30 November 2011
Secangkir cappuccino hangat menyentuh bibirku yang pucat. Ya, sedari tadi jemariku tak henti memainkan cangkir yang bergagang separuh love di depanku ini. Cangkir yang kalau bisa berekspresi mungkin akan cemberut melihatku yang terus memutar-mutarnya hingga kepul uap miliknya menjadi mengawang liar. Ya, ini persis seliar pikiranku saat ini, pikiran yang sedari tadi terbang entah kemana, pikiran yang membawa tumpukan luka mengenangmu pada tiap lesatan anganku, Lara.
Di meja ini kulihati potretmu yang sedang duduk manis. Ya, sesosok yang duduk di meja bundar coklat bernomor 13, sama persis dengan meja yang kududuki. Di dalam gambar, kau tampak duduk menyilang kaki, mengadu lipatan jeans yang
kaupakai. Ada gusar di sana. Ya, gusar yang melekat pada dua kelopak kejoramu. Kau tahu? Melihatmu begini, aku lebih gusar. Aku merasa menjadi orang paling bersalah. Ah!
“Srrruuuff…” kuredakan gelisah dengan menyeruput kopi.
Berniat menyulut kretek, namun lekas-lekas kuurungkan. Seketika ingat, ruang kubus ini berAC, gumamku. Kini hanya jari yang menari-nari di atas keyboard laptop merah marun. Sesekali menerawang, menghela nafas lantas menunduk, mengetik. Acapkali Melihat sekitar, menunduk, mengetik lagi. Begitulah, sampai waktu merangkak maju ke garis merah di barat, mengiring sepotongan kenangan yang ditelan malam.
Ya, Sejak coffe shop ini dibuka tadi pagi, aku telah hadir lebih dulu daripada para karyawannya. Ya, mereka tentu memaklumi, sudah hapal dan mengenaliku sebagai pelanggan tetap, makanya aku dibiarkan duduk manis di meja itu sementara di waktu yang sama, para karyawan menyapu, mengepel dan mengelapi meja serta tiap sudut kafe ini.
Mereka maklum, ini sudah kali ke lima aku begini, duduk dari pagi hingga petang di tempat dan meja yang sama, sebuah cerita sedih yang mengantarku begini, menjadi buah bibir bagi mereka. Ya, telah lima tahun jarak merentang. Aral yang malah melipat cinta dan rinduku. Rasa yang menyakitkan, karena aku tak bisa menemukanmu, hingga lima tahun terakhir ini.
Kau mungkin marah besar saat itu, ketika aku tiba-tiba saja membatalkan pertemuan kita di kafé ini. Aku tak tahu kalau pertemuan itu sangat penting.
“Argh!” aku mengepal rambutku yang sudah tak pada sisirannya. Aku telah mengecewakanmu, Lara. Aku egois, memilih terbang ke Singapura berbekal mimpi dan dokumen perjanjian proyek perusahaan.
Marah! Ya, sekarang aku marah pada diriku saat mengingat selembar kertas yang kau titipkan ke seorang writers yang berbaik hati, berjanji memberikannya padaku. Selang dua hari aku ke kafé ini dan mendapati kertas
bertandatangan dirimu berada di genggamanku. Kau tahu? Aku hilang kesadaran saat itu.
Dear Harry,Aku harus memutuskan, sore ini adalah pertemuan terakhir kita. Tidak, tidak, aku tidak konyol dengan memilih bunuh diri atas kekecewaanku, tidak Harry, aku masih waras. Harry, meski aku putuskan kita tak sehaluan, kau harus percaya, dimanapun udara menyapamu, kau harus yakini, doaku ada untukmu, larut pada udara yang kau hirup, turut dalam impian-impian yang kau raut. Sukses selalu untukmu Harry.
Rian. Ia menemaniku hari ini, kau tentu terkejut, ya, aku sudah menceritakan semua padanya dan ia begitu bijak, ia bisa saja dan rela membatalkan pernikahan kami asal memang engkau benar-benar menjamin akan menjagaku dan mencintaiku melebihi cintanya padaku.
Kau tahu Harry, aku menangis, deras sekali, sama seperti hujan yang hadir sore ini, aku seolah menyatu dengan hujan, lama, sangat lama gerimis itu Harry. Ah, padahal sebenarnya hari ini adalah saat yang tepat bagiku mengenalkanmu padanya dan mengatakan kita saling mencintai, sehingga pernikahanku lusa dengan Rian bisa dibatalkan. Tapi, kautelah mengingkarinya.
Saat ini, saat engkau membaca tulisan ini, aku sudah menjadi halal bagi Rian. Harry, jangan menyalahkan ia, oh! Adakah mungkin ini takdir? Tentang kita yang tak akan pernah bisa mengajari Tuhan untuk berpikir? Semoga, tak kau sia-siakan wanita pendampingmu kelak, wanita yang menggantikanku.
Jangan mencariku,
Salam terhangatku dari Melbourne. Larasati Ourora
“Krieeekk…” “Dreeettt…”
Bunyi itu menyadarkanku dari lamunan. Kutatap sekeliling, para karyawan sudah merapikan kursi dan meja, membersihkan tiap inci ruangan ini. Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengaliri tubuhku, halus sekali, sesuatu yang menyadarkan. Nafasku naik-turun.
“Maaf, Mas. Mas masih lama lagi?” tanya si pelayan hati-hati.
Aku tak bergeming. Pelayan tentu heran, mungkin ia mengira aku kerasukan setan.
“Terimakasih,” akhirnya kata itu meluncur memecah keheningan, kata yang sungguh-sungguh dan bulat dariku. Semua terkesiap dan serta-merta menghentikan pekerjaannya guna menyimak kata-kata selanjutku.
Mataku hangat, dalam hati aku berkata-kata,
“Terimakasih kawan-kawan, kalian mengajarkan satu hal padaku, kalian membersihkan tempat ini tiap hari, tempat yang acapkali melekat kenangan-kenangan indah dan sedih! Kalian mengajarkan aku bagaimana cara menyapu kenangan, lalu menjadikan diri seperti ruangan yang bersih dari kenangan-kenangan sedih itu sendiri!” Semua menatapku, benar-benar teduh dan seolah mengiyakan kata-kata yang kugumamkan barusan. Mata mereka masih memerhatikanku.
“Lara, aku harus melupakanmu,” gumamku.
Ya, aku hidup untuk masa depan, bukan malah terjebak pada kenangan, pada masa lalu, batinku. Sepotong foto dan suratmu telah terkepal dan berpindah ke tong sampah.
Bergegas kukemasi barang-barangku dan berjanji tidak akan pernah ke tempat ini lagi. Janji!