SKRIPSI
AKIBAT HUKUM DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH TOKO DENGAN OBJEK RUMAH SUSUN
MEGA AYU RATNASARI NIM. 031111044
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
2015
iii
Motto :
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan juga ridho yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dalam Skripsi ini Penulis
mengkaji “AKIBAT HUKUM DALAM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL
BELI RUMAH TOKO DENGAN OBJEK RUMAH SUSUN”.
Tulisan ini penulis buat karena ketertarikan penulis akan hukum perumahan dan rumah susun terutama berkaitan dengan jenis pengaturan yang memiliki kriteria tertentu dalam menyelesaikan sengketa dalam hal melakukan suatu perjanjian tertutama perjanjian jual beli .
Tidak penulis pungkiri bahwa penulis menemui banyak kesulitan didalam penulisan skripsi ini. namun dengan dorongan dari berbagai pihak membuat penulis merasa terpacu untuk tidak pernah berputus asa sehingga proses penulisan skripsi ini pun dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, memberi nasihat dan semangat serta doa kepada :
1. Allah SWT yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik Alam Jagat Raya. Tuhan yang telah memberikan kasih sayang yang tidak terhingga kepada Penulis yang selalu memberikan kemudahan dan kesehatan dari menyelesaikan skripsi, Terima kasih atas segala nikmat, kesempatan, dan mukjizat yang selama ini dberikan oleh-Nya kepada penulis dalam menjalani tiga setengah tahun yang luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
2. Kedua orang tuaku tercinta, Sumedi SKM.,MM. dan Rahayu Sulistyarini S.E. yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis sehingga penulis bisa berhasil mencapai impian menjadi Sarjana Hukum yang tidak terduga sama sekali. Terimakasih atas kasih sayangnya, motivasinya serta perhatian mama dan bapak kepada Penulis
3. Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta segenap jajaran Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga
4. Dr.Agus Sekarmadji ,S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Dr.Sri Winarsi,S.H.,M.H., selaku ketua tim Penguji, Dr.Urip Santoso,S.H.,M.H., dan Indrawati, S.H.,LL.M. selaku anggota tim penguji terima kasih atas saran dan masukan yang membangun.
6. Terima kasih kepada Bapak Faizal Kurniawan S.H., LL.M. selaku dosen wali yang selalu baik kepada penulis.
7. Terima kasih kepada seluruh dosen fakultas hukum Universitas Airlangga yang telah mendidik dan membagi ilmunya kepada saya selama berkuliah disini
8. Kedua adikku, Meninha Dira Rachma dan Mera Amellinda Jane terimakasih atas dorongan semangatnya.
9. Terima kasih kepada Breindy Pember Kantrisna baik waktu, tenaga, dan materi yang selalu memotivasiku.
10. Terima kasih untuk teman-teman SKI dan M.Y.M.A yang telah menjadi bagian dari kelurga kecilku di Surabaya. Terutama untuk rezhi, erisa, aza, novi, rani, ike, radit, abdu, juan, dan afri telah menjadi sahabat, teman dan keluarga selama kuliah disini.
Akhir kata penulis ingin mengucapkan bahwa, “tiada kesempurnaan selain milik Allah SWT”, sehingga tentunya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, untuk itu segala masukan akan sangat berharga untuk memberikan pengembangan bagi skripsi ini. Semoga apa yang penulis dapat memberikan manfaat bagi semua orang.
Surabaya, 2 Maret 2015 Penulis,
vii
melakukan jual beli dengan objek bangunan. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah rumah dan rumah susun. Undang-Undang telah mengatur bahwa jenis rumah dan rumah susun berbeda. Karena dalam rumah susun terdapat akta pemisahan. Oleh sebab itu, perjanjian jual beli rumah tidak bisa disamakan dengan rumah susun karena sertifikat yang dikeluarkan berbeda. Oleh karena itu , perlu diperhatikan dalam penerbitan sertifikat hak atas kepemilikan antara rumah dengan rumah susun karena menimbulkan akibat hukum dari objek yang diperjanjikan sebelumnya.
Kata kunci : rumah toko, rumah susun, perjanjian
Legal effect in a binding purchases agreement houses store with object apartements
Abstract
A binding purchases agreement is agreement for sale and purchases with object builds. This an object is houses store and apartement. The law been regulate that types of houses store and apartement different. Because apartement have “akta pemisahan”. However, a binding and purchases agreement houses store can’t to same with apartement because certificates to out different too. Must consider in the issuance of the certificate of ownership rights over the houses store with apartement for the legal consequences of objects previously agreed .
Key words : houses store, apartement, agreement
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
HALAMAN PERSETUJUAN...iii
HALAMAN MOTTO...iv
KATA PENGANTAR...v
ABSTRAK...vii
DAFTAR ISI...viii
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah...1
2. Rumusan Masalah...7
3. Tujuan Penulisan...7
4. Metode Penelitian...7
4.1 Pendekatan Masalah...8
4.2 Sumber Bahan Hukum...9
4.3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum...10
4.4 Analisa Bahan Hukum...10
BAB II PERBEDAAN ANTARA RUMAH TOKO DAN RUMAH SUSUN
2.1 Pengertian dan tujuan Pembangunan rumah toko dan rumah susun...12
2.2 Persyaratan pembangunan rumah toko dan rumah susun...17
2.3 Hak atas tanah yang dapat dibebani oleh rumah toko dan rumah susun dan jenis status kepemilikannya...24
2.4 Izin yang diperlukan dalam pembangunan rumah toko dan rumah susun...27
2.5 Sistem jual beli antara rumah toko dan rumah susun...35
BAB III KEABSAHAN DAN AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) ATAS UMAH TOKO DENGAN OBYEK SATUAN RUMAH SUSUN
3.1 Syarat sah perjanjian menurut Burgelijk Wetboek...49
3.2 Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut Hukum Tanah
Nasional...55
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...58
4.2 Saran...59
DAFTAR BACAAN
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) bahwa “ bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Seiring berkembangnya suatu teknologi dan
kebutuhan masyarakat akan kebutuhan primer yaitu papan ( tempat tinggal) tidak
harus dibangun secara horizontal. Hal ini guna mencegah keterbatasan tanah yang
ada. Tidak jarang, terjadi perebutan tanah tempat bermukim maupun untuk usaha
menimbulkan sengketa antar masyarakat terutama di kota-kota besar.
Di pinggir perkotaan lahan-lahan yang produktif untuk kegiatan pertanian
maupun perkebunan berubah fungsi menjadi tanah perindustrian, perkantoran atau
bahkan menjadi pusat perbelanjaan. Jika hal ini tidak dapat dihentikan maka
terjadi banyak masalah di berbagai aspek kehidupan. Jika pembangunan tersebut
dibiarkan secara horizontal, maka akan menghabiskan pengeluaran biaya
pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana serta utilitas kota yang lebih
mahal. Masyarakat akan menanggung beban transportasi yang mahal dan
kemacetan yang luar biasa akan terjadi.
Dengan intensitas transportasi yang meningkat membuat biaya hidup di kota
semakin mahal bagi penghuninya. Salah satu upaya untuk mengurangi
baik untuk hunian atau non hunian yang manfaatnya akan mengurangi
penggunaan tanah dan memperpendek jaringan prasarana dan utilitas kota.
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau didalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus1,
oleh sebab itu bangunan gedung termasuk bentuk dari rumah yang digunakan oleh
masyarakat.
Rumah dibedakan menjadi 5 (lima) jenis yaitu2 :
- Rumah komersial, yaitu rumah yang diselenggarakan dengan tujuan
mendapatkan keuntungan
- Rumah swadaya, yaitu rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya
masyarakat
- Rumah umum, yaitu rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah
- Rumah khusus, yaitu rumah yang diselenggaraka untuk memenuhi
kebutuhan khusus
1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134),Ps 1 (1). Selanjutnya disebut UU No.28 Tahun 2002
2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188). Selanjutnya disebut UU No.1 tahun 2011
3
- Rumah negara, yaitu rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang
pelaksanaan tugas pejabat dan/ atau pegawai negeri.
Salah satu jenis rumah yang dibutuhkan masyarakat adalah rumah dan toko,
merupakan sebutan bangunan-bangunan bertingkat di Indonesia biasanya terdiri
dari beberapa lantai, dimana lantai yang bawah biasanya digunakan untuk
kegiatan usaha dan lantai paling atas digunakan sebagai tempat tinggal. Ruko ini
dapat ditemui di kota-kota besar dan biasanya ditempati oleh orang-orang
kalangan menengah3. Pembangunan rumah dan toko ditujukan agar seluruh rakyat
Indonesia menempati rumah dan toko sesuai dengan dengan perencanaan tata
ruang kota, aman ,serasi dan teratur4.
Selain itu, pembangunan rumah susun juga mulai berkembang seiring
bertambahnya jumlah penduduk yang ada di kota-kota besar. Ridwan Halim
menyatakan bahwa :
“ Dengan pembangunan rumah susun, sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak mungkin orang. Melalui pembangunan rumah susun, optimasi penggunaan tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimasi penggunaan tanah secara horizontal5”.
3 Syam Rizky Puruhita, Perubahan Perjanjian Jual Beli Rumah Toko Secara Sepihak Oleh
Developer (Pengembang),Skripsi,Fakultas Hukum Universitas Airlangga,Surabaya,2007,h.2
4Siswono Judohusodo, Rumah untuk seluruh rakyat, INKOPOL, Unit Percetakan
Bharakerta, Dalam Yuridika Vol.18 No.4 Juli 2003, Jakarta, 1991, h.27
Sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun6 bahwa Rumah susun dapat dibangun diatas tanah hak milik ,hak
guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara, dan hak guna bangunan atau hak
pakai di atas hak pengelolaan. Dalam hal pengembang berbentuk Perseroan
Terbatas, maka salah satu alas hak atas rumah susun yang dimungkinkan yaitu
dalam bentuk Hak Guna Bangunan.
Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun bahwa
pembangunan rumah umum maupun komersial dapat dilaksanakan oleh setiap
orang, lembaga nirlaba dan badan usaha. Bagi pembangunan rumah susun
komersial wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Di Indonesia di kenal beberapa tipe rumah susun antara lain 7:
a. Rumah susun mewah yang penghuninya sebagian besar tenaga kerja asing
b. Rumah susun golongan menengah yang dihuni masyarakat berpenghasilan
menengah ke atas
c. Rumah susun sederhana yang dihuni oleh masyarakat golongan
berpenghasilan menengah dan rendah.
d. Rumah susun murah yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah ke
bawah.
Dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai rumah toko dan rumah
susun yang mana memiliki pengaturan yang berbeda. Rumah toko merupakan
6
Selanjutnya disebut UU No.20 Tahun 2011
7 Urip Santoso, Pengaturan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dalam Hukum Nasional,
Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Vol.18,No.4, Juli 2003,h.328
5
rumah yang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha dan menghasilkan
keuntungan. Banyak kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam rumah toko
antara lain CV (Comanditaire Venootschap) , Firma atau UD (Unit Dagang).
Seiring perkembangan jaman, rumah toko dibuat layaknya rumah bertingkat
yang mana hampir mirip dengan rumah susun. Biasanya dibuat hingga tiga sampai
empat lantai. Hal ini dilakukan oleh pengembang guna efesiensi tempat dalam
melakukan kegiatan ekonomi bagi calon pembeli. Namun dalam transaksinya jual
beli rumah toko sama halnya dengan jual beli rumah pada umumnya. Adanya
sertipikat hak milik atas tanah dan bangunannya serta akta-akta yang berkaitan
dengan tanah dan bangunan tersebut.
Berbeda dengan rumah susun, disini rumah susun memiliki pengaturan
yang berbeda. Rumah susun hanya dapat dijual belikan berdasarkan satuan rumah
susun saja, tidak dengan tanah dan benda di sekitar satuan rumah susun. Karena
adanya pertelaan yang memisahkan antara tanah bersama, benda bersama dan
bagian bersama. Transaksi jual beli antara rumah toko dengan rumah susun juga
berbeda. Jual beli antara rumah toko dan rumah susun dapat melalui perjanjian
pengikatan jual beli dimana hal ini dilakukan sebagai perjanjian pendahuluan
sebelum terjadi pelunasan. Perjanjian pengikatan jual beli dapat dilakukan apabila
pembeli belum mampu melunasi pembelian tersebut dan memberikan sejumlah
uang yang dimiliki sebagai uang muka atau uang tanda jadi. Biasanya, calon
pembeli melakukan perjanjian jual beli tersebut karena merasa tertarik dengan
Dalam kasus ini, pengembang menawarkan rumah toko kepada calon
pembeli dan tertarik untuk memiliki rumah toko yang ditawarkan oleh
pengembang. Calon pembeli dan pengembang sepakat untuk melakukan jual beli
karena rumah yang ingin dibeli oleh pembeli belum selesai dibangun. Pembeli
hanya diberi gambar oleh pengembang sebagai metode promosi penjualan. Oleh
sebab itu, untuk melindungi kepentingan para pihak dibuatkan perjanjian
pengikatan jual beli. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum
kepada pembeli agar rumah yang dipesan tidak dijual lagi tanpa sepengetahuan
dari pembeli dan pembeli dapat melunasi pembayaran pembelian secara berkala
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Perjanjian pengikatan jual beli juga
memberikan kepastian hukum bagi pengembang yaitu obyek yang dijualbelikan
sudah laku dengan dibuatkannya perjanjian jual beli. Bila nanti pembeli tidak
sanggup membayar lunas, maka pengembang dapat menjual kembali rumah
tersebut kepada pembeli yang lain.
Setelah terjadi pelunasan ternyata pengembang memberikan sertifikat strata
title yang merupakan sertifikat satuan rumah susun. Pengembang berdalih bahwa
pengembang hanya menjual toko saja bukan rumah toko. Padahal dalam
perjanjian dan promosi tersebut pengembang mengatakan menjual rumah toko
berseta tipe-tipe rumah yang ditawarkan. Padahal yang diperjanjikan dalam jual
beli tersebut adalah rumah toko bukan tokonya saja. Tentu saja pembeli tidak mau
menerimanya karena merasa dirugikan oleh pengembang.
7
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah-masalah
sebagai berikut:
a. Apakah karakteristik antara rumah toko dengan rumah susun?
b. Apakah akibat hukum dari perjanjian pengikatan jual beli bagi pengembang
dan pembeli apabila objek yang diperjanjikan tidak sesuai dengan yang
disepakati?
3. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui perbedaan antara rumah toko dengan rumah susun mulai
dari pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang terkait
hingga prosedur jual beli.
b. Untuk mengetahui akibat hukum dari perjanjian pengikatan jual beli yang
tidak sesuai dengan objek yang diperjanjikan dan kebasahan perjanjian
pengikatan jual beli menurut hukum tanah nasional
4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif, sebagaimana yang ditulis oleh Peter Mahmud
Marzuki8 bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi.
Oleh karena itu, pilihan metode penelitian ini berkaitan dengan peraturan
perundang - undangan yang berkaitan dengan hukum rumah susun. Selanjutnya
Metode Penelitian berawal dari pendekatan masalah hingga analisis bahan hukum
dengan penjabaran dan penjelasan sebagai berikut :
4.1 Pendekatan Masalah
Berdasarkan dengan adanya penulisan skripsi ini, maka penulis
menggunakan beberapa pendekatan masalah sebagai berikut :
1. Statute Approach, yaitu dilakukan dengan menelaah Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yang bersangkutan dengan isu hukum yang dihadapi
dengan mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan
perundang-undangan tersebut, pendekatan peraturan perundang-undangan
adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rumah toko
dan rumah susun.
2. Conceptual Approach, yaitu metode pendekatan yang dilakukan dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dengan Ilmu Hukum sehingga menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep Hukum, dan
asas-asas hukum terkait dengan Isu Hukum yang dihadapi dan dijadikan
sandaran dalam membangun argumentasi hukum dengan memecahkan isu
hukum yang dihadapi.
3. Case Study, merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai
aspek hukum9 . Dengan studi kasus ini, diharapkan penulis mendapatkan
9Ibid.h.134
9
data yang akurat berdasarkan fakta materiil yang ada sehingga dapat
menpertajam analisa dan hasil penelitian.
Dengan menggunakan kedua metode pendekatan tersebut, penulis dalam
penulisan skripsi ini akan melakukan pengkajian mendalam mengenai peraturan
perundang-undangan antara lain :
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria,
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman,
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung,
- Burgerlijk Wetboek ( BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1988 Tentang Rumah Susun,
- Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
- dan peraturan yang berkaitan lainnya
4.2 Sumber Bahan Hukum
Adapun dalam penelitian ini adalah prosedur penelusuran atau
menginventaris bahan hukum, baik hukum primer maupun bahan hukum
sekunder. Morris L. Cohen menyatakan bahwa hukum primer akan terdiri dari
berbagai jenis peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan,
kepustakaan dalam bidang hukum maupun bidang yang terkait termasuk
didalamnya pandangan-pandangan dari Ilmuwan Hukum10.
Bahwa bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan adalah :
- Bahan hukum primer : BW (Burgelijk Wetboek) , Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman, dan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
- Bahan hukum sekunder : buku-buku tentang hukum agraria, perumahan dan
rumah susun, makalah, jurnal, catatan kuliah, dan seminar.
4.3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang penulis lakukan dalam
penyusunan skripsi ini melalui prosedur identifikasi dan inventarisasi
bahan-bahan hukum yang terkumpul tersebut kemudian dipelajari dan dilakukan
klasifikasi secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
4.4 Analisa Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang telah penulis peroleh sebagaimana dikemukakan
pada bagian sebelumnya, kemudian penulis menganalisis sumber bahan hukum
tersebut dengan metode interpretasi. Intepretasi yang digunakan ialah intepretasi
gramatikal yang merupakan upaya untuk menemukan arti dari suatu naskah
undang-undang dan interpretasi sistematis yang merupakan cara penafsiran yang
dilakukan dengan menghubung - hubungkan suatu ketentuan atau aturan dengan
10 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Mandar Maju,Jakarta,1999, hal. 167
11
aturan yang lain, baik aturan-aturan yang dikaitkan itu berada dalam
undang-undang yang sama atau tidak dengan maksud memperoleh suatu pemahaman yang
utuh.
5. Pertanggung Jawaban Sistematika
Penulisan Pertanggung jawaban sistematika ini dimaksudkan untuk
memudahkan dalam mengetahui secara menyeluruh uraian singkat tentang tulisan
ini, yang mana sistematika penulisan ini terdiri dari empat bab.
Bab I, dalam Bab ini penulis membahas tentang latar belakang
permasalahan, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode penelitian. Hal
tersebut diletakkan dalam Bab I karena berisikan landasan-landasan pemikiran
dan fakta-fakta hukum yang mendasari penulisan ini yang juga menjadi pedoman
bagi penulisan di Bab-Bab selanjutnya, sehingga akan menjadi kesatuan yang
utuh.
Bab II, akan membahas mengenai perbedaan antara rumah toko dengan susun. Mulai dari pengertian, karakteristik dan tujuan, dan prosedur jual beli antara rumah toko dan rumah susun.
Bab III akan membahas akibat hukum apabila dalam perjanjian pengikatan
jual beli tidak sesuai dengan objek yang diperjanjikan dan keabsahan perjanjian
pengikatan jual beli menurut hukum tanah nasional.
Bab IV merupakan penutup yang merupakan akhir dari penulisan skripsi ini.
Pada bab ini terdapat kesimpulan serta sumbangan pemikiran berupa saran
terhadap pokok permasalahan yang dibahas, diharapkan dapat dipergunakan untuk
tambahan referensi di bidang hukum agraria terutama dibidang hukum perumahan
12 BAB II
PERBEDAAN ANTARA RUMAH TOKO DAN RUMAH SUSUN
2.1 Pengertian dan Tujuan Pembangunan Rumah Toko dan Rumah Susun
Rumah berdasarkan Pasal 1 angka 7 pada UU No. 1 Tahun 2011 adalah bangunan
gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal layak huni, sarana pembinaan keluarga,
cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Terkait
pengertian rumah tersebut, telah diatur dalam pasal 21 UU No. 1 Tahun 2011 bahwa
terdapat perbedaan jenis rumah berdasarkan pelaku pembangunan dan penghuniannya
yaitu rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya,rumah khusus, dan rumah negara.
Dengan adanya landasan hukum yang memberikan pengertian dan pembedaan
jenis rumah maka rumah toko termasuk dalam jenis rumah komersial. Karena
pengertian dari rumah komersial dalam pasal 1 angka 8 UU No. 1 Tahun 2011 adalah
rumah yang dibangun untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Mengenai bentuknya, rumah toko biasanya dibangun dengan beberapa
lantai diatas tanah. Menurut Urip Santoso, bentuk rumah dibedakan berdasarkan
hubungan antar bangunan. Bentuk rumah meliputi1 :
a. Rumah tunggal
Rumah tunggal merupakan rumah yang memiliki kaveling sendiri dan slah satu dinding
bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.
1 Urip Santoso, Hukum Perumahan, Kencana Prenadamedia Group,Jakarta,2014,h.53
b. Rumah deret
Rumah deret merupakan beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan
menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi
masing-masing mempunyai kaveling sendiri.
c. Rumah susun
Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional baik
secara horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dimiliki
dan digunakan secara terpisah. Terutama untuk tempat hunian dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Hal ini dilakukan guna efesiensi tempat dan biaya pembangunan. Dalam pasal 16
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebut (UUPA)
,hak atas tanah dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak gunan bangunan, hak
pakai,hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan.
Pembangunan rumah dapat dilakukan di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, baik
tanah negara maupun di atas tanah pengelolaan dan hak pakai atas tanah negara
berdasarkan pasal 43 ayat (1) UU No.1 tahun 2011. Cara pemilikan rumah dapat
melalui membangun rumah di atas tanah haknya sendiri, membeli rumah milik orang
lain, mendapatkan hibah berupa rumah, melakukan tukar menukar rumah,
memenangkan lelang rumah, mendapatkan warisan berupa rumah2. Mengenai
2 Urip Santoso, Materi Kuliah Hukum Perumahan dan Permukiman, Universitas
pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa
membahayakan dan mengganggu fungsi hunian.
Pengertian rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 UU No.20 Tahun 2011
dinyatakan bahwa :
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Istilah rumah susun pada jaman sekarang sangatlah beragam . Mulai dari
Condominium, apartemen, strata title maupun bangunan bertingkat. Penggunaan
kata-kata sepeti itu hanya merupakan suatu peristilahan saja. Condominium adalah istilah
hukum yang digunakan di Amerika Serikat dan sebagian provinsi Kanada. Co berarti
bersama-sama dan dominium berarti kepemilikan. Di Australia dan provinsi British
Columbia di Kanada disebut strata title3. Strata title dapat diartikan sebagai hak atas
lapisan yaitu hak seseorang atau pihak untuk dapat memiliki tanah atas bangunan orang
lain4.
Dalam fungsinya dapat digunakan secara horizontal maupun vertikal dan tetap
tunduk pada hukum rumah susun. Dilihat dari fungsi fisiknya merupakan bangunan
yang memiliki lantai lebih dari satu. Pada rumah susun ada hak yang bersifat
3http://id.wikipedia.org/wiki/Kondominium. diakses :18 November 2014 pukul.18.42
4 Eman Ramelan dkk, Problematika Hukum Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dalam
Pembebanan Dan Peralihan Hak Atas Tanah, LaksBang Grafika dan Andy Institute, Surabaya, 2012, h.5
perseorangan dan hak bersama. Dimana penguasaannya diletakkan dasarnya pada pasal
4 ayat (1) UUPA yaitu :
Atas dasar hak menguasai dai negara sebagai yang dimaksuda dalam pasal 2 ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Tujuan pembangunan rumah susun adalah :
a. menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan
permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya;
b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan
permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
c. mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh;
d. mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan
produktif;
e. memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan
masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan
dan permukiman yang layak, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah;
f. memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah susun;
g. menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama
harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan
permukiman yang terpadu; dan
h. memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan
kepemilikan rumah susun.
i. Sehingga tujuan yang ideal yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pembangunan
rumah susun adalah memberikan kepastian hukum bagi calon pembeli rumah susun
dan membantu pemerintah untuk mengoptimalkan sumber daya untuk menciptakan
tempat tinggal yang layak dan pembangunan perekonomian yang berpenduduk padat
seperti kota – kota besar. Sehingga tersedianya ruang terbuka hijau untuk lingkungan
yang padat penduduk5.
Sehingga tujuan dibangunnya rumah toko dan rumah susun adalah untuk
menghemat pengeluaran negara dalam rangka penggunaan tanah secara horizontal
dengan membangun bangunan secara vertikal namun tetap tunduk pada hukum tanah
nasional. Selain itu, dengan adanya rumah toko dan rumah susun memudahkan
masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha karena tidak terlalu memakan banyak
tempat dan lebih menghemat pengeluaran. Bagi masyarakat yang bukan pengguna atau
pemilik rumah toko atau rumah susun mendapatkan lebih banyak ruang untuk kegiatan
lainnya karena penghematan tanah yang digunakan.
5
Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108),Ps.3.
2.2 Persyaratan Pembangunan Rumah Toko dan Rumah Susun
Dengan adanya UU No. 1 Tahun 2011 menjadikan pembangunan rumah
berdasarkan kepentingan bagi masing-masing pihak yang membutuhkan memiliki
landasan hukum. Dalam konsideran UU No. 1 Tahun 2011 bahwa negara bertanggung
jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta memanfaatkan
rumah sebagai tempat untuk melakukan segala kegiatan sehari-hari. Pembangunan
rumah dikembangkan berdasarkan tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi tiap
daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan. Pembangunan
rumah toko sama dengan pembangunan rumah pada umumnya. Yang membedakan
adalah dari sisi kepentingan.
Persyaratan dalam pembangunan perumahan harus memenuhi beberapa
persyaratan antara lain :
a. Persyaratan teknis merupakan persyaratan yang meliputi struktur bangunan,
keamanan, keselamatan, kesehatan dan kenyaman yang berhubungan dengan
rancang bangun.
b. Persyaratan administratif merupakan persyaratan yang meliputi Izin usaha, izin
lokasi, peruntukan tanah, status hak atas tanah, dan Izin Mendirikan Bangunan
c. Persyaratan ekologis merupakan persyaratan yang meliputi keserasian dan
keseimbangan lingkungan antara lain analisis dampak lingkungan
Dengan memenuhi persyaratan tersebut, pengembang dapat membangun rumah sesuai
Adanya UU No.20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun telah memperkenalkan
adanya lembaga kepemilikan sebagai hak kebendaan yaitu adanya Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang terdiri dari hak perorangan atas satuan rumah
susun, tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama yang merupakan kesatuan
dari rumah susun6. Konsep dasar yang melandasi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
adalah kepemilikan suatu benda baik perorangan dan bersama pada bagian tertentu
dalam suatu kesatuan jenis kepemilikan. Dalam kepemilikan satuan rumah susun perlu
memenuhi beberapa persyaratan antara lain adalah persyaratan teknis dan persyaratan
administratif yang telah diatur dalam Pasal 6 UU No.16 tahun 1985 yang mana telah
diubah ke UU No.20 tahun 2011 yang telah dijabarkan lebih rinci tanpa ada
pengelompokan persyaratan teknis maupun administratif. Dalam Pasal 4 UU No.20
Tahun 2011 dijabarkan bahwa lingkup pengaturan Undang- Undang Rumah susun
antara lain :
a. pembinaan;
b. perencanaan;
c. pembangunan;
d. penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan;
e. pengelolaan;
f. peningkatan kualitas;
g. pengendalian;
h. kelembagaan;
6 Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen,Sinar Grafika,Jakarta,2012,h.198
i. tugas dan wewenang;
j. hak dan kewajiban;
k. pendanaan dan sistem pembiayaan; dan
l. peran masyarakat.
Namun dalam Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun7
masih menggunakan Undang-Undang rumah susun yang lama yaitu UU No.16 Tahun
1985 yang mana masih menggunakan persyaratan teknis dan persyaratan administratif
dalam pembangunan rumah susun. Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain :
Persyaratan teknis mengenai ruangan diatur dalam pasal 11 PP No.4 tahun 1988
meliputi pencahayaan yang cukup dan pertukaran udara yang sesuai dengan
persyaratan yang berlaku.
Persyaratan teknis untuk struktur, komponen, dan bahan bangunan diatur dalam
pasal 12 dan pasal 13 PP No.4 Tahun 1988 yang sesuai dengan persyaratan
konstruksi yang berlaku seeperti kuat dan tahan terhadap segala bahaya yang
dapat menimbulkan kerugian
Persyaratan teknis untuk kelengkapan rumah susun berupa bagian bersama, benda
bersama, lokasi rumah susun diatur dalam pasal 14 sampai pasal 22 PP No.4
Tahun 1988 . mengenai kelengkapan rumah susun setidaknya mempunyai saluran
dan/ atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap
kebersihan, kesehatan, dan kemudahan; tempat untuk kemungkinan pemasangan
jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya; alat transportasi yang berupa
tangga, lift atau eskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang
berlaku; pintu dan tangga darurat kebakaran; tempat jemuran; alat pemadam
kebakaran; penangkal petir; alat/ sistem alarm; pintu kedap asap pada jarak - jarak
tertentu; generator listrik disediakan untuk rumah susun yang menggunakan lift.
Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift,selasar, harus
mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan yang berlakudan benda bersama
harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan
yang berlaku.
Persyaratan teknis untuk kepadatan dan tata letak bangunan diatur dalam pasal 23
dan pasal 24 PP No.4 Tahun 1988 merupakan optimasi daya guna dan hasil guna
tanah, sesuai dengan fungsinya, dengan memperhatikan keserasian dan
keselamatan lingkungan sekitarnya dan penetapan batas pemilikan tanah bersama,
segi - segi kesehatan, pencahayaan, pertukaran udara, serta pencegahan dan
pengamanan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan penghuni, bangunan,
dan lingkungannya berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku
Persyaratan teknis untuk prasarana dan fasilitas lingkungan diatur dalam pasal 25
sampai pasal 28 PP No.4 Tahun 1988 meliputi fasilitas umum yang dapat
menunjang fungsi lain dari rumah susun antara lain jaringan distribusi air bersih,
gas, dan listrik dengan segala kelengkapannya termasuk kemungkinan
diperlukannya tangki - tangki air, pompa air, tangki gas, dan gardu - gardu listrik;
saluran pembuangan air hujan yang menghubungkan pembuangan air hujan dari
rumah susun ke sistem jaringan pembuangan air kota; saluran pembuangan air
limbah dan/ atau tangki septik yang menghubungkan pembuangan air limbah dari
rumah susun ke sistem jaringan air limbah kota, atau penampungan air limbah
tersebut ke dalam tangki septik dalam lingkungan; tempat pembuangan sampah
yang fungsinya adalah sebagai tempat pengumpulan sampah dari rumah susun
untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan sampah kota, dengan
memperhatikan faktor-faktor kemudahan pengangkutan, kesehatan, kebersihan,
dan keindahan; kran-kran air untuk pencegahan dan pengamanan terhadap bahaya
kebakaran yang dapat menjangkau semua tempat dalam lingkungan dengan
kapasitas air yang cukup untuk pemadam kebakaran; tempat parkir kendaraan
dan/atau penyimpanan barang yang diperhitungkan terhadap kebutuhan penghuni
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya sesuai dengan fungsinya; jaringan
telepon dan alat komunikasi lain sesuai dengan tingkat keperluannya.
Sedangkan persyaratan administratif dinyatakan dalam pasal 1 angka 6 Peraturan
Pemerintah No.4 tahun 1988 tentang rumah susun meliputi Perizinan usaha dari
perusahaan pembangunan rumah susun, izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan izin
layak huni8.
Dalam sistem satuan rumah susun dikenal dengan adanya :
a. Bagian bersama, merupakan bagian dari rumah susun yang digunakan secara
bersama baik fungsi dan bentuknya yang tidak terpisah.
8 Eko Yulian Isnur, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah,Pustaka Yustisia,
b. Benda bersama, merupakan benda yang bukan bagian dari rumah susun yang
digunakan secara bersama
c. Tanah bersama, merupakan tanah yang digunakan atas hak bersama secara tidak
terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun.
d. Pertelaan, merupakan uraian mengenai batas - batas yang jelas dari setiap satuan
rumah susun baik secara horizontal dan vertikal , yang merupakan bagian tertentu
dari gedung, termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang
didalamnya mengandung nilai perbandingan proporsional9.
e. Nilai Perbandingan Proposional (NPP) merupakan angka yang menunjukkan
perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan luas dan nilai satuan
rumah susun yang bersangkutan ,terhadap luas atau nilai bangunan rumah susun.
f. Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS) adalah entitas yang penting dan
memiliki peran yang besar dalam sebuah rumah susun karena dalam penyerahan
pertama pemilik harus membentuk Persatuan Penghuni Rumah Susun sebagai
badan hukum dalam menyelesaikan masalah hukum dalam rumah susun yang
dihuni.
Nilai perbandingan proporsional sangat penting artinya bagi pemilik satuan rumah
susun karena nilai perbandingan proporsional mencerminkan hak dan kewajiban
pemilik satuan rumah susun atas pemilikan bagian, benda dan tanah bersama,hak dan
9
Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman,Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal.16
kewajiban dalam pemeliharaan dan pengelolaan rumah susun serta hak suara (voting
right) dalam Persatuan Penghuni Rumah Susun (PPRS).
Sedangkan pertelaan merupakan titik awal dimulainya proses hak milik atas
satuan rumah susun. Dari pertelaan tersebut akan muncul satuan - satuan rumah susun
yang terpisah secara hukum dengan rumah susun dan hak atas tanah bersamanya
melalui proses pembuatan akte pemisahan.
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam membangun rumah toko maupun rumah
susun hampir sama. Namun yang membedakan adalah adanya Nilai perbandingan
proposional dimana syarat ini merupakan syarat mutlak untuk menentukan batas-batas
antara kepemilikan pribadi maupun kepemilikan secara bersama. Pembangunan rumah
toko tidak memerlukan nilai perbandingan proposional karena seluruhnya merupakan
milik pribadi secara keseluruhan. Selain itu, adanya persatuan penghuni rumah susun
diman merupakan perkumpulan pemilik satuan rumah susun yang dapat melakukan
perbuatan hukum dalam menentukan nilai perbandingan proposional atau
menyelesaikan sengketa antar penghuni satuan rumah susun.
2.3 Hak Atas Tanah yang Dapat Dibebani Oleh Rumah Toko dan Rumah Susun Beserta Jenis Status Kepemilikannya
Sebelum melakukan pembangunan rumah, pihak penyelenggara pembangunan
rumah harus menetapkan lokasi dan status hak atas tanah yang akan dibangun rumah.
Pihak penyelenggara pembangunan rumah bisa warga negara Indonesia, orang asing
yang berkedudukan di Indonesia, Badan Hukum berupa Perseroan Terbatas maupun
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Kantor Pemerintahan10. Pembangunan rumah
pada umumnya dibangun berdasarkan status hak atas tanah . menurut Pasal 43 ayat (1)
UU No.1 Tahun 2011 ,jenis hak atas tanah yang dapat dibebani oleh pembangunan
rumah adalah hak milik, hak guna bangunan, baik tanah negara maupun di atas tanah
pengelolaan dan hak pakai atas tanah negara. Hak atas tanah tersebut juga berlaku
dalam pembebanan bangunan rumah susun yang diatur dalam pasal 17 UU No.20
Tahun 2011.
a. Hak Milik
Rumah toko yang memiliki hak atas tanah berupa hak milik merupakan hak yang
terkuat, terpenuhi dan dapat bersifat turun temurun. Karena hak tersebut tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuhi berarti
hak milik memiliki wewenang yang luas dibanding hak –hak yang lain seperti dapat
disewakan kepada orang lain.
Subyek hak milik adalah warga negara Indonesia sehingga warga negara asing
atau warga berkenegaraan ganda ( warga negara Indonesia dan asing) tidak mempunyai
hak untuk menjadi subyek hak milik. Selain itu, badan hukum tertentu dapat memiliki
hak milik atas tanah antara lain Bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.
Hak milik dapat diperoleh melalui hukum adat , penetapan pemerintah dengan
cara melakukan permohonan kepada Kantor Pertanahan setempat, atau berdasarkan
ketetapan Undang-Undang. Hak milik dapat beralih dan dialihkan dengan cara jual beli,
hibah, tukar menukar ,melalui pemberian wasiat sehingga hak milik beralih.
10Ibid,h.81
b. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya selama jangka waktu tertentu. Dalam pasal
36 UUPA yang menjadi subyek Hak Guna Bangunan adalah warga negara Indonesia
dan badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.
Ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan yaitu tanah
negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Untuk tanah negara, hak guna
bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk . Untuk tanah hak pengelolaan ,hak guna bangunan dapat diberikan dengan
keputusan pemberian hak atas oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang hak pengelolaan. Tanah hak milik yang dibebani hak guna bangunan dapat
melalui pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT
(Pejabat Pembuat Akta Tanah). Setiap pemberian hak guna bangunan wajib didaftarkan
di kantor pertanahan setempat.
Jangka waktu hak guna bangunan yang berasal dari tanah negara dan tanah hak
pengelolaan paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama dua puluh tahun. Permohonan perpanjangan atau pembaharuan dapat
dilakukan pendaftaran paling lambat dua tahun sebelum jangka waktu berakhir.Jangka
waktu hak guna bangunan yang berasal dari hak milik adalah tiga puluh tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan kesepakatan antar para pihak.
Hak guna bangunan dapat beralih dengan cara jual beli, tukar menukar,
c. Hak pakai
Hak pakai diatur dalam pasal 41 sampai pasal 43 UUPA. Hak pakai adalah hak
untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanh yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian
sewa menyewa atau perjanjian penyewaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini11.
Subyek hak pakai adalah warga negara Indonesia, badan hukum yang
berkedudukan di Indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia, departemen, lembaga
pemerintah non departemen, pemerintah daerah,badan keagamaan dan sosial, orang
asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan
yang berkedudukan di Indonesia, perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional.
Jangka waktu hak pakai atas tanah negara dan tanak hak pengelolaan memiliki
jangka waktu selama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang sesuai yang
diperlukan dengan tanah yang sama dan digunakan untuk keperluan tertentu. Keperluan
tertentu hanya dapat digunakan oleh departemen, lembaga pemerintahan non
departemen, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan
internasional, badan keagamaan dan badan sosial.
11
Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043),Ps.41(1)
Jangka waktu untuk hak pakai atas hak milik paling lama dua puluh lima tahun
dan tidak dapat diperpanjang lagi. Setelah jangka waktu berakhir, para pihak harus
sepakat membuat hak pakai baru yang didaftarkan di kantor pertanahan setempat.
Beralihnya hak pakai dapat berupa jual beli, tukar menukar, warisan, hibah, dan
penyertaan modal.
Semua hak-hak tersebut dapat dibebani hak tanggungan. Hak tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Sehingga dalam pembangunan rumah toko dan rumah susun semua hak atas tanah
yang melekat pada bangunan tersebut dapat dibebani oleh hak tanggungan.
Pembangunan rumah susun dengan hak atas tanah yang dibebani tidak menjadi milik
perorangan atau pribadi oleh pemilik rumah susun. Karena terdapat tanah bersama
sehingga tanah tersebut tidak dapat dibagi-bagi. Jadi, yang dapat dimiliki oleh pemilik
rumah susun adalah kepemilikan atas satuan rumah susun atau apabila menyewa rumah
susun berupa sertifikat kepemilikan bangunan gedung atas satuan rumah susun.
2.4 Izin yang Diperlukan Dalam Pembangunan Rumah Toko dan Rumah Susun
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan atau pengembang dalam rangka
aspek penguasaan tanah dan tata guna tanah meliputi hak serta penguasaan tanah,
penilaian fisik tanah, tanah serta kemampuan tanah (Pasal 6 Ayat 1 Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999). Izin lokasi diberikan oleh Kepala Kantor
pertanahan kota atau kabupaten setempat. Pengembang harus meminta izin lokasi ke
Pemerintah Daerah dengan melampirkan :
- Akta pendirian perusahaan
- Nomor Pokok Wajib Pajak
- Gambar kasar atau sketsa tanah yang dibuat oleh pemohon
- Keterangan tentang letak, luas, dan jenis tanah (kebun/ sawah) yang dimohon
- Pernyataan bermaterai tentang kesediaan untuk memberikan ganti kerugian bagi
pemilik tanah yang terkena rencana proyek pembangunan rumah toko atau rumah
susun
- Uraian rencana proyek yang akan dibangun disertai analisis dampak lingkungan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1987.
- Perolehan Hak Atas Tanah12
Setelah mendapatkan izin lokasi , penyelenggara pembangunan rumah toko atau
rumah susun dapat memperoleh tanah-tanah hak tersebut dengan meminta persetujuan
dahulu dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Perolehan tanah yang
ditempuh dalam teorinya adalah melalui jual beli, tukar menukar atau pelepasan hak
atas tanah. Tetapi dalam praktiknya hanya dapat dilakukan pelepasan hak atas tanah
12 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group,
2010,h.87-89
karena tanah yang diperlukan adalah tanah yang memiliki status hak milik. Prosedur
jual beli atau tukar menukar hak atas tanah dapat dilakukan melalui 4 tahap :
1. Adanya kesepakatan mengenai harga dan tanah yang menjadi objeknya antara
pemilik tanah dengan penyelenggara pembangunan rumah toko atau rumah susun
2. Pembuatan akta jual beli atau tukar menukar yang dilakukan oleh PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah)
3. Pendaftaran pemindahan hak di kantor pertanahan kota atau kabupaten setempat
4. Kepala Kantor pertanahan kota atau kabupaten melakukan perubahan nama
pemegang hak
Jika perolehan hak atas tanah melalui pelepasan hak maka prosedurnya adalah :
1. Melakukan musyawarah antara pemegang hak dan pihak yang memerlukan tanah
2. Adanya kesepakatan dalam musyarawah
3. Pelaksanaan penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dibuat dengan akta notaris
atau surat pernyataan serta diberikan uang ganti kerugian
4. Permohonan pemberian hak atas tanah kepada Kepala BPN dengan
pengaturannya didalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No.9 tahun 1999
5. Penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang pengaturannya diatur
dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No.3 tahun 1999.
6. Pendaftaran surat keputusan pemberian hak atas tanah oleh penyelenggara
pembangunan rumah susun di Kantor pertanahan kota atau kabupaten setempat.
Setelah semua dilakukan maka diterbitkannya sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan
Setelah melakukan pendaftaran tanah, pemilik tanah harus memiliki izin
mendirikan bangunan (IMB). Pengertian Izin Mendirikan Bangunan dalam Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis yang berlaku. Penerbitan IMB dilakukan berdasarkan ktentuan
peraturan yang berlaku di setiap daerah. Di Surabaya , penerbitan IMB dilakukan oleh
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) berdasarkan Peraturan Walikota Surabaya
No.28 Tahun 2007 tentang Organisasi Pelayanan Terpadu Satu Atap. Tata cara
pemberian izin mendirikan bangunan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman pemberian izin mendirikan bangunan antara
lain:
- Pemohon Izin Mendirikan Bangunan mengajukan kepada bupati atau walikota
- Permohonan Izin Mendirikan Bangunan berupa bangunan gedung yang berfungsi
sebagai kegiatan usaha, karena berupa rumah toko atau rumah susun
- Melengkapi persyaratan administrasi berupa :
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah;
b. data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);
c. data pemilik bangunan;
d. surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;
e. surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun
berkenaan; dan
f. dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan, atau
upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi
yang terkena kewajiban
- Dan melengkapi persyaratan teknis berupa :
a. gambar rencana/arsitektur bangunan;
b. gambar sistem struktur;
c. gambar sistem utilitas;
d. perhitungan struktur dan/atau bentang struktur bangunan disertai hasil
penyelidikan tanah bagi bangunan 2 (dua) lantai atau lebih;
e. perhitungan utilitas bagi bangunan gedung bukan hunian rumah tinggal; dan
f. data penyedia jasa perencanaan.
Jika surat Izin Mendirikan Bangunan telah didapatkan maka pemilik Izin
Mendirikan Bangunan harus melaporkan Izin Mendirikan Bangunan untuk kegiatan
usaha kepada Kantor Kelurahan setempat.
Apabila rumah toko tersebut digunakan sebagai perusahaan maka dapat disebut
perusahaan kecil, karena Perusahaan yang dijalankan adalah perusahaan yang diurus,
dijalankan, atau dikelola oleh pribadi, pemiliknya sendiri, atau yang mempekerjakan
hanya anggota keluarganya sendiri. Perusahaan yang tidak diwajibkan memiliki izin
usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh
memenuhi keperluan nafkah sehari-hari pemiliknya. Namun apabila dihendaki untuk
kepentingan tertentu, tetap dapat mengajukan permohonan pendaftaran perusahaan
tersebut.
Setiap Perusahaan yang melakukan usaha perdangangan wajib untuk memilki
SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan). Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2009, terdapat pengecualian kewajiban
memiliki SIUP terhadap Perusahaan Perdagangan Mikro dengan kriteria:
a. Usaha Perseorangan atau persekutuan;
b. Kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota
keluarga terdekat; dan
c. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,- tidak termasuk tanah
dan bangunan.
Namun, Perusahaan Perdagangan Mikro tetap dapat memperoleh Surat Ijin Usaha
Perdagangan (selanjutnya disebut SIUP) apabila dikehendaki oleh Perusahaan tersebut.
Permohonan SIUP ini diajukan kepada Pejabat Penerbit SIUP dengan
melampirkan surat permohonan yang ditandatangani oleh Pemilik/Pengurus Perusahaan
di atas materai yang cukup serta dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam Lampiran
II Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2007.
Setiap pemilik rumah toko wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
dalam melakukan kegiatan usaha. Pengaturan mengenai NPWP bagi pelaku usaha diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 167/PJ/2003 tentang Perubahan
ketiga atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 515/PJ./2000 tentang
Tempat pendaftaran bagi wajib pajak tertentu dan tempat pelaporan usaha bagi
pengusaha kena pajak tertentu.
Setelah mendapatkan IMB, SIUP dan NPWP, maka pemilik rumah toko wajib
memiliki izin gangguan. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 27 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Izin Gangguan adalah pemberian izin
tempat usaha atau kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat atau
kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Penerbitan izin gangguan di Surabaya dilakukan berdasarkan Peraturan Walikota
Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Pelayanan Terpadu Satu Atap.
Pembangunan rumah toko dan rumah susun membutuhkan izin-izin tersebut.
Mulai izin lokasi, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), SIUP, dan Izin Gangguan.
Perbedaannya adalah dalam pembangunan rumah susun diperlukan izin layak huni atau
sertifikat laik fungsi sebelum rumah susun tersebut digunakan sebagai tempat usaha.
Izin layak huni adalah izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setelah diadakan
pemeriksaan terhadap rumah susun yang telah selesai dibangun berdasarkan ketentuan
yang berlaku13. Namun didalam UU No.20 tahun 2011 tentang rumah susun bahwa
istilah yang digunakan bukan izin layak huni lagi melainkan sertifikat laik fungsi.
13 www.hukumproperti.com/ aspek hukum perizinan yang diperlukan pengembang rumah susun.
Walaupun menggunakan peristilahan yang berbeda, namun penggunaannya tetap
sama14. Dalam pasal 39 UU No.20 tahun 2011 tentang Rumah susun dinyatakan bahwa:
1) Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada
bupati/walikota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah
susun sepanjang tidak bertentangan dengan IMB.
2) Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur.
3) Pemerintah daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan
pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pada penjelasan pasal 39 ayat (1) UU No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun
bahwa pengertian “laik fungsi” adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan
rumah susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan
keandalan bangunan rumah susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam IMB.
Izin layak huni berguna untuk menjamin keselamatan, ketertiban,keamanan, serta
adanya kepastian bahwa rumah susun tersebut telah selesai dibangun dan memiliki
kepastian hukum bagi penghuni rumah susun tersebut.
Walaupun telah selesai syarat-syarat teknis maupun administratif dalam
pembangunan rumah susun, yang paling penting adalah diterbitkannya akta pemisahan
dan sertipikat satuan rumah susun. Karena rumah susun terdiri dari tanah bersama,
14
Ronal Djabumir, Jual Beli Hak Atas Satuan Rumah Susun ,Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h.54
bagian bersama, dan benda bersama. Dimana terdapat bagian perseorangan yang perlu
diberi kepastian hukum berupa sertipikat.
Akta pemisahan adalah akta yang memuat pertelaan yang jelas mengenai tanah
bersama, bagian bersama, dan benda bersama yang memisahkan dari rumh susun. Tata
cara pengisian dan bentuknya diatur dalam Peraturan Kepala BPN No.2 tahun 1989.
Akta pemisahan digunakan sebagai dasar diterbitkannya sertipikat hak milik atas satuan
rumah susun. Sehingga isi dari akta pemisahan tersebut mengikat para pihak yang ada
didalamnya15.
Kepala daerah atau pejabat yang berwenang dalam menerbitkan surat izin layak
huni adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum karena izin layak huni berada didalam
wewenang Kementerian Pekerjaan Umum.
2.5 Sistem Jual Beli Antara Rumah Toko dan Rumah Susun 2.5.1 Prosedur Jual Beli Rumah Toko
Cara pembelian rumah toko sama halnya dengan pembelian rumah pada
umumnya. Pembelian rumah toko dapat dilakukan dengan sistem lunas, kredit, atau
melalui sistem perjanjian pengikatan jual beli. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 badan hukum yang melakukan jual beli rumah tidak boleh
melakukan serah terima dan atau menarik dana lebih dari 80% dari pembeli sebelum
memenuhi persayaratan yang telah ditentukan dalam pasal 42 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011.
15 Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia
a. Pembelian rumah dengan sistem lunas
Pembeli membeli harga rumah secara lunas kepada penyelenggara pembangunan
rumah berupa hak atas tanah beserta bangunan rumah diatasnya. Para pihak yang terkait
dalam hal ini adalah penyelenggara pembangunan rumah (pemilik rumah), pembeli
rumah, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan Kantor Pertanahan.
Syarat pembelian rumah harus memenuhi syarat materiil dan syarat formil. Syarat
materiil adalah penjual berhak menjual dan pembeli berhak membeli. Dibuktikan
dengan sertipikat hak atas tanah dengan nama pemilik hak atas tanah tersebut.
Sedangkan bagi pembeli , harus memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah. Baik
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, maupun hak pakai. Selain sebagai
subjek dalam hak atas tanah tersebut , calon pembeli harus telah cakap hukum.
Syarat formal adalah jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang
dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah . Dengan dibuktikan akta yang dibuat
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah maka beralih hak atas tanah tersebut dan dapat
didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Perubahan nama pemegang hak atas tanah
dan bangunan rumah diatasnya menjadi atas nama pembeli rumah yang baru.
b. Pembelian rumah dengan sistem kredit
Pengertian kredit dalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Dalam kehidupan bermasyarakat jual beli rumah juga
dapat dilakukan secara kredit.
Hal ini dilakukan karena tidak semua orang memiliki kemampuan ekonomi yang
sama untuk melunasi harga rumah yang diinginkan. Oleh sebab itu, Lembaga Penjamin
atau yang disebut dengan Bank memberikan kemudahan bagi masyarakat yang
membutuhkan rumah baik untuk hunian atau non hunian dengan sistem kredit. Pasal 1
angka 4 Naskah Perjanjian Kredit Bank Tabungan Negara menyatakan bahwa Kredit
Kepemilikan rumah adalah kredit yang diberikan oleh Bank kepada debitur untuk
digunakan membeli rumah dan / atau berikut tanah guna dimiliki dan dihuni atau
digunakan sendiri. Pemberian fasilitas tersebut ditujukan kepada konsumen yang
membutuhkan rumah untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan komersial16.
Pembelian rumah dengan sistem kredit diatur dalam pasal 43 dan pasal 44
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, bahwa pembelian rumah dengan sistem kredit
dapat dilakukan di atas tanah hak milik, hak guna bangunan baik diatas tanah negara
maupun tanah pengelolaan, dan hak pakai atas tanah negara. Selain itu, dapat dibebani
dengan hak tanggungan dan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan.
Pihak-pihak yang terkait dengan pembelian rumah dengan sistem kredit adalah
pemilik rumah, pembeli rumah, Bank, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan
Kepala Kantor Pertanahan kabupaten atau kota setempat.
Prosedur pembelian rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah antara lain17 :
16 Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit
Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Mandar Maju Bandung,2004,h.228-229
17
1. Pembeli menentukan pilihan rumah yang akan dibeli
2. Kesepakatan harga jual beli rumah antara penjual dan pembeli rumah
3. Pemberian utang atau kredit oleh bank kepada pembeli rumah
4. Pembuatan akta jual beli oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)
5. Pendaftaran pemindahan hak atas tanah karena jual beli
6. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan
7. Pembebanan hak tanggungan atas rumah beserta hak atas tanah
8. Pelunasan harga rumah dengan sistem kredit
9. Penghapusan hak tanggungan (roya)
10. Penyerahan sertipikat hak atas tanah beserta rumah
c. Pembelian rumah dengan sistem perjanjian pengikatan jual beli
Pembelian rumah dengan sistem perjanjian pengikatan jual beli telah diatur dalam
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011. Dalam pengaturannya dijelaskan
bahwa rumah yang masih dalam proses pembangunan dapat dipasarkan dengan sistem
perjanjian pengikatan jual beli dengan syarat antara lain :
- Status kepemilikan tanah
Setiap pemilik rumah atau penyelenggara pembangunan rumah wajib memiliki
status hak atas tanah yang diatasnya di bangun rumah. Baik hak milik,hak guna
bangunan ,maupun hak pakai.
- Hal yang diperjanjikan
Dalam penjelasan Pasal 42 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
bahwa hal yang diperjanjikan adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada
pembeli, melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/ kaveling, bentuk
rumah , spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dan utilitas umum, waktu
serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.
- Kepemilikan izin mendirikan bangunan
Tiap pembangunan suatu bangunan baik berupa gedung atau bangunan lainnya
wajib memiliki izin mendirikan bangunan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
guna memberikan jaminan kepastian hukum bagi bangunan yang berdiri di atas status
hak atas tanah yang berlaku.
- Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
Setiap pembangunan rumah, harus memiliki prasarana, sarana, dan utilitas umum
untuk menunjang lingkungan yang sehat,aman ,tentram dan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah yang telah ditentukan oleh pejabat yang berwenang.
- Keterbangunan perumahan paling sedikit 20 %
Dalam penjelasan pasal 42 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
maksud dari ketersediaan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen) adalah hal
yang telah terbangunnya rumah paling sedikit 20% dari seluruh jumlah unit rumah serta
ketersediaan prasarana,sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang
direncanakan. Pihak yang terkait dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah penjual
atau penyelenggara pembangunan rumah, pembeli rumah , dan notaris.
Prosedurnya dalam sistem Perjanjian pengikatan jual beli antara lain :
- Melakukan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh notaris