• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksil (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksil (3)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

SSP II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang kompleks , sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. sistem tubuh yang penting ini juga mengatur kebanyakan aktivitas sistem-sistem tubuh lainnya. karena pengaturan saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit yang harmonis. dalam sistem inilah berasal segala fenomena kesadaran ,pikiran,ingatan,bahasa,sensasi, dan gerakan.

Analgetik merupakan obat yang mengurangi bahkan mungkin menghilangkan rasa sakit tanpa diikuti hilangnya kesadaran. Antipireutik adalah obat yang digunakan untuk menurunkan demam. Antiinflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang disebabkan bukan karena mikroorganisme.

(2)

SSP II

Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) memperlihatkan efek yang sangat luas. obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktivitas SSP secara spesifik atau secara umum, oleh karena itu perlu dilakukan percobaan ini.

B. Tujuan Praktikum

1. Untuk menentukan efektivitas dari obat analgetik yaitu obat piroxicam dan obat asam mefenamat berdasarkan jumlah geliat hewan coba mencit (Mus muculus) yang diinduksi dengan asam asetat glasial.

2. Untuk menentukan efektivitas dari obat antipiretik yaitu obat sanmol dan obat ibuprofen berdasarkan parameter pengukuran suhu tubuh rektal pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi dengan pepton.

(3)

SSP II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TEORI UMUM

Sistem saraf adalah salah satu organ yang berfungsi untuk menyelenggarakan kerja sama yang rapih dalam organisasi dan koordinasi kegiatan tubuh (Setiadi, 2007).

Sel saraf adalah suatu unit anatomi yang jelas dan tidak ada kontinuitas struktur antara kebanyakan sel saraf. Komunikasi antar sel saraf dan antara sel saraf dengan organ efektor terjadi melalui pelepasan subtansi kimiawi khusus yang dinamakan neurotransmitter (Harvey, 2013).

Kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitivitas terhadap stimulus, dan konduktivitas, atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respons terhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama: Input sensorik, Aktivitas integratif, Output motorik (Sloane, 2004).

Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medulla spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis ke jaringan tepi, serta divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP (Harvey, 2013).

(4)

SSP II

1. Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP.

2. Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua subdivisi. a. Divisi somatik (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan

eksternal dan pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka. b. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respons involunter

pada otot polos, otot jantung, dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur

1) Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis.

2) Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sakral pada medulla spinalis.

Skizofernia adalah suatu sidrom yang ditandai oleh manisfestasi psikologis spesifik. Manisfestasi ini meliputi halusinasi auditorik, waham, gangguan pikiran dan gangguan perilaku. Bukti-bukti baru menunjukkan bahwa skizofremia disebabkan oleh kelainan perkembangan yang melibatkan lobus temporalis medial (girus parahipokamus, hipokamus, dan amigdala), korteks llobus temporalis dan frontalis (Neal, 2006).

(5)

SSP II

Parkinson merupakan gangguan neurologis gerakan otot yang bersifat progresif yang ditandai dengan tremor, rigiditas otot, bradikinesia (kelambatan dalam memulai dan melakukan gerakan yang disadari), kelainan posisi tubuh dan cara jalan. Parkinson merupakan penyakit yang berhubungan dekstruksi dopaminergik dalam substansia nigra sehingga menyebabkan penurunan kerja dopamine pada korpus striatum (Harvey, 2013).

Obat-obat anti Parkinson yaitu amantadine, apomorphine,benztropine, biperiden, bromocriptine, cardidopa, lavadopa, talcapone (Harvey, 2013).

Obat-obat neuroleptika dapat dibagi menjadi 5 kelompok utama berdasarkan struktur obat. Pemggolongan ini sangat penting karena dalam tiapa grup kimiawi. Cara kerja obat-obat neuroleptika yaitu (Harvey, 2013):

3. Menghambat reseptor dopamin dalam otak: semua obat neuroleptika menghambat reseptor dopamin dalam otak dan perifer

4. Menghambat reseptor serotonin dalam otak.

Epilepsi menyatakan suatu serangan berulapa kejang secara periodic dengan atau tanpa kejang. Serangan tersebut disebabkan oleh kelebiha muatan neuron kortikal dan ditandai dengan perubahan aktivitas listrik seperti yang diukur dengan elektro-ensefalogram (EEG) (Margono, 2004).

(6)

SSP II

gabapentin lamotrigin, fenibarbital, fenitoin, pirimidon dan asam valporat (Harvey, 2013).

Mekanisme kerja obat-obat anti epilepsi. Obat-obat yang efektif dalam mengurangi serangan epilepsi dapat bekerja atau yang lebih sering mencegah meluasnya lepasan listrik abnormal ke daerah-daerah otak. Obat-obat anti epilepsi yaitu karbamazepin, klonazepam, klorazepat, diazepam ,etoksuksimid, gabapentin lamotrigin, fenibarbital, fenitoin, pirimidon dan asam valporat (Harvey, 2013).

Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang mnyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lrngkap, proses peradangan biasanya reda. Namun, kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahanya seperti tepung sari, atau oleh suatu respons imuns seperti asama atau arthritis rematoid (Harvey, 2013).

Inflamasi bertujuan untuk menyekat serta mengisolasi jejas, menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi tubuh serta menghilangkan aktivitas toksinnya, dan mempersiapkan jaringan bagi kesembuhan serta perbaikan ( Mitchell, 2009).

(7)

SSP II

leukosit dan fagosit, dan (3) fase poliferatif kronik, saat degenerasi dan fibrosis terjadi (Ganiswara,2012).

Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu grup obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik, analgesik,dan anti-inflamasinya, obat-obat ini bekerja dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase tetapi tidak enzim lipoksigase. Misalnya aspirinyang paling umum digunakan dalam sebagai obat anti-inflamasi. Mekanisme anti-inflamasi adalah menghambat aktivitas siklooksigenase dan juga memodulasi bebberapa aspek inflamasi dan prostaglandin yang bertindak sebagai mediator (Anief, 2005).

Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua jaringan. Umumnya bekerja local pada jaringan tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersikulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrien, dan asam hidroperoksieikosatetraenoat dan asam hidroksieikosatetraenoat (HPETEs dan HETEs) merupakan lipid yang berkaitan, disintesis dari precursor yang sama sebagai prostaglandin, memakai jalan yang berhubungan (Harvey, 2013).

(8)

SSP II

Trauma/luka pada sel

Gangguan pada membrane sel

Fosfolipid

Dihambat kortikosteroid Enzim fosfolipase Asam arakidonat

Enzim Lipoksigenase Enzim siklooksigenase Dihambat obat

OAINS Hidroperoksid endoperoksid

PGG2/PGH

Leukotrien PGE2, PGF2, PGD2 Prostaksiklin Tromboksan A2

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terauperik meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anastesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua kelompok yaitu (Margono, 2004):

(9)

SSP II

2. analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat anti piretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan anti reumatik

Rasa nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional,yang tidak enak dan yang berkaitan dengan ( ancaman ) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebat, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsang nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45°C. rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang bersifat bahaya tentang adanya ganguan dijaringan seperti peradangam (rema,encok), infeksi jasad renik atau kejang otot (Tjay dan Rahardja , 2007).

Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan dalam tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsangan mekanis atau kimiawi, kalaor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantara) (Anief, 2004).

Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara yakni (Anief, 2004):

1. Menghalangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perimer dengan analgetika lokal

(10)

SSP II

3. Blokade pusat nyeri disistem saraf pusat dengan obat analgetika sentral (narkotika) atau dengan anastetika umum.

1. Analgetik

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Anief, 2007).

Analgesik Opioid (Neal, 2006): 1) Kuat

- Morfin

- Diamorfin (Heroin) - Fenazosin

- Dekstromoramid - Metadon

- Petidin - Buprenorfin - Fentanil 2) Sedang/Lemah

- Kodein

- Dihidrokodein - Dekstropropoksifen

(11)

SSP II

prostaglandin sedikit nyeri, tetapi mempotensiasi nyeri yang disebabkan oleh mediator inflamasi lain ( misalnya histamin, bradikinin) (Neal, 2006).

Opioid berinteraksi secara stereospesifik dengan reseptor protein pada membran sel-sel saluran cerna. Efek utama opioid diperantarai oleh 4 famili reseptor, yang ditunjukkan dengan huruf Yunani, µ, ĸ, σ dan δ, setiap reseptor menunjukkan spesifisitas yang berbeda untuk obat–obat yang diikatnya (Harvey, 2013).

2. Antipiretik

(12)

SSP II

B. Uraian Bahan

1. Uraian bahan

a. Aquadest (Ditjen POM, 1979: 96)

Nama resmi : AQUA DESTILATA

Nama lain : Air suling, aquadest

RM : H2O

BM : 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik b. Asam asetat glasial (Ditjen POM, 1979: 42)

Nama resmi : ACIDUM ACETICUM GLACIALE

Nama lain : Asam asetat glacial

RM : C2H4O2

BM : 60,05

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna; bau khas, tajam; jika diencerkan dengan air, rasa asam.

Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%)P dan dengan gliserol P

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan : Zat tambahan.

c. Na-CMC (Dirjen POM, 1979: 401) Nama Resmi : NATRII

CARBOXYMETHYLCELLULOSUM Nama Lain : Natrium karboksilmetilselulosa

Pemerian : Serbuk atau butiran, putih atau kuning gading, tidak berbau dan hampir tidak berbau,higroskopik.

(13)

SSP II

membentuksuspensi koloidal, tidak larut dalam etanol (95%) P, dalam eter

P,dalam pelarut organiklain. d. Pepton (Dirjen POM, 1979: 721)

Nama resmi : PEPTON

Nama lain : Pepton

Pemerian : Serbuk, kuning kemerahan sampai coklat; bau khas tidak busuk.

Kelarutan : Larut dalam air; larutan yang berwarna coklat kekuningan yang bereaksi agak asam; praktis tidak larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter P.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat. e. Karagen (albumin) (Ditjen POM;1979)

Nama Resmi : ALBUMINUM

Nama Lain : Albumin

Pemerian : cairan jernih warna coklat merah sampai coklat jingga tua tergantung pada kadar protein.

Kelarutan : larut sempurna dalam air pada suhu 20° sampai 25°

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, pada suhu antara 2° sampai 25°C , terlindung dari cahaya

Kegunaan : sebagai penginduksi radang 2. Uraian Obat

(14)

SSP II

Indikasi : Mencegah terjadinya nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, sakit gigi, dismenore, nyeri reumatik, nyeri pasca operasi dan nyeri otot

Kontraindikasi : Bronkospasme, dan alergi rhinitis serta urtikuria setelah pemakaian asetosal Efek samping : Mual-mual, muntah, diare, nyeri

perut, dan leukopenia, pusing, penglihatan kabur, dan insomnia. Dosis : Dewasa dan anak ≥ 14 tahun.

Diawali 500 mg selanjutnya dengan 250 mg tiap 6 jam.

Farmakokinetik : Diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Farmakodinamik : Efek analgesik serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.

b. SANMOL (Margono, 2004)

Indikasi Meredakan nyeri termasuk sakit kepala, sakit gigi, demam yang menyertai flu dan setelah imunisasi

Kontraindikasi : Disfungsi hati dan ginjal

Efek samping : Reaksi hematologi, reaksi kulit dan reaksi alergi lainnya

(15)

SSP II

Indikasi : anti inflamasi kostoeroid,menekan reaksi radang dan reaksi alergi

Kontra indikasi : infeksi sistemik , kecuali bila diperlukan antibiotika hindari vaksibnasi dengan virus atif pada pasien yang menerima dosis imunsupresive.

Efek samping ulkus peptikum, osteporosis dan faktur vertebrata.

Farmkodinamik : kostikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidat, protein dan lemak; dan juga mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular ginjal. Mempertahan kan otot rangka agar berungsi dengan baik dan antiinflamasi. Farmakokinetik : pemberian oral cukup baik diabsorbsi dan

dapat diabsorbsi melalui kulit,

biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati.

Dosis : oral 0,5 -10 mg /hari

Sediaan tablet

d. PIROKSICAM (Gunawan, 2007)

Indikasi : inflamasi sendi seperti arthritis rheumatoid, osteoartristis, spondilitis ankilosa.

Kontraindikasi : pasien tukak lambung dan pasien yang mengkonsumsi antikoagulan.

(16)

SSP II

kulit.

Farmakokinetik : absorbsi berlangsung cepat dilambung, terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-kira sama dengan kadar dicairan sinovia.

Dosis : 10-20 mg sehari diberikan pada pasien yang tidak member respons cukup dengan AINS yang labih aman.

c. KLOTAREN (Gunawan, 2007)

Indikasi : Membantu mengurangi nyeri, gangguan inflamasi (radang), dismenore, nyeri ringan sampai sedang pasca operasi khususnya ketika juga pasien mengalami peradangan.

Kontraindikasi : Jangan menggunakan klotaren untuk pasien yang alergi terhadap klotaren, memiliki riwayat reaksi alergi

(bronkospasme, shock, rhinitis, urtikaria) setelah penggunaan NSAID lainnya. Efek samping : Mual-mual, muntah, diare, nyeri

perut, dan leukopenia, pusing, penglihatan kabur, dan insomnia. Dosis : Untuk dewasa: 75-150 mg/ hari dibagi

(17)

SSP II

mg/kgbb /hari dibagi dalam 2-3 kali dosis.

Farmakokinetik : Gangguan pada saluran gastrointestinal seperti mual, muntah, sembelit, nyeri perut, diare, kembung. Dalam pemakaian jangka panjang pasien biasanya diberikan obat seperti misoprostol.

Farmakodinamik : Efek analgesik serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.

d. IBUPROFEN (Gunawan, 2007)

Zat aktif : Ibuprofen

Golongan : Antiinflamasi non- steroid

Dosis : 10 mg

Indikasi : Menurunkan demam.

Kontraindikasi : Penderita hipersensitifitas, ukus peptikum kehamilan trimester ketiga

Efek samping : Gangguan saluran pencernan termasuk mual muntah diare kostipasi nyeri

Farmakokinetik : Aktivitas anti inflamasi, antipiretik dan analgetik

Farmakodinamik : Menghambat sintesis Prostaglandin. BAB III METODE KERJA

(18)

SSP II

Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah benang godam, gelas kimia, kanula, penggaris, spoit injeksi, stopwatch, dan termometer rektal. B. Bahan yang digunakan

Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Asam asetat glasial 1%, Asam Mefenamat, Dexamethason, Ibuprofen, Karagen 1%, Klotaren, Na-CMC, Pepton 1% , Piroxikam dan Sanmol.

C. Hewan yang digunakan

Adapun hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalahmencit (Mus musculus) dan tikus (Rattus norvegicus).

D. Pembuatan bahan

a. Pembuatan Na-CMC 1%

1. Ditimbang Na-CMC sebanyak 1 gr

2. Dipanaskan 100 ml air suling hingga suhu 70˚C

3. Dilarutkan Na-CMC dengan air suling yang telah dipanaskan sedikit demi sedikit sambil di aduk.

4. Larutan Na-CMC di masukkan dalam wadah dan di simpan dalam lemari pendingin.

b. Pembuatan pepton 1%

1. Ditimbang pepton sebanyak 0,1 gram diatas cawan porselen 2. Dilarutkan dengan aquadest, dan dicukupkan hingga 10 ml 3. Larutan pepton dimasukkan dalam wadah dan diberi etiket c. Pembuatan karagen 1%

(19)

SSP II

b. Dilarutkan dengan aquadest, dan dicukukpkan volume hingga 10 ml c. Larutan karagen dimasukkan dalam wadah dan diberi etiket

d. Pembuatan asam asetat glasial 1%

1. Ditimbang karagen sebanyak 0,1 gram diatas cawan porselen 2. Dilarutkan dengan aquadest, dan dicukupkan volume hingga 10 ml 3. Larutan karagen dimasukkan dalam wadah dan diberi etiket

E. Pembuatan Obat a. Asam mefenamat

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Ditimbang asam mefenamat sebanyak 0,0198 g 3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml

4. Dilarutkan dengan 5 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket. b. Piroxicam

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Ditimbang piroxicam sebanyak 0,0074 g 3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml 4. Dilarutkan dengan 5 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket. c. Ibuprofen

(20)

SSP II

4. Dilarutkan dengan 10 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket. d. Klotaren

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Ditimbang klotaren sebanyak 0,0070 g

3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml 4. Dilarutkan dengan 5 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket. e. Dexamethason

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Ditimbang Dexamethason sebanyak 0,0559 g 3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml

4. Dilarutkan dengan 5 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket. f. Sanmol

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Ditimbang sanmol sebanyak 0,02765 g

3. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml 4. Dilarutkan dengan 10 ml Na-CMC 1% 5. Dihomogenkan lalu diberi etiket.

(21)

SSP II

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Hewan uji diberikan obat piroxicam dan Asam Mefenamat, setelah 30 menit disuntikkan asam asetat glasial 1% sebanyak 0,2 ml.

3. Hitung frekuensi geliatnya pada menit ke 15, 30 dan 60. b. Antipiretik

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Diukur suhu tubuh awal.

3. Diinduksi dengan pepton 1% sebanyak 0,1 ml 4. Diukur suhu tubuh demam

5. Diberi obat Sanmol dan Ibuprofen.

6. Diukur suhu rektal setiap menit 15, 30 dan 60. c. Antiinflamasi

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. 2. Diukur lingkar kaki kiri hewan coba.

3. Diinduksi dengan karagen 1%. 4. Diukur lingkar kaki kiri hewan coba 5. Diberi obat Dexamethason dan klotaren

6. Diukur lingkar kaki pada menit ke 15, 30 dan 60.

(22)

SSP II

1. Analgetik

Obat BB VP Jumlah geliat pada menit

ke-15 30 60

Peroxicam 20 gr 0,66 mL - 3 geliat 3 geliat

As.

(23)

SSP II

khusus seperti iritabilitas, atau sensivitas terhadap stimulus dan konduktivitas, atau kemampuan untuk mentransmisi suatu respons terhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama.

Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sum-sum tulang belakang. Efek perangsangan sistem saraf pusat (SSP) baik oleh obat yang berasal dari alam atau sintetik dapat diperlihatkan pada hewan dan manusia. Beberapa obat memperlihat efek perangsangan SSP yang nyata dan dosis toksik, sedangkan obat lain memperlihatkan efek rangsangan SSP sebagai efek samping.

Pada percobaan ini digunakan mencit (Mus musculus) atau tikus (Rattus norvegicus). Alasan mengapa digunakannya mencit (Mus musculus) dan tikus

(Rattus norvegicus) yaitu, karena sebagian besar mencit atau tikus adalah hewan laboratorium yang digunakan dalam penelitian biomedis, pengujian, dan pendidikan. Hal ini dilakukan karena mencit dan tikus memiliki struktur organ yang hampir sama dengan manusia. Dalam hal genetika, mencit atau tikus ini adalah mamalia yang dicirikan paling lengkap.

(24)

SSP II

masuk kedalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sebagai menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya.

Pada percobaan menetukan efek farmakologi analgetik menggunakan Peroxicam dan Asam Mefenamat. Mekanisme karja untuk obat analgetik, yaitu dangan cara menghalangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer, baik analgetik maupun antipiretik pada dasarnya melakukan fungsi yang sama yaitu menghalangi terbentuknya rangsangan pada reseptor. Hanya saja, analgetik menghalangi terbentuknya rangsangan nyeri, sedangkan antipiretik menghalangi terbentuknya rangsangan pada panas. Namun, kedua rangsangan itu di atur oleh hipotalamus.

Pada percobaan penentuan efek farmakologi antipiretik menggunakan Ibu Profen dan Sanmol. Mekanisme karja untuk obat antipiretik, yaitu sama halnya dangan mekanisme kerja untuk obat analgetik.

(25)

SSP II

Hasil yang diperoleh dari percobaan antiinflamasi pada mencit kelompok 1 volume awal 1,3 cm, kemudian setelah diberikan obat klotaren, volume bengkak 1,7 cm dan pada saat 15 menit 1,4 cm, 30 menit 1,3 cm, dan 60 menit 1,3 cm, jadi % penurunannya yaitu 23,5. Sedangkan pada mencit kelompok 2 volume awal 1 cm, kemudian setelah diberikan obat dexamethasone, volume bengkak 1,2 cm dan pada saat 15 menit 1,1 cm, 30 menit 1 cm, dan 60 menit 1 cm, jadi % penurunannya yaitu 16,6. Hal ini menunjukkan bahwa dexamethasone lebih efektif sebagai antiinflamasi dibandingkan dengan klotaren. Pada literatur diperoleh pula efek obat anti-inflamasi yaitu klotaren dan dexamethasone dapat mengurangi bengkak pada kaki mencit setelah diinduksi dengan karagen.

(26)

SSP II

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada percobaan antiinflamasi dapat disimpulkan bahwa % penurunan obat klotaren lebih besar yaitu 23,5% dibanding dengan % penurunan obat dexamethasone yaitu 16,6%.

B. Saran

(27)

SSP II

DAFTAR PUSTAKA

Anief, 2004, Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anonim, 2015, Penuntun Farmakologi Praktikum dan Toksikologi II, Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Ganiswara G., Sulistia, 2012, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI, Jakarta.

Margono, Mahar, 2004, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, UI Press, Jakarta. Mitchell, 2009, Dasar-dasar Patologis Penyakit, EGC, Jakarta.

(28)

SSP II

Neal,M.J, 2006, At a Glance Farmakologi Medis Edisi kelima, Erlangga, Jakarta. Setiadi, 2007, Anatomi dan Fisiologi Manusia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sloane, Ethel, 2004, Anatomi dan Fisiologi untuk pemula, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Tjay, Tan Hoan, 2007, Obat – Obat Penting, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

LAMPIRAN

A. Perhitungan Dosis

1. Sanmol 500 mg, Berat etiket rata – rata = 673,1 mg

Dosis manusia = 60500kgBBmg =8,33mg/kgBB

Dosis tikus = 8,33kgBB ×mg 376

= 51,36 mg/kgBB

Dosis maksimal = 51,361000mgg ×200g

= 10,272 mg

(29)

SSP II

= 20,544 mg

BYD = 20,544500mg ×mg 673,1mg

= 27,65 mg = 27,651000mgg =0,02765g

2. Ibuprofen 400 mg, Berat etiket rata – rata = 0,57655 g = 576,55 mg

Dosis manusia = 60400kgBBmg =6,66mg/kgBB

Dosis tikus = 6,66mg/kgBB ×376

= 41,07 mg/kgBB

Dosis maksimal = 41,071000mgg ×200g

= 8,214 mg

Larutan stock = 105mL ×mL 8,214mg

= 16,428 mg

BYD = 16,428400mg ×mg 576,55mg

= 23,678 mg = 23,6781000mgg =0,023678g

3. Piroxicam 20 mg, Berat etiket rata – rata = 0,242575 g = 242,575 mg

Dosis manusia = 6020kgBBmg =0,33mg/kgBB

Dosis mencit = 0,33mg/kgBB ×373

= 4,07 mg/kgBB

Dosis maksimal = 4,071000mgg ×30g

(30)

SSP II

Larutan stock = 51mL ×mL 0,1221mg

= 0,6105 mg

BYD = 0.610520mg ×mg 242,575mg

= 7,40 mg = 7,401000mgg =0,0074g

4. Asam mefenamat 500 mg,Berat etiket rata – rata =0,64776 g=647,76 mg

Dosis manusia = 60500kgBBmg =8,3mg/kgBB

Dosis mencit = 8,3mg/kgBB ×373

= 102,36 mg/kgBB

Dosis maksimal = 102,361000mgg ×30g

= 3,0708 mg

Larutan stock = 51mL ×mL 3,0708mg

= 15,354 mg

BYD = 15,354500mg ×mg 647,76mg

= 19,89 mg = 19,891000mgg =0,0198g

5. Dexamethasone 0,5 mg, Berat etiket rata – rata = 0,183 g = 183 mg

Dosis manusia = 600,5kgBBmg =0,0083mg/kgBB

(31)

SSP II

Dosis maksimal = 0,1021000mgg ×30g

= 0,00306 mg

Larutan stock = 51mL ×mL 0,00306mg

= 0,0153 mg

BYD = 0,01530,5mg ×mg 183mg

= 5,59 mg = 5,591000mgg =0,0559g

6. Klotaren 50 mg, Berat etiket rata – rata = 0,2292 g = 229,2 mg

Dosis manusia = 6050kgBBmg =0,83mg/kgBB

Dosis mencit = 0,83mg/kgBB ×373

= 10,23 mg/kgBB

Dosis maksimal = 10,231000mgg ×30g

= 0,306 mg

Larutan stock = 51mL ×mL 0,306mg

= 1,53 mg

BYD = 1,5350mg ×mg 229,2mg

=7,01352 mg = 7,013521000gmg

¿0,00701352g

(32)

SSP II

Disiapkan alat dan bahan ↓

Disiapkan hewan coba mencit ↓

Diberikan obat sesuai dengan VP ↓

Mencit 1 Mencit 2

Piroxicam Asam mefenamat

Setelah 30 menit diberi asam asetat glasial 1% 0,2 ml ↓

Dihitung frekuensi geliatnya pada menit 15, 30 dan 60

2. Antipiretik

Disiapkan alat dan bahan ↓

Disiapkan hewan coba tikus ↓

diukur suhu rektal (awal) ↓

Diinduksi dengan pepton 1% sebanyak 0,1 mL ↓

(33)

SSP II

Diberikan obat pada tikus sesuai dengan VP ↓

Tikus 1 Tikus 2

Sanmol Ibuproven

Setelah 30 menit diberi asam asetat glasial 1% 0,2 ml ↓

Dihitung frekuensi geliatnya pada menit 15, 30 dan 60

3. Antiinflamasi

Disiapkan alat dan bahan ↓

Disiapkan hewan coba mencit ↓

Diukur lingkar kaki kiri hewan coba mencit ↓

Diinduksi dengan karagen 1% ↓

Diukur lingkar kaki kiri ↓

Diberikan obat pada mencit sesuai dengan VP ↓

Mencit 1 Mencit 2

(34)

SSP II

Referensi

Dokumen terkait

Percobaan dengan judul “Penentuan Asam Asetat dengan Titrasi Asidi-Alkalimetri” yang bertujuan untuk menentukan kadar asam asetat dalam cuka Anggur “Tahesta” dengan

Hal ini dilakukan untuk mengamati besarnya pengaruh kloroform terhadap banyaknya volume asam asetat glasial yang dibutuhkan untuk membentuk satu fasa antara air dan

ada percobaan kali ini digunakan hewan coba berupa mencit dan obat-obat dengan efek  analgesik yang digunakan adalah larutan asetosal dan larutan a@l.

Efek Efek triple response triple response akibat pemberian histamin intradermal pada hewan coba akibat pemberian histamin intradermal pada hewan coba 2.. Efek proteksi antihistamin

Pertama-tama kami memasukkan 7 tetes asam asetat glasial dan 7 tetes etanol ke dalam tabung reaksi,lalu dengan hati-hati kami menambahkan lagi 10 tetes asam sulfat, setelah itu

Setelah itu melakukan percobaan system tiga komponen dimana kloroform ditambahkan dengan akuades sebanyak 5 ml kemudian di titrsai dengan asam asetat glacial.. Asam

Pada titrasi 2 Metode titrasi ini dapat digunakan untuk memisahkan campuran yang terdiri dari dua cairan yang saling melarut sempurna yaitu air dan asam asetat

Menurut Syaifuddin (2007) menyatakan bahwa asam asetat glasial berfungsi untuk melisiskan eritrosit dan trombosit, sedangkan gentian violet merupakan zat warna