• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TER"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN

BERDASARKAN TELAAH LITERATUR

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Pendidikan Program Diploma III Kebidanan Bandung Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

Disusun oleh: ELLY NU’MA ZAHROTI

P17324110009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG

JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG

(2)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN

BERDASARKAN TELAAH LITERATUR

Disusun oleh : ELLY NU’MA ZAHROTI

NIM : P17324110009

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 29 Oktober 2013

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua Penguji

Maria Olva, S. Kp., M.Kes. NIP. 194902051968062001

Anggota Penguji

Cherly Marlina, SST., M. Kes. NIP. 198004222002122001

Desi Hidayanti, SST., MPH. NIP. 198012142002122001 Mengetahui,

Ketua Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Bandung

(3)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Karya Tulis Ilmiah dengan judul

“PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN

DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR”

Disusun oleh:

ELLY NU’MA ZAHROTI NIM. P17324110009

Telah diperiksa dan disetujui untuk dipertahankan pada sidang akhir hasil Karya Tulis Ilmiah

Pembimbing

Desi Hidayanti, SST., MPH. NIP. 198012142002122001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

(4)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Bandung, Oktober 2013

Elly Nu‟ma Zahroti

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Elly Nu‟ma Zahroti

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 24 Mei 1992

Status : Belum menikah

Agama : Islam

Alamat : Sukajadi Aspol No. 75 Rt.04 Rw.09 Bandung

40162

II. Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Sejahtera V Bandung Tahun 1998-2004

2. SMP Negeri 12 Bandung Tahun 2004-2007

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, hidayat, serta kuasa-Nya

penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR”. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Diploma III

jurusan Kebidanan Politeknik Kementerian Kesehatan Bandung.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan

berbagai pihak baik moril maupun materil, maka pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dewi Purwaningsih, S.SiT,. M.Kes, selaku Ketua Jurusan Kebidanan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.

2. Yulinda SST,. MPH., selaku Sekretaris Jurusan Kebidanan Bandung

Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung

3. Desi Hidayanti SST., MPH., selaku dosen pembimbing yang dengan

sangat sabar dan rendah hati, juga dengan caranya yang cerdas, selalu

memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam

penyusunan kaya tulis ilmiah ini. Ibu, terimakasih.

4. Seluruh dosen pengajar Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik

(7)

persatu, karena telah memberikan ilmunya yang bermanfaat dan luar

biasa, selama saya mengikuti pendidikan di sini.

5. Seluruh staf dan karyawan Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik

Kesehatan Kemenkes Bandung yang selalu mendukung berlangsungnya

pendidikan penulis.

6. Bapak Muhtadi, ayah yang selalu jadi emas di setiap diamnya dan

selalu jadi yang paling bijak di setiap katanya, apapun yang telah ayah

lakukan, terimakasih karena selalu membuat saya merasa berharga.

7. Mama, Iis Elisah, terimakasih karena selalu mendukung saya dan tak

pernah mengizinkan saya untuk berhenti.

8. Saudara laki-lakiku, Ahmad Fazi Ghozi dan Marhab Musaid.

Terkadang kalian menyebalkan tapi harapan kalian untuk melihat

saudaramu ini segera menyelesaikan pendidikannya, cukup membuatku

termotivasi. Terimakasih.

9. Saudara perempuanku, Farhatu Muti‟ati, semangat! Sebentar lagi

giliranmu, Dek!

10. Rekan-rekan angkatan 2010, dengan peran masing-masing dari kalian

yang berbeda-beda, terimakasih telah sempat bersama dan saling

membantu, mengingatkan, memberi masukan dan memberi dukungan

dalam suka maupun duka. Khususnya Chatrin Marinda, Nita

Novitawati, dan penghuni kamar 206 serta 207.

11. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak bisa

(8)

yang paling dalam dan mudah-mudahan mendapatkan balasan dari

Allah SWT.

Penulis menyadari dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis menerima saran dan

kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi

penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya serta semoga segala

perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Amin.

Bandung, Oktober 2013

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan ... 5

D. Manfaat ... 6

E. Ruang Lingkup ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir ... 7

1. Sirkulasi Darah Janin ... 7

2. Sirkulasi Darah Peralihan... 10

3. Sirkulasi Darah Neonatus... 12

B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan ... 14

C. Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 26

1. Pemotongan Tali Pusat Segera ... 26

2. Penundaan Pemotongan Tali Pusat... 28

D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan ... 30

(10)

2. Hematokrit... 32

3. Zat Besi ... 33

4. Bilirubin ... 35

BAB III PEMBAHASAN ... 38

A. Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 38

B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 40

C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 43

D. Status Bilirubin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 45

E. Waktu Pemotongan Tali Pusat yang Optimal ... 48

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Simpulan ... 51

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin ... 7

Gambar 2.2 Sirkulasi Janin ... 9

Gambar 2.3 Krista Dividens ... 10

Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular ... 12

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan... 15

Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat Dari Berbagai

Sumber ... 30

Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 38

Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari

Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 42

Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari

Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 43

Tabel 3.4 Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari

(13)

ABSTRAK

PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR

viii, IV BAB, 52 halaman

Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami peralihan pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama masa tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), menambah volume darah dan mencegah hipovolemi serta hipotensi pada bayi baru lahir. Adanya perbedaan waktu pemotongan tali pusat antara penundaan pemotongan tali pusat dan pemotongan tali pusat segera, mempengaruhi hematologi bayi baru lahir cukup bulan, namun waktu pemotongan tali pusat yang bermanfaat bagi bayi baru lahir masih diperdebatkan.

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan sehingga didapatkan manfaat yang optimal bagi bayi baru lahir dengan meninjau dari berbagai literatur.

Nilai hemoglobin pada bayi yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, begitupun dengan nilai hematokrit dan zat besi. Peningkatan nilai hematokrit yang terjadi, tidak terbukti menimbulkan polisitemia pada bayi baru lahir cukup bulan, begitupun dengan peningkatan nilai bilirubin serum yang tidak menimbulkan ikterus patologi.

Berdasarkan telaah literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan, didapat bahwa waktu pemotongan tali pusat yang optimal adalah penundaan pemotongan tali pusat hingga 2 menit yang ditandai dengan berhentinya pulsasi tali pusat dan dengan tetap mempertimbangkan kondisi ibu dan bayi. Hal tersebut dapat meningkatkan nilai hemoglobin, hematokrit dan zat besi yang dapat mencegah anemia pada bayi baru lahir, sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan bayi.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami peralihan

pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama masa

tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih

ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb),

hematokrit (Ht), menambah volume darah atau eritrosit, serta dapat mencegah

hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir (Santosa, 2008).

Perbedaan waktu pemotongan tali pusat dapat memberikan dampak pada

bayi baru lahir. Disebutkan bahwa pemotongan tali pusat yang segera,

menjadi penyebab utama anemia pada bayi baru lahir, sedangkan di lain

pihak, beberapa peneliti mendapatkan efek berbeda jika dilakukan penundaan

pemotongan tali pusat, diantaranya adalah kejadian ikterus dan polisitemia

(Hutton, 2007).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen

Kesehatan (Depkes) RI pada tahun 2001 menyatakan 61,3% bayi baru lahir

sampai usia 6 bulan menderita anemia defisiensi besi. Selanjutnya, hasil

penelitian terbaru mendapatkan bahwa 41 bayi baru lahir berusia 0-6 bulan

(39,4%) menderita anemia dan 40 bayi diantaranya (97,6%) menderita

(15)

Tingginya angka prevalensi anemia pada bayi baru lahir, berhubungan

dengan tidak cukupnya penyimpanan cadangan zat besi pada bayi (Artha,

2013). Penundaan pemotongan tali pusat ditemukan dapat mengatasi hal

tersebut, karena bayi mendapat tambahan zat besi sebesar 40-50 mg/kg saat

lahir sehingga dapat mencegah kekurangan zat besi bahkan hingga bayi

tersebut mencapai usia satu tahun (Committee on Obstetric Practice of The

American Academy of Pediatric, 2012).

Penundaan pemotongan tali pusat juga dapat meningkatkan kadar

hemoglobin pada bayi baru lahir cukup bulan. Ditemukan bahwa kadar

hemoglobin pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan segera

adalah 16,2 g/dL, sedangkan pada bayi yang dilakukan penundaan

pemotongan tali pusat adalah 18,3 g/dL (Lubis, 2008). Perbedaan kadar

hemoglobin tersebut terbukti signifikan dan dapat menurunkan kejadian

anemia bayi baru lahir sebesar 47% (Hutton, 2007).

Penundaan pemotongan tali pusat, selain bermanfaat karena

meningkatkan kadar hemoglobin, hal tersebut juga memberikan efek lain

berupa peningkatan kadar hematokrit yang jika kadarnya melebihi 65% akan

menyebabkan polisitemia (Lessaris, 2009). Hal tersebut terlihat dari

penelitian berikut yang menemukan kadar hematokrit bayi yang dilakukan

penundaan pemotongan tali pusat lebih besar, yaitu 60,6% dibandikan dengan

bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan kadar hematokrit sebesar

(16)

Angka kejadian polisitemia di Rumah Sakit Hasan Sadikin dilaporkan

sebesar 8,4%. Persentase kejadian tersebut terbilang tinggi dan disimpulkan

sebagai akibat dari penambahan volume darah karena penundaan pemotongan

tali pusat (Adilia, 2011). Sesuai dengan review Mc Donald (2013) yang meninjau dari beberapa penelitian yang berlangsung dari tahun 1989 hingga

tahun 2006, peningkatan risiko polisitemia memang terjadi pada kelompok

penundaan pemotongan tali pusat. Salah satunya diambil dari penelitian oleh

Aziz, dkk (2006) yang menemukan kejadian polisitemia pada kelompok bayi

dengan penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 2 menit.

Efek samping lainnya dari penundaan pemotongan tali pusat adalah

ditemukan lebih banyak bayi yang memerlukan fototerapi akibat

hiperbilirubinemia dibandingkan dengan kelompok pemotongan tali pusat

segera (Emhamed, 2004). Seperti pada penelitian Tanmoun (2013) yang

menemukan peningkatan bilirubin serum hingga 15 mg/dL pada bayi usia 48

jam yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan bayi tersebut

memerlukan fototerapi.

Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa penundaan pemotongan

tali pusat berdampak pada kejadian ikterus dan polisitemia bayi baru lahir,

namun Kohn (2013) menemukan bahwa risiko ikterus dan polisitemia pada

bayi baru lahir tidak ditimbulkan akibat penundaan pemotongan tali pusat,

melainkan lebih diakibatkan oleh kondisi maternal dan bayi setelah lahir.

(17)

dalam menurunkan anemia lebih terbukti akibat peningkatan hemoglobin,

hematokrit dan zat besi saat bayi baru lahir.

Kejadian anemia, polisitemia dan ikterus pada bayi baru lahir, merupakan

keadaan yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat dicegah dengan

penatalaksanaan bayi baru lahir yang optimal, salah satunya adalah dengan

memperhatikan waktu pemotongan tali pusat, sehingga diperlukan kajian

untuk menentukan mana yang terbaik, antara pemotongan tali pusat segera

atau penundaan pemotongan tali pusat.

Kebanyakan praktisi negara barat melakukan pemotongan tali pusat

segera, sedangkan di negara lain masih bervariasi. Begitupun di Indonesia,

banyak praktisi belum melakukan penundaan pemotongan tali pusat

(BKKBN, 2011). Kebiasaan praktik pemotongan tali pusat segera adalah

karena kekhawatiran terhadap ikterus (Varney, 2009). Padahal kejadian

anemia pun tidak kalah penting untuk diwaspadai karena akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut, mengingat juga bahwa

pemeriksaan rutin atas Hb, Ht dan zat besi pada bayi baru lahir yang menjadi

indikator anemia jarang sekali dilakukan jika tanpa indikasi (Santosa, 2008).

Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik melakukan studi literatur

mengenai “Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penyusunan

Karya Tulis Ilmiah ini adalah:

Bagaimana pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status

hematologi bayi baru lahir cukup bulan ditinjau dari berbagai literatur?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Diketahuinya pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status

hematologi bayi baru lahir cukup bulan sehingga didapatkan manfaat

yang optimal bagi bayi baru lahir.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya hematologi bayi baru lahir cukup bulan, sirkulasi darah

peralihan janin ke bayi dan pengaruh waktu pemotongan tali pusat.

b. Diketahuinya status hemoglobin bayi baru lahir cukup bulan dilihat

dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.

c. Diketahuinya status hematokrit bayi baru lahir cukup bulan dilihat

dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.

d. Diketahuinya status zat besi bayi baru lahir cukup bulan dilihat dari

perbedaan waktu pemotongan tali pusat.

e. Diketahuinya status bilirubin bayi baru lahir cukup bulan dilihat dari

(19)

D. Manfaat

1. Bagi penulis

Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna

dari berbagai literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan tali pusat

terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan dapat mengaplikasikan waktu pemotongan tali

pusat yang optimal bagi bayi baru lahir cukup bulan, sehingga dapat

mengurangi angka kesakitan bayi baru lahir.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi

mahasiswi kebidanan yang sedang belajar mengenai asuhan ibu bersalin

dan bayi baru lahir.

E. Ruang Lingkup

Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai sirkulasi darah

peralihan dari janin ke bayi baru lahir, hematologi bayi baru lahir cukup bulan

dan pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi

baru lahir cukup bulan berupa hemoglobin, hematokrit, zat besi serta bilirubin

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir

1. Sirkulasi Darah Janin

Pada sirkulasi janin, ventrikel kanan dan kiri berada dalam sirkuit

paralel yang berlawanan dengan sirkuit seri neonatus atau dewasa. Pada

janin, pertukaran gas dan metabolit dilakukan oleh plasenta. Paru-paru

tidak memberikan pertukaran gas dan pembuluh darah dalam sirkulasi

paru-paru mengalami vasokontriksi. Ada tiga bangunan kardiovaskuler

unik pada janin yang penting untuk mempertahankan sirkulasi paralel ini:

duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus.

Sumber: Yorkshire and Humber Congenital Cardiac Network (2012)

Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin

(21)

Darah teroksigenasi yang kembali dari plasenta, dengan PO (tekanan

oksigen) sekitar 30-35 mmHg mengalir ke janin melalui vena umbilikalis.

Sekitar 50% darah vena umbilikalis masuk ke sirkulasi hepatis, sedang

sisanya melintasi hati dan bergabung dengan vena kava inferior melalui

duktus venosus, tempat ia sebagian bercampur dengan darah vena kava

inferior yang kurang teroksigenasi yang berasal dari bagian bawah tubuh

janin. Kombinasi tubuh bagian bawah ini ditambah dengan aliran darah

vena umbilikalis (PO2 sekitar 26-18 mmHg) masuk atrium kanan dan

diarahkan secara khusus melewati foramen ovale ke atrium kiri. Kemudian

darah ini mengalir ke dalam ventrikel kiri dan dikeluarkan ke dalam aorta

asendens. Darah vena kava superior janin yang sangat kurang

teroksigenasi (PO2 12-14 mmHg) masuk atrium kanan, secara khusus

melintasi trikuspidalis bukannya foramen ovale, dan mengalir terutama ke

ventrikel kanan.

Darah tersebut kemudian dipompa dari ventrikel kanan ke dalam

arteria pulmonalis karena sirkulasi arteria pulmonalis vasokontriksi dan

hanya sekitar 10% aliran keluar ventrikel kanan masuk paru-paru.

Sebagian besar darah ini (yang mempunyai PO2, sekitar 18-22 mmHg)

melintasi paru-paru dan mengalir melalui duktus arteriosus ke dalam aorta

desendens untuk terus ke bagian bawah tubuh janin juga untuk kembali ke

plasenta melalui dua arteria umbilikalis, dengan demikian, tubuh bagian

atas janin (termasuk arteria koronaria dan serebral, dan yang ke

(22)

mempunyai PO2 sedikit lebih tinggi daripada darah yang mengaliri bagian

bawah tubuh janin, yang berasal sebagian terbesar dari ventrikel kanan.

Hanya sedikit volume darah dari aorta asendens (10% dari curah jantung

janin) mengalir melewati isthmus aorta ke aorta desendens.

Gambar 2.2 Sirkulasi Janin

Curah jantung janin total, yaitu gabungan curah ventrikel (CV) baik

ventrikel kiri maupun kanan-berjumlah sekitar 450 ml/kg/men. Sekitar

65% aliran darah aorta desendens kembali ke plasenta, sisanya 35%

mengaliri organ-organ dan jaringan janin. Pada janin, dengan persentase

aliran darah lebih besar menuju otak, curah ventrikel kanan mungkin lebih

mendekati 1,3 kali aliran ventrikel kiri, dengan demikian, selama

(23)

darah sistemik tetapi melakukan kerja dengan volume yang lebih besar

daripada ventrikel kiri (Nelson, 2000).

Perlu diketahui bahwa adanya krista dividens sebagai pembatas pada

vena kava, memungkinkan sebagian besar darah bersih dari duktus

venosus langsung mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya sebagian

kecil akan mengalir kearah ventrikel kanan (Prawirohardjo, 2010).

Sumber: Okymehtn (2012)

Gambar 2.3 Krista Dividens

2. Sirkulasi Darah Peralihan

Pada saat lahir, pengembangan mekanik paru-paru dan kenaikan PO2

arterial menyebabkan penurunan tahanan vaskuler pulmonal cepat. Secara

serentak penghentian sirkulasi plasenta bertahanan rendah megakibatkan

penambahan tahanan vaskuler sistemik. Curah darah dari ventrikel kanan

sekarang mengalir seluruhnya ke dalam sirkulasi pulmonal dan karena

tahanan vaskuler pulmonal lebih rendah daripada tahanan vaskuler

(24)

kanan. Selama perjalanan beberapa hari setelah lahir, PO2 arterial yang

tinggi mengkontriksi duktus arteriosus dan ia menutup, akhirnya menjadi

ligamentum arteriosum. Kenaikan volume aliran darah pulmonal yang

kembali ke atrium kiri menaikkan volume dan tahanan atrium kiri cukup

untuk secara fungsional menutup foramen ovale, walaupun foramen dapat

tetap terbuka dengan probe-paten selama bertahun-tahun.

Pengambilan plasenta dari sirkulasi juga menyebabkan penutupan

duktus venosus, dengan demikian, dalam beberapa hari peralihan, total

dari sirkulasi paralel (janin) ke seri (dewasa) hampir sempurna. Ventrikel

kiri sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi sistemik tahanan tinggi dan

ketebalan dinding dan massanya mulai bertambah. Sebaliknya ventrikel

kanan sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi pulmonal bertahanan

rendah, dan ketebalan dinding dan massanya sedikit berkurang. Ventrikel

kiri pada janin memompa darah hanya pada bagian atas tubuh dan otak,

sekarang harus menghantarkan seluruh curah jantung sistemik (sekitar

350 ml/kg/men), penambahan curah hampir 200%. Kenaikan yang

mencolok pada pekerjaan ventrikel kiri ini dicapai melalui gabungan

isyarat hormonal dan metabolik, termasuk penambahan katekolamin

(Nelson, 2000).

Aliran darah dari plasenta berhenti pada saat tali pusat diklem.

Tindakan ini meniadakan suplai oksigen plasenta dan menyebabkan

(25)

oleh reaksi-reaksi yang terjadi dalam paru sebagai respon terhadap tarikan

napas pertama (Varney, 2009).

Sebelum Lahir Setelah Lahir

Sumber: Fraser (2009)

Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular

3. Sirkulasi Darah Neonatus

Pada saat lahir, sirkulasi janin harus segera beradaptasi dengan

kehidupan ekstrauterin seperti pertukaran gas dipindahkan dari plasenta

ke paru-paru. Beberapa dari perubahan ini sebenarnya spontan bersama

dengan pernapasan pertama dan yang lain dipengaruhi selama beberapa

jam atau beberapa hari sesudah pada mulanya ada penurunan ringan pada

tahanan darah sistemik, kemudian ada kenaikan progresif dengan semakin

bertambahnya umur. Frekuensi jantung melambat akibat respon

baroreseptor pada kenaikan tahanan vaskuler sistemik bila sirkulasi

plasenta dihilangkan. Rata-rata tekanan aorta sentral pada neonatus cukup

(26)

Penurunan tahanan vaskuler pulmonal mencolok terjadi karena

vasodilatasi aktif (terkait PO2) maupun pasif (terkait mekanik) dengan

mulainya ventilasi. Pada neonatus normal, penutupan duktus arteriosus

dan penurunan tahanan vaskuler pulmonal menyebabkan penurunan

tekanan arteria pulmonalis dan ventrikel kanan. Penurunan tahanan

pulmonal dari tingkat janin yang tinggi ke tingkat “dewasa” pada bayi

biasanya terjadi pada hari 2-3 pertama tetapi dapat diperpanjang selama 7

hari atau lebih. Lewat umur beberapa minggu pertama, tahanan vaskuler

pulmonal bahkan menurun lebih lanjut akibat perubahan bentuk

vaskularisasi pulmonal, meliputi penipisan otot polos vaskuler dan

penambahan pembuluh darah baru.

Curah jantung neonatus (sekitar 350 ml/kg/men) turun sesudah umur

2 bulan pertama sampai 150 ml/kg/men, kemudian turun lagi secara

perlahan-lahan sampai mencapai curah jantung sekitar 75 ml/kg/men.

Persentase hemoglobin janin yang tinggi yang ada pada neonatus

sebenarnya dapat mengganggu penghantaran oksigen ke jaringan

neonatus, sehingga memerlukan penambahan curah jantung untuk

penghantaran oksigen yang cukup ke jaringan.

Pada neonatus cukup bulan, oksigen merupakan faktor pengendali

penutupan duktus yang paling penting, bila PO2 darah yang lewat melalui

duktus mencapai sekitar 50 mmHg, dinding duktus berkontriksi,

mekanisme kontriksi duktus yang diaktifkan oksigen belum sepenuhnya

(27)

diperantarai oleh pengaruhnya pada sintesis prostaglandin. Umur

kehamilan juga tampak memainkan peran penting, duktus bayi prematur

kurang tanggap terhadap oksigen walaupun otot-ototnya berkembang

(Nelson, 2000).

B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan

Hematologi adalah ilmu yang berkenaan dengan darah, jaringan yang

menghasilkan darah, dan kelainan, penyakit, serta gangguan yang berkaitan

dengan darah. Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah, sumsum

tulang tempat sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel darah

disimpan jika tidak bersirkulasi (Corwin, 2009).

Komponen sel dan plasma darah mengalami perubahan yang dramatis

dari janin ke bayi. Hal ini terutama berlaku di beberapa bulan kehidupan

pertamanya sebagai bayi dalam masa transisi dari lingkungan intrauterin ke

kehidupan ekstrauterin (Elzouki, 2012).

Nilai darah pada bayi baru lahir lebih bervariasi daripada nilai pada orang

dewasa atau anak yang lebih tua. Bidan harus menyadari rentang nilai untuk

(28)

Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan

tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida.

Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah HbA

yang kadarnya kira-kira 98% dari keseluruhan hemoglobin, HbF yang

kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1 tahun dan

HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir kadar HbF

masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90% dari seluruh hemoglobin bayi

tersebut. Pada perkembangan selanjutnya kadar HbF ini akan berkurang

hingga pada umur 1 tahun dan kadarnya tidak lebih dari 2% (Hassan,

(29)

Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan

bagian penting dari hemoglobin tetapi juga merupakan bagian dari

sitokrom dan enzim pernafasan yang penting. Persenyawaannya terdiri

dari cincin porifirin dengan atom Fe di tengahnya (Elzouki, 2012).

Hemoglobin dapat mengikat oksigen (O2) atau karbonmonoksida

(CO) dalam keadaan besi tereduksi (ferro), sedangkan dalam bentuk

teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen, tapi mudah

mengikat anion. Fungsi hemoglobin ialah mengangkut oksigen (O2) ke

jaringan tubuh dan CO2 dari jaringan ke paru (Wahidiyat I, 2005).

Bayi baru lahir dilahirkan dengan nilai hemoglobin yang tinggi.

Konsentrasi hemoglobin normal memiliki rentang dari 13,7 sampai 20,0

g/dL. Gomella (2004) memberikan batasan, pada saat lahir nilai normal

Hb bayi baru lahir dengan usia kehamilan > 34 minggu adalah 14 – 20

g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL.

Hemoglobin janin memiliki afinitas yang tinggi terhadap oksigen,

suatu efek yang menguntungkan bagi janin. Selama beberapa hari pertama

kehidupan, nilai hemoglobin sedikit meningkat, sedangkan volume

plasma menurun. Hemoglobin kemudian turun perlahan tetapi

terus-menerus pada 7 sampai 9 minggu pertama setelah bayi lahir, disebut

anemia fisiologis (Varney, 2009).

Nelson (2000) menyebutkan bahwa anemia fisiologis adalah

penurunan Hb hingga 9,5-11 g/dL pada bayi baru cukup bulan usia 2-3

(30)

peningkatan tekanan O2 dari 25-30 mmHg saat janin menjadi 90-95

mmHg, yang menyebabkan serum eritropoitin menurun sehingga

produksi eritrosit juga menurun (Chapman, 2010).

Anemia fisiologis jika tidak diperhatikan dan diatasi, dengan tidak

memberikan asupan nutrisi yang cukup, akan terus berlangsung hingga

bayi usia 6 bulan dan bukan lagi menjadi hal yang fisiologis (Chaparro,

2006). Sedangkan untuk anemia selama masa neonatus (0-28 hari

kehidupan) pada bayi dengan umur kehamilan > 34 minggu ditentukan

berdasar kadar Hb < 13 g/dL (darah vena sentral) atau 14,5 g/dL (darah

arteri). Menurut Varney (2009) nilai hemoglobin awal pada bayi baru

lahir sangat dipengaruhi oleh waktu pemotongan tali pusat dan posisi bayi

baru lahir segera setelah lahir.

2. Hematokrit

Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan

persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003).

Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi baru lahir

berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain menyebutkan nilai

hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp O, 2004).

Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari pertama

kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5% dan pada

akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi baru lahir

normal, hematokrit (darah kapiler) hari pertama kehidupan adalah 62,9 ±

(31)

diartikan sebagai batas anemia pada neonatus, namun karena kadar

hematokrit meningkat kurang lebih 10% pada jam-jam pertama

kehidupan, sehingga secara pendekatan klinis lebih tepat mendefinisikan

anemia neonatus berdasar kadar hematokrit adalah pada batas 45% pada 6

jam setelah lahir (Cernadas, 2006) dan bila kadar hematokrit meningkat >

65%, disebut polisitemia.

Polisitemia pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai peningkatan

kadar hematokrit > 65%. Polisitemia dihubungkan dengan peningkatan

jumlah eritrosit dalam pembuluh darah dan sering dihubungkan dengan

kelainan/gangguan pada neonatus. Gangguan akibat polisitemia yang

dihubungkan dengan peningkatan viskositas darah yaitu terjadinya

gangguan kinetika aliran darah. Hal tersebut bermanifestasi aliran darah

yang lambat dan terjadi endapan darah dan merupakan predisposisi

terjadinya mikrotrombi dan penurunan oksigenasi jaringan (Susilowati,

2009). Risiko polisitemia meningkat pada bayi-bayi yang dilahirkan dari

ibu dengan diabetes dan bayi kembar serta yang mengalami twin to twin transfusi (Aziz, 2006).

Faktor faktor yang mempengaruhi hemoglobin dan hematokrit bayi

baru lahir:

a. Asal sampel darah

Darah kapiler mempunyai hemoglobin lebih tinggi dibanding

(32)

perbedaannya. Beberapa jam setelah lahir, terdapat perbedaan ± 5%

antara kadar Hb kapiler dibanding dengan darah vena (Oski, 1996).

b. Waktu pengambilan sampel darah

Selama beberapa jam pertama kehidupan terjadi peningkatan

konsentrasi Hb. Peningkatan ini terutama terjadi akibat transfusi

plasental selama proses persalinan. Pada jam-jam pertama kehidupan,

tampaknya plasma meninggalkan sirkulasi. Total volume darah pada

bayi menyesuaikan segera setelah lahir, terjadi penurunan volume

plasma, sementara eritrosit tetap. Sehingga sebagai hasil akhir, terjadi

peningkatan jumlah eritrosit, Ht dan Hb (Oski, 1996). Gomella (2004)

berpendapat, nilai hemoglobin bayi sehat aterm tidak berubah secara

signifikan sampai minggu ke-3 kehidupan, kemudian turun sampai 11

g/dL pada usia 8 – 12 minggu.

c. Kadar hemoglobin ibu

Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.

Pada ibu hamil, besi ditransport melalui plasenta secara efisien

sehingga bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan besi

yang cukup. Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu hamil

hanya mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam janin dan

neonatus, sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik, kecuali ibu

(33)

d. Waktu pemotongan tali pusat

Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125 cc

darah saat lahir, atau kurang lebih 1/4 sampai 1/3 volume darah fetus.

Kurang lebih 1/3 darah plasenta ditransfusikan dalam waktu 15 detik

pertama setelah lahir dan setengahnya dalam 1 menit pertama setelah

lahir (Oski, 1996). Sebagian besar bayi sehat mendapatkan transfusi

plasental dengan jumlah yang besar dalam 45 detik setelah lahir

(Philip 2004).

Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali

pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata

volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan

penjepitan dini 78 ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi

dengan penundaan pemotongan tali pusat.

Sumber: Sloan (2012)

Gambar 2.5 Tali Pusat yang Dibiarkan Selama 15 Menit

Gambar di atas memperlihatkan terjadinya aliran darah dari

(34)

pemotongan tali pusat. Semakin lama pemotongan tali pusat dilakukan

maka aliran darah yang terlihat semakin berkurang.

Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit dapat

menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan sebesar

100 ml pada penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 3 menit

(Varney, 2009).

e. Faktor lain

Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir

adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu diabetes

melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK) (Philip, 2004),

hipertensi, pre-eklamsi/eklamsi (Prawirohardjo, 2010).

Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi

plasenta akan mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir, seperti

durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh gravitasi/posisi bayi,

kontraksi uterus dan kelainan plasenta lainnya seperti infark, hematom

dan solutio plasenta (Santosa, 2008).

3. Fe (Zat Besi)

Jumlah Fe pada bayi kira kira 400 mg yang terbagi sebagai berikut:

masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%, mioglobin 5-10%,

hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%. Pengangkutan Fe dari rongga usus

hingga menjadi transferin, yaitu suatu ikatan Fe dan protein di dalam

(35)

Fe dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di

dalam lambung Fe akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam

lambung (HCL). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero

oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel

mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan

sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut

transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis

hemoglobin. Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan

sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makanan mengandung Fe yang larut, sedangkan

fosfat, oksalat dan fitrat menghambat absorpsi Fe (Hassan, 1985).

Eksresi Fe dari tubuh sangat sedikit. Fe yang dilepaksan pada

pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk

kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa

hemoglobin, jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan Fe sangat

sedikit, namun pada bayi baru lahir, dalam bulan-bulan pertama

kehidupannya, bayi menggunakan Fe dalam jumlah besar dan cepat untuk

mengimbangi kecepatan tumbuh dan bertambahnya volume darah tubuh.

Menjelang usia 4 bulan cadangan Fe bayi berkurang 50% (Santosa, 2008).

Cadangan Fe tubuh dalam 2 bentuk, yaitu feritin dan hemosiderin.

Cadangan Fe disimpan terutama di hepar, sel retikuloendotelial dan

sumsum tulang. Di hepar sebagian besar Fe disimpan di parenkim

(36)

Di sumsum tulang dan limpa Fe disimpan terutama di sel-sel

retikuloendotelial. Cadangan Fe berfungsi sebagai reservoir untuk memberi Fe pada sel-sel yang sangat membutuhkan, terutama pada

pembentukan hemoglobin (Fleming RE, 2005).

Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi normal lebih tinggi

dibandingkan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata nilainya sekitar

150 µg/dl. Bayi yang mendapatkan suplemen zat besi memiliki nilai

rata-rata zat besi sebanyak 125 µg/dl dalam 1 bulan pertama dan 75 µ g/dl

dalam usia 6 bulan. Kapasitas total penyimpanan zat besi meningkat

selama 1 tahun pertama kehidupannya. Batas rata-rata penyebaran zat ini

menurun hampir 65% dalam setengah bulan menjadi 25% dalam 1 tahun.

Anemia berdasarkan kadar zat besi adalah < 100 µg/dl (Kee, 1995).

Nilai rata-rata serum feritin dalam kandungan zat besi yang cukup

pada bayi sangat tinggi saat kelahiran, yaitu 160 µg/dl dan meningkat

selama 1 bulan pertama, kemudian menurun menjadi 30 µg/dl dalam 1

tahun pertama kehidupannya (Segel, 2011).

4. Bilirubin

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi

hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran

hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada pada bayi yang lebih tua.

Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek.

Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat

(37)

Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya

tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dan sirkulasi sangat

terbatas. Begitupun dengan kesanggupannya untuk mengkonjugasi

sehingga hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin

indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh

hepar ibunya. Pada keadaan fisiologis tanpa gejala, hampir semua

neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg/dL. Hal

ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut

pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar

ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin

dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum

matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia,

asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau

kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.

Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar

albumin dalam serum. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus

dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek

mencapai 20 mg/dL pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan

bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah

tercapai (Hassan, 1985).

Diketahui bahwa pada setiap bayi baru lahir akan terjadi peningkatan

kadar bilirubin indirek dalam serum secara fisiologis, timbul dalam

(38)

hari ketiga, dengan kadar puncak 5-6 mg/dL pada hari ke 4-5 dan akan

menurun secara spontan.

Ikterus atau hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi

bilirubin 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin

serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan (Prawirohardjo, 2010).

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir, disebabkan oleh beberapa

faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai berikut:

a. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,

misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah

Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat

kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses „uptake‟ dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya

substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat

asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil

transferase.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke

hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat

misalnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan

lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah

(39)

d. Gangguan dalam eksresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di

luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan

bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan

hepar oleh penyebab lain (Hassan, 1985).

C. Waktu Pemotongan Tali Pusat

Tali pusat adalah tali yang menghubungkan janin ke plasenta yang

berfungsi dalam menyalurkan nutrisi dari ibu ke janin. Tali pusat mulai

terbentuk pada minggu kelima usia kehamilan dan terus berkembang seiring

dengan perkembangan janin. Sampai pada usia matang janin (37-40 minggu),

ukuran tali pusat mencapai panjang 50 cm dan diameter 2 cm (Benson, 2008).

Pemotongan tali pusat adalah suatu proses memisahkan bayi dengan

plasenta. Sebelumnya, janin mendapat pasokan nutrisi dari ibu melalui

plasenta dan disalurkan oleh tali pusat, namun setelah lahir dan tali pusat

dipotong, bayi harus memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti misalnya

bernafas (Sodikin, 2008)

Waktu pemotongan tali pusat ialah waktu pemutusan aliran darah dari

plasenta ke bayi baru lahir saat kelahiran seluruh tubuh bayi baru lahir oleh

penolong bersalin dengan cara pemotongan tali pusat (Adilia, 2011).

Belum terdapat kesepakatan mengenai waktu pemotongan tali pusat pada

bayi baru lahir, namun secara umum, waktu pemotongan tali pusat dibagi

(40)

pemotongan tali pusat. Mengenai definisi dari masing masing tersebut

diantara para ahli masih belum ada kesepakatan (Rabe, 2004).

a. Pemotongan Tali Pusat Segera

Definisi pemotongan tali pusat segera tidak jelas dalam

kebanyakan studi kecuali pada McDonnell 1997 di mana waktu yang

tepat untuk pemotongan tali pusat adalah lima detik dan menurut

Ultee 2008 mencatat bahwa waktu pemotongan tali pusat segera

adalah pada 13,4 detik (Mc Donald, 2013).

Pemotongan tali pusat segera didefinisikan sebagai pemotongan

tali pusat yang dilakukan segera setelah bayi baru lahir hingga

sebelum satu menit untuk bayi baru lahir cukup bulan dan

pemotongan tali pusat yang dilakukan sesegera mungkin untuk bayi

prematur (Wickham, 2006). Pemotongan tali pusat kurang dari 15

detik dikategorikan sebagai pemotongan tali pusat segera (Setiawan,

2009).

b. Penundaan Pemotongan Tali Pusat

Definisi penundaan pemotongan tali pusat bervariasi, antara studi

McDonnell (1997) yang memiliki rata-rata waktu penundaan 31 detik,

Rabe (2000), 45 detik, Hofmeyr (1988) dan Hofmeyr (1993), 60 dan

120 detik, Aladagandy (2006) dan Baezinger (2007), 60 sampai 90

detik, Kugelman (2007), Mercer (2003) dan Mercer (2006) 30 sampai

45 detik, dan 60 detik pada Strauss (2008). Ultee (2008) memiliki

(41)

Penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan yang

dilakukan setelah bayi baru lahir bernafas secara teratur, yang

ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir (Philip, 2004).

Sedangkan menurut Setiawan (2009), pemotongan tali pusat di antara

waktu 30 detik sampai 5 menit adalah termasuk dalam kategori

penundaan pemotongan tali pusat.

Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa penundaan

pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat yang dilakukan

setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai 3 menit pertama setelah

melahirkan (Hutton, 2007). Namun menurut Aziz (2006), penundaan

pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat dalam 2 menit

pertama setelah bayi lahir karena transfusi darah dalam jumlah

bermakna sudah terjadi dalam waktu tersebut.

Perdebatan mengenai waktu pemotongan tali pusat masih

berlangsung hingga kini (Tanmoun, 2013). Kebiasaan melakukan

pemotongan tali pusat segera berhubungan dengan praktik obstetri

modern. Pendukung praktik tersebut mengkhawatirkan efek samping

akibat transfusi plasenta termasuk gawat pernafasan, polisitemia,

sindrom hiperviskositas, dan hiperbilirubinemia. Padahal jika ingin

mendukung transfusi fisiologis setelah persalinan sebelum plasenta

dilahirkan, bayi baru lahir akan mendapatkan volume darah yang

(42)

dan hematokrit dalam mencegah anemia bayi baru lahir (Varney,

2009)

Di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya dilakukan

segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan oksitosin (JNPKR,

2004), kemudian mengalami perubahan yaitu menjadi 2 menit setelah

bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin (JNPKR, 2008).

Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat Dari Berbagai Sumber

Tahun Sumber/Peneliti Pemotongan Tali Pusat Segera

Penundaan Pemotongan Tali Pusat

2000 Nelson, dkk 60 detik Setelah pulsasi tali pusat berhenti ( 2 menit)

2010 Prawirohardjo 10 detik 2 menit

2010 Shirvani, dkk < 15 detik > 15 detik

Sumber: Nelson (2000), Chaparro (2006), Aziz (2006), Cernadas (2006), Hutton (2007), Lubis (2008), Thawinkarn (2008), Santosa (2008), Kosim (2009),

(43)

D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan

Pada saat dalam kandungan janin berhubungan dengan ibunya melalui

tali pusat yang merupakan bagian dari plasenta. Setelah bayi lahir, sebelum

plasenta dilahirkan, darah plasenta selama masa tersebut masih ditransfusikan

ke bayi (disebut transfusi palsenta) dan dapat menambah volume darah bayi

baru lahir serta berpengaruh terhadap status hemoglobin dan hematokrit bayi

baru lahir (Philip, 2004).

Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali pusat

dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata volume darah

saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan penundaan pemotongan

tali pusat adalah 78 ml/kg BB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi dengan

penundaan pemotongan tali pusat (Miller, 2005).

Perbedaan waktu pemotongan tali pusat sebagai intervensi yang

dilakukan setelah bayi lahir memberikan dampak yang berbeda. Berikut

adalah status hematologi bayi baru lahir cukup bulan dilihat berdasarkan

perbedaan waktu pemotongan tali pusat:

1. Hemoglobin

Penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan jumlah eritrosit

yang ditransfusikan ke bayi, hal tersebut tercermin dalam peningkatan

kadar hemoglobin bayi baru lahir (Susilowati, 2009).

Ditemukan bayi usia 7 jam yang dilakukan pemotongan tali pusat

(44)

dibandingkan dengan bayi yang dilakukan penundaan pemotongan tali

pusat. Begitupun saat pemeriksaan ulang pada bayi tersebut di usia 2 dan

3 bulan (Hutton, 2007).

Penelitian lain menemukan bayi yang dilakukan pemotongan tali

pusat segera setelah bayi baru lahir, dalam 48 jam memiliki kadar

hemoglobin sebesar 16,1 g/dL sedangkan pada bayi yang dilakukan

penundaan pemotongan tali pusat, kadar hemoglobin lebih tinggi yaitu

sebesar 17,8 g/dL (Tanmoun, 2013).

Studi kolaborasi Cochrane (2013) mengemukakan bahwa peningkatan hemoglobin yang signifikan terjadi pada bayi yang dilakukan

penundaan pemotongan tali pusat dalam rentang waktu 1-3 menit akibat

dari transfusi plasenta dan penambahan volume darah sebesar 30-50%.

Penelitian pada bayi saat berusia 72 jam, bayi dengan penundaan

pemotongan tali pusat memiliki rerata volume darah sekitar 93 ml/kg dan

massa eritrosit 49 ml/kg, sedangkan pada pemotongan tali pusat segera

bayi memiliki rerata volume darah 82 ml/kg, dan masa eritrosit 31 ml/kg

sehingga penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan

hemoglobin selama satu minggu pertama kelahiran (Susilowati, 2009).

2. Hematokrit

Pada penelitian terhadap bayi baru lahir cukup bulan yang dilakukan

pemotongan tali pusat 5 menit setelah bayi lahir, didapat penambahan

(45)

tersebut juga ditemukan pada pemotongan tali pusat 1 menit setelah bayi

baru lahir (Adilia, 2011).

Kadar hematokrit pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat

dengan segera adalah sebesar 47,8% sedangkan pada bayi yang dilakukan

penundaan pemotongan tali pusat memiliki kadar hematokrit sebesar

53,5% (Lubis, 2008)

Bayi baru lahir usia 2 jam, didapat kadar hematokrit berkisar

0,44-0,53 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera (kurang dari 15

detik) dan 0,58-0,70 pada bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat

(2 menit). Pada kelompok pemotongan tali pusat segera, hematokrit

menurun secara signifikan setelah 24 jam, menjadi berkisar antara

0,37-0,48 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera dan 0,54-0,67 pada

bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat. (Aziz, 2006).

Peningkatan hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan tali

pusat juga ditemukan pada penelitian oleh Thawinkarn (2008) dan

Santosa (2008). Pada penelitian tersebut ditemukan kadar hematokrit pada

kelompok penundaan pemotongan tali pusat adalah 41,6-60,6%

sedangkan pada kelompok pemotongan tali pusat segera adalah

37,6-54,7%

3. Zat Besi

Kadar Hb dan eritrosit yang cukup memungkinkan tingkat oksigenasi

yang optimal dan dapat menyediakan sumber Fe yang sangat bermanfaat

(46)

selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sel akan Fe, termasuk produksi

eritrosit. Fe sebagai salah satu mikronutrien penting bagi sel. Besi adalah

nutrien yang penting tidak hanya untuk pertumbuhan normal, kesehatan

dan kelangsungan hidup anak, tetapi juga untuk perkembangan mental,

motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).

Jika bayi setelah lahir diletakkan di bawah atau sejajar introitus

vagina selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera diputus

dengan pemasangan klem, kurang lebih 80 ml darah mungkin dapat

dialirkan dari plasenta ke bayi. Hal di atas menyediakan sekitar 50 mg

besi (Fe) sehingga dapat menurunkan frekuensi anemia defisiensi besi

pada masa kehidupan bayi (Cunningham, 2005).

Beberapa peneliti menemukan bahwa penundaan pemotongan tali

pusat telah terbukti bermanfaat menghasilkan kadar ferritin dan Hb yang

lebih tinggi serta menurunkan secara signifikan terjadinya anemia pada

masa bayi (Mc Donald, 2013). Penundaan pemotongan tali pusat

merupakan strategi yang murah dan efektif untuk menurunkan kejadian

anemia pada bayi terutama pada negara berkembang (WHO, 2012).

Penundaan pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit dapat

memberikan penambahan volume darah sekitar 25-35 ml/kgBB. Dengan

asumsi konsentrasi besi dalam hemoglobin sekitar 3,4 mg/g, kira-kira

pada bayi dengan berat 3 kg, akan menerima 46-60 mg zat besi. Jika kita

memperkirakan bahwa bayi yang baru lahir membutuhkan sekitar 0,7 mg

(47)

kadar hemoglobin dan tingkat mioglobin serta enzim dalam otot dan

jaringan lain. Kadar zat besi sebesar 46-60 mg akan bertahan hingga 1-3

bulan pertama kehidupannya (Chaparro, 2011).

Penelitian lain pun menyebutkan bahwa bayi dengan berat 3,2 kg

yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan memiliki

hemoglobin darah sebesar 170 g/dL, akan menambahkan kadar zat besi

sebesar 75 mg ke dalam penyimpanan zat besinya sehingga cukup untuk

kebutuhan bayi hingga 3 bulan (Chaparro, 2006).

Untuk kadar zat besi bayi baru lahir yang dilihat berdasarkan level

feritin dalam penyimpanan zat besi. Ditemukan pada usia 2 hingga 3

bulan, bayi dengan pemotongan tali pusat segera memiliki kadar feritin

yang lebih rendah (<50µg/L), begitupun saat usia bayi 6 bulan (Hutton,

2007).

Kejadian anemia dan kadar zat besi yang lebih rendah ditemukan

pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera, karena bayi tersebut tidak

mendapatkan penambahan volume darah sebesar 40% dari transfusi

plasenta (Hutchon, 2012).

4. Bilirubin

Sel darah merah bayi baru lahir memiliki umur yang singkat, yaitu

rata-rata 80 hari (berbeda dari umur sel darah merah orang dewasa yaitu

120 hari). Penggantian sel yang cepat ini menghasilkan lebih banyak hasil

(48)

dimetabolisme. Muatan bilirubin yang berlebihan ini menyebabkan

ikterus fisiologis yang terlihat pada bayi baru lahir (Varney, 2009).

Bagi bayi cukup bulan, dengan waktu pemotongan tali pusat 5 menit

setelah bayi baru lahir dengan waktu pemotongan tali pusat kurang dari

15 detik didapat bilirubin serum bayi baru lahir rata-rata adalah 7,7 mg/dL

dan 3,2 mg/dL. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan bayi yang

memerlukan fototerapi pada usia lebih dari 3 hari (Adilia, 2011).

Pada bayi baru lahir cukup bulan, kejadian ikterus lebih banyak

terjadi pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat,akibat

penambahan sel darah merah dan ketika terjadi pemecahan eritrosit, lebih

banyak bilirubin yang dihasilkan. Sedangkan pada bayi kurang bulan

yang juga dilakukan penundaan pemotongan tali pusat, tidak ditemukan

kejadian ikterus (Hutchon, 2012).

Kadar serum bilirubin total pada bayi baru lahir 48 jam dengan

penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan bayi

yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, yaitu sebesar 13,3 mg/dL

dan 12,7 mg/dL. Pada penelitian ini, indikator bayi dengan

hiperbilirubinemia adalah pada bayi yang membutuhkan fototerapi, dan

hal tersebut ditemukan lebih banyak pada bayi yang dilakukan penundaan

pemotongan tali pusat (Tanmoun, 2013). Hal tersebut sesuai dengan

penemuan Aziz (2006), yang menemukan 3 bayi dari 15 bayi memiliki

nilai bilirubin serum > 15 mg/dL pada kelompok penundaan pemotongan

(49)

ditemukan adanya peningkatan bilirubin abnormal yang abnormal.

Namun, setelah dilihat perbedaannya secara bermakna, peningkatan

bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terbukti secara

signifikan.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutton (2007), tidak

terdapat perbedaan kadar bilirubin yang signifikan dari dua kelompok

waktu pemotongan tali pusat bahkan hingga bayi berusia 72 jam dan tidak

ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi dari kelompok penundaan

(50)

BAB III

Nilai tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya yaitu

waktu pemotongan tali pusat (Santosa, 2008). Terdapat perbedaan nilai yang

didapat dilihat berdasarkan perbedaan waktu pemotongan tali pusat, yaitu

ditemukan nilai hemoglobin lebih tinggi pada bayi yang dilakukan penundaan

pemotongan tali pusat dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan

tali pusat segera. Hal tersebut dibuktikan sejumlah penelitian-penelitian

berikut;

Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat

Santosa, Qodri 2008 13,4-18,4 14,5-20,1

Thawinkarn, S. 2008 16.82 18,73

Kosim, dkk 2009 16,30 17, 34

Shirvani, dkk 2010 14,5 16,08

Astrianti, dkk 2012 14,33 15,77

Tanmoun, Nuanpun 2013 16,1 17,8

(51)

Berdasarkan tabel di atas, nilai hemoglobin pada kedua kelompok waktu

pemotongan tali pusat tidak kurang dari batas normal sehingga tidak

ditemukan bayi yang mengalami anemia dalam penelitian tersebut. Namun,

jika dilihat kembali, nilai hemoglobin pada kelompok penundaan pemotongan

tali pusat lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan

tali pusat segera. Hal tersebut ditemukan dapat mencegah anemia pada bayi

baru lahir cukup bulan hingga bayi tersebut berusia 6 bulan (Mc Donald,

2013). Dalam hal ini, bayi tidak akan mengalami penurunan nilai hemoglobin

secara drastis pada usia 6-8 minggu akibat dari adaptasi bayi berupa anemia

fisiologis.

Penemuan tersebut mendukung penemuan-penemuan sebelumnya oleh

Hutton, dkk (2007), Mercer, dkk (2001) dan juga oleh Grajeda, dkk (1997)

yang menemukan bahwa penundaan pemotongan tali pusat dapat

meningkatkan kadar hemoglobin sehingga berpengaruh terhadap status

hematologi bayi baru lahir cukup bulan dan dapat mencegah terjadinya

anemia bayi baru lahir.

Menurut Mc Donald (2013), tidak ditemukan dampak buruk dari

peningkatan nilai hemoglobin akibat penundaan pemotongan tali pusat,

karena dapat menghambat sirkulasi oksigen dalam darah bayi sehingga

menyebabkan bayi dalam keadaan hipoksia. Peningkatan hemoglobin akibat

penundaan pemotongan tali pusat lebih terbukti bermanfaat karena dapat

(52)

Hemoglobin yang cukup juga dapat menyediakan sumber Fe bagi bayi,

yang penting dalam produksi eritrosit dan merupakan mikronutrien penting

bagi sel. Tidak hanya untuk pertumbuhan normal, kesehatan dan

kelangsungan hidup anak, Fe juga dibutuhkan untuk perkembangan mental,

motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).

B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat

Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan

persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003). Berdasarkan

beberapa penelitian, nilai normal hematokrit bayi baru lahir berkisar antara

51,3-56,0%, dengan nilai rata-rata sebesar 52,3% (Oski, 1996). Sumber lain

menyebutkan nilai hematorkit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp

O, 2004). Jika kurang dari 45% maka dapat terjadi anemia pada bayi baru

lahir, sedangkan bayi yang memiliki nilai hematokrit lebih dari 65% akan

jatuh ke dalam keadaan yang disebut dengan polisitemia.

Dalam hal ini perbedaan waktu pemotongan tali pusat memberikan

pengaruh yang berbeda terhadap nilai hemoglobin bayi baru lahir yang

berpengaruh juga terhadap nilai hematokrit bayi. Penundaan pemotongan tali

pusat memfasilitasi aliran darah berlebih ke bayi sehingga jumlah eritrosit

yang masuk ke dalam tubuh bayi lebih banyak dan berisiko terjadi polisitemia.

Azis (2006) menemukan bahwa, risiko kejadian polisitemia meningkat

(53)

tersebut pada usia 24 jam berada dalam rentang 50-67%. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam penelitian tersebut terdapat bayi yang mengalami

polisitemia, namun, setelah dilakukan pemantauan ketat hingga bayi berusia

48 jam dan nilai hematokrit bayi tersebut mengalami peningkatan, keadaan

tersebut tidak membuat bayi mengalami gejala berupa gangguan pernafasan.

Oleh karena itu, Azis (2006) kembali menyimpulkan bahwa peningkatan

risiko memang terjadi namun tidak terbukti secara signifikan dapat

menyebabkan polisitemia, selain itu, peningkatan nilai hematokrit pada bayi

baru lahir juga merupakan adaptasi fisiologis dari bayi tersebut akibat dari

peningkatan viskositas darah. Kesimpulan tersebut didukung oleh Thawinkarn

(2008) yang menemukan 2 bayi dari kelompok penundaan pemotongan tali

pusat memiliki kadar hematokrit >65% namun tidak disertai dengan gejala.

Gemma (2010) menyebutkan bahwa pada kelompok penundaan

pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit, ditemukan risiko polisitemia pada

neonatus usia 7, 24, dan 48 jam, namun risiko anemia akibat kekurangan

hematokrit (<45%) yang meningkat sebesar 30-40% karena pemotongan tali

pusat segera lebih perlu dikhawatirkan. Mengingat, anemia pada bayi baru

lahir akan berlangsung terus dan sulit untuk diperbaiki jika tidak ditangani

segera.

Penelitian tersebut di atas, didukung oleh penelitian-penelitian berikut,

yang menemukan bahwa peningkatan hematokrit akibat penundaan

(54)

Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan

Qodri Santosa 2008 37,6-54,7 41,6-60,6

Thawinkarn, S. 2008 49,65 56,16

Kosim, dkk 2009 47,08 51,34

Shirvani, dkk 2010 42,8 47,6

Astrianti, dkk 2012 43,35 44,41

Nuanpun Tanmoun 2013 50,3 54,5

Sumber: Cernadas (2006), Lubis (2008), Santosa (2008), Thawinkarn ( 2008), Kosim (2009), Shirvani (2010), Astrianti (2012), Tanmoun (2013).

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, terlihat memang terjadi

peningkatan dalam nilai hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan

tali pusat, namun bahaya mengenai polisitemia tidak perlu dikhawatirkan

karena tidak ditemukan gejalanya, terkecuali, pada bayi yang memiliki risiko

polisitemia lebih tinggi yaitu pada bayi dari ibu dengan diabetes, kelainan

transfusi plasenta dan pada kehamilan kembar, sehingga dalam hal tersebut,

pemotongan tali pusat segera dapat menjadi alternatif (Nelson, 2000)

C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat

Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi baru lahir cukup bulan

lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata

nilainya adalah sekitar 150 µg/dl (Kee, 1995). Sumber zat besi terdapat dapat

(55)

menurun pada usia 2-3 bulan, membuat sejumlah besi disimpan dalam bentuk

feritin dan hemosiderin (Fleming RE, 2005).

Chapparo (2006) menemukan bahwa bayi yang dilakukan penundaan

pemotongan tali pusat dengan berat badan sebesar 3,2 kg, memiliki kadar

hemoglobin tinggi sehingga 75 mg zat besi dapat ditambahkan ke dalam

penyimpanan zat besi tubuhnya dan cukup untuk kebutuhan bayi hingga usia

3 bulan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Andersson (2011) yang menemukan bahwa bayi pada kelompok penundaan

pemotongan tali pusat memiliki kadar zat besi sebesar 117 µg/L, lebih besar

dibandingkan 81 µg/L zat besi yang ditemukan pada kelompok pemotongan

tali pusat segera, sedangkan untuk kadar zat besi bayi yang dapat dilihat

berdasarkan level feritin terdapat dalam tabel berikut;

Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat

Bayi dengan berat badan lahir normal memiliki simpanan Fe yang dapat

dimanfaatkan kembali untuk pembentukan darah hingga bayi tersebut berusia

9 bulan, sedangkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau pada bayi

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin
Gambar 2.2 Sirkulasi Janin
Gambar 2.3 Krista Dividens
Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular
+7

Referensi

Dokumen terkait

pada Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya yang Terdaftar di Kopertis Surabaya. Number of Higher Educational Institutions, Students, Lecturers and Alumni of Private Higher

Seperti halnya yang terjadi pada rasio likuiditas secara keseluruhan mengalami fluktuatif yang berbeda-beda setiap tahunnya akan tetapi kinerja bank dalam memenuhi kewajiban jangka

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa aplikasi Trichoderma sp dengan konsentrasi berbeda pada fermentasi limbah daun

Grafik dengan jelas menunjukan bahwa sangat sedikitnya mahasiswa yang menggunakan internet untuk Tugas bahkan kebanyakan dari mereka menggunakan internet untuk

Berupa informasi status pengiriman seperti nama pengirim, alamat penerima, nama penerima, tanggal pengiriman, jenis pengiriman (pos ekspress atau pos kilat), berat barang (ukuran

– Memiliki kriteria untuk menghentikan proses.. • Algoritma yang baik harus bersifat efisien waktu dan penggunaan memori komputer. Hasil akhir fase penyelesaian masalah adalah

Masa ini organ-organ dalam tubuh janin sudah terbentuk tapi viabilitasnya masih diragukan. Apabila janin lahir, belum bias bertahan hidup dengan baik. Masa ini ibu sudah merasa

Salah satu bentuk program pendidikan bagi anak berbakat adalah program percepatan (acceleration) Pemberian pelayanan pendidikan yang sesuai dengan potensi kecerdasan dan