• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman yang berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kelapa sawit berasal dari Brazil, Amerika Selatan. Hal ini terjadi karena tanaman kelapa sawit lebih banyak ditemukan di hutan Brazil dibandingkan dengan di Afrika. Tanaman kelapa sawit ini dapat tumbuh subur di luar daerah asalnya, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Papua Nugini (Fauzi dkk, 2014).

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1848. Saat itu hanya ada 4 batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan kemudian di tanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan juga dibudidayakan secara komersil di Indonesia pada tahun 1911 (Fauzi dkk, 2014).

Menurut Lubis (2008) taksonomi dari tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: Devisi : Trachophita Subdevisi : Pteropsida Kelas : Angiospermeae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Cocoideae Famili : Palmae Subfamili : Cocoideae Genus : Elaeis

(2)

Tanaman kelapa sawit berakar serabut yang terdiri dari akar primer, sekunder, tertier, kuartier. Batang kelapa sawit tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium. Daun kelapa sawit membentuk pelepah bersirip genap dan bertulang sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter dengan jumlah anak daun mencapai 380 helai per pelepah. Dan bunga kelapa sawit termasuk monoccious yang artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu tandan yang sama (Risza, 1994).

Pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit dipengaruhi oleh foktor lingkungan seperti iklim, tanah dan topografi, dan kelas kemampuan lahan. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah topis yang umumnya tumbuh di daerah antara 12° LU-12° LS dengan curah hujan optimal yang dikehendaki antara 2000–2500 mm per tahun. Kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah seperti podsolik coklat, podsolik kuning, hingga organosol. Untuk kelas kemampuan lahan ditentukan berdasarkan potendi produksi dan pertimbangan kondisi fisik lahan (Risza, 1994).

Kelapa sawit banyak dibudidayakan karena memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi. Kelapa sawit sangat penting bagi Indonesia, dalam kurun waktu 35 tahun terakhir kelapa sawit menjadi komoditi andalan untuk ekspor maupun komoditi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta transmigran Indonesia. Komoditi ini juga cocok dikembangkan baik berbentuk pola usaha perkebunan besar maupun skala kecil untuk petani pekebun (Lubis, 2008).

2.2 Kerugian Adanya Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit

Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki oleh manusia. Tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki, berarti tumbuhan tersebut merugikan tanaman utama baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bahkan belum diketahui kerugian atau kegunaannya (Tjitrosoedirdjo dkk, 1984).

(3)

Berdasarkan bentuk morfologi, gulma terbagi menjadi empat golongan yaitu gulma berdaun lebar (Broadleaf weeds), gulma berdaun sempit (Grasses), gulma teki-tekian (Sedges), dan gulma pakis-pakisan (Fern) (Mangoensoekarjo dan Soejono, 2015).

Kerugian yang disebabkan oleh gulma di bidang pertanian yaitu gulma dapat menurunkan jumlah hasil (kuantitas) tanaman, menurunkan mutu hasil (kualitas) tanaman, dan gulma juga dapat meracuni (alelopati) tanaman budidaya. Gulma juga dapat menurunkan nilai tanah, merusak atau menghambat penggunaan alat mekanik, menjadi inang hama dan penyakit, juga menambah biaya produksi (Sembodo, 2010).

Pengaruh buruk gulma di dalam dan di sekitar perkebunan antara lain: gulma dapat mengurangi hasil tanaman dan kualitas karena persaingan kebutuhan hidup, gulma dapat mengintensifkan masalah serangga, penyakit, dan hama lain dengan peran sebagai inang, gulma dapat mengurangi efisiensi panen dan mesin-mesin yang lain, dan gulma air dapat mengurangi efisiensi sistem irigasi (Fryer dan Matsunaka, 1988).

Gulma dapat menurunkan hasil tanaman budidaya secara langsung melalui persaingan dan alelopati. Gulma bersaing dengan tanaman dalam memperebutkan CO2 dan cahaya matahari di atas permukaan tanah, serta air dan hara dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, tetapi karena tanaman kalah bersaing akibatnya hasil tanaman menurun. Penurunan hasil tanaman oleh gulma selain karena terjadi persaingan, karena terdapat beberapa jenis gulma yang dapat menimbulkan alelopati, yaitu peristiwa penghambatan pertumbuhan tanaman oleh senyawa beracun yang dihasilkan gulma melalui akar atau daun (Mangoensoekarjo dan Soejono, 2015).

(4)

2.3 Pengendalian Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit 2.3.1 Pengendalian Dengan Upaya Preventif

Pengendalian gulma dengan upaya preventif atau melakukan pencegahan merupakan upaya pertama yang dilakukan dalam penendalian gulma dan upaya yang paling baik karena kerugian yang sesungguhnya pada tanaman belum terjadi. Bagian gulma seperti biji, rimpang, umbi, potongan batang atau ranting sejak awal di cegah masuk atau terbawa oleh tanaman sehingga areal dan bibit bebas dari gulma (Mangoensoekarjo dan Soejono, 2015).

Pencegahan lebih baik daripada perawatan, karena itu benih tanaman budidaya tanaman yang akan ditanam harus bersih dan bebas dari kontaminasi gulma. Pembuatan kompos juga harus sempurna dan menggunakan alat pertanian harus bersih agar tidak membawa biji gulma masuk ke dalam areal tanaman budidaya (Moenandir, 1993).

2.3.2 Pengendalian Secara Kultur Teknis

Pengendalian gulma secara kultur teknis merupakan pengendalian gulma dengan menggunakan praktek-praktek budidaya. Penanaman jenis tanaman yang cocok di suatu tempat merupakan tindakan yang sangat membantu dalam mengatasi masalah gulma. Dengan cara penanaman rapat agar tajuk agar tajuk tanaman segera menutup ruang kosong dapat menurunkan populasi gulma (Sukman dan Yakup, 2002).

Metode yang termasuk pengendalian gulma secara kultur teknis antara lain rotasi tanaman atau pergiliran tanaman, menentukan sistem bertanam yang akan dilakukan, melakukan pengaturan jarak tanam,menggunakan mulsa, dan juga dengan menanam tanaman tenutup tanah (Sukman dan Yakup, 2002).

2.3.3 Pengendalian Secara Hayati

Pengendalian hayati pada gulma adalah suatu cara pengendalian dengan menggunakan musuh–musuh alami seperti serangga, kumbang, ternak,

(5)

mikroba, maupun ikan untuk menekan dan mengurangi pertumbuhan gulma. Hal ini biasanya ditujukan terhadap suatu spesies gulma asing yang telah menyebar secara luas di suatu daerah (Sembodo, 2010).

Penggunaan metode ini harus dilakukan dengan hati-hati dan memenuhi syarat yaitu organisme yang digunakan sebagai pemangsa gulma harus harus spesifik agar tidak menyerang tanaman budidaya. Jika organisme yang digunakan tidak spesifik maka organisme tersebut dapat merusak tanaman budidaya juga (Sembodo, 2010).

2.3.4 Pengendalian Secara Mekanis

Pengendalian gulma secara mekanis adalah pengendalian gulma dengan menggunakan peralatan ataupun mesin. Peralatan yang digunakan dalam pengendalian secara mekanis mulai dari alat paling sederhana seperti sabit, cangkul, garu, hingga alat bermesin modern (Mangoensoekarjo dan Soejono, 2015).

Pengendalian mekanis merupakan usaha untuk menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian–bagian tubuh gulma sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Teknik pengendalian ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik (Sembodo, 2010).

2.3.5 Pengendalian Kimiawi

Pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia. Penggunaan bahan kimia sangat diminati, terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Bahan kimia yang dipergunakan sebagai pengendali gulma ini dikenal dengan nama Herbisida. Herbisida adalah suatu senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan gulma tanpa mengganggu tanaman utama (Moenandir, 1993).

Pengendalian dengan herbisida ditujukan untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma pada ekosistem pertanian dan khususnya perkebunan.

(6)

Dalam pelaksanaan aplikasi herbisida dapat dilakukan berbeda-beda, baik jenis bahan aktif maupun dosis herbisida (Mangoensoekarjo dan Soejono, 2015).

Pengendalian gulma secara kimiawi dilakukan dengan cara penyemprotan menggunakan herbisida. Keuntungan pengendalian gulma secara kimiawi dibandingkan cara manual adalah pekerjaan lebih cepat dan menggunakan tenaga kerja yang lebih sedikit, kerusakan pada akar tanaman yang sering terjadi dengan cara manual dapat dihindari, erosi tanah terjadi lebih kecil terutama pada tanah yang miring, pembentukan cekungan pada piringan kelapa sawit menjadi terkumpulnya air hujan dapat dihindari (Meilin, 2008).

2.4 Herbisida

2.4.1 Herbisida Kontak

Herbisida kontak adalah herbisida yang hanya mematikan bagian hijau tumbuhan yang terkena semprotan. Herbisida ini cocok untuk mengendalikan gulma setahun, karena bila terkena herbisida ini maka akan menyebabkan mati keseluruhan. Sedangkan gulma tahunan bila terkena herbisida ini hanya seperti dibabat bagian atasnya, karena perakarannya tidak mati (Barus, 2003).

Paraquat adalah nama dagang untuk 1,1-dimethyl-4,4'-bipyridinium dichloride. Herbisida paraquat bekerja dalam kloroplas. Kloroplas merupakan bagian dalam proses fotosintesis, yang mengabsorbsi cahaya matahari yang digunakan untuk menghasilkan gula. Dalam kondisi intensitas cahaya yang tinggi, paraquat akan segera bekerja sebagai herbisida kontak, mematikan semua bagian tanaman yang berwarna hijau. Sedangkan dalam kondisi gelap, paraquat dan diquat akan melakukan penetrasi dalam jaringan daun ke sistem vaskular. Kematian akan terjadi secara lambat dalam kondisi gelap (Hayata

(7)

Herbisida parakuat diklorida mampu menekan pertumbuhan gulma total ubi kayu dan mampu mengendalikan gulma golongan daun lebar Ipomoea

triloba, dan Richardia brasiliensis serta gulma golongan rumput Digitaria ciliaris namun parakuat diklorida ini tidak dapat mengendalikan gulma

golongan rumput Echinochloa colonum (Murti dkk, 2015).

2.4.2 Herbisida Sistemik

Herbisida sistemik adalah herbisida yang cara kerjanya ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak ke seluruh tubuh atau bagian jaringan gulma, mulai dari daun sampai keperakaran atau sebaliknya. Cara kerja herbisida ini membutuhkan waktu 1-2 hari untuk membunuh tanaman pengganggu tanaman budidaya (gulma). Herbisida ini dapat diaplikasikan melalui tajuk tanaman ataupun tanah (Sembodo, 2010).

Herbisida glifosat merupakan herbisida sistemik yang mampu menekan pertumbuhan gulma total hingga 12 MSA. Selain faktor penggunaan glifosat yang mampu menekan pertumbuhan gulma yang ada di tanaman budidaya, faktor agroekosistem seperti penggunaan pohon pelindung yang menyebabkan kondisi pada areal tersebut menjadi lebih lembab dan membatasi sinar matahari yang masuk sehingga meningkatkan toksisitas glifosat juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian (Sigalingging dkk, 2014).

Herbisida sistemik yang diaplikasikan melalui tajuk akan di translokasi secara simplastik (melalui jaringan hidup dengan pembuluh utama floem) bersamaan dengan translokasi hasil fotosintesis. Sedangkan herbisida sistemik yang diaplikasikan melalui tanah akan di translokasi secara apoplastik (melalui jaringan mati dengan pembuluh utama xilem) (Sembodo, 2010).

(8)

2.4.3 Fluroksipir

Fluroksipir adalah herbisida asam paridinoksi yang digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun lebar tahunan serta kayu. Fluroksipir menginduksi respon tipe auksin pada gulma berdaun lebar (auksin adalah jenis hormon pertumbuhan tanaman). Fluroksipir dapat digunakan untuk gangguan selektif dan kontrol terhadap gulma berbahaya (Washington State Department of Transportation, 2006).

Fluroksipir adalah herbisida yang termasuk ke dalam keluarga kimiawi asam paridinoksi. Asam paridinoksi ini dapat digunakan untuk mengendaliakan gulma pengganggu pada berbagai jenis tanaman seperti gandum, jagung, tebu, dan lain-lain (Mukherjee dkk, 2014).

Nama umum : Fluroksipir

Nama kimia : 4-amino-3,5-dichloro-6-fluoro-2-pyridinyloxy asetic acid Rumus molekul : C7H5Cl2FN2O3

Struktur Formula :

2.4.4 Glifosat

Herbisida yang memiliki bahan aktif glifosat efektif untuk mengendalikan gulma dari golongan rumput maupun daun lebar. Namun, herbisida glifosat ini kurang efektif untuk mengendalikan gulma Tetracera indica. Herbisida glifosat ini efektif untuk mengendalikan gulma rumput pada pertanaman karet belum menghasilkan (Supawan dan Hariyadi, 2014).

(9)

Herbisida ini adalah herbisida yang sering digunakan untuk mengendalikan gulma kelapa sawit. Herbisida glifosat mampu menekan pertumbuhan gulma total di lahan kelapa sawit TBM pada 4, 8 dan 12 MSA, herbisida glifosat ini mampu menekan pertumbuhan gulma daun lebar di lahan kelapa sawit TBM pada 4 dan 8 MSA, gulma rumput ditekan pada 12 MSA, dan gulma teki ditekan pada 4 MSA (Mukarromah dkk, 2014).

Glifosat merupakan herbisida berspektrum luas yang dapat mengendalikan gulma. Glifosat diserap oleh daun dan bagian-bagian tumbuhan lainnya, kemudian terangkut melalui floem. Cara kerja glifosat adalah menghambat kerja enzim EPSPS (5-enolpyruvinishikimate-3-phosphaate sintase) dalam pembentukan asam amino aromatik seperti triptofan, tirosin dan fenil alanin (Wulandari dkk, 2014).

Nama umum : Glifosat

Nama kimia : 2-[(phosphonomethyl)amino]acetic acid Rumus molekul : C3H8NO5P

Referensi

Dokumen terkait

a. Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama. 1) Persiapan yang baik harus

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Bab ketiga adalah berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten, yang meliputi praktik bilas

Ia menjelaskan, sesuai dengan konsep 10 pasar rakyat ini akan dibangun di pasar tradisional yang sudah ada sebelumnya (existing). Pasar-pasar itu dipilih menjadi pasar rakyat

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang