• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan Mobilisasi id. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " Laporan Pendahuluan Mobilisasi id. docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

A. Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia Gangguan Mobilisasi 1. Definisi Pengertian

 Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi. (Mubarak, 2008).

 Potter dan Perry (1994) menjelaskan mobilisasi mempunyai banyak tujuan, seperti mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan mobilisasi fisik secara optimal maka sistem saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik.

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. Sedangkan gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995 dalam Fundamental Keperawatan Potter dan Perry, Ed. 4.)

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi

Gangguan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam mobilisasi dapat disebabkan oleh trauma, kondisi patologis, beberapa penyakit yang beresiko menyebabkan stroke seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis serta kontak antara sumber panas.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Mobilisasi : (Aziz Alimul;2006) a. Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.

b. Proses Penyakit/Cedera

(2)

fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bawah.

c. Kebudayaan

Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Contohnya orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan kebudayaan tertentu dilarang untuk beraktivitas.

d. Tingkat Energi

Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi. Agar seseorang dapat melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.

e. Usia dan Status Perkembangan

Terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

 Bayi: sistem muskuloskeletal bayi bersifat fleksibel. Ekstremitas lentur dan persendian memiliki ROM lengkap. Posturnya kaku karena kepala dan tubuh bagian atas dibawa ke depan dan tidak seimbang sehingga mudah terjatuh.

 Batita: kekakuan postur tampak berkurang, garis pada tulang belakang servikal dan lumbal lebih nyata

 Balita dan anak sekolah: tulang-tulang panjang pada lengan dan tungkai tumbuh. Otot, ligamen, dan tendon menjadi lebih kuat, berakibat pada perkembangan postur dan peningkatan kekuatan otot. Koordinasi yang lebih baik memungkinkan anak melakukan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik yang baik.

 Remaja: remaja putri biasanya tumbuh dan berkembang lebih dulu dibanding yang laki-laki. Pinggul membesar, lemak disimpan di lengan atas, paha, dan bokong. Perubahan laki-laki pada bentuk biasanya menghasilkan pertumbuhan tulang panjang dan meningkatnya massa otot. Tungkai menjadi lebih panjang dan pinggul menjadi lebih sempit. Perkembangan otot meningkat di dada, lengan, bahu, dan tungkai atas.

(3)

Pusat gravitasi berpindah ke bagian depan. Wanita hamil bersandar ke belakang dan agak berpunggung lengkung. Klien biasanya mengeluh sakit punggung.

 Lansia: kehilangan progresif pada massa tulang total terjadi pada orangtua. (Potter and Perry, 2005)

f. Kondisi patologis Postur abnormal:

 Tortikolis: kepala miring pada satu sisi, di mana adanya kontraktur pada otot sternoklei domanstoid.

 Lordosis: kurva spinal lumbal yang terlalu cembung ke depan/ anterior

 Kifosis: peningkatan kurva spinal torakal

 Kipolordosis: kombinasi dari kifosis dan lordosis.

 Skolioasis: kurva spinal yang miring ke samping, tidak samanya tinggi hip/ pinggul dan bahu.

 Kiposkoliosis: tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan lateral.

 Footdrop: plantar fleksi, ketidakmampuan menekuk kaki karena kerusakan saraf peroneal.

 Gangguan perkembangan otot, seperti distropsi muskular, terjadi karena gangguan yang disebabkan oleh degenerasi serat otot skeletal

 Kerusakan sistem saraf pusat

g. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal: kontusio, salah urat, dan fraktur.

h. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum ketidakmampuan dibagi menjadi dua yaitu :

 Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau trauma (misalnya : paralisis akibat gangguan atau cedera pada medula spinalis).

(4)

3. Patofisiologi

Gangguan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam mobilisasi dapat disebabkan oleh trauma, kondisi patologis, beberapa penyakit yang beresiko menyebabkan stroke seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis serta kontak antara sumber panas. Terjadinya trauma dan kondisi patologis tersebut dapat menimbulkan fraktur yang menyebabkan pergeseran fragmen tulang sehingga terjadi perubahan bentuk (deformitas) yang menimbulkan gangguan fungsi organ dan akhirnya menimbulkan hambatan mobilitas fisik. Beberapa penyakit seperti hipertensi, DM, Arterosklerosis, embolis dapat menyebabkan pembekuan darah dan terjadi penyempitan pembuluh darah sehingga aliran darah ke otak terganggu dan terjadi iskemia sel-sel otak yang menimbulkan stroke yang menyerang pembuluh darah otak bagian depan mengakibatkan penurunan kekuatan otot (hemiparesis) hingga hilangnya kekuatan otot (hemiplegia) yang akhirnya menimbulkan hambatan mobilitas fisik. Penyebab lain karena kontak langsung yang terjadi antara tubuh dengan sumber panas ekstrem seperti air panas, api, bahan kimia, listrik yang menyebabkan kombustio (luka bakar) dan merusak jaringan kulit yang lebih dalam, menimbulkan sensasi nyeri terutama saat dilakukan pergerakan pada bagian tersebut sehingga terjadi hambatan mobilitas fisik.

Pathway : Hambatan Mobilitas Fisik

Fraktur

Merusak jaringan kulit yang lebih

dalam

Kontak antara sumber panas, (air panas, api, bahan kimia, listrik)

dengan kulit Hipertensi, DM,

Arterosklerosis, embolis

(+) plak, bekuan darah

Diameter pembuluh darah menyempit Trauma

Kondisi Patologis

Pergeseran Fragmen

(5)

Gangguan mobilitas

Hambatan mobilitas fisik

Iskemia sel-sel otak

Deformitas Menimbulkan

sensasi nyeri Aliran darah ke

otak terganggu

Stroke

Hemiparesis, hemiplegia Menyerang anterior cerebral

arteri Gangguan

fungsi organ Kesakitan saat

bergerak

Pasien lebih banyak berbaring

Kesulitan untuk melakukan perawatan diri

Defisit perawatan diri Penekanan pada

area penonjolan tulang

Dekubitus

(6)

4. Klasifikasi Mobilisasi dan Imobilisasi 1. Jenis Mobilisasi

a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

b. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat mengalami mobilisasi sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilisasi sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Mobilisasi sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Dapat disebabkan oleh trauma reversible pada sistem musculoskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.

2. Mobilisasi permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang ireversible, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik dan sensorik.

2. Jenis Imobilisasi

(7)

b. Imobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Imobilisasi emosional, keadaan ktika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

d. Imobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

5. Gejala Klinis

Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) 2012-2014, batasan karakteristik dari hambatan mobilitas fisik adalah sebagai berikut:

 Penurunan waktu reaksi.

 Kesulitan membolak balik posisi

 Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti gerakan (mis. meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan prilaku, fokus pada ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit).

 Dispnea setelah aktivitas.  Perubahan cara berjalan.  Gerakan gemetar.

 Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus.  Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar.  Keterbatasan rentang pergerakan sendi

 Tremor akibat pergerakan.  Ketidakstabilan postur.  Pergerakan lambat.

 Pergerakan tidak terkodinasi

Seseorang yang mengalami gangguan mobilitas fisik akan menunjukan tanda dan gejala seperti di atas.

6. Pemeriksaan Fisik

1. Mengkaji skelet tubuh

(8)

tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.

2. Mengkaji tulang belakang

 Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)  Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)

 Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang berlebihan)

3. Mengkaji system persendian

Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi

4. Mengkaji system otot

Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.

5. Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan abnormal (misalnya cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).

6. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

7. Mengkaji fungsional klien

7. Pemeriksaan Penunjang a. Sinar X tulang

Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur dan perbuatan hubungan tulang.

b. Radiologis

 Dua gambar, anterior posterior (AP) dan lateral  Memuat 2 sendi diroksimal dan distol fraktur

 Memuat gambar foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang kena cidera dan ekstremitas yang tidak terkena cidera (pada anak dilakukan 2 kali yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan c. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu

(9)

atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi. d. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,

noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang Dll.

e. Pemeriksaan Laboratorium:

Darah rutin, faktor pembekuan darah golongan darah crostet dan analisa. Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.

8. Teraphy/Tindakan Penanganan 1. Kesejajaran Tubuh

Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat mengangangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi yang tepat, dan memindahkan klien dengan posisi yang aman dari tempat tidur ke kursi atau brankar.

Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu : posisi fowler (setengah duduk), posisi litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi supinasi (terlentang), posisi pronasi (tengkurap), posisi lateral (miring), posisi sim, posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki)

2. Mobilisasi Sendi

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat mengajarkan klien latihan ROM. Apabila klien tidak mempunyai control motorik volunteer maka perawat melakukan latihan rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu : Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal paha.

(10)

Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus mencegah dan meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus diarahkan untuk mempertahankan fungsi optimal pada seluruh sistem tubuh.

9. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi (Komplikasi)

Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung dari umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda (Perry dan Potter, 1994). 1. Perubahan Metabolisme

Secara umum imobilisasi dapat mengganggu metabolisme secara normal, mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate (BMR) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dpat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.

2. Ketidakseimbangan cairan dan Elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravascular ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Ekskresi kalsium dalam urine ditingkatkan melalui resorpsi tulang.Imobilisasi menyebabkan pelepasan kalsium ke dalam sirkulasi.Dalam keadaan normal ginjal dapat mengekskresi kelebihan kalsium.Jika ginjal tidak mampu berespon dengan tepat maka terjadi hiperkalsemia (Holm, 1989 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed.4, Vol.2).

3. Gangguan Fungsi Gastriointestinal

(11)

gastrointestinal bervariasi dan mengakibatkan penurunan motilitas saluran gastrointestinal. Konstipasi merupakan gejala umum. Diare sering terjadi akibat impaksi fekal. Perawat harus waspada terhadap temuan penemuan seperti ini yaitu bukan diare yang normal, tetapi lebih cair feses yang berjalan melalui area yang terjepit. Jika dibiarkan tidak ditangani, impaksi fekal dapat mengakibatkan obstruksi usus mekanik sebagian ataupun keseluruhan yang menyumbat lumen usus, menutup dorongan normal dari cairan dan udara. Akibat adanya cairan dalam usus menimbulkan distensi dan peningkatan tekanan intraluminal. Selanjutnya, fungsi usus menjadi tertekan, terjadi dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan cairan dan elektrolit semakin memburuk.

4. Perubahan Sistem Pernapasan

Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga menyebabkan anemia.

5. Perubahan Kardiovaskular

(12)

yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah.

6. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

Perubahan yang terjadi dalam sistem musculoskeletal sebagai dampak dari imobilisasi adalah sebagai berikut :

a. Pengaruh Otot. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.

b. Pengaruh Skeletal. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989 dalam Fundamental KeperawatanPerry dan Potter Ed.4, Vol.2). Apabila osteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium terlepas ke dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadi hiperkalsemia. Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi dimana terjadi kondisi abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur sering menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi (Lehmkuhl et al, 1990 dalam Fundamental Keperawatan Perry dan Potter Ed. 4, Vol. 2). Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot drop, dimana kaki terfiksasi pada posisi plantarfleksi secara permanen. Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi ini.

7. Perubahan Sistem Integumen

(13)

8. Perubahan Eliminasi

Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.Klien dengan imobilisasi berisiko terjadi pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia. Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas, dan penyebab lain seperti demam, akan mengakibatkan resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun, umunya urine yang diproduksi berkonsentrasi tinggi.Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi.Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi terutama pada wanita, meningkatkan risiko kontaminasi saluran perkemihan oleh bakteri Escherechia Coli. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.

9. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilisasi karena selama proses imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-lain

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian (data subjektif dan objektif berdasarkan 11 Pola Funsional Gordon)

a. Persepsi dan Penanganan Kesehatan

DS : upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya DO : pengamatan umum

b. Nutrisi-Metabolik

DS : - intake makanan dan minuman per 24 jam - mual/muntah

(14)

c. Eliminasi

DS : frekuensi BAK (polyuria, nokturia, bisa menjadi oliguria.anuria jika terjadi hipovalemi), karakteristik BAK dan BAB

DO : jumlah urine, warna, bau, dan berat jenis urine gangguan eliminasi urine dan fekal

d. Aktivitas-Latihan

Tanyakan pada klien atau keluarga mengenai pola aktivitas/ latihan klien sebelum sakit dan saat sakit.

Kemampuan perawatan

diri 0 1 2 3 4

Makan dan minum Mandi

Toileting Berpakaian Berpindah Keterangan :

0 = Mandiri 3 = Di bantu orang lain dan alat 1 = Alat bantu 4 = Tergantung total

2 = Di bantu orang lain e. Tidur-Istirahat

DS : kebiasaan lama tidur

DO :waktu tidur siang, malam, sering menguap f. Kognitif-Persepsi

DS : ada masalah sensori persepual : pendengaran, pengligatan, sensasi, penciuman, pengecapan

DO : kemampuan melihat, menengar, mencium dan merasakan g. Persepsi Diri – Konsep Diri

DS : perasaan tidak berdaya dengan sakit yang diderita DO : ekspresi wajah

h. Peran – Hubungan

DS :- pengaruh sakit terhadap pekerjaan - keefektifan hubungan dengan orang lai DO :- tingkah laku yang pasif

- interaksi yang terjadi i. Seksualitas – Reproduksi

DS : dampak sakit terhadap seksualitas DO : pemeriksaan genetalia

j. Koping – Toleransi Stres

(15)

DO : interaksi dengan orang lain dan tidak ada kontak mata k. Nilai – Kepercayaan

DS : agama, spiritual maupun kegiatan keagamaan

DO : usaha untuk mencari bantuan spiritual (kunjungan rohaniawan)

2. Kemampuan Fungsi Motorik

Pengkajian motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan, atau spastis.

3. Kemampuan Mobilisasi

Pengkajian kemampuan mobilisasi dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah anpa bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut :

Tingkat Aktivitas/Mobilisasi Kategori

Tingkat 0 Mempu merawat diri secara penuh

Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat

Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan

Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan

4. Kemampuan Rentang Gerak

Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM) dilakukan pada daerah seperti bau, siku, lengan, panggul dan kaki.

Tipe gerakan Derajat rentang

normal Leher, spinal, servikal

Fleksi : menggerakkan dagu menempel ke dada 45 Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak 45 Hiperekstensi : menekuk kepala ke belakang sejau mungkin 10 Fleksi lateral : memiringkan kepala sejau mungkin ke arah setiap bahu

40-45

Rotasi : memutar kepala sejau mungkin dalam gerakan sirkuler

180

Bahu

(16)

depan ke posisi di atas kepala

Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi semula 180 Abduksi : menaikkan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala

180

Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubu sejau mungkin

320

Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang.

90

Rotasi luar : dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala

90

Lengan bawa

Supinasi : memutar lengan bawa dan telapak tangan seingga telapak tangan menghadap ke atas

70-90

Pronasi : memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah

70-90

Pergelangan tangan

Fleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi dalam lengan bawah

80-90

Ekstensi : menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan, dan lengan bawa berada pada arah yg sama

80-90

Abduksi (fleksi radial) : menekuk pergelangan tangan miring (medial) ke ibu jari

Sampai 30

Adduksi (fleksi luar) : menekuk pergelangan tangan miring (medial) ke ibu jari

30-50

Jari-jari tangan

Fleksi : membuat pergelangan 90

Ekstensi : meluruskan jari tangan 90

Hiperkstensi : menggerakkan jari-jari tangan ke belakang

Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus menjau dari tangan 90 Pinggul

Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan atas 90-120 Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang

lain

90-12 0

Lutut

(17)

Dorsofleksi : menggerakkan sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas

20-30

Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah

45-50

5. Kekuatan Otot Dan Gangguan Koordinasi

Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau tidak. Derajat kekuatan otot ditentukan dengan :

Skala Presentase kekuatan normal

Karakteristik

0 0 Paralisis sempurna

1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat

2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi

4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh ang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh

6. Pengkajian Fisik

 Keadaan umum pasien

 Kesadaran

 Pemeriksaan TTV

Analisa (pegelompokan data)

No Tgl Data Penyebab/interpretasi Masalah

1 Ds :

Klien mengatakan tidak bisa beraktivitas secara mandiri

(18)

Do :

Tgl Muncul Dx Keperawatan Tgl Teratasi Ttd

1. Hambatan mobilitas fisik

2. Defisit perawatan diri

3. Risiko kerusakan integritas kulit

(19)
(20)

DAFTAR PUSTAKA

Mubarak,Wahit Iqbal.(2008).Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan Aplikasi Dalam Praktik.Jakarta:EGC

Bulechec M.Gloria, Butcher K. Howard, Dochterman Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 5. Amerika: Mosby

Moorhead, Sue. 2004. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. USA: Mosby Elseviyer.

limul H., A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta : Salemba Medika

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik,Ed.4. Vol.2. Jakarta : EGC

Referensi

Dokumen terkait

Luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas atau

elain serangan jantung, luka yang paling dahsyat yang terjadi saat cedera listrik  adalah kulit terbakar, yang paling parah pada luka masuk dan tubuh yang kontak  dengan

Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.. 3

• Luka bakar adalah bentuk cedera pada kulit akibat trauma oleh panas , listrik, zat kimia atau zat radioaktif.. • Luka bakar disebabkan oleh pemindahan energi dari sumber panas

• Oli dan komponen yang panas dapat menyebabkan luka hindari kontak langsung dengan kulit. • Matikan mesin bila menambahkan bahan bakar atau pelumas. • Dilarang merokok

Bahan kimia dapat menyebabkan iritasi, luka bakar pada kulit, berlendir, mengganggu sistem pernafasan bila kontak dengan kulit, dihirup atau ditelan... Nama Bahan kimia :

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan sumber panas, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya akibat terkena api terbuka atau tersiram air panas yang

Luka bakar adalah suatu trauma yang dapat disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia, petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan-jaringan yang lebih dalam.. Dalamnya