Siang itu begitu teriknya, teriknya mentari begitu mudah melelehkan keringat. Suasana di SMU Teladan begitu tenang. Kami sedang menyerap ilmu pengetahuan.
Bel berbunyi, tanda istirahat kedua. Anak-anak 2 Che berhamburan berebut kertas ulangan bahasa mereka. Zul dengan sigap membagi-bagikannya.
”Zul, kamu dapat berapa?” tanyaku pada Zul ”Lumayan, Delapan, kamu sendiri berapa?” ”Aku? Sembilan dong!” ujarku
”Iya deh, kamu memang jago BI, tapi tunggu tanggal main MM ya!” kata Zul tak mau kalah.
Aku hanya tertawa seraya mengajak Zul keluar dari kelas ke perpustakaan.
”Iya deh, kamu memang jagonya eksak, kayaknya Anak-anak plus dapat saingan nih?!” godaku.
”Eh, bukan gitu maksudku, tapi tiap orang itu kan punya keunikan sendiri!” bela Zul.
”He he, iya, karena ada makna di balik kelemahan dan kelebihan manusia kan?” tambahku belagak bersyair.
”Maksudnya?” sambar Zul. Kami masih di jalan trotoar yang pinggirnya ditumbuhi rumputan.
”Itu artinya, nggak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena itulah semua saling membutuhkan! Sama kayak kita!” sambar Tyo yang tiba-tiba dan entah dari mana muncul merangkul pundakku dan Zul.
”Bikin kaget aja!” serempak Aku dan Zul merutuk sohib yang terkenal usil itu. Si Tyo malah nyengir tanpa dosa.
“O…bener juga ya!” gumam Zul, kepalanya manggut-manggut.
”Memang bener…” Aku meyakinkan.
”Iya…iya…, aku sih setuju,” balas Tyo yang mulai ngos-ngosan menaiki tanjakan beraspal.
Langkah kami melambat. Apa sebab? Tika, Yani, Chai dan cs mereka, para “artis” lewat, alamat sayang tidak menyaksikan mereka, meski sekadar jadi penonton, meski sekilas pandang.
Sejenak aku berhenti, kedua sahabatku pun turut serta. Sesosok berkuncir kuda yang pernah satu SMP dulu, tiba-tiba melintas di depanku, Ima. Sekejap berdua mengurai tawa, saling-sapa dan berpamit pisah.
“Cewekmu, Har? Cantik juga…” Tyo mulai dengan usilnya.
”Kawan,” ujarku seraya menarik Zul mendahului Tyo yang masih penasaran dengan cewek barusan.
Tak terasa langkah sudah merapat di perpustakaan. Kami mengantri untuk mengisi daftar hadir. Setelah itu, berkeliaran mencari buku favorit masing-masing.
Di meja yang panjang, di sudut kiri perpustakaan yang dijejeri aneka rangka manusia. Kami bergabung dengan empat sahabat lain yang ternyata sudah nyelinap duluan ke ruangan itu, mereka si mahluk-mahluk cerdas, di meja kami sudah ada Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan Aryo yang selalu jadi andalan banyak teman saat ulangan.
”Zul, kau baca buku apa?”tanya Tyo setengah berbisik sambil menunjukkan ensiklopedianya.
”Nih! Cara cepat penyelesaian soal-soal Matematika,” balas Zul lebih pelan. Keduanya mengarahkan pandangan ke aku.
”Ini…” aku menunjukkan sampul buku yang berjudul ”Rubuhnya Surau Kami”
Di seberang kami, duduk para peri yang kerap jadi juara kelas dan umum sekolah ini. Mereka sudah lebih duluan sampai dari kami. Lantas, langsung tenggelam dalam buku-buku tebal yang kebanyakan eksak-sains. Ya, saat istirahat, rak kimia, biologi dan cerita memang selalu jadi pilihan banyak siswa.
Lihatlah, para juara itu: Dini, Sonta, Rena dan Reni. Mereka memang selalu begitu, dahi muda mereka sering berkerut menyerap ilmu. Bagi mereka, mudah saja memahami serangkaian rumus kimia, molekular dan setumpuk bagan siklus dalam pelajaran biologi.
Tapi, di balik wajah serius mereka yang tampak dingin dan tak bersahabat itu, sesekali tertangkap senyum, yang kubaca, mungkin mereka geli melihat soal yang gampang-gampang, atau menemukan jawaban atas pertanyaan yang mereka bangun dalam pemikiran mereka sendiri. Melihat senyum mereka, melihat sederet gigi mereka, adalah pemandangan yang langka, barisan senyum yang tulus, tidak dibuat-buat, tidak kecentilan, tidak berlebihan.
Merekalah, satu hal penting yang membuat perpustakaan sekolah selalu ramai, satu hal penting yang membuat kami-siswa medioker- selalu punya alasan untuk menyarangkan waktu istirahat di antara ribuan buku-buku, satu hal yang memastikan kami tetap tertinggal oleh mereka.
”Mereka itu daya tariknya!” bisikku, Tyo dan Zul mengangguk sambil mengamati para peri dari celah buku ensiklopedi yang mereka baca. Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan
Aryo tentu mendengar, tapi mereka cuek bebek, meski kuyakin saat lengah kami, mereka pun akan curi pandang ke arah para juara itu.
Bel meraung-raung. Nadanya yang seperti terompet raksasa itu membuat siswa di dalam kamar mandi di ujung sekolah pun mendengarnya. Begitu juga di ruang pustaka ini, semua siswa berhambur menuju kelas, keluar dari perpustakaan dengan posisi ngantri, posisi yang memang dikondisikan hanya satu per satu orang yang bisa melintasi pintu keluar.
Penduduk Dua Che kembali berkumpul di kelas. Yang masuk kali ini adalah Pak Khairul, guru geografi yang humoris dan mempunyai pengalaman masa mudanya menjadi Tourist Guide.
Pengalamannya yang banyak saat menemani wisatawan melanglang buana ke se-antero nusantara bahkan ke mancanegara seperti Malaysia juga China, membuat pelajaran geografi jadi hidup dan begitu mengasyikkan, selalu saja beliau mampu membuat kami terpana mendengarnya berkisah.
Waktu begitu cepat berlalu, bel berdentang tanda pergantian mata pelajaran. Sejumlah penghuni 2 Che berpindah tempat, berlomba ke belakang. Kebiasaan pelajar, berlomba ke belakang, niat hati tentu ingin leluasa dengan opsi: main, ngobrol dan tidur diam-diam. Yang tampak, Eky heboh mencari bangku yang terdekat dengan pacarnya, si Ela.
Sekarang saatnya mata pelajaran yang gurunya ”rajin nggak datang” Alhasil, mencatat di papan tulis sampai jam pelajaran habis adalah yang selalu terjadi. Guru pengganti datang, setelah menyuruh mencatat dan mewanti-wanti supaya tidak ribut. si guru pun melengos pergi tak tahu ke mana rimbanya.
Rades dan gank-nya bebas ber-bising ria. Sampai tak terasa, sosok tegap berambut klimis tipis berdiri di depan kelas. Mata elangnya memelototi Rades yang serta merta kembali ke
kursinya sambil mendiri-dirikan rambutnya yang sebenarnya memang sudah selalu berdiri.
”Mana gurunya?” lontar lelaki itu. Hening, tak ada yang berani buka suara. Gugun yang suaranya paling menggelegar memberanikan diri menjawab, ”Keluar sebentar tadi, Pak!” Andri, Heru, Erfan, Koko dan Tama mengiyakan.
”Begini ya, kalian itu sudah dewasa, seharusnya jangan berkelakuan seperti anak TK, kalian kemari disekolahkan oleh orang tua, maka jangan bla…bla…” lelaki itu terus dengan pesan-pesan berawalan ”jangan” Beruntung, Vide anak kelas 2 a menjemput lelaki itu, karena beberapa anak-anak yang dihukum jemur di lapangan pada keliaran.
”Baik, kalau kalian masih ribut lagi, akan tahu nanti hukumannya! Supaya tidak ribut, lanjutkan membuat catatan kalian, nanti saya periksa!” tutup lelaki itu dengan tegas.
”Kamu, catat yang rebut,” tambahnya sambil menunjuk Ajrin yang duduk di belakang kami. ”Harus ada yang dicatat, kalau tidak kamu yang saya kasi hukuman!” sambungnya. Ajrin pias ”Iya, Pak,” ujar sahabat perempuan kami itu dengan nada suara serak dan pelan.Lelaki itu pun bergegas pergi.
Selang beberapa menit, kelas kembali gaduh,
”Kamu sih, rese!” amuk Merry disertai anggukan teman sebangkunya, Masita.
Rades yang nggak terima membalas ”Enak aja, dasar nenek kecentilan!”
”Kamu kekanak-kanakan!” Sambar Masita mendukung sahabatnya.
”Ye, biarin… wek! wek!” ejek Rades meliukkan tubuhnya yang kutilang.
”Huh! Beraninya sama cewek!” ujar Deli nggak terima teman satu gank-nya dihina.
”Hei! Apa-apaan ini?!” suara menggelegar dari sudut jendela kelas. Itu suara milik lelaki yang beberapa waktu tadi masuk dan menceramahi mereka sampai pening. Lelaki yang rupanya sedari tadi mengintip tindak-tanduk kami dari sudut jendela kelas sebelah. Kelas kembali hening.
Seperempat jam berlalu.
”Sudah siap kan? Kumpulkan semua catatan kalian!” perintah lelaki itu. Ardha, Kumala, Ulan dan Yuyu berinisiatif mengumpuli buku-buku anak yang lain.
”Mana Des, bukumu…” tanya Yuyu dengan suara mendayu-dayu, yang kebagian mengutip di barisan Rades. Yang ditanya malah pasang muka memelas, ”Sori Yu, aku belum ada nyatat,” bisiknya. Yuyu pun berpindah ke meja yang lain dan mengumpulkannya di meja guru.
”Baiklah, sebelum saya periksa, siapa yang tidak mencatat?” dengan dingin lelaki itu memaksa kami jujur, toh, tidak mengaku juga bakal akan ketahuan belakangan saat nilainya dimasukkan.
”Kau tunjuk tanganlah!” bisik Rades sambil mendorong pelan kepala Tama.
”Akh, jangan pegang-pegang kepala, ini udah dipitrah tau!” sembur Tama nggak terima.
”Nggak tau lah yau!” balas Rades dengan cuek.
”Hei! Kalian berdua, kedepan!” ujar lelaki di meja guru. Kedua sohib itu terkejut. Dengan lesu mereka ke depan diiringi tatapan menang Heny cs. Keduanya disirami ceramah. ”Ikut saya!” perintahnya pada kedua sahabat kami yang kutilang pantai itu. Keduanya digiring keluar menuju kantor BP.
Lelaki itu kembali ke kelas, tanpa Rades dan Tama. Hanya berselang beberapa menit, bel panjang terdengar, tanda jam pulang. Anak-anak 2 Che gaduh membereskan bukunya.
Sesudah berdoa dan disiapkan dan tentu saja setelah lelaki itu keluar, anak-anak berebut menuju pintu menuju stasiun
lemari rumah yang berisi amunisi untuk menetralisir lambung yang para penghuninya sudah menjerit-jerit.
Oh ya, kemanakah Rades dan Tama? Kabarnya mereka bakal telat pulang, keduanya diganjar membersihkan satu lorong kamar mandi siswa yang terkenal sedap aromanya, di bawah pengawasan langsung Guru BP.
[Terimakasih pada sobat-sobat yang beberapa waktu kemarin menagih tulisan tentang sekolah kita dulu, thanks juga atas obrolan dan inspirasinya-maaf tidak tertuang di sini semua, semoga lain waktu bisa dituangkan dalam cerita lagi]