Antara Aku, Kau & Hujan
Muhammad Anhar Copyright © 2013 by:Muhammad Anhar
Editor: [sigmAksara] Desain Sampul & Layout :Caca Kartiwa
http://crimsonstrawberry.wordpress.com Diterbitkan oleh:
Najwa Publisher
e-mail:[email protected] Cetakan Pertama, Maret, 2013
Partner POD: nulisbuku.com
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights reserved
Daftar isi
1. Antara aku kau dan hujan__________________________7
2. Janji Haikal________________________________________15
3. Ihwal Kenangan___________________________________21
4 Hujan yang Membawaku___________________________29
5. Pilihan Hari________________________________________35
6. Mengeja Relung Nayla____________________________45
7. Rumah Hira________________________________________49
8. Menunggu Lara___________________________________55
9. Tanya yang Tak Tereja____________________________59
10. Dialog Dua Jiwa___________________________________63
11. Ti________________________________________________67
12. Sebingkai Cerita__________________________________73
13. Kembalinya Si Baen_______________________________79
14. Pak Uban________________________________________87
15. Catatan Sahari___________________________________99
16. Lelaki yang menunda damai______________________105
17. Pada Sebuah Perjalanan_________________________111
18. Aku dan Lelaki Sore Itu____________________________117
19. Malam Peramu Mimpi_____________________________123
20. Aku dan Mimpi yang Kutemu_______________________127
21. Labirin Mimpi_____________________________________133
22. Pak Yunyi________________________________________137
23. Semua Tentang Kita______________________________143
Membaca cerpen-cerpen seorang Anhar seperti membaca kehidupan lebih dekat dan lebih erat. Saat itu pula, ia seperti mengajak pembaca bertualang dalam dunia yang telah lama ada tapi dengan cara yang berbeda. Tak ragu saya menyatakan, Ia adalah cerpenis yang piawai meramu kehidupan dalam tiap ceritanya. Cerpen-cerpennya adalah potongan-potongan kehidupan yang sayang jika tak dibaca….
~Fitri AB ( Penyair, Mahasiswi Pasca sarjana Unimed) Cerpen-cerpen Anhar memadukan realita dengan sentuhan imajinasi, perpaduan ini membuat cerpen-cerpen Anhar kaya akan nilai estetis tanpa harus kehilangan kontekstualitas zamannya. Cerpen-cerpen Anhar perlu dibaca semua pecinta sastra, dan menjadi renungan bersama.
~Jones Gultom ( Redaktur Sastra Harian Medan Bisnis) Santun, kesan pertama saya ketika mengenal seorang Anhar. Tulisannya terkesan ringan, tak perlu mengernyit dahi untuk menikmatinya, tapi selalu mampu membawa saya “berhenti” dari rutinitas berfikir untuk sejenak hanyut dalam alur ceritanya. Dan sepertinya lelaki penyuka hujan ini romantis… hehehe. “hujan adalah seribu tangan yang menjulur membawa kotak-kotak cerita, maka ceritakanlah hujanmu…”
~Seroja white (Seorang Ibu, Pendidik & Penulis) “Kurindui” karya yang tercipta dari seorang pujangga si peramu mimpi. Kata-kata indah namun sederhana. Setiap cerpennya memiliki roh, yang akan menghipnotis jiwa-jiwa yang kosong akan cerita-cerita imajinatif.
~Tri Periwi (Pecinta sastra, Mahasiswi UMN AW Medan) Kekuatan cerita-cerita seorang Muhammad Anhar adalah terletak pada cara Ia mengubah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu cerita yang sulit ditebak, misterius, namun mengesankan!
Sering kali menyayat, meski tak luput atas besarnya rasa cinta. Sederhana, punya ciri khas yang tidak luput dalam tiap cerita-cerita yang ditulisnya…
~Ernisa Purba (Mata Pena NBC Medan, Owner Aeki T-Sirt) Anhar itu sahabat yang sejak dulu kukenal baik & sederhana. Dia adalah pemimpi tingkat tinggi yang tak pernah mau kehilangan api semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Salut buatmu Anhar, semoga semua mimpi-mimpimu terwujud. Tetap sederhana ya!
~Azrina Purba (Mahasiswi Pasca sarjana Unimed, Guru) Melukis jejak lewat kata, itu lebiasaanmu. Kata demi kata mengalir apa adanya, tapi kali ini kumaknainya sebagai sesuatu yang sederhana & menghanyutkan. Teruslah berjejak lewat kata, aku menantinya…
~Lisa (Mahasiswi B.Inggris UMN AW, penulis) Hanya satu kata yang tepat saya katakan, “Indah!” karya yang mampu memberi kesan tersendiri bagi pembacanya. Pemilihan diksi yang manis dan romantis, selalu memaksaku untuk terus mengikuti alur cerita hingga aku terperangah di tiap ending cerita yang dibuatnya!
~Ayu Sundari Lestari ( Mahasiswi, Cerpenis Medan) Membaca tulisan Bang Anhar, tak ubahnya menikmati secangkir kopi. Belum akan berhenti sebelum tandas tegukan terakhir. Setelahnya juga tak henti, menyulut rasa penasaran, tentang siapa sebenarnya tokoh dalam cerita.
~Ulfa Zaini (Prosais, Mahasiswi Bahasa Indonesia Unimed) Berbicara tentang Anhar, tak lengkap jika tak bersinggungan dengan cerpen-cerpennya yang selalu khas, mengalir serta ending cerita-ceritanya yang menarik itu. Mantap!
Kumpulan cerita yang sangat menarik dengan bahasa yang indah membuat pembaca hanyut ke dalamnya. Sastranya amat terasa dengan ciri khas seorang Anhar”
~Venny Mandasari, Cerpenis) Membaca cerpen-cerpen Bang Anhar, ibarat memakan durian. Tak cukup sekali, pun harum baunya.
~ Maulana Satrya Sinaga (Penyair ) Alur cerita-cerita yang dibangunnya begitu bagus, diksinya juga memumpuni. Secara keseluruhan sangat imajinatif.
~Tiflatul Husna (Penyair, ) Seperti tengah menikmati hangatnya suguhan teh di sore hari yang basah. Menentramkan jiwa. Filosofi hidup dan cinta yang diolah secara sederhana namun sarat makna. Salute to Muhammad Anhar! Good job. Proud of you!
~Setiawati (Entreprenuer, Penulis) Muhammad Anhar, adalah penulis dengan kejernihan hati, kesederhanaan jiwa. Semua itu terasa dalam cerita-cerita yang ia tuturkan.
~Abdillah Putra Siregar (Guru, Novelis) Segala mimpi akhirnya menjadi nyata, “Bravo kak Anhar!”
~Wulandari Persiani, Guru TK Khalifah, penulis) Saya mengenal Mas Anhar dari blognya. Saya suka membaca tulisan-tulisan Mas Anhar karena gaya bahasanya memang bagus. Buku ini sangat menarik, saya harus punya buku ini.
~Din Afriansyah (Penggiat IT, Blogger Sumut ) Tulisan adalah saksi bisu sejarah, meski ia bisu, nyatanya ia berbicara lebih ketimbang lisan. Begitupula dengan buku ini.
Gerimis masih menggaris di
etalase toko.Sama sepertiku yang
kini menggarisi rindu. Ya, rindu
padamu, perempuan pecinta
hujan.
Dulu, kerapkali kudengar senandungmu tentang hujan dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya. Sungguh, suaramu dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah. Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini.
“Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu, dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini telah terlingkar cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah asa untuk memilikimu.
Ah! Segalanya seperti mimpi. Andai engkau sudi berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu itu, tentu aku berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat ini.
Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan berteduh di emperan toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku menunggu bus atau becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda motorku.
Di tempat ini pula, kita bertemu, aku senang kamu datang. Hanya ulas senyum yang tersungging, tak ada tingkah lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa sangat beruntung menemukanmu lagi di tempat ini.
Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu yang dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku.
Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir. Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan banyak menabrakku. Kini ibu itu meminta maaf, berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang awas. Tangan yang keriput itu mencoba membersihkan kemejaku yang terkena saus dagangannya.
Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah ini tidak sengaja dilakukan. Aku bergumam, risih.
Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu memerhatikan, turut jongkok mendengarku yang berceloteh ringan menghibur si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada beberapa detik, semacam magnet yang menahan kedipan.
Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku selipkan beberapa lembar rupiah ke dalam lipatan daun pisang dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati.
Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku tersentuh. Masih kutatap langkah ringkih itu hingga di tikungan pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar dagangan di sudut emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja, berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku.
Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk hujan itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku pura-pura menyembunyikan wajah di balik koran. Selang beberapa waktu aku memejamkan mata. Meredup sejenak.
Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu. Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat wajahmu yang tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku.
Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab dengan seulas senyum bijak.
”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta merta membuat wajahku pias.
Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar tulisanku.
Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku. “Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya menyerbu bak hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu mengimbangi langkahku yang cepat.
“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu. Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu.
Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu.
“Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat sendiri.
“Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak apa, tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda seperti itu,”
“Oh... Iya, makasih,” sambungku datar.
“Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun seperti ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan kaurentangkan seolah ingin memeluk hujan.
Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah karena itu. Wajahmu benar-benar polos, tak merias muka. Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik? Gumamku sambil tetap memandangi wajah yang masih juga menengadah itu.
Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja kuketik pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa amat sayang meninggalkan saat-saat bersamamu. Sungguh, aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur hujan yang kian deras.
Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan. Masih seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini lurus mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah mudamu.
Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu mengangguk sembari tertawa riang. Aku tak tega menahan, kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.
Tampak sekerumunan anak kecil, kau mengitari mereka dan ikut larut bermain kecipak air. Anak-anak itu tak terusik sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling melempar lumpur.
Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga menyembulkan deretan gigimu yang serupa awan terang.
Ah! matamu yang serupa telaga membuatku urung menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku mengejar, dapat! Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya pegangan itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam genangan air yang bercampur guguran dedaun.
Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan. Ow! Aku lengah, curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua tercebur dalam kubangan itu. Kemeja kotak-kotakku kian lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur.
Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik! Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku. Tak pelak wajahku semakin tak karuan. Aku membalas. Kita berbalasan. Kita tergelak, bebas, bahagia.
Ah, Ulahmu barusan tidak lantas buatku marah, kamu memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu untuk menemuimu. Ya, perempuan hujan, aku memanggilmu. Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan, benar-benar persis seperti hujan.
Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda dan senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini kulihat wajahmu, tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku tanya mengapa, kamu hanya membisu. Kedua bola matamu malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di rambutku.
“Ya, aku juga, pakaian ini sudah kotor sekali,” balasku mencoba mengeja jalan pikiranmu
Gerimis mulai kudengar. Ya, kali ini gerimis itu mengalir darimu.
“Mungkin kita sudah cukup bersama...” ujarmu yang perlahan mendaratkan usapan halus di wajahku. Aku terdiam, terpejam, sebentar.
Perlahan kubuka mata. Semua masih sama, genang air masih kecoklatan. Rinai hujan masih setia membasah kepala, pakaian masih berlumur lumpur, juga sekawanan anak kecil bertelanjang dada yang kini menyambangi. Senyum mereka potret bahagia. Sembari memeras baju yang bau lumpur, mereka mendekat.
“Bang! Enak kan main hujan sama kami?” sapa mereka polos
“Oh eh, iya dek, kesinilah...” panggilku masih dengan wajah celingukan mencarimu. Mereka melingkar, merapat. Aku menatapi mereka satu persatu.
“Abang boleh nanya nggak?” tanyaku sembari mengeluarkan beberapa bungkus gula-gula dari tas. Tanpa kutawari, semua sudah berpindah ke mulut-mulut kecil itu.
Aku tersenyum melihat binar polos mata mereka saat mengulum gula-gula pemberianku.
”Abang mau nanya apa tadi?” tanya seorang anak kecil berkepang dua. Aku tersadar.
”Eh, kakak cantik yang bareng abang tadi mana ya? Kalian tahu kemana dia pergi?”
”Kakak cantik? Cewek abang ya?” ”Iya benar, ada lihat?”
”Nggak ada, dari tadi kan kita main hujan cuman sama abang”
”Beneran?”
”Masak kami bohong?”
Gerombolan anak itu meninggalkanku. Sayup senandung mereka tentang hujan lirih mengalir.
Aku terenyuh. Apa mungkin kualami halusinasi sebegini dalam? Ya, tepatnya setelah kamu berkabar akan menikah dengan lelaki yang tak lain sahabat dekatku sendiri!
Janji Haikal
O
Tidak sahabatku, tidak saja pada kenangan, tapi juga pada dirimu, seutuhmu. Aku berjanji! Pada ibumu yang dzuhur tadi barusan saja disemayamkan, yang tanahnya masih merah bata, masih basah. Aku berjanji dalam genggaman tangan keriput ibumu yang kian melemah kemarin, pada suara yang makin merendah itu. Aku akan menjagamu, membawamu ke sudut sempit kota tua ini. Aku berjanji sahabat, redakan raut lara itu, tenanglah. Masih kurengkuh wajah sayu itu, yang tangisnya seperti bocah.
***
Sahabatku, kamu masih ingat kan? Ketika kita kecil dulu, selepas mega ditelan malam, selekas suara kaset mengaji menggerayang telinga, menyeruku yang masih telanjang dada berendam di tepian sungai yang dangkal, yang berkali-kali menyerumu yang masih saja pamer salto belakang dari pohon jambu biji yang dahannya menjorok ke sungai.
Para bangau di pematang sawah melintas di atas kepala, meninggalkan kita. Kepak sayap mereka pulang ke sarang, membawa sejumput rezeki hari ini. Saat itu juga, kita sudah berlari-lari, membawa belut-belut gemuk yang menggantung, terikat pada seutas tali dari ilalang tua. Kita menyusuri jalan setapak dengan hati-hati, karena kaki kita masih basah, karena jalan sudah serupa warna tanah yang disepuh merah pucat senja.
Sambil sesekali berlari, kita memeras baju yang berbau lumpur, memutar-mutarnya seolah baling-baling helikopter. Kita cekikikan sampai di rumah untuk berganti sekenanya, lantas aku bergegas menyambar sarung yang mulai pudar warnanya, sangit baunya.
Sambil memengunyah singkong goreng yang sedari tadi aku kantongi dan mengenakan sarung dengan gulungan yang asal jadi, mulutku yang penuh makanan itu memanggilmu dari halaman rumah. kali ini teriakanku disahuti omelan emakku, “nggak tahu maghrib Kal?”
Untung saja emak masih sibuk dengan kepingan emping belinjo yang dari siang tadi dihamparnya di teras rumah. Oi, tentu saja kamu mendengarku, karena tiba-tiba sosokmu melesat, melompat dari daun jendela tak berjeruji dengan sarung melingkar, seperti maling saja kurasa, makin komplit gelar itu karena kamu dengan wajah cemas menenteng selop butut cunghai. Haha, itu kan selop bapakmu, selop awet! Aku berani bertaruh, kamu pasti baru saja memutuskan selop untuk ke-3 kali dalam seminggu ini.
“Parah benar kamu Wan, kakimu itu lasak bukan main ya!” ledekku yang tak kau gubris saat itu.
“Wusss…!” Seperti angin kau meninggalkanku beberapa meter, dalam sekejap.
“Woiii…!” seruku, yang tanpa ba-bi-bu mencincing sarung layaknya orang bercelana kedodoran. Beberapa saat kemudian kita berebut jalan setapak, jalan yang hanya bisa dilintasi satu-satu. Kamu selalu saja mendahuluiku, mengalahkanku dalam kecepatan.
Sesampai di gerbang masjid, berdua kita buru-buru ke arah pancuran bambu guna mengambil wudhu. Di seberang, tepatnya di dekat beduk yang tiap Idul Adha diganti kulitnya itu, Pak Leman sudah berkacak pinggang, bulunya yang lebat terpamer di lengan, juga menyembul di bidang dadanya, sedikit. Buntelan sarungnya begitu menonjol dan membuat perutnya yang melar itu terlihat tambah gendut.
“Wan, kayaknya balon di perutnya udah seperti orang hamil 7 bulan saja ya…” bisikku. Kamu membalas bisikanku dengan tawa lepas, memamerkan gigimu yang sekuning pepaya setengah masak itu.
“Hei! cepat kelien dua!” pekik lelaki itu ke arah kami dengan nada yang serak-serak basah. Ah! Pak Leman, rambutmu yang keriting hampir sebahu, berewok yang rapi dengan jambang terpelihara itu, membuatmu seperti artis idolamu, kau memang mirip (tepatnya dimirip-miripkan) dengan penyanyi yang lagunya jadi lagu wajib anak muda saat digelar keyboard pesta di kampong ini, lagu Begadang-nya om Haji Rhoma Irama.
“Oke Bang Roma!” sahutmu seraya melambai tangan. Aku menyikut, takut si lelaki itu tersinggung, marah. Tapi, sosok yang disebut begitu malah menyungging senyum, khas, senyuman meradang ala Bang Haji Oma. Ganteng versi jadul. Alamak!
Berwudhu dengan air berbau lumpur membuat ktia lekas-lekas meninggalkan pancuran dengan wudhu satu menit, lalu kita masuk ke barisan sholat yang masih diawasi oleh Pak Leman. Kamu berakting kalem seraya menyodorkan mulut ke telingaku “Sudah kayak securiti Tuhan lama-lama beliau ni lah!” keluhmu, aku hanya nyengir dan bertakbir mengikut imam.
Selepas Isya, selekas mengaji alif-ba-ta dengan Ustad Yono. Kita bermain-main di tanah lapang, menjunjung obor dari buluh bambu bersumbu kain perca. Tangan kita berayun naik-turun, kanan-kiri, menyabungnya dengan angin agar api tak kalah oleh dingin.
Dan seperti biasa, kamulah jagoannya, yang paling berani memulai, menghasut aku dan anak lelaki lainnya untuk mengekor di belakangmu yang berdiri paling depan. Niat utama pasti untuk mengganggu, menakut-nakuti gerombolan anak perempuan, terutama Delisa, anak guru ngaji kita yang tersohor paling cantik di antara kawanannya, yang juga baik perangainya. Padahal kau tahu, besoknya pasti akan dijewer sama Ustad Yono sampai kupingmu memerah kulit rambutan masak.
“Psst! Kal, kau jangan kasi tau ya sama yang lain” Bisikmu, aku mengangguk cepat.
“Apa itu?” sahutku tak kalah berbisik,
“Sebenarnya aku suka sama Delisa!” sahutmu makin pelan. Aku mencium bau tajam dari mulutmu. Ah, ya! Tadi sore kan kita baru saja makan pakai rendang jengkol. Lha, hahaha… pantasan tadi Ustad Yono nutup-nutup idung gitu pas giliran kita nyetor hafalan surat pendek. Terkekeh aku mengingat itu. Sumpah! Kau pede habis! Haha.
“Apaa? Gak denger lah?” tanyaku beberapa saat, pura-pura tak mendengar, kamu merengut, melipat kening di wajahmu yang kian dewasa.
“Sip! Rahasiamu aman…” sahutku kemudian, kamu dengan sumringah mengacung jempol ke arahku.
“Udah kau bilang ke dia?” bisikku ke telingamu. Kamu mematung, memainkan mata. Aku menerka,
“Belum ya?” kamu mengagguk. “Kenapa? Kau kan ganteng…” “Iyalah aku ganteng…”
“Tapi gantengan aku lah!” godaku dan kita berkejaran, lagi-lagi aku kalah. Rambutku siap-siap saja dikucel-kucel olehmu.
Pernah kubilang, “kalau kau suka sama Delisa, janganlah kau bikin dia takut gitu Wan!”
Tapi, kamu tak menggubris, tak peduli, kamu selalu senang saja, karena berhasil membuat gerombolan gadis kecil itu bertubruk ketakutan, berlari tak beraturan, saat itu kau selalu menceritakan ihwal hantu-hantu yang berkeliaran di rimbunan bambu yang terkenal angker itu, membuat sekerumunan anak gadis itu ketakutan.
Wan, Kamu adalah keberanianku di kali sepuluh, bahkan lebih dari itu Wan. Sejak kecil, aku kagum padamu, kamu banyak menjadi perisaiku, dari gangguan anak kampung sebelah, yang banyak mengajariku menjelajah tiap sudut kampung, yang mengajariku berenang di bendungan, menangkap belut, naik sepeda onthel, juga membuat perangkap burung pipit dari batangan yang serupa rotan.
“ Kau tentu masih ingat kan Wan?”
Beranda ini sepi. Hanya rona oranye di barat yang masih setia menemani. Segerombolan bangau putih melintas, entah dari mana mereka, tapi yang pasti mereka seperti halnya hati, terkadang hati akan kembali, meski lama, meski dengan bentuk yang berbeda, “bukan begitu Wan?”.
Aku terus berbicara pada lelaki yang duduk di kursi roda tua itu. Lelaki yang tidak saja kehilangan fungsi kedua kakinya, tapi juga ingatannya. Komplikasi saraf di otaknya membuatnya jadi pendiam yang akut, trauma kecelakaan pun kerapkali merenggut ingatan sadarnya, hingga kini, kumasih berusaha mengembalikan ingatanmu. Aku akan membayar apapun untuk itu Wan, aku berjanji atas nama persahabatan kita yang indah, atas nama kekalnya baikmu padaku.
Aku masih terus bercerita tentang masa lalu, padamu, saat senja kian mengiring kita pada pekat. Aku terus menguak memori kita, hingga, sebuah panggilan membuatku berhenti, sosok bersuara lembut itu menghampiri kita,
“Mas, sudah mau petang, masuk saja yuk… ”
Wanita itu berdiri di depan kita, tepat membelakangi senja. Wajahnya teduh, kepalamu menegak. Matamu memicing. Mulutmu tergerak-gerak, mengucap sesuatu, terbata. Yang kudengar kau berkata,
“De… li…saa….”
Ihwal Kenangan
Seperti biasa. Aku, kau dan pagi dengan
dua cangkir biru yang masih mengepulkan
aroma coklatnya. Di sini, seperti biasa, kita
bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita
kerapkali mengintip pagi dan arakan awan yang
Ini jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”. Kamu dan aku memang bekerja di rumah- SOHO (Small Office House Office). Ya, di beranda ini resmi kita buka tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia Craft dan fotografi, sementara aku dengan seabrek dunia kepenulisan. Sedari awal, kita sepakat memberi nama usaha dari nama kedua anak kita. Kamu sempat menolak, tapi akhirnya mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu pembawa rezeki?”
***
Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang kita cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita ihwal asyiknya kemarin sore saat berbecek-ria di Pajak Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang turut diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran besar, takjub merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak melintasi jalan yang becek penuh kubangan di sana-sini sambil tawar-menawar dengan para penjual yang ramah-ramah.
Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang bercerita, tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung di tiap pagi kita. Kejadian Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap pagi. Kita tahu, ini guna mengikat tali-tali hubungan kita agar tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di beranda ini akan bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar si kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik Bu’de mereka, Bu’de Zulaika.
Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu lembut itu menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita bertubrukan. Jelas, Ada bening di sana, dalam, sangat dalam. Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang menyinggahi perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok yang buatku selalu lekat. Ya, setahun berada serumah, dan masa-masa memintal rasa selama dua tahun lalu, buatku paham betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.
Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam hidupmu telah lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya, Air mata perempuanku bukan mengalirkan rasa sedih, tapi, sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki kerinduan yang hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu. Ya, kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang dalam diamnya menyayangi wanita yang sangat dijaganya, wanita yang kini kucintai.
Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap perempuanku, masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir yang ditimpa kilatan bias mentari itu.
Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik membincang: “mas, enaknya menu makan siang nanti apa ya?” atau Tentang kritik tulisan-tulisanku yang habis kamu baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa yang buat kita saling selidik: “ini nurun dari siapa?”, tentang kerjamu, tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu merasa teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam dalam tatap beningmu, tapi kini kamu diam.
Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan membawa sebuah buku tebal, semacam diary. Kusodorkan itu padamu.
“Ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam. “Bacalah” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong, ada tanda tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku bersampul hijau turkis itu? Tangan itu ragu menjulur. Aku lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan sekali.
“Ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak awal kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada cahaya,
“Sudah saatnya kamu membacanya, mungkin ada yang terlewatku” sambungku sembari menyentuh lembut lenganmu. Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk. Ulas senyum tipis pun beradu.
01 Maret 2010
Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir, membawa sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan buku yang berlabel diskon 30%. Dalam hati kutertawa, konyol rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang diboyong Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck.
Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak sengaja lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam seorang gadis berperawakan sedang, berjilbab pink.
“Oooh!” hanya kata itu yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya membulat, menaikkan bulu matanya yang lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku yang jatuh kelantai.
“Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu berpaling dan kembali beralih pada kesibukanannya.
“Eh, oh, anu…” aku tergagap, “ Em, maaf, maaf…” kataku terburu meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak keruh, sungguh! Ia mempesona dalam sederhananya. Benar-benar sosok yang sederhana.
“Enggak papa…” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif memunguti buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah buku. Gadis itu pun mematung heran, lantas ia bertanya.
“kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu. “nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini” sahutku seraya menyodorkan kembali buku tebal bercover Sembilan padanya. “aku sudah baca, 3 kali” sambungku.
“Oh ya? Kan bagus bukunya?” tanyanya
Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti air sungai, seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus bergerak, menandakan ada yang sama, hidup, rasa, yang kian tumbuh.
2 april 2010.
Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku.
"...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri..."
Boi! Aku belum bisa ngomong apapun. ***
Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa lembar laramu menguap.
“Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku, seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk, meraih buku itu, lalu sibuk membolak-balik halaman dan menunjukkan satu lembar kusam di bagian pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya.
10 mei 2011
Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku mengutarakannya sangat konyol.
Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian membuatku kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan yang luarbiasa, kekuatan seorang wanita, kekuatan yang dibangun dengan hati, dan cinta.
Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap menyapa beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya khidmat menikmati pemandangan kolam mungil yang tak jauh dari rumah. Saat itu, ikan-ikan bermunculan kepermukaan dan menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu untuk ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah, senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun melihatnya begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya lirih.
Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan kedua anak-beranak ini. Pada ikatan yang ada pada mereka.
Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang berkesan?” Tanyaku pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan mengalirkan ceritanya yang lain.
“Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba, berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami sekeluarga belum sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus ide antara aku dan bunda untuk buat roti, dan yang paling menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah sosok pria yang sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau berpartisipasi dalam hal dapur. Anehnya lagi, besok ayah memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia belikan mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang, mainan kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.”
Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai tenggelam di barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih terus bercerita, seolah ia memang harus menumpahkan semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya, gumamku.
***
Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang menimpa-nimpa kepala, memantulkan percikan kenangan? Masih tergenang lara itu? Tempat berkaca, melihat masa lalu, merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu yang hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan.
Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada angka 10, langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa udara yang masih juga mendung. Ah, cocok benar siang nanti makan tempe mendoan dan sayur genjer khas buatanmu, batinku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan berbisik lirih “Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.” Janjiku, kukuh.
Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita melangkah meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak lama, celoteh riangmu terdengar, dari arah dapur.
Hujan yang Membawaku
Aku mengamati bungkus permen transparan yang menggelinding di trotoar ini. Bersama segerombolan daun trembesi yang kering, menimbulkan gemerisik yang menenangkan. Sapuan angin senja, terlihat malas-malasan membawa aroma basah milik langit, aroma yang kini selalu mengingatkanku pada satu sosok, gadis berkepang dua dengan wajah oriental. Baju putih bermotif bunga lili merah yang kamu pakai sepadan dengan yang di bawahnya, rok merah marun.
“Manis,” pujiku.
Mendengar kuberkata begitu kamu merundukkan wajah, persis sekali seperti perangai biji-biji padi yang mulai berisi, menyembunyikan yang jelas-jelas terbaca sepertimu, dengan raut merona merah-muda.
Ada sesuatu yang selalu buatku rindu. Lesung pipit di kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin sipit. Kuku-kukumu selalu rapi seolah pagar kerajaan yang saban hari dirawat.
Kali ini kamu membawa sesuatu, sesuatu yang mencurigakan di balik tubuhnya yang semampai. Oh, aku menatap kakinya, kali ini ia memakai kets merah saga, di punggung sepatu itu tali putih terpilin rapi, menciptakan bentuk bulatan dan garis lurus. Aku membayangkan kedua sepatu itu disatukan, “persis sayap kupu-kupu!” gumamku.
***
Sudah tiga hari aku duduk di sini, saat senja bertamu di kota yang mulai mengantongi karbondioksida yang banyak. Aku selalu duduk di sebelah timur taman kota, tempat yang paling sudut, yang seringkali jadi tempat pasangan muda-mudi kere melepas hasrat asmara mereka. Pertama kali menemukan pasangan seperti itu, aku mendengus dan mendamprat mereka dengan kata-kata serapah, aku beranggapan mereka telah menodai tempat ini, tempat kita terakhir kali membahas tentang sebuah legenda yang jarang didengar oleh manusia, tentang hujan dan genangan yang dicipta di ceruk-ceruk permukaan bumi, termasuk di tempat ini, ada ceruk sedang yang selalu setia menjadi tempat genangan singgah.
“Kamu percaya… di sana ada kehidupan layaknya di sini” katamu. Aku menatapnya lekat-lekat, namun lebih tepat aku hanya memperhatikan bibir tipisnya yang bergerak-gerak, mengingatkanku pada seputong rembulan yang pendar.
“Ah, masak? Nggak percaya aku, Na…” timpalku kurang setuju sambil melonggarkan dasi yang sedari pagi mencekikku dengan alas an aturan kantor.
Ia menatapmu, kali ini dengan mata yang benar-benar bulat, hitam dan sendu.
“Suatu saat kamu pasti tahu, kenapa aku percaya ini…” katamu sembari menyodorkan deretan gigi yang putih dan rapi, tak lupa lesung pipitmu ikut muncul. Aku mengangguk beberapa kali, sebenarnya belum mengiyakan, sebenarnya masih mencerna, atau yang lebih tepatnya sebenarnya menghargai keyakinannya. aku lalu duduk berbalik menghadap ke arahmu, memindahkan sebelah kaki, menduduki bangku taman seolah menaiki kuda pacuan,
“Emhh, ini kali ke tiga kita bertemu kan?” ujarku mengalihkan pembicaraan, sementar wajah di depanku menunduk, lantas mengangguk. Pelan. Untuk beberapa saat aku menunggu jawaban yang lebih dari sekedar anggukan, tapi Rahna tidak menjawab, kini ia malah menutup kedua wajah dengan telapak tangan, bebrapa saat kemudian ia menoleh dengan wajah yang digenangi air mata disertai sesengukan yang sesekali. Dalam. menyayat perasaan siapapun yang mendengarnya. Bening yang melandai di pipimu yang berisi, yang kemudian jatuh membasahi rok marun, meninggalkna bulatan kecil di beberapa tempat di sana..
Aku tertegun, segera aku meminta maaf dan menawarkan untuk pulang saja, ia mengangguk. kuat. Aku memintannya meredakan dahulu bening yang masih mengalir itu, ia merespon dengan mengayunkan telapak tangan untuk mengelapnya, pelan, di pipi dan dua kali di sudut matanya yang memerah.
Seperti biasa kamu tak mau diantar, kali ini aku menawarkan sampai empat kali, namun semua kau tolak halus dengan alasan “tidak ingin merepotkan,” terdengar klise tapi sedaya upayaku gagal karena kamu tetap tak bergeming dengan sikapmu, akhirnya seperti dua pertemuan sebelumnya
aku menyerah dan menjejeri langkahnya menuju pintu barat taman kota. segera setelah mengantarnya hingga di ujung jalan, melihatnya hingga menghilang di sebuah tikungan salah satu gang dekat tamam, dan kenyataan pahit yang terus kurasakan saat ini adalah; hari itulah akhir aku bertemu kamu.
***
Ini hari ke lima selepas pertemuan terakhir denganmu, hujan masih memberi tanda meski siang tadi sudah tiba dan membuat sebal rekanku Giny dan Hawa, rencana hang-out untuk merayakan proyek yang ‘gol’, makan siang di resto ternama, gagal. hujan membuat maan siang mereka disertai kerut dan lesu meski di hadapan mereka tersedia potongan rendang, cap cay, soto dan sambal udang gala tersedia.
Mendung masih menggulung, menebal, angin terus gelisah, mendesau, menimbulkan gemersik daun-daun trembesi untuk saling berlaga dan menjatuhkan daun lain yang sudah kecoklatan, juga beberapa yang kekuningan.
Hari ini aku meninggalkan tas kerja di lockerku, tepat jam dua tiga ppuluh dua menit aku memutuskan ke tempat ini, membiarkan pekerjaanku terbengkalai, juga beberapa surat yang mesti ku urus ke kantor pusat kutinggalkan dengan konsekuensi akan kena ceramah banyak dari bos keesokan pagi. Beberapa miss call ku-reject, “telepon-telepon yang memuakkan!” desisku.
“Hari…” seperti sebuah suara terdengar, itu kamu, ya! Ya! Ya! Aku menoleh kanan-kiri, kenal betul pendengaranku pada panggilan itu, suara yang muncul dari arah depanku tadi. Jantung berdegup kencang, sangat kontras dengan gerakanku yang lamban, sangat pelan guna melongok, menjorokkan wajah ke sebuah ceruk trotoar di depanku yang berisi genangan sisa hujan tadi.
“Owhh…!” seruku lantang, spontan.
Sial! Ini tidak seperti yang aku kira. Kenyataannya adalah; Nihil. Tidak ada wajahmu di sana. Aku terpaku
beberapa saat, mengerjap, mengucek, lalu mencoba melihat lagi, hasilnay tetap sama. Ah, Rahna, kukira kamu akan hadir di sini, lewat genangan ini. Hati kian senada dengan mendung.
Aku teringat, Tyas, sahabatku yang kuliah psikologi, “terkadang kita akan mengalami halusinasi yang berlebihan, adiktif, disebabkan kerinduan yag begitu dalam”, aku coba menepis kenyataan, berharap untuk kali ini aku tak salah. Aku tajamkan pandangan, ahh… hanya melihat wajah ini, aku sendiri yang kian menua dengan lipatan halus di beberapa tempat di wajah.
Aku meremas telapak tangan, mengumpat sejadi-jadinya di hati. Sebelum hujan jatuh, aku meninggalkan tempat ini dengan memikul berkarung-karung rindu. Akal mengambil kendali, bergegas aku melangkah menuju kantor, menemui Mira. Ya, sebelum semuanya terlambat.
“Dan ketika kerinduan itu sudah diikhlaskan, maka sisi-sisi imajiner itu akan hilang dengan sendirinya” terngiang ucapan Tyas di lain waktu.
***
Di sebuah tempat, di mana langit berwarna kuning keemasan, di salah satu sudut, di sebuah kamar yang bening, ada sebuah cermin yang terbuat dari air hujan, ada satu sosok yang memunggungi langit dan bercerita sendiri sambil sesengukan.
“Har, maafkan aku, lupa memberitahumu satu hal penting, bahwa kau baru bisa melihatku, bila ada air mata yang jatuh di genangan itu…”
Pilihan Hari
Entah sudah beberapa kali aku harus
mencarikan cara agar emak tak sesering ini
menanyakan, kapan berakhir statusku, duda
“Kapan kau kawin Har? Kau jangan mikirin dirimu sendiri, anakmu itu butuh seorang ibu, lho!” sembur emak saat baru saja kuluruskan kaki di dipan, mengurangi penat di perjalanan tadi.
Emak yang notabenenya sudah lama menjadi single parent, paham betul bagaimana keadaanku setelah ditinggal Elis empat bulan lalu.
“Lha, badanmu sendiri aja masih Mbok Tugi yang ngurusin!” sambung emak menyindir. Ya, alasan apapun yang kuberi, wanita yang dua minggu lagi usianya genap enam puluh tahun itu, sangat ulet meneror. Kukuh memintaku untuk segera menikah lagi.
“Yang kayak mana sih yang kau suka, Har? Nanti mamak carikanlah buatmu, apa kayak...”
“Mak, nggak usahlah. Hari lagi nyari kok, cuman nggak secepat inilah mak” potongku cepat sambil melempar pandangan ke pekarangan, melihat Rai yang kegirangan mengejar serombongan ayam kampung peliharaan emak.
“Kayaknya Belum ada yang cocok, Mak,” kataku lagi. Wanita tua itu hanya geleng-geleng melihatku. Dalam pikirnya, betapa mudah bagi duda yang mandor kelapa sawit dan masih berusia tiga puluh dua tahun sepertiku ini untuk dapatkan istri lagi.
”Atau kau belum bisa lupakan Elis?” tanya emak menginterogasi sambil memotongi kangkung di tampahnya.
Aku diam, menghela nafas. Elis, meski sudah tiada, nyatanya ia masih menyita hatiku. Biar bagaimanapun, Elis itu cinta sejatiku. Dulu alumnus psikologi itu benar-benar membuatku nekat menolak tawaran keluarga besarku untuk menikah dengan Helda yang tak lain paribanku.
Oh tuhan! Wanita di depanku ini terlalu sulit untuk kubohongi.
“Iya, Mak,” aku mengaku dengan mata bening berkaca karena mengingat kecelakaan itu.
“Kasi Hari waktu ya, Mak?” suaraku begitu serak, seperti ada yang mengganjal di kerongkongan.
“Yaudalah, mamak bukannya memaksamu. Cuman kasian sama Rai, biar bagaimanapun anak itu butuh kasih sayang seorang ibu!” terang emak panjang lebar.
Aku mengiyakan, seraya mereguk tandas teh tubruk sidamanik yang sudah tak panas lagi.
***
Rencananya, seminggu ke depan Rai akan tinggal di rumah neneknya. Mumpung Playgroup tempatnya belajar sedang libur, mumpung juga aku sedang sibuk dengan pengiriman sawit ke kilang pengolahan dan sebenarnya, memberi kesempatan Rai untuk bermanja dengan neneknya. Toh begitu, sejumlah bekal, susu dan pakaian sudah kusiapkan. Mbok Tugi pun kusuruh turut tinggal. Ah, rasanya tak sampai hati membiarkan emak mengurus sendiri cucunya itu.
Ya, aku besok pagi-pagi buta sudah harus kembali ke Laut Tador, sebuah daerah perkebunan di Batubara dengan perjalanan tiga jam dari kota Siantar. Kerjaan di perkebunan yang tak kenal istirahat, membuatku harus pintar-pintar mengatur waktu. Di sini hanya cuti yang ada, itupun dalam setahun hanya dijatah seminggu tiap orang.
Dalam hati aku sudah berencana menghabiskan sisa jatah cuti nanti untuk lebaran tahun ini. Lebaran di kampung dengan harapan sudah didampingi pengganti Elis. Harapan untuk melihat senyum bahagia di wajah emak yang sudah berlipat merangkum waktu. Ya, lebaran yang tak kan sudi kutinggalkan. Kapan lagi kami sekeluarga bisa ngumpul lengkap dengan dua saudaraku yang berjanji akan datang dari pulau
Bulan bundar. Langit mendupa asap. Awan berarak lekas-lekas. Sepertinya hujan akan jatuh petang ini. Semua lelap. Hanya binatang malam yang berkeliaran di pekatnya malam.
Aku bermimpi. Ya, sepasang tahi lalat di kedua jemari manisku hilang! Aku panik dan ketakutan. Sepotong ucapan wanita yang kutemui di mimpi itu terdengar jelas. Sangat jelas!
Aku terbangun. Hanya kerik jangkrik dan kecipak air pancur yang kudengar. Kuseka keringat yang membanjir di kening. Rai masih terlelap kelelahan di sampingku. Amat lasak tidurnya malam ini, kecapean sepertinya, batinku. Pelan-pelan aku melepas kaki Rai yang melintang di perutku. Aku duduk di pinggir dipan dengan tangan menopang wajah yang bertumpu di kedua pangkal pahaku.
***
Aku masih ingat jelas. Dulu, emak sering berkata, ”Tahi lalat di tubuh itu ada maknanya masing-masing,” Seperti Bang Rimba yang tahi lalatnya di punggung, kelak ia bakal menjadi pemimpin. Kenyataannya sekarang, meski bukan skala besar, abangku itu sukses dan punya sebuah pabrik pengolahan jamur di Bogor. Abangku yang satu lagi, Bang Timur yang punya tahi lalat di bibirnya, dibilang emak bakal jadi orang yang berpengaruh. Terang saja, sekarang abangku yang satu itu jadi pengacara dan bermukim di Jogja.
Nah, kalau aku, yang menonjol dan unik itu ada tahi lalat di kedua jari manis tanganku. Kata emak itu pemanis. Semula aku tak percaya, tapi kata-kata emak selalu mengiang mistis, ”Kelak, itu menunjukkan mudahnya kamu dapat kepercayaan dari siapapun,” Dulu, begitu mendengar takwil tahi lalatku, langsung hidungku kembang-kempis, kupingku memerah. Aku bahagia.
Lantas kini, entah karena memang do’a orang tua itu lekas dikabulkan, atau memang karena mitos tahi lalat itu, atau kombinasinya, atau entahlah, yang pasti, berkaca pada perjalananku yang begitu cepat dan mulus menjadi mandor,
rasa-rasanya aku harus percaya. Setidaknya sampai detik ini. Makanya, mimpi kali ini begitu membuatku kalut. Ya, ini mimpi yang sama, seperti malam saat akan berangkat ke rumah emak. Persis. Sumpah!
Aku terus terjaga. Mataku sulit sekali untuk mengatup, hingga sayup kokok ayam menggedor telinga. Saat itu pun aku belum bisa melanjutkan tidur. Kucoba memicingkan mata, merapatkan kelopak mata. Memaksa untuk terpejam sekejap saja, tapi rasa takut akan mimpi yang sama itu terulang lagi, membuatku urung untuk tidur kembali.
Alhasil, pagi ini mataku sembab. Kelatnya kopi Kok Tong di meja makan hanya membuat terjaga sejenak. Ah! sebelum berangkat, aku harus ceritakan tentang mimpi ini pada emak. Ya, harus! Gumamku.
Emak yang sedang menjerang air di perapian, terbatuk-batuk saat asap dari kayu bakarnya mengepul hebat dari tungku bata. Beberapa kali semprong yang dibuat dari buluh bambu itu ditiupnya guna memantik api menyulut kayu bakar. Ah, kompor gas yang kubelikan empat bulan lalu rupanya tak terpakai, teronggok di atas bufet.
”Mak, Hari bisa ngomong sebentar?” tanyaku sembari menggeser diri menduduki kursi kayu di sampingku. Sesaat terdengar keryit kursi yang kududuki.
”Eeh, jangan kursi itu yang kau dudukin, itu mau patah!” seru emak yang seketika membuatku berdiri lagi. Ah, padahal aku ingin sekali duduk di kursi yang dulu selalu kurebutkan bersama dua saudara lelakiku. Ya, dulu kami memang begitu, karena jatah kursi sedikit, maka yang tak kebagian pasti harus rela duduk sila di lantai tanah, beralas tikar pandan.
Aku berpindah menduduki sofa di sebelahnya. Sofa yang kubeli patungan dengan kedua saudaraku itu. Sofa empuk yang kuyakin jarang diduduki.
”Mau ngomong apa?” Tanya emak sembari menyodorkan sepiring emping belinjo yang barusan digorengnya. Kuseruput
kopi sembari menatap lekat wajah emak, aku menceritakan mimpiku tadi malam.
Hening. Emak diam. Wajahku tegang, apa emak mengerti ihwal mimpi yang kualami ini? Berkelebat tanya di pikiran. Hatiku bergemuruh.
”Emak tahu makna mimpi itu, Mak?” kejarku tak sabar ”Ceritakanlah, Mak!” wajahku berubah menjadi Rai yang merengek meminta dibelikan permen warna-warni.
Emak menatapku lurus. Lekat-lekat.
”Kau benar-benar memimpikan itu?” emak mencoba memastikan. Aku menganguk cepat.
Emak menghela nafas dalam-dalam, lantas mengatakan sesuatu yang membuatku semakin sulit untuk segera menikah.
Ough!
*** Sore. Di kantor.
Usman sahabat dekatku sesama mandor menyodorkan sebuah foto.
”Dia Rani, adik kandungku. Bulan kemarin baru lulus di UI ekonomi, sekarang dia sedang di Medan, bagaimana menurutmu? Aku sudah sedikit cerita tentangmu, dia sih nggak milih-milih, cuman dia ingin ketemu dulu, kalo cocok, bisa lebih serius,” papar Usman sembari menepuk-nepuk pundakku.
Aku diam. Berfikir ulang. Bukan sekali ini saja Usman menawarkan calon untukku, meski semuanya kandas, karena belum juga aku menemukan kecocokan atau mungkin masih dibayang-bayangi wajah almarhumah, entahlah. Kini, ditambah lagi perihal takwil emak akan mimpiku itu. Semakin tipis saja kurasa peluang untuk segera menikah lagi.
”Duh, cemana mana ya Us, aku segan kali sama kau. Kau udah banyak bantu, tapi sampai sekarang belum juga ada yang
sreg dari calon-calon yang kau kasi itu,” ulasku agak sungkan, merasa serba salah.
”Halah! Macam bukan kawan aja kita. Udah, yang penting ikhtiar aja, oke?” Usman meyakinkanku. Nah, kalau kau pengen cepat jumpa, cocok kali! Sabtu ini si Rani datang ke rumah, cemana?” sambungnya bersemangat.
Aku merasa kurang yakin. Memang, sekilas dari foto, Rani adalah gadis yang cantik, dan lebih cantik lagi saat kulihat jelas tahi lalat di kiri atas hidung. Foto itu kuletakkan di samping Foto Elis. Ada Kemiripan, gumamku sembari terus mengembangkan keyakinan.
*** Hari yang ditunggu tiba.
Sesuai rencana, saat jam makan siang, aku diundang Usman makan di rumahnya. Di perjalanan, dalam Jeep, aku sempatkan menghubungi emak.
”Oi mak! Minta doa restu dia bah!” Ledek Usman sambil terkekeh, tangannya mengelakson sapi-sapi ternak di depan kami supaya minggir.
”Haha, dasar kau!” sikutku, tapi tak kena. Aku tak melanjutkan obrolan dengan Usman, karena kini aku sudah terhubung dengan emak. Berbincang serius.
Akhirnya, kami sampai. Di halaman rumah sudah cukup ramai. Wita, istri Usman sibuk melap beberapa piring porselen. Seorang perempuan muda ikut menata gelas-gelas di nampan.
Usman mengelakson beberapa kali. Seolah mengisyaratkan ia sudah pulang. ”Narsis!” Gumamku. Kami turun dan turut bergabung.
Takjub! Saat aku mengenali perempuan muda yang sedang menata gelas. Gadis itu lebih cantik dari yang kulihat di foto. Tapi sungguh! Aku tak akan lupa misiku, janjiku pada emak, yakni untuk melihat tanda yang sesuai dalam mimpi itu. Gusar, tentu saja. Harapan ada itu terus kusulut, ada yakin yang
meroket, saat kulihat wajah oriental gadis itu memiliki tanda seperti yang kucari. Ada getar yang menjalar. Ough!
Acara makan besar rupanya sengaja digelar, karena beberapa kerabat Usman yang tinggal di perkebunan pun turut berdatangan. Maklumlah orang kampung, sedikit-banyak dirasa bersama. Makanya, sengaja Istri Usman menggelar makan bersama itu di halaman agar lebih leluasa. Membentang tikar pandan dan duduk melingkar di bawah naungan dua pohon jambu air yang tumbuh subur di dua sisi rumah, rasanya pilihan yang tepat ketimbang berjejal di dalam rumah.
Usai makan, aku nimbrung dengan kerabat Usman yang kerja di perkebunan yang sama. Sembari mengupas dan mencicipi buah markisa, sesekali gelak tawa terdengar.
”Har, kemarilah!” Panggilan Usman dari dalam rumah menyitaku. Aku permisi sembari beringsut membungkuk-bungkuk badan melewati orang di depanku. Sesampaiku, hanya ada Usman dan adiknya, Rani.
”Nah, biar enak, saling kenalanlah kelen,”
Hampir setengah jam berlalu, aku dan Rani saling bertukar cerita, beberapa kali Usman nimbrung sembari meledekku yang menurutnya kaku di hadapan adiknya itu.
”Saat minum nanti, itu yang kutunggu. Dengan menjulurkan tangannya, aku pasti bisa melihat tanda itu dengan jelas,” gumamku dalam hati.
”Hei! Kok pada diam? Ayo diminum sirupnya,” Usman menyela sambil menyambar gelasnya.
”Ayo Bang, silahkan...” tangan Rani menyodorkan gelas ke arahku.
Aku melihatnya. Jelas sekali! Oh, nihil! Kecewaku meluap. Surut sudah asa. Meskipun lekas-lekas aku menyembunyikan kikuk dengan menyeruput sirup dan menyembunyikan gelisah di balik gelas yang kuteguk. Sempat kulirik jam di dinding, sudah mendekat ke angka dua sore.
Tiba-tiba muncul dari balik gorden kamar, tepat di atasnya tergantung jam di dinding yang barusan kulihat. Perempuan yang persis mirip Rani. Aku hampir tersendak. Air sirup sedikit tertumpah ke kemejaku. Aku segera melap dengan sapu tangan, dan tanpa sadar, aku mencuri pandangan mengikuti arah perempuan itu yang ke dapur.
Usman terkekeh, ia menangkap keherananku, lantas memanggil sosok itu.
“Oh, iya, aku lupa ngasi tau ke kau, kalau Rani ini punya saudara kembar. Ini dia, Rena . Sekarang lagi nyusun skripsi dia. Payah kali membedakan mereka berdua ini, ayo kenalan jugalah kelen!” Usman mengisyaratkan Rena.
Aku terpaku melihatnya. Mataku tak lepas dari tangan gadis itu yang bertangkup sepuluh jari di depan dadanya. Adapun gerak gerikku mengamati itu, membuat Rani dan Rena heran dan tersenyum geli. Aku mematung. Pikiranku berkelebat mengingat mimpiku.
“Bang, jika di jemari manisnya ada tanda itu, tanda yang sama dengan tanda milikku dan milikmu. Maka, dialah wanita yang layak menggantikanku,” kata wanita yang kedatangannya dalam mimpi membuat sendiku serasa lepas itu. Sosok yang begitu kukenali, dia Elis.
Aku tak sabar, kedua telapak tangan Rena kutarik paksa dan kubuka lebar-lebar. Mataku liar menyusuri jari manisnya. Semua tercekat! Usman menggoyang-goyangkan badanku, kurasa ia mengira aku kerasukan jin.
Aku melempar senyum padanya. Senyum yang pastinya kan mengambang juga di wajah emak.
”Tuhan, semoga ini bukan mimpi!” pekikku. (Rumah mimpi, Rainy September 2011)
Mengeja Relung Nayla
Jika diejakan, maka ini tak akan selesai dalam kurun sebulan, mungkin lebih, sebab menyusuri jiwamu kurasa memerlukan investigasi, analisis, persepsi, lantas mengambil sample dan akhirnya membuat asumsi-asumsi sebelum mengambil pendapat yang mendekati tentang apa yang kau rasakan kini, Adinda Nayla.
Duhai Nayla, pagi ini kamu mengguyurku dengan desah keluh, sebenarnya itu hal sepele yang tak semestinya kau tujukan kepadaku, sebuah kecemburuan tanpa alasan, tanpa ada hal yang bisa dibuktikan. Semua bermuasal dari asumsi yang berhulu dari cemburu buta.
Beberapa hari kemudian. Aku tak tahu apa yang mengapitmu hingga begini? Aku juga kurang paham dirimu, kebersamaan kita masih berkisar sebulan sejak bertemu di pertokoan waktu itu. Bila kau sadari, aku masih baru dalam hidupmu, lantas apa yang buatmu begitu percaya aku akan
meluruhkan semua masalahmu itu? Terlalu memercayaiku yang belum lama kamu kenali itu berbahaya Nayla. Maaf, aku hanya mengingatkanmu.
Mungkin aku akan tahu bila mampu mengeja denyut waktumu, aku akan paham jika mendekam dalam temaram hatimu. Tapi aku hanyalah aku yang hadir di dekatmu jika lelah menggelayut, jika mata indahmu meredup dan jika malas menunggang dengan culas.
Terkadang ingin aku berkata, “Nayla, baiknya tuangkan saja semua ke dalam catatan harianmu,” kurasa itu lebih baik ketimbang kamu mengadu padaku yang tak akan menjawab semua tanyamu. Tapi jika itu ternyata bisa menyurutkan amarah, meluruhkan resah dan menyeka gundahmu, baiklah tak mengapa.
Tadi kedua matamu berkaca, kamu mengadu tentang hati lelaki yang kau cintai, nyatanya telah bercabang, kau tersakiti. Ah ah, Itu wajar Nayla, bukankah hidup ini proses? Pacaran juga -bagi sebagian orang- adalah proses untuk menanjak ke jenjang yang lebih serius, pernikahan.
Jadi, menurutku tak mengapalah dirinya menemukan tambatan hati yang lain, bukankah pacaran -seperti yang pernah kau tuturkan- adalah jalan menemukan yang terbaik. Lantas, jika ada yang lebih baik kenapa tidak beralih ke situ? Ini bukan untuk tidak setia, tapi lihatlah, mengapa bertahan sementara hatimu telah berpindah ke yang lain.
Tapi ini tidak berlaku bila sudah ada ikatan pernikahan, tolong kau garis bawahi ini, aku tak ingin menjadi orang yang mendukung gonta-ganti pasangan pernikahan, ah! Ini baru tak setia namanya. Makanya, mencintai itu sebaiknya dari sifatnya, bukan sekadar fisik, gelar atau kaya semata, terus -itu tadi- butuh proses untuk mengenal dan memahami. Ah, terlalu klise itu Nayla.
Malam ini kau menghubungi seseorang, berkali-kali tak diangkat, wajarlah, waktu telah menanjak pagi, mungkin ia
sudah larut dalam bekap mimpi. Kau mendengus dan bercakap padaku bahwa lelaki itu memikatmu, lelaki yang mulai menyibak jalan hidupmu yang samar akan sebuah makna kehidupan, makna yang sebenarnya, yang hakiki. Lelaki yang membongkar sekat makna tentang arti kaya, memaknai kembali arti kaya dan bahagia yang sesungguhnya.
Menurutku lebih baik kau coba berlabuh padanya, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan gurat senyummu akan tergores selalu, dan hanya itulah yang ingin kulihat bila kau hadir dalam hidupku. Ingin aku bisikkan ”Kau cantik bila terus bahagia,” jadi cobalah kau pikirkan saranku.
Mungkin aku terkesan mengajarimu, mendiktemu atau apalah terserah. Dirimu punya penilaian sendiri pada siapapun atau atas apapun, termasuk aku. Tapi, jika kau hadirkan dan memercayai aku sebagai peraduanmu, maka ijinkan aku menyampaikan saranku, semoga kau mendengar.
Kalau kamu tak dengar, itu juga wajar. Aku tahu betapa sangat sulit memahami perkataan yang terhembus dari diri yang kaku ini, sulit menyerap makna yang tersirat dari sinar mataku yang tak hentinya menatap ke sudut pintu, memang sulit bagimu, kumaklumi itu.
Nayla, kamu berhak menentukan garis hidupmu, tapi bagiku mengadu pada diriku seperti mengadu pada dinding mati, tak bergeming. Jadi kurasa baiknya kau menemukan peraduan yang lain, yang bisa menyelipkan aroma bahagia ke sukma, yang suka melejitkan semangatmu, atau setidaknya suka menyisihkan waktu mendengar keluh kesah yang kerap menghinggapimu.
Nayla, aku tahu. Lelaki itu masih menunggumu, walau pada dirinya keraguan kini menyelimuti, karena kau terlalu tinggi untuknya, kau terlalu indah untuk mengecap sedikit pahitnya kenyataan hidup yang akan dihadapi bila kamu bersamanya, ia masih meragukan kesiapanmu. Tapi percayalah, hingga kini ia masih larut di sudut gelisahnya,
menimang dan mengenang kebersamaan kalian yang sejenak itu, aku yakin ia lelaki yang setia.
Tapi sebentar, apakah rasa itu sama kamu rasakan? Kalau tidak, ya untuk apa aku meneruskan ujarku ini? Sudah, bergegaslah kamu temukan sosok lainnya. Tapi kalau iya, apakah dirimu sadar ini tak akan selamanya? Karena menanti adalah sesuatu yang sangat melelahkan jika kau sadari. Bisakah kamu siratkan padanya, sedikit saja pendar cintamu untuk menguatkan asanya, karena cinta itu seperti magnet, tarik menarik. Kelihatannya asyik juga ya? Entahlah.
Ah, Nayla. Kenapa denganmu malam ini? Apa kamu marah padanya? Tapi kenapa jadinya kau membantingku? Apa salahku? Apa? Aku mau marah padamu, tapi kurasa itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan ini akan menambah masalahmu. Tapi coba pikirkan sejenak? Aku tempat curhatmu, tapi kamu perlakukan aku seperti ini? Mana laku manusiawi yang kau rapal dalam untaian waktumu itu? Mana?
Ah ah, maaf jika aku mengajarimu. Tapi coba renungkanlah kembali apa yang kusampaikan ini. Mungkin kamu akan menertawakanku saat kamu membaca ini, menyadari yang menyampaikan semua ini adalah sesuatu yang tak kamu anggap hidup. Tapi pernahkan kamu memaknai pepatah ”Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi apa yang disampaikan,”
Maaf Nayla, aku tak bisa berkata langsung padamu, tapi hanya gurat kata ini yang bisa kulayangkan padamu, karena aku hanyalah sosok bisu di kamarmu, aku bukan sepertimu yang bisa berpikir dan bertindak, aku cuma barbie-mu.
Rumah Hira
“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak,
boleh beranggapan apa yang mengubah kalian
itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang
kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah
rumah kita…” kata-kata mendiang ayah, dua
tahun silam kembali terngiang-ngiang di
telingaku.
Senja berbalut mendung, membaur dengan deru kereta api. Di sini, di gerbong tua yang mengantarku menuju kota kelahiran. Beberapa hela nafasku menghempas. Terasa benar ada beban yang tertanggung. Rasanya, lalu-lalang pedagang asongan yang menawari aneka rupa makanan dan minuman seakan tak ada. Sepi. Sendiri dengan pikiran yang melayang ke satu panggung kehidupan yang endingnya harus kuselesaikan.
Selepas ayah dan Ibu wafat, ada satu hal yang terus jadi masalah dalam setahun terakhir ini. Perihal rumah yang menjadi hak waris bersama. Kakakku Citra, Kak Dila, Aku dan Alfi. Kami berempat adalah pemegang waris rumah tua yang letaknya tepat di bibir jalan desa, terletak di tanah yang berbukit, menjorok ke dalam dengan pohon-pohon bertumbuhan di sekitarnya.
Kami semua sudah menikah. Kak Citra ikut suaminya di Kutacane, Si bungsu Alfi tinggal di Kota Siantar, dan Aku menetap di Medan. Jadi, rumah tua itu hingga kini dirawat dan dihuni oleh Kak Dila dan suaminya.
Ini kali ke sekian aku pulang dengan masalah yang sama. Kali ini tanpa istriku, Rahna yang telah kunikahi dua tahun lalu tak bisa ikut serta, ia sedang membawa anak-anak muridnya meramaikan pagelaran sastra di pusat kota.
Sebelum berangkat, aku berjanji padanya, bahwa urusan di kampung bakal kelar malam ini, jadi esok siang aku sudah sampai di Medan. Begitupun, Aku belum yakin masalah ini akan selesai dalam waktu semalam, mengingat kabar dari Kak Dila yang mengatakan Alfi sudah mendatangkan mesin keruk tiga hari yang lalu untuk meratakan tanah berbukit di sekitar rumah.
“Ah, tapi kucoba menguat-kuatkan di hati, harus selesai dengan baik-baik. Ya, biar Ayah dan emak tenang di sana!” Gumamku.
“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak, boleh beranggapan apa yang mengubah kalian itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah rumah tua ini…”
Perkataan ayah terngiang lagi di kepalaku. Bingung, selaku anak lelaki paling tua, aku berkewajiban menjaga keutuhan keluargaku, di satu sisi ada pesan dari almarhumah.
Aku bangkit dari duduk, beranjak menuju pintu kereta dan duduk di siku besi di sana, menghabiskan sisa rokok sembari menatap rimbunan rambung yang terus bergantian menemani. Aku masih di situ, sampai kereta berhenti, tepat di stasiun tua.
***
“Rumah ini telalu luas bang, kalau kita bongkar, paling tidak delapan ruko akan terbangun megah! Oi, keluarga kita akan lebih dipandang bang!” ujar Alfi, tangannya menyambar sebuah kertas, berbentuk denah rumah toko, “ini lihat, abang nggak pernah ngerti sih, tengoklah di sekitar sini! Desa kita sudah berubah bang, sudah maju! Harusnya abang bangga...” terang Alfi panjang lebar.
Ya, kampung memang sudah mulai berubah, sana-sini dibangun perumahan minimalis, yang di depan jalan sudah pasti disulap jadi ruko. Sebuah bisnis yang menggiurkan.
“Abang nggak akan pernah bangga kalau ini bikin kita ingkari janji pada almarhum ayah Fi!” Aku langsung berdiri, darahku naik, Kak Citra memegang pergelangan tanganku, menahan agar tidak terjadi adu fisik.
“Dek, disini kan masih ditinggali sama kak Dila, jadi kek mana nanti mereka tinggal?” tutur kak Citra coba menengahi.
“Kak, justru karena itu, biar kak Dila tempatnya lebih permanen, lebih bagus!” ujar Alfi berargumen. Aku menatap Kak Dila, ia hanya diam, ia tak berucap apa-apa, ia pernah
bilang, ia percayakan semuanya padaku, anak lelaki terbesar keluarga ini.
Aku menatap sekeliling, tiang-tiang berbalut cat coklat ini masih kokoh, tiang-tiang tempat dulu kakak-kakakku mengikat tali yang terbuat dari karet gelang. Tiang tempat kami bermain alip-cindong, Tiang tempat kami bermain kejar-kejaran. Ah! Masa lalu yang indah itu melintas lagi.
“Lagipula, kalaulah jadi, darimana kamu akan dapat uang sebanyak itu?” selidikku, “membangun rumah sekarang bukan puluhan, tapi ratusan juta dek!” tekanku.
Alfi membuka-buka map berwarna merah darah, tangannya menyodorkan lembaran fotokopian ke aku dan kakak-kakakku. Keningku berkerut. Aku dan Kak Citra berwajah pias, Alfi menghela nafas sebentar lalu berkata,
“Juragan Rebo bersedia mendanai… ia hanya meminta jatah satu ruko dari delapan ruko yang dibangun, bagus bukan?” aku sontak berdiri dengan tangan menuding,
“Kamu melakukan sejauh ini sendiri tanpa kesepakatan dari kami?” teriakku marah, mengepal tangan, “ abang sampai kapanpun nggak setuju!” sambungku seraya tangan mencampakkan kertas yang menyatakan bahwa adikku yang selama ini bekerja sebagai Kontraktor di kota itu menjadi pihak satu dan Juragan Rebo jadi pihak ke dua, sementara nama kami, abang dan kakaknya tertera sebagai saksi yag berarti menyetujui kesepakatan itu.
Kopi-kopi sudah tandas. Malam pun bergegas lari, menuju pagi. Tapi di rumah tua itu masih saja beradu argumen, hingga, tak ada kata mufakat, Alfi bahkan mengancam tetap akan menggadaikan surat tanah esok hari dan memulai pembangunan rumah secepatnya.
***
“Brengsek!” gerutuku seraya meninju telapak tangan sendiri. Raut tenang rembulan tak mampu menyusutkan