Sosoknya tak layak dipanggil kiai, ustad atau mualim. Selalu berkaos oblong dengan blangkon yang setia menutupi rambutnya yang memutih. Raut wajahnya yang bersahaja tak menampakkan secuilpun pertanda bahwa ia punya pemahaman agama yang dalam.Tak seorangpun tahu nama sebenarnya, tiada juga tahu siapa keluarganya, yang orang tahu ia disapa Pak Uban.
Kehadirannya belum genap setahun, tapi di Kampung Meranti Ia sangat berarti, sumbangsih ilmu agama yang mendalam membuat warga desa yang buta agama mulai merasakan hangatnya nikmat sang pencipta. Maka, sekejap saja sosoknya menjadi salah satu tokoh penting di kampung ini.
Namun, ada satu hal yang mulai berubah, saat Ustad Thalib – anak Haji Bajuri – pulang dari kuliahnya di luar negeri. Ustad muda ini menganggap ajaran Pak Uban merusak nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung keluar dari ajaran. Maka dengan segera Ustad Thalib membangun kekuatan untuk melumerkan tiap-tiang pemahaman yang sudah dibangun Pak Uban beberapa bulan yang lalu.
Ia adalah telaga bagi para pencari cahaya, sosok yang mewarisi sifat-sifat nabi ini dikenal dengan jargon “ Sugih tanpo Bondo, Digdoyo tanpo Aji, Ngaluruk tanpo Bolo, Menang tanpo Ngasorake” – di tiap-tiap ceramahnya. Sosok yang berbuat dahulu baru menyuruh, sosok bersahaja yang tak suka berkubang harta. Ia tak pusing memikirkan biaya hidupnya. Konon, anaknya ada yang berhasil di kota, acapkali mengirim uang untuknya.
Ketika ditanya, mengapa ia memilih tinggal di desa, ia akan bercerita tentang keasrian alam yang belum terjamah tangan-tangan kotor, sejuknya udara, ramahnya warga desa yang selalu tenggang rasa, andaipun dibelikan istana di pusat kota, ia akan tetap berkeras tinggal di desa.
” Orang seumurku ini sudah tak layak tinggal di kota yang sumpek, penuh polusi lagi” ujarnya .
***
Namun, dunia selalu berputar, sekarang banyak warga menjauhinya. Sebabnya Ustad Thalib menyebutnya sosok yang murtad, barangkali warga sudah lupa dengan jasa Pak Uban berbulan-bulan yang lalu. Sosok muda jebolan universitas ternama di mesir telah menyihir warga desa.
Sikap ustad muda ini juga diamini ayahnya, Haji Bajuri. Dengan tegasnya kepala desa dan juragan tanah ini melarang ibu-ibu pengajian mendekati sosok itu. Bahkan Haji Ucok, dermawan yang semula mendukung Pak Uban, terang-terang berbalik arah mengancam tidak membantu warga yang belajar agama pada Pak Uban.
Tapi itulah Pak Uban, dengan segala keanehannya. Acapkali membuat orang mendekat untuk mengenal lebih jauh sosok misterius ini. Walau sudah segenap pemuka desa berfatwa, tak surut langkah pak uban untuk berdakwah, mengajak amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan diam-diam tersiar kabar ada sejumlah pengusaha dan mahasiswa nyantri kalong padanya.
Setelah dirasa tak bisa dengan kata-kata, Ustad Thalib bergegas ke kota, meminta doa dan bantuan sahabatnya semasa di mesir. Ternyata di kota, nama Pak Uban sudah dikenal sebagai sosok ulama yang dikagumi.
“ Wah..bahaya !” batinnya. ***
Pak Uban berada dilingkaran itu, tepatnya saat wirid-an di rumah Haji Ucok. diseberangnya Ustad Thalib sedang memimpin yasin. Pak Uban duduk menggelosor, kaosnya mulai dihinggapi keringat, blangkonnya tampak melorot menuruni dahinya. Kedua matanya mulai temaram diikuti senyap kedua mulutnya.
Gelagatnya bukan tak menarik perhatian, Ustad Thalib acapkali melirik sesekali berdehem. Sementara hadirin saat itu menunggu debat apalagi yang terjadi selepas wirid nanti.
Disela senda gurau, Ustad Thalib bersuara :
“ Sesungguhnya, kits harus menghargai Allah dengan berpakaian yang sesuai syariah”
“Berpakaian seperti apa ustadz ?” tanya satu jamaah “ Yah, bisa menggunakan gamis atau koko dan lengkap dengan sorban atau kopiah, kalau bukan kita siapa lagi coba yang menghargai islam ?” jelasnya.
Pak Uban berdiri, tangannya menggenggam sebuah pisang. Ratusan pasang mata menatapnya.
“ Sesungguhnya pisang ini yang dimakan adalah isinya, bukan kulitnya “ ujarnya
“ Maksud pak Uban ?” tanya seorang jamaah
“ Nggak perlu dipaksakan berpakaian begitu, jauh lebih penting yang di dalam ini, hati!”
“ Tapi gamis kan dipakai para nabi dan rasul ?” ujar Ustad Thalib
“ iya benar, gamis memang dipakai nabi dan rasul, tapi kita kan tahu, karena mereka tinggal di daerah bergurun. Celana yang menggantung sesungguhnya untuk menghindari kotoran dan debu, sebab saat berjalan kaki akan tenggelam sekian senti ke dalam pasir “ . terang Pak Uban.
“ Ooooh, gitu tho,“ sambung Mang Slamet si tukang baso.
“ Tapi ada satu hal yang Pak Uban harus tahu, bahwa orang yang berpegang pada kebenaran itulah yang dijamin masuk surga ! “ Sambar Ustad Thalib
“ iya… setuju. Asal kebenaran itu bukan pembenaran” seulas senyumnya tersuguh.
Haji Ucok langsung memalingkan wajahnya seraya mengepul-ngepulkan asap putih dari mulutnya. Ustad Thalib tampak gelisah mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh liar.
“Sebaiknya kita kajilah islam lebih dalam. Masuki gua kegelapan, agar tahu bahwa kita masih kekurangan cahaya “ tambah Pak Uban dingin.
Ucapan itu tak digubris potongan-potongan nyawa di sekitarnya. Serta merta Haji Ucok melempar kopiahnya ke arah pak Uban.
“Sesat! Enyah kau dari rumahku ini! “ amarahnya mulai menggelegak. Ustad Thalib menendangnya dengan umpatan
“ Murtad ! pergilah engkau dajjal ! “ refleks tangannya meraih gelas berniat memanahkannya ke wajah sosok di depannya, Seorang jemaah menahannya. Semua menyinarkan mata panahnya mengusir Pak Uban . dengan gontai sosok itu merambat menjauh ke tepi desa.
***
Beberapa kali ia merasa terbanting dalam pergumulan logika. Sosok itu begitu membuatnya terpana dan kehabisan kata-kata. Saat pertama berjumpa, mereka berdua sudah bersengketa. Ketika Ustad Thalib mewajibkan jemaah harus bisa melagu dan menghafal Al-Qur’an. Dengan nada ditekan bahwa bahasa arab adalah bahasa terbaik di dunia, karenanya layak untuk dipelajari walau harus membuang umur di majelis khusus.
Pak Uban ada di situ. Ia sosok yang tidak menggurui, sinar matanya bak telaga, bahasanya membumi, suaranya ringan tidak diberat-beratkan tapi selalu membuat hati berkelip, seakan ingin mengais-ais mutiara yang ada di relung jiwa.
“ Sebelumnya maaf Ustad Thalib, bagi saya pribadi yang paling penting adalah pengamalan dari Al-Qur’an itu “
“Jelasnya …? “ Ada nada angkuh yang meluncur dari bibir ustad muda itu.
“ Apalah artinya, hafal dan pandai melagu Al-Qur’an, tapi nggak diamalkan, membuat riya bahkan sering jadi alat politis. Apalah guna ? “
“Anda keliru, bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas ? ” “Ada penjelasan: bisa membaca yang tersirat dan tersurat dari Al-Qur’an lalu mengamalkan pada diri sendiri, lalu bisa melagukannya, menyampaikan dengan indah, agar keluarga dan umat islam turut mengamalkan, ini gimana? ”
Yang terjadi saat itu, adalah pengusiran Pak Uban oleh jemaah yang dikomandoi syafei, centeng sang juragan tanah yang tak lain ayah Ustad Thalib.
Sejak saat itu, genderang perang sudah ditabuh, kini Pak Uban tak lebih seekor nyamuk yang kemunculannnya bagaikan malapetaka, pembawa penyakit ! Haji Ucok mewanti-wanti pengurus masjid agar mencoret pak uban dari daftar penceramah.
Walau selama ini ceramahnya tak terbukti menyesatkan atau berbau terorisme, tapi demi kelangsungan pembangunan masjid yang baru setengah jadi, maka mat mun selaku ketua pengurus masjid ketar-ketir dan memutuskan memblacklist sosok itu. Sebagai ganti, Haji Ucok rela menggelontorkan ratusan ribu untuk mendatangkan ustad kota yang lidahnya tak pernah menjamah embun dan senja desa ini.
Puncaknya, sehari sebelum idul fitri. Saat membayar zakat, tak sengaja kaki pak uban menyenggol Al-Quran – mungkin ada yang meletakkan sembarangan – . Sontak mata mat mun melotot sejadi-jadinya. Merasa cukup bukti, langkahnya mengayun menuju kumpulan laki-laki berjubah putih-putih.
Diantara yang disambanginya adalah dua tokoh besar kampung meranti. Keduanya sudah menimbun amarah pada sosok itu. Mendengar pengaduan mat mun, segera mereka mencampakkan makian .
“Tak dimana ..! disini pun kau hinakan agama !” sembur Haji Bajuri
“Bah…! sudah sinting rupanya kau Uban gila !” sumpah Haji Ucok
Pak Uban tetap duduk tenang, guratan senyum dibibirnya menyiratkan untuk bersuara dengan lembut.
“ Bapak, maaf sekali lagi. Saya tak bermaksud lancang, tiada sebersitpun niat di hati untuk menghinakan agama sendiri, saya tidak tahu kalau ada Al-Qur’an di situ... “
“ lantas apa pula kau sepak Al-Qur’an, Hah …!!” erang Haji Ucok .
Orang – orang berkerumun mengelilingi seolah menyaksikan pengadilan seorang maling. Pak Uban tampak angkat bicara lagi.
“ Lagipula, Hadirin pasti tahu, buku yang saya pegang ini – tangannya mengangkat buku catatan mat mun- dibuat dari bubur kertas, dicampur zat kimia dan bahan tertentu, diproses dan akhirnya jadilah kertas-kertas ini ! “
“Maksud kau apa lagi? Kurang ajar! “ maki Haji Bajuri “Yang tak sengaja tersepak ini adalah fisik saja, tapi pernahkah kita fikirkan umat islam yang selalu menendang-nendang ajaran Al-Qur’an untuk kepentingan diri dan kelompoknya? Pernahkah? Atau diantara kita ada salah satunya? “
Ujaran terakhirnya menyekat kerongkongan semua hadirin.
Tiba-tiba berkelebat syafei.
“ Aaaah ! banyak cing-cong kau ! “ sambarnya.
Lalu bertubi-tubi tinjunya bersarang ke wajah dan tubuh pak uban. Setelah puas menebar nafsu amarah, ia menyeret sosok lemas itu.
“ Haram tempat ini oleh orang sepertinya !!” sumpah Haji Bajuri
Dan, tubuh itu dibiarkan terkulai layu. Bersimbah darah di pelataran masjid. Tak ada yang berani menolongnya, ketakutan pada sosok penguasa membuat rasa iba mereka sirna.
Akhirnya, pak uban merasa semua warga memunggunginya, hanya satu-dua yang masih mau bertegur sapa. Ia sadar pengaruh orang ternama punya andil besar mengucilkan dirinya.
Ia seolah seongok bangkai yang bernyawa, berbau busuk dan membuat siapa saja yang melihat akan memalingkan muka lalu memuntahkan kata-kata yang jauh lebih menusuk dari
semerbak bangkai. Tapi begitupun, ia tetap menyemai senyum dan menebar keteduhan.
***
Sosok itu menerobos semak ilalang yang meninggi, topeng menyamarkan sosok dibaliknya. Sarung hitamnya tampak membungkus sesuatu. Dikejauhan, puluhan nyala obor timbul tenggelam mencoba menepikan gelap. Samar terdengar teriakan .
“ maliiiiiiing…maaaaaliiiiiiiiiing ! “
Sosok itu terhenti di sebuah rumah tua, ia menyelinap di belakang rumah, mencongkel jendela dan masuk tanpa disadari pemiliknya. Sementara pekikan warga mengguyur telinga yang sedang tertidur, termasuk pak Uban. Ia terkesiap dan membuka jendela mata. Ia menanggalkan kantuk dan menajamkan telinga. Lamat-lamat mendengar suara-suara langkah dari arah dapurn, semakin dekat menuju ke arahnya, dan….
Bayangan itu membuka pintu kamarnya, nafasnya tertahan saat bayangan itu meluncur ke bawah tempat tidurnya. Dalam diamnya, pak uban memutar otak, mengatur strategi bagaimana keluar dari ancaman maling ini. Kembali ia picingkan mata, selang beberapa menit, ia bangun dan menebar sajadah. Dikenakannya sarung, lalu melangkah perlahan berniat mengambil air wudhu. Sampai di pintu, secepat kilat ia mengayunkan tangan dan menguncinya.
“TRRAK…!!
Samar terdengar suara mengaduh dari dalam kamar. Pak Uban sadar, yang dihadapinya adalah maling amatir, mungkin karena desakan ekonomi. Yang pasti, maling untuk kebaikan sekalipun itu haram. Bukan ala Robin hood, tapi ala Ukhuwah Islami. Terngiang ia pada sepenggal khutbahnya beberapa bulan lalu.
Fajar menyingsing, pak uban menunggu dua sosok yang masih mau berkabar dengannya, walau sembunyi-sembunyi,
Irul dan Hamdan melakoninya, mereka masih percaya pada pak uban.
Selang tak lama, penantian Pak Uban berakhir. Langsung ia menceritakan duduk kejadian malam tadi. Mereka sepakat meringkus maling itu bersama-sama. Masing-masing memegang linggis dan besi panjang. Mereka memeriksa di balik pintu, bawah tempat tidur, belakang lemari….. nihil !.
Seketika mata mereka bertubrukan. Salah satu langit-langit kamar pecah..! praduga mengintai lubang itu. Hamdan mengancam akan memanggil warga lebih banyak bila maling tak mau turun. Pak Uban menghampiri lubang itu.
“Bersikap baiklah pada tamu yang datang. Anakku, kamu tak akan dipukuli, saya jamin. Secepatnya akan kami lepaskan, tapi dengan syarat, barang yang bukan hak-mu itu kembalikan ! “.
“Kalau kamu warga desa ini, pasti kenal saya, Pak Uban. Tak pernah kutarik kata yang sudah terlepas ! “ sambungnya.
Maling itu bimbang, lebih baik sebagaimana yang diusulkan bapak itu, bisa malu ia bila warga lainnya tahu siapa malingnya !. Perlahan tapi pasti,sosok itu muncul dan melompat bersama barang curiannya. Tanpa membuka topengnya, ia menyerahkan hasil curiannya.
“ Apa yang kau curi …?” Tanya Hamdan dengan tangan masih siaga dengan linggis.
“ Ee…e... se..see..semua ada dalam sarung ini “ ujar maling lirih, tangannya menyodorkan sarungnya.
Saat dibuka, kelihatan perhiasan – perhiasan yang lumayan banyak.
Pak Uban bangkit dari duduknya, tak lama tangannya menyanding teh hangat dan beberapa potong roti . Disodorkan ke maling itu, dengan cekatan tubuh yang terbungkus lapar itu menyambar. Ia mulai mau terbuka, ceritanya mulai mengalir menjernihkan dugaan yang ada.
“ Barang yang kucuri ini sebenarnya mahar yang sudah kuberikan ke keluarga wanita…, e…eee.. aku geram betul pada keluarga yang membuat tarif mahal pada putrinya, mereka lebih condong pada harta ketimbang agama, sungguh bila tak terbuai kemolekan putrinya tak mungkin aku rela begini…”
“Lantas, mengapa kau ambil lagi mahar yang kau beri ? “ tanya Irul heran.
“Perhiasan ini sebenarnya aku pinjam dari sahabatku di yang kebetulan punya toko emas, besok adalah janji buat kembalikan barang-barangnya “ terang maling itu parau.
Setelah tahu duduk perkaranya, Pak Uban menanyakan nama dan alamatnya yang bisa dihubungi. Irul memeriksa sakunya , menemukan KTP dan mencocokkan dengan yang ditulis Pak Uban.
“awas….!! Aku akan cari kau, jika ceritamu bohong !! “ ancam Hamdan dengan besi melintang.
“BRAAK..!! , dan tak ada ampun untuk kedua kalinya …!! “ Irul menyambung seraya memukul meja
Pak Uban angkat bicara.
“Ada dua hal yang kami inginkan dari kamu, yang pertama tobatlah sebenar-benarnya. Dan yang kedua batalkan pinanganmu itu ! “
“ bagaimana, kau setuju? “ Hamdan menegaskan.
Maling itu menyanggupi, itu pemikiran yang bijak baginya.
Tangan itu membungkus perhiasan dengan sapu tangan, lalu menyerahkan ke maling itu.
“ Kembalikan ke sahabatmu, ini miliknya. Pendamlah dalam-dalam kejadian malam tadi, lalu taburi benih kebaikan di atasnya, sebanyak-banyaknya “ saran Pak Uban.
Maling itu mengangguk berkali-kali, belum pernah ia jumpai sosok searif ini, di mesir sekalipun ! batinnya.
“ Lho pak, bukannya di kembalikan ke…“ Tanya Irul keheranan
“Saudara ini dan sahabatnya yang sesungguhnya sedang kehilangan, kehilangan ahlak mulia yang diwarisi nabi “ potong Pak Uban
Maling itu tertohok mendengarnya, seolah ada batu besar yang mengganjal dadanya. Irul dan Hamdan tampak setuju dengan kata-kata pak Uban barusan.
Pak Uban menyilakan sosok itu bergegas pergi, tapi sebelumnya ia memberinya sebuah peci.
“ Buat kenang-kenangan ya !” ujar pak uban sambil tersenyum arif.
Sosok itu membalas malu, matanya mulai panas, bulir-bulir bening mulai menuruni wajahnya. Dibuka topeng, lalu Ia kenakan peci. Dipeluknya erat-erat Pak Uban, sosok yang begitu mengkerdilkan dirinya. Ia salami Hamdan dan Irul, lalu bergegas meninggalkan rumah sunyi itu. Kini sosoknya lebih mirip seorang guru ngaji yang baru pulang dari masjid.
Malam menjelang, terdengar takbir bersahut-sahutan. Hujan turun satu-satu, angin menularkan hawa pagi, awan hitam mengepul berarak mengikut titah angin. Lalu membentuk layar hitam raksasa, menelan bintang dan sang dewi malam.
Di teras masjid, sosok itu duduk menyendiri. Terbuang dari kumpulannya. Samar ia mendengar keluh -kesah jemaah yang menyesalkan batalnya hajatan besar di kampung mereka.
Tersiar kabar, tunangan kepala desa membatalkan pinangannya, selepas keluarga orang terpandang itu kemalingan perhiasan kemarin malam !
“PERSIS..!!” gumamnya.