PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Pendidikan Program Diploma III Kebidanan Bandung Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
Disusun oleh: ELLY NU’MA ZAHROTI
P17324110009
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH
KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
Disusun oleh : ELLY NU’MA ZAHROTI
NIM : P17324110009
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 29 Oktober 2013
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Ketua Penguji
Maria Olva, S. Kp., M.Kes. NIP. 194902051968062001
Anggota Penguji
Cherly Marlina, SST., M. Kes. NIP. 198004222002122001
Desi Hidayanti, SST., MPH. NIP. 198012142002122001 Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Bandung
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Karya Tulis Ilmiah dengan judul
“PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR”
Disusun oleh:
ELLY NU’MA ZAHROTI NIM. P17324110009
Telah diperiksa dan disetujui untuk dipertahankan pada sidang akhir hasil Karya Tulis Ilmiah
Pembimbing
Desi Hidayanti, SST., MPH. NIP. 198012142002122001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Bandung, Oktober 2013
Elly Nu‟ma Zahroti
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama : Elly Nu‟ma Zahroti
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 24 Mei 1992
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Sukajadi Aspol No. 75 Rt.04 Rw.09 Bandung
40162
II. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri Sejahtera V Bandung Tahun 1998-2004
2. SMP Negeri 12 Bandung Tahun 2004-2007
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, hidayat, serta kuasa-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR”. Karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Diploma III
jurusan Kebidanan Politeknik Kementerian Kesehatan Bandung.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
berbagai pihak baik moril maupun materil, maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dewi Purwaningsih, S.SiT,. M.Kes, selaku Ketua Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
2. Yulinda SST,. MPH., selaku Sekretaris Jurusan Kebidanan Bandung
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
3. Desi Hidayanti SST., MPH., selaku dosen pembimbing yang dengan
sangat sabar dan rendah hati, juga dengan caranya yang cerdas, selalu
memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis dalam
penyusunan kaya tulis ilmiah ini. Ibu, terimakasih.
4. Seluruh dosen pengajar Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik
persatu, karena telah memberikan ilmunya yang bermanfaat dan luar
biasa, selama saya mengikuti pendidikan di sini.
5. Seluruh staf dan karyawan Jurusan Kebidanan Bandung Politeknik
Kesehatan Kemenkes Bandung yang selalu mendukung berlangsungnya
pendidikan penulis.
6. Bapak Muhtadi, ayah yang selalu jadi emas di setiap diamnya dan
selalu jadi yang paling bijak di setiap katanya, apapun yang telah ayah
lakukan, terimakasih karena selalu membuat saya merasa berharga.
7. Mama, Iis Elisah, terimakasih karena selalu mendukung saya dan tak
pernah mengizinkan saya untuk berhenti.
8. Saudara laki-lakiku, Ahmad Fazi Ghozi dan Marhab Musaid.
Terkadang kalian menyebalkan tapi harapan kalian untuk melihat
saudaramu ini segera menyelesaikan pendidikannya, cukup membuatku
termotivasi. Terimakasih.
9. Saudara perempuanku, Farhatu Muti‟ati, semangat! Sebentar lagi
giliranmu, Dek!
10. Rekan-rekan angkatan 2010, dengan peran masing-masing dari kalian
yang berbeda-beda, terimakasih telah sempat bersama dan saling
membantu, mengingatkan, memberi masukan dan memberi dukungan
dalam suka maupun duka. Khususnya Chatrin Marinda, Nita
Novitawati, dan penghuni kamar 206 serta 207.
11. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak bisa
yang paling dalam dan mudah-mudahan mendapatkan balasan dari
Allah SWT.
Penulis menyadari dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis menerima saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.
Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya serta semoga segala
perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.
Amin.
Bandung, Oktober 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
ABSTRAK ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan ... 5
D. Manfaat ... 6
E. Ruang Lingkup ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir ... 7
1. Sirkulasi Darah Janin ... 7
2. Sirkulasi Darah Peralihan... 10
3. Sirkulasi Darah Neonatus... 12
B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan ... 14
C. Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 26
1. Pemotongan Tali Pusat Segera ... 26
2. Penundaan Pemotongan Tali Pusat... 28
D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan ... 30
2. Hematokrit... 32
3. Zat Besi ... 33
4. Bilirubin ... 35
BAB III PEMBAHASAN ... 38
A. Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 38
B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 40
C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 43
D. Status Bilirubin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 45
E. Waktu Pemotongan Tali Pusat yang Optimal ... 48
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 51
A. Simpulan ... 51
B. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin ... 7
Gambar 2.2 Sirkulasi Janin ... 9
Gambar 2.3 Krista Dividens ... 10
Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular ... 12
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan... 15
Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat Dari Berbagai
Sumber ... 30
Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 38
Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 42
Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat ... 43
Tabel 3.4 Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
ABSTRAK
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
viii, IV BAB, 52 halaman
Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami peralihan pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama masa tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), menambah volume darah dan mencegah hipovolemi serta hipotensi pada bayi baru lahir. Adanya perbedaan waktu pemotongan tali pusat antara penundaan pemotongan tali pusat dan pemotongan tali pusat segera, mempengaruhi hematologi bayi baru lahir cukup bulan, namun waktu pemotongan tali pusat yang bermanfaat bagi bayi baru lahir masih diperdebatkan.
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan sehingga didapatkan manfaat yang optimal bagi bayi baru lahir dengan meninjau dari berbagai literatur.
Nilai hemoglobin pada bayi yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, begitupun dengan nilai hematokrit dan zat besi. Peningkatan nilai hematokrit yang terjadi, tidak terbukti menimbulkan polisitemia pada bayi baru lahir cukup bulan, begitupun dengan peningkatan nilai bilirubin serum yang tidak menimbulkan ikterus patologi.
Berdasarkan telaah literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan, didapat bahwa waktu pemotongan tali pusat yang optimal adalah penundaan pemotongan tali pusat hingga 2 menit yang ditandai dengan berhentinya pulsasi tali pusat dan dengan tetap mempertimbangkan kondisi ibu dan bayi. Hal tersebut dapat meningkatkan nilai hemoglobin, hematokrit dan zat besi yang dapat mencegah anemia pada bayi baru lahir, sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan bayi.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami peralihan
pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama masa
tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih
ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), menambah volume darah atau eritrosit, serta dapat mencegah
hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir (Santosa, 2008).
Perbedaan waktu pemotongan tali pusat dapat memberikan dampak pada
bayi baru lahir. Disebutkan bahwa pemotongan tali pusat yang segera,
menjadi penyebab utama anemia pada bayi baru lahir, sedangkan di lain
pihak, beberapa peneliti mendapatkan efek berbeda jika dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat, diantaranya adalah kejadian ikterus dan polisitemia
(Hutton, 2007).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan (Depkes) RI pada tahun 2001 menyatakan 61,3% bayi baru lahir
sampai usia 6 bulan menderita anemia defisiensi besi. Selanjutnya, hasil
penelitian terbaru mendapatkan bahwa 41 bayi baru lahir berusia 0-6 bulan
(39,4%) menderita anemia dan 40 bayi diantaranya (97,6%) menderita
Tingginya angka prevalensi anemia pada bayi baru lahir, berhubungan
dengan tidak cukupnya penyimpanan cadangan zat besi pada bayi (Artha,
2013). Penundaan pemotongan tali pusat ditemukan dapat mengatasi hal
tersebut, karena bayi mendapat tambahan zat besi sebesar 40-50 mg/kg saat
lahir sehingga dapat mencegah kekurangan zat besi bahkan hingga bayi
tersebut mencapai usia satu tahun (Committee on Obstetric Practice of The
American Academy of Pediatric, 2012).
Penundaan pemotongan tali pusat juga dapat meningkatkan kadar
hemoglobin pada bayi baru lahir cukup bulan. Ditemukan bahwa kadar
hemoglobin pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan segera
adalah 16,2 g/dL, sedangkan pada bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat adalah 18,3 g/dL (Lubis, 2008). Perbedaan kadar
hemoglobin tersebut terbukti signifikan dan dapat menurunkan kejadian
anemia bayi baru lahir sebesar 47% (Hutton, 2007).
Penundaan pemotongan tali pusat, selain bermanfaat karena
meningkatkan kadar hemoglobin, hal tersebut juga memberikan efek lain
berupa peningkatan kadar hematokrit yang jika kadarnya melebihi 65% akan
menyebabkan polisitemia (Lessaris, 2009). Hal tersebut terlihat dari
penelitian berikut yang menemukan kadar hematokrit bayi yang dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat lebih besar, yaitu 60,6% dibandikan dengan
bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan kadar hematokrit sebesar
Angka kejadian polisitemia di Rumah Sakit Hasan Sadikin dilaporkan
sebesar 8,4%. Persentase kejadian tersebut terbilang tinggi dan disimpulkan
sebagai akibat dari penambahan volume darah karena penundaan pemotongan
tali pusat (Adilia, 2011). Sesuai dengan review Mc Donald (2013) yang meninjau dari beberapa penelitian yang berlangsung dari tahun 1989 hingga
tahun 2006, peningkatan risiko polisitemia memang terjadi pada kelompok
penundaan pemotongan tali pusat. Salah satunya diambil dari penelitian oleh
Aziz, dkk (2006) yang menemukan kejadian polisitemia pada kelompok bayi
dengan penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 2 menit.
Efek samping lainnya dari penundaan pemotongan tali pusat adalah
ditemukan lebih banyak bayi yang memerlukan fototerapi akibat
hiperbilirubinemia dibandingkan dengan kelompok pemotongan tali pusat
segera (Emhamed, 2004). Seperti pada penelitian Tanmoun (2013) yang
menemukan peningkatan bilirubin serum hingga 15 mg/dL pada bayi usia 48
jam yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan bayi tersebut
memerlukan fototerapi.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa penundaan pemotongan
tali pusat berdampak pada kejadian ikterus dan polisitemia bayi baru lahir,
namun Kohn (2013) menemukan bahwa risiko ikterus dan polisitemia pada
bayi baru lahir tidak ditimbulkan akibat penundaan pemotongan tali pusat,
melainkan lebih diakibatkan oleh kondisi maternal dan bayi setelah lahir.
dalam menurunkan anemia lebih terbukti akibat peningkatan hemoglobin,
hematokrit dan zat besi saat bayi baru lahir.
Kejadian anemia, polisitemia dan ikterus pada bayi baru lahir, merupakan
keadaan yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat dicegah dengan
penatalaksanaan bayi baru lahir yang optimal, salah satunya adalah dengan
memperhatikan waktu pemotongan tali pusat, sehingga diperlukan kajian
untuk menentukan mana yang terbaik, antara pemotongan tali pusat segera
atau penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan praktisi negara barat melakukan pemotongan tali pusat
segera, sedangkan di negara lain masih bervariasi. Begitupun di Indonesia,
banyak praktisi belum melakukan penundaan pemotongan tali pusat
(BKKBN, 2011). Kebiasaan praktik pemotongan tali pusat segera adalah
karena kekhawatiran terhadap ikterus (Varney, 2009). Padahal kejadian
anemia pun tidak kalah penting untuk diwaspadai karena akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut, mengingat juga bahwa
pemeriksaan rutin atas Hb, Ht dan zat besi pada bayi baru lahir yang menjadi
indikator anemia jarang sekali dilakukan jika tanpa indikasi (Santosa, 2008).
Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik melakukan studi literatur
mengenai “Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
Bagaimana pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan ditinjau dari berbagai literatur?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan sehingga didapatkan manfaat
yang optimal bagi bayi baru lahir.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya hematologi bayi baru lahir cukup bulan, sirkulasi darah
peralihan janin ke bayi dan pengaruh waktu pemotongan tali pusat.
b. Diketahuinya status hemoglobin bayi baru lahir cukup bulan dilihat
dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
c. Diketahuinya status hematokrit bayi baru lahir cukup bulan dilihat
dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
d. Diketahuinya status zat besi bayi baru lahir cukup bulan dilihat dari
perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
e. Diketahuinya status bilirubin bayi baru lahir cukup bulan dilihat dari
D. Manfaat
1. Bagi penulis
Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna
dari berbagai literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan tali pusat
terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan dapat mengaplikasikan waktu pemotongan tali
pusat yang optimal bagi bayi baru lahir cukup bulan, sehingga dapat
mengurangi angka kesakitan bayi baru lahir.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi
mahasiswi kebidanan yang sedang belajar mengenai asuhan ibu bersalin
dan bayi baru lahir.
E. Ruang Lingkup
Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai sirkulasi darah
peralihan dari janin ke bayi baru lahir, hematologi bayi baru lahir cukup bulan
dan pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi
baru lahir cukup bulan berupa hemoglobin, hematokrit, zat besi serta bilirubin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir
1. Sirkulasi Darah Janin
Pada sirkulasi janin, ventrikel kanan dan kiri berada dalam sirkuit
paralel yang berlawanan dengan sirkuit seri neonatus atau dewasa. Pada
janin, pertukaran gas dan metabolit dilakukan oleh plasenta. Paru-paru
tidak memberikan pertukaran gas dan pembuluh darah dalam sirkulasi
paru-paru mengalami vasokontriksi. Ada tiga bangunan kardiovaskuler
unik pada janin yang penting untuk mempertahankan sirkulasi paralel ini:
duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus.
Sumber: Yorkshire and Humber Congenital Cardiac Network (2012)
Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin
Darah teroksigenasi yang kembali dari plasenta, dengan PO (tekanan
oksigen) sekitar 30-35 mmHg mengalir ke janin melalui vena umbilikalis.
Sekitar 50% darah vena umbilikalis masuk ke sirkulasi hepatis, sedang
sisanya melintasi hati dan bergabung dengan vena kava inferior melalui
duktus venosus, tempat ia sebagian bercampur dengan darah vena kava
inferior yang kurang teroksigenasi yang berasal dari bagian bawah tubuh
janin. Kombinasi tubuh bagian bawah ini ditambah dengan aliran darah
vena umbilikalis (PO2 sekitar 26-18 mmHg) masuk atrium kanan dan
diarahkan secara khusus melewati foramen ovale ke atrium kiri. Kemudian
darah ini mengalir ke dalam ventrikel kiri dan dikeluarkan ke dalam aorta
asendens. Darah vena kava superior janin yang sangat kurang
teroksigenasi (PO2 12-14 mmHg) masuk atrium kanan, secara khusus
melintasi trikuspidalis bukannya foramen ovale, dan mengalir terutama ke
ventrikel kanan.
Darah tersebut kemudian dipompa dari ventrikel kanan ke dalam
arteria pulmonalis karena sirkulasi arteria pulmonalis vasokontriksi dan
hanya sekitar 10% aliran keluar ventrikel kanan masuk paru-paru.
Sebagian besar darah ini (yang mempunyai PO2, sekitar 18-22 mmHg)
melintasi paru-paru dan mengalir melalui duktus arteriosus ke dalam aorta
desendens untuk terus ke bagian bawah tubuh janin juga untuk kembali ke
plasenta melalui dua arteria umbilikalis, dengan demikian, tubuh bagian
atas janin (termasuk arteria koronaria dan serebral, dan yang ke
mempunyai PO2 sedikit lebih tinggi daripada darah yang mengaliri bagian
bawah tubuh janin, yang berasal sebagian terbesar dari ventrikel kanan.
Hanya sedikit volume darah dari aorta asendens (10% dari curah jantung
janin) mengalir melewati isthmus aorta ke aorta desendens.
Gambar 2.2 Sirkulasi Janin
Curah jantung janin total, yaitu gabungan curah ventrikel (CV) baik
ventrikel kiri maupun kanan-berjumlah sekitar 450 ml/kg/men. Sekitar
65% aliran darah aorta desendens kembali ke plasenta, sisanya 35%
mengaliri organ-organ dan jaringan janin. Pada janin, dengan persentase
aliran darah lebih besar menuju otak, curah ventrikel kanan mungkin lebih
mendekati 1,3 kali aliran ventrikel kiri, dengan demikian, selama
darah sistemik tetapi melakukan kerja dengan volume yang lebih besar
daripada ventrikel kiri (Nelson, 2000).
Perlu diketahui bahwa adanya krista dividens sebagai pembatas pada
vena kava, memungkinkan sebagian besar darah bersih dari duktus
venosus langsung mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya sebagian
kecil akan mengalir kearah ventrikel kanan (Prawirohardjo, 2010).
Sumber: Okymehtn (2012)
Gambar 2.3 Krista Dividens
2. Sirkulasi Darah Peralihan
Pada saat lahir, pengembangan mekanik paru-paru dan kenaikan PO2
arterial menyebabkan penurunan tahanan vaskuler pulmonal cepat. Secara
serentak penghentian sirkulasi plasenta bertahanan rendah megakibatkan
penambahan tahanan vaskuler sistemik. Curah darah dari ventrikel kanan
sekarang mengalir seluruhnya ke dalam sirkulasi pulmonal dan karena
tahanan vaskuler pulmonal lebih rendah daripada tahanan vaskuler
kanan. Selama perjalanan beberapa hari setelah lahir, PO2 arterial yang
tinggi mengkontriksi duktus arteriosus dan ia menutup, akhirnya menjadi
ligamentum arteriosum. Kenaikan volume aliran darah pulmonal yang
kembali ke atrium kiri menaikkan volume dan tahanan atrium kiri cukup
untuk secara fungsional menutup foramen ovale, walaupun foramen dapat
tetap terbuka dengan probe-paten selama bertahun-tahun.
Pengambilan plasenta dari sirkulasi juga menyebabkan penutupan
duktus venosus, dengan demikian, dalam beberapa hari peralihan, total
dari sirkulasi paralel (janin) ke seri (dewasa) hampir sempurna. Ventrikel
kiri sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi sistemik tahanan tinggi dan
ketebalan dinding dan massanya mulai bertambah. Sebaliknya ventrikel
kanan sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi pulmonal bertahanan
rendah, dan ketebalan dinding dan massanya sedikit berkurang. Ventrikel
kiri pada janin memompa darah hanya pada bagian atas tubuh dan otak,
sekarang harus menghantarkan seluruh curah jantung sistemik (sekitar
350 ml/kg/men), penambahan curah hampir 200%. Kenaikan yang
mencolok pada pekerjaan ventrikel kiri ini dicapai melalui gabungan
isyarat hormonal dan metabolik, termasuk penambahan katekolamin
(Nelson, 2000).
Aliran darah dari plasenta berhenti pada saat tali pusat diklem.
Tindakan ini meniadakan suplai oksigen plasenta dan menyebabkan
oleh reaksi-reaksi yang terjadi dalam paru sebagai respon terhadap tarikan
napas pertama (Varney, 2009).
Sebelum Lahir Setelah Lahir
Sumber: Fraser (2009)
Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular
3. Sirkulasi Darah Neonatus
Pada saat lahir, sirkulasi janin harus segera beradaptasi dengan
kehidupan ekstrauterin seperti pertukaran gas dipindahkan dari plasenta
ke paru-paru. Beberapa dari perubahan ini sebenarnya spontan bersama
dengan pernapasan pertama dan yang lain dipengaruhi selama beberapa
jam atau beberapa hari sesudah pada mulanya ada penurunan ringan pada
tahanan darah sistemik, kemudian ada kenaikan progresif dengan semakin
bertambahnya umur. Frekuensi jantung melambat akibat respon
baroreseptor pada kenaikan tahanan vaskuler sistemik bila sirkulasi
plasenta dihilangkan. Rata-rata tekanan aorta sentral pada neonatus cukup
Penurunan tahanan vaskuler pulmonal mencolok terjadi karena
vasodilatasi aktif (terkait PO2) maupun pasif (terkait mekanik) dengan
mulainya ventilasi. Pada neonatus normal, penutupan duktus arteriosus
dan penurunan tahanan vaskuler pulmonal menyebabkan penurunan
tekanan arteria pulmonalis dan ventrikel kanan. Penurunan tahanan
pulmonal dari tingkat janin yang tinggi ke tingkat “dewasa” pada bayi
biasanya terjadi pada hari 2-3 pertama tetapi dapat diperpanjang selama 7
hari atau lebih. Lewat umur beberapa minggu pertama, tahanan vaskuler
pulmonal bahkan menurun lebih lanjut akibat perubahan bentuk
vaskularisasi pulmonal, meliputi penipisan otot polos vaskuler dan
penambahan pembuluh darah baru.
Curah jantung neonatus (sekitar 350 ml/kg/men) turun sesudah umur
2 bulan pertama sampai 150 ml/kg/men, kemudian turun lagi secara
perlahan-lahan sampai mencapai curah jantung sekitar 75 ml/kg/men.
Persentase hemoglobin janin yang tinggi yang ada pada neonatus
sebenarnya dapat mengganggu penghantaran oksigen ke jaringan
neonatus, sehingga memerlukan penambahan curah jantung untuk
penghantaran oksigen yang cukup ke jaringan.
Pada neonatus cukup bulan, oksigen merupakan faktor pengendali
penutupan duktus yang paling penting, bila PO2 darah yang lewat melalui
duktus mencapai sekitar 50 mmHg, dinding duktus berkontriksi,
mekanisme kontriksi duktus yang diaktifkan oksigen belum sepenuhnya
diperantarai oleh pengaruhnya pada sintesis prostaglandin. Umur
kehamilan juga tampak memainkan peran penting, duktus bayi prematur
kurang tanggap terhadap oksigen walaupun otot-ototnya berkembang
(Nelson, 2000).
B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
Hematologi adalah ilmu yang berkenaan dengan darah, jaringan yang
menghasilkan darah, dan kelainan, penyakit, serta gangguan yang berkaitan
dengan darah. Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah, sumsum
tulang tempat sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel darah
disimpan jika tidak bersirkulasi (Corwin, 2009).
Komponen sel dan plasma darah mengalami perubahan yang dramatis
dari janin ke bayi. Hal ini terutama berlaku di beberapa bulan kehidupan
pertamanya sebagai bayi dalam masa transisi dari lingkungan intrauterin ke
kehidupan ekstrauterin (Elzouki, 2012).
Nilai darah pada bayi baru lahir lebih bervariasi daripada nilai pada orang
dewasa atau anak yang lebih tua. Bidan harus menyadari rentang nilai untuk
Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida.
Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah HbA
yang kadarnya kira-kira 98% dari keseluruhan hemoglobin, HbF yang
kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1 tahun dan
HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir kadar HbF
masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90% dari seluruh hemoglobin bayi
tersebut. Pada perkembangan selanjutnya kadar HbF ini akan berkurang
hingga pada umur 1 tahun dan kadarnya tidak lebih dari 2% (Hassan,
Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan
bagian penting dari hemoglobin tetapi juga merupakan bagian dari
sitokrom dan enzim pernafasan yang penting. Persenyawaannya terdiri
dari cincin porifirin dengan atom Fe di tengahnya (Elzouki, 2012).
Hemoglobin dapat mengikat oksigen (O2) atau karbonmonoksida
(CO) dalam keadaan besi tereduksi (ferro), sedangkan dalam bentuk
teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen, tapi mudah
mengikat anion. Fungsi hemoglobin ialah mengangkut oksigen (O2) ke
jaringan tubuh dan CO2 dari jaringan ke paru (Wahidiyat I, 2005).
Bayi baru lahir dilahirkan dengan nilai hemoglobin yang tinggi.
Konsentrasi hemoglobin normal memiliki rentang dari 13,7 sampai 20,0
g/dL. Gomella (2004) memberikan batasan, pada saat lahir nilai normal
Hb bayi baru lahir dengan usia kehamilan > 34 minggu adalah 14 – 20
g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL.
Hemoglobin janin memiliki afinitas yang tinggi terhadap oksigen,
suatu efek yang menguntungkan bagi janin. Selama beberapa hari pertama
kehidupan, nilai hemoglobin sedikit meningkat, sedangkan volume
plasma menurun. Hemoglobin kemudian turun perlahan tetapi
terus-menerus pada 7 sampai 9 minggu pertama setelah bayi lahir, disebut
anemia fisiologis (Varney, 2009).
Nelson (2000) menyebutkan bahwa anemia fisiologis adalah
penurunan Hb hingga 9,5-11 g/dL pada bayi baru cukup bulan usia 2-3
peningkatan tekanan O2 dari 25-30 mmHg saat janin menjadi 90-95
mmHg, yang menyebabkan serum eritropoitin menurun sehingga
produksi eritrosit juga menurun (Chapman, 2010).
Anemia fisiologis jika tidak diperhatikan dan diatasi, dengan tidak
memberikan asupan nutrisi yang cukup, akan terus berlangsung hingga
bayi usia 6 bulan dan bukan lagi menjadi hal yang fisiologis (Chaparro,
2006). Sedangkan untuk anemia selama masa neonatus (0-28 hari
kehidupan) pada bayi dengan umur kehamilan > 34 minggu ditentukan
berdasar kadar Hb < 13 g/dL (darah vena sentral) atau 14,5 g/dL (darah
arteri). Menurut Varney (2009) nilai hemoglobin awal pada bayi baru
lahir sangat dipengaruhi oleh waktu pemotongan tali pusat dan posisi bayi
baru lahir segera setelah lahir.
2. Hematokrit
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan
persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003).
Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi baru lahir
berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain menyebutkan nilai
hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp O, 2004).
Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari pertama
kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5% dan pada
akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi baru lahir
normal, hematokrit (darah kapiler) hari pertama kehidupan adalah 62,9 ±
diartikan sebagai batas anemia pada neonatus, namun karena kadar
hematokrit meningkat kurang lebih 10% pada jam-jam pertama
kehidupan, sehingga secara pendekatan klinis lebih tepat mendefinisikan
anemia neonatus berdasar kadar hematokrit adalah pada batas 45% pada 6
jam setelah lahir (Cernadas, 2006) dan bila kadar hematokrit meningkat >
65%, disebut polisitemia.
Polisitemia pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai peningkatan
kadar hematokrit > 65%. Polisitemia dihubungkan dengan peningkatan
jumlah eritrosit dalam pembuluh darah dan sering dihubungkan dengan
kelainan/gangguan pada neonatus. Gangguan akibat polisitemia yang
dihubungkan dengan peningkatan viskositas darah yaitu terjadinya
gangguan kinetika aliran darah. Hal tersebut bermanifestasi aliran darah
yang lambat dan terjadi endapan darah dan merupakan predisposisi
terjadinya mikrotrombi dan penurunan oksigenasi jaringan (Susilowati,
2009). Risiko polisitemia meningkat pada bayi-bayi yang dilahirkan dari
ibu dengan diabetes dan bayi kembar serta yang mengalami twin to twin transfusi (Aziz, 2006).
Faktor faktor yang mempengaruhi hemoglobin dan hematokrit bayi
baru lahir:
a. Asal sampel darah
Darah kapiler mempunyai hemoglobin lebih tinggi dibanding
perbedaannya. Beberapa jam setelah lahir, terdapat perbedaan ± 5%
antara kadar Hb kapiler dibanding dengan darah vena (Oski, 1996).
b. Waktu pengambilan sampel darah
Selama beberapa jam pertama kehidupan terjadi peningkatan
konsentrasi Hb. Peningkatan ini terutama terjadi akibat transfusi
plasental selama proses persalinan. Pada jam-jam pertama kehidupan,
tampaknya plasma meninggalkan sirkulasi. Total volume darah pada
bayi menyesuaikan segera setelah lahir, terjadi penurunan volume
plasma, sementara eritrosit tetap. Sehingga sebagai hasil akhir, terjadi
peningkatan jumlah eritrosit, Ht dan Hb (Oski, 1996). Gomella (2004)
berpendapat, nilai hemoglobin bayi sehat aterm tidak berubah secara
signifikan sampai minggu ke-3 kehidupan, kemudian turun sampai 11
g/dL pada usia 8 – 12 minggu.
c. Kadar hemoglobin ibu
Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.
Pada ibu hamil, besi ditransport melalui plasenta secara efisien
sehingga bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan besi
yang cukup. Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu hamil
hanya mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam janin dan
neonatus, sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik, kecuali ibu
d. Waktu pemotongan tali pusat
Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125 cc
darah saat lahir, atau kurang lebih 1/4 sampai 1/3 volume darah fetus.
Kurang lebih 1/3 darah plasenta ditransfusikan dalam waktu 15 detik
pertama setelah lahir dan setengahnya dalam 1 menit pertama setelah
lahir (Oski, 1996). Sebagian besar bayi sehat mendapatkan transfusi
plasental dengan jumlah yang besar dalam 45 detik setelah lahir
(Philip 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali
pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata
volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan
penjepitan dini 78 ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi
dengan penundaan pemotongan tali pusat.
Sumber: Sloan (2012)
Gambar 2.5 Tali Pusat yang Dibiarkan Selama 15 Menit
Gambar di atas memperlihatkan terjadinya aliran darah dari
pemotongan tali pusat. Semakin lama pemotongan tali pusat dilakukan
maka aliran darah yang terlihat semakin berkurang.
Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit dapat
menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan sebesar
100 ml pada penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 3 menit
(Varney, 2009).
e. Faktor lain
Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir
adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu diabetes
melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK) (Philip, 2004),
hipertensi, pre-eklamsi/eklamsi (Prawirohardjo, 2010).
Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi
plasenta akan mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir, seperti
durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh gravitasi/posisi bayi,
kontraksi uterus dan kelainan plasenta lainnya seperti infark, hematom
dan solutio plasenta (Santosa, 2008).
3. Fe (Zat Besi)
Jumlah Fe pada bayi kira kira 400 mg yang terbagi sebagai berikut:
masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%, mioglobin 5-10%,
hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%. Pengangkutan Fe dari rongga usus
hingga menjadi transferin, yaitu suatu ikatan Fe dan protein di dalam
Fe dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di
dalam lambung Fe akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh asam
lambung (HCL). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero
oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel
mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan
sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang disebut
transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis
hemoglobin. Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan disimpan
sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri, terutama bila makanan mengandung Fe yang larut, sedangkan
fosfat, oksalat dan fitrat menghambat absorpsi Fe (Hassan, 1985).
Eksresi Fe dari tubuh sangat sedikit. Fe yang dilepaksan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk
kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk sintesa
hemoglobin, jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan Fe sangat
sedikit, namun pada bayi baru lahir, dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya, bayi menggunakan Fe dalam jumlah besar dan cepat untuk
mengimbangi kecepatan tumbuh dan bertambahnya volume darah tubuh.
Menjelang usia 4 bulan cadangan Fe bayi berkurang 50% (Santosa, 2008).
Cadangan Fe tubuh dalam 2 bentuk, yaitu feritin dan hemosiderin.
Cadangan Fe disimpan terutama di hepar, sel retikuloendotelial dan
sumsum tulang. Di hepar sebagian besar Fe disimpan di parenkim
Di sumsum tulang dan limpa Fe disimpan terutama di sel-sel
retikuloendotelial. Cadangan Fe berfungsi sebagai reservoir untuk memberi Fe pada sel-sel yang sangat membutuhkan, terutama pada
pembentukan hemoglobin (Fleming RE, 2005).
Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi normal lebih tinggi
dibandingkan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata nilainya sekitar
150 µg/dl. Bayi yang mendapatkan suplemen zat besi memiliki nilai
rata-rata zat besi sebanyak 125 µg/dl dalam 1 bulan pertama dan 75 µ g/dl
dalam usia 6 bulan. Kapasitas total penyimpanan zat besi meningkat
selama 1 tahun pertama kehidupannya. Batas rata-rata penyebaran zat ini
menurun hampir 65% dalam setengah bulan menjadi 25% dalam 1 tahun.
Anemia berdasarkan kadar zat besi adalah < 100 µg/dl (Kee, 1995).
Nilai rata-rata serum feritin dalam kandungan zat besi yang cukup
pada bayi sangat tinggi saat kelahiran, yaitu 160 µg/dl dan meningkat
selama 1 bulan pertama, kemudian menurun menjadi 30 µg/dl dalam 1
tahun pertama kehidupannya (Segel, 2011).
4. Bilirubin
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran
hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada pada bayi yang lebih tua.
Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek.
Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat
Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya
tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dan sirkulasi sangat
terbatas. Begitupun dengan kesanggupannya untuk mengkonjugasi
sehingga hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin
indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan dieksresi oleh
hepar ibunya. Pada keadaan fisiologis tanpa gejala, hampir semua
neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg/dL. Hal
ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut
pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar
ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin
dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum
matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia,
asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar
albumin dalam serum. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus
dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek
mencapai 20 mg/dL pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan
bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah
tercapai (Hassan, 1985).
Diketahui bahwa pada setiap bayi baru lahir akan terjadi peningkatan
kadar bilirubin indirek dalam serum secara fisiologis, timbul dalam
hari ketiga, dengan kadar puncak 5-6 mg/dL pada hari ke 4-5 dan akan
menurun secara spontan.
Ikterus atau hiperbilirubinemia adalah peningkatan konsentrasi
bilirubin 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin
serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan (Prawirohardjo, 2010).
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir, disebabkan oleh beberapa
faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai berikut:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah
Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses „uptake‟ dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain (Hassan, 1985).
C. Waktu Pemotongan Tali Pusat
Tali pusat adalah tali yang menghubungkan janin ke plasenta yang
berfungsi dalam menyalurkan nutrisi dari ibu ke janin. Tali pusat mulai
terbentuk pada minggu kelima usia kehamilan dan terus berkembang seiring
dengan perkembangan janin. Sampai pada usia matang janin (37-40 minggu),
ukuran tali pusat mencapai panjang 50 cm dan diameter 2 cm (Benson, 2008).
Pemotongan tali pusat adalah suatu proses memisahkan bayi dengan
plasenta. Sebelumnya, janin mendapat pasokan nutrisi dari ibu melalui
plasenta dan disalurkan oleh tali pusat, namun setelah lahir dan tali pusat
dipotong, bayi harus memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti misalnya
bernafas (Sodikin, 2008)
Waktu pemotongan tali pusat ialah waktu pemutusan aliran darah dari
plasenta ke bayi baru lahir saat kelahiran seluruh tubuh bayi baru lahir oleh
penolong bersalin dengan cara pemotongan tali pusat (Adilia, 2011).
Belum terdapat kesepakatan mengenai waktu pemotongan tali pusat pada
bayi baru lahir, namun secara umum, waktu pemotongan tali pusat dibagi
pemotongan tali pusat. Mengenai definisi dari masing masing tersebut
diantara para ahli masih belum ada kesepakatan (Rabe, 2004).
a. Pemotongan Tali Pusat Segera
Definisi pemotongan tali pusat segera tidak jelas dalam
kebanyakan studi kecuali pada McDonnell 1997 di mana waktu yang
tepat untuk pemotongan tali pusat adalah lima detik dan menurut
Ultee 2008 mencatat bahwa waktu pemotongan tali pusat segera
adalah pada 13,4 detik (Mc Donald, 2013).
Pemotongan tali pusat segera didefinisikan sebagai pemotongan
tali pusat yang dilakukan segera setelah bayi baru lahir hingga
sebelum satu menit untuk bayi baru lahir cukup bulan dan
pemotongan tali pusat yang dilakukan sesegera mungkin untuk bayi
prematur (Wickham, 2006). Pemotongan tali pusat kurang dari 15
detik dikategorikan sebagai pemotongan tali pusat segera (Setiawan,
2009).
b. Penundaan Pemotongan Tali Pusat
Definisi penundaan pemotongan tali pusat bervariasi, antara studi
McDonnell (1997) yang memiliki rata-rata waktu penundaan 31 detik,
Rabe (2000), 45 detik, Hofmeyr (1988) dan Hofmeyr (1993), 60 dan
120 detik, Aladagandy (2006) dan Baezinger (2007), 60 sampai 90
detik, Kugelman (2007), Mercer (2003) dan Mercer (2006) 30 sampai
45 detik, dan 60 detik pada Strauss (2008). Ultee (2008) memiliki
Penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan yang
dilakukan setelah bayi baru lahir bernafas secara teratur, yang
ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir (Philip, 2004).
Sedangkan menurut Setiawan (2009), pemotongan tali pusat di antara
waktu 30 detik sampai 5 menit adalah termasuk dalam kategori
penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat yang dilakukan
setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai 3 menit pertama setelah
melahirkan (Hutton, 2007). Namun menurut Aziz (2006), penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat dalam 2 menit
pertama setelah bayi lahir karena transfusi darah dalam jumlah
bermakna sudah terjadi dalam waktu tersebut.
Perdebatan mengenai waktu pemotongan tali pusat masih
berlangsung hingga kini (Tanmoun, 2013). Kebiasaan melakukan
pemotongan tali pusat segera berhubungan dengan praktik obstetri
modern. Pendukung praktik tersebut mengkhawatirkan efek samping
akibat transfusi plasenta termasuk gawat pernafasan, polisitemia,
sindrom hiperviskositas, dan hiperbilirubinemia. Padahal jika ingin
mendukung transfusi fisiologis setelah persalinan sebelum plasenta
dilahirkan, bayi baru lahir akan mendapatkan volume darah yang
dan hematokrit dalam mencegah anemia bayi baru lahir (Varney,
2009)
Di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya dilakukan
segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan oksitosin (JNPKR,
2004), kemudian mengalami perubahan yaitu menjadi 2 menit setelah
bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin (JNPKR, 2008).
Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat Dari Berbagai Sumber
Tahun Sumber/Peneliti Pemotongan Tali Pusat Segera
Penundaan Pemotongan Tali Pusat
2000 Nelson, dkk 60 detik Setelah pulsasi tali pusat berhenti ( 2 menit)
2010 Prawirohardjo 10 detik 2 menit
2010 Shirvani, dkk < 15 detik > 15 detik
Sumber: Nelson (2000), Chaparro (2006), Aziz (2006), Cernadas (2006), Hutton (2007), Lubis (2008), Thawinkarn (2008), Santosa (2008), Kosim (2009),
D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
Pada saat dalam kandungan janin berhubungan dengan ibunya melalui
tali pusat yang merupakan bagian dari plasenta. Setelah bayi lahir, sebelum
plasenta dilahirkan, darah plasenta selama masa tersebut masih ditransfusikan
ke bayi (disebut transfusi palsenta) dan dapat menambah volume darah bayi
baru lahir serta berpengaruh terhadap status hemoglobin dan hematokrit bayi
baru lahir (Philip, 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali pusat
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata volume darah
saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan penundaan pemotongan
tali pusat adalah 78 ml/kg BB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi dengan
penundaan pemotongan tali pusat (Miller, 2005).
Perbedaan waktu pemotongan tali pusat sebagai intervensi yang
dilakukan setelah bayi lahir memberikan dampak yang berbeda. Berikut
adalah status hematologi bayi baru lahir cukup bulan dilihat berdasarkan
perbedaan waktu pemotongan tali pusat:
1. Hemoglobin
Penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan jumlah eritrosit
yang ditransfusikan ke bayi, hal tersebut tercermin dalam peningkatan
kadar hemoglobin bayi baru lahir (Susilowati, 2009).
Ditemukan bayi usia 7 jam yang dilakukan pemotongan tali pusat
dibandingkan dengan bayi yang dilakukan penundaan pemotongan tali
pusat. Begitupun saat pemeriksaan ulang pada bayi tersebut di usia 2 dan
3 bulan (Hutton, 2007).
Penelitian lain menemukan bayi yang dilakukan pemotongan tali
pusat segera setelah bayi baru lahir, dalam 48 jam memiliki kadar
hemoglobin sebesar 16,1 g/dL sedangkan pada bayi yang dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat, kadar hemoglobin lebih tinggi yaitu
sebesar 17,8 g/dL (Tanmoun, 2013).
Studi kolaborasi Cochrane (2013) mengemukakan bahwa peningkatan hemoglobin yang signifikan terjadi pada bayi yang dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat dalam rentang waktu 1-3 menit akibat
dari transfusi plasenta dan penambahan volume darah sebesar 30-50%.
Penelitian pada bayi saat berusia 72 jam, bayi dengan penundaan
pemotongan tali pusat memiliki rerata volume darah sekitar 93 ml/kg dan
massa eritrosit 49 ml/kg, sedangkan pada pemotongan tali pusat segera
bayi memiliki rerata volume darah 82 ml/kg, dan masa eritrosit 31 ml/kg
sehingga penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan
hemoglobin selama satu minggu pertama kelahiran (Susilowati, 2009).
2. Hematokrit
Pada penelitian terhadap bayi baru lahir cukup bulan yang dilakukan
pemotongan tali pusat 5 menit setelah bayi lahir, didapat penambahan
tersebut juga ditemukan pada pemotongan tali pusat 1 menit setelah bayi
baru lahir (Adilia, 2011).
Kadar hematokrit pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat
dengan segera adalah sebesar 47,8% sedangkan pada bayi yang dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat memiliki kadar hematokrit sebesar
53,5% (Lubis, 2008)
Bayi baru lahir usia 2 jam, didapat kadar hematokrit berkisar
0,44-0,53 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera (kurang dari 15
detik) dan 0,58-0,70 pada bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat
(2 menit). Pada kelompok pemotongan tali pusat segera, hematokrit
menurun secara signifikan setelah 24 jam, menjadi berkisar antara
0,37-0,48 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera dan 0,54-0,67 pada
bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat. (Aziz, 2006).
Peningkatan hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan tali
pusat juga ditemukan pada penelitian oleh Thawinkarn (2008) dan
Santosa (2008). Pada penelitian tersebut ditemukan kadar hematokrit pada
kelompok penundaan pemotongan tali pusat adalah 41,6-60,6%
sedangkan pada kelompok pemotongan tali pusat segera adalah
37,6-54,7%
3. Zat Besi
Kadar Hb dan eritrosit yang cukup memungkinkan tingkat oksigenasi
yang optimal dan dapat menyediakan sumber Fe yang sangat bermanfaat
selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sel akan Fe, termasuk produksi
eritrosit. Fe sebagai salah satu mikronutrien penting bagi sel. Besi adalah
nutrien yang penting tidak hanya untuk pertumbuhan normal, kesehatan
dan kelangsungan hidup anak, tetapi juga untuk perkembangan mental,
motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).
Jika bayi setelah lahir diletakkan di bawah atau sejajar introitus
vagina selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera diputus
dengan pemasangan klem, kurang lebih 80 ml darah mungkin dapat
dialirkan dari plasenta ke bayi. Hal di atas menyediakan sekitar 50 mg
besi (Fe) sehingga dapat menurunkan frekuensi anemia defisiensi besi
pada masa kehidupan bayi (Cunningham, 2005).
Beberapa peneliti menemukan bahwa penundaan pemotongan tali
pusat telah terbukti bermanfaat menghasilkan kadar ferritin dan Hb yang
lebih tinggi serta menurunkan secara signifikan terjadinya anemia pada
masa bayi (Mc Donald, 2013). Penundaan pemotongan tali pusat
merupakan strategi yang murah dan efektif untuk menurunkan kejadian
anemia pada bayi terutama pada negara berkembang (WHO, 2012).
Penundaan pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit dapat
memberikan penambahan volume darah sekitar 25-35 ml/kgBB. Dengan
asumsi konsentrasi besi dalam hemoglobin sekitar 3,4 mg/g, kira-kira
pada bayi dengan berat 3 kg, akan menerima 46-60 mg zat besi. Jika kita
memperkirakan bahwa bayi yang baru lahir membutuhkan sekitar 0,7 mg
kadar hemoglobin dan tingkat mioglobin serta enzim dalam otot dan
jaringan lain. Kadar zat besi sebesar 46-60 mg akan bertahan hingga 1-3
bulan pertama kehidupannya (Chaparro, 2011).
Penelitian lain pun menyebutkan bahwa bayi dengan berat 3,2 kg
yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan memiliki
hemoglobin darah sebesar 170 g/dL, akan menambahkan kadar zat besi
sebesar 75 mg ke dalam penyimpanan zat besinya sehingga cukup untuk
kebutuhan bayi hingga 3 bulan (Chaparro, 2006).
Untuk kadar zat besi bayi baru lahir yang dilihat berdasarkan level
feritin dalam penyimpanan zat besi. Ditemukan pada usia 2 hingga 3
bulan, bayi dengan pemotongan tali pusat segera memiliki kadar feritin
yang lebih rendah (<50µg/L), begitupun saat usia bayi 6 bulan (Hutton,
2007).
Kejadian anemia dan kadar zat besi yang lebih rendah ditemukan
pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera, karena bayi tersebut tidak
mendapatkan penambahan volume darah sebesar 40% dari transfusi
plasenta (Hutchon, 2012).
4. Bilirubin
Sel darah merah bayi baru lahir memiliki umur yang singkat, yaitu
rata-rata 80 hari (berbeda dari umur sel darah merah orang dewasa yaitu
120 hari). Penggantian sel yang cepat ini menghasilkan lebih banyak hasil
dimetabolisme. Muatan bilirubin yang berlebihan ini menyebabkan
ikterus fisiologis yang terlihat pada bayi baru lahir (Varney, 2009).
Bagi bayi cukup bulan, dengan waktu pemotongan tali pusat 5 menit
setelah bayi baru lahir dengan waktu pemotongan tali pusat kurang dari
15 detik didapat bilirubin serum bayi baru lahir rata-rata adalah 7,7 mg/dL
dan 3,2 mg/dL. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan bayi yang
memerlukan fototerapi pada usia lebih dari 3 hari (Adilia, 2011).
Pada bayi baru lahir cukup bulan, kejadian ikterus lebih banyak
terjadi pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat,akibat
penambahan sel darah merah dan ketika terjadi pemecahan eritrosit, lebih
banyak bilirubin yang dihasilkan. Sedangkan pada bayi kurang bulan
yang juga dilakukan penundaan pemotongan tali pusat, tidak ditemukan
kejadian ikterus (Hutchon, 2012).
Kadar serum bilirubin total pada bayi baru lahir 48 jam dengan
penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, yaitu sebesar 13,3 mg/dL
dan 12,7 mg/dL. Pada penelitian ini, indikator bayi dengan
hiperbilirubinemia adalah pada bayi yang membutuhkan fototerapi, dan
hal tersebut ditemukan lebih banyak pada bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat (Tanmoun, 2013). Hal tersebut sesuai dengan
penemuan Aziz (2006), yang menemukan 3 bayi dari 15 bayi memiliki
nilai bilirubin serum > 15 mg/dL pada kelompok penundaan pemotongan
ditemukan adanya peningkatan bilirubin abnormal yang abnormal.
Namun, setelah dilihat perbedaannya secara bermakna, peningkatan
bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terbukti secara
signifikan.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutton (2007), tidak
terdapat perbedaan kadar bilirubin yang signifikan dari dua kelompok
waktu pemotongan tali pusat bahkan hingga bayi berusia 72 jam dan tidak
ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi dari kelompok penundaan
BAB III
Nilai tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya yaitu
waktu pemotongan tali pusat (Santosa, 2008). Terdapat perbedaan nilai yang
didapat dilihat berdasarkan perbedaan waktu pemotongan tali pusat, yaitu
ditemukan nilai hemoglobin lebih tinggi pada bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan
tali pusat segera. Hal tersebut dibuktikan sejumlah penelitian-penelitian
berikut;
Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Santosa, Qodri 2008 13,4-18,4 14,5-20,1
Thawinkarn, S. 2008 16.82 18,73
Kosim, dkk 2009 16,30 17, 34
Shirvani, dkk 2010 14,5 16,08
Astrianti, dkk 2012 14,33 15,77
Tanmoun, Nuanpun 2013 16,1 17,8
Berdasarkan tabel di atas, nilai hemoglobin pada kedua kelompok waktu
pemotongan tali pusat tidak kurang dari batas normal sehingga tidak
ditemukan bayi yang mengalami anemia dalam penelitian tersebut. Namun,
jika dilihat kembali, nilai hemoglobin pada kelompok penundaan pemotongan
tali pusat lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan
tali pusat segera. Hal tersebut ditemukan dapat mencegah anemia pada bayi
baru lahir cukup bulan hingga bayi tersebut berusia 6 bulan (Mc Donald,
2013). Dalam hal ini, bayi tidak akan mengalami penurunan nilai hemoglobin
secara drastis pada usia 6-8 minggu akibat dari adaptasi bayi berupa anemia
fisiologis.
Penemuan tersebut mendukung penemuan-penemuan sebelumnya oleh
Hutton, dkk (2007), Mercer, dkk (2001) dan juga oleh Grajeda, dkk (1997)
yang menemukan bahwa penundaan pemotongan tali pusat dapat
meningkatkan kadar hemoglobin sehingga berpengaruh terhadap status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan dan dapat mencegah terjadinya
anemia bayi baru lahir.
Menurut Mc Donald (2013), tidak ditemukan dampak buruk dari
peningkatan nilai hemoglobin akibat penundaan pemotongan tali pusat,
karena dapat menghambat sirkulasi oksigen dalam darah bayi sehingga
menyebabkan bayi dalam keadaan hipoksia. Peningkatan hemoglobin akibat
penundaan pemotongan tali pusat lebih terbukti bermanfaat karena dapat
Hemoglobin yang cukup juga dapat menyediakan sumber Fe bagi bayi,
yang penting dalam produksi eritrosit dan merupakan mikronutrien penting
bagi sel. Tidak hanya untuk pertumbuhan normal, kesehatan dan
kelangsungan hidup anak, Fe juga dibutuhkan untuk perkembangan mental,
motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).
B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan
persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003). Berdasarkan
beberapa penelitian, nilai normal hematokrit bayi baru lahir berkisar antara
51,3-56,0%, dengan nilai rata-rata sebesar 52,3% (Oski, 1996). Sumber lain
menyebutkan nilai hematorkit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp
O, 2004). Jika kurang dari 45% maka dapat terjadi anemia pada bayi baru
lahir, sedangkan bayi yang memiliki nilai hematokrit lebih dari 65% akan
jatuh ke dalam keadaan yang disebut dengan polisitemia.
Dalam hal ini perbedaan waktu pemotongan tali pusat memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap nilai hemoglobin bayi baru lahir yang
berpengaruh juga terhadap nilai hematokrit bayi. Penundaan pemotongan tali
pusat memfasilitasi aliran darah berlebih ke bayi sehingga jumlah eritrosit
yang masuk ke dalam tubuh bayi lebih banyak dan berisiko terjadi polisitemia.
Azis (2006) menemukan bahwa, risiko kejadian polisitemia meningkat
tersebut pada usia 24 jam berada dalam rentang 50-67%. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam penelitian tersebut terdapat bayi yang mengalami
polisitemia, namun, setelah dilakukan pemantauan ketat hingga bayi berusia
48 jam dan nilai hematokrit bayi tersebut mengalami peningkatan, keadaan
tersebut tidak membuat bayi mengalami gejala berupa gangguan pernafasan.
Oleh karena itu, Azis (2006) kembali menyimpulkan bahwa peningkatan
risiko memang terjadi namun tidak terbukti secara signifikan dapat
menyebabkan polisitemia, selain itu, peningkatan nilai hematokrit pada bayi
baru lahir juga merupakan adaptasi fisiologis dari bayi tersebut akibat dari
peningkatan viskositas darah. Kesimpulan tersebut didukung oleh Thawinkarn
(2008) yang menemukan 2 bayi dari kelompok penundaan pemotongan tali
pusat memiliki kadar hematokrit >65% namun tidak disertai dengan gejala.
Gemma (2010) menyebutkan bahwa pada kelompok penundaan
pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit, ditemukan risiko polisitemia pada
neonatus usia 7, 24, dan 48 jam, namun risiko anemia akibat kekurangan
hematokrit (<45%) yang meningkat sebesar 30-40% karena pemotongan tali
pusat segera lebih perlu dikhawatirkan. Mengingat, anemia pada bayi baru
lahir akan berlangsung terus dan sulit untuk diperbaiki jika tidak ditangani
segera.
Penelitian tersebut di atas, didukung oleh penelitian-penelitian berikut,
yang menemukan bahwa peningkatan hematokrit akibat penundaan
Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan
Qodri Santosa 2008 37,6-54,7 41,6-60,6
Thawinkarn, S. 2008 49,65 56,16
Kosim, dkk 2009 47,08 51,34
Shirvani, dkk 2010 42,8 47,6
Astrianti, dkk 2012 43,35 44,41
Nuanpun Tanmoun 2013 50,3 54,5
Sumber: Cernadas (2006), Lubis (2008), Santosa (2008), Thawinkarn ( 2008), Kosim (2009), Shirvani (2010), Astrianti (2012), Tanmoun (2013).
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, terlihat memang terjadi
peningkatan dalam nilai hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan
tali pusat, namun bahaya mengenai polisitemia tidak perlu dikhawatirkan
karena tidak ditemukan gejalanya, terkecuali, pada bayi yang memiliki risiko
polisitemia lebih tinggi yaitu pada bayi dari ibu dengan diabetes, kelainan
transfusi plasenta dan pada kehamilan kembar, sehingga dalam hal tersebut,
pemotongan tali pusat segera dapat menjadi alternatif (Nelson, 2000)
C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi baru lahir cukup bulan
lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata
nilainya adalah sekitar 150 µg/dl (Kee, 1995). Sumber zat besi terdapat dapat
menurun pada usia 2-3 bulan, membuat sejumlah besi disimpan dalam bentuk
feritin dan hemosiderin (Fleming RE, 2005).
Chapparo (2006) menemukan bahwa bayi yang dilakukan penundaan
pemotongan tali pusat dengan berat badan sebesar 3,2 kg, memiliki kadar
hemoglobin tinggi sehingga 75 mg zat besi dapat ditambahkan ke dalam
penyimpanan zat besi tubuhnya dan cukup untuk kebutuhan bayi hingga usia
3 bulan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Andersson (2011) yang menemukan bahwa bayi pada kelompok penundaan
pemotongan tali pusat memiliki kadar zat besi sebesar 117 µg/L, lebih besar
dibandingkan 81 µg/L zat besi yang ditemukan pada kelompok pemotongan
tali pusat segera, sedangkan untuk kadar zat besi bayi yang dapat dilihat
berdasarkan level feritin terdapat dalam tabel berikut;
Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Bayi dengan berat badan lahir normal memiliki simpanan Fe yang dapat
dimanfaatkan kembali untuk pembentukan darah hingga bayi tersebut berusia
9 bulan, sedangkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah atau pada bayi