misalnya kita memberikan uang pada seseorang [berdampak sukhacitta], apakah kita di masa sebelumnya pernah mencuri uang darinya [berdampak dhukacitta], jika demikian itu akan menghasilkan akibat karma baik yang lebih lemah jika dibandingkan kita di masa sebelumnya tidak pernah mencuri uangnya.

Pedoman Sangat Mendasar Untuk Menjalani

Kehidupan

Secara umum pedoman dharma mendasar dalam kehidupan ini adalah agar kita berhati-hati dalam perbuatan dan perkataan kita. Hindari menyakiti mahluk lain dan banyak-banyaklah melakukan kebaikan. Hindari memiliki sifat hanya peduli kepada diri sendiri, hanya

(53)

memandang diri kita sendiri dan tidak peduli pada masalah penting orang lain atau yang dapat berakibat menyakiti mereka.

Tapi tentu saja karena kehidupan dan keberadaan kita sangat rumit dan kompleks, sehingga kadang-kadang tidak terhindarkan kita terpaksa harus melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak dhukacitta. Berlandaskan pembahasan-pembahasan mengenai karma [dari para Maharsi, para Guru dharma dan para Danghyang yang wikan dari berbagai jaman] dapat memberikan kita panduan sangat berharga ketika kita melakukan perbuatan dan perkataan berdampak dhukacitta atau sukhacitta dalam hidup ini, dimana kita mengetahui cara membuatnya menjadi lebih lemah atau lebih kuat.

Misalnya kita berprofesi sebagai petani, ada saat-saat dimana kita terpaksa tidak terhindarkan harus membasmi banyak sekali hama dan serangga yang merusak tanaman. Atau mungkin rumah kita diserbu oleh ratusan kecoa sehingga kita terpaksa harus membasminya.

Berlandaskan pada pembahasan-pembahasan mengenai karma ini, kita lakukan tanpa rasa marah atau benci, tidak juga dengan rasa riang-gembira, kita lakukan dengan niat atau motif baik [agar kita dapat memberi makan keluarga dan orang lain bisa makan beras atau

(54)

sayuran, atau dengan tidak ada kecoa agar keluarga kita tidak sakit], kita lakukan tidak terlalu sering, kita lakukan sendirian saja [tidak mengajak orang lain] dan kita lakukan dengan banyak-banyak minta maaf. Yang terakhir adalah kita melakukan upaya memperbaiki dampak dhukacitta yang ditimbulkan dengan mendoakan hama, serangga atau kecoa yang sudah kita basmi, serta kita dengan tekun melaksanakan sadhana-sadhana yang dapat menghapus karma buruk seperti melakukan sadhana penjapaan mantra Ista dewata [mantra yoga] atau melakukan sadhana mandi penyucian [melukat] di pathirtan yang sakral dan dilakukan dengan tata cara melukat yang tepat.

Di Bali kita banyak memiliki tradisi spiritual seperti ini. Misalnya dalam menangani serbuan puluhan ribu hama tikus di sawah. Yang secara tradisi spiritual yang tepat, para petani membasmi tikus tidak dengan rasa marah atau benci, tidak juga dengan rasa riang-gembira, tapi dengan rasa segan kepada sesama mahluk tikus disebut sebagai "Jro Ketut". Dilakukan dengan niat atau motif baik agar penduduk desa tidak mati kelaparan bisa makan beras dan sayuran.

Kemudian setelah dibasmi dilakukan upaya memperbaiki dampak dhukacitta yang ditimbulkan, yaitu mengimbanginya dengan tindakan sukhacitta, dengan cara melakukan upacara ngaben [penyeberangan Atma] tikus-tikus tersebut. Yang

(55)

terakhir adalah melakukan upacara penyucian desa dan para petani yang terlibat dalam pembasmian tikus tersebut. Ketika tidak terhindarkan kita terpaksa harus melakukan perbuatan yang berdampak dhukacitta, kita juga dapat melakukan upaya agar dampak akibat karma buruknya menjadi sangat lemah.

Hal yang sama juga berlaku sebaliknya disaat kita melakukan perbuatan atau perkataan yang berdampak sukhacitta, seperti ngayah di pura, menyumbang ke panti asuhan, melakukan puja, melukat, dsb-nya, alangkah baiknya kita mengajak orang-orang lain [yang mau ikut dengan senang hati, bukan terpaksa] untuk melakukannya bersama-sama, karena akan menghasilkan kekuatan akibat positif yang jauh lebih besar.

Berlandaskan pada pembahasan-pembahasan mengenai karma ini dapat memberikan kita kesadaran untuk membedakan, serta dapat memberikan kita panduan mengenai cara memodifikasi [membuatnya menjadi lebih lemah atau lebih kuat] akibat-akibat karma dari perbuatan dan perkataan kita. Bahkan termasuk disaat kita melakukannya secara terpaksa atau dengan diliputi keraguan dan kebingungan.

Misalnya jika kita terpaksa harus melukai orang lain, paling tidak berusahalah jangan melukai orang-orang yang sudah sangat baik pada kita, atau sudah

(56)

memberikan banyak manfaat kepada kita, atau memberikan banyak manfaat kepada orang-orang lain di masa lalu, masa kini dan masa depan.

Demikian juga sebaliknya, ketika keadaan membuat kita harus memilih untuk menolong orang lain, mulailah dengan menolong mereka yang sudah paling baik pada kita, atau yang paling banyak memberi manfaat kepada kita, atau paling banyak memberi manfaat kepada orang-orang lain di masa lalu, masa kini dan masa depan. Semua ini bukanlah sekedar daftar belaka, tapi sesuatu yang perlu kita upayakan dalam kehidupan sehari-hari menyangkut perbuatan dan perkataan kita terhadap mahluk lain, sehingga kita dapat melangkah secara tepat di dalam mengarungi kehidupan.

(57)

3

DELAPAN BENTUK UTAMA DARI

KARMA

Hukum karma adalah hukum alam semesta yang mengatur jalannya garis nasib kehidupan semua mahluk. Adanya hukum ini dengan maksud agar dinamika alam semesta ini dapat terus bergerak dalam keseimbangan. Sehingga selalu dikatakan dalam ajaran dharma, kalau kita ingin tahu karma kita pada masa kehidupan yang lalu, lihat saja apa yang kita alami dalam kehidupan sekarang. Kalau ingin tahu karma kita pada masa kehidupan yang akan datang, lihat saja apa yang kita lakukan dalam kehidupan sekarang.

Menyangkut hukum karma, terdapat sangat banyak macam-macam bentuk karma-phala, yang secara garis besar dikelompokkan menjadi delapan pokok macam-macam bentuk karma-phala yang saling

(58)

berkait-kaitan, yang disebut dengan asta karma-parinama, yaitu sebagai berikut :

1. Nama Karma

Nama karma adalah kelompok berbagai jenis-jenis karma yang menentukan kita lahir dalam tubuh fisik mahluk apa dan dengan kondisi tubuh fisik bagaimana. Karma ini yang menentukan tubuh fisik kelahiran kembali [punarbhawa, reinkarnasi] kita sebagai mahluk.

Ada yang terlahir kembali dalam tubuh fisik manusia. Dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Juga kita perhatikan tubuh fisik manusia, ada yang berwajah menarik ada yang jelek, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang berambut lurus ada yang berambut keriting, ada yang kulitnya putih ada yang kulitnya hitam, dsb-nya. Kemudian ada juga yang karena banyak akumulasi karma buruknya kemudian mengalami kejatuhan spiritual yaitu harus terlahir kembali dalam tubuh fisik binatang [menjadi binatang].

Di bawah ini adalah beberapa contoh dari nama karma, misalnya :

- Manushya-gati namakarma.

Ini membuat kita lahir dalam tubuh manusia. Ini adalah sangat penting untuk dicapai. Kelahiran dalam

(59)

tubuh manusia sangat berharga, jangan disia-siakan, karena hanya dengan dengan lahir sebagai manusia kita bisa mempelajari dan melaksanakan dharma.

- Tiryag-gati namakarma.

Ini membuat kita lahir dalam tubuh binatang. Ini adalah sangat tidak diharapkan, karena lahir sebagai binatang penuh dengan kesengsaraan dan membuat kita tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari dan melaksanakan dharma. Sangat sulit untuk bisa keluar dan meningkatkan kesadaran dalam roda samsara.

- Samacaturasra-samsthana namakarma.

Ini membuat kita memiliki bentuk tubuh yang proporsional. Membuat bentuk tubuh fisik kita ukurannya seimbang dan ideal.

- Kubja-samsthana namakarma.

Ini membuat kita memiliki tubuh tidak proporsional, seperti misalnya tubuh yang bungkuk, ukuran payudara yang berbeda, telapak tangan atau telapak kaki yang terlalu besar, kepala yang terlalu besar, bahu yang miring sebelah, kaki atau tangan yang panjang sebelah, dsb-nya.

(60)

- Wamana-samsthana namakarma.

Ini membuat kita memiliki tubuh yang kerdil atau cebol, tubuh yang berbeda dengan bentuk umumnya, dsb-nya.

- Krsna-warna namakarma.

Ini membuat kita memiliki kulit berwarna hitam. - Haridra-warna namakarma.

Ini membuat kita memiliki kulit berwarna kuning langsat.

- Sita-warna namakarma.

Ini membuat kita memiliki kulit berwarna putih. - Surabhi-gandha namakarma.

Ini membuat kita memiliki aroma tubuh yang segar dan tidak bau.

- Durabhi-gandha namakarma.

Ini membuat kita memiliki aroma tubuh yang masam, kecut atau seperti bau bawang.

(61)

- Prasasta-wihayogati namakarma.

Ini membuat kita memiliki gerak tubuh yang anggun atau elegan, memiliki kecerdasan kinetik, dsb-nya. Contoh kecerdasan kinetik misalnya seperti Christiano Ronaldo yang demikian lihai memainkan permainan sepakbola.

- Aprasasta-wihayogati namakarma.

Ini membuat kita memiliki gerak tubuh yang canggung dan kikuk, tidak memiliki kecerdasan kinetik, mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan tubuh tertentu dengan keahlian yang baik, dsb-nya.

- Aharaka-sarira namakarma.

Ini membuat kita memiliki indra ketujuh, yang membuat kita dapat mengakses badan-badan halus kita, dimana dengan demikian kita bisa melakukan komunikasi dengan para dewa atau secara niskala bepergian ke alam-alam para dewa, sementara badan fisik kita sendiri masih ada di tempatnya semula. Ini bisa muncul sebagai karma bawaan dari lahir atau bisa juga dapat dimunculkan melalui sadhana dalam jangka waktu tertentu oleh para sadhaka [praktisi spiritual] yang wikan dalam meditasinya.

(62)

2. Gotra Karma

Gotra karma adalah kelompok berbagai jenis-jenis karma yang menentukan seperti apa dan dimana kelahiran kita, serta bagaimana pengalaman dalam perjalanan hidup kita.

Misalnya seperti dilahirkan di tempat, situasi lingkungan dan keluarga seperti apa, dalam kehidupan kita bertemu dengan siapa, mengalami apa, dsb-nya. Juga yang menentukan perjalanan nasib kehidupan kita, lingkungan kita, kebahagiaan hidup, agama yang dianut, orangtua ketika kita dilahirkan, serta juga menjadi penentu pertemuan kita dengan teman, sahabat, rekan kerja, perjodohan dengan suami atau istri, anak, keluarga besar, Guru dharma, dsb-nya.

Gotra karma adalah yang menentukan kita mengalami jalan kehidupan yang cenderung menyengsarakan seperti misalnya lahir di keluarga miskin, lahir di lingkungan yang penuh kejahatan dan konflik, kena tipu, tabrakan di jalan, mengalami bencana, kecurian, kena rampok, disiksa orang, dsb-nya. Termasuk terlahir kembali pada lingkungan yang penuh konflik dan kejahatan, serta perjalanan kehidupan yang cenderung bengis dan penuh kekerasan dan tidak ada ajaran dharma, itu disebabkan oleh gotra karma.

(63)

Karma ini juga yang menyebabkan kita mengalami jalan kehidupan yang cenderung membahagiakan seperti misalnya lahir di keluarga kaya, lahir di lingkungan yang tentram dan damai, mendapatkan profesi yang bagus, mudah mendapat rejeki, disukai orang, menang undian, dsb-nya. Sehingga kalau ada yang terlahir kembali pada lingkungan yang penuh kasih sayang, serta perjalanan kehidupan yang cenderung indah, lancar, bahagia dan berlimpah ajaran dharma, itu disebabkan oleh gotra karma.

Bagian terpenting dari gotra karma adalah bahwa karma inilah yang menentukan kesempatan kita mengalami kemajuan pada pertumbuhan kesadaran kita dalam roda samsara. Ada banyak jenis gotra karma. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari gotra karma terkait pertumbuhan kesadaran kita dalam roda samsara, misalnya :

- Uccair-gotrakarma.

Yaitu terlahir di keluarga dan lingkungan yang baik, dalam artian sangat mendukung kita menapaki jalan dharma untuk mengalami peningkatan kesadaran dalam roda samsara. Dimana secara paling standar adalah memenuhi empat kondisi ini, yaitu sebagai berikut :

(64)

== Terlahir di tempat dimana ada ajaran dharma atau ajaran pembebasan yang asli. Karena kalau kita lahir di tempat dimana tidak ada ajaran dharma, arah perjalanan kita akan dibuat bingung atau salah menentukan arah akibat pandangan-pandangan salah. == Terlahir di keluarga baik-baik. Karena misalnya kalau kita lahir di keluarga penjudi cepat atau lambat kita juga akan jadi penjudi, kalau orang tua suka selingkuh cepat atau lambat kita juga akan selingkuh, dsb-nya.

== Terlahir di lingkungan yang beradab, makmur, damai, serta kaya secara spiritual dan budaya. Karena kalau kita lahir di tempat yang sedang perang atau di tempat yang penuh kejahatan, cepat atau lambat kita juga akan terpengaruh dengan kekejaman dan kejahatan.

== Terlahir di keluarga yang secara ekonomi berkecukupan. Karena kalau lahir di keluarga miskin kita akan menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk mencari uang, hanya sedikit kesempatan mendalami dan mempraktekkan dharma.

- Nicair-gotrakarma.

Yaitu terlahir di keluarga dan lingkungan yang tidak atau kurang baik, dalam arti tidak atau kurang mendukung kita mengalami kemajuan pada pertumbuhan kesadaran kita dalam roda samsara. Yang artinya merupakan kebalikan dari penjelasan tentang uccair-gotrakarma diatas.

(65)

3. Wedaniya Karma

Wedaniya karma adalah kelompok berbagai jenis-jenis karma yang mempengaruhi kecenderungan sifat-sifat dasar kita, kondisi pikiran dan perasaan, serta gejolak emosi kita.

Karma ini yang menyebabkan mengapa ada orang yang kecenderungan sifatnya mudah marah atau sebaliknya sangat penyabar, ada orang yang kecenderungan sifatnya pemurung atau sebaliknya humoris dan ceria, ada orang yang pemberani atau sebaliknya penakut, ada orang yang mudah bahagia atau sebaliknya mudah kecewa dan frustasi, ada orang yang pemalu dan mudah grogi atau sebaliknya sangat percaya diri, dsb-nya.

Karma ini juga menyebabkan kita mengalami pengalaman emosional yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dalam hidup, jatuh cinta, patah hati, pantang menyerah, mudah kecewa, merasa malu, merasa sungkan, dsb-nya.

Juga menjadi penyebab perbedaan sikap seseorang dalam menyikapi positif-negatif suatu kejadian. Misalnya ketika ada yang menghina dan melecehkan sikap si A adalah marah karena merasa disakiti, sedangkan sikap si B dengan kejadian yang sama adalah dia bisa tenang, sabar dan nrimo. Semua karena

(66)

efek dari wedaniya karma, dimana karma ini mempengaruhi gejolak emosi, perasaan dan pikiran positif-negatif kita. Jadi kalau ada orang yang secara alami kecenderungan emosinya stabil, jiwanya sabar, tenang dan damai, itu disebabkan oleh wedaniya karma.

Ada banyak jenis wedaniya karma. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari wedaniya karma, misalnya berikut ini :

- Satawedaniya karma.

Karma ini terbentuk dan terakumulasi melalui sifat belas kasih kepada semua mahluk, sifat sangat memaafkan, tidak pernah dendam sedikitpun, kesabaran, ketabahan, penuh pengertian kepada beban, hasrat, penderitaan, kesulitan mahluk lain dan upaya tulus kerelaan diri untuk mengurangi beban penderitaan para mahluk.

Satawedaniya karma membuat gejolak emosi dan perasaan kita tetap tenang, sabar, sejuk, damai dan bahagia pada apapun yang terjadi. Ini akan meringankan beban karma kita, serta sekaligus mengarahkan hidup kita kepada mendapat kemudahan-kemudahan serta pengalaman-pengalaman baik dalam hidup.

(67)

- Asatawedaniya karma.

Karma ini terbentuk dan terakumulasi dari sifat mementingkan diri sendiri, menyakiti mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan, serta merasa terpuaskan dalam penderitaan mahluk lain tersebut. Asatawedaniya karma membuat kita mudah stress, mudah menyerah, mudah kecewa, mudah depresi, dsb-nya. Ini tidak saja akan menambah berat beban karma kita, tapi sekaligus juga mengarahkan hidup kita kepada kesengsaraan seperti kemiskinan, jatuh sakit, dsb-nya, sebagai buah karmanya.

4. Mohaniya Karma

Mohaniya karma adalah kelompok berbagai jenis-jenis karma yang mempengaruhi kecerdasan spiritual kita, dimensi tingkat kesadaran kita, serta menghambat peningkatan kualitas kesadaran kita. Mohaniya karma mempengaruhi badan, pikiran, perasaan dan jalan kehidupan kita yang membuat kita sulit untuk sadar atau keluar dari jalan adharma, membuat kita sulit untuk meninggalkan cara-cara salah dan jalan hidup yang salah. Membuat kita jauh dari Atma Jnana atau kesadaran akan kenyataan diri yang sejati.

Ini sebabnya ada sebagian orang yang lebih tertarik judi, korupsi atau selingkuh dibandingkan melaksanakan dharma dan belajar meditasi. Ada orang

Referensi

Dokumen terkait