10 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1 Otonomi Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (5), Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Widjaya (1992:39) mengatakan ada tiga variabel yang menjadi tolok
ukur kemampuan daerah otonom, yaitu:
a. Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli
daerah/keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat,
kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan
organisasi dan administrasi.
b. Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial
budaya.
c. Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan
serta penghayatan agama.
Apabila pemahaman Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 (Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik) digabungkan dengan
Pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa Republik
11 kesatuan yang didesentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak
untuk mengawasi daerah-daerah otonom.
Penerapan otonomi daerah/desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat
Indonesia memiliki tujuan untuk kemandirian pemerintah daerah dalam
pengelolaan rumah tangganya. Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak
lepas tangan secara penuh dan masih memberikan bantuan kepada pemerintah
daerah berupa dana perimbangan yang dapat digunakan oleh pemerintah
daerah dalam pembangunan dan menjadi menjadi komponen pendapatan
daerah dala APBD. Pemerintah daerah harus dapat menjalankan
rumahtangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan kemandirian
ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya.
2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pengurusan keuangan dipemerintah daerah diatur dengan membagi
menjadi pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pemerintah daerah
memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
pengurusan umum dan kekayaan milik daerah yang dipisahkan pada
pengurusan khusus. APBD dapat didefenisikan sebagai rencana operasional
keuangan pemda, di mana pada satu pihak menggambarkan perkiraan
pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran tertentu, dan pihak lain
menggarmbarkan perkiraan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna
menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud (Mamesah, 1995: 20;
12 APBD sebagai anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai berikut
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terperinci.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk
menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang
merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksankan.
3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran, biasanya satu tahun.
Proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), selanjutnya RPJMD
dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode
satu tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah menyusun
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang dijadikan dasar dalam penyusunan
APBD. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menerima
penyerahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang
sebelumnya disusun oleh Pemda untuk disetujui. Setelah Pemda menyetujui
PPAS, selanjutnya disusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.
Pada era reformasi keuangan daerah, mengisyaratkan agar laporan
keuangan semakin informatif. Bentuk APBD mengalami perubahan yang
cukup mendasar, yaitu didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri
(Kepemendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara
13 yang digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Daerah jo. Permendagri
Nomor 59 Tahun 2007 berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah jo. Permendagri Nomor 59
Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Bentuk APBD terbaru
terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan (kategori
baru). Pos Pembiayaan merupakan usaha agar APBD semakin informatif,
yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah. Selain itu pos
Pembiayaan juga merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan deficit
anggaran.
Dalam APBD, pendapatan, belanja, dan pembiayaan tersebut
dikelompokkan kembali menjadi berikut ini:
1. Pendapatan, dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah.
2. Belanja, dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut
a. Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung
dengan program dan kegiatan Pemerintah daerah. Belanja tidak
langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai yang berisi gaji dan
tunjangan penjabat dan PNS daerah, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bagi hasil, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan,
dan belanja tidak terduga.
b. Belanja langsung, yaitu belanja yang terkait langsung dengan program
14 menjadi belanja pegawai yang berisi honorarium dan penghasilan
terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan belanja barang dan jasa,
dan belanja modal.
3. Pembiayaan, yang dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan,
yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan
berupa penerimaan daerah merupakan sisa lebih anggaran tahun
sebelumnya, penerimaan pinjaman dan obligasi hasil penjualanaset daerah
yang dipisahkan, dan transfer dari dana cadangan. Sedangkan sumber
pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas pembayaran utang
pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana
cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun yang sedang berlangsung.
2.1.3 Pendapatan Asli Daerah
Defenisi pendapatan asli daerah sesuai Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Pasal1angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD
adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Menurut
Halim (2007:96) pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
Erlina dan Rasdianto (2013 : 93) mengelompokkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) menurut jenis pendapatan yang terdiri atas pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
15 Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat
dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan
pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil
ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas
(subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah
seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi
daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian
Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif
untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya
keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan
hal yang dikehendaki setiap daerah.
PAD yang merupakan sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus
ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan
untuk penyelenggarakan pemerintah dan kegiatan pembangunan yang setiap
tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam pasal 6
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan sumber-sumber
PAD terdiri dari:
a. Pajak daerah
16 c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dasar pemungutannya berdasarkan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Aturan
pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001tentang
Retribusi Daerah. Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada setiap
daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 pajak yang
dipungut pemerintah provinsi berebda objeknya dengan pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Adapun jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah provinsi
sebanyak 4 jenis yang terdiri dari;
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Pengembaliin dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
Bagi hasil pajak untuk Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Daerah Provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan
17 Jenis-jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah Kabupaten/Kota
adalah sebagai berikut:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan Galian C
7. Pajak Parkir
Selain jenis pajak tersebut denan Peraturan Daerah Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat ditetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang
ditetapkan dalam Undang-undang. Penetapan jenis pajak lainnya harus
benar-benar bersifat spesifik dan potensial daerah.
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
Jenis retribusi dikelompokkan dalam retribusi jasa umum, retribusi jasa
usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi
atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
18 Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte
Catatan Sipil
d. Retribusi PelayananPemakaman dan Pengabuan Mayat
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f. Retribusi Pelayanan Pasar
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan
Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang
terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak
daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai
undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
2.1.4 Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umun (DAU) dialokasikan berdasarkan persentase
tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2005 Tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum merupakan
19 pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal
(fiscal gap). DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal
suatu darah, yang merupakan selisih anatara kebutuhan daerah (fiscal need)
dan potensi daerah (fiscal capacity).
DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang
diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk mengisi kesenjangan antara
kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan
bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada
daerah kaya. Dana Alokasi Umum bersifat unconditional atau tidak memiliki
syarat dalam penggunaannya sehingga bisa dialokasikan sesuai dengan
kebutuhan daerah. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria
tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras
dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan
DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-Undang (pasal 161). Alokasi DAU bagi
daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan
memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi
fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU
relatif besar. Secara impilisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU
sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
2.1.5 Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) atau specific grant merupakan dana
20 untuk mendanai kegiatan khusus sesuai prioritas nasional pada daerah tertentu.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu
dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk:
a. Mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas dasar prioritas
nasional
b. Mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu
Sesuai dengan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud
dengan kebutuhan khusus adalah : (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang
tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan
transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi, prasarana baru,
pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran
drainase primer, dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional. Kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK diusulkan oleh
Menteri teknis dan baru ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri
Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional, sesuai dengan Renja Pemerintah. Ketetapan tentang kegiatan khusus
tersebut, disampaikan kepada Menteri Keuangan. DAK tidak dapat digunakan
untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian,
pelatihan, dan perjalanan dinas.
Ada beberapa kewajiban yang melekat pada daerah penerima DAK,
21 a. Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan
DAK nya di dalam APBD.
b. Kecuali untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, daerah
penerima DAK wajib menganggarkan Dana Pendamping dalam APBD
sekurang-kurangnya 10% dari besaran alokasi DAK yang diterimanya.
Dana Pendamping tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan yang
bersifat kegiatan fisik.
c. Kepala daerah penerima DAK harus menyampaikan laporan triwulan yang
memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada
Menteri Keuangan, Menteri Teknis, dan Menteri Dalam Negeri.
Penyampaian laporan dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari
setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
2.1.6 Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap
berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun periode akuntansi.
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja
Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan
menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja
yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja
administrasi umum. Sedangkan menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor
PER-33/PB/2008 yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah
22 akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,
meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatakan aset tetap
pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap
lainnya. Secara teoretis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut,
yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan
membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan
adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya
dilakukan melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup rumit. Nilai
aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah
seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset
tersebut siap digunakan. Untuk memenuhi tujuan tersebut Kepala Daerah
menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization treshold) sebagai dasar
pembebanan belanja modal. Belanja modal meliputi:
a. Belanja modal tanah
b. Belanja modal peralatan dan mesin
c. Belanja modal gedung dan bangunan
d. Belanja modaljalan, irigasi, dan jaringan
e. Belanja modal aset tetap lainnya
f. Belanja aset lainnya (aset tetap tak berwujud)
Abdul Halim (2012) mengatakan bahwa belanja modal merupakan
23 anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan.
Belanja modal dibagi menjadi:
a. Belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara
langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan
jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian
mobil ambulans.
b. Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.
Contoh belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan
gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.
2.2Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu dengan hasil pengujiannya dapat dilihat dari
Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Variabel Penelitian Kesimpulan
24
Sumber: Review dari beberapa artikel.
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya
dilakukan oleh Ni Luh Dina Selvia Martini, Wayan Cipta, I Wayan Suwendra
25 mengambil sampel penelitian di Pemerintah Kabupaten Buleleng. Hasil
penelitian ini membuktikan PAD, DAU, dan DAK berpengaruh positif terhadap
pengalokasian anggaran Belanja Modal.
Saptaningsih Sumarmi (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi D.I
Yogyakarta. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa PAD, DAU dan DAK
berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
Nugroho Suratno Putro (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Study Kasus Pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah). Adapun hasil dari penelitian tersebut
adalah Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap
belanja modal.
Fahri Eka Oktora dan Winston Pontoh (2013) meneliti tentang hubungan
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus atas
Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi
Tengah. Adapun hasil kesimpulan dari penelitian tersebut adalah PAD dan belanja
modal tidak berpengaruh signifikan, sedangkan baik DAU maupun DAK
berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal.
Anggiat Situngkir (2009) meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD,
DAU, dan DAK terhadap alokasi anggaran Belanja Modal dengan mengambil
26 Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi anggaran
Belanja Modal. Sedangkan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan
terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
2.3Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah kesimpulan yang bersifat sementara dari tinjauan
teoritis yang mencerminkan hubungan antar variabel yang sedang diteliti.
Menurut Sugiyono (2004 : 49) kerangka konseptual merupakan sintesa tentang
hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan.
H1
H2
H3H3 H3
H4
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Dapat dilihat pada gambar 2.1 bahwa yang akan diuji dalam penelitian ini
adalah untuk membuktikan secara empiris apakah ada pengaruh antara
Pendapatan Asli Daerah (X1) terhadap Belanja Modal, pengaruh Dana Alokasi Pendapatan Asli Daerah (X1)
Dana Alokasi Umum (X2)
Dana Alokasi Khusus (X3)
27 Umum (X2) terhadap Belanja Modal, dan pengaruh Dana Alokasi Khusus (X3)
terhadap Belanja Modal. Serta secara bersama-sama apakah ada pengaruh antara
ketiga variabel tersebut (X1, X2, X3) terhadap belanja modal.
2.4 Hipotesis Penelitian Menurut Cooper (1998 : 43),
“ A proposition is a statement about concepts that may be judged as true or false it fit refers to observable phenomena. When a proporsition is formulated for emprical testing, we call it hypothesi. As a declarative statement, a hypothesis is of a tentative and conjectural nature. Hypotheses have also been described as statements in which we assign variables to cases”.
Hipotesis merupakan dugaan sementara atau penjelasan sementara yang
belum bisa dibuktikan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji
apakah dugaan tersebut benar atau salah.
Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, penelitian terdahulu, serta
kerangka konseptual, maka hipotesis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
2.4.1 Hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal
Pada studi yang dilakukan Mardiasmo dalam Rundengan dkk (2013)
mengemukakan bahwa selama ini PAD memiliki peran untuk pelaksanaan
otonomi daerah guna mencapai tujuan utama penyelengaraan otonomi daerah
yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian
daerah. Pelayanan publik yang ditunjukkan melalui sarana dan prasarana
yang memadai membuat masyarakat mamput melakukan aktivitas sehari –
harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat
produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur
yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah
28 masyarakat yang meningkat sehingga investor bertambah dan pada akhirnya
meningkatkan pendapatan asli daerah.
Maka hipotesisnya adalah:
H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal
2.4.2 Hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal
Untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur yang terdapat disetiap
daerah, serta agar terciptanya Pertumbuhan Ekonomi yang merata,
Pemerintah Pusat mengeluarkan Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi
Umum (DAU).
Dalam studi yang dilakukan oleh Legrenzi & Milas (2001) dalam
Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam
jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja modal dan
pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam
pengeluaran belanja modal. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa
perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi
sumber dana perimbangan yang diterima daerah melalui DAU.
Maka hipotesisnya adalah:
H2 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal
2.4.3 Hubungan Dana Alokasi Khusus dengan Belanja Modal
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan
29 khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah. Pemanfaatan DAK untuk kegiatan-kegiatan
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan
dalam belanja modal
Maka hipotesisnya adalah:
H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal
2.4.4 Hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus dengan Belanja Modal
Suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan
keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber - sumber keuangan sendiri, mengelola
dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Untuk mengatasi ketimpangan
infrastruktur yang terdapat disetiap daerah, serta agar terciptanya
Pertumbuhan Ekonomi yang merata, Pemerintah Pusat mengeluarkan Dana
Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Aloksi Khusus.
Dalam studi yang dilakukan oleh Legrenzi & Milas (2001) dalam
Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam
jangka panjang transfer dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja
30 dalam pengeluaran belanja modal. Hal ini memberikan adanya indikasi
bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat
dipengaruhi oleh PAD dan sumber dana perimbangan yang diterima daerah
melalui DAU dan DAK.
Maka hipotesisnya adalah: