Senja berbalut mendung, membaur dengan deru kereta api. Di sini, di gerbong tua yang mengantarku menuju kota kelahiran. Beberapa hela nafasku menghempas. Terasa benar ada beban yang tertanggung. Rasanya, lalu-lalang pedagang asongan yang menawari aneka rupa makanan dan minuman seakan tak ada. Sepi. Sendiri dengan pikiran yang melayang ke satu panggung kehidupan yang endingnya harus kuselesaikan.
Selepas ayah dan Ibu wafat, ada satu hal yang terus jadi masalah dalam setahun terakhir ini. Perihal rumah yang menjadi hak waris bersama. Kakakku Citra, Kak Dila, Aku dan Alfi. Kami berempat adalah pemegang waris rumah tua yang letaknya tepat di bibir jalan desa, terletak di tanah yang berbukit, menjorok ke dalam dengan pohon-pohon bertumbuhan di sekitarnya.
Kami semua sudah menikah. Kak Citra ikut suaminya di Kutacane, Si bungsu Alfi tinggal di Kota Siantar, dan Aku menetap di Medan. Jadi, rumah tua itu hingga kini dirawat dan dihuni oleh Kak Dila dan suaminya.
Ini kali ke sekian aku pulang dengan masalah yang sama. Kali ini tanpa istriku, Rahna yang telah kunikahi dua tahun lalu tak bisa ikut serta, ia sedang membawa anak-anak muridnya meramaikan pagelaran sastra di pusat kota.
Sebelum berangkat, aku berjanji padanya, bahwa urusan di kampung bakal kelar malam ini, jadi esok siang aku sudah sampai di Medan. Begitupun, Aku belum yakin masalah ini akan selesai dalam waktu semalam, mengingat kabar dari Kak Dila yang mengatakan Alfi sudah mendatangkan mesin keruk tiga hari yang lalu untuk meratakan tanah berbukit di sekitar rumah.
“Ah, tapi kucoba menguat-kuatkan di hati, harus selesai dengan baik-baik. Ya, biar Ayah dan emak tenang di sana!” Gumamku.
“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak, boleh beranggapan apa yang mengubah kalian itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah rumah tua ini…”
Perkataan ayah terngiang lagi di kepalaku. Bingung, selaku anak lelaki paling tua, aku berkewajiban menjaga keutuhan keluargaku, di satu sisi ada pesan dari almarhumah.
Aku bangkit dari duduk, beranjak menuju pintu kereta dan duduk di siku besi di sana, menghabiskan sisa rokok sembari menatap rimbunan rambung yang terus bergantian menemani. Aku masih di situ, sampai kereta berhenti, tepat di stasiun tua.
***
“Rumah ini telalu luas bang, kalau kita bongkar, paling tidak delapan ruko akan terbangun megah! Oi, keluarga kita akan lebih dipandang bang!” ujar Alfi, tangannya menyambar sebuah kertas, berbentuk denah rumah toko, “ini lihat, abang nggak pernah ngerti sih, tengoklah di sekitar sini! Desa kita sudah berubah bang, sudah maju! Harusnya abang bangga...” terang Alfi panjang lebar.
Ya, kampung memang sudah mulai berubah, sana-sini dibangun perumahan minimalis, yang di depan jalan sudah pasti disulap jadi ruko. Sebuah bisnis yang menggiurkan.
“Abang nggak akan pernah bangga kalau ini bikin kita ingkari janji pada almarhum ayah Fi!” Aku langsung berdiri, darahku naik, Kak Citra memegang pergelangan tanganku, menahan agar tidak terjadi adu fisik.
“Dek, disini kan masih ditinggali sama kak Dila, jadi kek mana nanti mereka tinggal?” tutur kak Citra coba menengahi.
“Kak, justru karena itu, biar kak Dila tempatnya lebih permanen, lebih bagus!” ujar Alfi berargumen. Aku menatap Kak Dila, ia hanya diam, ia tak berucap apa-apa, ia pernah
bilang, ia percayakan semuanya padaku, anak lelaki terbesar keluarga ini.
Aku menatap sekeliling, tiang-tiang berbalut cat coklat ini masih kokoh, tiang-tiang tempat dulu kakak-kakakku mengikat tali yang terbuat dari karet gelang. Tiang tempat kami bermain alip-cindong, Tiang tempat kami bermain kejar-kejaran. Ah! Masa lalu yang indah itu melintas lagi.
“Lagipula, kalaulah jadi, darimana kamu akan dapat uang sebanyak itu?” selidikku, “membangun rumah sekarang bukan puluhan, tapi ratusan juta dek!” tekanku.
Alfi membuka-buka map berwarna merah darah, tangannya menyodorkan lembaran fotokopian ke aku dan kakak-kakakku. Keningku berkerut. Aku dan Kak Citra berwajah pias, Alfi menghela nafas sebentar lalu berkata,
“Juragan Rebo bersedia mendanai… ia hanya meminta jatah satu ruko dari delapan ruko yang dibangun, bagus bukan?” aku sontak berdiri dengan tangan menuding,
“Kamu melakukan sejauh ini sendiri tanpa kesepakatan dari kami?” teriakku marah, mengepal tangan, “ abang sampai kapanpun nggak setuju!” sambungku seraya tangan mencampakkan kertas yang menyatakan bahwa adikku yang selama ini bekerja sebagai Kontraktor di kota itu menjadi pihak satu dan Juragan Rebo jadi pihak ke dua, sementara nama kami, abang dan kakaknya tertera sebagai saksi yag berarti menyetujui kesepakatan itu.
Kopi-kopi sudah tandas. Malam pun bergegas lari, menuju pagi. Tapi di rumah tua itu masih saja beradu argumen, hingga, tak ada kata mufakat, Alfi bahkan mengancam tetap akan menggadaikan surat tanah esok hari dan memulai pembangunan rumah secepatnya.
***
“Brengsek!” gerutuku seraya meninju telapak tangan sendiri. Raut tenang rembulan tak mampu menyusutkan
amarahku yang sedari tadi menggelegak. Di anak tangga ini aku terduduk. Menopang dagu, berdialog dengan diri sendiri, hingga tanpa sadar kak Citra menyentuh pundakku,
“Belum tidur Hira?” tanyanya,
Aku menggeleng, “kamu kecapean itu, tengok kantung matamu hitam begitu… ini minum teh dulu biar agak tenang…” tangan itu menyodorkan secangkir besar teh. Ia tahu kesukaanku. Ini teh tubruk.
“Sidamanik?” tebakku saat menyambut cangkir berisi teh itu,
“Nggak, teh biasa, dari warung…” ujar kakakku. Aku tersenyum kecut. Sekilas ingat kata seorang sahabat yang tinggal di Sidamanik, bahwa penggundulan kebun teh besar-besaran terjadi di daerahnya beberapa tahun lalu, diganti pohon sawit.
“Kita nggak bisa terus-terusan bersikap begini pada Alfi,” ujar kakak yang duduk menyebelahku. Wajah itu menunduk, kutahu ada bening yang membulir di sana.
“Mungkin dengan menyepakatinya, kita bisa membantu proyek Alfi, barangkali dia memang butuh proyek, juga buat kakakmu Dila, akan bisa memperbaiki ekonominya, bisa buka kedai, atau apalah nantinya…”
Aku menatapnya lekat-lekat. menghela nafas. Dalam. Sangat dalam.
Hening. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar.
“Yah, setelah aku fikir-fikir, ada benarnya kata kakak, tapi …” ujarku sambil menunduk.
“Ayah di sana pasti tahu akan ini, dan dia pasti berharap, anak laki-lakinya yang paling besar, bisa bijaksana…” ujar Kak Citra sambil tersenyum teduh, tangannya menepuk-nepuk bahuku. Meninggalkanku yang memikirkan esok pagi akan mengambil keputusan seperti apa.
“Ini masalah jangan berlarut-larut,” gumamku. ***
Pagi di kereta api. Aku menatapi pohon-pohon rambung yang berjejer tertanam di pinggir rel yang kulintasi. Meski tumbuhnya pohon-pohon itu tidak pernah lurus, selalu bercabang, tetapi akarnya tetap menjalar dan menyatu di suatu tempat yang tak terlihat, hanya ada bagi yang merasakannya, meyakininya, bahwa seperti halnya rambung-rambung ini, kita hidup dari dan oleh sejarah.
Aku menggerayangi saku, menemukan ponsel dan mencari-cari nomor seseorang.
“Halo, Bang Nano, maaf ini pagi-pagi nelpon,” aku menggantung sebentar, mengatur nafas “gini, tentang rumah aku itu, besok rencananya ada yang mau kurombak, nanti malam bisa aku kasi gambaran sketsa nya bang?”
“Oh itu, beres mas! Kita kan memang ikut rencana sampean toh…” ujar suara di seberang. Setelah mengucap terima kasih, sambungan kuputus.
Di gerbong tua yang bergerak lamban ini, aku memilih untuk tidur, larut dalam mimpi, melemparku ke sebuah rumah yang menyimpan jutaan kenangan.