• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XIII/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XIII/2015"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 12/PUU-XIII/2015

PERKARA NOMOR 13/PUU-XIII/2015

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014

TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI DAN

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008

TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PRESIDEN

(V)

J A K A R T A

RABU, 15 APRIL 2015

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 12/PUU-XIII/2015 PERKARA NOMOR 13/PUU-XIII/2015 PERIHAL

-Pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji [Pasal 5, Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 50] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

-Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji [Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Fathul Hadie Utsman 2. Sumilatun

3. JN Raisal Haq ACARA

Mendengarkan Keterangan Ahli Presiden (V)

Rabu, 15 April 2015, Pukul 11.12 – 13.27 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) Aswanto (Anggota)

3) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

4) Maria Farida Indrati (Anggota)

5) Muhammad Alim (Anggota)

6) Patrialis Akbar (Anggota)

7) Wahiduddin Adams (Anggota)

8) Suhartoyo (Anggota)

Saiful Anwar Panitera Pengganti

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Fathul Hadie Utsman

B. Pemerintah:

1. Budijono

2. Muhajirin Yanis 3. Abdul Djamil 4. Sri Ilham Lubis 5. Hasan Fauzi 6. Ahmad Gunaryo 7. Ahda Barori

C. Ahli dari Pemerintah:

1. Ramadhan Harisman 2. Qomaruddin

3. Siswo Sujanto

D. DPR:

1. Sodik Mujahid

E. Ahli dari Mahkamah Konstitusi:

(4)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek kehadirannya. Pemohon hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON: FATHUL HADIE UTSMAN

Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, om swastiastu om. Saya Fathul Hadie Utsman sebagai Kuasa Pemohon Perkara Nomor 12 dan Perkara Nomor 13.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih, Pemohon. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden yang hadir siapa? Saya persilakan untuk diperkenalkan.

4. PEMERINTAH: BUDIJONO

Terima kasih, Yang Mulia. Hadir dari Pemerintah mewakili Presiden, Prof. Dr. H. Abdul Djamil MA., Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Bapak H. Hasan Fauzi, Sekretaris Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Dr. H. Muhajirin Yanis, Direktur Pembina Haji dan Umrah. Drs. H. Ahda Barori AS., Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri. Hj. Sri Ilham Lubis, Direktur Pelayanan haji Luar Negeri. Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, Kepala Biro Hukum Kementerian Hukum … Kementerian Agama. Dan Pemerintah menghadirkan Ahli, tiga orang Ahli, yaitu satu Bapak Siswo Sujanto, Bapak Dr. Qomaruddin, dan tiga Bapak Ramadhan Harisman, S.T. Terima kasih, Yang Mulia.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Ini jadi Pemerintah … anu … ini, full team ini. Baik, dari DPR yang hadir saya persilakan.

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.12 WIB

(5)

6. DPR: SODIK MUJAHID

Terima kasih, Yang Mulia. Dari DPR diwakili oleh Dr. Sodik Mujahid, Wakil Ketua Komisi VIII dan pada kesempatan ini, tahun ini adalah Ketua Panja BPIH Haji. Terima kasih, Yang Mulia.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, Terima kasih. Agenda pada hari ini cukup padat, jadi kita harus mendengarkan yang pertama keterangan dari DPR terlebih dahulu, kemudian nanti kita akan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah tiga orang, dan satu orang Ahli dari independen yang diminta oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keterangan Dr. Anggito Abimanyu sudah hadir. Jadi mohon bisa waktu yang dialokasikan karena kita akan sidang Pleno yang berikutnya.

Saya persilakan terlebih dahulu dari DPR, saya persilakan untuk bisa berada di mimbar, Pak.

8. DPR: SODIK MUJAHID

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb.

Yang Mulia Ketua dan Anggota Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Uji Materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014.

Berkaitan dengan materi Pemohon, kami DPR secara substansi melihat empat hal. Pertama adalah tentang syarat berhak untuk menunaikan ibadah haji, yang kedua, kewajiban membayar setoran awal BPIH, yang ketiga adalah mengenai nilai manfaat BPIH, yang keempat adalah pungutan biaya oleh kelompok bimbingan ibadah haji, dan seterusnya.

Perlu kami sampaikan bahwa di DPR khususnya Komisi VIII ada dua undang-undang yang menjadi prioritas tahun ini. Satu di antaranya adalah Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagai revisi dari undang-undang yang lama sekaligus juga untuk melengkapi undang-undang tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji … Badan Pengelola Keuangan Haji.

Yang terkait dengan syarat bagi mereka yang berhak untuk menunaikan ibadah haji, DPR masih berbeda pendapat. Satu pihak berpendapat bahwa untuk pembatasan itu masih memungkinkan dimasukkannya ke dalam bagian Undang-Undang Haji tentang hanya boleh berhaji satu kali, tapi dari pihak DPR juga memahami syariat Islam yang mengatakan bahwa setelah kewajiban haji, maka haji kedua dan ketiga posisinya adalah sunah. Hukum kita, saya kira tidak berada pada posisi untuk melarang orang untuk melaksanakan sunah seperti tidak bolehnya orang melarang untuk melaksanakan salat sunah. Karena itulah

(6)

maka DPR masih menggodok dan lebih cenderung kepada pembatasan secara konsisten yang ditetapkan oleh peraturan Menteri Agama.

Yang kedua tentang substansi mengenai kewajiban membayar setoran awal BPIH. DPR berpendapat dan mengetahui bahwa pemerintah tidak cukup dana untuk melakukan transaksi-transaksi awal persiapan-persiapan penyelenggaraan ibadah haji. APBN kita tidak cukup untuk Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh untuk mengatasi biaya-biaya persiapan penyelenggaraan ibadah haji, sebagai contoh tahun ini anggaran Dirjen Haji dan Umroh hanya Rp1,7 triliun sedangkan biaya-biaya persiapan itu menyangkut jumlah yang lebih banyak. Nah, itulah maka DPR berpendapat pemerintah masih tetap memasukkan ke dalam undang-undang kewajiban untuk membayar setoran awal haji, tapi DPR bersama pemerintah melihat ke depan bagaimana undang-undang itu bisa dengan sangat jelas memberikan manfaat dari setoran awal yang kemudian pelaksanaannya dipakai 10 tahun, 20 tahun yang akan datang. Ini persoalan bagi DPR bukan setoran atau tidaknya, tapi adalah bagaimana jemaah bisa mendapat kepastian dari nilai manfaat setoran awal yang bisa dipakai 10 tahun atau 20 tahun ke depan.

Yang ketiga mengenai pungutan biaya oleh kelompok bimbingan ibadah haji oleh masyarakat. Dalam kaitan ini DPR berpendapat dua hal, satu, cukup kuat suara-suara di DPR untuk justru memberi peran yang lebih kuat kepada KBIH. Kenapa? Karena pantauan DPR selama ini menunjukkan jemaah-jemaah haji mandiri sangat beda kualitas dan pelaksanaan ibadah hajinya dibandingkan dengan jemaah yang dipimpin dan dibimbing oleh KBIH. Ada pun pungutan oleh KBIH itu bukan merupakan kewajiban dan bukan merupakan urusan pemerintah, tapi itu adalah transaksi antara jemaah dengan KBIH itu. Jika akan dimasukkan, maka dalam undang-undang bisa dimasukkan atau mungkin oleh peraturan menteri agama tentang transparansi atau batas maksimum dari pungutan yang bisa disampaikan oleh KBIH kepada jemaah.

Yang Mulia, saya kira itu saja poin-poin yang dapat kami sampaikan. Sekali lagi DPR tahun ini sudah menetapkan dalam Proleknas, satu diantaranya adalah Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam. Terima kasih, Bapak. Silakan untuk duduk kembali. Berikutnya dari Pemerintah. Siapa dulu yang harus memberikan keterangan. Saya persilakan Pak Budi.

10. PEMERINTAH: BUDIJONO

Terima kasih, Yang Mulia. Diawali oleh Bapak Siswo Sujatmo … Sujanto, Yang Mulia.

(7)

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Sujanto, ya terus kemudian?

12. PEMERINTAH: BUDIJONO

Siswo Sujanto. Nomor dua Bapak Ramadhan Harisman, yang ketiga Bapak Dr. Qomaruddin. Terima kasih, Yang Mulia.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Saya persilakan Pak Siswo Sujanto. Oh, ini belum disumpah semua ya. Oh, maaf karena urusan haji saya kira orangnya sudah baik-baik. Saya lupa untuk mengambil sumpah dulu. Saya persilakan untuk maju ke depan Pak Siswo, Pak Ramadhan, Pak Qomaruddin, dan Pak Anggito Abimanyu untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Semuanya disumpah menurut agama Islam. Mohon berkenan Yang Mulia Dr. Muhammad Alim untuk memandu sumpahnya.

14. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

Luruskan tangannya ke bawah, Pak. Kita mulai.

“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”

15. SELURUH AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

16. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

Terima kasih.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Saya persilakan Pak Siswo terlebih dahulu.

18. AHLI DARI PEMERINTAH: SISWO SUJANTO

Terima kasih, Yang Mulia. Mohon izin. Bisa di … ya, baik. Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi,

(8)

Pemohon, Termohon, Para Ahli, dan Para Hadirin sekalian yang dimuliakan. Assalamualaikum wr. wb. selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hakim Panel Mahkamah Konstitusi yang telah mengizinkan saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara dari Pihak Termohon untuk menyampaikan penjelasan saya dalam kasus pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, khususnya terkait dengan Pasal-Pasal 5, 6, 7, 8, 10, 12, 20, 22, 23, 24, 25, 26, dan Pasal 50.

Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah

Konstitusi dan Para Hadirin yang saya hormati. Permohonan dimaksud bila dicermati pada intinya dipicu oleh ketidaksetujuan Pemohon terhadap tiga hal, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yaitu pertama adanya kewajiban para calon jemaah haji daftar tunggu untuk melakukan pembayaran uang muka kepada pemerintah yang untuk selanjutnya dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.

Kedua. Penyerahan pengelolaan dana haji kepada suatu lembaga

khusus yaitu Badan Pengelola Keuangan Haji dan ketiga, penggunaan mata uang rupiah dalam kewajiban pembayaran uang muka. Bagi tim penyusun, rancangan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji, ketiga hal tersebut di atas, yang merupakan inti materi gugatan Pemohon, bukanlah hal baru yang muncul pada hari ini.

Dalam proses penyusunan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang memakan waktu lebih dari tiga tahun, ketiga hal tersebut merupakan topik yang telah berulang kali diajukan dan diperdebatkan oleh para pakar dan berbagai pihak yang ketika itu kurang sependapat dengan pemikiran tim penyusun rancangan undang-undang. Perdebatan demi perdebatan tersebut pada akhirnya berujung pada pemahaman berbagai pihak terhadap konsepsi pemikiran yang disampaikan oleh penyusun, dan alhamdulillah berbagai kajian yang berujung pada ketidaksesuaian pendapat atau keberatan yang telah disampaikan oleh berbagai pihak pada masa itu, justru kemudian berubah menjadi bagian yang memperkokoh fondasi, konsepsi yang kemudian dituangkan dalam undang-undang tersebut.

Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah

Konstitusi, dalam kaitan ini perlu saya sampaikan bahwa kasus yang terjadi antara Para Pemohon dan Termohon adalah sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup hukum keuangan negara, yaitu merupakan kasus yang terjadi dalam rangka pengelolaan keuangan negara khususnya terkait dengan cara bagaimana pemerintah menyediakan layanan kepada masyarakat dan bagaimana teknik pembiayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam pembiayaan layanan tersebut.

(9)

Oleh karena itu, tanpa memiliki potensi yang berlebihan dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, sebagaimana berkali-kali saya sampaikan dalam forum seperti ini ketika saya diminta sebagai Ahli, saya berpendapat bahwa penjelasan dari sudut ilmu hukum keuangan negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. Hal ini tentunya dengan mengacu pada asas proporsionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin ilmu hukum keuangan negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang hukum keuangan negara.

Dalam praktik selama ini, mengingat disiplin ilmu hukum keuangan negara di Indonesia belum berkembang, sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah keuangan negara telah dianalisis dan dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup keuangan negara seringkali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu hukum. Padahal, ini adalah satu pemahaman yang kurang tepat atau boleh dikatakan keliru. Penggunaan sudut pandang dimaksud sebagaimana tampak dalam berbagai kasus yang diajukan, akan menghasilkan kesimpulan yang bias.

Sehubungan dengan itu, perkenankanlah saya menyampaikan

penjelasan kasus tersebut dari sudut ilmu hukum keuangan negara, sebagaimana yang telah saya pelajari di beberapa universitas baik di Indonesia, maupun di negara lain. Dan yang saya dalami selama ini, sebagai akademisi maupun sebagai praktisi. Sebagai praktisi, yaitu saya selaku pejabat pemerintah di Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang ditunjuk sebagai ketua tim kecil penyusunan rancangan undang-undang bidang keuangan negara, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dalam kaitan ini sekedar menyegarkan ingatan berbagai pihak,

perlu pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa pada prinsipnya suatu produk perundang-undangan terdiri dari dua unsur, yaitu yang pertama

unsur frame atau wadah yang lebih dikenal dengan aspek hukum.

Kedua, unsur content atau isi yang merupakan subtansi atau materi yang akan dituangkan dalma produk perundang-undangan itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam penyusunan ketentuan perundang-undangan diperlukan pemahaman yang mendasar terhadap dasar-dasar filosofi keilmuan substansi, yang bersangkutan sebagai content. Dasar-dasar pemikiran filosofi inilah yang kemudian dituangkan dalam penjelasan umum, yang kemudian menjiwai pasal-pasal ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.

Atas dasar pemikiran di atas, ketika melakukan analisis terhadap

(10)

pada pemikiran filosofis keilmuan yang bersangkutan, bukan dengan melakukan analisis dengan menggunakan peralatan displin ilmu lain. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, gugatan terhadap norma-norma yang dijadikan landasan pasal-pasal sebagaimana tersebut di atas, harus dianalisis dari sudut pandang pemikiran filosofis hukum keuangan negara, harus dilihat dari sudut pandang hubungan antar pemerintah dan rakyatnya, baik dari segi politis, ekonomi, dan hukum, khususnya terkait dengan pengertian hubungan hukum antara negara, ataupun pemerintah dengan rakyat.

Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah

Konstitusi, dan pada hadirin yang saya muliakan. Menurut studi ilmu hukum keuangan negara dengan mengacu kepada hak-hak asasi masyarakat ... mohon izin, kembali dulu ke atas. Kembali dulu ke atas, ya. Ya. Ke depan, ke depan. Ke depan, bisa dikembalikan ke atas.

Menurut sistem ilmu hukum keuangan negara dengan mengacu pada hak-hak asasi masyarakat yang secara rinci dituangkan dalam declaration of human rights yang kemudian dimuat dan dijadikan landasan konstitusi berbagai negara di dunia, secara konstitusional pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa publik atau seringkali disebut juga dengan istilah layanan publik. Dalam konsepsi ilmu keuangan negara, pengertian barang dan jasa publik atau yang lebih dikenal dengan istilah public goods and services, pada prinsipnya merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh pemerintah. Layanan dasar tersebut menurut berbagai kepustakaan berupa keamanan dan ketertiban, kesehatan, pendidikan, keadilan, dan semua layanan dalam bentuk fasilitas yang tergabung dalam kelompok pekerjaan umum pemerintah. Mengingat semua jenis layanan dimaksud merupakan kebutuhan dasar yang harus disediakan tanpa kecuali kepada seluruh penduduk, penyediaannya oleh negara tidak dapat dilakukan atas dasar mekanisme harga. Artinya, pemerintah harus menyediakan layanan tersebut secara cuma-cuma. Sebagai konsekuensinya, pemerintah memiliki kewenangan memungut pajak dari masyarakat untuk mendanai segala kegiatan dimaksud.

Konsepsi tentang layanan publik dari masa ke masa semakin berkembang dan bervariasi menurut kebutuhan masyarakat dan negara. Atas dasar kenyataan itulah di Indonesia kebutuhan melaksanakan ibadah haji kemudian dinyatakan sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.

Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan haji merupakan suatu bentuk layanan publik. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarah masa lalu, kendati pengaturan penyelengaraan perjalanan haji bagi penduduk Hindia-Belanda oleh pemerintah pada masa kependudukan kolonial Belanda memiliki sisi kepentingan yang berbeda dibandingkan pada masa kini, secara historis menunjukkan bagaimana

(11)

pemerintah telah sejak lama ikut campur dalam mengatur masalah kegiatan beribadah ke tanah suci bagi penduduknya yang beragama Islam. Selanjutnya baru pada tahun 1912 dibentuklah bagian penolong haji oleh Perserikatan Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang konon merupakan cikal bakal direktorat urusan haji di republik ini.

Dari penulisan sejarah, sejak saat itulah tampaknya pemikiran bahwa penyelenggaraan ibadah haji menjadi bagian dari layanan publik dalam sistem sosial dan tata kelola pemerintahan di Indonesia benar-benar dicanangkan. Keputusan tersebut membawa akibat terhadap konsekuensi pendanaan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam bentuk alokasi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Dalam perkembangannya, masalah pengelolaan haji bukan lagi hanya sekadar masalah bagaimana seseorang dinyatakan layak untuk berangkat menunaikan ibadah haji dan mengusahakan pengangkutan untuk berangkat ke tanah suci, melainkan juga dihadapkan pada jumlah kuota yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia yang ternyata semakin tahun menjadi semakin kecil bila dihadapkan dengan animo masyarakat untuk pergi haji.

Hal-hal tersebut membawa konsekuensi bahwa pemerintah harus mampu mengatur dan menyeleksi para calon jemaah haji secara adil. Ditinjau dari sisi pengelolaan haji itu sendiri, hal tersebut kemudian menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya otoritas yang memiliki kewenangan memutuskan, yang akan mendapat ... dapat berangkat menunaikan ibadah haji.

Kenyataan bahwa kenaikan jumlah masyarakat yang hendak menunaikan ibadah haji setiap tahun dibandingkan kenaikan ... dengan kenaikan jumlah kuota yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia kepada Pemerintah Indonesia, telah mengakibatkan antrian panjang yang kemudian dicatat sebagai daftar tunggu.

Salah satu cara untuk dapat mengendalikan calon yang terdaftar dalam daftar tunggu, pemerintah mensyaratkan bahwa yang bersangkutan diwajibkan melakukan pembayaran sejumlah uang yang kemudian dikenal dengan setoran awal BPIH. Dengan demikian, setoran awal tersebut dilihat dari satu sisi pada hakikatnya merupakan alat seleksi yang mengendalikan pendaftaran calon jemaah haji. Artinya bahwa seseorang yang telah mendaftar dan membayar setoran awal akan terkualifikasi sebagai calon jemaah mampu, bukan seseorang yang sekedar mendaftarkan diri padahal belum memiliki kemampuan finansial yang memadai, yang kemungkinan besar justru akan menghambat orang lain yang secara finansial telah memiliki kemampuan pada saat pendaftaran.

Kemampuan dimaksud bukan diukur pada saat sekian tahun yang akan datang, melainkan pada saat melakukan pendaftaran. Jadi pendaftaran diukur atas dasar kemampuan finansial seseorang pada saat

(12)

melakukan pendaftaran, bukan diukur dari kesempatan atau kecepatan mendaftar yang dilakukan oleh seseorang.

Pola ini merupakan suatu langkah yang dipandang cukup adil, lebih-lebih bila memperhatikan persyaratan menunaikan ibadah haji yang salah satunya adalah memiliki kemampuan finansial yang mencukupi. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah setoran awal para calon jemaah haji semakin besar jumlahnya, bahkan sangat besar sekali yang mencapai jumlah triliunan rupiah. Sementara itu uang triliunan tersebut hanya dibiarkan menumpuk dalam rekening atas nama Menteri Agama, tanpa dikelola dengan cara yang memadai menurut tata kelola keuangan yang baik.

Bila dicermati salah satu alasannya adalah bahwa ternyata Menteri Agama selaku menteri teknis, tidak memiliki kewenangan pengelolaan uang tersebut, ini adalah harga mati menurut ketentuan tata kelola keuangan negara. Meskipun menurut kenyataan berada dalam rekening Menteri Agama, uang tersebut merupakan uang yang dikuasai negara, harus dikelola dan di bawah kendali pemerintah c.q. Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara.

Namun demikian karena status uang dimaksud bukanlah merupakan penerimaan negara dalam arti sebenarnya, sebagaimana layaknya penerimaan dari sektor pajak atau pun pungutan lainnya, melainkan merupakan uang titipan masyarakat yang akan digunakan untuk tujuan tertentu, yakni biaya penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaannya memerlukan pengaturan tersendiri yang bersifat khusus. Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati, padahal seharusnya uang yang dimaksud bila dikelola dengan baik akan menghasilkan manfaat yang sangat besar yang akan dapat digunakan antara lain untuk:

1. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.

2. Merasionalkan biaya penyelenggaraan ibadah haji.

3. Memberikan nilai tambah terhadap dana haji.

4. Kemaslahatan jemaah dan umat.

Dengan mendasarkan pada organisasi kelembagaan dalam tata kelola keuangan negara sesuai prinsip yang dianut dalam paket undang-undang bidang keuangan negara di satu sisi dan manfaat yang diperoleh untuk tujuan sebagaimana tersebut di atas di sisi lain, maka dibentuklah Badan Pengelola Keuangan Haji. Sebagai lembaga keuangan negara untuk tujuan tertentu, Badan Pengelola Keuangan Haji memiliki karakter yang unik, kendati di bawah kendali pemerintah sebagai lembaga … lembaga tersebut bersifat non-struktural atau non-organik. Oleh karena itu, lembaga tersebut tidak dibiayai melalui sistem APBN, melainkan dibiayai melalui manfaat yang diperoleh dari pengelolaan dana yang dipercayakan kepadanya. Berada langsung di bawah presiden, tetapi di bawah pengawasan Menteri Keuangan dan Menteri Agama.

(13)

Walaupun harus dikelola secara korporatif dengan mendasarkan pada prinsip syariah Islam, Badan Pengelola Keuangan Haji merupakan lembaga nirlaba (non for profit). Artinya, manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan keuangan maupun aset harus seluruhnya dimasukkan kembali dalam lembaga tersebut untuk digunakan bagi kepentingan bersama, dalam kaitan ini pencapaian tujuan pengelolaan keuangan haji melalui Badan Pengelola Keuangan Haji akan dapat diwujudkan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama, meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. Langkah ini akan mencakup tiga hal utama penyelenggaraan ibadah haji, yaitu pemondokan, katering, dan transportasi. Dengan adanya kewenangan untuk menggunakan dana yang terkumpul dari para calon jemaah haji, termasuk calon daftar tunggu akan memungkinkan Kementerian Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan haji untuk melakukan pembayaran lebih awal, misalnya satu tahun sebelumnya. Hal tersebut di samping memberikan kepastian dan lokasi yang lebih menguntungkan dalam hal pemondokan, akan memberikan keuntungan dalam bentuk harga yang tentunya lebih murah.

Perlu disampaikan bahwa selama ini antara penetapan PPIH dan waktu pelaksanaan ibadah haji relatif sangat dekat sehingga pihak Kementerian Agama selalu menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh lokasi pemondokan yang menguntungkan untuk para jemaah, dengan pula halnya dengan transportasi dan katering. Di samping itu, dalam penyelenggaraan ibadah haji diperlukan berbagai kegiatan pendukung yang ternyata tidak dapat dibiayai melalui APBN, kebutuhan akan dana pendukung dimaksud ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara memang tidak selayaknya dibiayai dari sektor perpajakan karena akan menimbulkan aspek ketidakadilan, sementara itu dana yang disetorkan oleh calon jemaah haji pada hakikatnya mencakup biaya transportasi pemondokan dan biaya hidup selama di tanah suci. Oleh karena itu, manfaat yang berasal dari pengelolaan dana haji dimaksud akan merupakan sebuah pembiayaan yang dapat diandalkan.

Dalam hal merasionalkan biaya penyelenggaraan ibadah haji, konkretnya gagasan tersebut adalah menjawab keinginan masyarakat agar biaya ibadah haji tidak selalu naik setiap tahun, akan tetapi diharapkan dapat lebih rendah dari tahun sebelumnya atau setidak-tidaknya sama. Dengan memperhatikan besarnya jumlah yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji yang akan menghasilkan manfaat yang sangat besar akan memungkinkan penurunan biaya ibadah haji tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Memberikan nilai tambah terhadap dana haji dan kemaslahatan jemaah serta umat. Dengan penerapan prinsip nirlaba, berbagai manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan dana haji akan terakumulasi dengan baik dengan bentuk aset dan modal yang dikelola yang pada akhirnya akan memberikan

(14)

manfaat kepada seluruh jemaah haji pada khususnya, maupun seluruh umat Islam pada umumnya.

Yang Mulia Ketua dan Para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati. Hal-hal tersebut di atas merupakan manfaat yang diharapkan dapat dirasakan dan diterima oleh para jemaah haji maupun umat Islam pada umumnya, sebagaimana layaknya pengelolaan dana publik yang diarahkan penggunaannya untuk kepentingan publik, memiliki karakter sebagaimana layanan publik pada umumnya, yaitu bahwa si penerima manfaat tidak dapat diidentiifikasi, tetapi seluruh kelompok akan menerima dan merasakan manfaat serta dalam jumlah yang sama.

Dari penjelasan tersebut di atas dapat kiranya disimpulkan sebagai berikut.

1. Perkembangan animo masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji

yang tidak seimbang dengan besaran kuota yang diberikan pemerintah Saudi Arabia telah mengakibatkan daftar tunggu para calon jemaah haji.

2. Pemerintah selaku pemegang otoritas penyelenggaraan ibadah haji

memiliki kewenangan pengaturan calon jemaah haji yang dapat diberangkatkan.

3. Pengaturan dimaksud ditempuh antara lain dengan cara mewajibkan

seluruh calon jemaah haji untuk melakukan pembayaran sebagai biaya ibadah haji.

4. Agar pengelolaan keuangan negara dapat dilakukan secara lebih

efektif dan efisien kemudian dibentuklah pengelola ... Badan Pengelola Keuangan Haji sebagai sebuah institusi pengelola keuangan negara, Badan Pengelola Keuangan Haji bersifat independen dan nirlaba dengan mengacu pada sikap korporatif berdasarkan prinsip syariat Islam.

6. Tujuan yang diharapkan dari pengelolaan yang dilakukan oleh Badan

Pengelola Keuangan Haji adalah untuk memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jemaah dan umat Islam secara kaffah.

7. Hal-hal tersebut pada angka 6 di atas merupakan manfaat yang

diharapkan dapat dirasakan dan diterima oleh para jemaah haji maupun umat islam pada umumnya.

8. Sebagaimana layaknya pengelolaan dana publik yang diarahkan

penggunaannya untuk kepentingan publik, memiliki karakter sebagaimana layanan publik pada umumnya, yaitu bahwa si penerima manfaat tidak dapat diidentifikasi, tetapi seluruh kelompok akan menerima dan merasakan manfaat serta dalam jumlah yang sama.

Selanjutnya atas dasar kesimpulan dimaksud, perkenankanlah saya menyampaikan pendapat terhadap gugatan Pemohon sebagai berikut.

(15)

1. Bahwa Pemerintah sebagai otoritas memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi calon jemaah daftar tunggu, yaitu antara lain dengan menerapkan kewajiban pembayaran sebagian biaya ibadah haji yang kemudian dikenal dengan istilah setoran awal BPIH.

2. Bahwa pendaftaran calon jemaah bersifat sukarela, tetapi

pembayaran setoran awal BPIH adalah wajib. Artinya, pemerintah tidak pernah dengan sewenang-wenang mengambil hak masyarakat melainkan hal tersebut dilakukan demi keadilan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini masyarakat bebas untuk tidak membayar setoran awal BPIH dengan konsekuensi bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kualifikasi untuk dimasukkan dalam daftar tunggu.

3. Bahwa pengelolaan dana setoran awal BPIH yang terhimpun oleh

Badan Pengelola Keuangan Haji, semata-mata ditujukan untuk efisiensi dan efektifitas agar dapat diperoleh manfaat yang optimal dalam rangka memberikan nilai tambah dan rasionalisasi biaya bagi kemaslahatan jemaah haji dan umat Islam secara kaffah, dan tidak akan merugikan para calon jemaah haji.

4. Bahwa manfaat yang diterima oleh masing-masing calon jemaah dari

pengelolaan dana secara kolektif akan lebih besar dibandingkan hasil pengelolaan dana sendiri. Sementara itu, sebagai anggota suatu kelompok, semua anggota yang akan memperoleh manfaat dari hasil kerja institusi dalam kelompok tersebut berkewajiban membiayai kegiatan tersebut. Hal itu merupakan sebuah kewajaran.

5. Bahwa manfaat yang diperoleh bagi semua calon dirasakan oleh

seluruh calon jemaah, bahkan seluruh umat Islam yang ada di Indonesia. Setiap anggota akan menikmati manfaat dari setoran awal PPIH anggota sebelumnya dalam bentuk rasionalitas biaya haji dan calon anggota sesudahnya ketika penyelenggara ibadah haji melakukan pembayaran di muka untuk berbagai kegiatan ibadah haji yang pada saat itu, yaitu tahun berjalan, calon jemaah yang bersangkutan belum melaksanakan pelunasan karena BPIH-nya belum ditetapkan oleh lembaga legislatif.

6. Bahwa penggunaan rupiah sebagai satuan hitung merupakan

amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena merupakan wujud kedaulatan negara. Oleh karena itu, secara konsisten Pemerintah menetapkan bahwa transaksi dalam wilayah Republik Indonesia harus menggunakan satuan hitung rupiah. Hal tersebut tidak terbatas pada hubungan antara hubungan transaksi antara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya, atau pun antara pemerintah dengan warganya. Sementara itu, penggunaan mata uang asing hanya dilakukan dalam hubungan internasional dengan negara lain, termasuk dengan warga masyarakatnya. Terkait dengan itu, hanya perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia dan menggunakan sistem akuntansi yang menggunakan

(16)

mata uang asing yang diizinkan untuk melakukan pembayaran pajaknya dalam mata uang asing.

7. Bahwa norma-norma yang terkandung dalam Undang-Undang

Pengelolaan Keuangan Haji yang dipertanyakan oleh Pemohon sebagaimana telah dikemukakan dalam penjelasan, diturunkan dari kaidah atau sistem pengelolaan keuangan negara, sedangkan kaidah atau sistem pengelolaan keuangan negara itu sendiri dibangun atas dasar filosofi yang dianut dalam hukum keuangan negara.

Majelis Hakim Yang Mulia, demikianlah keterangan saya, semoga keterangan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-beesarnya dan dapat menjadi masukan serta pertimbangan bagi para Yang Mulia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ini dengan seadil-adilnya. Terima kasih, Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb. Silakan, Pak Sujatno … Sujanto untuk duduk kembali. Berikutnya saya persilakan, Pak Dr. Qomaruddin. Tidak perlu seluruhnya dibacakan, beberapa hal penting saja yang disampaikan secara lisan, makalah sudah diterima oleh Majelis sehingga bisa dijadikan dasar pertimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara ini. Saya persilakan, Pak Qomaruddin.

20. AHLI DARI PEMERINTAH: QOMARUDDIN

Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita sekalian. Yang saya muliakan Majelis … Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi. Yang saya hormati Bapak Dirjen (suara tidak terdengar jelas) yang mewakili Pemerintah. Pemohon, dan Bapak dari Ahli, baik dari Pemerintah maupun dari Mahkamah Konstitusi.

Dalam kesempatan ini, perkenankan saya sebagai Ahli untuk menyampaikan beberapa hal yang menyangkut konstitusionalitas. Beberapa ketentuan Pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Ibadah Haji.

Maksud yang saya mau uraikan, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan Pasal 29 ini, maka bahwa segenap warga negara Indonesia mempunyai kebebasan untuk memeluk agama yang dipercayai dan diyakininya. Bagi pemeluk yang beragama Islam, yang memeluk agama Islam harus dijamin dan dilindungi kemerdekaannya untuk beribadat menurut ajaran agama Islam.

(17)

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang beragama Islam dan mampu untuk menunaikannya, baik finansial, fisik, maupun mental. Selain itu, kuota haji yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan calon jemaah haji yang semakin banyak, sehingga mengakibatkan kesempatan bagi setiap orang Islam yang berniat untuk menunaikan ibadah haji juga menjadi sangat terbatas.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam

penyelenggaran ibadah haji, baik aspek filosofis yang berhubungan dengan hak konstitusional warga negara yang beragama Islam yang harus dijamin, dilindungi, dihormati, dan aspek sosiologis, jumlah orang Islam yang semakin, yang … yang akan menunaikan ibadah haji semakin banyak dan juga kuota haji yang ditetapkan sangat terbatas, maka … maupun aspek yuridis yang secara normatif masih perlu ditingkatkan, maka undang-undang secara tegas menentukan bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang pelaksanaannya harus dikelola secara profesional, transparan, dan accountable.

Penyelenggaraan ibadah haji dengan kompleksitas permasalahan yang ada harus menjadi tanggung jawab negara dan merupakan tugas nasional yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikoordinasikan oleh menteri agama bekerja sama dengan masyarakat, kementerian, dan instansi terkait lainnya, dan Pemerintah Kerajaan Saudi. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji harus dikelola secara profesional, transparan, dan accountable dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan prinsip nirlaba.

Penanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji. Berdasarkan Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh menteri agama dengan bekerja sama dengan masyarakat, kementerian, dan Kerajaan Saudi. Pemerintah sebagai pelaksana penyelenggara ibadah haji melalui atau dikoordinasikan oleh menteri agama berkewajiban menyiapkan dan menyediakan segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji.

Menteri agama adalah penanggung jawab yang bertugas melakukan melaksanakan penyelenggaraan ibadah haji. Sebagai pelaksana penyelenggara ibadah haji, menteri agama berkewajiban menyediakan, menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Dengan demikian, tidak tepat jika dianggap bahwa status hukum menteri agama sebagai pelaksana penyelenggaraan ibadah haji adalah ilegal dan inkonstitusional. Kedudukan dan status menteri agama sebagai pelaksana penyelenggaraan ibadah haji adalah sah dan secara normatif, yuridis menjalankan undang-undang sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengelola keuangan haji. Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, maka BPKH

(18)

adalah … BPKH adalah pengelola keuangan haji. BPKH sebagai pengelola keuangan haji adalah badan hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri agama. Pengelolaan keuangan haji dilakukan secara korporatif dan … korporatif dan nirlaba.

BPKH dalam mengelola keuangan haji berwenang

mengembangkan keuangan haji, baik melalui penempatannya dalam bank syariah dan/atau bank umum nasional maupun investasi langsung dan atau tidak langsung dalam usaha yang produktif sesuai prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengelolaan keuangan haji oleh BPKH dilakukan secara nirlaba, mengandung norma bahwa BPKH dalam mengelola keuangan haji tersebut tidak berarti tidak boleh mencari keuntungan. BPKH dalam mengelola keuangan haji secara hukum tetap boleh mencari keuntungan, tetapi bukan untuk dibagi kepada anggota badan pelaksana dan/atau anggota badan pengawas BPKH. Keuntungan yang diperoleh BPKH dalam mengelola keuangan haji sebagai hasil dari pengembangan keuangan haji yang secara normatif disebut nilai manfaat keuangan haji digunakan untuk biaya penyelenggaraan ibadah haji.

Dengan demikian, dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji secara yuridis, kedudukan Menteri Agama sebagai pelaksana ibadah … pelaksana penyelenggaraan ibadah haji dipisahkan fungsinya sebagai pengelola keuangan haji.

Ketentuan mengenai pemisahan fungsi Menteri Agama ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan, yaitu Menteri Agama sebagai regulator sekaligus merangkap sebagai operator penyelenggaraan ibadah haji.

Penyelenggaraan ibadah haji dapat dilaksanakan secara profesional, transparan, adil, dan accountable dengan prinsip independent dan nirlaba. Selain itu, dengan pemisahan fungsi tersebut dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan kekuasaan.

Konstitusional … konstitusionalitas beberapa ketentuan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Pertama, Pasal 4 undang-undang a quo menyatakan, “Setiap warga negara beragama Islam berhak untuk menunaikan ibadah haji dengan syarat berusia paling rendah 18 tahun dan mampu membayar BPIH.”

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana ayat (1) diatur dengan peraturan (suara tidak terdengar jelas). Terhadap ketentuan Pasal 4 undang-undang a quo dapat dijelaskan bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat istitha'ah. Di samping itu,

(19)

kesempatan untuk menunaikan ibadah haji sangat dipengaruhi oleh kebijakan kuota dari pemerintah Arab Saudi yang tidak sebanding dengan minat masyarakat yang selalu bertambah. Oleh karena itu, penyelenggaraan ibadah haji harus didasarkan pada prinsip keadilan untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang beragama Islam.

Kedua. Bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang menyangkut norma, baik di negara di Indonesia maupun di Arab Saudi, sehingga Pemerintah sebagai penanggung jawab yang diamanatkan oleh konstitusi dan secara normatif yuridis mendapat delegasi untuk mengatur persyaratan baik bagi hak setiap warga negara yang hendak menunaikan ibadah haji.

Ketiga. Pemerintah sebagai pengemban tugas dari konstitusi harus melaksanakan dan mengatur warga negaranya dalam melaksanakan rukum Islam yang kelima. Apabila Para Pemohon dalam permohonannya dianggap benar, Pemerintah akan dianggap melanggar HAM orang lain yang hendak menunaikan ibadah haji, walaupun sudah pernah.

Jika Pemerintah melarang umat Islam dalam menjalankan ibadah haji akan melanggar HAM bagi umat Islam lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Meskipun demikian, untuk mempersingkat antrian yang panjang diperlukan peraturan … pengaturan bagi warga negara yang sudah pernah menunaikan ibadah haji yang hendak menunaikan ibadah haji kembali. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2), yaitu pengaturan persyaratan diatur dengan peraturan menteri.

Dengan demikian, terhadap dalil yang menganggap ketentuan Pasal 4 undang-undang a quo merugikan hak konstitusional Para Pemohon, menurut Ahli tidak tepat karena jika Pemerintah melarang orang yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kembali menunaikannya, maka Pemerintah tidak melaksanakan dan menjamin hak umat Islam yang hendak menunaikan ibadah haji.

Dua. Undang-undang … Pasal 5 Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji. Terhadap ketentuan Pasal 5, Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji yang mengatur tentang pembayaran BPIH pada saat mendaftar dimaksudkan memberi persyaratan bagi warga negara yang beragama Islam dan hendak menunaikan ibadah haji dengan syarat mampu istitha'ah.

Pengejawantahan pengertian mampu di sini adalah memiliki bekal perjalanan berhaji dan memenuhi kebutuhan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan, termasuk memenuhi kebutuhan nafkah pada saat kembali ke tanah … ke tanah air.

Setoran BPIH merupakan salah satu indikator kemampuan melalui kesiapan dan komitmen calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji yang dibayarkan pada saat calon jemaah haji mendaftar. Apabila

(20)

persyaratan setoran awal dihapuskan, maka daftar tunggu calon jemaah haji akan meningkat secara signifikan. Tidak ada kepastian untuk persiapan pembiayaan operasional penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan. Sangat sulit untuk melakukan pengawasan jika terdapat orang yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji, tetapi hanya sekedar mendaftar tanpa ada persyaratan kemampuan.

Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 5 undang-undang a quo yang mengatur mengenai persyaratan bagi setiap orang yang akan menunaikan ibadah haji untuk membayar setoran awal BPIH pada saat mendaftar justru memberikan kepastian bagi setiap calon jemaah untuk menunaikan ibadah haji.

Ketentuan a quo secara yuridis konstitusional tidak bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (…)

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Supaya bisa dipersingkat, Pak Qomaruddin.

22. AHLI DARI PEMERINTAH: QOMARUDDIN

Baik.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih.

24. AHLI DARI PEMERINTAH: QOMARUDDIN

Ketentuan a quo merupakan aturan pelaksanaan dari norma konstitusi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Kemudian yang ketiga. Yang ketiga adalah terkait dengan … dengan Pasal 50 bahwa terkait dengan … dengan Pasal 30 yang terkait dengan … dengan … pemungutan tambahan, biaya tambahan ketika masyarakat memberikan bimbingan haji kepada calon jemaah haji.

Dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa pembinaan haji dapat dilakukan oleh masyarakat kepada calon jemaah haji. Dengan demikian, Pasal 30 itu sendiri bahwa pelaksanaan pembinaan tidak boleh memungut biaya tambahan kepada calon jemaah haji di luar BPIH dimaksudkan adalah untuk pembinaan yang didasarkan oleh pemerintah, tapi pembinaan yang dilakukan oleh masyarakat tetap bisa dilaksanakan oleh apa ... dengan memungut biaya.

Selanjutnya. Terhadap Pasal 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014. Dalam ayat (4) Pasal 6 tersebut di atas, normanya mengatur mengenai larangan pengambilan setoran BPIH dan biaya khusus oleh

(21)

jemaah haji, terhadap ketentuan ini menurut Ahli justru untuk menjamin adanya kepastian hukum bahwa calon jemaah haji yang sudah mendaftar dalam Siskohat memiliki porsi harus tetap komit untuk menunaikan ibadah haji. Calon jemaah haji harus tidak boleh main-main dengan niatnya untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan jadwal penyelenggaraan dan pemberangkatannya.

Namun demikian berdasarkan Ketentuan ayat (5)-nya sangat jelas pengaturannya bahwa saldo setoran BPIH dan/atau BPIH khusus tersebut dapat diambil apabila jemaah haji membatalkan kursinya, baik karena meninggal dunia maupun alasan lain yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan perturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan ibadah haji.

Kemudian Pasal 50 yang terkait dengan apa ... transaksi dengan nilai mata uang rupiah, dengan dollar tadi sudah disampaikan oleh Bapak Siswo sebagai Ahli, dan apa yang kami sampaikan juga tidak banyak berbeda, yaitu dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Dasar dan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Saya kira maaf, Yang Mulia. Demikian apa yang kami sampaikan secara lengkap apa yang kami apa ... pendapat kami sudah kami tuangkan dalam sebuah paper, mudah-mudahan bisa menjadi masukan, dan untuk dipertimbangkan dengan seadil-adilnya dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutuskan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 (suara tidak terdengar jelas). Terima kasih, wabilahi taufik wal hidayah wassalamualaikum wr. wb.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam. Baik, Pak Qomaruddin. Makalah tertulis sudah diterima oleh Mahkamah yang tidak disempat dibacakan dan tidak sempat disampaikan dianggap telah disampaikan, dan dianggap telah dibacakan. Terima kasih.

Berikutnya Pak Ramadhan Harisman, saya persilakan untuk menghemat waktu karena kita akan juga melanjutkan persidangan berikutnya pada Pukul 13.00 WIB. Saya persilakan.

26. AHLI DARI PEMERINTAH: RAMADHAN HARISMAN

Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera bagi kita semua. Om swastiastu Om. Bismillah walhamdulillah, wasallatuwassala mualarosulillah waala alihi wasohbihi wamawala, lahaulawala quatailabillah, amaba‟du.

Pimpinan dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan. Bapak Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Bapak Dr. Sodik yang

(22)

kami hormati, yang kami muliakan Bapak Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Saudara kami Pemohon Pak Fathul Hadie Utsman, Para Ahli yang kami hormati.

Kami akan menyampaikan pandangan kami tentang pokok-pokok permohonan dari uji materi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Kami mohon izin tidak membacakan permohonan dari Pemohon karena kami anggap sudah dimengerti, baik oleh Pemohon maupun Termohon.

Pertama adalah yang dituntut adalah melarang bagi yang sudah haji untuk mendaftar haji. Yang diajukan oleh Pemohon adalah orang yang sudah pernah haji baru dapat haji kembali manakala daftar tunggu haji sudah habis, atau dapat haji lagi manakala bertugas untuk urusan haji, pembimbing haji, atau yang ada kaitannya dengan urusan haji, atau ada alasan lain yang dibenarkan menurut hukum.

Menurut kami tadi sudah disampaikan oleh kedua Ahli bahwa ini tidak sesuai malah bertentangan dengan amar dari Pasal 29 ayat (2) di mana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut kepercayaannya masing-masing. Pemohon hanya mengacu kepada Pasal 4 ayat (1), di mana setiap warga negara berhak melaksanakan ibadah haji apabila telah berusia 18 tahun atau sudah menikah, serta membayar BPIH. Padahal ada ayat (2) yang harus dibaca Pasal 4 ini secara keseluruhan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Apa yang diatur dengan Peraturan Menteri? Sebagai eksekutor, tentunya Pemerintah berhak membuat regulasi. Regulasi yang membatasi haji berulang. Mohon dipahami dan dimengerti, membatasi tidak diartikan melarang karena kalau melarang berarti bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2). Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. Di mana Pasal 8, “Jemaah haji yang telah mendaftar dan masuk alokasi kuota provinsi atau kabupaten/kota untuk keberangkatan musim haji tahun berjalan berhak melunasi BPIH dengan persyaratan belum pernah melaksanakan ibadah haji, telah berusia 18 tahun, atau telah menikah.” Bagaimana kami tahu bahwa seseorang itu telah melaksanakan ibadah haji atau belum, atau sudah? Kita punya sistem informasi komputerisasi haji terpadu yang dengan aplikasi tersebut kami bisa memfilter siapa yang telah melaksanakan ibadah haji.

Persyaratan pada ayat (1) tidak berlaku bagi jemaah haji yang telah … yang akan memahromi istri karena wajib kalau istri atau anak kandung, serta orang tua itu harus punya makhrom kalau mereka berjalan sendiri. Kemudian Pasal 10, “Jemaah haji yang telah terdaftar dan masuk alokasi kuota provinsi atau kabupaten/kota untuk

(23)

keberangkatan pada musim haji berjalan dan sudah pernah menunaikan ibadah haji berhak melunasi BPIH asal selama masih ada kuota,” Pak. Kalau kuotanya sudah habis, berarti hilang kesempatan mereka.

Kemudian di Pasal 14 ayat (1), kuota haji provinsi itu kalau masih ada sisa dikembalikan menjadi kuota nasional. Kemudian ada ayat (2)-nya bahwa kriteria untuk pengisian kuota nasional itu yang paling utama adalah belum pernah menunaikan ibadah haji. Jadi Pemerintah telah melakukan tugasnya dalam membatasi orang untuk melaksanakan haji lebih dari satu kali tetapi tidak boleh melarang orang untuk melaksanakan ibadah haji.

Kemudian calon jemaah haji tidak perlu membayar setoran awal. Kalau kita mengacu ke Alquran surat Al Imran ayat 97, wa lillahi alannas (dan diantara kewajiban manusia kepada Allah) adalah khijjul baiti manis tatoa (melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu (istitoa)) ilaihisabila (untuk perjalanan ke sana). Apa kriteria mampu? Mampu adalah dari sisi financial, mampu untuk perjalanan ke sana serta meninggalkan bekal bagi keluarga yang ditinggalkan.

Bagi pembuat undang-undang, setoran BPIH dimaksudkan sebagai indikator kesiapan dan komitmen dari jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji yang dibayarkan pada saat pendaftaran. Kami coba membuat list apabila setoran awal ini tidak perlu atau jemaah daftar saja tanpa membayar setoran awal. Pertama, yang paling penting adalah dampaknya daftar tunggu jemaah akan meningkat secara signifikan. Bayi yang baru lahir kalau dia yang beragama Islam, setelah dibuatkan dimasukkan dalam kartu keluarga, bisa didaftarkan menjadi jemaah haji dan ini akan menambah daftar tunggu jemaah.

Yang kedua, tidak ada kepastian untuk persiapan operasional ibadah haji. Pelaksanaan ibadah haji ini suatu siklus yang dilakukan continue sepanjang tahun, Pak. Setelah ibadah haji, kita melakukan evaluasi. Setelah evaluasi, kita melaksanakan persiapan untuk haji tahun berikutnya. Apa yang kita lakukan pada persiapan? Kita harus menyewa pemondokan di Mekah, menyewa transportasi, kontrak katering, dan itu kita laksanakan dalam bentuk ya langsam, gitu Pak. Jadi berapa pun yang jemaah yang akan berangkat, kita bayar sejumlah kuota yang kita masuk di kuota kita. Jadi kita tidak bisa misal setahun ini 155.000 jemaah, kita harus kontrak 155.000 jemaah.

Seandainya yang berangkat kurang dari 155.000, siapa yang akan bayar? Siapa yang akan membayar selisih tersebut? Ini akan menjadi potensi kerugian, bisa jadi kerugian negara karena tadi menurut Pak Siswo bagian dari keuangan negara walaupun bukan uang negara. Kemudian berpotensi menimbulkan kekacauan, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum karena seperti yang kami sampaikan tadi penyelenggaraan ibadah haji diperlukan perencanaan, pengelolaan yang transparan, accountable, dan profesional. Jadi sangat butuh kepastian siapa yang akan berangkat. Yang membayar setoran awal saja pada saat

(24)

kita minta melunasi, masih ada yang tidak sanggup melunasi. Apalagi kalau tidak, mulai dari nol. Sulit dibayangkan bagaimana nanti … banyak sekali sisa kuota yang tidak bisa kita manfaatkan.

Kemudian ini yang cukup ekstrim, Bapak Pimpinan dan Anggota Majelis Hakim yang kami mulaikan. Kalau kita lihat kalau di sini, kalau orang bayar, estimasi kami sekitar tahun 2020 waktu tunggunya … jumlah jemaah waktu tunggu itu sekitar 4,69. Kalau kuota kita kembali ke normal, kalau di tiap tahun saja yang berangkat 200.000, berarti waktu tunggunya 23 tahun. Kalau ini mulai tahun 2016 tidak bayar lagi, ini akan naik secara drastis. Sehingga, di tahun 2020 estimasi kami yang daftar tunggu ada 9.390.000. Berarti kalau dibagi 200.000, sekitar 47 tahun, dan ini menurut kami terjadi potensi ketidakadilan. Orang yang sanggup bayar Rp25.000.000,00, dia tunggunya 23 tahun, tetapi pada saat tidak diwajibkan membayar, semua orang akan daftar dan waktu tunggunya menjadi meroket, bisa sampai dua kali lipat, hingga bisa sampai 47 tahun. Jadi, ini potensi ketidakadilan akan sangat terjadi di sini.

Kemudian, bagaimana dana haji tersebut dikelola? Karena ada anggapan yang dimaksud diajukan oleh Pemohon bahwa nilai manfaat itu tidak boleh digunakan oleh jemaah yang berangkat tahun berjalan, kecuali nilai manfaat yang dihasilkan pada tahun berjalan. Kalau tidak ada setoran awal, tidak akan pernah ada nilai manfaat. Istilahnya setor langsung lunas. Kalau tidak ada setoran awal dan nilai manfaat yang digunakan, jemaah haji … biaya haji akan naik cukup besar. Jadi, dana haji itu dikelola di Kementerian Keuangan sebagian dengan membeli sukuk dan ditempatkan di deposito di bank syariah, yang ada imbal hasilnya, yang digunakan sebagian besar untuk membiayai perjalanan haji jemaah.

Apa saja yang dibiayai oleh … nah, kalau kita coba lihat ilustrasi tahun 2014. Di penyelenggaraan ibadah haji, dari sisi biaya itu ada dua terminologi. Ada satu yang dikenal direct cost dan indirect cost. Tapi ini konsep direct cost dan indirect cost yang ada di penyelenggaraan haji berbeda dengan konsep yang ada di akuntansi biaya karena indirect cost … direct cost yang ada di terminologi perhajian adalah biaya yang dibayar oleh jemaah. Sedangkan indirect cost adalah biaya yang di … bersumber dari dana … pemanfaatan dana optimalisasi.

Sebenarnya kalau kita melihat dari definisi akuntansi biaya, direct cost itu biaya yang langsung berdampak kepada jemaah. Kalau kita lihat, di tahun 2014 yang dibayar jemaah itu tiket pesawat, sebagian pemondokan Mekah, malam Madinnah gratis, dan living cost, tapi living cost ini hanya dititipkan. Pada saat jemaah berangkat di embarkasi, dikembalikan. Padahal, seseorang ingin melaksanakan ibadah haji, dia harus punya semua item ini. Mulai dari tiket pesawat, pemondokan di Mekah, hotel, kalau tahun lalu ada transit di Jeddah, JSF untuk perkemahan di Madinah, antarkota perhajian, pelayanan bongkar muat,

(25)

badal haji, dan di dalam negeri untuk manasik, konsumsi, akomodasi, dan sebagainya. Kalau dihitung, tahun kemarin rata-rata nasional itu yang dibayar jemaah 3.219. Padahal kalau ini dikeluarkan, ini biaya langsung jemaah, itu 3.219 plus Rp15.700.000,00, Pak. Dari mana Rp15.700.000,00? Dari nilai manfaat. Kalau jemaah tidak ada setoran awal atau setor langsung lunas, Rp15.000.000,00 ini tidak ada. Jadi, jemaah akan bayar sekitar Rp50.000.000,00. Ada setoran awal saja mereka ada yang tidak sanggup melunasi, apalagi kalau tidak ada setoran awal.

Kemudian, KBIH tidak boleh … tadi sudah diurai. Tetapi pada intinya bahwa Pasal 29 ayat (1) dan (2), “Pembinaan haji pada dasarnya dilakukan oleh pemerintah tanpa memungut biaya apa pun dari jemaah haji.” Tetapi kalau … coba kita mengacu ke Pasal 6, “Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, termasuk bimbingan ibadah haji.”

Pasal 30 dimaksudkan memberi kesempatan kepada masyarakat yang menguasai pembinaan ibadah haji untuk memberikan bimbingan ibadah haji, tetapi ini hanya memberi kesempatan, kebebasan, jemaah boleh memilih ikut atau tidak ikut untuk masuk ke dalam KBIH. Dan ini memang sesuai dengan Pasal 8 bahwa kebijakan dan pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah. Dan di ayat (4)-nya, “Pelaksanaan dalam penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.” Jadi, sudah ada amarnya di pasal sebelumya. Jadi, ini sesuai dengan ketentuan tersebut. Tapi yang perlu ditekankan bahwa jemaah ikut bimbingan dengan masyarakat itu adalah opsi. Jadi, bukan kewajiban.

Kemudian, setoran BPIH dapat diambil jemaah setiap saat. Ini me … yang diajukan adalah Pasal 6 Undang-Undang Nomor 34. Bahwa ayat (4), “Saldo setoran BPIH dan/atau BPIH khusus tidak dapat diambil oleh jemaah haji. Saldo tersebut bisa diambil apabila meninggal dunia dan alasan-alasan yang sah sesuai peraturan perundangan.” Kita sudah punya peraturan perundangan yang terkait, yaitu Pasal 11 dari PMA Nomor 14 Tahun 2012. Siapa saja yang … yang bisa membatalkan tersebut? Dan sekali lagi, setoran awal BPIH adalah indikator kesiapan dan komitmen.

Jadi, kalau bisa ditarik setiap saat, berarti kesiapan dan komitmen dari jemaah haji itu patut kita pertanyakan. Kemudian, pengeluaran untuk operasional BPKH tidak boleh menggunakan nilai manfaat keuangan haji.

Kami mohon izin untuk mengilustrasikan kalau bisnis perbankan Bapak/Ibu sekalian. Saya … saya yakin semua yang hadir di sini pasti punya … pernah bertransaksi dengan perbankan, kalau saya punya … melakukan deposito kepada … pada suatu bangkir, saya dapat imbal

(26)

hasil 7%. Bagaimana si bank membayar bunga atau imbal hasil kepada saya 7% tersebut? Apakah sumbernya dari APBN? Atau ada donatur, sinterklas yang bagi-bagi uang untuk bayar bunga 7% tersebut. Kalau di dunia perbankan dikenal dengan istilah cost of fund atau biaya dana, di mana komponennya adalah pertama untuk bayar bunga yang 7% tadi. Yang kedua adalah untuk bayar pajak. Yang ketiga, untuk bayar … untuk margin dari perusahaan itu sendiri dan yang keempat adalah cadangan

reseve bagi yang tersebut. Dan yang kelima, adalah over head cost atau

biaya sarana dan prasarana termasuk biaya operasional bank dan gaji, Pak.

Sedangkan BPKH tidak mendapat dukungan anggaran dari APBN, yang diajukan oleh Pemohon adalah biaya operasional BPKH dapat dilaku … bersumber dari APBN atau sumber lain yang sah dan ini penuh ketidakpastian, jadi pengeluaran operasional BPKH itu memang ditentukan berdasarkan … berdasarkan persentase dari nilai manfaat keuangan haji, tapi ini ada frame yang memfilter yang mengawasi bahwa pertama, pengeluaran operasional BPKH dilakukan dengan prinsip rasional, efektif, efisien, transparan, dan accountable. Bagaimana kita mengujinya? Pertama dari sisi perencanaan anggaran, besaran untuk operasional BPKH diusulkan oleh BPKH dan ditetapkan oleh menteri, karena ini bukan bagian dari menteri keu … Menteri Agama, setelah mendapat persetujuan DPR, jadi dua filternya. Pada saat pelaksanaannya nanti, setelahnya, post nanti diaudit oleh BPK dan DPR. Jadi sangat-sangat menurut kami pengawasan dari penggunaan dan operasional ini cukup ketat dan cukup prudent ke depannya.

Kemudian, penggunaan US Dollar, Pasal 50 BPKH dalam pengelolaan keuangan haji menggunakan sistem satuan hitung mata uang rupiah. Yang dimaksudkan di sini lebih kepada mata uang untuk penyusunan pelaporan keuangan. Karena yang menurut hemat kami … karena kalau kita mengacu ke PSAK itu pernyataan standar yang digunakan untuk pembuatan laporan keuangan di Indonesia yang mengacu ke IRS itu. Bahwa ada pasal PSAK Nomor 52 Tahun 1998 tentang Mata Uang Pelaporan Pencatatan dan Fungsional, dimana mata uang pelaporan itu adalah mata uang yang digunakan dalam menyajikan keuangan. Jadi dalam membuat laporan keuangan harus mengacu kepada standar. Karena kalau tidak mengacu kepada standar, maka laporan keuangan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan institusi sejenis atau kepada periode-periode tertentu, sehingga pada saat diaudit, lembaga auditor BPK, BPKH dan sebagainya tidak memberikan opini atau menjadi disclaimer, jadi sangat perlu mengacu kepada ketentuan mengenai bagaimana suatu laporan keuangan itu diacu.

Selebihnya yang paling penting adalah kaitannya dengan Undang-Undang Mata Uang Republik Indonesia. Di mana sebagai negara kesatuan yang berdaulat, sudah sepantasnya kalau BPKH itu menggunakan mata uang rupiah sebagai dasar untuk pengelolaan

(27)

keuangannya, kalau … apalagi BPKH sebagai badan hukum publik. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita akan bangga dengan rupiah, China saja sudah mulai … memulai semua upaya mereka untuk mendorong Yuan menjadi mata uang dunia menggantikan Dollar. Kalau kita tidak bangga dengan Rupiah, siapa lagi, dan kapan lagi kita akan bangga dengan Rupiah.

Jadi menurut hemat kami, Pak … Bapak Pimpinan dan Anggota Majelis Hakim yang kami muliakan, sudah sangat sepantasnya malah seharusnya BPKH menggunakan mata uang Rupiah sebagai dasar untuk mengelola keuangan. Kalaupun nanti ada upaya untuk melindungi nilai setoran jemaah karena ada pengaruh volatilitas nilai tukar rupiah, ini bisa diatur dengan aturan teknis ke bawahnya, misalnya untuk kebijakan

lindung nilai atau hedging bisa diatur dengan peraturan Menteri Agama

atau malah peraturan BPKH, tidak perlu diatur di dalam undang-undang ini.

Demikian, yang bisa kami sampaikan Pimpinan dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan, lebih-kurangnya mohon maaf, terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

27. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Pak Ramadhan Harisman. Waktunya masih 35 menit, untuk 10 menit saya … paling lama. Saya berikan untuk Pak Anggito Abimanyu sebagai Ahli Ad Informandum. Saya persilakan di Mimbar.

28. AHLI DARI MAHKAMAH KONSTITUSI: ANGGITO ABIMANYU

Bismillahirrahmaanirrahiim, Yang Mulia Ketua dan Anggota Panel Hakim Mahkamah Konstitusi uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014, mohon Pak Fathul Hadie Utsman dan keluarga dari Banyuwangi, Termohon Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Hukum dan HAM, Termohon pihak DPR RI yang diwakili oleh pimpinan Komisi VIII DPR RI.

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehubungan dengan surat Mahkamah Konstitusi kepada kami untuk memberikan keterangan Ad Inforandum perihal Pengujian Materi Nomor Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, kami menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Yang Mulia Ketua dan Para Anggota Panel Hakim Mahkamah Konstitusi atas undangan tersebut.

Pokok permohonan uji materi Undang 34 dan Undang-Undang Nomor 13 yang dimaksudkan oleh Pemohon pada hakikatnya menyangkut lima materi dalam undang-undang tersebut yang

(28)

dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni pertama Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, kedua Pasal 5 Nomor … poin b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 mengenai setoran awal BPIH, Undang-Undang Nomor 23 … Pasal 23 ayat (2) mengenai nilai manfaat BPIH, Undang-Undang Nomor 13 Pasal 30 ayat (1) mengenai pungutan biaya oleh BPIH, dan kelima adalah Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 6 ayat (4), ayat (5), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 mengenai setoran awal dan nilai manfaat BPIH ke rekening BPIH.

Yang Mulia Ketua dan Para Anggota, Pihak Termohon, dan Pihak Pemohon. Izinkanlah kami menyampaikan rincian hasil kajian kami terhadap materi yang disampaikan oleh Pihak Pemohon. Pertama, mengenai pembatasan keberangkatan jemaah haji satu kali seumur hidup. Permohonan tersebut menurut kami dapat diterima dengan alasan keadilan, asas manfaat, dan sebagai upaya untuk menyaring panjangnya antrian haji, dan kiranya hal tersebut dapat ditampung dalam substansi perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 seperti yang disampaikan oleh pihak DPR.

Kementerian Agama seperti yang disampaikan oleh pihak saksi dari Pemerintah sebetulnya telah melaksanakan kebijakan tersebut dengan membuat peraturan Menteri Agama yang berupa kebijakan penundaan keberangkatan jemaah haji yang pernah berhaji. Kalau tidak salah dalam empat tahun terakhir dan telah terus dilanjutkan hingga saat ini. Karena ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 ayat (4) belum mengatur secara tegas hal tersebut, Kementerian Agama sebetulnya hanya melakukan penundaan keberangkatan jemaah haji yang sudah berhaji pada tahap pengisian kuota haji diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah berhaji. Alasan penundaan tersebut adalah memberi kesempatan bagi yang belum pernah berhaji dan antrian yang mencapai lebih dari 12 tahun.

Kami sepakat dengan Pihak Pemohon agar pembatasan haji satu kali dijadikan suatu norma agar memiliki kepastian hukum. Perlu kami sampaikan dalam naskah akademik dan perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 yang sekarang sedang digodok oleh DPR telah ada wacana mengenai persyaratan … perubahan persyaratan menunaikan ibadah haji dengan syarat poin c belum pernah melakukan ibadah haji dengan keterangan pengecualian, pengecualian pada pasal penjelasan.

Kedua, ketentuan mengenai perlu tidaknya membayar setoran awal BPIH? Pihak Pemohon menyampaikan argumen bahwa pembayaran setoran awal pihak awal BPIH oleh jemaah tunggu tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat(1), dan Pasal 28H ayat (4) yang berupa hal untuk mendapatkan kepastian hukum, hak untuk memperoleh asas atas hak milik yang tidak

(29)

boleh diambil alih oleh (suara tidak terdengar jelas) sewenang-wenang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (2).

Sehubungan hal tersebut, kami akan sampaikan pendapat sebagai berikut. Perjalanan ibadah haji ke Arab Saudi memerlukan biaya perjalanan tidak sedikit. Biaya perjalanan ibadah haji atau BPIH tersebut tahun ini disampaikan oleh Menteri Agama berjumlah 3.150 untuk direct cost dan Rp15.000.000,00 berjemaah untuk indirect cost. Bukan tidak mungkin dalam 15 tahun BPIH bisa mencapai angka di atas 4.500 plus Rp30.000.000,00. untuk direct cost. Untuk meringankan beban tersebut, maka dengan dasar Undang-Undang Nomor 13 Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasional atau teknis berupa pembayaran setoran awal atau cicilan atau down payment BPIH.

Jadi menurut kami, setoran awal dimaksudkan untuk meringankan beban jemaah haji yang akan berangkat dengan cara mencicil. Setoran awal tersebut disimpan pada rekening Menteri Agama di Bank Syariat dengan maksud untuk menjaga tingkat keamanan, jaminan, dan tanggung jawab, serta memberikan nilai manfaat kepada jemaah. Penetapan Bank Syariah sebagai bank penerima setoran awal dipersyaratkan oleh bank yang telah dijamin oleh lembaga penjamin simpanan. Jadi setoran awal tersebut tidak diambil alih kepemilikannya, tetapi dititipkan atau diwakilkan kepada Menteri Agama dengan akad wakalah untuk dikelola melalui manajemen syariah, profesional, amanah, serta nirlaba.

Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014, masalah kepemilikan dana dan pengelolaan dana telah tegas-tegas diatur sehingga memberikan kepastian hukum bahwa dana setoran awal dan nilai manfaat BPIH jemaah tunggu adalah milik jemaah dan diwakilkan kepada BPIH atau Badan Pengelola Keuangan Haji. Setoran awal tersebut dimaksudkan juga akan memberikan kepastian akan niat seseorang berangkat haji dan sekaligus menunjukkan indikator kemampuan keuangan atau istitoah dari jemaah calon haji.

Argumentasi bahwa adanya calon atau setoran awal tersebut menutup hak mendaftar bagi para calon jemaah muda yang belum berpenghasilan dapat diatasi dengan melakukan kerja sama atau bantuan pihak keluarga atau pihak terkait secara sukarela dengan dasar saling tolong-menolong untuk membayar setoran awal. Perlu kami sampaikan bahwa penelitian Dirjen PHU bekerja sama dengan FEB UIN Syarif Hidayatullah tahun 2014, setoran awal dapat mengurangi antrean haji. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jemaah tidak wajib … apabila jemaah tidak diwajibkan setoran awal BPIH, maka antrean haji akan menjadi lebih panjang lagi. Dengan antrean setoran awal atau DP, saat ini rata-rata mencapat 14 tahun. Menurut penelitian tersebut tanpa setoran awal, diperkirakan antrean akan menjadi 20 tahun. Hal tersebut tentu tidak dikehendaki oleh calon jemaah haji, termasuk oleh Pemohon.

Referensi

Dokumen terkait

a) Pusat Teknologi Tepat Guna (PT2G) mempunyai tugas melaksanakan promosi dan publikasi teknologi tepat guna baik berupa perangkat atau peralatan maupun sistem operasi (software)

Jika sudah ketemu dengan file popojicms yang akan anda upload, silakan klik kanan pada nama file popojicms.v.1.2.5 lalu klik upload.. biarkan kosong saja, lalu klik

Apabila ketuban  pecah sebelum usia kehamilan kurang dari 37 minggu akan meningkatkan risiko infeksi, juga meningkatkan risiko terjadinya penekanan tali pusat yang

Berdasarkan perbandingan nilai korelasi antara nilai dugaan respon akhir dan peubah respon

4) Banyaknya kunyahan makanan per menit pada masing-masing kelompok umur  Sedangkan untuk menentukan perbedaan lamanya waktu yang diperlukan untuk merumput dan lamanya

Meyakinkan keandalan informasi, fungsi audit internal yang ketiga ini juga telah sesuai dengan standar perusahaan bahwa fungsi audit internal yaitu Memberikan

Dalam asumsi pertama, ijtihad sama dengan ra'yu; dan dalam asumsi kedua, ijtihad sama dengan qiyas. Oleh sebab itu, aliran ini sangat dominan mengunakan ra'yu dengan

Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi arus kas operasional perusahaan maka semakin tinggi kepercayaan investor pada perusahaan tersebut, sehingga