• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada Sebuah Perjalanan

Dalam dokumen Antara Aku Kau Dan Hujan (Halaman 111-117)

Mentari merangkak, teriknya belum sempurna. Berpuluh langkah aku dan Sukma mendaki waktu. Menuju ranah yang akan kami huni. Di tengah perjalanan, kendaraan melambat.Terhenti. Ada iringan lain yang menyekat jalan. Sempat kudenguskan kesal. Tapi kutepis seraya merayapkan mata.

Sebuah tembok kokoh meninju langit terhampar membatasi pandangan. Rasa penasaran menggelitik. Sukma

menggeliat, aku segera mengedarkan pandangan. Dari celah sempit terlihat deretan rumah berdiri. Mewah.

Tempat yang dikelilingi perkampungan ini hanya menyisakan beberapa jengkal tanah. Tak mungkin memperluasnya, kecuali andil tangan raksasa tentunya. Mungkin.

“Rumah orang ternama ya?” Tanyaku memastikan, Sukma mengiyakan.

“Kelihatan gak?” Sambungku. Sukma tak menanggapi. Kini ia turun menuju kerumunan yang ramai itu.

”Huh, dasar kampungan!” ejekku dalam hati. Sukma tak menggubrisku, langkahnya kian menjauh, terkayuh mendekati bibir gerbang yang kokoh.

Rantai sebesar kepalan tangan yang melilit gerbang sudah terurai. Seketika gerbang menganga menyambut sebuah kendaraan mewah yang memasuki jalanan beraspal. Mulus.

Gelombang massa berebut masuk bak amuk demonstran. Dua orang penjaga tak kuasa membendungnya. Beruntunglah, Sukma cukup sigap mencari celah dari desak-desakan itu. Ia pun turut terbawa arus kerumunan itu.

Panas mulai terjerang. Gelombang manusia yang tadinya liar kini terpajang rapi. Beberapa orang berkemeja hitam-hitam menyodorkan secarik kertas- semacam kupon.

“Nanti sehabis acara baru kelien tukar, oke!” ujar salah satu pria berkemeja itu.

“Oh...” Sukma menggeleng. Kepalanya mendadak berat. Dengan gontai kakinya mulai menjauh dari kerumunan itu.

“Hahaha... jangan heran gitulah!” tukas seseorang dari balik kendaraan itu. Sukma tahu, sosok itu berbicara padanya. Seorang pria beruban turun dari mobil mewah yang baru masuk tadi. Sosok itu mendekat dan mengenalkan diri.

“Saroha,” ujarnya singkat seraya menjulurkan tangannya yang putih dan gempal. Nama itu menalarkan imaji untuk mengenali sesosok pengusaha ternama. Sukma menyambut hangat dan mencoba merajut percakapan.

“Pastinya enak, bisa tinggal di komplek semewah ini,” puji Sukma. Sosok itu menyuguhkan senyum. Bangga.

“Ya, ini impian banyak orang, betul tidak?” ia tersenyum, memastikan.

Sukma membalas senyum. Pandangannya menyapu kesekeliling. Lelaki di hadapan masih angkat bicara,

“Lihatlah! keramik lengkap dengan batu giok ini dan… “ “Maaf, Pak. Gak takut dicuri?” Potong Sukma sopan. “Ah, keamanan disini terjamin, apalagi asuransinya ada, santailah,” sanggahnya masih dengan melambungkan congkak.

“Eh, belum kau tengok plang rumahku?” tanyanya seraya menepuk pundak Sukma ”Ukiran khas Bali, sangat eksotik!“ Saroha mengumbar puji pada batu yang bertuliskan namanya.

Sukma mengeja nama di plang itu, Drs. Ekron Saroha Tambunan. Merasa tertarik, matanya menyusur rumah yang lain. Batu ukir berbalut hijau turkis, Ir. Lamhot Sirait, M.A. Yang lain? ah... matanya sebentar mengatupkan. Ia menggumam sendiri melihat rumah-rumah mewah itu.

“Oh ya, sebelum kemari udah nanya gak ke tetangga, Pak?” selidik Sukma mengalihkan pembicaraan.

Belum sempat sosok di depannya menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berasal dari rumah sebelahnya.

“Lamhot?” seru Saroha terkejut.

“Iya ini aku, bohong bila kami nyaman di sini!” tuturnya parau, nada sedih jelas tergurat. Saroha terperangah.

“Hei! Maksudmu? Jangan main-main kau Lamhot!” Sembur Saroha meninggi. Tak terima rasanya ia atas ucapan Lamhot barusan.

“Kau belum alami, merasakan kesepian dan terlupakan, selamanya,” ujar Lamhot beku, seraya menunjuk dua anak kecil dan seorang wanita yang berkerudung kain hitam. Lamhot menepuk bahu Saroha dengan seringai yang tak terlukiskan.

“Mereka akan lupa, sama seperti istri dan anakku!” tambahnya.

Wajah putih di depanku kian pucat, tak bisa berucap. Kebekuan menyelusupi relung hatinya. Lamhot mengisyaratkan untuk meninggalkan Saroha yang mulai khusyuk menabung gelisah.

Mentari mulai menjungkal di atas kepala. Sembilan menit sudah, rombongan kami belum juga bisa melintas. Terhambat sepeda motor yang parkir sesukanya. Lamat kudengar langkah Sukma yang kian mendekatiku.

“Bah, beruntung kali dia!“ semburku tak puas. Sukma menatapku, helaan nafasnya berat menyiratkan sesuatu. Aku menunggu. Sukma duduk sebentar, menggeleng, lalu membaringkan tubuh di dekatku. Bibirnya mulai bergetar.

“Ada sekat, di sini keheningan menyentuh tiap penjuru,” tuturnya berat.

Aku terdiam. Menekuri tiap kata yang meluncur dari bibir sukma. Lama. Keheningan membungkusku. Lantas, setelah bergulirnya waktu dan pikiran, akhirnya dapat juga sebuah keputusan.

“Ah! benar juga kau, Lae!” pekikku, lantang.

“Nah, tak mungkin betah kau disini...!” Pukau Sukma. Aku mengangguk setuju.

“Baen ma!” teriakku lantang.

Akhirnya kendaraan terkayuh meninggalkan kompleks mewah itu. Kini kami dihadapkan pada jalanan berbatu cadas dan terjal. Medan yang cukup sulit dan berisiko besar. Kami bisa saja tergelincir lalu jatuh ke lembah curam di kanan-kiri jalan. Tapi, untunglah semuanya selamat.

Langkah-langkah terhenti. Sukma bergegas turun dan mengamati sekeliling. Firasatku berkata, sudah sampaikah? Hatiku berdegup tak beraturan. Galau.

Udara segar berkabar. Di depan kami terhidang kerumunan rumah yang bertabur tak teratur. Berdinding bata berbalut lumpur. Plang di tiap rumahnya sederhana. Dibuat dari kayu murahan yang kerap dimamah rayap. Rerumputan liar. Bertebar. Pohon-pohon kekar. Menjalar. Semrawut.

Tapi ada sesuatu yang langsung membuatku betah di sini. Begitu terasa. Ya, itu dia! Tak ada sekat dan seperti tersengat listrik aku mencium suasana yang begitu aku kenal. Seraya menggumam,

”Ini kan tempat aku sering menggembala kerbau opung? Benarkah?” tanyaku penuh ragu. Sukma mengiyakan.

Berkelebat memoriku mundur ke beberapa hari yang lalu. Kerap ada musafir berteduh di kampung ini, sekadar menanggalkan lelah. Juga para pengais rezeki yang berburu burung, jangkrik, ular bahkan kalajengking acap kali menjerat tangkapannya di sini.

Dan tak lupa pula hewan gembalaanku. Mereka bebas menggasak rerumputan yang terhampar di sekitar sini. Bahkan kawanan itu kerap berhajat seenaknya, bau memang. Tapi begitupun, tak ada luapan marah. Yang ada, seakan alam mengabarkan tentang makna tenggang rasa, hidup bersama, damai dan bahagia. Ah, betapa harmonisnya kampung ini, gumamku senang.

Arakan putihnya awan membalur mentari. Terik sementara bersembunyi. Kini tepat di sebuah rumah yang sederhana. Pintu utama terbuka, dengan tergesa empat sosok pemuda membuka penutup kendaraan. Terlihat oleh mereka seonggok tubuh di dalamnya, bersidekap menyuguhkan seulas senyum penuh kelegaan. Wajah-wajah bertatapan, keheranan.

Dalam dokumen Antara Aku Kau Dan Hujan (Halaman 111-117)