• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Psikososial Keluarga - Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara – Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Dukungan Psikososial Keluarga - Dukungan Psikososial Keluarga dalam Penyembuhan Pasien NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara – Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Dukungan Psikososial Keluarga

1.1 Dukungan Psikososial

Menurut Hawari (2004) dukungan psikososial merupakan terapi yang

bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang

bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari

di lingkungan sosial.

Sedangkan menurut Philip (1988) bahwa dukungan psikososial keluarga

adalah dukungan psikologi yang termasuk bagian dari dukungan sosial keluarga

dimana mendukung individu dalam mengembangkan bantuan terhadap keadaan

afektif dan emosional yang menghasilkan peningkatan kesehatan. Kahn (1985)

menyatakan bahwa dukungan psikososial keluarga mengacu kepada

dukungan-dukungan sosial yang bermanfaat bagi kesehatan keluarga sebagai sesuatu yang

dapat diakses/diadakan oleh keluarga.

1.2 Konsep Keluarga

Menurut Bossard dan Ball (1966) bahwa keluarga merupakan lingkungan

sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Di keluarga itu

seseorang dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi satu dengan yang lain,

dibentuknya nilai-nilai, pola pemikiran, dan kebiasaannya. Keluarga juga

berfungsi sebagai seleksi segenap budaya luar dan mediasi hubungan anak dengan

lingkungannya (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).

(2)

adopsi, para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu

rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap

rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka, anggota keluarga berinteraksi dan

berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti

suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan saudari, serta

keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil

dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.

Tipe-tipe keluarga secara umum yang dikemukakan untuk mempermudah

pemahaman tentang keluarga:

1. Keluarga inti (konjugal) adalah keluarga yang menikah, sebagai orang tua,

atau pemberian nafkah; keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak

mereka—anak kandung, anak adopsi, atau keduanya.

2. Keluarga orientasi (keluarga asal) adalah unit keluarga yang di dalamnya

seseorang dilahirkan.

3. Keluarga besar adalah keluarga inti dan orang-orang yang berhubungan (oleh

darah), yang paling lazim menjadi anggota keluarga orientasi yaitu salah satu

teman keluarga inti. Berikut ini termasuk “sanak keluarga”

--- kakek/nenek,

tante, paman dan sepupu.

(3)

harus memperioritaskan kebutuhan individu yang beraneka ragam pada saat

tertentu (Friedman, 1998).

Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial

yang berbeda. Menurut Friedman (1998) bahwa keluarga memiliki 5 fungsi dasar,

yaitu :

1. Fungsi Afektif

Merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu

untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengna orang lain.

2. Fungsi Sosialisasi

Merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk

berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan

orang lain di luar rumah.

3. Fungsi Reproduksi

Merupakan

fungsi

untuk

mempertahankan

generasi

dan

menjaga

kelangsungan keluarga.

4. Fungsi Ekonomi

Merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan

tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5. Fungsi Perawatan

(4)

1.3 Tujuan Dukungan Psikososial Keluarga

Ada beberapa ahli menyatakan tujuan pemberian dukungan psikososial

keluarga, yaitu:

a. Menurut Hogue 1997

Tujuan dukungan psikososial keluarga sebagai dukungan pemeliharaan dan

emosional bagi anggota keluarga. Dukungan pemeliharaan di sini bertujuan

memenuhi kebutuhan psikososial keluarga.

b. Menurut Friedman 1985

Tujuan dukungan psikososial keluarga untuk membantu individu dalam

keluarga agar tidak didominasi oleh reaktivitas emosi dan untuk mencapai

tingkat diferensiasi diri yang lebih tinggi.

c. Menurut Maramis

Pemberian dukungan psikososial keluarga bertujuan untuk menghilangkan,

mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi prilaku yang

terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.

(5)

1.4 Jenis Dukungan Psikososial Keluarga

a. Internal

Dukungan psikososial internal adalah dukungan psikososial yang diberikan

oleh saudara kandung atau hubungan ikatan suami istri. Hal ini sering juga

disebut dukungan keluarga inti.

b. Eksternal

Dukungan psikososial eksternal adalah dukungan psikososial dari luar

keluarga inti, misalnya teman, kerabat. Dukungan eksternal ini biasanya

diberikan oleh orang yang istimewa atau mempunyai hubungan sosial yang

cukup dekat dengan anggota keluarga tersebut.

Sedangkan menurut Caplan (1976) dalam Friedman (1998), jenis

dukungan psikososial keluarga adalah:

a. Dukungan Informasional

Adalah keluarga berfungsi sebagai pengumpul dan penyebar informasi tentang

dunia. Di sini keluarga merupakan sumber yang dipercaya untuk mendapatkan

informasi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi.

(6)

b. Dukungan penilaian

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas

keluarga. Keluarga berperan sebagai pembimbing dan penilai terhadap

masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga dan bertujuan membantu

anggota keluarga sehingga anggota keluarga mendapatkan perhatian, arahan,

santunan, sebagai bentuk penghargaan.

Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian

yang positif terhadap individu. Dukungan keluarga ini dapat membantu

meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif

berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif (Niven,

2000).

c. Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit. Di

mana keluarga merupakan tempat yang dapat diandalkan untuk mendapatkan

bantuan ketika anggota keluarga membutuhkannya.

(7)

menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah

(Niven, 2000).

d. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Dukungan ini

memungkinkan anggota keluarga memperoleh kerekatan (kedekatan)

emosional sehingga menimbulkan rasa aman, tenang, tentram dan damai yang

ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia.

Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai

maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan

kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak

terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri (Niven, 2000).

1.5 Sumber Dukungan Psikososial

(8)

Sumber dukungan psikososial yang bersifat natural bebeda dengan sumber

dukungan psikososial yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal. Perbedaan hal

tersebut terletak dalam hal sebagai berikut :

-

Keberadaan sumber dukungan psikososial natural bersifat apa adanya tanpa

dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.

-

Sumber dukungan psikososial yang natural memiliki kesesuaian dengan

norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.

-

Sumber dukungan psikososial yang natural berakar dari hubungan yang

telah berakar lama.

-

Sumber dukungan psikososial yang natural memiliki keragaman dalam

penyampaian dukungan psikososial, mulai dari pemberian barang-barang

nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam

-

Sumber dukungan psikososial yang natural terbatas dari beban dan label

psikologis (Friedman, 1998).

1.6 Dukungan Keluarga selama Masa Rehabilitasi

(9)

menjadi kronis dan seringkali mengalami kekambuhan, berpotensi mengubah

daya pikir, perilaku dan sikap manusia penggunanya.

Menurut Martono (2006), hal-hal yang dapat dilakukan keluarga untuk

mendukung pasien penyalahgunaan NAPZA selama masa rehabilitasi adalah:

Memotivasi anggota keluarga selama masa rehabilitasi;

Dalam hal ini

keluarga tetap memotivasi pasien NAPZA agar tetap optimis terhadap

penyembuhannya. Dalam proses rehabilitasi, korban NAPZA bukanlah sebagai

objek namun sebagai subjek, karena berhasil tidaknya proses rehabilitasi sangat

ditentukan oleh mereka sendiri. Banyak korban NAPZA yang gagal dalam

rehabilitasi karena mereka sendiri tidak yakin bisa pulih dari ketergantungan

narkoba. Seseorang yang memiliki optimisme akan membangun lebih banyak

kemampuan melalui usaha mereka secara terus menerus (Visimedia, 2006).

Belajar untuk percaya;

Keluarga perlu untuk mulai belajar mempercayai

anggota keluarga mereka yang menjadi korban narkoba. Keluarga jangan hanya

melihat hal yang negatif dalam diri mereka, namun juga perhatikan hal yang

positif dan berikan penghargaan untuk hal yang positif tersebut. Dengan

mencurigai anggota keluarga yang menjadi korban narkoba, keluarga memberi

beban yang tidak perlu kepadanya dan membuat mereka menjadi rendah diri.

(10)

pendapat anggota keluarga yang menjadi korban narkoba dalam menyelesaikan

masalah tersebut. Cara berkomunikasi yang baik perlu dilatih sehingga korban

merasa menjadi bagian dari keluarga.

Membagi tanggung jawab;

Selama masa terapi banyak tanggung jawab

korban narkoba dalam keluarga yang diabaikan sehingga keluarga mengambil alih

tanggung jawab tersebut. Keluarga perlu berupaya untuk secara bertahap

menyerahkan kembali tanggung jawab tersebut kepada mereka. Keluarga tidak

boleh membiarkan mereka hidup tanpa tanggung jawab. Keluarga harus

menyadari bahwa menghargai diri harus muncul dari dalam diri mereka, bukan

dari dorongan luar sehingga korban narkoba perlu mulai menemukan jati dirinya

dengan kembali mengambil perannya dalam keluarga.

Tidak berharap terlalu tinggi;

Setelah melakukan terapi pada korban

narkoba, mereka pasti mengalami perubahan yang positif pada perilakunya.

Namun tentu saja masih ada perilaku yang negatif. Akan tetapi, keluarga sering

memusatkan perhatiannya hanya pada perilaku negatif. Keluarga berharap

perubahan tersebut berlangsung sesuai dengan keinginan mereka. Keluarga perlu

menyadari bahwa pemulihan korban narkoba membutuhkan waktu. Keluarga

perlu sabar dan mendukung pemulihan korban narkoba sesuai dengan kemampuan

mereka.

(11)

kepercayaan diri untuk bangkit sehingga keluarga sangat dibutuhkan untuk dapat

menerima korban tanpa menghakimi mereka, mendampingi pasien dalam

berjuang kembali untuk tidak

relaps

lagi. Selain itu keluarga juga harus dapat

mengidentifikasi faktor-faktor baik internal maupun eksternal penyebab terjadinya

relaps

sehingga mereka dapat membantu mengatasinya (Marlatt 1996 dalam

Barry 1998).

Resosialisasi keluarga;

Ketika diketahui bahwa ada anggota keluarga

yang menjadi pengguna narkoba maka keluarga cenderung mengisolasi diri dari

orang terdekatnya. Bahkan sesudah pecandu pulih, mereka masih was-was jika

orang lain bertanya tentang keadaan pecandu. Keluarga tidak boleh cemas akan

hal tersebut namun mereka harus mulai kembali bersosialisasi sehingga dapat juga

meresosialisasikan pecandu kepada keluarga yang lain dan kepada masyarakat.

2. NAPZA

2.1 Pengertian NAPZA

(12)

yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit (Stuart & Sundeen, 1998,

dikutip dari Purba, dkk. 2010)

2.2 Jenis-Jenis NAPZA

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:

a. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semisintetis yang menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun

2009). Narkotika alamiah berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dalam jumlah

relatif kecil diperoleh melalui proses yang sederhana, sedangkan narkotika

sintetis maupun semisintetis muncul karena alasan sangat terbatasnya

narkotika alamiah yang tersedia. Yang termasuk ke dalam jenis narkotika

alamiah adalah :

a) Candu (Opium) yang diperoleh dari tanaman bernama Papaver

Somniferum, atau lebih dikenal sebagai poppy. Morphine (morfin) adalah

opioda alamiah yang mempunyai daya analgesik yang kuat, berbentuk

kristal, berwarna putih dan berubah menjadi kecoklatan dan tidak berbau,

opium mentah mengandung 4-21 % morfin. Morfin merupakan juga suatu

unsur aktif yang berasal dari candu setelah mengalami proses kimiawi.

b) Heroin yang atau disebut diasetilmorfin berasal dari bahan pokok morfin

(13)

dengan bahan lain seperti gula, coklat, tepung susu dan lain-lain sekitar 24

%.

c) Kokain adalah Alkoloida dari daun tumbuhan Erythoxylon Coca sejenis

tumbuhan yang tumbuh di lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan.

Masyarakat India Inca suka mengunyah daun koka dalam upacara ritual

untuk menahan lapar atau letih.

d) Kanabis (ganja) adalah tanaman yang sudah di keringkan dan dirajang

kemudian dilinting seperti tembakau lalu dibentuk seperti rokok. Kanabis

(ganja) mengandung delta-9 tetra-hidrokanabinol (THC) (Sumiat dkk.

2009).

b. Psikotropika

(14)

dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan

dalam waktu lama (Purba, dkk. 2010).

c. Zat Adiktif Lainnya

Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal

maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup

secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik,

teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah

zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi

mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan

(Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain:

minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan

A (kadar ethanol 1 % sampai 5 %) seperti bir, green sand; minuman keras

golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga;

dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%)

seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas

sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan

mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10 % (Marviana

dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

(Purba, dkk. 2010)

2.3 Tanda dan Gejala

(15)

zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat

berbeda pada jenis zat yang berbeda.

a. Tanda dan Gejala Intoksikasi

-

Opiat : eforia, mengantuk, bicara cadel, konstipasi, dan penurunan

kesadaran.

-

Ganja : eforia, mata merah, mulut kering, banyak bicara dan tertawa, nafsu

makan meningkat, gangguan persepsi

-

Sedatif-Hipnotik : pengendalian diri berkurang, jalan sempoyongan,

perubahan persepsi, penurunan kemampuan menilai

-

Alkohol : mata merah, bicara cadel, jlan sempoyongan, perubahan persepsi,

penurunan kemampuan menilai

-

Amfetamine : selalu terdorong untuk bergerak, berkeringat, gemetar,

cemas, depresi, paranoid (Purba, dkk. 2010)

b. Tanda dan Gejala Putus Zat

-

Opiat : nyeri, mata dan hidung berair, perasaan panas dingin, diare, gelisah,

tidak bisa tidur

-

Ganja : jarang ditemukan

-

Sedatif-Hipnotik : cemas, tangan gemetar, perubahan persepsi, gangguan

daya ingat, tidak bisa tidur

-

Alkohol : cemas, depresi, muka merah, mudah marah, tangan gemetar,

mual muntah, tidak bisa tidur

(16)

2.4 Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Harboenangin (dikutip dari Purba, dkk. 2010) mengemukakan ada

beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba

yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor Internal

a) Faktor Kepribadian

Kepribadian seseorang turut berperan dalam prilaku ini. Hal ini lebih

cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu

biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.

Perkembangan emosi yang

terhambat, dengan ditandai oleh

ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah

cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.

Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat

berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah

dengan cara melarikan diri. Menurut Persatuan Ahli Penyakit Dalam

Indonesia (2010) bahwa remaja yang menyalahgunakan NAPZA

umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus

diperoleh dari lingkungan.

b) Intelegensia

(17)

c) Usia

Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Berdasarkan Persatuan Ahli

Penyakit Dalam Indonesia (2010) bahwa sekitar dua juta orang

pengguna NAPZA di Indonesia, mayoritas pengguna berumur 20-25

tahun. 90 % pengguna adalah pria. Usia pertama kali menggunakan

NAPZA rata-rata 19 tahun. Menurut Rahmah (2008) bahwa usia remaja

merupakan periode yang paling rawan terhadap penyalahgunaan

NAPZA, karena masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri,

saat di mana remaja mulai muncul rasa penasaran, ingin tahu, serta ingin

mencoba berbagai hal yang baru berisiko tinggi. Alasan remaja

menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang

membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara

pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

Oleh karena itu, sangat mungkin jika semakin hari akan semakin

bertambah jumlah pengedar dan pengguna NAPZA di kalangan

anak-anak dan remaja.

d) Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu

(18)

e) Pemecahan Masalah

Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk

menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba

dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada

permasalahan yang ada.

b. Faktor Eksternal

a) Keluarga

Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab

seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim

UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta (1995),

terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota

keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:

1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami

ketergantungan narkoba.

2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari

pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu

(misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).

3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya

penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik

dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak,

maupun antar saudara.

(19)

apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau

demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri

tanpa diberi

kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.

Pola asuh orang tua yang terlalu mengendalikan anak (otoriter) atau

terlalu membebaskan anak (permisif) dapat mengawali perilaku

pengguna NAPZA.

5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga

yang menuntut

anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang

harus dicapai dalam banyak hal.

6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan

dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering

berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

Sementara itu, Rahmah (2008) mengemukakan bahwa gambaran pola

asuh orang pada remaja pengguna NAPZA adalah kurangnya upaya

kedua orang tua dalam menerapkan disiplin pada remaja sesuai dengan

standar tingkah laku yang sudah dibuat sebelumnya, kurangnya kejelasan

komunikasi antara orang tua dan remaja, tidak adanya dukungan dalam

remaja anak.

b) Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)

(20)

berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer atau yang

berprestasi (misalnya dalam bidang olahraga dan akademik), hal tersebut

dapat menyebabkan frustasi sehingga ia mencari kelompok lain yang

dapat menerimanya.

Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan

NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1 %). Hal ini

menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga

remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi

yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman

kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari

tahap coba-coba sampai ketagihan.

c) Faktor Kesempatan

Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat

disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang

sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan

obat-obatan ini mudah diperoleh. Pengalaman

feel good

saat mencoba

drugs

akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan

dan akhirnya menjadi pecandu.

d) Faktor Lingkungan Sekolah

(21)

berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak mempunyai fasilitas

untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah yang

berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan NAPZA pada

murid-muridnya.

2.5 Dampak Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas baik bagi

pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat,

bangsa dan negara (Martono, 2006).

Bagi diri sendiri

; Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan

terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi

(keracunan),

overdosis

(OD) yang dapat menyebabkan kematian karena

terhentinya pernapasan dan pendarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku

(mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah

ekonomi dan hukum.

Bagi keluarga

; Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat

mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Di mana

orang tua akan merasa malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan

berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa

putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba atau

melihat anak yang harus berulang kali dirawat bahkan mendekam di penjara.

(22)

suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya

perkelahian.

Bagi masyarakat, bangsa dan negara

; Penyalahgunaan NAPZA

mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya

sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan

mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan

kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian

karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan

prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

2.6 Tingkat Pemakaian Zat NAPZA

(23)

2.7 Rehabilitasi

Menurut Depkes (2001), rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang

dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis,

sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan

dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan

dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana

rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan

kebutuhan (Purba,dkk. 2010).

Menurut Hawari (2004) bahwa sesudah klien penyalahgunaan/

ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi

medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan

(pascadetoksifikasi) selama dua minggu maka yang bersangkutan dapat

melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi. Lama rawat di unit

rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah

dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang

tersedia di rumah sakit (Purba, dkk. 2010).

(24)

sehari-hari dengan baik, dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja dan dapat

diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan

lingkungannya (Purba, dkk. 2010).

Ada beberapa jenis rehabilitasi yang dilakukan untuk penyembuhan pasien

NAPZA, yaitu rehabilitasi psikososial, rehabilitasi kejiwaan, rehabilitasi

komunitas, dan rehabilitasi keagamaan (Purba, dkk. 2010). Semua jenis

rehabilitasi ini mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali pasien

dalam penyalahgunaan NAPZA.

a. Terapi Medis

Terapi medis adalah upaya yang dijalankan berdasarkan pertanggungjawaban

ilmu kedokteran. Terapi medis ketergantungan narkotika dan zat adiktif

lainnya digolongkan atas, terapi detoksifikasi dan terapi

maintenance

(pemeliharaan).

Terapi detoksfikasi dilakukan di praktik-praktik dokter (baik puskesmas

terdekat maupun praktek dokter swasta), di rumah sakit atau klinik khusus.

Beberapa jenis obat yang digunakan dalam terapi detoksifikasi antara lain,

klonidin, metadon, kodein dan bruprenorfin. Lamanya program terapi

detoksifikasi juga berbeda-beda yaitu, 3-4 minggu berobat jalan atau 7-10 hari

rawat inap.

(25)

b. Terapi Psikososial

Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke

masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan

pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai

latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila

klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali

sekolah/kuliah atau bekerja (Purba, dkk. 2010).

Di indonesia ada dua institusi yang bergerak dalam bidang ini yaitu,

Departemen Sosial dan Kepolisian. Umumnya institusi dikelola berdasarkan

pada tingkah laku ketergantungan narkotika dan psikotropika yang melanggar

disiplin dan tatanan moral masyarakat.

c. Terapi Komunitas

(26)

d. Terapi Keagamaan

Referensi

Dokumen terkait

· Pembuatan tabel distribusi frekuensi dapat dimulai dengan menyusun data mentah ke dalam urutan yang sistematis ( dari nilai terkecil ke nilai yang lebih besar atau

PHP memberikan kemudahan bagi perancang situs web untuk dapat mengembangkan dan membuat tampilan halaman informasi yang baik

Pengaruh Faktor budaya, Sosial, Pribadi dan Psikologis Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Motor Matic Yamaha (Study kasus pada PT. Tunas Kencana Deta Bekasi)4. Jurusan

Peralatan proteksi yang dibutuhkan adalah arrester yang berfungsi untuk mengalirkan gangguan tegangan lebih yang disebabkan oleh sambaran petir langsung ke tanah, sehingga

Dari warna tanah tersebut yang berwarna cokelat kehitaman bahwa tanah ini memiliki kandungan bahan organik yang tinggi atau memiliki kandungan asam humus terbentuk dari

Pembelajaran tematik yang diterapkan di SD Kristen Satya Wacana Salatiga sudah baik namun akan lebih menarik apabila dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif

menunjukan bahwa; 1) pelaksanaan program PKB di kota Tebing Tinggi terlaksana melalui perintah secara pesan lisan oleh Kepala Sekolah kepada guru PJOK mengenai pengaktifan

Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian yang dilakukan di SDN Bobo, maka ditarik kesimpulan bahwa Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan