“Tahu..tahu…” suara cempreng khas itu sayup terdengar, pertanda sosok itu sudah memasuki perumahan tempatku bermukim. Gerobak kayu bertenda hijau lusuh dengan sepasang ban usang tiap hari memang mondar-mandir di sini. Lelaki itu tinggal di rumah kontrakan tua di sudut perumahan ini kembali menyusuri gang sempit tempat rumah kami tinggal. Tak begitu peduli orang akan asal usulnya, apalagi nama aslinya, yang penting bagi mereka adalah dagangannya murah dan rasa tahu yunyi racikannya itu enak. Maka, tatkala beberapa pelanggan menjulukinya Pak Yunyi, hingga kini ia kerap disapa begitu. Tak ada yang tahu bahwa di akte kelahirannya, sosok itu bernama: Abdullah Sudiono.
Kini sosok itu berhenti di depan rumah bu RT. Beberapa pelanggannya sudah mengerumuni dan segera memilah, lantas membungkusnya di plastik seraya menebar gosip.
”Pak Yunyi, tahu di pasar naik lho? tahu bapak nggak ikut naik kan?” sempat berkelebat tanya bu Karti, satu langgan yang terkenal cerewet itu. Sosok itu hanya tersenyum, seraya mengangguk
”Yo, iyo bu... kangge langgananku hargane tetep wae lah, sepotong tetep tujuh ratus perak” ujar lelaki itu memastikan. Mengusir kegusaran.
Ada kebahagiaan tersirat di wajahnya tatkala melihat wajah-wajah cerah pelanggannya itu. Sungguh amat sulit dilukiskan.
”Murahnya tahu yunyi ini sedikitnya bisa mengurangi kerut dahi uang SPP yang belum terbayar, harga beras, minyak, gas, tagihan listirik, air yang kerap melambung dari jangkauan masyarakat pinggiran seperti mereka. Wah!, kehidupan di kota besar ternyata tak seindah pesonanya” gumamnya dalam hati.
Begitulah, walau hasil yang ia dapat tak sepadan. Kebahagiaan pelanggannya membuatnya tak mau beringsut meninggalkan pekerjaan yang sudah berpuluh tahun ia geluti ini.
***
Tahu buatannya selalu dikejar pelanggan. Bagaimana tidak dikejar?, tahu yunyi buatannya terkenal enak, gurih. Belum lagi harganya yang bisa jauh di bawah harga pasar. Entah bagaimana ia menyiasati biaya produksinya, yang pasti rasa tahu racikannya selalu enak dan buat pelanggannya ketagihan.
”Pak Yunyi, pakai apa sih buat tahunya, kok lain sama yang di pasar, enak” tutur bu RT di suatu pagi.
Mendengar tanya pelanggannya itu, pak Yunyi hanya mengulum senyum.
” Tahu saya nggak pake pengawet bu” terangnya seraya dengan cekatan membungkusi tahu ” Lagipula pewarnanya asli, cuman pakai kunyit” tambahnya.
”Oh gitu tho?, tapi kalau nggak habis gimana itu?.” Sambung bu RT.
”Insyaallah selalu habis bu” tukasnya
” Tapi kalau tak habis di makan sendiri bu, makanya diboronglah tahu saya ini” tambahnya berseloroh.
Bu RT hanya tersenyum takjub, seraya tangannya memasukkan beberapa potong tahu lagi ke plastiknya dan membayarnya.
***
Beberapa hari ini tahu racikannya banyak tak habis. Sebabnya lagi musim penghujan, dan bila hujan turun, maka air akan meluap dari selokan. Ini pertanda ia harus mengurung asa berjualan di kompleks yang selalu langganan banjir itu.
Bukan karena tak berani, tapi ia harus menyadari bahwa gerobak satu-satunya tak akan sanggup menempuh jalanan yang terendam banjir. Bisa-bisa gerobaknya karam dan tahu yunyi buatannya akan melebur bersama lumpur selokan yang menghitam.
Walau sering terjebak keadaan seperti itu, paling-paling tahunya tersisa duapuluh potong.
Karena pelanggannya kerap menjemput ke rumahnya dengan menembus hujan dengan tubuh berbalut jaket dan bersembunyi di balik payung. Dan biasanya mereka akan membeli lebih banyak,
”Sekalian buat cemilan di sela hujan” tutur mereka saat ditanya.
Sebenarnya Pak Yunyi tak ambil pusing bila tahu buatannya banyak tak terjual, karena ini jadi kesempatan untuk menggorengnya, lalu dibagikan pada jemaah di masjid. Jangan
berfikir ia mengharap pujian, malah sosok itu tak pernah mengatakan bahwa itu adalah pemberiannya.
Hingga saat ini jemaah masjid masih menganggap bahwa tahu yunyi goreng yang disedekahkan ke masjid itu adalah pesanan orang, Pak Yunyi sekedar pengantar.
***
Mentari menyibak pagi. Pak Yunyi masih meringkuk di kamarnya. Entah angin apa yang membuat badannya menggigil. Memang semalam sempat ia menembus guyuran hujan ke kedai Koh Tong. ”Persedianku habis koh!” ujarnya saat ia ditanya mengapa begitu nekat malam-malam ke kedai tauke itu.
Tadi malam selepas isya ia dikagetkan saat sebuah avanza terparkir di depan rumahnya, dan belum sempat ia mencampur obat tahu ke adonan, pintunya sudah diketuk. Bergegas ia membuka pintu dan melihat sesosok dengan penampilan orang kantoran.
ia menyilakan tamunya itu untuk masuk dan menjelaskan hasrat kedatangannya.
”Perkenalkan saya Heru, pemilik restoran Madinah” ujarnya singkat ”Mungkin bapak pernah dengar” lanjutnya seraya melirik ke sosok itu.
”Oh...” hanya itu yang meluncur dari bibir Pak Yunyi. ”Ehm, langsung saja ya pak” tuturnya ” Saya sudah merasakan tahu buatan bapak, saya sangat suka” suaranya terhenti sebentar ”Jadi maksud saya ke sini adalah mengajak bapak untuk bergabung di restoran saya” tangannya menyodorkan selembar kertas ”Bapak akan menjadi koordinator dapur dan bila sudah setahun bergabung...” lelaki itu menarik nafas lalu tersenyum dan melanjutkan ujarannya ” Insyaallah selang setahun bapak akan naik haji” ucapannya
terhenti sebentar ” semua ditanggung dari perusahaan”. tambahnya
” Bagaimana pak?” tanyanya lagi.
”subhanallah” desis lelaki tua itu. Allah memang maha pembuka jalan, batinnya.
Lelaki tua itu menerawang, mulutnya masih terkatup. Lesat pikiran tak terbang ke Baitullah, namun entah kenapa malah memorinya memutar mozaik sewaktu berkeliling di tengah panasnya mentari, saat telinganya yang menjadi wadah keluh kesah pelanggannya.
Memori itu terus memutar gurat senyumnya, ketika pekikannya mengguyur pelanggan untuk keluar rumah, saat ia mendulang senyum mendengar pujian pembelinya yang mengatakan tahunya enak, murah dan membantu mereka karena nggak perlu repot ke pasar.
Tapi, bila ia menerima tawaran ini, siapa yang peduli akan gemuruh oceh, gelak- tawa dan keluh-kesah pelanggannya?, lantas bagaimana gizi anak-anak mereka ?.
Bilapun ada yang gantikan, apakah akan peduli sepertinya? Apakah ia mau bersusah payah memarut kunyit ketimbang pewarna sintetis? Apakah ia rela mendapat hasil sedikit? apakah ia mengharamkan formalin pada tahu buatannya?, dan apakah ia mau menyisihkan potongan tahunya untuk mengganjal perut jemaah di mesjid?, ah!.
Sejenak ia menimbang, lantas mulutnya mengudarakan sepatah kata. Setelah itu sosok di depannya menyambut dengan senyuman sembari berpatah beberapa kata seraya bergegas permisi dan melaju menaiki avanza biru.
Gigilnya mendadak menguap tatkala ia sadar sudah pukul berapa. sekilas Jam ruangan sudah merapat ke angka sembilan, Pak Yunyi megnenakan pakaian rapi, berkemeja dan memakai celana baggy.
Bergegas ia mengeluarkan gerobaknya yang penuh dengan dagangan. Disertai luapan gembira dan gurat senyum bahagia ia menyusuri jalanan seraya meneriaki pelanggannya.
”Tahu...tahu...”.