SMP NEGERI 2 BABAT
SKRIPSIDiajukan kepada
Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strara Satu (S-1)
Oleh :
Siti Aisyah B37208004 Dosen pengampu
Dr. S . khorriyatul khotimah., M.Psi., Psikolog Nip : 197711162008012018
UNIVERSITAS NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS PSIKOLOGI
DAN KESEHATAN PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
SURABAYA
diujikan
Surabaya, 06 Januari 2015 Pengampu
Mengesahkan,
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Dekan,
Prof. Dr. Moh. Sholeh, M.Pd Nip: 195912091990021001
Ketua
Dr. S. Khorriyatul Khotimah., M.Psi., Psikolog Nip: 197711162008012018
Sekretaris
Soffy Balgies M.Psi Nip:197609222009122001
Penguji I
Drs. Hamim Rosyidi , M. Si Nip: 196208241987031002
Penguji II
tercinta serta suami, anakku dan adik-adikku. Dan semua
teman-temanku yang slalu memberikanku semangat..
Terima kasih atas segalanya..
Siti Aisyah. NIM: B37208004. 2014. Hubungan Antara Persepsi siswa terhadap karakteristik
guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa di SMP Negeri 2 Babat.
Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik
guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa di SMP Negeri 2 Babat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan yang positive anatara persepsi
siswa terhahadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa.
Subject dalam penelitian ini adalah siswa siswi SMP negeri 2 babat. Penelitian ini mengambil
100 orang siswa sebagai sample penelitian. Pemilihan sample dalam penelitian ini sendiri
menggunakan metode cluster random sampling.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang positive antara
persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure
siswa yang menunjukkan korelasi coeficient sebesar 0,267 dengan menggunakan teknik
kendall tau dengan hasil signifikansi 0,000. Yang menunjukkan bahwa penelitian ini
memiliki hubungan signifikan yang positive antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru
bimbingan dan konseling dengan self disclosure.
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
4. Faktor – Faktor yang mempengaruhi self disclosure………... 28
5. Aspek-aspek self disclosure... 29
6. Resiko self disclosure... 32
B. Pengertian Persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling ... 33
1. Penegertian pesepsi……….. 33
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi………. 35
3. Karakteristik guru bimbingan dan konseling………... 36
4. Fungsi bimbingan dan konseling………. 40
5. Asas-asas bimbingan dan konseling……… 41
6. Guru bimbingan dan konseling……… 43
7. Tugas guru bimbingan dan konseling……….. 44
8. Persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling………. 45
C. Hubungan Antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure ... 46
D. Kerangka Teoritik ... 47
bimbingan dan konseling………... 55
2. Variable self disclosure ... 59
D.Analisis Data ... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 65
1. Lokasi penelitian………... 65
2. Profil sekolah smp negeri 2 babat………. 66
3. Profil guru bimbingan dan konmseling………. 68
4. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian………... 71
5. Diskripsi Hasil Penelitian ... 72
B. Pengujian Hipotesis ... 78
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA... 84
guru bk ………... 56
Tabel III.4 : aitem-aitem skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bk yang valid dan gugur ... ... 57
Tabel III.5 : blu print skala self disclosure... 59
Tabel III.6 : aitem-aitem skala self disclosure yang valid dan gugur……... 62
Tabel IV.7 : uji validitas persepsi siswa terhadap karakteristik guru bk………... 72
Tabel IV.8 : uji validitas self disclosure………... 74
Tabel IV.9 : Uji reliabilitas…………... 76
Tabel IV.10 : Uji normalitas data…………... 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan
manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu.
Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraannya tidak hanya
cukup dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisasi
dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan
kemampuan siswa untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan
mengambil keputusan demi cita – citanya (Nurihsan dan Sudianto,
2005). Kemampuan tidak hanya menyangkut aspek akademis,
tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial,
kematangan intelektual, dan sistem nilai siswa. Berkaitan dengan
pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di
sekolah adalah pendidikan yang menghantarkan siswa pada
pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi
perkembangan diri yang sehat dan optimal (Nurihsan dan Sudianto,
2005).
Namun kenyataannya pendidikan belum mampu
memerankan tugas dan fungsinya secara optimal. Hal ini dapat
banyaknya kenakalan siswa dan penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan (Rahman, 2003). Data dari tenaga kependidikan di
sekolah menengah pertama menunjukkan bahwa banyak siswa
yang meninggalkan sekolah sebelum tamat masih cukup tinggi; ada
siswa yang memperoleh prestasi belajar yang rendah dan ada
banyak kasus siswa yang melarikan diri dari rumah karena merasa
tidak mampu mengatasi kesulitan di rumah, sekolah, atau
pergaulan dengan teman; kasus kenakalan remaja, terutama di
daerah penduduk yang status sosial ekonominya rendah di
kota-kota besar, yang mengakibatkan siswa terpaksa berurusan dengan
petugas kepolisian dan pengadilan; kelakuan kasar di sekolah,
sampai menyerang tenaga kependidikan secara fisik atau merusak
milik sekolah; belum menamatkan jenjang pendidikan menengah,
yang akhirnya membuat mereka merasa frustasi selama hidupnya;
merasa tidak puas karena pendidikan di sekolah dinilai tidak sesuai
dengan minat dan bakat mereka, sehingga belajar di sekolah
meninggalkan kesan negatif. Tidak semua remaja terlibat dalam
problematika yang dikemukakan di atas, namun jumlah siswa yang
terlibat dalam problematika itu dianggap cukup besar, sehingga
memprihatinkan dan menjadi masalah nasional (Winkel, 1997).
Dalam proses belajar mengajar guru sering menghadapi
masalah adanya siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran dengan
dan lain sebagainya. Dalam menghadapi siswa yang mengalami
kesulitan dalam belajar, pemahaman yang utuh dari guru tentang
kesulitan belajar yang dialami siswanya, merupakan dasar dalam
usaha memberikan bantuan dan bimbingan yang tepat (Hallen,
2005 ).
Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian
pendahuluan di SMP Negeri 2 Babat masalah yang sering muncul
akhir-akhir ini adalah masalah kedisiplinan siswa. Hampir setiap
hari guru mendapatkan siswa yang bajunya tidak dimasukkan, guru
memberikan peringatan sekali dua kali kepada siswa, kalau sudah
melebihi tiga kali guru bimbingan dan konseling memanggil siswa
keruang BK untuk memberikan penanganan lebih lanjut. Ada juga
siswa yang tidak menyukai guru mata pelajaran, sehingga
membuat para siswa ketika jam pelajaran dimulai siswa tidak
menghiraukan pelajaran tetapi lebih suka ngobrol dengan
temannya sendiri.
Ada juga permasalahan absensi, hampir tiap kelas ada
siswa yang bolos, ketika siswa ditanya oleh guru bimbingan dan
konseling alasan kenapa tidak masuk sekolah, rata-rata siswa tidak
mau menjawab pertanyaan guru, siswa hanya diam. Bila hal
tersebut terulang sampai dua kali guru bimbingan dan konseling
memanggil siswa tersebut keruang BK dan menanyakan alasan
bimbingan dan konseling memberikan surat panggilan kepada
orang tua siswa. Rata-rata siswa mau menjawab pertanyaan ketika
siswa alfa dua kali, siswa baru mau jujur dengan permasalahan
yang sedang mereka alami.(wawancara, 19-06-2013)
Siswa di Smp Negeri 2 Babat yang sering mendatangi
ruangan guru bimbingan dan konseling rata-rata siswa perempuan
sedangkan siswa laki-laki tidak ada sama sekali yang datang ke
ruang BK, hanya siswa-siswa yang bermasalah saja yang datang
keruang BK. Dalam hal ini bimbingan dan konseling sangat
dibutuhkan dalam setiap sekolah agar mampu memberikan
pemecahan terhadap semua permasalahan yang sedang siswa
hadapi.
Masa remaja ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Remaja di sini
khususnya siswa – siswi cenderung mengembangkan kebiasaan
yang makin mempersulit keadaannya, sementara dia sendiri tidak
percaya pada bantuan orang lain. Alasan siswa tersebut karena ia
merasa bisa mandiri, sehingga ia ingin mengatasi masalahnya
sendiri, menolak bantuan orang lain dan guru pembimbing
(Ridwan, 2004). Hal ini di dukung oleh pendapat Luthans (dalam
Thoha 1993) bahwa persepsi merupakan suatu bentuk tingkah laku
dalam mengartikan suatu perubahan yang lebih dari sekedar
sebenarnya hanya ingin mendapatkan rasa perhatian dari guru
pembimbing tentang perbuatan yang membuat mereka senang.
Dunia persepsi adalah suatu dunia yang penuh dengan arti.
Mempersepsi tidaklah sama dengan memandang benda dan
kejadian tanpa makna. Yang dipersepsi seseorang selalu
merupakan ekspresi-ekspresi, benda-benda dengan fungsinya,
tanda-tanda, serta kejadian-kejadian. Seperti kata Leavitt, “persepsi
merupakan pandangan atau bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu” (Sobur, 2003:445). Semua yang dipersepsi
itu mempunyai arti tersendiri dalam pikiran. Misalnya saja, siswa
yang datang terlambat ke sekolah atau melanggar tata tertib
sekolah, kemudian dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling
(BK) untuk menghadap guru BK atau konselor, maka siswa-siswa
tersebut akan memiliki pandangan atau anggapan bahwa guru BK
(konselor sekolah) adalah sosok orang yang galak, yang bisanya
hanya menghukum dan mengatur para siswanya.
Yang mempersepsi tidak hanya salah satu indera saja,
melainkan seluruh indera yang dimiliki oleh individu. Oleh karena
itu, apa yang kita persepsi sangat erat kaitannya dengan
pengetahuan serta pengalaman, perasaan, keinginan, dan juga
dugaan-dugaan kita. Dalam mempersepsi seseorang boleh jadi
sesuai dan juga tidak sesuai dengan bagaimana orang memandang
mengambil kesimpulan tentang orang lain berdasarkan dari stimuli
yang diteruma, meskipun informasi yang diperoleh tidak begitu
lengkap.
Persepsi individu tentang seseorang terjadi karena individu
tersebut memperhatikan karakteristik, perilaku, dan juga mimik
wajah orang lain itu. Menurut Walgito (1985:51) “perhatian
merupakan langkah awal sebagai persiapan untuk mengadakan
persepsi tentang obyek tertentu.” Dari perhatian tersebut dapat
ditarik kesimpulan atas orang yang sudah diamati. Seperti halnya
dalam dunia pendidikan, setiap siswa mempunyai persepsi yang
berbeda terhadap konselor sekolahnya. Persepsi siswa terhadap
konselor terjadi karena siswa tersebut memperhatikan sesuatu yang
nampak pada diri konselor, yang meliputi penampilan fisik,
perilaku, dan juga ruang lingkup kerja (tugas) konselor. Jika
penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor seperti
apa yang diharapkan oleh siswa, maka persepsi siswa tentang
konselor akan baik (positif). Begitu pula sebaliknya, jika
penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor tidak
seperti apa yang diharapkan oleh siswa, maka siswa akan
berpersepsi kurang baik (negatif) terhadap konselor.
Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masih
ditemukan siswa yang menganggap konselor adalah seorang guru
polisi sekolah yang bisanya hanya memarahi dan menghukum
siswa-siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Sehingga apabila
ada siswa yang datang menghadap konselor, maka siswa tersebut
diyakini mempunyai masalah pelanggaran atau telah berbuat suatu
kesalahan.
Pemahaman siswa kepada guru pembimbing harus dapat
mengerti dan dapat mengkomunikasikan pengertian itu kepada
mereka sehingga membuat siswa merasa diterima dan siswa ingin
menceritakan permasalahannya kepada guru pembimbingnya. Guru
pembimbing menurut siswa adalah guru yang disenangi siswa,
dengan demikian ia dapat mengembangkan hubungan konseling
yang memungkinkan terjadinya saling pengertian dan keterbukaan
(Badawi, 2004). Karena menurut pemahaman siswa tentang guru
pembimbing adalah guru sabar, perhatian dan selektif dalam
membimbing siswanya. Pada dasarnya persepsi juga diproses yang
dimulai dengan cara memberi perhatian dari pengamatan selektif (
Chaplin, 1991 ). Oleh karena itu guru bimbingan dan konseling
harus lebih dapat memberikan perhatian kepada siswa – siswi
secara memadai.
Menurut Nurihsan & Sudianto (2005) pada saat seperti
inilah para remaja perlu mendapat bimbingan dan konseling secara
memadai. Bimbingan dan konseling di SMP memberikan bantuan
mereka dapat memahami dirinya sehingga mereka sanggup
mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar sesuai
dengan tuntutan dan keadaaan lingkungan SMP, keluarga dan
masyarakat serta kehidupan pada umumnya.
Pada dasarnya bimbingan merupakan bantuan yang dapat
menyadarkan individu akan pribadinya sendiri (bakat, minat,
kecakapan dan kemampuannya) sehingga dengan demikian ia
sanggup memecahkan sendiri kesukaran – kesukaran yang
dihadapinya. Bimbingan itu bukanlah pemberian arah yang telah
ditentukan oleh pembimbing, bukan suatu paksaan pandangan
kepada seseorang, dan bukan pula suatu pengambilan keputusan
yang diperuntukkan bagi seseorang. Dalam rangka bimbingan yang
memilih ini hendaknya individu diberi kebebasan untuk memilih.
Pembimbing menentukan menetapkan suatu pilihan, tetapi tidak
berarti pembimbing itu sendiri yang memilih, siswa sendirilah
yang harus menetapkan dan menentukan sikapnya. Sehingga ia
dapat mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan
untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal di sekolah,
keluarga dan masyarakat (Ahmadi, 1991).
Menurut pandangan Shertzer dan Stone (dalam Amti,
2004), bimbingan diartikan sebagai proses membantu
orang-perorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan
tahap – tahap yang secara berangkaian membawa ke tujuan yang
ingin dicapai. Di dalam memberi pertolongan dalam menghadapi
dan mengatasi tantangan serta kesulitan yang timbul selama tahun
– tahun pekembangan menuju kedewasaan dalam kehidupan
manusia. Untuk mengenal diri sendiri secara lebih mendalam dan
menetapkan tujuan yang ingin dicapai, serta membentuk nilai –
nilai yang akan menjadi pegangan selama hidupnya.
Riyanto (2002) suatu bimbingan berperan ketika peserta
didik meminta bantuan untuk memperoleh informasi tertentu,
untuk dapat mengambil suatu keputusan tertentu,untuk dapat
mengatasi masalah yang sedang dihadapi, bahkan juga kalau
butuh untuk didengarkan atau untuk menumpahkan perasaan –
perasaan yang sedang dialami. Penting untuk disadari bahwa
tujuan dari segala bimbingan adalah demi pembimbingan itu
sendiri, sehingga orang yang dibimbing akhirnya mampu
membimbing dirinya sendiri. Bimbingan di sekolah menengah
hanya akan efisien dan efektif bila bimbingan itu mendapat
dukungan penuh dari pimpinan sekolah dan seluruh staf pengajar,
serta koordinasi yang baik. Di samping itu, semua tenaga yang
terlibat dalam bidang pembinaan siswa harus mengarahkan segala
usahanya ketujuan yang sama (Winkel, 1997).
Menurut Mapiare (1984) bimbingan di sekolah harus
sistematis, metodis dan demokratis, supaya dapat memenuhi
kebutuhan siswa berdasarkan prioritas dan merata. Bantuan yang
diberikan kepada siswa meliputi; memahami diri dan
lingkungannya, menemukan, memahami, dan memecahkan
kesulitan, menempatkan siswa dalam kondisi yang sesuai dengan
kemampuannya, melakukan tindak lanjut terhadap upaya bantuan
yang telah diberikan kepada siswa sebelumnya dan melaksanakan
layanan rujukan. Keseluruhan masalah yang ditangani dalam
program bimbingan meliputi; penanggulangan masalah
dankesulitan belajar, perencanaan dan pengembangan karir,
pemecahan masalah atau kesulitan sosial dan penanganan masalah
atau kesulitan pribadi.
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas
untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi
siswa untuk mencapai tujuan (Slameto, 2003). Guru adalah salah
satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang
ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia
yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru yang
merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan
serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga
profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin
Guru pembimbing yang kompeten dan memenuhi
kualifikasi guru pembimbing yang profesional diperlukan agar
tugas bimbingan dan konseling efektif. Pekerjaan guru
pembimbing bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan ringan,
sebab individu-individu (siswa) yang dihadapi dan ditangani di
SMP sehari-hari satu dengan yang lainnya memiliki latar belakang
permasalahan yang berbeda-beda, keunikan, atau kekhasan
kepribadian masing-masing (Nurihsan & Sudianto, 2005). Seorang
guru pembimbing di dalam menjalankan tugasnya dituntut
memiliki kemampuan untuk selalu bisa berperan sebagai fasilitator
dalam membangkitkan semangat belajar, mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab kesulitan belajar, memberikan layanan konseling
akademik, bekerja sama dengan guru / tenaga pengajar lainnya
dalam pengejaran remedial. Dan juga membuat rekomendasi /
referensi kepada pihak lain yang lebih kompeten untuk
menyelesaikan masalah siswa (Nurihsan & Sudianto, 2005).
Sifat-sifat pribadi atau kualifikasi pribadi yang harus
dimiliki oleh seorang guru pembimbing, yaitu : memiliki bakat
skolastik yang baik, memiliki minat yang mendalam untuk dapat
bekerja sama dengan orang lain dan memiliki kematangan emosi,
kesabaran, keramahan, keseimbangan batin, tidak lekas menarik
diri dari situasi yang rawan, cepat tanggap terhadap kritik,
terdapat sembilan karakteristik dalam diri guru bimbingan dan
konseling yang dapat menumbuhkan siswa, yaitu : empati, respek,
keaslian (genuiness), kekongkretan (concreteness), konfrontasi
(confrontation), membuka diri (self-disclosure), kesanggupan
(potency), kesiapan (immediacy), dan aktualisasi diri (self
actualization) ( Dahlan, 1992 ).
Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam
menanggapi setiap stimulus yang datang pada dirinya. Dalam hal
ini siswa SMP juga mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang
guru bimbingan dan konseling mereka. Hal ini didukung oleh
Rahmat (1986) yang mengatakan bahwa persepsi adalah
pengalaman mengenai suatu objek maupun peristiwa yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Bagi mereka yang menafsirkan negatif karakteristik guru
bimbingan dan konselingnya, membuat siswa sulit untuk
mengungkapkan masalahnya.
Menurut Crow & Crow (1960), yang dikutip oleh Prayitno
dan Erman Amti bimbingan diartikan sebagai, bantuan yang
diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, yang memiliki
kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada
individu-individu setiap usia dalam membantunya mengatur
kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya
Beberapa ahli mengatakan bahwa bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistimatis dari
pembimbing kepada terbimbing (siswa), agar tercapai kemandirian
dalam pemahaman diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri
dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan
penyesuaian diri dengan lingkungan serta membuat keputusan
sendiri ( Donald G Mortensen 1964, Miller 1968 dan Siti Rahayu
Haditono 1970 ).
Tujuan bimbingan secara umum disekolah adalah
memberikan bantuan kepada siswa sebagai individu agar ia mampu
mengatasi kesulitan yang dihadapinya dalam usahanya untuk
mencapai tingkat perkembangan yang dimilikinya dalam
kehidupan individu dan sosialnya.
Penerimaan hubungan (receiver relationship) adalah salah
satu yang berpengaruh dalam pengungkapan seseorang (Devito,
1986). Menurut Morton (dalam Sears, dkk,. 1989) self disclosure
adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab
dengan orang lain. Bagi siswa yang tidak terbuka kepada guru
bimbingan dan konseling, maka akan membuat siswa sulit untuk
mengungkapkan permasalahannya. Selain itu, self disclosure juga
membawa kita pada rasa kedekatan, selama lawan bicara kita
mengerti dan menerima (Myers, 1996). Sehingga melalui self
bimbingan dan konseling dengan siswa – siswinya, sehingga
membuat siswa tersebut mau mengungkapkan informasi ataupun
hal – hal yang pribadi mengenai dirinya (Dahlan, 1992).
Mengingat bahwa guru pembimbing dalam kehidupan perlu
untuk pembentukan siswa, maka diangkat menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara persepsi
siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan
self disclosure pada siswa SMP Negeri 2 Babat.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi siwa terhadap
karakteristik guru bimbingan konseling dengan self disclosure di
Smp Negeri 2 Babat?
C. Keaslian Penelitian
penelitian ini dilakukan oleh Dwi Patria Ning Rum, tentang
Hubungan Antara Persepsi Terhadap Layanan Bimbingan Dan
Konseling Dengan Self DisclosurePada Siswa Sma “X” Surabaya.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII karena telah
mendapatkan pemahaman yang banyak mengenai layanan
bimbingan dan konseling, yang berjumlah 149 orang dari program
IA dan IS. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan product
moment, diperoleh hasil koefesien korelasi 0,187 pada taraf
signifikansi (p) = 0,021 p<0,05 (signifikan), artinya variable bebas
mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan variable (y)
self disclosure. Sumbangan efektif variable persepsi terhadap
layanan bimbingan dan konseling sebesar 3,5% dalam
mempengaruhi self disclosure siswa. Dengan demikian, masih ada
faktor-faktor lain sebesar 96,5% yang dapat mempengaruhi self
disclosure.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hamdan Juwaeni
(2009) tentang Study Tingkat Self Disclosure Siswa Siswi Sekolah
Umum Dan Santri/Wati Pondok Pesantren. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Populasi dalam
penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Negeri 8 Malang kelas XI
berjumlah 316 dan santri/wati Pondok Pesantren Al-Amien
Prenduan Sumenep Madura yang berjumlah 338 siswa. Dalam
pengambilan sampel digunakan teknik sampel klaster (cluster
random sampling), pada siswa-siswi kelas XI SMA Negeri 8
Malang dan santri/wati kelas V Pondok Pesantren Al-Amien
Prenduan Sumenep. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, wawancara, dan skala. Untuk mengetahui tingkat
self-disclosure peneliti menggunakan skor standar dan standar
deviasi, dengan mengklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Setelah dilakukan analisis deskriptif di
peroleh tingkat self-disclosure siswasiswi sekolah umum lebih dari
sedangkan kategori tinggi 31%, dan kategori rendah dengan
prosentase 11%. Sedangkan santri/wati pondok pesantren sekitar
prosentase 70% termasuk dalam kategori sedang, kategori tinggi
14%, dan kategori rendah 16%. Maka dari hasil analisa data yang
dilakukan diketahui bahwa tingkat self disclosure siswa-siswi
sekolah umum dengan santri/wati pondok pesantren berada pada
kategori sedang. Dapat disimpulkan bahwa siswa-siswi sekolah
umum dan santri/wati pondok pesantren mampu melakukan
self-disclosure dengan baik.
Selanjutnya penelitian lain yang dilakukan oleh Nurul Huda
Nasution tentang Studi kasus self disclosure pacaran jarak jauh
melalui media komunikasi pada mahasiswa di departemen ilmu
komunikasi FISIP USU. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dalam bentuk stadi kasus. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah metode wawancara mendalam (in-depth
interview). Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analis data model miles and huberman. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa mahasiswa yang melakuakan LDR (long
disance relationship) lebih dominan melakukan self disclosure
menggunakan media telepon kepada pasangannya dari pada
menggunakan media komunikasi social.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Ditya Ardi Nugroho
facebook ditinjau dari jenis kelamin. Desain penelitian ini
menggunakan desain deskriptif kuantitatif dan menggunakan skala
self disclosure. Jumlah subyek 60 orang, usia 16-18 tahun, kelas X.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan self
disclosure melalui media facebook ditinjau dari jenis kelamin. Self
disclosure pada perempuan lebih tinggi dari pada self disclosure
laki-laki. Perbedaan dari kedua kelompok sangat signifikan.
Penelitian selanjutnya juga dilakukan oleh Ika Kusuma
Wardani Dan Retno Tri Hariastutik tentang mengurangi persepsi
negative siswa tentang konselor sekolah dengan strategi
pengubahan pola pikir ( cognitive restructuring ). Penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk menguji keefektifan strategi pengubahan
pola pikir ( cognitive restructuring ) untuk mengurangi persepsi
negatif siswa terhadap konselor sekolah. Penelitian pre-experiment
ini dirancang menggunakan pretest post-test one group design.
Subjek penelitian terdiri dari 5 siswa yang mempunyai persepsi
negatif terhadap konselor sekolah kategori tinggi. Data yang
terkumpul dianalisis dengan uji tanda (sign test). Hasil analisis data
diperoleh jumlah tanda positif = 0 dan jumlah tanda negatif = 5.
Dari tabel binomial untuk N = 5 dan X = 0 diperoleh ρ = 0, 031.
Dengan taraf signifikasi 5%, ternyata harga ρ ( 0, 031) lebih kecil
pemberian strategi pengubahan pola pikir dalam mengurangi
persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan
konseling dengan self disclosure pada siswa Smp Negeri 2 Babat.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
Psikologi pada khususnya serta menambah sumber
keperpustakaan dalam penelitian Psikologi Pendidikan,
khususnya tentang hubungan antara persepsi siswa terhadap
karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self
disclosure siswa.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui
bagaimana persepsi siswa terhadap guru bimbingan dan
konseling sehingga para siswa-siswi dapat lebih membukakan
diri dengan guru bimbingan dan konselingnya terhadap
F. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan suatu penelitian dibutuhkan sistematika
pembahasan yang bertujuan untuk memudahkan penelitian, adapun
langkah-langkah pembahasan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi gambaran umum yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan sistematika pembahasan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini menguraikan tentang kajian kepustakaan (makro) dan
(mikro) berupa landasan teoritis yang berkaitan dengan hubungan
antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan
konseling dengan self disclosure
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi uraian tentang rancangan penelitian, subyek
penelitian,instrumen penelitian dan analisa data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi uraian tentang tempat penelitian dan hasil
penelitian serta pembahasannya.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini merupakan akhir dari penulisan penelitian yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Self Disclosure
Self disclosure adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan individu
terhadap situasi yang sedang dihadapinya serta memberikan informasi
tentang masa lalu yang relevan atau berguna untuk memahami tanggapan
individu tersebut (Johson, dalam Supratiknya, 1995).
Rogers (dalam Baron, 1994) mendefinisikan self disclosure sebagai
suatu keuntungan yang potensial dari pengungkapan diri kita kepada orang
lain. Menurut Morton (dalam Baron, dkk,. 1994) self disclosure adalah
kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.
Self disclosure didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
mengungkapkan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain (Wheeles,
1978). Sedangkan Person (1987) mengartikan self disclosure sebagai
tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada
orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi
yang akurat tentang dirinya.
Menurut Morton (dalam Sears dkk, 1989) informasi diri bisa bersifat
deskriptif dan evaluatif. Informasi disebut deskriptif apabila individu
melukiskan berbagai fakta mengenai dirinya sendiri yang belum diketahui
orang lain. Misalnya jenis pekerjaan, alamat, dan usia. Informasi yang
terhadap sesuatu, seperti tipe orang yang disukai atau dibenci. Selain itu, self
disclosure pun bisa bersifat eksplisit. Dalam hal ini, informasi diri lebih
bersifat rahasia karena tidak mungkin diketahui orang lain, kecuali
diberitahukan sendiri oleh individu yang bersangkutan.
Selain Morton, Barker dan Gaut (1996) mengemukakan bahwa self
disclosure adalah kemampuan seseorang menyampaikan informasi kepada
orang lain yang meliputi pikiran/pendapat, keinginan, perasaan maupun
perhatian. self disclosure meliputi pikiran, pendapat, dan perasaan. Dengan
mengungkapkan diri kepada orang lain, maka individu merasa dihargai,
diperhatikan, dan dipercaya oleh orang lain, sehingga hubungan komunikasi
akan semakin akrab.
Konsep yang lebih jelas dikemukakan oleh DeVito, (1986), yang
mengartikan self disclosure sebagai salah satu tipe komunikasi dimana,
informasi tentang diri yang biasa dirahasiakan diberitahu kepada orang lain.
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu informasi yang
diutarakan tersebut haruslah informasi baru yang belum pernah didengar
orang tersebut sebelumnya. Kemudian informasi tersebut haruslah informasi
yang biasanya disimpan atau dirahasiakan. Hal terakhir adalah informasi
tersebut harus diceritakan kepada orang lain baik secara tertulis dan lisan.
Sama seperti di atas, Devito (1992) mengatakan bahwa self disclosure
merupakan kemampuan dalam memberikan informasi. Informasi yang akan
disampaikan terdiri atas 5 aspek, yaitu perilaku, perasaan, keinginan,
Informasi yang akan disampaikan tergantung pada kemampuan seseorang
dalam melakukan self disclosure.
Sehubungan dengan itu, Valerian J. Derlega (1995) menjelaskan bahwa
self disclosure diungkapkan melalui pikiran, perasaan, dan pengalaman
secara verbal. Stewan (1990) menegaskan bahwa informasi tersebut tidak
hanya berbentuk verbal semata, melainkan bisa juga berbentuk nonverbal.
Heymes (1971) mengemukakan bahwa self disclosure sebagai ekspresi
seseorang dalam menyampaikan informasi kepada orang lain. Haymes
mengukur self disclosure dari interview-interview yang direkam pada
tape-recorder. Ada tiga aspek self disclosure yaitu (1) ekspresi akan emosi dan
proses emosi, (2) ekspresi akan fantasi-fantasi, impian, cita-cita, dan
harapan-harapan, dan (3) ekspresi akan kesadaran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa self disclosure adalah bentuk komunikasi
dimana informasi yang akan disampaikan terdiri atas 5 aspek yaitu perilaku,
perasaan, keinginan, motivasi, dan ide yang sesuai dengan diri orang yang
bersangkutan.
1. Tujuan Self Disclosure
Kita mengungkapkan informasi ke orang lain dengan beberapa alasan.
Menurut Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000), lima alasan utama
1. Expression
Kadang-kadang individu membicarakan perasaannya untuk
pelampiasan. Mengekspresikan perasaan adalah salah satu alasan
untuk penyingkapan diri.
2. Penjernihan diri (Self Clarification)
Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain,
individu mungkin mendapat self-awareness dan pemahaman yang
lebih baik. Bicara kepada teman mengenai masalah dapat membantu
individu untuk mengklarifikasi pikirannya tentang situasi yang ada.
3. Keabsahan social (Social Validation)
Dengan melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan
diri yang dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran
dan ketepatan pandangannya.
4. Kendali social (Social Control)
Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi
tentang dirinya, sama seperti arti dari kontrol sosial. Individu
mungkin menekan topik, kepercayaan atau ide yang akan
membentuk pesan yang baik pada pendengar. Dalam kasus yang
ekstrim, individu mungkin dengan sengaja berbohong untuk
mengeksploitasi orang lain.
5. Perkembangan hubungan (Relationship Development)
Banyak penelitian yang menemukan bahwa kita lebih disclosure
sahabat dekat. Penelitian lain mengklaim bahwa kita lebih disclosure
pada orang yang kita sukai daripada orang yang tidak kita sukai. Kita
lebih sering untuk terbuka kepada orang yang sepertinya menerima,
memahami, bersahabat, dan mendukung kita.
2. Pedoman Dalam Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti
resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat
menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari
secara cermat konsekuensi-konsekuensinya sebelum memutuskan
untukmelakukan pengungkapan diri.
Menurut Devito hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pengungkapan diri adalah sebagai berikut:
a. Motivasi melakukan pengungkapan diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan
terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab
pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja
tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang-kadang
keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang
lain.
b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri.
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan
keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada
mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa
melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.
c. Timbal balik dan orang lain.
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara
kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika
lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada
kemungkinan bahwa orang, tersebut tidak menyukai keterbukaan
yang kita lakukan.
3. Teori Self Disclosure
Teori self disclosure diperkenalkan oleh Joseph Left dan Harry
Ingham menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak
mengetahui tentang dirinya, maupun tentang orang lain. Berdasarkan hal
tersebut kemudian teori ini disebut dengan teori “Jendela Johari” atau
“Joharin Window”, teori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar diatas adalah gambar yang disebut dengan Jendela Johari,
dalam gambar tersebut melukiskan bahwa ada empat kemungkinan
hubungan yang terbangun antar seseorang dengan orang lain. Berikut ini
adalah penjelasan tentang gambar tersebut:
Daerah terbuka adalah daerah dimana seseorang mengetahui
tentang dirinya dan orang lain juga tahu tentang apa yang individu
tersebut tahu. Artinya suatu kondisi dimana antar seseorang dengan
yang lain mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga kedua
pihak saling mengetahui masalah tentang hubungan mereka.
Daerah tertutup adalah daerah yang melukiskan bidang buta,
masalah antar kedua pihak hanya diketahui orang lain namun tidak
diketahui oleh diri sendiri. Pada daerah ini orang lain lebih mengetahui
tentang diri kita. Selain itu daerah ini mencakup semua perasaan,
kebiasaan, prasangka dan kecenderungan yang tidak disadari.
Daerah tersembunyi yaitu daerah dimana kita tahu tetapi orang lain
tidak tahu tentang kita. Didaerah inilah dimana pikiran dan tingkah laku
kita yang secara sadar kita sembunyikan dari orang lain. Seperti
keinginan, rahasia, kelemahan dan hal-hal lain yang menurut kita tidak
sesuai oleh orang lain.
Daerah yang terakhir yaitu daerah tidak dikenal, dimana kedua
pihak sama-sama tidak mengetahui masalah hubungan diantara mereka.
Merupakan daerah baik kita maupun orang lain tidak tahu. Keempat
perubahan dalam sebuah daerah akan mempengaruhi daerah lainnya.
Menjalin relasi berarti memperluas daerah terbuka dan akan mengurangi
daerah buta dan tersembunyi. Semakin seseorang membuka diri, akan
mengurangi daerah tersembunyi. Daerah buta seseorang dapat dikurangi
dengan cara meminta orang lain terbuka pada diri seseorang, dan daerah
tersembunyi dikurangi dengan seseorang memberi informasi kepada
orang lain agar mereka bereaksi atau menanggapi. Melalui cara tersebut
mereka akan menolong mengurangi daerah buta.
Dengan demikian daerah-daerah dalam jendela Johari tersebut
dapat mempengaruhi self-disclosure seseorang, karena self-disclosure
yang baik akan terbangun jika diantara kedua belah pihak saling terbuka,
saling mengerti dan saling memahami satu sama lain. Artinya ketika
seseorang melakukan pengungkapan diri atas permasalahan yang
dihadapinya kepada orang lain dan orang tersebut mau terbuka dan
menerima pengungkapan dirinya dengan baik begitu pula sebaliknya.
Maka diantara kedua orang tersebut akan terbangun kedekatan, dan
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self Disclosure
Menurut Devito (1986) ada beberapa faktor yang mempengaruhi Self
disclosure yaitu:
a. Besarnya kelompok
Self-disclosure lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil daripada
kelompok besar. Diad (Kelompok yang terdiri dari dua orang)
merupakan lingkungan yang paling cocok untuk pengungkapan diri.
b. Perasaan menyukai
Individu mengungkapkan diri kepada orang lain yang disukai atau
dicintai dan sebaliknya individu tidak akan mengungkapkan diri
kepada orang lain yang tidak disukai atau tidak dicintai. Hal ini
dikarenakan orang yang disukai akan bersikap mendukung dan
positif sehingga individu dapat membuka diri.
c. Efek diadik
Individu akan melakukan self-disclosure bila orang yang bersamanya
juga melakukan self-disclosure. Hal ini dikarenakan efek diadik
membuat seseorang merasa aman dan dapat memperkuat seseorang
untuk melakukan self-disclosure.
d. Kompetensi
Orang yang kompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri
e. Kepribadian
Individu yang memiliki kepribadian ekstrovert lebih dapat
melakukan self disclosure daripada individu yang memiliki
kepribadian introvert.
f. Topik yang dibicarakan
Individu lebih menyukai topik yang berhubungan dengan pekerjaan
atau hobi daripada topik tentang kehidupan seks atau tentang
keuangan. Dalam informasi yang bersifat kurang baik atau dengan
kata lain makin pribadi dan makin negatif suatu topik maka semakin
kecil kemungkinan individu mengungkapkannya.
g. Jenis kelamin
Faktor terpenting yang mempengaruhi pengungkapan diri adalah
jenis kelamin. Pria kurang terbuka dibandingkan dengan wanita.
5. Aspek-Aspek Self Disclosure
Ada beberapa aspek self disclosure yang dikemukakan Altman dan
Taylor (2000), mengemukakan bahwa self disclosure merupakan
kemampuan seseorang untuk mengungkapkan informasi diri kepada
orang lain yang bertujuan untuk mencapai hubungan yang akrab. Proses
untuk mencapai hubungan yang akrab disebut model Penetrasi sosial.
Ada dua dimensi self disclosure seseorang yaitu keluasan dan
kedalaman. Keluasan berkaitan dengan siapa seseorang mengungkapkan
dirinya (target person) seperti orang yang baru dikenal, teman biasa,
umum dan topik khusus. Pada umumnya ketika seseorang terbuka
dengan orang asing atau baru dikenal topik pembicaraan umum dan
kurang mendalam. Sedangkan bila seseorang terbuka dengan teman
dekat maka topik pembicaraannya khusus dan lebih mendalam (topik
pembicaraan semakin banyak). Sedangkan menurut Richard West dan
Lynn H. Turner (2008), beberapa aspek dalam self-disclosure yaitu :
a. Keluasaan (breadth) merujuk kepada berbagai topik yang
didiskusikan dalam suatu hubungan.
b. Waktu keluasan (breadth time) berhubungan dengan jumlah waktu
yang dihabiskan oleh pasangan dalam berkomunikasi satu sama
lainnya mengenai berbagai macam topik. Waktu yang digunakan
dengan seseorang akan cenderung meningkatkan kemungkinan
terjadinya self disclosure. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting
untuk menentukan apakah seseorang dapat terbuka atau tidak. Dalam
pengungkapan diri individu perlu memperhatikan kondisi orang lain.
Bila waktunya kurang tepat yaitu kondisinya capek serta dalam
keadaan sedih maka orang tersebut cenderung kurang terbuka
dengan orang lain. Sedangkan waktunya tepat yaitu bahagia atau
senang maka ia cenderung untuk terbuka dengan orang lain.
c. Kedalaman (depth) merujuk pada tingkat keintiman yang
mengarahkan diskusi mengenai suatu topik.
Keluasaan berkaitan dengan sejauhmana seseorang mengungkapkan
kepada orang lain. Hal tersebut baik terkait dengan informasi orang lain
ataupun dengan permasalahan yang dihadapi.
Sedangkan menurut Winkel (1991), permasalahan yang banyak
terjadi pada siswa yaitu permasalahan studi akademik, permasalahan
perkembangan dirinya, permasalahan perkembangan kepribadian dirinya
yang berhubungan dengan orang lain dan perencanaan masa depan.
Oleh karena itu menurut Hamdan Juaeni dapat disimpulkan bahwa
informasi yang disampaikan seorang remaja kepada orang lain
terlingkup dalam empat hal:
1. Informasi pribadi yaitu informasi mengenai dirinya seperti
keadaan pribadi kejiwaan, perkembangan jasmani dan kesehatan,
hubungan muda-mudi/ pacaran, keuangan, moral dan agama.
2. Informasi sosial yaitu informasi yang berhubungan dengan
lingkungan pergaulan sosial, sosial kejiwaan, kegiatan sosial dan
reaksi, keadaan rumah dan keluarga.
3. Informasi karir yaitu informasi tentang masa depan, pekerjaan
yang ingin dicapai dan cita-cita.
4. Informasi pendidikan yaitu informasi tentang kurikulum sekolah,
program studi, prosedur pengajaran dan tugas-tugas sekolah.
Waktu keluasan (breadth time) atau lamanya waktu merupakan
salah satu aspek yang sangat memberikan pengaruh terhadap
self-disclosure. Artinya seberapa sering seseorang melakukan self-disclosure
semakin sering dan lama waktu yang digunakan seseorang ketika
melakukan self-disclosure maka akan semakin dalam seseorang
melakukan pengungkapan diri.
Dengan demikian berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa aspek dalam self-disclosure yaitu :
keluasaan (breath), lamanya waktu (breadth time), dan kedalaman
(depth) Kedalaman ini berkaitan dengan tingkatan-tingkatan dalam
self-disclosure yaitu : basa-basi, membicarakan orang lain, menyatakan
gagasan atau pendapat, mengungkapkan perasaan dan hubungan puncak,
yang akan dijelasakan lebih detai pada poin selanjutnya.
6. Resiko Self Disclosure
Valerian Derlega (dalam Taylor 2000) menyatakan ada beberapa
resiko yang mungkin dialami individu saat mereka sedang
mengungkapkan diri, antara lain:
1. Indefference.
Individu berbagi informasi dengan orang lain untuk memulai
hubungan. Terkadang, hal itu dibalas oleh orang tersebut dan
hubungan pun terjalin. Hal yang sebaliknya dapat terjadi bilamana
individu menemui orang yang tidak membalas dan kelihatan tidak
tertarik mengetahui tentang individu tersebut.
2. Rejection.
Informasi yang diungkapkan individu mungkin akan berakibat
3. Loss of Control.
Kadang-kadang orang lain menggunakan informasi yang diberikan
sebagai alat untuk menyakiti atau mengontrol perilaku individu.
4. Betrayal.
Ketika individu mengungkapkan informasi pada seseorang, individu
sering mengingatkan bahwa informasi ini rahasia. Tapi sering kali
informasi ini tidak dirahasiakan dan diberitahu kepada orang lain.
B. persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan Dan Konseling 1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga
merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang integrated
dalam diri individu ( Bimo Walgito, 2001 ) Persepsi merupakan suatu
proses yang didahului oleh proses pengindraan yaitu merupakan proses
diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut
proses sensori.
Kemudian ditambahkan Luthans (dalam Thoha 1993) bahwa
persepsi lebih kompleks dan luas kalau dibandingkan dengan
penginderaan. Dan juga merupakan suatu bentuk tingkah laku dalam
mengartikan suatu perubahan yang lebih dari sekedar mendengar, melihat,
dan merasakan. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran
dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang
bersifat positif maupun negatif (Atkinson, dkk 1987).
Dan persepsi juga merupakan proses pengenalan terhadap sesuatu
yang ada dan terjadi disekitarnya. Persepsi itu selalu dipengaruhi oleh
kemampuan dan kematangan serta pengalaman seseorang.
Jadi setiap persepsi anak didik akan berbeda terhadap objek yang
sama. Perbedaan persepsi ini di pengeruhi oleh faktor pribadi. Pribadi
seseorang berbeda dari pribadi yang lain, sebagai bukti keunikan manusia,
sehingga faktor pribadi ini mengakibatkan perbedaan persepsi terhadap
rangsangan yang sama. Misalnya tidak bisa membedakan benda-benda
yang berdekatan atau serupa dengan baik, dan kemampuan untuk
membedakan-bedakan, mengelompokan, memfokuskan dan sebagainya,
disebut sebagai persepsi.
Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan
kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses ini dimulai dengan
perhatian, yaitu proses pengamatan selektif. Persepsi juga dipengaruhi
oleh pengalaman seseorang. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia,
mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek – objek
serta kejadian – kejadian (Chaplin, 1991).
Menurut Indrawijaya (1993) bahwa setiap kali seseorang
dihadapkan pada suatu rangsangan yang sudah biasa ia hadapi, maka ia
akan langsung mengumpulkan informasi dan membandingkannya dengan
terhadap rangsang tergantung pada kepribadian dan aspirasi yang
bersangkutan.
Dengan demikian persepsi dapat diartikan suatu proses penafsiran
seseorang terhadap sesuatu yang dilihatnya dengan mengiterpretasikan
kesan-kesan sensorinya dalam usahanya memberikan makna tertentu
kepada lingkungannya.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Rahmat (1986) beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi
individu, yaitu:
a. Perhatian, terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
meliputi; gerakan, intensitas stimuli, kebaruan dan pengulangan.
Sedangkan faktor internal meliputi; faktor biologis dan
sosiopsikologis.
b. Faktor fungsional (faktor personal), yang terdiri dari :
(a). Karakteristik individu
(b). Suasana emosional
(c). Kebudayaan
(d). Kerangka rujukan
c. Faktor – faktor struktural
Sifat stimuli fisik dan efek – efek saraf yang ditimbulkannya pada
system saraf individu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor
eksternal dan internan al, faktor fungsional (faktor personal), karakteristik
individu, suasana emosional, kebudayaan, kerangka rujukan, serta faktor –
faktor struktural yang berupa sifat stimuli fisik dan efek – efek saraf yang
ditimbulkannya pada system saraf individu.
3. Karakteristik Guru Bimbingan Dan Konseling
Bimbingan dan Konseling merupakan serangkaian program
layanan yang diberikan kepada siswa agar mereka mampu berkembang
lebih baik. Bimbingan konseling diselenggarakan di sekolah – sekolah
mulai dari tingkat dasar, bahkan pra sekolah sampai dengan tingkat
tinggi. Menurut Hibana (2003) bimbingan adalah proses bantuan yang
diberikan kepada seseorang agar ia mampu memahami diri,
menyesuaikan diri dan mengembangkan diri, sehinggga mencapai
kehidupan yang sukses dan bahagia.
Bimbingan sebagai proses membantu individu untuk mencapai
perkembangan optimal (Sunaryo dalam Nurihsan, 2005). Proses bantuan
ini dilakukan secara berkesenambungan supaya individu tersebut dapat
menganalisa suatu masalah, sehingga sanggup mengarahkan diri dan
dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan
lingkungan, sekolah, keluarga, dan masyarakat dan kehidupan pada
umunya (Natawidjaja dalam Sukardi, 2000).
Sedangkan pengertian konseling menurut Latipun (2003) adalah
kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa
bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam
pemecahan masalah tersebut. Jones (dalam Priyatno & Amti, 1999)
mengatakan kemampuan memecahkan masalah tersebut harus ditujukan
pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan
masalah – masalahnya sendiri tanpa bantuan.
Berdasarkan pengertian dari Division of Counseling Psychology
(dalam Priyatno & Amti, 1999), konseling merupakan suatu proses untuk
membantu individu mengatasi hambatan – hambatan perkembangan
dirinya dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi
yang dimilikinya. Karena setiap jenis layanan bimbingan yang diberikan
kepada siswa menggunakan komponen layanan konseling maka biro
pelayanan di sekolah disebut bimbingan konseling. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukan oleh Mortensen (dalam Gunawan, 2001) bahwa
bimbingan dan konseling adalah kegiatan integral, artinya keduanya tidak
dapat. Pendapat lain juga mengatakan konseling merupakan bagian dari
layanan bimbingan, baik sebagai komponen layanan maupun sebagai
teknik pemberian layanan (Sukardi, 2000). Bimbingan dapat diberikan
melalui konseling, dengan kata lain konseling merupakan suatu saluaran
bagi pemberian layanan bimbingan (Winkel, 2000).
Sementara Bimo Walgito (2004: 4-5), mendefinisikan bahwa
bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada
kesulitan-kesulitan hidupnya, agar individu dapat mencapai kesejahteraan
dalam kehidupannya.
Dari semua pendapat di atas dapat dirumuskan dengan singkat
bahwa Bimbingan dan Konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling (face to face) oleh seorang ahli
(disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu
masalah (disebut konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang
dihadapi konseli serta dapat memanfaatkan berbagai potensi yang
dimiliki dan sarana yang ada, sehingga individu atau kelompok individu
itu dapat memahami dirinya sendiri untuk mencapai perkembangan yang
optimal, mandiri serta dapat merencanakan masa depan yang lebih baik
untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Menurut Dahlan (1992), beberapa karakteristik guru bimbingan
dan konseling adalah sebagai berikut :
1. Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat
apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan
mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat
empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannnya yang nyata dan
berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka
yang rendah empatinya menunjukkan sifat yang secara nyata dan
2. Respek
Respek menunjukkan secara tak langsung bahwa guru menghargai
martabat dan nilai siswa sebagai manusia.
3. Keaslian (Genuiness)
Keaslian merupakan kemampuan guru menyatakan dirinya secara
bebas dan mendalam tanpa pura – pura, tidak bermain peranan dan
tidak mempertahankan diri.
4. Kekongkretan
Kekongkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai perasaaan
dan pengalaman orang lain. Seorang guru yang memiliki
kekongkretan tingggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan
selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, di mana,
dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi.
5. Konfrontasi
Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang
dikatakan siswa dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia
katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu.
6. Membuka diri (self-disclosure)
Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan
pengalaman--pengalaman pribadi guru untuk kebaikan siswa. Guru
mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada siswa
dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang
7. Kesanggupan (Potency)
Kesanggupan dinyatakan sebagai karisma, sebagai sesuatu kekuatan
yang dinamis dan maknetis dari kualitas pribadi guru bimbingan dan
konseling. Guru bimbingan dan konseling yang memiliki potensi ini
selalu menampakkan kekuatannya dalam menampilan pribadinya,
menguasai dirinya dan mampu menyalurkan kompetensinya dan rasa
aman kepada siswa.
8. Kesiapan
Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan antara
siswa dan guru bimbingan dan konseling, pada waktu kini dan di sini.
Tingkat kesiapan yang terdapat pada diskusi dan analisis yang
terbuka mengenai hubungan pribadi yang terjadi antara guru
bimbingan dan konseling dengan siswa dalam situasi konseling.
9. Aktualisasi diri
Aktualisasi diri menunjukkan secara tidak langsung bahwa orang
akan hidup dan memenuhi kebutuhannya secara langsung karena ia
mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidup.
4. Fungsi Bimbingan Dan Konseling
Menurut Nurihsan & Sudianto (2005) fungsi bimbingan dan konseling
yaitu :
a. Pemahaman, yaitu membantu siswa agar memiliki pemahaman
terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan,
b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi
berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk
mencegahnya, supaya tidak dialami oleh siswa
c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi
perkembangan siswa
d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat
kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan
kepada siswa yang telah mengalami masalah
e. Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu
memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan
memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan
minat, bakat, keahlian dan ciri – ciri kepribadiannya
f. Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan
khususnya konselor, guru atau dosen untuk mengadapatasikan
program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat,
kemampuan, dan kebutuhan siswa
g. Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa agar
dapat menyesuaiakan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap
program pendidikan,n peraturan sekolah, atau norma agama.
5. Asas-Asas Bimbingan Dan Konseling
Pemenuhan asas – asas bimbingan dan konseling akan memperlancar
konseling. Menurut Nurihsan dan Sudianto (2005) asas – asas yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan siswa kepada guru pembimbing tidak
boleh disampaikan kepada orang lain. Asas ini akan mendasari
kepercayaan siswa kepada guru pembimbing.
b. Kesukarelaan
Pelaksanaan bimbingan dan konseling berlangsung atas dasar
kesukarelaan dari kedua belah pihak.
c. Keterbukaan
Bimbingan dan konseling dapat berhasil dengan baik, jika siswa yang
bermasalah mau menyampaikan masalah yang dihadapi secara terus
terang kepada guru pembimbing dan guru pembimbing bersedia
membantunya.
d. Kekinian
Masalah yang ditangani oleh bimbingan dan konseling adalah masalah
sekarang walaupun ada kaitannya dengan masalah yang lampau dan
yang akan datang. Maka pembimbing sesegera mungkin menangani
masalah siswa.
e. Kemandirian
Bimbingan dan konseling membantu agar siswa dapat mandiri atau
f. Kegiatan Bimbingan dan konseling harus dapat membantu
membangkitkan siswa agar berusaha melakukan kegiatan yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
g. Kedinamisan
Bimbingan dan konseling hendaknya dapat membantu terjadinya
perubahan dan pembaharuan yang lebih pada diri siswa.
h. Keterpaduan
Bimbingan dan konseling hendaknya dapat memadukan berbagai
aspek kepribadian siswa dan proses layanan yang dilakukan.
i. Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling harus sesuai dengan norma yang
berlaku, baik norma agama, adat, hukum, negara, ilmu, maupun
kebiasaan sehari-hari.
j. Keahlian
Bimbingan dan konseling itu layanan profesional, maka perlu
dilakukan oleh seorang ahli yang khusus dididik untuk melakukan
tugas ini.
6. Guru Bimbingan Dan Konseling
Guru bukan hanya sekedar penyampaian pelajaran, bukan hanya
sebagai penerap metode mengajar, melainkan guru adalah pribadinya,
yaitu keseluruhan penampilan serta perwujudan dirinya dalam berinteraksi
dengan siswa. Menurut Gagne (dalam Djiiwandono, 2002) menunjukkan
mengajar yang baik yang akan berpengaruh terhadap pengajaran. Seperti
halnya siswa, guru juga berbeda dalam cara atau gaya mengajar,
kepribadian, tertentu dan harapan – harapannya.
Menurut Nurihsan & Sudianto (2005) mengatakan bahwa guru
bimbingan dan konseling adalah seorang sarjana pendidikan jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau seorang guru / tenaga pengajar
yang sudah mengikuti penataran mengenai bimbingan dan konseling
dengan memperoleh sertifikat khusus di bidang bimbingan dan konseling.
Sementara itu Yusuf & Nurishan (2005) menyebutkan guru
bimbingan dan konseling sebagai ”helper” pemberi bantuan yang dituntut
untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang
kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada siswa.
Berdasarkan hal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa guru
bimbingan dan konseling adalah seorang sarjana pendidikan jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau seorang guru / tenaga pengajar
yang sudah mengikuti penataran mengenai bimbingan dan konseling
dengan memperoleh sertifikat khusus di bidang bimbingan dan konseling
untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
7. Tugas Guru Bimbingan Dan Konseling
Menurut Nurihsan dan Sudianto (2005) tugas guru bimbingan dan
1. Memasyarakatkan kegiatan bimbingan
2. Merencanakan program bimbingan
3. Melaksanakan persiapan kegiatan bimbingan
4. Melaksanakan layanan bimbingan terhadap sejumlah siswa yang
menjadi tanggung jawabnya kurang mencukupi dibanding dengan
jumlah siswa yang ada, seorang guru pembimbing dapat menangani
lebih dari 50 orang siswa. Dengan menangani siswa 150 siswa secara
intensif dan menyeluruh, berarti guru pembimbing telah menjalankan
tugas wajib seorang guru, yaitu setara dengan 18 jam pelajaran
seminggu.
5. Melaksanakan kegiatan penunjang bimbingan
6. Menilai proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan
7. Menganalisis hasil penilaian
8. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian
9. Mengadministrasikan kegiatan dan konseling.
10.Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan kepada koordinator
guru pembimbing
8. Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling
Pada kenyataanya setiap orang memiliki persepsi yang
berbeda-beda terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling, ada yang
mempersepsikan bahwa guru bimbingan dan konseling itu
dan konseling itu tidak menyenangkan. Hal ini dapat saja terjadi, dimana
dari defenisi persepsi yang telah dijelaskan oleh beberapa para ahli antara
lain pendapat Chaplin (1991) yang mengatakan bahwa persepsi itu juga
dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang.
Dan karakteristik guru bimbingan dan konseling adalah empati,
respek, keaslian, kekongkretan, konfrontasi, membuka diri (self
disclosure), kesanggupan, kesiapan, aktualisasi diri.
Berdasarkan dari uraian di atas maka persepsi siswa terhadap
karakteristik guru bimbingan dan konseling adalah penafsiran atau
penilaian siswa baik buruknya terhadap karakteristik guru bimbingan dan
konseling yang meliputi: empati, respek, keaslian, kekongkretan,
konfrontasi, mebuka diri, kesanggupan, kesiapan, dan aktualisasi diri.
C. Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan Dan Konseling Dengan Self Disclosure Pada Siswa Smp Negeri 2 Babat
Persepsi terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling
merupakan suatu proses penerimaan, mengartikan dan memberikan reaksi
kepada rangsangan panca indera atau data yang diterima oleh seseorang
selanjutnya suatu reaksi yang akan muncul dari seseorang untuk memberi
tanggapan atau arti terhadap stimulus yang datang padanya, dalam hal ini
adalah karakteristik guru bimbingan dan konseling. Setiap manusia
memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap stimulus