• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL

Dalam dokumen PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL. (Halaman 142-147)

Prinsip-prinsip praktik Pekerja Sosial dan etika praktik merupakan landasan bagi seorang Pekerja Sosial dalam melakukan hubungan pertolongan dengan klien. Sikap yang harus dikembangkan oleh Pekerja Sosial saat melakukan hubungan dengan klien diantaranya adalah:

1. Acceptance merupakan prinsip Pekerja Sosial yang fundamental, yaitu dengan menunjukan sikap toleran terhadap keseluruhan dimensi klien (Plant, 1970). Hal ini berarti Pekerja Sosial dapat memahmai jalan berpikir klien, niai-nilainya, berbagai kebutuhannya, dan perasan-perasaannya. Pekerja Sosial menerima otentisitas klien dengan segala kelemahan dan kekuatan perilakunya secara bermartabat dan penuh penghargaan. Acceptance terhadap klien berimplikasi pada terbangunnya kekuatan klien serta memunculkan potensi untuk tumbuh dan berkembang (Biestek, 1975)

2. Nonjudgemental, berarti Pekerja Sosial menerima klien dengan apa adanya tanpa disertai prasangka atau penilaian. Hal tersebut bukan berarti Pekerja Sosial sepakat atau menerima nilai-nilai klien untuk diri Pekerja Sosial sendiri, melainkan menerima klien dengan segala keadaannya, menilai klien sebagai manusia dengan latar belakang sejarahnya sendiri, tidak menilai perilakunya, dan tidak memaksakan nilai-nilai yang dimiliki oleh Pekerja Sosial terhadap

bebas dari klien untuk membuka dirinya tanpa merasa takut diinterupsi atau dikritisi, sehingga klien memiliki kesempatan mengembangkan kesadaran dirinya untuk merekonstruksi sikapnya. Terdapat beberapa langkah untuk mewujudkan sikap nonjudgemental, yaitu:

a. Langkah pertama untuk menghindari proses penilaian (judgement), yaitu mencoba melihat ”dunia” dari kacamata klien. Dengan melakukan hal ini, maka Pekerja Sosial akan dapat mengerti motivasi-motivasi klien atau latar belakang klien dalam berperilaku. Setelah Pekerja Sosial mengenal dunia kien dengan pernak-pernik kehidupannya, kita akan mengerti penyebab klien menampilkan perilakunya.

b. Untuk bersikap non judgemental tidaklah mudah terutama bagi Pekerja Sosial pemula. Hal ini disebabkan karena kemungkinan munculnya konflik nilai yang dialami oleh Pekerja Sosial ketika berhadapan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh klien. Ada resiko ketika konflik ini terjadi, yaitu Pekerja Sosial mengalami kebingungan, sehingga fokus Pekerja Sosial terhadap persoalan klien terganggu. Apabila kurang hati-hati hubungan yang terjadi antara Pekerja Sosial dengan klien akan digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik nilai yang dialami Pekerja Sosial daripada menyelesaikan persoalan klien.

c. Untuk menghindari terjadinya konflik nilai, Pekerja Sosial harus terlebih dahulu mengerti diri dan nilai-nilai apa saja yang dimilikinya. Melalui pemahaman sistem nilai yang diyakininya, mengerti diri dengan lebih baik, serta

menyadari keniscayaan relativitas perspektif, maka seseorang tidak akan merasa terancam oleh pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya, serta dengan mengakui adanya perbedaan antarmanusia, maka sikap nonjudgemental akan lebih mudah untuk dilakukan.

d. Menjalankan prinsip nonjudgemental bukan berarti Pekerja Sosial tidak dapat membuat keputusan apapun. Prinsip ini hanya ditujukan agar Pekerja Sosial tidak berprasangka, menyetujui ataupun tidak menyetujui sikap serta perilaku klien. Pada pekerjaannya Pekerja Sosial tetap membuat penilaian profesional mengenai solusi alternatif dan pendekatan pemecahan masalah yang tepat (DuBois & Miley, 1992).

3. Individualisasi, berarti memandang dan mengapresiasi sifat unik dari klien (Biestek, 1957). Setiap klien memiliki karakteristik kepribadian dan permasalahan yang unik, yang berbeda dengan setiap individu yang lain. Masing-masing dari mereka dibentuk oleh pengalaman, kebutuhan, situasi, dan pengetahuannya. Dengan demikian Pekerja Sosial tidak dapat menggeneralisasi persoalan yang sama pada klien yang berbeda. Mulailah dengan memandang klien “yang saat ini dan di sini” (here and now).

4. Self Determination, ialah memberikan kebebasan mengambil keputusan oleh klien. Penting bagi kien untuk memilih keputusan yang tepat menurut dirinya sendiri. Ia kemudian dapat menguji keputusan tersebut dan belajar dari

pengalamannya sendiri daripada belajar mempercayai “kebijaksanaan” Pekerja Sosial.

5. Genuine/congruence, berarti Pekerja Sosial sebagai seorang manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Misalnya seperti contoh berikut ini: hanya ada seorang Mia meskipun ia memiliki banyak peran; ia seorang ibu, Pekerja Sosial, dosen, juga sebagai teman, kakak, pelanggan, penulis, dan sebagainya. Perilaku Mia akan berbeda pada setiap situsi dan peranan di atas. Ketika Mia melakukan hubungan person to person dengan klien dalam peranannya sebagai seorang Pekerja Sosial, maka ia adalah bagian dari keseluruhan dirinya tersebut. Tidak perlu berpikir bahwa hubungan Anda sebagai seorang Pekerja Sosial dengan klien merupakan pekerjaan yang luar biasa serius, berat, dan kaku. Jadilah diri Anda yang asli dan alami, sertakan semua bagian diri Anda yang otentik dalam berhubungan dengan klien, sepeti humor, suka bersenang-senang, sifat kekanak-kanakan disamping sifat serius. Bagian-bagian kepribadian Anda akan memperkaya proses terapi melalui hubungan Anda dengan klien. Selain itu Anda tidak perlu repot-repot merekayasa perilaku Anda (merekayasa citra), sehingga konsentrasi dan perhatian Anda sebagai seorang Pekerja Sosial menjadi teralihkan ke dalam urusan diri Anda sendiri daripada memandang persoalan yang dihadapi oleh klien.

6. Mengontrol keterlibatan emosional, berarti Pekerja Sosial mampu bersikap objektif dan netral. Pekerja Sosial harus dapat

membedakan mana tanggung jawab dirinya dan mana tanggung jawab klien dalam memecahkan masalahnya. Mengontrol respon emosional dapat dilakukan dengan menghindari sikap simpati, serta mengedepankan sikap empati. Biestek (1957) menyarankan tiga hal yang harus dilakukan oleh seorang Pekerja Sosial dalam mengontrol respon emosional terhadp klien, sebagai berikut: pertama, kepekaan terhadap perasaan yang terekspresikan maupun yang tidak. Tetaplah waspada dan mengontrol penuh perasaan-perasaan Anda. Kedua, memahami pengetahuan tentang perilaku manusia, dan ketiga, respon emosional harus dikendalikan oleh tujuan-tujuan rasional serta pengetahuan. Memahami keadaan serta respon-respon klien sebagai hal yang wajar akibat dari situasi yang dialaminya, juga dapat membantu menghindari keterlibatan secara emosional. 7. Kerahasiaan (confidentiality), Pekerja Sosial harus menjaga

kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan klien, pendapat professional lain atau catatan-catatan kasus mengenai diri klien. Dengan demikian, klien akan merasa nyaman mengungkapkan masalahnya. Kerahasiaan ini merupakan bagian dari etika dalam praktik Pekerjaan Sosial.

KEGIATAN BELAJAR 3

Dalam dokumen PENGANTAR PEKERJAAN SOSIAL. (Halaman 142-147)