Sebaiknya aku katakan padamu, bahwa jiwa ini larut dalam duka yang mencengkram. Aku sadar, berhembusnya gelisah ini menguap dari realitas yang terhidang di hadapku. Aku mau bilang apa? orang yang kuanggap mulia ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan!
Bagaimana tidak? di tangan merekalah kini terjadwal segala masalah mahasiswa tingkat akhir. Aku tak yakin bisa selesai secepat yang lain. Karena hatiku miris, melihat sekawanan ternak itu, tahukah kau? Isi kantongku sudah rompal untuk segala macam urusanmu yang semakin tak logis. Tak tahukah kau? biaya kuliah kuperoleh dari menjerang peluh sendiri? Ah, tak kau hargai itu. Sedikitpun.
Dan kini, aku semacam dalam labirin, tatkala sebuah jalan tol terhampar luas secara terbuka digaungkan, dengan iming-iming cepat selesai dan tak dipersulit. Tentunya ini mengundang liur mahasiswa yang memang kusadari tak memahami arti siapa dirinya.
Belum lagi shock therapy yang dibuat beberapa dosen di semester akhir macam sekarang ini. Sosok -yang katanya simbol- akademisi itu kerap mencekoki dengan cara halus tentang pemahaman ”sogok-menyogok” berdalih ucapan terimakasih. Terlebih Pak Bakti, wajahnya yang sangar benar-benar dimaksimalkannya untuk menciutkan nyali kawan-kawanku, termasuk Yadi dan Mulia, ah!
Aku tahu ini kawan, aku dalam dilema antara idealisme dengan keterdesakan, aku juga sadar, ingin segera menapak kehidupan baru dengan sebuah embel-embel: S.Pd. Tapi apa harus dengan cara sepertimu?
Berkelebat argumen Yadi, sahabat dekatku pemilik suara merdu tatkala mengumandangkan adzan, sosok yang tidak pernah tinggal sholatnya – Paling alimlah di mata kawan-kawan.
”Kita harus ngejar penerimaan PNS akhir tahun nanti…” dalihnya. Dan entah mengapa, sebentar saja beberapa orang mendukungnya -ah, entah kenapa bisa begini?
Mulia, mahasiswa yang loyal dan selalu mengingatkanku untuk membagi waktu kuliah dan kerja, jagonya diskusi panel, bahkan sempat jadi pembicara seminar yang diadakan kampus, pun sepakat dan ikut mengambil jalan ini.
”Nanti dipersulit, kalian tahu kan aku ke kampus menghabiskan tiga puluh ribu untuk ongkosku” Mulia mulai menguapkan alasan ”lagi pula bila cepat aku tamat aku bisa segera mengurus sertifikasi dan nantinya…” ah, ujarannya tak lagi kudengar. Hanya cerecau tanpa makna yang kulihat dari bibirnya.
Kutatap nanar sekeliling kelas. Sepi. Nada kegetiran menyeruak, aku tahu ini akan menular ke yang lain, aku harus berbuat sesuatu, tapi apa? Mengandalkan lobi UKM? kujamin tak ada yang berani, walau menggunakan dalil yang benar sekalipun! Kurasa sama saja UKM di sini, obral kata-kata manis semacam:
”Kamilah yang mengayomi mahasiswa, kamilah yang peduli dengan Masalah, bakat dan kreatifitas mahasiswa, kamilah pembela…” bah! kata-kata itu semakin ”lugu” bila diucap oleh orang yang merasa dirinya benar itu.
Atau lewat jalan lain? Mengadu ke presma atau gubernur fakultas? Ah, sama saja! mungkin lebih parah. Bagaimana tidak? urusan internal mereka saja tak becus diurus. Konon pula bila harus bertolakbelakang dengan kepentingan penentu kebijakan itu. Entah makian apalagi yang akan aku lontarkan!.
Hari beranjak, waktu terus melangkah. Aku hanya menggumam, larut dalam kesenduan yang nisbi. Lebih dari setengah kawan-kawan di kelasku akhirnya menyerah -atau tergiur?- ikut memesan. Aku tahu, argumen Mulia dan kefasihan sosok Yadi -yang membenarkan cara itu- turut meyakinkan yang lain. Apalagi selentingan kabar kudengar
mereka berdua selaku penanggungjawab di ruanganku, tentunya ada kompensasinya, mungkin mereka digratiskan atau minimal bayar setengah. Ah, kabar itu saja sudah cukup menikam begitu dalam di ulu hatiku.
Tak apa, tak jadi masalah. Apalagi, sempat kudengar tatkala Mulia mulai mengorek cerita tentang orang tua kami yang ada di kampung, mereka ingin anaknya cepat selesai, diwisuda dan cepat dapat kerja.
” Udah ikut saja, aku dan Yadi sudah sepakat ikut ini…” tutupnya dengan disambut beberapa tepukan tangan bergempita, seolah dirinya adalah penyelamat mereka. Aku hanya terdiam, tak ada guna aku mengguyur nasehat atas jiwa yang kerdil itu. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya memaku diri. Memaki dalam hati sosok akademisi yang tak mematut diri pada arti sebuah hidup.
Seminggu berlalu, aku dan segelintir mahasiswa yang masih insaf harus berjuang, bergumul dalam lautan idealisme yang seperti telur di ujung tanduk ini. Sebenarnya muak, serasa ingin aku menendangi orang-orang yang menggantungkan mimpi ”cepat selesai dan cepat bekerja” itu dengan umpatan yang akan menjungkalkan paradigma mereka sendiri seraya meraba gelar mereka yang – mungkin – mereka beli itu!
Aku kian gontai, melihat masa depan orang yang akan digugu dan ditiru ini. Aku juga miris melihat mereka yang dengan nada dan tatapan sinis sering mencibirku ”sok idealis!” Ah, tak tahukah kau kawan aku merantau bukan untuk mengejar angka di atas lembaran transkip nilai itu, pun juga bukan pada selembar kertas keramat bernama: Izajah!
Mimpiku jauh dari sekedar itu! Aku ingin jadi seorang lelaki yang tak pernah berdamai dengan kegelisahan, lelaki yang terus belajar pada alam, lelaki yang meninggalkan jejaknya di dunia lewat kemuliaan dan seorang yang bergelar S.Pd, bukan malah jadi SPD ( Sarjana Pengumpul Diktat ).
Waktu merayap, hingga tak tersadar sebulan telah berlalu. Sore ini kususur jalanan kampus. Keringat mengaliri dahi, kuseka dengan ujung baju. Serta merta langkahku terhenti, di depan sana mendadak ramai, ada apa ini? gumamku. Batinku bergumul tanya.
”Ada apa? apa yang terjadi?” tanyaku bertubi-tubi. “Tabrakan!” ujar seorang pemuda di dekatku. Ringkas. ”Laga kambing, sepeda motor sama truk” lanjutnya seraya menatapku ”kedua pengendara motor langsung tewas” tambahnya lalu kembali berdesakan di kerumunan itu.
Wajahku menegang. Bulu kudukku meremang seraya menggurat senyum prihatin. Sebenarnya aku ingin turut serta di situ, sekedar mengarak mayat ke ambulan yang pasti sebentar lagi datang. Tapi aku harus bergegas ke tempat kost, seraya menyiapkan diri buat mengajar nanti malam. Lantas, aku bergegas meninggalkan tempat itu seraya menggantungkan doa pada korban kecelakaan itu.
***
Mendung menyapa pagi. Kampus berduka. Tak kuasa kubendung air mata, saat nama itu parau kudengar, mengapa begini? Inikah pelajaran dari tuhan itu?.
Berkelebat bayangan argumen mereka di kelas tentang PNS, tentang orang tua di sawah, cepat dapat kerja, cepat diwisuda, lantas ter- flashback kejadian kemarin sore.
Sepasang tubuh yang terbujur kaku kemarin itu, mereka ternyata….
( DUNIA KOMA, Medio Mei ) *DSAS : thanks untuk inspirasinya karib.