PENGANTAR
PEKERJAAN SOSIAL
ISBN: 978-602-9238-48-8
Judul Buku:
PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL
Penulis:
BUDHI WIBHAWA SANTOSO T RAHARJO MEILANY BUDIARTI S.
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang Tlp. (022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id Email: lppm@unpad.ac.id Bandung 45363
1 Jilid, B5 (JIS); 303 hlm, Cetakan pertama 2013 Cetakan kedua 2015 ISBN: 978-602-9238-48-8
ISBN: 978-602-9238-48-8
9 7 8 - 6 0 2 - 9 2 3 8
Kata Pengantar
Sekali lagi, langkanya buku-buku teks profesi pekerjaan sosial dan bidang praktek kesejahteraan sosial dalam bahasa Indonesia merupakan persoalan tersendiri dalam dunia pendidikan pekerjaan sosial di negeri ini. Sehingga penulisan buku ini merupakan bagian dari upaya memperkaya bahan-bahan bacaan mengenai bidang kesejahteraan sosial dan profesi pekerjaan sosial.
Penerbitan buku ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’ diharapkan dapat menjadi oase di tengah kelangkaan buku-buku pekerjaan sosial. Semoga buku ini dapat menjadi awal atau pengantar untuk rujukan, pembanding, atau kajian pustaka bagi siapapun yang concerns terhadap bidang praktek
pekerjaan sosial, termasuk para mahasiswa, dosen, pemerhati dan masyarakat pembaca pada umumnya. Dalam cetakan kedua ini telah ditambahkan sekilas tentang penelitian pekerjaan sosial dan perencanaan sosial untuk melengkapi buku pengantar pekerjaan sosial ini.
Namun demikian kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini buku ini masih jauh dari memadai, sehingga kritik dan saran dalam rangka perbaikan kami terima dengan tangan terbuka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para kolega di Departemen Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, yang selalu membantu dan mendukung penulisan buku ini.
DAFTAR ISI
TOPIK 1: MASALAH SOSIAL DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL 1
Kegiatan Belajar 1:
1. Masalah Sosial dan Perubahan Sosial ... 2 2. Praktik Pekerjaan Sosial dalam Mengatasi Masalah Sosial 11
Kegiatan Belajar 2:
1. Kewirausahaan Sosial... 12 2. Kewirausahaan Sosial dalam Mengatasi Masalah
Sosial ... 16 3. Capaian dalam Kewirausahaan Sosial ... 21
TOPIK 2: KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL 27
Kegiatan Belajar 1:
1. Kesejahteraan Sosial... 28 2. Sumber-sumber kesejahteraan sosial ... 37 3. Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial ... 45
Kegiatan Belajar 2:
Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial ... 48
Kegiatan Belajar 3:
Pekerjaan Sosial Generalis... 59
TOPIK 3: LANDASAN PENGETAHUAN DALAM PROFESI
PEKERJAAN SOSIAL 67
Kegiatan Belajar 1:
Keilmuan profesi pekerjaan sosial dan profesi
Pertolongan lainnya... 68
Kegiatan Belajar 2:
Dasar pengetahuan pekerjaan sosial... 81
Kegiatan Belajar 3:
Kebutuhan pengetahuan pekerja sosial saat ini ... 87
TOPIK 4: FOKUS PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 97
Kegiatan Belajar :
Keberfungsian Sosial ... 98
Pergeseran klien bagi Pekerja Sosial ... 110
Kegiatan Belajar 2: Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah ... 114
Kegiatan Belajar 3: 1. Proses Praktik Pekerjaan Sosial ... 122
2. Kerangka Model Analisis dan Pemecahan Masalah Sosial 126 TOPIK 6 : NILAI-NILAI DASAR PEKERJAAN SOSIAL 131
Kegiatan Belajar 1: Antara hubungan personal dengan hubungan profesional 132 Kegiatan Belajar 2: Prinsip praktik pekerjaan sosial ... 136
Kegiatan Belajar 3: Klasifikasi Pekerja Sosial ... 141
Kegiatan Belajar 4: Kerangka profesi pekerjaan sosial ... 152
TOPIK 7: METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 161 Kegiatan Belajar 1: Social Casework ... 162
Kegiatan Belajar 2: Social Groupwork ... 172
Kegiatan Belajar 3: Community Development ... 187
Kegiatan Belajar 4: 1. Administrasi Pekerjaan Sosial, ... 201
2. Organisasi Pelayanan Manusia, ... 205
3. Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial ... 214
4. Penelitian Pekerjaan Sosial... 219
5. Perencanaan Sosial... 228
TOPIK 8: PELAYANAN SOSIAL 233 Kegiatan Belajar 1: Keadaan, Kecenderungan, dan Masalah dalam Penyelenggaraan Pelayanan Sosial... 234
Kegiatan Belajar 2: Bidang-bidang Pelayanan Sosial ... 241
Strategi Pelayanan Sosial dan Organisasi (Badan)
Pelayanan Sosial ... 253
TOPIK 9: STRENGTH BASED PERSPECTIVE 267
Kegiatan Belajar 1:
Strength Based Perspective ... 268
Kegiatan Belajar 2:
Strength Based Assessment ... 273
TOPIK 1
KEGIATAN BELAJAR 1 : Masalah sosial dan perubahan sosial, praktik pekerjaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial
KEGIATAN BELAJAR 2 : Pengertian kewirausahaan sosial, kewirausahaan sosial dalam
mengatasi masalah sosial, capaian dalam kewirausahaan sosial
MASALAH
KEGIATAN BELAJAR 1
1.
MASALAH SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
Masyarakat adalah konsep abstrak, wujud nyatanya adalah
manusia dan perilakunya. Manusialah yang ’menciptakan’ masyarakat
dengan nalurinya sebagai makhluk sosial; maka manusia pulalah yang
membuat perubahan-perubahan terhadap masyarakat melalui hasratnya
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, setidaknya menurut
keinginan manusia itu sendiri. Dalam beberapa peristiwa di dalam
sejarah dunia dan sejarah manusia tercatat orang-orang besar yang
karena kelebihan kapasitasnya mengakibatkan terjadinya perubahan
sosial.
Sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, masyarakat Indonesia
bersentuhan dengan berbagai masyarakat luar; dan hasil sentuhan itu
kemudian diterima dengan nilai budayanya sendiri. Namun demikian,
dalam sebuah proses difusi kebudayaan berlaku dalil (Parsudi Suparlan,
1982:113): ”Dalam proses difusi antara dua masyarakat yang
berdekatan, maka bila yang satu lebih sederhana kebudayaannya
daripada yang satunya lagi, masyarakat yang kebudayaannya lebih
sederhanalah yang lebih banyak menerima kebudayaan dari masyarakat
yang lebih maju atau kompleks; dan bukan sebaliknya”.
Pembahasan tentang isu-isu dan masalah sosial di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dengan kondisi kehidupan masyarakatnya.
Bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan
budaya atau dikenal dengan masyarakat majemuk atau multikultur.
Kondisi ini di satu sisi merupakan potensi dan sumber daya serta
kondisi ini juga merupakan faktor yang dapat memicu dan memacu
terganggunya ketahanan sosial masyarakat karena rawan terjadi konflik
sosial horizontal maupun vertikal. Terjadinya konflik sosial di beberapa
wilayah di Indonesia, seperti yang dikenal dengan kasus Sambas,
Sampit, Poso, Ambon dan Papua, merupakan bukti dari sisi negatif
kesukubangsaan Indonesia yang bercorak multikultur. Hal ini terjadi
disebabkan oleh belum dihayatinya kehidupan multikultur ini oleh
segenap elemen masyarakat.
Kondisi multikultur yang masih menimbulkan rawan konflik
sosial ini, kemudian ditambah dengan terjadinya transformasi sosial
budaya yang berlangsung sangat cepat dewasa ini. Disadari ataupun
tidak, transformasi sosial budaya ini membawa dampak yang tidak
menguntungkan bagi sebagian kehidupan individu, keluarga maupun
masyarakat Indonesia. Konsumerisme, hedonisme, individualism dan
materialisme sebagai ekses globalisasi, kini mulai dirasakan memasuki
berbagai aspek kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat.
Ekses lainnya yaitu terjadinya pergeseran cara pandang masyarakat
tentang keluarga, rumah tangga dan pola interaksi sosial, baik dengan
sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Hawari, 1995). Fenomena
sosial ini, kini sudah terjadi secara luas pada semua lapisan masyarakat,
baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Memang salah satu dalil dalam perubahan sosial menyebutkan
bahwa perubahan terjadi tidak serempak pada semua aspek kehidupan
masyarakat, melainkan pada sebagian aspek kehidupan, dan
aspek-aspek kehidupan lainnya akan harus menyesuaikan diri dengan
Persoalannya, adalah masyarakat Indonesia ini sangat mudah
menerima rembesan dari luar masyarakat, dan mengubah dirinya demi
menyesuaikan diri dengan rembesan tersebut (adaptasi). Masyarakat ini
sangat adaptif, bahkan dalam banyak hal sangat adoptif; apa yang ada
di negara lain, langsung diterapkan. Situasi ini ditambah lagi dengan
’pemaksaan’ dari negara lain yang posisinya dan kondisinya lebih kuat;
yang memandang Indonesia dengan luas wilayah dan besarnya jumlah
penduduk sebagai pasar yang bagus untuk segala produk mereka mulai
dari barang sampai kepada ide dan nilai-nilai. Politik luar negeri yang
terjadi dewasa ini (Bay Suryawikarta): ”...tidak lain adalah rangkaian
manuver politik untuk membuka pasar, mencari (dan mencuri)
teknologi, dan menggali sumber dana (modal)”.
Untuk Indonesia, ditambah lagi dengan keinginan untuk segera
mensejajarkan diri dengan kemajuan, berkonsekuensi terjadinya
perubahan yang lebih tidak terkendali, karena, seperti dikemukakan To
Thi Anh (1984:97), masyarakat negara-negara berkembang: ”...lebih
mudah meniru Barat daripada menemukan cara sendiri”. Gagasan yang
serupa juga dikemukakan oleh Aritonang (1999) bahwa Indonesia
bukan negara agraris, bukan pula negara industri..; melainkan negara
pasar produk agaris dan industri...”
Seperti hukum dunia yang bersifat umum yaitu selalu berubah,
masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan; namun lebih banyak
karena ’kekalahan’ dalam difusi kebudayaan, bukan atas kesadarannya
sendiri.
Sebutlah negara-negara yang maju, baik dari belahan Barat
budaya dan agamanya, dan itu dimulai dengan pengenalan serta
penegasan tentang jati dirinya sendiri. Jika masih bingung dengan jati
dirinya sendiri, bagaimana orang atau masyarakat akan dapat
mengembangkan dirinya? Inilah masalah mendasar masyarakat
Indonesia, terlalu mudah mengadopsi perubahan tanpa berpegang kuat
kepada nilai-nilai dasarnya, sehingga dengan mudah tercerabut dari jati
dirinya sendiri. Jadi, perkembangan masyarakat Indonesia haruslah
dimulai dari aktualisasi nilai-nilai dasar yang tetap dipegang teguh
sebagai jati dirinya sendiri.
Menjadi aneh jika masyarakat yang memandang dirinya
religius, justru etos kerjanya rendah, tidak produktif malah konsumtif;
padahal tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan
pemborosan seperti itu. Jika seseorang atau sebuah masyarakat tidak
berpijak kepada karakternya sendiri ketika ia berhadapan dengan
perubahan-perubahan eksternal dan harus menyesuaikan diri
dengannya, maka orang itu akan menjadi ’abdi’ orang lain, masyarakat
itu akan didominasi masyarakat lain, seperti dimaksudkan dalam
pengertian konsep difusi kebudayaan. Inilah tampaknya yang terjadi
pada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan jika Prof. Mar’at (1986),
dan Yesmil Anwar (2007) menyebut masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang sakit (the sick society).
Telah dikemukakan terdahulu beberapa ilustrasi kondisi
masyarakat yang menunjukkan terjadinya perubahan sosial. Secara
formal akademik, istilah perubahan sosial berarti ’pergeseran pada
struktur dan fungsi masyarakat (sistem sosial)’. Brinkerhoff & White,
Perubahan sosial dapat bersifat ‘alamiah’ dalam arti sebagai hasil
interaksi di antara elemen-elemen penyebabnya (unplanned social change); dapat pula direncanakan sebagai sebuah rekayasa sosial (planned social change) (Zaltman, Kotler, Kaufman, 1982:27). Pertanyaannya adalah apa yang berubah, secepat apa perubahan terjadi,
dan ke mana arah perubahan tersebut?
Johnson (1986:5) menegaskan hubungan antara perubahan
sosial dengan masalah sosial, dalam pernyataannya sebagai berikut:
”...since many social problems result from change and because it is human to have such problems, the idea that any of us may be potential users of social services is made more acceptable. Any of us then might have occasion to need a social worker, not just the “poor”, the people from the “wrong side of the tracks”, or of some particular age, ethnic, or other group. This concept of social work may tend to bring about more humility and realism in our thinking, for troubles can, indeed, “happen to any of us”
Dari tulisan Johnson tersebut dapat ditarik beberapa catatan
pokok, sebagai berikut:
1. Masalah sosial bersumber dari –dan muncul seiring dengan–
perubahan sosial; padahal sudah menjadi aksioma bahwa tidak
ada masyarakat yang sungguh-sungguh statis, melainkan selalu
mengalami perubahan. Jaman teknologi yang semakin canggih,
globalisasi; menghasilkan percepatan perubahan sosial yang
luar biasa karena akses informasi dan transportasi yang semakin
baik; artinya sangat produktif menghasilkan masalah sosial
sebagai dampaknya. Namun, seperti dikatakan Ralf Dahredorf
But while it happens it eludes our grasp, and once we feel able to come to grips with it, it has become past history”.
2. Setiap orang berpotensi mengalami masalah sosial, terlepas dari
tingkat pendidikan, kekayaan, status sosial, atau karakteristik
apapun.
3. Para Pekerja Sosial (Social Worker) memiliki kewenangan keahlian untuk menangani masalah-masalah sosial.
4. Dibutuhkan ide-ide, strategi, metode, serta badan-badan
pelayanan yang dapat mengupayakan penanganan
masalah-masalah sosial yang selalu berkembang.
Substansinya sesungguhnya bukan terletak pada apa masalahnya,
karena salah satu hakikat kehidupan adalah masalah, dan semua orang,
semua masyarakat mengalami masalah; melainkan terletak pada
bagaimana cara kita memandang dan memperlakukan situasi masalah
tersebut, untuk kemudian mencari apa dan bagaimana solusinya.
Terdapat tiga kemungkinan hasil relatif yang dialami
masyarakat dari perubahan sosial, yaitu (1) kemajuan; (2) kemunduran;
dan (3) fluktuatif. Ukuran kemajuan dan kemunduran tergantung dari
visi masyarakat tentang apa yang diinginkan dalam kehidupannya.
Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa berbagai kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan lain telah mengubah sistem sosial
masyarakat Indonesia. Terjadi kemudian perubahan-perubahan dalam
fungsi dan struktur institusi sosial yang menyebabkan timbulnya
berbagai masalah sosial. Horton dan Hunt (1964:126) menyatakan,
bahwa: ”Suatu masyarakat yang mengalami perubahan pasti
melahirkan masalah. ... Masalah sosial merupakan bagian dari
Johnson (1986:7) mendefinsikan Pekerjaan Sosial, sebagai: ”...upaya
pemberian bantuan kepada orang untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan...“. Dengan definisi tersebut maka tampak bahwa
masalah-masalah sosial timbul sebagai akibat perubahan sosial, dan karenanya
setiap warga masyarakat merupakan pengguna potensial bagi
pelayanan-pelayanan sosial.
Holil Soelaiman (1993:12-13) telah mengidentifikasikan
delapan kecenderungan permasalahan sosial, sebagai berikut:
1. Semakin melemahnya nilai-nilai dasar kesejahteraan sosial
seperti kemanusiaan, kasih sayang terhadap sesama,
kekeluargaan, kegotongroyongan, pengabdian, solidaritas
sosial, kepekaan sosial, dan kepedulian sosial; tergeser oleh
nilai-nilai baru seperti ke-aku-an, kebendaan, keserakahan,
keduniawian, efisiensi, dan persaingan serta konflik.
2. Meningkatnya jumlah penyandang berbagai kecacatan (fisik
dan mental) baik sebagai sertaan pertumbuhan penduduk
maupun sebagai akibat dari pelecehan lalu lintas, kecelakaan
kerja, serta gangguan mental akibat ketegangan jiwa.
3. Meningkatnya permasalahan ketelantaran (terutama psikis dan
sosial) anak yang disebabkan semakin meningkatnya
keterlibatan kerja (labour participation) pria dan terutama wanita dalam pekerjaan di luar rumah tangga, karier, serta
kepemimpinan di dalam masyarakat.
4. Meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial
dan penyimpangan perilaku, sebagai sertaan dari peningkatan
5. Meningkatnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia
lanjut, yang disebabkan oleh transisi demografik serta semakin
tingginya rata-rata harapan hidup; yang berpadu dengan
memudarnya nilai-nilai kekeluargaan serta meningkatnya
tuntutan kegiatan, yang mengakibatkan ketelantaran penduduk
usia lanjut.
6. Timbulnya akibat sampingan yang tidak diharapkan dari proses
dan keberhasilan pembangunan seperti peluberan biaya sosial
(social cost spill over), kesenjangan sosial, keresahan sosial, pergeseran nilai-nilai sosial.
7. Prevalensi bencana yang bersumber pada kondisi geografik,
geologik, dan geofisik Indonesia; demikian pula pada mentalita
masyarakat (fatalisme, keteledoran, kurang kewaspadaan, dan
kesiapsiagaan).
8. Masalah kemiskinan, yang menyangkut bukan semata-mata
penguasaan asset/sumber penghasilan dan tingkat penghasilan yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
layak, melainkan juga menyangkut mentalita seperti
kepasrahan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan yang
bersumber pada budaya kemiskinan.
Dengan mencermati definisi Johnson tentang Pekerjaan Sosial,
serta identifikasi kecenderungan masalah sosial seperti dikemukakan
oleh Holil Soelaiman tersebut tampak bahwa masalah sosial yang di
masa lampau diartikan sebagai masalah ‘sosial ekonomi’ yang bersifat
patologis, kini telah bergeser dan meluas ke arah masalah-masalah
Isu global masalah sosial tersebut di atas merupakan landasan
utama dalam membangun kerangka kebijakan dan program
pembangunan sosial di Indonesia. Masalah sosial yang semakin
kompleks, kini perlu didekati dengan berbagai disiplin, dan disiplin
ilmu yang utama adalah ilmu pekerjaan sosial. Pendekatan disipliner
dalam memahami masalah sosial sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan dan dinamika masyarakat dewasa ini. Hal ini didasarkan
pada kondisi obyektif, bahwa masalah sosial bersifat kompleks atau
multidimensional (multiple face of sosial problems).
Satu masalah sosial tertentu memiliki dimensi sosiologi,
psikologi, antropologi, ekonomi dan politik. Bahkan kompleksitas
masalah sosial terjadi disebabkan adanya interaksi yang kuat antar
masalah sosial itu sendiri. Dalam kehidupan nyata tidak sedikit masalah
sosial disebabkan oleh masalah sosial yang lain, atau mengakibatkan
terjadinya masalah sosial yang lain. Oleh sebab itu, seringkali
ditemukan pola jejaring masalah sosial yang sangat rumit dan tidak
mudah menemukan dari mana dimulai pemecahannya.
Pemahaman terhadap dimensi-dimensi masalah sosial ini sangat
penting dalam upaya menemukan akar masalah dan model-model
intervensi sosial yang tepat. Sebagaimana disampaikan oleh Profesor
Takahashi dari Jepang pada uraian sebelumnya, kalau dalam kehidupan
riil ada masalah, maka konsentrasi kita harus tertuju pada usaha
menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk dapat memecahkan masalah
2.
PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL DALAM
MENGATASI MASALAH SOSIAL
Dalam pemecahan masalah sosial, pekerjaan sosial merupakan
disiplin ilmu utama yang dikonstruksikan dari kehidupan nyata
masyarakat. Oleh karena itu, dewasa ini sudah tidak relevan lagi
mempermasalahkan peranan ilmu pekerjaan sosial dalam pembangunan
sosial. Sebaliknya, keberadaan ilmu pekerjaan sosial justru sangat
diperlukan karena memiliki relevansi dengan kondisi obyektif dinamika
masyarakat dengan segala akibatnya. Lebih lanjut ilmu pekerjaan sosial
akan memberikan kontribusi yang sangat nyata mulai dari analisis
masalah sampai pada menemukan kebutuhan strategis yang diperlukan
oleh masyarakat dalam mengatasi masalahnya.
Berbeda dengan ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan sosial
mengajarkan bagaimana mengembangkan art atau skill dalam
membangun relasi sosial dengan penyandang masalah maupun dengan
pemilik sumber daya sosial. Hal ini tentu tidak ditemukan oleh ilmu
sosial lain, karena mereka tidak berorientasi pada pemecahan masalah.
Adanya art atau skill ini menjadikan ilmu pekerjaan sosial sangat
dinamis dalam mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran,
perubahan sosial, dan dinamika masyarakat pada tingkat lokal,
nasional, regional maupun global.
Dengan demikian, sebagai ilmu terapan, ilmu pekerjaan sosial
memberikan jalan keluar yang realisitis dalam pemecahan masalah
sosial. Bersama-sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, ilmu pekerjaan
sosial dapat menemukenali masalah, kebutuhan dan potensi
masalah. Meskipun peran dan kontribusinya cukup nyata, namun ilmu
pekerjaan sosial masih belum sepenuhnya menjadi referensi dalam
penyelenggaraan program kesejahteraan sosial. Hal ini akan menjadi
persoalan jangka panjang, karena apabila hal ini terus berlanjut maka
pada saatnya nanti program kesejahteraan sosial akan kehilangan jati
diri dan fokus sasarannya.
KEGIATAN BELAJAR 2
1.
KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
Bagaimana agar kinerja wirausaha yang dijalankan semakin
memiliki dampak sosial yang besar, karena baik Muhammad Yunus
maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial lainnya tidak akan mengingkari,
bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens
dengan kemiskinan.
Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat
nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, gotong
royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira
(toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari
nilai-nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai-nilai-nilai
kearifan lokal ini semakin melekat pada diri masyarakat. Tidak
mengherankan apabila nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tidak
semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia
saja, melainkan juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang
Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai
sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi, dan
kerekatan hubungan dalam jaringan yang lebih luas tumbuh di antara
sesama pelaku ekonomi. Dengan kata lain, modal sosial yang ada dapat
ditingkatkan menjadi kegiatan kewirausahaan sosial. Seseorang dapat
termotivasi oleh permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (social problem), hingga muncullah inisiatif untuk menciptakan kegiatan yang mendatangkan manfaat sosial (social benefit) yang kemudian turut menumbuhkan manfaat ekonomi (economic benefit) sehingga berdirilah Social Enterprise atau lembaga kewirausahaan sosial.
Seorang wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang
untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi
pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan
keuntungan materi atau kepuasan pelanggan, melainkan bagaimana
gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi
masyarakat.
Dua setengah dekade lalu, Bill Drayton, pendiri dan CEO
Ashoka, memprakarsai konsep kewirausahaan sosial. Prinsipnya tidak
berbeda dengan kewirausahaan bisnis, bedanya kewirausahaan sosial
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Bagi Drayton ada dua
hal kunci dalam kewirausahaan sosial. Pertama, adanya inovasi sosial
yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat. Kedua,
hadirnya individu bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha (entrepreneurial), dan beretika di belakang gagasan inovatif tersebut. Jadi wirausaha
sosial adalah individu yang bervisi, kreatif, berjiwa pengusaha, dan
beretika, yang mampu menciptakan inovasi sosial dan mampu
dimaksud Bill adalah yang mampu menciptakan atau mengubah pola di
masyarakat sehingga dapat mengakar dan karenanya, hal itu dapat
berkesinambungan.
Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan
pakar di bidang kewirausahaan sosial menyatakan bahwa
kewirausahaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dalam
misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang lazim
berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial dapat meliputi
kegiatan: a) Yang tidak bertujuan mencari laba, b) Melakukan bisnis
untuk tujuan sosial, dan c) Campuran dari kedua tujuan sebelumnya,
yakni tidak untuk mencari laba, dan mencari laba, namun untuk tujuan
sosial.
Menjalankan kewirausahaan sosial sangat bergantung kepada
bagaimana isi dari gagasan yang ditawarkan, pada dasarnya agar
gagasan serta ide yang ditawarkan dapat diterima oleh masyarakat,
maka gagasan tersebut harus memiliki misi sosial di dalamnya
semata-mata hanya untuk membuat masyarakat dapat terbebaskan dari
permasalahan yang terjadi.
Arah dan jalur pengembangan kewirausahaan sosial yang
semakin berkembang, kemudian coba dipetakan oleh Bornstein (2004,
dalam Nicholls, 2008:14) seperti tergambar sebagai berikut:
a. Pengurangan kemiskinan melalui pemberdayaan, sebagai
contoh gerakan keuangan mikro
b. Penyediaan layanan kesehatan, mulai dari dukungan skala kecil
untuk mereka yang sakit mental sampai pada skala komunitas
d. Preservasi lingkungan dan kesinambungan pembangunan,
seperti projek energi hijau
e. Regenerasi komunitas, seperti asosiasi perumahan
f. Projek kesejahteraan, seperti pembukaan lapangan kerja bagi
pengangguran atau gelandangan serta proyek-proyek
penanganan alkohol dan obat terlarang
g. Kampanye dan advokasi, seperti promosi perdagangan yang
adil dan promosi hak asasi manusia
Contoh gemilang tentang kerja wirausahawan sosial adalah
bagaimana Muhamad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006, yang
dengan sistem kredit mikro yang lebih dikenal sebagai “Grameen
Bank”, telah membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, terutama
perempuan dan anak-anak, untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih
baik.
Selain buah kerja brilian Muhammad Yunus, David Bornstein
juga menceritakan puluhan kisah wirausahawan sosial lain, seperti
Fabio Rosa (Brasil) yang menciptakan sistem listrik tenaga surya yang
mampu menjangkau puluhan ribu orang miskin di pedesaan, Jeroo
Billimoria (India) yang bekerja keras membangun jaringan
perlindungan anak-anak telantar, Veronika Khosa (Afrika Selatan)
yang membangun model perawatan yang berbasis rumah (home-based care model) untuk para penderita AIDS yang telah mengubah kebijakan pemerintah tentang kesehatan di negara tersebut, dan banyak lagi tokoh
yang buah tangannya telah terasa langsung manfaatnya oleh
masyarakat.
Contoh praktik kewirausahaan sosial di Indonesia adalah upaya
(Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang bila memang
diterapkan dan dijadikan suatu terobosan besar bagi bangsa ini untuk
menciptakan kemakmuran, sangat mungkin bahkan sangat
menjanjikan. Indonesia dengan keadaan geografis dan topografi yang
memang sangat potensial untuk melakukan pembangunan PLTMH
secara masif. Dengan adanya PLTMH, masyarakat tidak disibukkan
dengan rumitnya maintenance untuk turbin, saluran, dan sebagainya yang lebih terkait teknis. Adapun manfaat yang luar biasa didapatkan
oleh masyarakat adalah bahwa mereka tidak perlu bergantung lagi pada
pemenuhan kebutuhan tenaga listrik dari PLN, juga terutama
pendapatan ekonomi masyarakat dapat terangkat.
2.
KEWIRAUSAHAAN
SOSIAL DALAM
MENGATASI MASALAH SOSIAL
Mengingat banyaknya masalah sosial, sebagai akibat dari
ketimpangan pembangunan ekonomi dan keterbatasan kemampuan
pemerintah mengatasi masalah sosial, merupakan tantangan yang
sangat nyata bagi dunia akademi, praktisi dan rohaniwan untuk
meningkatkan keterlibatan dalam mencari jalan keluar masalah sosial
yang terjadi di sekitar kita.
Demikian pun keadaannya dengan kewirausahaan, keberhasilan
berwirausaha sosial tidaklah identik dengan seberapa berhasil
seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena
kekayaan dapat diperoleh dengan berbagai cara, termasuk melalui
mental berusaha dengan tujuan sebesar-besarnya untuk mengatasi
masalah sosial yang terjadi, karena kewirausahaan sejatinya adalah
sebuah nilai (entrepreneurship value) yang perwujudannya harus didukung oleh semangat kewirausahaan (entrepreneurship spirit).
Proses kewirausahaan sosial, secara umum tidak banyak
berbeda dengan kewirausahaan biasa, namun demikian, terdapat
beberapa perbedaan yang membuat proses ini menjadi khas dan unik.
Berikut ini adalah penjelasannnya:
Berdasarkan tabel dimuka tampak sebuah kerangka kerja dari
kewirausahaan sosial. Salah satu pembeda utama dengan
kewirausahaan biasa (bisnis) adalah penyebab/penggeraknya. Pada
diagram di muka, terlihat bahwa kewirausahaan sosial antara lain
digerakkan oleh misi sosial, identifikasi peluang, adanya usaha ekstra
Antecendent
• Motivasi sosial/misi • Indentifikasi Peluang • Akses permodalan/funding • Banyaknya kuantitas pihak-pihak yang bersentuhan Entrepreneurial Orintatation • Keinovasioan • Keproaktivan
• Pengambilan resiko • Potensi agresi dalam
kompetisi
• Otonomi
Outcomes
• Penciptaan nilai
sosial
• Kesinambungan solusi
• Tingkat kepuasan
pihak-pihak yang bersentuhan Diagram 2.1
Kerangka Kerja Proses Kewirausahaan Sosial
untuk memperjelas kemungkinan akses kapital dan pihak-pihak
bersentuhan yang berpotensi saling mempengaruhi.
Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Motivasi sosial/misi
Ini adalah pembeda utama, dimana pada umumnya, sebuah
gerakan kewirausahaan dilakukan untuk hal-hal yang ditujukan pada
diri sendiri, seperti upaya untuk mensejahterakan pribadi maupun
aktualisasi diri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Lumpkin, dkk (2010:4)
yang menyatakan bahwa pertama, dan mungkin sebagai hal yang paling
signifikan, kewirausahaan komersial digerakkan oleh dorongan fokus
pribadi untuk peningkatan kesejahteraan diri atau usaha
mempekerjakan diri sendiri, di mana kewirausahaan sosial cenderung
untuk mulai dari fokus pihak lain atau aspirasi kolektif seperti
peningakatan kesejahteraan bersama, berbagi bersama atau
pengembangan masyarakat
Selanjutnya, perbedaan terletak pada usaha untuk
mengidentifikasi ‘masalah’ yang memiliki potensi untuk ‘diselesaikan’.
Pada kewirausahaan biasa, identifikasi biasanya lebih ditujukan pada
apa keinginan dari pasar, seperti produk yang bergensi, barang-barang
yang memudahkan dalam menjalankan kehidupan dan lain sebagainya.
Namun, dalam kewirausahaan sosial, identifikasi ‘sesuatu dalam
masyarakat yang dapat ditindaklanjuti’ menjadi sesuatu yang penting.
Artinya, inilah sesuatu yang unik, di mana suatu aktivitas
dimulai tidak dari jumlah profit yang ingin dikejar, melainkan identifasi
masalah yang dapat dipecahkan, ataupun potensi yang dapat
bertahan lama serta berbagai kebutuhan umum seperti kemiskinan,
kelaparan, air yang tidak bersih, pengangguran, transportasi,
pendidikan, hak asasi manusia dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa salah
satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah kemampuannya untuk
melihat ‘masalah’ sebagai ‘peluang’. Mereka melihat hal-hal yang
menurut kebanyakan pihak harus dijauhi, dalam konteks berwirausaha
sosial, hal tersebut justru dijadikan sebagai sesuatu yang mampu
digerakkan, dioptimalkan dan didayagunakan untuk manfaat sosial
yang besar. Ini seperti gerakan yang menantang arus umum, di mana
biasanya sebuah kewirausahaan digerakkan oleh aspek-aspek seperti
profitabilitas dan peningkatan perekenomian. Swedberg (2006:1)
menyatakan:
One of the most intersting advances in recent entrepreneurial thought is the idea that the notion of innovative or entrepreneurial behaviour, which was originally invented to deal exclusively with economic phenomena, is today also used to explain what happens in social or non-economic areas of society.
Berdasarkan uraian di muka, semakin jelas bahwa penggerak
utama kewirausahaan sosial, salah satunya adalah untuk mengatasi
permasalahan sosial.
2. Identifikasi peluang
Salah satu langkah yang krusial dalam kewirausahaan sosial
adalah identifikasi peluang. Brook (2009, dalam Lumpkin, 2010:5)
menyatakan bahwa agar sebuah kesempatan dapat diidentifikasi dalam
sebuah konteks sosial, maka perlu ada dua hal yang diperhatikan: (a)
untuk aktivitas kewirausahaan dan (b) Usaha yang ditujukan pada
masalah dan penyakit sosial harus dipertimbangkan sebagai sesuatu
yang bermanfaat bagi masyarakat. Artinya, bahwa usaha atau aktivitas
kewirausahaan sosial tidak dapat dilakukan secara serampangan dan
tanpa perencanaan yang baik. Adalah menjadi sebuah kebutuhan
bersama, di mana identifkasi masalah yang bertujuan untuk manfaat
sosial diselenggarakan dengan baik.
3. Akses permodalan/funding
Akses permodalan adalah sebuah masalah klasik bagi konteks
kegiatan atau keorganisasian, karena sangat sulit bagi sebuah aktivitas
atau organisasi dapat menjalankan misinya tanpa didukung oleh kapital
finansial. Oleh sebab itu, aspek ini dijadikan antesenden yang ketiga, di
mana sebagaimana layaknya kewirausahaan bisnis, kewirausahaan
sosial juga membutuhkan kapital finansial.
Pada faktanya, dalam tiga dekade terakhir ini, sektor non profit
telah semakin bergantung pada aktivitas komersial untuk membiayai
operasi mereka, dan juga mereka semakin tergantung pada kontribusi
yang bersifat caritas (Salamon, 2002 dalam Lumpkin 2010:6). 4. Pihak-pihak yang terkait (multiple stakeholders)
Stakeholder adalah individu atau organisasi yang dapat dipengaruhi atau mempengaruhi kemampuan organisasi dalam
mencapai tujuan-tujuannya (Freeman, 1984; Jones, 1995 dalam
Lumpkin 2010). Ada perbedaan antara stakeholder kewirausahaan sosial dan kewirausahaan bisnis atau pada konteks komersial dan
sosial. Pada konteks komersial, yang dapat dianggap sebagai
sosial jumlah stakeholder meliputi seperti yang dimiliki pada kewirausahaan bisnis, ditambah beberapa pihak lain, yaitu anggota
masyarakat yang terlibat, perangkat desa yang mendukung,
kelompok-kelompok yang menjadi sasaran program dan yang berpotensi menjadi
stakeholder bagi aktivitas kewirausahaan sosial. Artinya, lingkaran stakeholder kewirausahaan sosial, jauh lebih luas dan bervariasi dibandingkan kewirausahaan bisnis.
3.
CAPAIAN
DARI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
Berikut ini adalah beberapa capaian dari kewirausahaan sosial
seperti digambarkan oleh diagram di muka:
1. Nilai sosial (social value)
Nilai sosial dalam hal ini merupakan satu terminologi yang agak
sukar untuk didefinisikan. Dewey (1939, dalam Lumpkin 2011:5)
menyatakan bahwa secara umum penciptaan nilai sosial adalah hal-hal
yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara umum. Istilah nilai
sosial digunakan untuk membedakannya dengan istilah peningkatan
nilai ekonomi (economic value creation), yang cenderung membatasi diri pada ukuran pendapatan finansial.
2. Usaha pemuasan beragam stakeholder
Salah satu keunikan dari kewirausahaan sosial adalah bahwa
aktivitas ini memiliki banyak stakeholder. Stakeholder-nya tidak hanya pelanggan, pemasok, karyawan namun jauh lebih luas dari itu. Gerakan
kewirausahaan sosial dalam hal ini, juga memiliki anggota masyarakat,
sebagai stakeholder. Artinya, karena memiliki tujuan sosial yang lebih luas, maka sangat wajar jika kemudian gerakan ini memiliki jumlah
stakeholder yang lebih banyak. Hal ini tentu menuntut konsentrasi dan perhatian penuh dalam upaya peningkatan kepuasan stakeholder tersebut.
3. Kesinambungan solusi
Berdasarkan berbagai uraian di muka, tampak bahwa salah satu
tantangan terbesar bagi kewirausahaan sosial adalah kesinambungan
solusi. Wirausaha sosial (Prasojo dalam Bornstein, 2006) oleh Bill
Drayton digambarkan sebagai manusia yang tidak hanya puas memberi
‘ikan’ bagi si miskin, atau puas mengajari mereka ‘cara memancing’,
tetapi orang-orang yang terus berjuang, tanpa mengenal lelah,
melakukan perubahan sistemik –tidak sekedar memberi ‘ikan’ atau
‘pancing’, tetapi mengubah sistem ‘industri perikanan’ untuk
terciptanya keadilan dan kemakmuran lebih luas. Artinya bahwa,
semangat dari kewirausahaan sosial adalah solusi yang
berkesinambungan.
Lumpkin (2011:7) menyatakan bahwa ada dua
argumen/penjelasan terkait pentingnya kesinambungan yang perlu
diperhatikan, yaitu kesinambungan aktivitas dari perspektif sumber
daya (Dees dan Anderson 2003) dan institualisasi dari solusi perubahan
sosial (Mair and Marti, 2006). Artinya, berbicara tentang
kesinambungan berarti tidak hanya memberi perhatian pada
keberlanjutan solusi, namun juga sumber dayanya. David McClellan
(dalam Borstein, 2006:18) menyatakan bahwa mereka lebih
Terkait dengan praktik Pekerjaan Sosial dalam wujud
pelayanan-pelayanan sosial yang dapat diberikan, sudah semakin
dibutuhkan keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial dalam
masyarakat baik dalam keadaan masyarakat saat ini ataupun untuk arah
perkembangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa yang akan
datang. Masyarakat membutuhkannya, namun tidak mengetahui
kemana mencarinya. Saatnyalah para Pekerja Sosial menunjukkan jati
dirinya dengan karya-karya nyata dalam bentuk-bentuk pelayanan
sosial; tidak hanya untuk membantu pemecahan masalah, melainkan
menata sistem sosial masyarakat itu sendiri agar kondusif untuk
pengembangan diri warganya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, kewirausahaan sosial sebagai
suatu metode bagi seorang Pekerja Sosial memiliki keunikan dalam hal
penerapannya guna menyelesaikan masalah sosial, yaitu:
kewirausahaan sosial menggabungkan Social Objectives, Demokrasi, Enterpreuneurship, dan Business yang keempat hal tersebut menjadi suatu roda siklus prosedur pelaksanaan social enterprise. Ketika ada suatu permasalahan sosial, objektifikasi dilakukan guna melakukan
assessment terhadap masyarakat yang sedang dilanda masalah sosial. Demokrasi dilakukan ketika sampai pada tahap planning dan pre-treatment, segala bentuk masukan dan gagasan-gagasan mutakhir untuk melakukan pemecahan terhadap masalah sosial digabungkan.
Setelah itu ada enterpreuneurship, aspek ini digunakan lebih kepada tatanan mental para pengelola lembaga serta tahapan
pemecahan masalah sosial hingga bagaimana aspek kewirausahaan
terasimilasi ke dalam masyarakat yang memiliki masalah sosial tadi,
masyarakat yang memiliki masalah tadi, para wirausahawan sosial bisa
menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk kemudian
dilakukan empowerment. Terakhir, aspek business, aspek ini digunakan ketika dalam tatanan teknis prosedur pengelolaan lembaga, pengelolaan
value added untuk potensi-potensi lingkungan serta proses pembentukan mental disiplin pada lembaga yang dibentuk.
Jika masalah sosial sudah dipandang sebagai komoditas,
sehingga perlu ditumbuhkembangkan kata sebagian orang yang
diuntungkan karenanya, maka Pekerja Sosial harus mengajarkan
kepada semua orang bahwa upaya penanganan masalah sosial adalah
juga komoditas yang harus ditumbuhkembangkan. Dengan globalisasi
dunia dewasa ini, masalah sosial tidak hanya bersifat lokal, regional,
dan nasional; melainkan berskala internasional. Lebih jauh lagi,
sesungguhnya pemecahan masalah hanyalah bagian kecil dari praktik
Pekerjaan Sosial karena tujuan sesungguhnya adalah pengembangan
diri manusia (human investment).
Dalam kewirausahaan sosial hal yang paling penting dilakukan
adalah dalam hal pelaksanaan pengembangan diri dari masyarakat itu
sendiri, yaitu sikap mental para pelaksana dan bagaimana caranya agar
mental berusaha dan berjuang dapat embodied ke dalam objek sasaran program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Terlepas dari
betapa peliknya penyelesaian masalah bangsa ini, mudah-mudahan
kewirausahaan sosial dapat menjadi solusi alternatif yang dapat lebih
DAFTAR PUSTAKA
Bornstein, David, 2006, Mengubah Dunia; Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru, Jakarta : Kerjasama Yayasan Nurani Dunia dengan INSIST Press
Boyer, Robert, “Menanam Kembali Ekonomi ke Dalam Proses Sosial”, Jakarta: KOMPAS, Jumat, 14 Juli 2006.
Braun, Karen, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.
British Council, Skills for Social Entrepreneurs, www.britishcouncil.or.id
C. Korten, David, 1982, Pembangunan Berpusat pada Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
John Elkington & Pamela Hartigan, The Power of Unreasonable People: How Social Entrepreneurs Create Markets That Change the World Chapter 1: Creating Successful Business Models. USA: Harvard business school press.
Karen Braun, 2009, Social Entrepreneurship: Perspectives on an Academic Discipline. Theory in Action, Vol. 2, No. 2.
Kirdt – Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, 1993,
Understanding generalist Practice, Nelson-Hall Publishers: Chicago, USA.
Matin, Roger L. & Sally Osberg, 2007, Social Entrepreneurship: The Case for Definition, Leland Stanford Jr. University
Pincus, Allan dan Anne Minahan, 1973, Sosial Work Pratice: Model and Methode, Illinois – USA : FE Peacock Phubliser Inc.
Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Keluarga, Vol 6 Nomor 2, Puslitbang Kesejahteraan Keluarga, Jakarta.
TOPIK 2
KONSEP DASAR PEKERJAAN SOSIAL
KEGIATAN BELAJAR 1: Kesejahteraan Sosial, Sumber-sumber Kesejahteraan Sosial, fungsi-fungsi Kesejahteraan Sosial
KEGIATAN BELAJAR 2: Profesi Pekerjaan Sosial dan Pekerja Sosial
KEGIATAN BELAJAR 1
Konsep merupakan satu atau sekumpulan kata yang
mengandung satu gagasan. Beberapa konsep dasar akan dikemukakan
dalam bagian ini mengingat pengertian konsep-konsep tersebut dalam
lingkup bidang kesejahteraan sosial di Indonesia masih sangat beragam
tergantung sudut pandang yang merumuskannya.
1.
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Dengan menggunakan pengertian dasar dari konsep ‘sosial’
yang merupakan kata kunci dari konsep kesejahteraan sosial, yaitu
‘hubungan antar manusia’, maka konsep Kesejahteraan Sosial dapat
dipandang dari empat sisi, sebagai berikut:
1) Sebagai Suatu ‘Sistem Pelayanan Sosial’.
Elizabeth Wickenden (dalam Friedlander, 1974:4)
mendefinisikan Kesejahteraan Sosial, sebagai :” a system of laws, programs, benefits, and services which strengthen or assure provision for meeting social needs recognized as basic for the welfare of the population and for the functioning of the social order”.
(suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program,
pelayanan, dan bantuan; untuk menjamin pemenuhan kebutuhan
sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan
manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih
a. Konsep pelayanan sosial (bidang praktik Pekerjaan Sosial)
mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari
perundang-undangan sosial sampai kepada tindakan langsung
pemberian bantuan.
b. Konsep ‘Kesejahteraan Sosial’ berbeda dengan
‘kesejahteraan’. Terpenuhinya kebutuhan sosial
(kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar
bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik
dalam semua aspek kehidupan manusia).
c. Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti
terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik. Walter A. Friedlander mengemukakan bahwa kesejahteraan
sosial adalah: “Sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan
lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu
maupun kelompok dalam mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang
dapat memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga
dan masyarakat.” (Walter A. Friedlander, Introduction to Social Walfare, 2nd.ed., Prentice-Hall of India (private) Limited, New Delhi, 1967)
Bahkan karena begitu pentingnya upaya mewujudkan
kesejahteraan sosial, maka negara kitapun memiliki Undang-undang
yang secara khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-undang nomor 6
Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahtearan Sosial
kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang
diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan
batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri sendiri, keluarga, serta masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia
sesuai dengan falsafah negara kita, yaitu Pancasila.
Berdasar pada kedua pengertian kesejahteraan sosial tersebut di
atas, maka tak salah dan tak heran jika semua orang ingin hidupnya
sejahtera, dan bahkan salah satu tujuan penyelenggaraan negarapun
adalah ingin menyejahterakan rakyatnya.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan sosialpun sejatinya dilakukan oleh semua
pihak, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui
kebijakan dan program yang bermitra pelayanan sosial, penyembuhan
sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Gerakan membangun dan memberdayakan masyarakat
memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal
dan global. Istilah pembangunan kesejahteraan sosial yang dimaksud
secara sektoral merupakan bagian dari konsep pembangunan sosial
yang di Indonesia mencakup bidang pendidikan, kesehatan, perumahan
dalam arti luas.
Pembangunan kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai
pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
dan perlindungan (security capital) secara terintegrasi dan berkesinambungan. Kata kunci peningkatan modal ekonomi
masyarakat adalah tumbuhnya mata pencaharian (livelihood) yang memungkinkan mereka mampu memperoleh dan mengelola aset-aset
finansial dan material. Dengan demikian, pada gilirannya, mereka
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar
kemanusiaan yang layak dan berkelanjutan.
2) Sebagai Suatu Disiplin Keilmuan.
Sebagai suatu disiplin keilmuan, kesejahteraan sosial tidak
dapat (dan tidak mungkin) mengkaji semua aspek kehidupan manusia,
melainkan harus menentukan dan membatasi kajian (focus of interest) pada (hanya) satu aspek kehidupan manusia. Sebutan konsep ‘sosial’
dengan sendirinya telah membatasi sisi kajian ‘Ilmu Kesejahteraan
Sosial’ hanya terhadap aspek kehidupan sosial manusia dengan segala
perangkat sistem sosial dan dinamikanya.
Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan betapa mendasar
dan rumitnya masalah-masalah sosial di Indonesia dan betapa tidak
mungkinnya masalah-masalah tersebut ditanggulangi dengan sekedar
berbekal ’niat-baik’ di antara sesama warga masyarakat. Untuk
mengoperasionalkan ’niat-baik’ tersebut dibutuhkan suatu bidang
kajian keilmuan (ilmiah) yang akan mendasari suatu bidang keahlian
dalam praktiknya. Dari sudut ini, maka konsep kesejahteraan sosial
dipandang sebagai sebuah bidang kajian keilmuan yang ditujukan
untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan perubahan kehidupan
kehidupan sosial yang kondusif bagi upaya warga masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri.
Sebagai sebuah cabang disiplin keilmuan, maka kesejahteraan
sosial harus memiliki satu sudut kajian ---yang merupakan ’domain’
(wilayah) keilmuannya--- terhadap manusia sebagai objek kajiannya;
dalam perbandingan dengan cabang-cabang ilmu yang juga mengkaji
dan ’melayani’ manusia seperti psikologi, kedokteran, ekonomi,
hukum. Adapun sudut kajian yang membedakan bidang kesejahteraan
sosial dari bidang-bidang keilmuan lainnya terletak pada konsep
”sosial”, yang pengertian dasarnya adalah hubungan (interaksi)
antarmanusia.
3) Sebagai Suatu Keadaan Hidup.
Pengertian konsep kesejahteraan sosial yang telah digunakan
selama ini telah menjadikan batasan konsep tersebut menjadi rancu dan
kabur (out of focus) karena diartikan terlalu luas. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendefinisikan kesejahteraan sosial, sebagai berikut:
”Kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan yang sejahtera, baik secara
fisik, mental, maupun sosial; dan tidak hanya perbaikan-perbaikan dari
penyakit-penyakit sosial tertentu saja”.
Apabila dikaji, definisi tersebut di atas memiliki dua
kelemahan, yaitu:
a. Definisi konsep lebih luas daripada konsep yang didefinisikan.
Aspek sosial hanyalah salah satu bidang kehidupan manusia,
tetapi didefinisikan mencakup seluruh aspek kehidupan.
keahlian dan pendidikannya, seperti Pekerjaan Sosial, Pekerja
Sosial, pelayanan sosial, dan seterusnya.
Jika diajukan pertanyaan kepada orang sekarang, bagaimana
menggambarkan kesejahteraan sosial; rasanya banyak yang akan
menjawab dengan gambaran ’orang kaya’. Kesejahteraan (sosial)
dengan kemakmuran merupakan dua konsep yang sangat berbeda. Jika
keduanya dipandang sebagai kondisi kehidupan, misalnya; lalu
diajukan pertanyaan, menurut dokter (ilmu kedokteran), orang yang
sejahtera itu yang bagaimana? Jawabannya sering tersirat dalam tulisan
di meja resepsionis praktik dokter: ”Health is not everything, but without it, everything is nothing”. Ada lagi peribahasa jaman dulu “men zana in corpore sano” (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Tidak pelak lagi, bagi dokter, orang yang sejahtera adalah
orang yang sehat badannya (walaupun untuk jaman sekarang, sangat
tidak pasti sehat pula jiwanya).
Jika pertanyaan serupa diajukan kepada ahli ekonomi, maka
jawabannya, orang yang sejahtera adalah yang dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya, memiliki tabungan (saving), dan mungkin ditambah, memiliki utang (karena hanya yang memiliki jaminanlah
yang bisa berutang), makin besar utangnya makin sejahtera (seharusnya
makin besar zakatnya, makin sejahtera); dalam konteks ini
kesejahteraan dipertukargunakan dengan kemakmuran. Jika ditanyakan
pertanyaan yang sama kepada psikolog, maka jawabannya, orang
sejahtera itu adalah orang yang tidak mengalami gangguan mental
(jiwa).
Nah, jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Pekerja Sosial,
Sosial adalah “sosial”. Secara mendasar dan sederhana, kata sosial
berarti hubungan antarmanusia. Inilah fokus kajian dan penanganan
Pekerjaan Sosial, sebagai bidang keahlian primer dalam bidang
kesejahteraan sosial. Bagaimanapun sebuah ilmu, sebuah keahlian
harus memiliki fokus pada salah satu aspek tentang manusia; walaupun
dalam kenyataannya, manusia merupakan sebuah sistem yang sangat
sempurna yang tidak bisa dipilah-pilah, dipisah-pisah elemen-elemen
yang menjadikannya.
Skidmore and Thackeray (1988:21) sepakat dengan pandangan
tersebut: ”All profession take cognizance of the wholeness of individuals. However, because life is complex and science is specialized, each profession must confine itself to some aspect of human functioning as a focus of its efforts and activities”. Maka bagi para Pekerja Sosial, tidak bisa tidak, manusia yang sejahtera adalah
manusia yang mempunyai kemampuan menjalin interaksi yang baik
dengan sesamanya; artinya kebahagiaan dan ketidakbahagiaan manusia
terletak pada kualitas hubungannya dengan manusia-manusia lain;
bukan dilihat dari kekayaan, kesehatan, dan keadaan lain. Inilah esensi
dari kehidupan sosial yang terkandung dalam konsep silaturahmi.
Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
”Barangsiapa yang ingin untuk dilapangkan rejekinya dan
dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia suka bersilaturahmi”
(Riwayat Bukhari dan Muslim, dalam Ryadhus Shalihin, 1981:181)
artinya memutuskan silaturahmi akan menyulitkan dan mempersedikit
rejeki dan memendekkan umur.
inilah praktik pemberian bantuan mulai tumbuh (dengan ajaran zakat
dan shodaqoh). Ini pula yang kemudian menjadikan pengertian kata
sosial cenderung berarti shodaqoh, atau dalam istilah umum, derma.
Seorang yang berjiwa sosial artinya dermawan, suka bagi-bagi rejeki.
Maka dalam konteks masyarakat yang semakin lebih suka menerima
daripada memberi, mengambil daripada menyerahkan, dan ukuran
kesejahteraan adalah pemilikan harta; kata sosial menjadi semakin
tidak populer, menjadi bahkan menyebalkan, karena berarti ’tidak
kaya’. Diterapkan sebagai karakteristik sebutan sebuah profesi,
menyebabkan profesi berlabel kata sosial susah populer. Cape-cape,
jauh-jauh, mahal-mahal sekolah sampai ke perguruan tinggi, ujungnya
kok cuma jadi tukang derma? Kapan kayanya?
Mengacu kepada pengertian konsep sosial seperti telah
dikemukakan terdahulu, maka kesejahteraan sosial mengacu kepada
“keadaan antar hubungan manusia yang baik, artinya yang kondusif bagi manusia untuk melakukan upaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri”. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan beberapa hal, sebagai berikut :
a. Konsep ‘baik’ dalam antarhubungan manusia diukur dari
standar nilai-nilai sosial (social values) dan norma-norma (norms) yang melandasi tatanan kehidupan bermasyarakat dan perilaku warga masyarakat itu sendiri.
b. Konsep manusia, ditujukan baik kepada individu-individu,
maupun unit-unit sosial (kelompok, organisasi, maupun
masyarakat itu sendiri).
c. Bersifat kondusif, artinya bahwa hubungan sosial tersebut
yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap
warga masyarakat untuk berusaha mencapai kesejahteraan
hidupnya.
d. Memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, artinya setiap
warga masyarakat dimungkinkan untuk melakukan upaya
dengan kemampuannya sendiri untuk dapat memenuhi berbagai
kebutuhannya sendiri, tanpa ketergantungan kepada pemberian
dari manusia lain; jadi bukan berarti setiap warga masyarakat
hidup sendiri-sendiri, melainkan hidup dalam keadaan saling
membantu (saling mendukung) upaya warga masyarakatnya
sesuai dengan posisi dan peran masing-masing di dalam
masyarakat.
4) Sebagai Suatu Tatanan atau Ketertiban Sosial (Social Order).
Selaras dengan definisi Kesejahteraan Sosial pada point c)
terdahulu sebagai suatu tatanan atau ketertiban sosial, Kesejahteraan
Sosial didefinisikan dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor
6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
pasal 1 ayat 1, sebagai berikut :
a. Kesejahteraan Sosial dipandang sebagai suatu tatanan
masyarakat.
b. Tatanan masyarakat tersebut bersifat kondusif bagi setiap warga
negara untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
c. Adanya interaksi yang tidak terpisahkan dan saling mendukung
di antara setiap individu warga masyarakat dengan
masyarakatnya.
d. Landasan nilai bagi tatanan masyarakat adalah nilai-nilai dasar
sosial budaya masyarakat itu sendiri (untuk masyarakat
Indonesia, dirumuskan dalam sila-sila Pancasila).
Dengan demikian, fokus kajian Kesejahteraan Sosial sebagai
suatu disiplin ilmu adalah komponen sosial dari kehidupan manusia
(interaksi sosial). Karena itu, dilihat dari perspektif tersebut, maka
dalam tingkat makro, hubungan antarmanusia ini berwujud dalam
hubungan antargolongan atau antarkelompok, atau antarmasyarakat itu
sendiri. Wujud konsep Kesejahteraan Sosial adalah pengadaan dan
penataan berbagai kebijakan sosial, perencanaan sosial,
program-program, dan penyelenggaraan berbagai pelayanan sosial; dalam rangka
penataan masyarakat itu sendiri yang bersifat saling mendukung
dengan upaya warga masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
2.
SUMBER-SUMBER KESEJAHTERAAN SOSIAL
Kehidupan masnusia memiliki beragam kebutuhan yang mesti
memuaskan. Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari tempat tinggal,
perawatan kesehatan, keamanan, kesempatan untuk tumbuh kembang
secara emosional dan intelektual, hubungan dengan lainnya, dan
pemenuhan kebutuhan spiritual. Biasanya, beberapa kebutuhan tersebut
bisa dipenuhi melalui sumber-sumber personal, atau dalam keluarga dan
jaringan pertemanan. Tetapi ketika sumber-sumber tersebut tidak sesuai
(tidak diperoleh), kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi melalui
mekanisme kemasyarakatan.
Sistem kesejahteraan sosial adalah mekanisme pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kurangnya dan atau bahkan tidak adannya
sumber-sumber keuangan untuk menyediakan kebutuhan dasar tersebut
dikenal dengan kemiskinan. Pada tulisan ini akan melihat sumber-sumber
dan pelayanan-pelayanan yang tidak diarahkan lengsung kepada
penyediaan keuangan yang menjadi sumber individu-individu dan
keluarga agar mereka memfungsikan anggota masyarakat.
Hal tersebut akan berkaitan dengan dengan dua konsep, social support dan prevention. Pada tulisan ini juga akan mengungkapkan cara mengklasfikasi sumber-sumber tersebut secara berbeda melalui fungsi dan
kerangka kehidupan. Hal ini akan berkaitan dengan kondisi dan sikap yang
mempengaruhi ketersediaan dan yang menghambat pemanfaatan
sumber-sumber dan pelayanan bagi mereka yang membutuhkan. Isyu daya
1) Kebutuhan sumber-sumber
Dalam masyarakat kontemporer mekanismen yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Personal: diri sendiri, keluarga, teman, kolega kerja
b. Informal: penolong alami dalam masyarakat, kelampok kemandirian (self-help groups), kelompok masyarakat arus bawah (community grass-root groups), klub, dan kelompok lainnya yang berfungsi secara informal
c. Institusional: sekolah, rumah sakit, dan organisasi formal lainnya.
d. Kemasyarakatan: pelayanan, badan-badan, dan lembaga-lemabaga yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan khusus
masyarakat tertentu
Umumnya, orang pertama kali berupaya memenuhi kebutuhannya
dalam sistem sumber personal dan, jika hal tersebut tidak memungkinkan, bergerak ke sistem sumber informal, institusional, dan akhirnya sistem sumber kemasyarakatan (society). Sebagai contoh, jika seorang ayah mencari informasi mengenai bagaimana mengatasi disiplin anaknya, dia
pertama-tama mungkin akan membicarakan permasalahan tersebut dengan
anggota keluarga atau teman. Jika tidak memperoleh solusi atas masalah,
dia mungkin akan mencari pada suatu sumber informasi seperti halnya
suatu kelompok orang tua yang sama-sama memikirkan hal tersebut. Jika
hal tersebut tidak mungkin atau tidak juga memperoleh solusi, dia
mungkin kemudian membicarakan hal tersebut dengan seorang guru atau
ahli agama. Akhirnya, setelah semua upaya tersebut gagal, dia mungkin
akan mencari badan sosial yang menyediakan pelayanan konseling bagi
Perubahan sosial menggerakkan masyarakat kita dari ekonomi
subsisten pada suatu ketergantungan yang sangat tinggi pada uang untuk
membeli makanan, tempat tinggal, pakainan, dan keperluan lainnya.
Perubahan dalam hal bagaimana orang memenuhi kebutuhannya untuk
kepentingan sosialisasi, intelektual, dan pertumbuhan emosional, dan juga
untuk kepentingan kepuasan hubungan, dari ketergantungan terhadap diri
dan keluarga (kebersamaan) terhadap ketergantungan pada jaringan sosial
yang lebih luas dan pada provisi kemasyarakatan. Misalkan, satu keluarga
memiliki tanggung jawab yang besar akan sosialisasi dan pendidikan
anak-anak mereka; sekarang mereka tergantung tidak hanya pada provisi
pendidikan umum kemasyarakatan tetapi juga pada beberapa sumber
masyarakat informal dan formal untuk melakukan fungsi tersebut. Studi
antropologi mengungkapkan bagaimana individu-individu tergantung pada
keluarga dan dengan perkumpulan untuk memperoleh bantuan, dukungan
dan sumber-sumber lain. Studi tersebut juga memperlihatkan bagaimana
perubahan tersebut akan mengganggu pola-pola ketahanan dan kelemahan
kapasitas penyesuian diri individu.
Dengan perubahan-perubahan tersebut memunculkan
kebutuhan-kebutuhan atau pelayanan-pelayanan untuk membantu orang menghadapi
masalah keberfungsian sosial. Resources adalah apa yang individu-individu dan keluarga-keluarga butuhkan sehingga mereka mampu
melakukan peran dan tugas dibebankan terhadapnya oleh masyarakat dan
dapat mencapai kepuasan hidup secara layak. Services adalah sumber-sumber yang menuntut aktivitas yang dilakukan seseorang dalam sistem
kesejahteraan sosial.
sumber personal. Contoh, sebuah keluarga dengan dua orang anak yang
pindah sejauh seribu mil ke kota besar, di mana orang hanya mengenal
kolega-kolega kerjanya suami dan istri, tidak ada diantara mereka yang
memiliki anak-anak yang masih kecil. Salah seorang anaknya mulai sakit
parah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Keluarga tidak hanya
dihadapkan dengan masalah anak sakit tetapi juga kebutuhan akan
perawatan tambahan anak lainnya. Keluarga tersebut mungkin belum
mengembangkan jaringan pertemanan (persahabatan) personal melalui
tetangga, klub, atau perkumpulan agama kepada siapa mereka dapat
membutuhkan dukungan bantuan. Kedua orang tua tersebut telah
mengalami tekanan emosional dalam penyesuaian dengan pekerjaan dan
kehidupan barunya. Keluarga ini membutuhkan bantuan dari suatu badan
sosial dalam menghadapai situasi tersebut, karena mereka mengalami
ketidaksesuaian jaringan personal dan minim akan kontak dengan dengan
sumber-sumber informal dan sumber-sumber lainnya.
Karena sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan yang sesuai
tidak tersedia untuk keluarga tersebut, hal tersebut membahayakan
keberfungsian sosial mereka yang akan timbul. Hal tersebut mungkin
berbentuk ketidaksesuaian peran orang tua, disfungsi perkawinan, atau
ketidakmampuan untuk berfungsi di tempat kerja, makin menyurut.
Penurunan keberfungsian kemudian dapat mengarah pada kebutuhan akan
sumber-sumber yang mahal, seperti halnya biaya pemeliharaan, konseling
psikologi, atau pelayanan-pelayanan berjangka panjang. Permasalahan
tersebut dapat menimbulkan kemerosotan lebih jauh lagi baik
2) Rentang Sumber
Suatu rentang pelayanan dan sumber yang banyak adalah
dibutuhkan bagi seseorang atau keluarga untuk memperoleh level
keberfungsian sosial yang optimal dalam masyarakat Indonesia.
Perubahan kebutuhan-kebutuhan khusus dari waktu ke waktu dari suatu
masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada luasnya rentang
lingkupannya. Rentang kebutuhan terdiri dari:
a. Economic: Wilayah kebutuhan ini termasuk pelatihan kerja, konseling karier dan pencarian pekerjaan, konseling
masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, pelatihan dalam
mengelola keuangan dan perencanaan pensiun, serta informasi
mengenai di mana dan bagaimana memperoleh bantuan
keuangan. Dengan kata lain, dalam wilayah ini mencakup
pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber tersebut yang juga
memungkinkan individu mampu secara ekonomi memenuhi
kebutuhannnya sendiri atau memberdayakan mereka untuk
menemukan dan memanfaatkan cara-cara alternatif
memperoleh kebutuhan ekonomi.
b. Parenting: Wilayah ini terdiri dari konseling orang tua – anak; pelayanan dukungan bagi orang tua anak-anak dengan
kebutuhan khusus atau bagi orang tua yang tidak mampu untuk
melakukan peran orang tua secara mandiri; pelayanan
pendidikan difokuskan pada peran orang tua; dan perawatan
pengganti anak (day care atau foster care) bagi anak-anak yang membutuhkan secara paruh waktu atau penuh waktu di
memenuhi kebutuhan tanggung jawab keorang-tuaan atau
yan