• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA) SKRIPSI OLEH BUNGA PAMELIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA) SKRIPSI OLEH BUNGA PAMELIA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI OLEH

BUNGA PAMELIA 140701075

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Bunga Pamelia NIM : 140701075 Jurusan : Sastra Indonesia Fakultas : Ilmu Budaya USU

Judul : Konflik Batin Tokoh Utama Tara dalam Novel 12 Menit Karya Oka Aurora (Pendekatan Psikologi Sastra)

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Januari 2020 Penulis

Bunga Pamelia

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konflik Batin Tokoh Utama Tara dalam Novel 12 Menit Karya Oka Aurora (Pendekatan Psikologi Sastra)’’. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memeroleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti telah banyak menerima bantuan, bimbingan, pengarahan, saran-saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Dr. Budi Agustono, M.S. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Prof. Drs.

Mauly Purba, M.A., PhD. sebagai Wakil Dekan I, Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai Wakil Dekan II, dan Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

sebagai Wakil Dekan III.

2. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. sebagai ketua Program Studi Sastra Indonesia dan Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. sebagai sekretaris Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

4. Dr. Hariadi Susilo, M.Si. dan Emma Marsela, S.S, M.Si. sebagai dosen penguji yang telah memberi masukan kepada peneliti sehingga penelitian skripsi ini lebih baik lagi.

(6)

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada peneliti.

6. Bapak Joko yang banyak membantu peneliti mengurus keperluan administrasi selama penyusunan skripsi.

7. Kedua orang tua yang sangat peneliti cintai, Ayahanda Muntasir dan Ibunda Rosmini, dan kedua saudara yang sangat peneliti sayang Mas Bayu Prayuda dan Adik Bagas Pramadipta yang selalu menyemangati dan mendoakan peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih telah mempercayai dan mendukung peneliti sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Muhammad Roihan Sirait yang selalu menemani, membantu, dan memberi dukungan peneliti untuk mengerjakan skripsi ini.

9. Teman-teman Sastra Indonesia yang telah banyak membantu peneliti dari awal perkuliahan hingga saat ini, yaitu Latifah Yusri Nasution, Yunita Devianti, Dwi Sri Anisa Hasibuan, dan kepada teman-teman stambuk 2014 yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu yang menjadi teman berjuang bersama selama kuliah dan proses pembuatan skripsi dan adik-adik stambuk 2015 yang telah menyemangati peneliti dalam mengerjakan skripsi.

10. Teman-teman organisasi Marching Band yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu yang selalu mendukung peneliti dalam mengerjakan skripsi.

11. Semua yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan hasil

(7)

penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Medan, Januari 2020

Bunga Pamelia

(8)

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

BUNGA PAMELIA

ABSTRAK

Novel 12 Menit karya Oka Aurora adalah sebuah karya berdasarkan kisah nyata kehidupan anggota marching band di kota Bontang. Perjuangan dan pengalaman hidup yang bermanfaat bagi golongan pelajar sangat kental di dalamnya. Masalah dan penyelesaiannya dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan semangat berjuang. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora berdasarkan klasifikasi emosi dan penyebab terjadinya konflik batin dalam diri Tara. Teori yang diterapkan dalam penelitian adalah teori psikologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan teknik analisis konten. Hasil dari penelitian ini adalah konflik batin yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora berdasarkan klasifikasi emosi, yaitu: (1) konsep rasa bersalah, (2) rasa bersalah yang dipendam, (3) menghukum diri sendiri, (4) rasa malu, (5) kesedihan, (6) kebencian, dan (7) cinta. Penyebab ketujuh konflik batin berdasarkan klasifikasi emosi adalah kecelakaan yang menewaskan ayah Tara, kepergian ibu Tara ke Inggris, perkataan Rene yang menyakiti hati Tara, dan janji ibu Tara yang tidak ditepati.

Penyelesaikan konflik yang dialami Tara dengan cara memahami diri sendiri, orang lain dan mampu mengendalikan emosi dalam diri.

Kata Kunci: konflik batin, tokoh utama, novel, psikologi sastra

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... i

PRAKATA ... ii

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI ... 6

2.1 Kajian Pustaka ... 6

2.2 Konsep ... 8

2.2.1 Novel ... 8

2.2.2 Tokoh dan Watak Tokoh ... 8

2.2.3 Tokoh Utama ... 9

2.2.4 Psikologi Sastra ... 9

2.2.5 Konflik Batin ... 9

2.3 Landasan Teori ... 9

2.3.1 Pengertian Konflik... 10

2.3.2 Konflik Eksternal dan Internal ... 10

2.3.3 Klasifikasi Emosi ... 11

BAB III METODE PENELITIAN ... 15

3.1 Metode Penelitian... 15

3.2 Sumber Data ... 15

3.2.1 Sumber Data Primer ... 15

(10)

3.2.2 Sumber Data Sekunder ... 16

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 16

3.4 Teknik Analisis data ... 17

BAB IV KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA ... 18

4.1 Konflik Batin Tokoh Tara Berdasarkan Klasifikasi Emosi ... 18

4.1.1 Konsep Rasa Bersalah ... 21

4.1.2 Rasa Bersalah yang Dipendam ... 24

4.1.3 Menghukum Diri Sendiri ... 26

4.1.4 Rasa Malu ... 28

4.1.5 Kesedihan ... 29

4.1.6 Kebencian... 32

4.1.7 Cinta ... 34

4.2 Penyebab Konflik Batin Tokoh Tara dalam Novel 12 Menit ... 37

4.2.1 Kecelakaan yang Menewaskan Ayah Tara ... 38

4.2.2 Kepergian Ibu Tara ke Inggris ... 40

4.2.3 Perkataan Rene yang Menyakiti Hati Tara ... 41

4.2.4 Janji Ibu Tara ... 43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Simpulan ... 45

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN

1. Sinopsis Novel 12 Menit Karya Oka Aurora 2. Biografi Oka Aurora

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi dalam Siswanto, 2013:67). Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Karya sastra juga dapat diartikan sebagai alat untuk mengungkapkan suatu perasaan dalam bentuk tulisan.

Sumardjo dan Saini (1988:3) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran nyata yang membangkitkan pesona dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Bahasa yang digunakan berasal dari bahasa natural, yaitu bahasa yang digunakan sehari–hari. Meskipun adanya bahasa natural, sastrawan menciptakan sendiri bahasa yang sesuai dengan sistem sastra. Bahasa sastra bukan bahasa yang melanggar kaidah bahasa natural, tetapi memang mempunyai kaidah tersendiri. Karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara, 2008:96). Karya–karya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya menampilkan berbagai problem psikologis. Karya sastra yang saat ini paling diminati adalah novel.

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Novel merupakan gambaran dan kehidupan dan perilaku yang

(12)

nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis (Wellek dan Austin, 1995:282). Novel biasanya menceritakan tentang berbagai masalah realita kehidupan yang digambarkan melalui tokoh yang ada pada novel tersebut.

Novel 12 Menit karya Oka Aurora adalah sebuah karya berdasarkan kisah nyata kehidupan anggota marching band di kota Bontang. Perjuangan dan pengalaman hidup yang bermanfaat bagi golongan pelajar sangat kental di dalamnya. Masalah dan penyelesaiannya dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan semangat berjuang.

Novel 12 menit menceritakan konflik batin yang dialami tokoh Tara. Penulis tertarik memilih novel 12 Menit karena ceritanya menarik untuk diteliti. Kisah Tara mengajak kita menelisik perjuangan seorang yang memiliki masalah pada pendengarannya yang hampir putus asa dalam menjalani kehidupannya. Hal tersebut diakibatkan oleh kecelakaan yang juga merenggut nyawa ayahnya. Peristiwa itu membuat Tara trauma dan selalu menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian ayahnya.

Keterbatasannya pada pendengaran tidak membuat pelatih marching band membeda- bedakan setiap anggota dalam hal latihan. Hal tersebut membuat Tara harus berjuang lebih keras saat berlatih marching band, kekurangan fisik dan tekanan batinnya hampir saja membuat Tara menyerah. Namun, akhirnya Tara tetap berjuang mencapai impiannya.

Konflik batin tokoh utama Tara yang tergambar dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora dikaji melalui pendekatan Psikologi sastra. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi

(13)

pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara 2008:96). Kajian psikologi sastra dapat dilihat melalui aspek-aspek kejiwaan para tokoh yang ada di dalam karya sastra tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis memilih judul “Konflik Batin Tokoh Utama Tara dala Novel 12 Menit karya Oka Aurora (Pendekatan Psikologi Sastra“. Dalam menganalisis data, penulis akan menggunakan teori klasifikasi emosi yang dikemukakan oleh Krech. Menurut Krech (dalam Minderop, 2016:39-45) klasifikasi emosi ada tujuh, yaitu konsep rasa bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dan cinta.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah bentuk konflik batin yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora berdasarkan klasifikasi emosi?

2. Apakah penyebab konflik batin tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan bentuk konflik batin yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

(14)

2. Untuk mendeskripsikan penyebab konflik batin tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi dunia pendidikan pada melalui pemanfaatan karya sastra serta untuk menambah wawasan tentang keberadaan karya sastra (novel) yang memuat tentang konflik batin dalam novel melalui kajian psikologi sastra.

1.4.2. Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti mengenai konflik batin dalam novel melalui kajian psikologi sastra dan dapat diterapkan dalam dalam penelitian lain seputar kajian tersebut.

1.4.2.2 Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk penelitian-penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

(15)

1.4.2.3 Bagi Dunia Sastra

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi bahan pertimbangan dalam membuat sebuah karya yang tidak hanya memuat keindahan dan hiburan semata, tetapi juga memperhatikan isi dan pesan yang dapat diambil dari karya sastra tersebut.

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan untuk memuat tentang hasil penelitian yang diperoleh peneliti sebelumnya dan hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Berikut pemaparan penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas tentang konflik batin dan psikologi sastra.

Nurhayati (2016) “Konflik Batin dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel 12 Menit Karya Oka Aurora serta Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran

Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konflik batin yang terjadi pada tokoh utama dalam novel 12 Menit meliputi, kecemasan dalam mencari pengganti field commander, dilema dengan lingkungan baru, ketakutan terhadap sikap orang tua, keinginan orang tua bertentangan dengan keinginan anak, kebimbangan meneruskan pendidikan, keraguan menjadi anggota tim inti, keinginan bertemu orang tua, dan kecemasan kehilangan orang tua.

Fahnial (2017) dalam skripsi yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Remember When Analisis Psikologi Sastra”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk konflik batin yang terjadi pada tokoh utama adalah sebagai berikut: (1) Konflik mendekat-mendekat, (2) Konflik mendekat- menjauh, (3) Konflik menjauh-menjauh. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik batin pada tokoh utama adalah faktor internal berupa iri hati dan

(17)

tidak percaya diri, serta rasa bersalah, dan faktor eksternal berupa sikap anti sosial dan keluarga.

Sari (2017) dalam skripsi yang berjudul ”Perilaku Menyimpang Tokoh Utama dalam Novel Nayla Karya Dienar Maesa Ayu: Kajian Psikosastra”. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana bentuk perilaku menyimpang lesbian tokoh utama dalam novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dan faktor penyebab tokoh utama menjadi lesbian dalam novel Nayla.Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menganalisis novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu dengan menerapkan teori kepribadian dari Sigmun Freud. Masalah dalam skripsi ini dibatasi hanya menganalisis perilaku menyimpang lesbian pada tokoh utama dalam novel tersebut. Teknik analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Metode ini dilakukan dengan cara menggambarkan kembali data yang telah terkumpul kemudian menghubungkannya dengan teori yang dipakai, yaitu teori kepribadian Sigmun Freud. Hasil yang didapat dalam penilitian tersebut adalah dalam novel Nayla, tokoh utama mempunyai ciri-ciri lesbian seperti membenci laki-laki, merasa nyaman dengan sesama jenis, mencintai pasangan sesama jenisnya, setia kepada pasangan sesama jenisnya, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Faktor penyebab tokoh utama menjadi seorang lesbian adalah pengaruh keadaan keluarga dan kondisi hubungan orang tua, pengalaman seksual buruk pada masa kanak-kanak, dan faktor lingkungan.

Wulandari (2018) “Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Tegar dalam Novel Sunset dan Rosie Karya Tere Liye (Pendekatan Psikologi Sastra)”. Dalam penelitian

ini, peneliti menggunakan pendekatan psikologi sastra yang ditinjau dari sisi

(18)

persepektif kepribadian humanistic Abrahan Maslow. Dalam novel Sunset dan Rosie menggambarkan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi dalam hidup Tegar yang menyebabkan konflik batin. Konflik batin yang dialami Tegar yaitu rasa sedih, rasa benci, rasa marah, dan rasa kecewa.

2.2 Konsep 2.2.1 Novel

Menurut Zaidan, dkk (2007:136) novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan; mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan.

2.2.2 Tokoh dan Watak Tokoh

Tokoh cerita, sebagaimana dikemukakan Abrams (Nurgiantoro, 2015:247), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu sepereti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Menurut Baldic penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya (Nurgiantoro, 2015:247).

(19)

2.2.3 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari seorang walau kadar keutamaannya belum tentu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan (Nurgiantoro, 2015:259).

2.2.4 Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra (Endraswara, 2008:16). Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing.

2.2.5 Konflik Bantin

Konflik batin adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran, dalam jiwa seorang tokoh (tokoh-tokoh) cerita (Nurgiantoro, 2015:181). Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

(20)

2.3 Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini adalah:

2.3.1 Pengertian konflik

Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Austin, 1995:285). Menurut Johnson, konflik adalah situasi di mana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu tindakan pihak lain (Nurgiantoro, 2015:181). Meredith &

Fitzgerald (Nurgiantoro, 2015:181) menyatakan konflik menunjuk pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya.

Pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus dihindarkan. Konflik dipandang sebagai faktor yang akan merusak hubungan, jadi harus dicegah.

2.3.2 Konflik Eksternal dan Internal

Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam, lingkungan manusia, atau tokoh lain (Jones dalam Nurgiantoro, 2015:181). Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan pikiran dalam jiwa seorang tokoh cerita. Konflik itu lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia.

(21)

Misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya.

2.3.3 Klasifikasi Emosi

Menurut Krech (Minderop, 2016:39-40), kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan seringkali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Berikut akan dijelaskan klasifikasi emosi menurut Krech berdasarkan situasi yang membangkitkan perasaan.

a. Konsep Rasa Bersalah

Rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standard moral (impuls expression versus moral standards).

Semua kelompok masyarakat secara kultural memiliki peraturan untuku mengendalikan impuls yang diawali dengan pendidikan semenjal masa kanak-kanak hingga dewasa (Hilgard dalam Minderop, 2016:40).

b. Rasa Bersalah yang Dipendam

Krech berpendapat bahwa dalam kasus rasa bersalah, seseorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendiri,

(22)

memang ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seseorang yang buruk (Minderop, 2016:42).

c. Menghukum Diri Sendiri

Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri, si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit mental, dan psikoterapi (Krech dalam Minderop, 2016:42).

d. Rasa Malu

Menurut Krech (Minderop, 2016:43) rasa malu beda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa terkait dengan rasa bersalah.

e. Kesedihan

Kesedihan atau dukacita (grief) berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting dan bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai.

Kesedihan yang mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan dan penyesalan. Parkes menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan; akibatnya bisa

(23)

menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan. Parker juga menemukan chronic grief, yaitu kesedihan berkepanjangan yang diikuti oleh self-blame (menyalahkan diri sendiri); inhibited grief (kesedihan yang

disembunyikan), secara sadar menyangkal sesuatu yang hilang kemudian menggantikannya dengan reaksi emosional dan timbulnya perasaan jengkel.

Delayed grief (kesedihan yang tertunda) biasanya tidak menampakkan reaksi

emosional secara langsung selama berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun (Krech dalam Minderop, 2016:43-44).

f. Kebencian

Krec menyatakan kebencian atau perasaan benci berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Minderop, 2016:44).

(24)

g. Cinta

Psikologi merasa perlu mendefinisikan cinta dengan cara memahami mengapa timbul cinta dan apakah terdapat bentuk cinta yang berbeda. Gairah cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta, adanya nafsu dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang timbul dari perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis, cinta dan suka pada dasarnya sama (Krech dalam Minderop, 2016:45).

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

Penerapan metode kualitatif ini bersifat deskriptif yang berarti data yang dihasilkan berupa kata-kata dalam bentuk kutipan-kutipan. Menurut Ratna (2015:47) sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Dalam ilmu sastra sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Dalam hal ini data hasil penelitian diungkapkan melalui kalimat dan kutipan dari teks yang ada dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

3.2 Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data dibagi dua, yaitu sumber data primer dan sekunder.

3.2.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data utama dalam penelitian. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian. Data primer disebut juga data asli atau data baru (Hasan, 2009:19).

Data primer dalam penelitian ini adalah novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Judul : 12 Menit Pengarang : Oka Aurora

(26)

Penerbit : Noura Books Tebal Buku : 348 halaman Cetakan : Pertama

Tahun : 2013

Warna Sampul : Biru dengan judul berwarna orange Desain Sampul : A.A

3.2.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data kedua atau sumber data pendukung. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada (Hasan, 2009:19).

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku acuan, jurnal, skripsi, situs internet, dan artikel-artikel yang berhubungan dengan karya sastra, psikologi sastra, dan konflik batin.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan. Data–data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas teknik membaca dan mencatat, sedangkan data sekunder merupakan teknik kepustakaan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan langkah- langkah berikut:

1. membaca novel yang diteliti secara cermat dan berulang-ulang.

(27)

2. Melakukan penandaan pada novel yang diteliti sesuai dengan fokus permasalahan.

3. Menginterpretasikan semua data-data yang telah diperoleh.

4. Mendeskripsikan semua data-data yang telah diperoleh.

5. Mencatat data-data deskripsi yang sesuai dengan fokus permasalahan.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan urutan dan proses sistematis sebagai berikut:

1. Penulis menganalisis dan mengklarifikasi cerita pada novel tersebut.

2. Ungkapan atau kalimat yang berkaitan dengan konflik batin tokoh utama Tara dikelompokkan berdasarkan bentuk-bentuknya.

3. Mendeskripsikan penyebab terjadinya konflik batin dalam diri tokoh utama.

4. Setelah itu, penulis membuat simpulan dari hasil analisis tersebut.

(28)

BAB IV

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA TARA DALAM NOVEL 12 MENIT KARYA OKA AURORA

4.1 Konflik Batin Tokoh Utama Tara Berdasarkan Klasifikasi Emosi

Tabel konflik batin yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora

No Klasifikasi Emosi Bentuk Wujud

1 Konsep rasa bersalah Baik 1. Konsep rasa bersalah karena tidak konsentrasi ketika latihan

2. Konsep rasa bersalah karena menyakiti hati Oma

3. Konsep rasa bersalah Tara

diwujudkan dengan

permintaan maafnya kepada Oma.

2 Rasa bersalah yang dipendam Baik 1. Rasa bersalah yang dipendam oleh Tara berwujud perasaan menyesal atas kematian ayah

(29)

Tara

2. Tara melakukan hal-hal yang membuat rasa bersalah tersebut menjadi lebih baik, yaitu Tara mengisi waktunya dengan bermain drum dan

ketika emosi

mengendalikannya untuk membuang stick drum dia cepat sadar dan ingin mengambilnya kembali.

3 Menghukum diri sendiri Buruk Menghukum diri sendiri yang dilakukan oleh Tara berwujud pada hal yang merugikan dirinya dan juga orang-orang di sekitarnya.

4 Rasa malu Buruk Rasa malu yang dirasakan Tara

menjadikannya sosok yang tidak baik. Dia menjadi malas ke sekolah dan tertutup.

(30)

5 Kesedihan Buruk Tara melepaskan kesedihannya dengan menangis dan memukul drum serta mengakibatkan daun- daun menjadi pelampiasan rasa sedihnya berakibat buruk bagi kesehatan jiwa Tara dan lingkungannya.

6 Kebencian Buruk Kebencian atas kelemahan yang

dimilikinya menjadikan Tara meninggalkan marching band dan membuang mimpinya untuk menjadi penabuh drum.

7 Cinta Baik 1. Rasa cinta diwujudkan ibu

Tara dengan kepergiannya ke Inggris sebagai bentuk motivasi yang ingin disampaikan kepada Tara.

2. Wujud perasaan cinta yang diharapkan Tara adalah keberadaan ibu di sisinya.

(31)

4.1.1 Konsep Rasa Bersalah

Menurut Hilgard, dkk (dalam Minderep 2010:39) rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi implus dan standar moral. Rasa bersalah dapat pula disebabkan oleh perilaku neurotik, yakni ketika individu tidak mampu mengatasi problem hidup seraya menghindarinya melalui manuver-manuver defensif yang mengakibatkan rasa bersalah dan tidak bahagia.

Perasaan bersalah seringkali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat pula bertahan lama. Derajat yang lebih rendah dari perasaan bersalah kadang-kadang dapat dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan merasa benar. Upaya ini dilakukan karena adanya kekuatan positif untuk memperoleh kesenangan. Terdapat perbedaan yang tajam dalam diri seseorang dalam menangkap situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada orang yang sadar terhadap apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan, ada pula orang yang merasa bersalah, tetapi ia tidak tahu penyebabnya serta ia tidak tahu bagaimana menghilangkannya (Minderop, 2010: 40).

Menurut Tangney rasa bersalah dapat dikarakteristikkan dengan adanya kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku diri yang negatif dan kecenderungan untuk memperbaiki tindakan. Berikut kutipan yang menggambarkan konsep rasa bersalah yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Tara bergegas menegakkan tubuhnya sambil bergumam meminta maaf.

Dia lirik Rene. Rene sedang melotot padanya. Sesaat Tara menunduk, dan tiba- tiba dia ingat, dia tak boleh menunduk. Buru-buru dia angkat lagi kepalanya.

(Aurora, 2013:81)

(32)

Kutipan di atas menggambarkan peristiwa rasa bersalah yang dialami Tara ketika merasa tidak konsentrasi saat latihan. Awalnya konsep rasa bersalah Tara diwujudkan melalui gerak menundukkan kepala. Namun, rasa bersalah Tara mendorong pemahaman bahwa dia tidak boleh menundukkan kepala. Dalam latihan marching band Tara perlu mengangkat kepala untuk memperhatikan instruksi dari

pelatih sehingga dengan mengangkat kepala Tara tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dalam peristiwa ini Tara mampu memberikan solusi untuk konsep rasa bersalah yang dia rasakan. Gumaman meminta maaf adalah rasa bersalah Tara dan gerakan mengangkat kepala adalah solusi yang dilakukan Tara untuk memperbaiki kesalahannya. Dari hal tersebut terlihat bahwa konsep rasa bersalah merupakan bagian dari klasifikasi emosi yang baik. Kutipan lain yang menggambarkan konsep rasa bersalah tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

“Kamu pikir ibumu seegois itu?” lirih Omanya.

“Iya, deh. Tara yang egois. Tara yang salah,” suara Tara getas, “Selalu Tara yang salah.”

Opa bergumam, “Halah ... itu lagi, itu lagi, Dek”. (Aurora, 2013:89)

Dari kutipan di atas tergambar peritiwa bahwa rasa bersalah Tara terhadap ucapan yang dia katakan kepada Oma. Tara mengaku bahwa dia egois meskipun masih dengan perasaan yang kesal. Namun, konsep perasaan bersalah Tara ini ternyata sering dia ulangi terbukti dari jawaban Opa yang bergumam itu lagi, itu lagi, Dek. Meskipun dalam peristiwa ini tidak terlihat penyelesaian, tetapi konsep rasa

(33)

bersalah merupakan bagian dari klasifikasi emosi yang baik karena Tara mengalah dengan mengatakan dia egois dan dia yang salah. Kutipan lain yang menggambarkan konsep rasa bersalah tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Opa menoleh pelan pada Tara. Dia menatap Tara dengan sedih. Tertangkap sebersit rasa bersalah di mata Tara. Namun, mata itu buru-buru ditundukkan. (Aurora, 2013:92)

Peristiwa yang tergambar dalam kutipan di atas adalah rasa bersalah Tara terhadap ucapan yang dia katakan kepada Oma. Hal ini dijelaskan melalui deskripsi Opa yang menatap mata Tara dengan sebersit rasa bersalah. Konsep rasa bersalah Tara dia wujudkan melalui gerak menundukkan kepala. Lumrahnya ketika seseorang merasa bersalah dia akan menundukkan kepala pertanda bahwa dia sadar dengan kesalahannya tersebut. Rasa bersalah juga dapat diwujudkan melalui cahaya mata yang meredup. Berikut kutipannya.

Cahaya mata Tara meredup karena rasa bersalah. Berbeda dengan cahaya mata Lahang dan Elaine yang berbinar penuh semangat. (Aurora, 2013:135)

Gambaran yang disampaikan oelh penulis dalam kutipan tersebut adalah rasa bersalah Tara. Cahaya mata Tara meredup merupakan wujud dari penggambaran perasaan bersalah yang dia miliki. Dengan cahaya mata meredup menunjukkan bahwa Tara sadar telah melakukan kesalahan. Penyelesaian konsep rasa bersalah Tara terlihat dari kutipan di bawah ini.

Mungkin sudah saatnya untuk berhenti memikirkan dirinya sendiri. Rasa bersalah pelan-pelan merambati hatinya.

(34)

“Maafin Tara, ya, Oma,” ujar Tara pelan. (206)

Kutipan tersebut konsep rasa bersalah Tara akhirnya terselesaikan. Dari peritiwa ini akhirnya dia sadar bahwa dia juga harus memikirkan orang-orang yang menyayanginya, yaitu Oma, Opa, dan Ibunya. Konsep rasa bersalah Tara diwujudkan dengan permintaan maafnya kepada Oma. Dengan demikian Tara memulai hidupnya dengan perasaan yang terlepas dari menyalahkan diri sendiri atas kematian ayahnya.

4.1.2 Rasa Bersalah yang Dipendam

Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan bersalah yang dipendam. Ada berbagai macam faktor penyebab seseorang mengalami perasaan bersalah dalam hidupnya. Rasa bersalah yang dipendam adalah prasaan muncul dan berhubungan dengan tingkah laku atau pengambilan keputusan moral yang merupakan tanggung jawab pribadi dan dinilai salah oleh hati nurani akibat tidak memenuhi nilai moral atau nilai keagamaan yang dianutnya, hingga menimbulkan perasaan bersalah dalam dirinya yang dirasakan oleh dirinya sendiri (dalam Gaib, 2007:19).

Berdasarkan teori diatas rasa bersalah yang dipendam merupakan perasaan bersalah yang ada dalam diri seseorang tanpa orang lain ketahui. Perasaan bersalah muncul karena adanya rasa penyesalan atas kesalahan yang tidak dapat diselesaikan sehingga seseorang mencoba untuk melupakan kesalahannya sendiri. Berikut kutipan yang menggambarkan rasa bersalah yang dipendam oleh tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

(35)

Namun, sejak kecelakaan merenggut pendengarannya, Tara berubah pemurung. Tara merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Dia pun sering menyalahkan dirinya sendiri. Dan, tak bosan menganggap dirinya korban kehidupan. (Aurora, 2013:142)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara memendam perasaan bersalah.

Setelah perasaan bersalahnya tersebut Tara menjadi sosok yang pemurung. Tara merasa segala hal yang menimpa dia dan ayahnya merupakan tanggung jawab dirinya sendiri. Namun, di tengah perasaan bersalah yang dipendam oleh Tara, dia masih berjuang untuk tetap bermain drum. Salah satu hal yang dia sukai sebelum kecelakaan terjadi. Berikut kutipan lain yang menggambarkan perasaan bersalah yang dipendam oleh Tara.

Tara terlempar ke suatu masa ketika dia pernah melihat sobekan yang jauh lebih ngeri. Sobekan kulit yang berdarah, dalam, dan berdaging. Sambil terus memukul, Tara menggelengkan kepalanya keras-keras, mencoba mengeyahkan bayangan itu. Namun, bayangan itu melekat seperti koreng pada luka yang belum sepenuhnya mengering. Kemudian, perlahan, sedu keluar dari tenggorokan Tara. Tetesan air mata Tara mengalir turun, meinggalkan jejak panjang di wajahnya yang berdebu.

Tara menggeram. Napasnya pendek-pendek. “Aku .... yang .... salah,”

geramnya terkejat-kejat.

“AKU YANG SALAAAH!” lengkingnya menggema ke seluruh hutan kecil itu. Stik drum di tangannya dilempar jauh-jauh ke air sungai. Sepasang stik itu sempat terbenam sebentar dalam air, tetapi langsung mengapung lagi.

Detik itu juga, Tara terkejut sendiri. Itu stik drum hadiah ayahnya! Dengan penuh sesal, dia mengangkat sebelah kakinya, dan hampir saja melompat ke dalam air, ketika .... (Aurora, 2013:155-156)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara memendam perasaan bersalah. Hal ini ditunjukkan dari penggambaran alur mundur yang membawa Tara kembali kepada ingatannya saat terjadi kecelakaan. Kenangan pahit yang Tara alami ketika

(36)

kecelakaan tersebut membuat dia mengatakan bahwa dialah yang salah. Dialah penyebab kecelakaan tersebut. Tara juga membuang stick drum yang sedang ia pegang. Namun, setelah sadar ia membuang stick drum pemberian ayahnya ia menyesal dan hendak mengambilnya kembali.

Dalam hal ini tergambar bahwa rasa bersalah yang dipendam merupakan bagian dari klasifikasi emosi yang baik. Tokoh Tara merasa bersalah dan memendam rasa tersebut sendirian, tetapi di balik rasa bersalahnya tersebut Tara melakukan hal-hal yang membuat rasa bersalah tersebut menjadi lebih baik, yaitu Tara mengisi waktunya dengan bermain drum dan ketika emosinya mengendalikannya untuk membuang stick drum dia cepat sadar dan ingin mengambilnya kembali.

4.1.3 Menghukum Diri Sendiri

Seseorang yang mengalami kegagalan karena sesuatu atau melakukan kesalahan yang melibatkan orang lain, beberapa orang menyalahkan kegagalan atau kesalahan pada dirinya sendiri hingga akhirnya menghukum diri sendiri dengan cara yang bervariasi salah satunya dengan menarik diri dan menutup diri dari sekitar. Rasa bersalah memang bisa menjadikan seseorang tertekan dan ketika sudah tidak sanggup lagi menahan tekanan itu maka segala sesuatu bisa saja dilakukannya. Berikut kutipan yang menggambarkan tokoh utama Tara menghukum diri sendiri dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

(37)

Opa menyentuh pelan pundak istrinya, menenangkan. Tapi, tangannya ditepis halus. “Untuk yang kesekian kalinya, Oma katakan: Ayahmu pergi BUKAN karena kamu. Tidak ada satu pun yang menyalahkan kamu. Apalagi menghukum kamu. Ya Allah ....”

Oma mengatur napas. Emosinya yang saling mengejar. Suaranya yang lembut, bergetar hebat. “Kamu sendiri yang terus menghukum dirimu. Dan menghukum kami. Bukan hanya kamu yang menjadi korban kejadian itu, Tara.

Ibumu juga korban. Kamu tahu? Ibumu bahkan sempat berharap dia ikut mati.”

(Aurora, 2013:90)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara menghukum dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan dialog yang disampaikan oleh Oma. Oma, Opa, dan Ibu Tara tidak pernah menyalahkan Tara atas kematian ayahnya. Tara sendiri yang menghukum diri sendiri. Bagi keluarga Tara kematian ayah Tara murni kecelakaan. Namun, bagi Tara kecelakaan itu adalah kesalahannya karena ia ikut dalam mobil saat kecelakaan itu terjadi. Berikut kutipan lain yang menggambarkan Tara menghukum diri sendiri.

Namun, sejak kecelakaan merenggut pendengarannya, Tara berubah pemurung. Tara merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Dia pun sering menyalahkan dirinya sendiri. Dan, tak bosan menganggap dirinya korban kehidupan. (Aurora, 2013:142)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara menghukum dirinya sendiri.

Menyalahkan diri sendiri merupakan salah satu hukuman yang Tara berikan terhadap dirinya.

Dalam hal ini tergambar bahwa menghukum diri sendiri merupakan klasifikasi emosi yang buruk. Menghukum diri sendiri berakibat negatif terhadap diri pribadi.

(38)

Dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora menghukum diri sendiri yang dilakukan oleh Tara tidak hanya merugikan dirinya tetapi juga orang-orang di sekitarnya.

4.1.4 Rasa Malu

Seseorang yang mengalami rasa malu tidak pernah merasa bersalah tetapi ingin ditutupi atau menyembunyikannya dari orang lain karena perasaan tidak nyaman jika perbuatannya diketahui oleh orang lain (dalam Gaib, 2007:21). Berdasarkan pendapat di atas rasa malu bisa dikatakan sebagai perasaan negatif yang timbul dalam diri seseorang akibat kesadaran diri. Secara umum, rasa malu merupakan perasaan rendah diri terhadap kekurangan yang ada pada diri sendiri ketika berhadapan dengan orang lain, kekurangan yang dirasakan biasanya berupa kebodohan yang terlihat di tempat umum tetapi tidak menimbulkan rasa bersalah. Berikut kutipan yang menggambarkan rasa malu yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Tara melangkah keluar dari ruangan Rene, separuh mati menahan langkahnya agar tidak berlari. Dia malu. Dia tak mau terlihat menangis di situ.

Namun, sesampainya di lorong panjang yang sekarang gelap dan kosong, langkah Tara berkejaran dengan isaknya.

Sakit hatinya. Sakit betul. Orang yang paling dia hormati selama setahun ini, telak menguliti kelemahannya. Siang tadi dan malam ini. Lengkap. (Aurora, 2013:141)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara merasa malu. Tara malu dengan kekurangan yang dia miliki sehingga dia memutuskan untuk tidak berada di marching band lagi. Rasa malu Tara didukung oleh kutipan berikut ini.

(39)

Ini hari kedua Tara tak muncul di sekolah. Sejak mengundurkan diri dari marching band, sepertinya Tara belum pulih dari sakit hati. Nurani tahu persis, betapa senang Tara terpilih memperkuat tim inti. Entah kenapa tiba-tiba dia berhenti begitu saja. Kali ini Tara tak mau bicara. (Aurora, 2013:149)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa rasa malu Tara berakibat buruk. Tara menjadi tidak masuk sekolah dan tidak mau bercerita kepada temannya, Nurani. Tara menjadi pribadi yang tertutup. Dalam hal ini diketahui bahwa rasa malu merupakan klasifikasi emosi yang buruk. Rasa malu yang dirasakan Tara menjadikannya sosok yang tidak baik. Dia menjadi malas ke sekolah dan tertutup.

4.1.5 Kesedihan

Menurut Parkes (dalam Minderop 2010:43) menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan; akibatnya bisa menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.

Berdarkan hal di atas rasa sedih merupaka hal yang bisa dialami oleh seseorang, rasa sedih adalah rasa yang muncul akibat rasa kecewa seseorang yang menyebabkan merasa tidak berguna lagi untuk orang lain. Selain kecewa, rasa sedih juga muncul akibat seseorang merasakan penyesalan yang menyebabkan rasa tidak nyaman dalam diri sendiri sehingga seseorang sulit untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukannya. Tidak jarang rasa sedih juga bisa menyebabkan seseorang merasa putus asa dan melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan juga bisa

(40)

merugikan orang lain. Berikut kutipan yang menggambarkan kesedihan yang dialami tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

“Kalau telingamu nggak bisa dipakai, ya, pakai matamu. Pakai otakmu.”

Masih emosi, Rene berjalan kembali ke tempatnya.

“Dan pakai hatimu. Begini, nih, kalau main nggak pakai hati!”

Sekuat tenaga, Tara menggigit bibirnya. Dia khawatir, air matanya jatuh di situ, di depan teman-temannya. Kamu kuat, Tara. Jangan menangis, jangan bikin malu diri sendiri, gumam Tara dalam hati.

Usaha Tara menahan tangisnya tak berhasil. Sebutir air mata jatuh dari sudut dalam matanya. Tara menggigit bibirnya mencegah tetesan berikutnya jatuh. Matanya dibuka lebar-lebar karena kalau dia rapatkan sedikit saja, tetesan lain akan segera menyusul. Dan, bibir bawah Tara mulai berdarah. Sedikit.

Seperti hatinya.

And everything to be falling apart. (Aurora, 2013:128-129)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa kesedihan Tara diwujudkan melalui air mata. Untuk menahan kesedihan tersebut, Tara mencoba untuk membuka matanya dan menggigit bibirnya. Namun, usaha yang dilakukan Tara sia-sia.

Seperti wanita lainnya Tara hanya bias menangis dan merasakan ada yang terluka di bagian hatinya karena perkataan Rene yang begitu kasar dan mencekali fisik Tara. Kesedihan yang dirasakan Tara dikuatkan dengan kutipan berikut ini.

Namun, sejak kecelakaan merenggut pendengarannya, Tara berubah pemurung. Tara merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Dia pun sering menyalahkan dirinya sendiri. Dan, tak bosan menganggap dirinya korban kehidupan.

Satu hal yang selalu Tara lakukan adalah menggunakan hati. Setiap pilihannya adalah hasil mendengarkan kata hatinya. Atau setidaknya, begitulah menurut Tara. Saat seseorang tiba-tiba berkata bahwa dia tidak menggunakan hatinya saat latihan, Tara tersinggung sekali. Bentakan Rene membuatnya grogi. (Aurora, 2013:142)

(41)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa kesedihan Tara terjadi karena menurutnya setelah kecelakaan yang menimpa ia dan ayahnya, Tara selalu menggunakan hatinya dalam melakukan apa pun. Namun, perkataan Rene yang menyatakan ia tidak menggunakan hati saat latihan marching band membuat tersinggung dan merasa sedih. Rasa sedih ini berakibat pada keputusan Tara keluar dari anggota marching band. Berikut kutipan setelah Tara memutuskan keluar dari marching band dan

akhirnya berujung sesal.

Sesuatu tersangkut di tenggorokannya. Rasa sesal yang menggumpal jadi sedan.

Langkah kakinya berdepak-depak dengan gema yang panjang di lorong kosong itu. (Aurora, 2013:143)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa keputusan meninggalkan marching band menimbulkan kesedihan di hati Tara. Dia merasa menyesal memutuskan hal tersebut dan rasa sesalnya diwujudkan melalui air mata. Segala kesedihan Tara terlihat dari air mata jatuh. Setelah meninggalkan marching band Tara melampiaskan kesedihannya dengan memukul stick drum pada jeriken plastik di rimba kecil. Berikut kutipannya.

Keheningan rimba kecil itu terpecahkan oleh suara bising pukulan stik drum Tara pada jeriken-jeriken plastik. Setiap hentakannya menggetarkan helai-helai daun yang mengapung lembut di atas air; daun-daun tak bersalah yang terimbas marah. Tara tak peduli rudiment, tak pentinglah baginya kali ini segala teknik. Semua dilampiaskan asal saja olehnya. Hanya ini terapi yang dia kenal untuk mengobati kesedihannya. (Aurora, 2013:155)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa terapi yang dilakukan Tara untuk mengobati kesedihannya adalah bermain drum. Dalam permainan drum Tara ini, dia

(42)

menyalurkan segala amarah yang terpendam kepada benda-benda mati, seperti jeriken dan daun-daun.

Dalam hal ini diketahui bahwa kesedihan merupakan klasifikasi emosi yang buruk. Dari cara Tara melepaskan kesedihannya dengan menangis dan memukul drum serta mengakibatkan daun-daun menjadi pelampiasan rasa sedihnya berakibat buruk bagi kesehatan jiwa Tara dan lingkungannya. Hal inilah yang menyebabkan rasa bersalah berbentuk buruk.

4.1.6 Kebencian

Menurut Krech, dkk (dalam Minderop 2010:43-44) menjelaskan kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati.

Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas.

Berdasarkan hal di atas rasa benci pernah dirasakan oleh setiap orang. Rasa benci adalah suatu keadaan perasaan atau emosi yang menggambarkan ketidaksukaan karena adanya permusuhan yang menyebabkan cemburu dan iri hati. Rasa benci biasanya tidak mengenal siapapun yang dibencinya dan tidak pernah peduli kepada

(43)

siapapun orang yang dibencinya, oleh karena itu rasa benci bisa berdampak negatif untuk seseorang yang memendam perasaan benci kepada orang lain karena hasil kebencian seseorang dapat menutup rasa bahagia. Berikut kutipan yang menggambarkan kebencian yang dirasakan tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Namun, selang sedetik, Tara muncul lagi. “Setahun ini, Kakak adalah orang yang paling saya kagumi. Kakak saya anggap orang yang paling mengerti kelemahan saya. Tapi, justru Kakak-lah yang membuat saya semakin hari semakin berpikir jangan-jangan saya bukan orang yang tepat untuk posisi ini.”

Rene terkesiap. Tak biasanya Tara bicara sebanyak ini. Tara melanjutkan kalimatnya, “Sekarang terbukti. Pikiran saya benar. SAYA .... memang nggak bisa.”

Dalam sekedip mata, Tara melesat ke luar. Kali ini, pintu dia sentak menutup. (Aurora, 2013:141)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara membenci kelemahannya. Dia membenci peristiwa kecelakaan yang menimpanya dan menyebabkan pendengarannya terganggu. Awalnya Tara merasa dia dapat mengatasi kelemahan yang dia miliki. Namun, segala perkataan yang disampaikan oleh Rene terhadap dirinya ketika latihan membuatnya kembali membenci kelemahannya.

Pendengarannya yang menjadi sasaran Rene mengakibatkan Tara kembali tersadar bahwa kelemahannya menjadikan ia menjadi sesosok yang pesimis.

Dalam hal ini diketahui bahwa kebencian merupakan klasifikasi emosi yang buruk. Kebencian atas kelemahan yang dimilikinya menjadikan Tara meninggalkan marching band dan membuang mimpinya untuk menjadi penabuh drum. Dengan

(44)

kebencian tersebut Tara menjadi sosok yang pesimis dan tidak memiliki harapan terhadap marching band.

4.1.7 Cinta

Perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk; intensitas pengalaman pun memiliki rentang dari yang terlembut sampai kepada yang amat mendalam; derajat tensi dari rasa sayang yang paling tenang sampai pada gelora nafsu yang kasar dan aginatif. Jika demikian, esensi cinta adalah perasaan tertarik kepada pihak lain dengan harapan sebaliknya. Cinta diikuti oleh perasaan setia dan sayang. Ada yang berpendapat bahwa cinta tidak menghentikan diri sendiri, bila tidak demikian berarti bukan cinta sejati. Dalam novel 12 menit tergambar cinta seorang anak kepada ibunya didasari kebutuhan perlindungan; demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan untuk melindungi. Berikut kutipan yang menggambarkan cinta yang dirasakan tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora.

Sudah hampir 3 tahun Tara beradaptasi dengan alat bantu dengarnya. Ibu Tara memutuskan untuk menunda cochlear implant karena dua alasan. Pertama, karena biaya. Dan, kedua, karena ibunya harus sekolah lagi. Dia dapat beasiswa S2 di sebuah universitas di Inggris. Dan, beasiswa ini adalah sesuatu yang telah dia upayakan beberapa bulan sebelum kecelakaan Tara. Menolak beasiswa itu berarti menolak kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Hidupnya dan Tara.

Maka ibunya pergi, dengan janji akan mengembalikan pendengaran Tara sepulang dari Inggris. (Aurora, 2013:75)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa cinta ibunya kepada Tara diwujudkan dengan kepergiannya ke Inggris. Namun, rasa cinta ibunya tersebut menimbulkan

(45)

konflik dalam diri Tara. Tara merasa ditinggalkan oleh ibunya karena ibunya tidak peduli dengannya. Hal ini didukung oleh kutipan berikut ini.

Tara menutup pintu lemari, membalikkan tubuhnya, dan berdiri tegak menatap omanya. “Maunya Tara, Oma? Maunya Tara, Ibu nggak kuliah lagi.

Nggak ninggalin Tara sendirian di Indonesia. Tapi apa pernah ada yang peduli sama maunya Tara? Nggak. Nggak ada yang peduli.”

Melihat gelagat tak enak itu, Opa berujar pelan, berusaha mencegah perpecahan, “Hati-hati kalau ngomong, Dek.” (Aurora, 2013:90)

Dari kutipan percakapan di atas tergambar bahwa Tara merasa ibunya tidak peduli kepadanya. Bagi Tara, jika ibunya peduli kepadanya, ibunya tidak mungkin tega meninggalkannya bersama Oma dan Opa setelah peristiwa kecelakaan tersebut.

Ibunya harusnya menemani dia dalam menghadapi trauma yang terjadi setelah peristiwa kecelakaan tersebut. Namun, ibunya malah memilih pergi kuliah ke Inggris.

Hal ini menimbulkan konflik batin bagi Tara dan menganggap ibunya menelantarkan dia. Berikut kutipannya.

Namun Tara terus bicara. Dengan suara yang sedatar wajahnya. “Aku sudah bilang sama Ibu, aku nggak mau Ibu pergi. Tapi, apa Ibu peduli? Nggak.

Ibu tetap pergi dan aku ditelantarkan ke sini.”

Oma terperangah. Dia tak menyangka cucunya bisa berkata begitu.

“Ditelantarkan?” Suara Oma bergetar. “Ditelantarkan?”

Tara gemetar, dadaya dijejali isakan gusar. “Apa namanya kalau bukan

‘ditelantarkan’? Begini, kan, cara Ibu menghukum aku?”

Opa menggumam. Penuh kewaspadaan. Dia tahu sebentar lagi istrinya meledak. “Istigfar, Dek. Istigfar ....”

“Astagfirullahaladzim, Tara.” Istigfar itu malah datang dari istrinya.

(Aurora, 2013:90)

Dari kutipan percakapan di atas tergambar perasaan Tara yang merasa ditelantarkan oleh ibunya. Tara yang masih muda memerlukan sosok ibu yang sangat dia rindukan. Dalam dirinya, ia ingin ibunya ada di sini bersamanya. Ia tidak

(46)

mengharapkan ibunya kuliah lagi. Ia ingin ibunya melindunginya dan menjadi tempat bersandar baginya. Namun, pemikiran si ibu berbeda dari Tara. Kepergian ibunya ke Inggris adalah satu wujud cinta seorang ibu kepada anaknya. Berikut kutipannya.

Oma mengatur napas. Emosinya yang saling mengejar. Suaranya yang lembut, bergetar hebat. “Kamu sendiri yang terus menghukum dirimu. Dan menghukum kami. Bukan hanya kamu yang menjadi korban kejadian itu, Tara.

Ibumu juga korban. Kamu tahu? Ibumu bahkan sempat berharap dia ikut mati.”

Mata Tara mulai digenangi air, saat Oma melanjutkan kalimatnya. “Tapi dia masih punya kamu. Dan, dia bertahan hidup demi kamu. Kamu, Tara, kamu satu-satunya alasan ibumu masih hidup sampai sekarang.”

Hidung Tara kembang kempis. Susah-payah, dia telan tangisnya.

Oma menegakkan tubuhnya. “Jadi, kalau kamu pikir ibumu bersenang- senang di Inggris sana, ya kamu benar. Ibumu itu sedang membuktikan padamu bahwa bahkan setelah merasa ingin mati, dia masih bisa bangkit. Dan berbuat sesuatu dengan hidupnya. Bukan hanya menyesali nasib dan menganggap dirinya dihukum atau ditelantarkan”. (Aurora, 2013:90-91)

Dari kutipan perkataan Oma di atas tergambar bahwa kepergian ibu Tara ke Inggris adalah sebagai motivasi bagi anaknya meskipun setelah peristiwa kecelakaan tersebut ada rasa ingin mati dalam diri ibunya, ia ingin menunjukkan kepada Tara, mereka bisa bangkit. Rasa cinta yang ingin ibunya tunjukkan bahwa hidup tidak hanya harus berhenti di sini. Masalah apa pun yang dihadapi bisa diselesaikan dengan baik dengan kembali bersemangat dalam hidup ini.

Dalam hal ini diketahui bahwa cinta merupakan klasifikasi emosi yang baik.

Cinta yang diberikan oleh ibu Tara adalah perwujudan dari motivasi yang ingin disampaikan kepada Tara. Motivasi ini tersampaikan melalui dialog antara Tara dan Oma. Awalnya, Tara marah karena ibunya tidak bisa pulang, Tetapi akhirnya dia sadar apapun yang dilakukan ibunya adalah demi Tara.

(47)

4.2 Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama Tara dalam Novel 12 Menit Karya Oka Aurora

Adapun peyebab konflik batin tokoh utama Tara dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora, yaitu kecelakaan yang menewaskan ayah Tara, kepergian ibu Tara ke Inggris, perkataan Rene, dan janji ibu Tara. Berikut uraiannya:

4.2.1 Peristiwa kecelakaan yang menewaskan ayah Tara

Peristiwa kecelakaan yang menewaskan ayah Tara adalah awal mula semua konflik yang terjadi dalam diri Tara. Peristiwa ini tidak hanya memberikan beban psikis dalam diri Tara, tetapi juga berakibat terhadap fisik Tara. Berikut kutipan yang menggambarkan peristiwa kecelakaan adalah penyebab awal konflik batin yang terjadi.

Saat berusia 12 tahun, tak lama setelah lulus SD, Tara sudah menguasai teknik bermain drum. Kedua orangtuanya melihat bakat Tara sejak usianya 4 tahun. Mereka mendukung pengembangan bakat Tara dengan mendaftarkannya ke kursus drum untuk anak dan menemani Tara ke berbagai lomba. Sampai usia menjelang SMP itu, Tara telah mengumpulkan berbagai penghargaan atas bakatnya. Berbagai kejuaraan yang dia ikuti, dan walau tak selalu juara I, Tara tak pernah tidak membawa pulang catatan prestasi. Orangtuanya bangga betul pada Tara, membuat Tara semakin bersemangat meraih berbagai pencapaian.

Sampai, saat kecelakaan yang membuatnya kehilangan pendengarannya.

Kehilangan percaya dirinya. Kehilangan kemampuannya bermain drum.

Pendengarannya tinggal sepuluh sampai dua puluh persen saja, sehingga dia harus menjalani berbagai terapi. Dia belajar berjalan lagi; tulang punggungnya retak di bebera tempay akibat kecelakaan itu. Dia belajar bicara lagi. Belajar menggunakan alat bantu dengar.

Setahun penuh Tara beradaptasi dengan kondisi barunya. Tulang punggungnya pulih dalam waktu enam bulan. Namun, pendengaran Tara tak kembali. Sampai sekarang. (Aurora, 2013:75)

(48)

Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa penyebab konflik batin dalam diri Tara pertama kali terjadi karena peristiwa kecelakaan yang dialaminya bersama ayahnya.

Peristiwa tersebut membuat Tara kehilangan pendengaran, kepercayaan diri, dan kemampuan bermain drum. Berikut kutipan lain yang menggambarkan salah satu penyebab konflik batin dalam diri Tara adalah peristiwa kecelakaan yang menewaskan ayah Tara.

Inilah salah satu ujian terbesar dalam hidup Tara selepas kecelakaan itu.

Bukan hanya fisik yang ditempa. Fisik, sih, biasanya dan seharusnya mengikuti komando dari hati. Menempa ketahanan hati ini, lho, yang luar biasa. (Aurora, 2013:86-87)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa peristiwa kecelakaan yang dialami Tara membuat Tara kehilangan pendengaran, rasa percaya diri, dan kemampuannya dalam bermain drum.

Berikut kutipan lain yang mendukung konflik batin Tara terjadi karena peristiwa kecelakaan yang menewaskan ayahnya.

Namun, sejak kecelakaan merenggut pendengarannya, Tara berubah pemurung. Tara merasa bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Dia pun sering menyalahkan dirinya sendiri. Dan, tak bosan menganggap dirinya korban kehidupan. (Aurora, 2013:142)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa penyebab konflik batin dalam diri Tara adalah peristiwa kecelakaan yang dialaminya bersama ayahnya. Dari kutipan ini terlihat jelas konflik batin yang terjadi akibat peristiwa kecelakaan adalah memendam perasaan bersalah. Berikut kutipan lainnya.

Tara terlempar ke suatu masa ketika dia pernah melihat sobekan yang jauh lebih ngeri. Sobekan kulit yang berdarah, dalam, dan berdaging. Sambil

(49)

terus memukul, Tara menggelengkan kepalanya keras-keras, mencoba mengeyahkan bayangan itu. Namun, bayangan itu melekat seperti koreng pada luka yang belum sepenuhnya mengering. Kemudian, perlahan, sedu keluar dari tenggorokan Tara. Tetesan air mata Tara mengalir turun, meinggalkan jejak panjang di wajahnya yang berdebu.

Dari kutipan-kutipan di atas tergambar bahwa penyebab konflik batin dalam diri Tara adalah peristiwa kecelakaan yang menewaskan ayahnya. Akibat peristiwa itu konflik batin yang dialami Tara berdasarkan klasifikasi emosi adalah konsep rasa bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, kesedihan, dan cinta.

4.2.2 Kepergian ibu Tara ke Inggris

Kepergian ibu Tara ke Inggris menambah konflik dalam diri Tara. Ibu Tara pergi ke Inggris karena dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2. Ibu Tara pergi untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka yang semakin susah akibat peristiwa kecelakaan tersebut. Hal ini tergambar dari kutipan berikut ini.

Sudah hampir 3 tahun Tara beradaptasi dengan alat bantu dengarnya. Ibu Tara memutuskan untuk menunda cochlear implant karena dua alasan. Pertama, karena biaya. Dan, kedua, karena ibunya harus sekolah lagi. Dia dapat beasiswa S2 di sebuah universitas di Inggris. Dan, beasiswa ini adalah sesuatu yang telah dia upayakan beberapa bulan sebelum kecelakaan Tara. Menolak beasiswa itu berarti menolak kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Hidupnya dan Tara.

Maka ibunya pergi, dengan janji akan mengembalikan pendengaran Tara sepulang dari Inggris. (Aurora, 2013:75)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa kepergian ibu Tara karena ingin memperbaiki hidupnya dan Tara. Namun, Tara menyalahartikan kepergian ibunya.

Dia merasa bahwa kepergian ibunya ke Inggris karena ibunya ingin

(50)

menelantarkannya. Tara merasa ibunya menyalahkan dirinya atas peristiwa kecelakaan yang menimpa ayahnya. Hal ini tergambar dari kutipan berikut ini.

Namun Tara terus bicara. Dengan suara yang sedatar wajahnya. “Aku sudah bilang sama Ibu, aku nggak mau Ibu pergi. Tapi, apa Ibu peduli? Nggak.

Ibu tetap pergi dan aku ditelantarkan ke sini.”

Oma terperangah. Dia tak menyangka cucunya bisa berkata begitu.

“Ditelantarkan?” Suara Oma bergetar. “Ditelantarkan?”

Tara gemetar, dadaya dijejali isakan gusar. “Apa namanya kalau bukan

‘ditelantarkan’? Begini, kan, cara Ibu menghukum aku?”

Opa menggumam. Penuh kewaspadaan. Dia tahu sebentar lagi istrinya meledak. “Istigfar, Dek. Istigfar ....”

“Astagfirullahaladzim, Tara.” Istigfar itu malah datang dari istrinya.

Oma memegangi dadanya. Pasti perih sekali di dalamnya. Matanya berkilat-kilat dengan kecewa. “Sebegitu rendahkah pandanganmu tentang ibumu? Tentang kami? Hanya segitukah kamu menghargai dirimu sendiri?”

(Aurora, 2013:90)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara mengalami konflik dalam dirinya karena ibunya pergi ke Inggris. Dia merasakan ditelantarkan oleh ibunya karena ibunya menyalahkannya atas kematian ayahnya. Ketidakhadiran ibunya di sini bersamanya adalah hukuman yang harus ia terima karena menjadi penyebab kematian ayahnya. Inilah yang dipikirkan oleh Tara di dalam hatinya selama ini.

Dari kutipan-kutipan di atas tergambar bahwa penyebab konflik batin dalam diri Tara adalah kepergian ibunya ke Inggris. Akibat kepergian ibunya ke Inggris konflik batin yang dialami Tara berdasarkan klasifikasi emosi adalah konsep rasa bersalah, menghukum diri sendiri, dan cinta.

(51)

4.2.3 Perkataan Rene

Perkataan yang diucapkan Rene ketika melatih marching band menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik di dalam diri Tara. Tara yang awalnya percaya diri bisa bermain di marching band menjadi tidak percaya diri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

“Tapi, kamu akan diperlakukan SAMA PERSIS dengan yang lain,”

ujarnya tajam, “Kamu siap? Kamu akan dilatih dengan disiplin yang sama.

Kalau kamu melakukan kesalahan, kamu akan dihukum sama berat. Semua peraturan diperlakukan sama. Nggak ada bedanya. Kamu siap?”

Tara meragu. Dia tahu semua yang disebutkan Rene itu adalah konsekuensi menjadi anggota inti. Dia pernah melihat anak yang dihukum membersihkan alat-alat karena datang terlambat cukup lama. Dia pernah melihat anak yang dilempar stik drum oleh Rene karena cengengesan sepanjang latihan. Dia pernah melihat anak yang di-‘introgasi’ Rene dan 2 orang stafnya karena minta izin berhenti.

Dia tahu apa konseskuensinya. Namun, begitu terpapar pada risiko itu, mendengarnya sendiri, langsung dari mulut Rene, Tara bimbang. (Aurora, 2013:41)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara mengalami konflik dalam dirinya karena perkataan Rene. Tara merasa bimbang saat ingin bergabung dengan tim inti marching band meskipun konflik batin ini bisa diatasi Tara dengan baik. Berikut

kutipan lain penyebab konflik dalam diri Tara.

“Kalau telingamu nggak bisa dipakai, ya, pakai matamu. Pakai otakmu.”

Masih emosi, Rene berjalan kembali ke tempatnya.

“Dan pakai hatimu. Begini, nih, kalau main nggak pakai hati!”

Sekuat tenaga, Tara menggigit bibirnya. Dia khawatir, air matanya jatuh di situ, di depan teman-temannya. Kamu kuat, Tara. Jangan menangis, jangan bikin malu diri sendiri, gumam Tara dalam hati.

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara mengalami konflik dalam dirinya karena perkataan Rene yang menyinggung hati Tara. Perkataan kasar Rene ini

(52)

menyebabkan konflik berupa emosi kesedihan dalam diri Tara. Berikut kutipan lainnya.

Namun, selang sedetik, tara muncul lagi. “Setahun ini, Kakak adalah orang yang paling saya kagumi. Kakak saya anggap orang yang paling mengerti kelemahan saya. Tapi, justru Kakak-lah yang membuat saya semakin hari semakin berpikir jangan-jangan saya bukan orang yang tepat untuk posisi ini.”

Rene terkesiap. Tak biasanya Tara bicara sebanyak ini. Tara melanjutkan kalimatnya, “Sekarang terbukti. Pikiran saya benar. SAYA .... memang nggak bisa.”

Dalam sekedip mata, Tara melesat ke luar. Kali ini, pintu dia sentak menutup. (Aurora, 2013:141)

Dari kutipan di atas tergambar bahwa Tara mengalami konflik dalam dirinya karena perkataan Rene. Perkataan Rene menimbulkan konflik berupa rasa kebencian dalam diri Tara terhadap kelemahan yang ia miliki, yaitu kelemahan pendengaran.

Dari kutipan-kutipan di atas tergambar bahwa penyebab konflik batin dalam diri Tara adalah perkataan Rene. Akibat perkataan Rene konflik batin yang dialami Tara berdasarkan klasifikasi emosi adalah konsep rasa bersalah, rasa malu, kesedihan, dan kebencian.

4.2.4 Janji Ibu Tara

Janji ibu Tara menjadi salah satu penyebab konflik dalam diri Tara. Ibu Tara berjanji akan pulang, tetapi karena satu hal ibunya tidak jadi pulang. Hal ini tergambar dari kutipan berikut ini.

“Kamu kenapa, sih, Dek? Dari tadi Oma dengarin, kok marah-marah saja,” tanya Oma sambil tersenyum. Dia sudah sangat terbiasa dengan temperamen Tara. Hati-hati, dia mengambil posisi di sebelah Tara. Mereka duduk bersisisan di ujung tempat tidur.

Referensi

Dokumen terkait

Suma'mur, Keselamatan Kerja dan Gunung Agung,

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formulasi yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air snack ekstrusi, hal ini menunjukkan bahwa dengan atau

Hasil penelitian menunjukkan dari tiga perlakuan kemasan dan suhu yang digunakan selama penyimpanan, terjadi peningkatan dan penurunan nilai slope yang terkecil pada

Berdasarkan hasil analisis R/C tersebut, komoditi wortel, bayam hijau, dan selada cos cukup menguntungkan untuk diusahakan karena nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembuatan Kepala Kepala Madrasah termasuk dalam kategori sangat baik

Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan struktur yang membangun novel Surat Kecil untuk Tuhan karya Agnes Davonar; (2) mendeskripsikan konflik batin tokoh

[r]

Larinx terletak pada leher sebelah depan, di depan Oesophagus dibangun oleh tulang rawan sebanyak 9 buah, dari luar tampak salah satu tulang rawan yang disebut Cartilago