KEHIDUPAN SUKU ANAK – DALAM DI KECAMATAN AIR HITAM
KABUPATEN SAROLANGUN
1Muhammad Ibrahim, Gurniwan Kamil Pasya, Djakaria M Nur 1[email protected]
Departemen Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Suku Anak – Dalam merupakan salah satu masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam yang ada dihutan. Semakin berkurangnya luas hutan di Kabupaten Sarolangun akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial-budaya kehidupan Suku Anak - Dalam di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain penelitian Kualitatif Deskriptif dengan metode Fenomenalogi untuk mengungkap kehidupan Suku Anak - Dalam terkait dengan terjadinya konversi hutan. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik prosedur purposive dengan menggunakan key person untuk menentukan informannya. Ada empat rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1) Bagaimanakah sistem penguasaan hutan yang dilakukan Suku Anak - Dalam di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun. 2) Apa saja kearifan lokal Suku Anak - Dalam yang masih dipertahankan di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun. 3) Bagaimanakah adaptasi Suku Anak - Dalam terhadap lingkungan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun. 4) Bagaimanakah implementasi pembelajaran Geografi di SMA dalam menyerap nilai-nilai kearifan lokal Suku Anak - Dalam, dalam menjaga kelestarian hutan.
Berdasarkan hasil penelitian terjadi perubahan pada sistem penguasaan hutan yang dilakukan Suku Anak - Dalam. Perubahan itu yaitu pemerintah dan Suku Anak - Dalam bekerjasama membentuk sebuah hutan adat. Kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah hutan adat tidak boleh ditebang untuk dijadikan ladang oleh Suku Anak - Dalam. Sementara Suku Anak -Dalam yang hidup didalam kawasan hutan adat, boleh menebang hutan tetapi harus mengikuti aturan adat. Kearifan lokal Suku Anak - Dalam yang masih mereka jaga dan berhasil dalam menjaga kelestarian hutan yaitu hompongan dan larangan-larangan atau aturan adat berupa kawasan hutan dan pohon-pohon yang tidak boleh ditebang. Adapun adaptasi yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam dilingkungan perkebunan kelapa sawit yaitu dengan mengkonsumsi makanan dari luar hutan, penggunaan teknologi baru dalam kehidupan Suku Anak – Dalam, berubahnya mata pencaharian, dan perubahan pola pembukaan lahan.
ABSTRACT
Suku Anak – Dalam In is one of the very society drape his life to natural resources that exist in the forest. A devastating vast forests in Sarolangun result converted to Palm oil plantations, this will result in the occurrence of changes in socio-cultural life of Suku Anak – Dalam In Air Hitam District in Sarolangun.
This research was carried out by using a descriptive Qualitative design research with the method Fenomenalogi to uncover the lives of Suku Anak - Dalam in the tribe associated with the occurrence of forest conversion. Sampling techniques using the technique of purposive procedure using the key person to determine the informan. There are four formula issue in this study, namely: 1) How did the forest tenure system which made the Suku Anak - Dalam in Air Hitam District in Sarolangun. 2) What are the local wisdom Of Suku Anak – Dalam in that is still maintained in Sarolangun Regency Air Hitam. 3) How is the adaptation Of the children in the neighborhood of palm oil plantations in Sarolangun Regency Air Hitam. 4) How is the implementation of learning Geography in high school in absorbing local wisdom values the Suku Anak - Dalam inside, in maintaining forest sustainability.
Based on the results of the research there are changes in forest tenure system which made the Suku Anak - Dalam inside. The change is that the Government and the tribes of the Suku Anak - Dalam of the indigenous forest formed a partnership. Forest areas belonging to the indigenous forest territories should not be cut down into a field by the Suku Anak - Dalam. While the Suku Anak - Dalam in the living in the forest areas of custom, may cut down forests but must follow the rules of custom. Local wisdom of Suku Anak - Dalam in their care and are still succeeding in maintaining the sustainability of forests and hompongan prohibitions or customs rules in the form of the forest and the trees should not be cut down. As for the adaptation done by Suku Anak - Dalam in the surroundings of Palm oil plantations is to consume foods from outside the forest, the use of new technologies in the life of the Suku Anak - Dalam, with the shift Suku Anak - Dalam livelihoods, and changes in the pattern of the opening of the land.
Keywords : Suku Anak – Dalam, mastery of the forest, local wisdom, adaptation.
PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia terus ditingkatkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha – usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat direalisasikan melalui pembangunan dibidang ekonomi. Karena perekonomianlah yang menjadi peran penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bidang perekonomian yang terus dikembangkan oleh pemerintah salah satunya yaitu sektor perkebunan. Diantara komoditas perkebunan komersil, tanaman kelapa sawit dapat dikatakan menjadi primadona.
Investasi di sektor perkebunan kelapa sawit yang meningkat pesat pada tahun 1980-an dan 1990-an yang kemudian membutuhkan penyediaan lahan yang meningkat pula. Penyediaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tersebut, dilakukan dengan cara mengkonversi hutan. Perluasan lahan perkebunan sawit dengan mengkonversi hutan terjadi di Provinsi Jambi. Laju konversi lahan hutan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit telah terjadi sejak 1970 di Jambi. Sehingga pada tahun 2000an luas hutan jambi hanya berkisar 1,6 juta hektar.
Konversi lahan hutan yang semakin meningkat dari tahun ketahunnya akibat dari
kebutuhan lahan perkebunan sawit yang semakin meningkat hal ini jelas tidak hanya akan mengancam kehancuran keanekaragaman hayati, namun juga masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan yang selama ini menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam yang ada di hutan. Suku Anak - Dalam atau Orang Rimba merupakan salah satu masyarakat yang hidup didalam dan diluar sekitar hutan dengan pola hidup yang terbelakang dan terasing di provinsi Jambi. Suku Anak -Dalam adalah orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Suku Anak - Dalam sangat mengantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang ada dihutan. Mereka hidup berpindah-pindah dan mengumpulkan makanan dengan cara berburu dan meramu. Prasetijo (2011:19) mengatakan :
“Perubahan fungsi hutan akan mempengaruhi keberadaan masyarakat setempat yang berdiam disekitar hutan, termasuk Orang Rimba yang mendasarkan hidupnya pada hutan. Hutan, bagi Orang Rimba, tidak hanya berfungsi ekonomi tetapi juga mempunyai makna budaya yang sangat tinggi. Perubahan fungsi hutan akan
mempengaruhi kualitas hidup Orang Rimba. Secara perlahan – lahan mereka kehilangan mata pencaharian seiring mulai hilangnya hutan – hutan yang ada di Jambi. Mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan alam yang baru. Karena itu tidak mengherankan jika mereka mulai kesulitan mencari bahan makanan di hutan dan terpaksa mencari makanan di perkampungan melayu. Kualitas hidup mereka semakin lama semakin menurun seperti ditemukannya kasus – kasus kelaparan di beberapa kantong pemukiman Orang Rimba..laporan Bank Dunia mencatat temuan sekelompok Orang Rimba yang menjadi pengemis di jalanan dan menggelandang di pemukiman masyarakat karena hilangnya hutan sebagai tumpuan hidup mereka”.
Jumlah Suku Anak - Dalam di Jambi menurut data statistik kabupaten Sarolangun berjumalah 3.198 jiwa yang tersebar dibeberapa kabupaten atau kota. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel Jumlah Suku Anak - Dalam Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kabupaten di Provinsi Jambi
.
Tabel 1.1
Jumlah Suku Anak - Dalam Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kabupaten
Kabupaten/Kota Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan Merangin 439 419 858 Sarolangun 537 558 1.095 Batanghari 40 39 79 Tanjab Barat 31 26 57 Tebo 420 403 823 Bungo 143 143 286 Jumlah 1.610 1.588 3.198
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun (2010)
Dilihat dari Tabel Jumlah Suku Anak –
Dalam Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kabupaten di Provinsi Jambi, Kabupaten
Sarolangun merupakan Kabupaten yang memiliki jumlah Suku Anak - Dalam yang terbanyak diantara Kabupaten lainnya di
provinsi Jambi dengan jumlah 1.095 jiwa terdiri dari 537 jiwa dan 558 perempuan. Kabupaten Sarolangun berada pada 10 – 100 mdpl, dengan suhu rata—rata 26,90ºC. Curah hujan di kabupaten Sarolangun 2000 – 4000 mm/tahun memiliki jenis tanah latosol, andosol dan aluvial. Di lihat dari kondisi geografis Kabupaten Sarolangun memiliki kriteria lahan yang cocok dan baik untuk tumbuhnya kelapa sawit. Karena itu Kabupaten Sarolangun juga merupakan salah satu Kabupaten yang memperluas area lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara mengkonversi hutan. Persebaran Suku Anak – Dalam di Kabupaten Sarolangun banyak terdapat di Kecamatan Air Hitam, karena di Kecamatan Air Hitam terdapat Taman Nasional Bukit Dua Belas yang merupakan kawasan hutan yang khusus diperuntukkan untuk Suku Anak – Dalam. Hutan di Kecamatan Air Hitam yang menjadi kawasan Suku Anak – Dalam kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan transmigrasi. Bahkan wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas yang merupakan wilayah hutan yang dilindungi kini sebagian wilayahnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Semakin berkurangnya luas hutan di Kecamatan Air Hitam akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial-budaya kehidupan Suku Anak - Dalam di Kabupaten Sarolangun.
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan sistem penguasaan hutan yang dilakukan Suku Anak - Dalam di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangaun.
2. Mengidentifikasi kearifan lokal Suku Anak - Dalam yang masih dipertahankan di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun.
3. Mengidentifikasi adaptasi Suku Anak - Dalam terhadap lingkungan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun.
4. Mendeskripsikan implementasi pembelajaran Geografi di SMA dalam menyerap nilai-nilai kearifan lokal Suku Anak - Dalam, dalam menjaga kelestarian hutan.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan pendekatan fenomenalogi. Fenomenalogi berusaha mencari makna dalam setiap fonomena yang terjadi menurut subjek yang menampakkan fenomena tersebut. Fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau sesuatu yang nampak. Metode fenomenologi adalah metode penelitian yang berusaha untuk mengungkap makna/hakikat (meaning) terhadap perilaku kehidupan manusia terhadap suatu fenomena yang terjadi dilingkungannya. Penggunaan metode fenomenalogi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna perilaku kehidupan yang ditimbulkan oleh Suku Anak – Dalam di Kecamatan Air Hitam akibat terjadinya perubahan lingkungan tempat tinggal Suku Anak – Dalam dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sistem Penguasaan Hutan yang Dilakukan Suku Anak - Dalam
Sistem pengelolaan hutan di Indonesia , secara normatif telah mengakui adanya dimensi sosial, sebagai bagian terpadu dari pembangunan kehutanan di Indonesia. Dimensi sosial dalam pembangunan kehutanan di Indonesia, direalisasikan dengan mengakui komunitas sosial serta memberi peran partisipasif pada masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya terhadap sumberdaya hutan melalui landasan hukum
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. Siahaan (2007:318) mengatakan Pasal lima hingga pasal tujuh UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menciptakan landasan hukum bagi eksistensi sosial dan partisipasinya. Kemudian pasal 67 hingga pasal 70 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memberikan landasan hukum pengakuan Masyarakat Hukum Adat, serta eksistensi peran serta masyarakat dalam kerangka ekosistem hutan. Pada kenyataannya elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki ketergantungan dengan ekosistem hutan tidak memiliki peran semestinya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU Kehutanan dan UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga pemanfaatan hutan terkadang menyampingkan keberadaan masyarakat tradisional. Sehingga banyak disejumlah wilayah yang masyarakatnya mulai mengakui adanya hutan adat, demi keberlangsungan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Suku Anak - Dalam merupakan salah satu masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam yang ada di hutan. Mereka mencari dan mengumpulkan makanan didalam hutan. Sehingga hutan menjadi jantung bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Hutan bagi Suku Anak - Dalam tidak hanya memiliki nilai ekonomi saja, tetapi memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Karena itu, dalam memanfaatkan hutan mereka memiliki aturan dan cara sendiri demi menjaga kelestarian hutan yang mereka manfaatkan. Jaman dahulu penguasaan hutan dan pemanfaatan hutan datur oleh Temenggung dan Dukun. Dukun bertugas menentukan wilayah hutan yang bisa dan tidak bisa dimanfaatkan. Karena banyaknya larangan didalam hutan, sehingga tidak semua wilayah hutan bisa dimanfaatkan oleh Suku Anak - Dalam. Contohnya, Suku Anak - Dalam memiliki aturan adat tidak boleh menebang
pohon atau membuat ladang pada wilayah hutan yang dianggap menjadi tanah peranakan. Oleh karena itu Suku Anak - Dalam yang akan membuka hutan untuk dijadikan ladang biasanya mereka ijin terlebih dahulu kepada Dukun. Sedangkan Temenggung bertugas memberikan sangsi kepada Suku Anak - Dalam yang melanggar apa yang telah ditentukan oleh Dukun. Wilayah hutan yang mereka tempati dianggap merupakan tanah mereka. Suku Anak - Dalam tidak mengenal tentang kepemilikan lahan, sehingga semua wilayah hutan yang yang menjadi tempat jelajah, mereka menganggap itu merupakan wilayah hutan milik mereka. Masyarakat Suku Anak - Dalam hidup berkelompok dan mempunyai wilayah/batas kekuasaan perkelompoknya, namun meskipun mempunyai wilayah masing-masing tapi mereka diperbolehkan mencari penghidupan di wilayah kelompok lain, asal izin terlebih dahulu kepada pemimpin yang mempunyai wilayah tersebut. Mereka bebas untuk tinggal bersama kelompok lain, namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok karena terdapat hukum adat yang mengaturnya.
Karena Suku Anak - Dalam yang sudah mulai mengenal perkebunan kelapa sawit dan karet, semakin banyak Suku Anak - Dalam yang menebang hutan secara besar-besaran untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet yang menyebabkan semakin menyempitnya luas hutan di Kecamatan Air Hitam. Sehingga hal ini merubah sistem penguasaan hutan yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam. Pemerintah dan Suku Anak - Dalam bekerjasama membentuk sebuah hutan adat. Kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah hutan adat tidak boleh ditebang untuk dijadikan ladang oleh Suku Anak - Dalam. Sementara Suku Anak -Dalam yang hidup didalam kawasan hutan adat, boleh menebang hutan tetapi harus mengikuti aturan adat. Aturan tersebut adalah tidak boleh menebang
hutan untuk dijadikan perkebuanan sawit dan karet, hanya untuk menanam ubi dan tanaman buah-buahan agar tutupan lahannya bisa rapat kembali, luas lahan hutan yang ditebang untuk dijadikan lahan pun terbatas, misalkan 50 m untuk beberapa orang. Aturan-aturan tersebut harus dipatuhi setiap Suku Anak - Dalam, apabila ada pelanggaran mengenai penggunaan hutan adat Temenggung bertugas memberikan sangsi adat. Wilayah hutan tersebut berada dikawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan oleh pemerintah Kabupaten Sarolangun untuk Suku Anak – Dalam.
2. Kearifan Lokal Suku Anak - Dalam yang Masih Dipertahankan
Suku Anak - Dalam merupakan etnis yang mengembangkan budayanya yang tidak lepas dari hutan. Suku Anak - Dalam pada umumnya tinggal jauh di dalam hutan yang bagi mereka merupakan perkampungan, sumber kehidupan, dan juga tempat beraktivitas. Suku Anak – Dalam merupakan salah satu masyarakat yang hidupnya sangat tergantung dari sumber daya alam yang ada dihutan. Hidup mereka berpindah-pindah didalam kawasan hutan. Suku Anak – Dalam sangat menghindari masyarakat luar sehingga kehidupan mereka sangat tertutup terhadap teknologi, karena itu mereka hidup didalam hutan. Mereka tidak Perlu mencari makanan diluar hutan, karena didalam hutan sudah tersedia berbagai sumber kehidupan. Didalam hutan mereka bisa mendapatkan buah-buahan hutan yang dapat mereka makan, seperti duku hutan, durian hutan, buah bedaro dan lainnya. Selain buah-buahan banyak terdapat hewan buruan yang mudah mereka dapatkan seperti babi hutan, rusa, kancil dan sebagainya yang bisa mereka makan. Hutan yang berfungsi sebagai sumber kehidupan juga berfungsi sebagai tempat beraktivitas seperti berladang,
berburu, tempat memuja dewa dan sebagainya.
Hutan sebagai sumber kehidupan Suku Anak - Dalam sangat di jaga kelestariannya oleh mereka. Karena itu ada beberapa aturan, larangan atau adat istiadat dalam melestarikan hutan, yang kemudian aturan-atuaran tersebut disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal mempunyai fungsi, mengatur interaksi kegiatan masyarakat atau komunitas-nya, memperlakukan alam sekitarnya, termasuk pola pergaulan yang arif dan bijaksana. Pada tahun 1980 mulai masuk perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, yang kemudian membutuhkan penyediaan lahan yang meningkat pula. Penyediaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tersebut, dilakukan dengan cara mengkonversi hutan. Perkebunan kelapa sawit bisa dikatakan sukses dalam mendongkrak perekonomian masyarakat sehingga laju konversi lahan pun masih terus dilakukan terutama oleh masyarakat yang menyebabkan semakin menyempitnya luas hutan di Kabupaten Sarolangun. Semakin berkurangnya luas hutan di Kecamatan Air Hitam sangat mengancam kehidupan Suku Anak - Dalam. Sehingga kearifan lokal Suku Anak - Dalam tentang cara melestarikan hutan sangat berperan didalam menjaga kelestarian hutan di Kabupaten Sarolangun.
Setelah masuknya perkebunan kelapa sawit banyak Suku Anak - Dalam yang secara tidak sengaja mulai merusak hutan. Hal ini jelas terlihat dari bagaimana Suku Anak - Dalam membuka lahan hutan untuk dijadikan ladang. Dahulu sebelum masuknya perkebunan kelapa sawit mereka membuka lahan tidak begitu luas dan hanya untuk ditanamani ubi saja tetapi setelah masuknya perkebuanan kelapa sawit dan Suku Anak - Dalam mulai mengenal tata cara berkebun kelapa sawit, Suku Anak - Dalam mulai membuka lahan hutan lebih luas untuk
ditanami perkebunan kelapa sawit. Selain itu banyaknya kasus penjualan lahan hutan lindung yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam. dengan semakin berkembangnya perkebunan kelapa sawit dan sangat menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan, maka nilai lahan di Kabupaten Sarolangun semakin tinggi, hal ini dimanfaatkan oleh Suku Anak - Dalam untuk membuka lahan hutan dengan seluas-luasnya kemudian dijual kepada orang luar untuk mendapatkan uang yang besar. Menurut hasil wawancara dan hasil pengamatan dilapangan, Suku Anak - Dalam yang masih tinggal didalam hutan masih memegang teguh dan menaati aturan atau larangan-larangan tentang cara mengelola hutan sedangkan Suku Anak - Dalam yang tinggal diluar hutan sudah tidak lagi mentaati aturan adat. Suku Anak - Dalam yang tinggal diluar hutan dalam membuka lahan untuk berladang tidak lagi mentaati nasehat yang diberikan oleh Temenggung dan Dukun. Masuknya perkebunaan kelapa sawit dilingkungan tempat tinggal mereka membuat pudarnya nilai-nilai kearfan lokal dalam kehidupan mereka.
Kearifan lokal Suku Anak - Dalam yang masih mereka jaga dan berhasil dalam menjaga kelestarian hutan yaitu Hompongan. Hompongan dalam bahasa Suku Anak - Dalam berarti bendungan. Hompongan ini dibuat oleh kelompok Pak Tarib untuk menjaga kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dengan membuat ladang-ladang yang menyambung antara satu dan yang lainnya yang digunakan sebagai pembatas antara ladang masyarakat Melayu dengan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas untuk menghambat proses perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Melayu. Sehingga program Hompongan mendapat penghargaan Kehati Award pada 31 Januari 2000. Selain Hompongan, Suku Anak - Dalam masih menjaga larangan-larangan atau aturan-aturan dalam mengelola hutan yang berupa kawasan
hutan dan pohon-pohon yang tidak boleh ditebang atau dirusak yaitu :
a. Tanah Peranakan
Tanah peranakan adalah kawasan hutan yang dianggap oleh Suku Anak - Dalam tempat yang mudah untuk melahirkan sehingga tempat tersebut disebut tanah peranakan. Untuk menentukan wilayah hutan sebagi tanah perankan biasanya ditentukan oleh dukun. Hanya dukun yang dapat mengetahui wilayah hutan yang dapat dijadikan sebagai tanah peranakan. Sehingga dalam menentukan tanah peranakan tidak sembarangan. Hal inilah yang menyebabkan tanah perankan memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Suku Anak - Dalam sampai saat ini masih menjaga kepercayaan bahwa kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai tanah peranakan tidak boleh ditebang dan diganggu karena mereka percaya bahwa ditempat tersebut banyak dewa. Tanah peranakan tidak memiliki luas yang pasti tetapi tanah peranakan tidak hanya satu tempat tetapi banyak tersebar dikawasan hutan yang masih tersisa di Kecamatan Air Hitam. Apabila tanah peranakan dirusak atau ditebang oleh orang luar maupun oleh Suku Anak - Dalam maka mereka terkena hukum adat, yaitu hukuman mati. Tujuan dari larangan untuk menebang atau merusak kawasan tanah peranakan adalah untuk melindungi kawasan tanah peranakan dari perambahan hutan dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Karena kepercayaan mereka apabila akan melahirkan diluar kawasan tanah peranakan akan sulit bayi untuk lahir, sehingga setiap Suku Anak – Dalam yang akan melahirkan harus didalam kawasan tanah peranakan untuk memudahkan proses kelahiran bayi. Karena itu perlunya adanya aturan tidak boleh merusak atau menebang kawasan tanah pernakan.
Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. b. Tanah Bedewa – bedewa
Tanah bedewa – bedewa adalah kawasan hutan yang ada dewanya. Biasanya dijadikan tempat Suku Anak - Dalam untuk memuja dewa. Tanah bedewa – bedewa banyak tersebar di kawasan hutan Kecamatan Air Hitam terutama dikawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Suku Anak - Dalam masih menyakini dan mentaati bahwa kawasan hutan yang ada dewanya atau tanah bedewa – bedewa tidak boleh dirusak atau ditebang. Apabila tanah bedewa – dewa dirusak oleh orang luar atau Suku Anak - Dalam akan dikenakan hukum adat yaitu hukuman mati. Tujuan dari larangan merusak tanah bedewa-dewa adalah untuk melindungi tanah bedewa-bedewa dari pembalakan kawasan hutan. Kepercayaan mereka apabila tanah bedewa – bedewa dirusak maka dewa akan marah, dan dewa akan membuat anak – anak sakit dan bisa sampai meninggal. Tanah bedewa-dewa merupakan tempat peribadatan mereka sihingga kawasan tanah bedewa-dewa tidak boleh dirusak. Karena itu Suku Anak - Dalam masih sangat menjaga tanah bedewa – bedewa. Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
c. Bento Benuaran
Bento benuaran adalah kawasan hutan yang banyak ditumbuhi buah – buahan hutan seperti rambutan, durian, duku, bedaro dan sebagainya. Suku Anak - Dalam sampai saat ini masih menjaga bento benuaran dan tidak boleh dirusak, karena buah – buahan merupakan salah satu penghasilan dan makanan Suku Anak - Dalam. Bento benuaran tidak hanya meiliki satu tempat tetapi tersebar menjadi
beberapa kawasan didalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Apabila ada yang merusak akan dikenakan hukuman adat berupa denda beberapa helai kain. Tujuan dari aturan tersebut adalah untuk melindungi kawasan bento benuaran dari pembalakan kasawan hutan. Karena kawasan bento benuaran merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan hasil buahnya dapat dijual untuk penghasilan tambahan, apabila kawasan ini durusak maka Suku Anak – Dalam akan kehilangan sumber makanan dan pneghasilan tambahan mereka. Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. d. Pohon Sialang
Pohon sialang adalah pohon besar yang ada madunya. Kepercayaan Suku Anak - Dalam bahwa pohon yang ada madunya berarti pohon tersebut ada dewanya. Sehingga pohon Sialang tidak boleh ditebang dan dirusak. Apabila pohon sialang dirusak mereka percaya tidak aka ada tawon madu yang hinggap lagi dipohon tersebut sehingga tidak ada madu lagi. Apabila pohon tersebut dicatuk atau dikapak maka akan terkena hukuman adat berupa uang sesuai dengan nilai dari hasil panen madu dari pohon tersebut atau beberapa keeping kain. Pohon sialang masih banyak tersebar dikawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Tujuan dari aturan tersebut adalah untuk melindungi pohon sialang. Karena pohon silang merupakan pohon yang sangat besar, sehingga banyak orang yang menebang pohon sialang untuk diambil kayunya. Pohon sialang memiliki fungsi yang sangat besar bagi Suku Anak – Dalam karena dipohon sialang terdapat madu yang hasilnya dapat dijual untuk penghasilan mereka. sehingga
dikeluarkan aturan tidak boleh menebang pohon sialang. Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
e. Pohon Setubung
Pohon setubung adalah pohon yang untuk menguburkan ari – ari bayi yang baru lahir. Kepercayaan Suku Anak - Dalam pohon setubung dijadikan sebagai rumah untuk roh ari – ari bayi tersebut. Sehingga pohon setubung tidak boleh dirusak apa lagi ditebang. Menurut kepercayaan mereka apabila ada yang menebang atau merusak pohon tersebut maka anak yang ari-arinya dikuburkan dibawah pohon tersebut akan sakit dan bisa terjadi kematian. Karena itu apbila ada yang merusak atau menebang pohon tersebut akan dikenakan hukum adat berupa bayar bangun yaitu denda 500 lembar helai kain. Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. f. Pohon Tenggeris
Pohon tenggeris adalah pohon yang digunakan untuk mengusap ubun- ubun bayi atau sebagai media upacara pemberian nama bayi. Sehingga pohon tersebut tidak boleh ditebang dan dirusak. Apabila merusak dan menebang pohon tenggeris yang telah digunakan untuk mengusap ubun-ubun bayi maka akan dikenakan hukum adat berupa denda beberapa helai kain. Secara tidak langsung aturan tersebut juga berperan dalam melestarikan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
3. Adaptasi Suku Anak - Dalam Terhadap Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Suku Anak - Dalam merupakan masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Hutan bagi Suku Anak - Dalam tidak hanya memiliki fungsi
ekonomi saja tetapi memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Hutan bagi Suku Anak - Dalam sangat berarti karena merupakan tempat hidup, mencari makan dan tempat adat istiadat. Apabila hutan habis maka Suku Anak - Dalam akan musnah. Suku Anak - Dalam memandang hutan sama dengan Orang Dusun itu memandang kota. Orang Dusun gampang untuk mencari makanan dikota tetapi mereka sulit untuk mencari makanan didalam hutan. Jadi kalau Suku Anak - Dalam hidup dikota, mereka susah untuk mencari makan tapi bila didalam hutan gampang untuk mencari makanan seperti umbi-umbian hutan, berburu binatang dan sebagainya. perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan berkurangnya sumber mata pencaharian dan sumber makanan bagi Suku Anak - Dalam. Banyaknya hutan yang ditebang untuk transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit membuat Suku Anak - Dalam menangis dan stress karena hutan telah banyak ditebang sehingga mengakibatkan mata pencaharian mereka seperti sialang, buah-buahan habis ditumbang dan binatang buruan seperti kijang dan kancil semakin punah dan semakin sulitnya mencari ikan. Sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit Anak Suku - Dalam masih gampang untuk mencari makanan dan mencari perlengkapan untuk keperluan adat istiadat.Tetapi setelah adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit semakin berkurangnya sumber makanan dan keperluan adat istiadat. Kegiatan Suku Anak - Dalam di dalam hutan seperti mencari umbi-umbian, berburu, cari isi – isi dalam tanah, berladang menanam ubi, pisang dan sebagainya. Setelah masuknya transmigrasi dan perkebuanan kelapa sawit hasil dari mata pencaharian mereka semakin berkurang, dikarenakan kawasan hutan yang semakin sempit. Dahulu sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mereka sehari dapat ubi sepuluh kilogram perhari tetapi setelah semakin
berkurangnya luas hutan mereka hanya dapat dua kilogram perhari. Sedangkan untuk mencari persyaratan untuk keperluan adat, mereka kesulitan untuk mencari persyaratan tersebut dan mereka harus masuk lagi kedalam hutan, dikarenakan semakin sempitnya luas kawasan hutan sehingga tanaman bunga – bunga sulit didapat. Suku Anak - Dalam berpendapat “ada rimba ada bunga, ada bunga ada dewa”. Jadi apabila tidak ada bunga mereka tidak bisa memanggil dewa, dengan melihat kondisi hutan yang semakin sempit mereka sangat kesulitan mencari tanaman bunga didalam hutan.
Dengan adanya perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, Suku Anak - Dalam merasakan perubahan iklim, seperti jaman dahulu sebelum adanya perkebunan kelapa sawit apabila ada angin kencang, mereka tidak merasakan angin yang kencang karena terhalang oleh pohon, apabila musim kemarau tidak pernah terjadi kekeringan, apabila musim penghujan tidak cepat banjir tetapi setelah adanya perubahan hutan untuk transmigrasi dan perkebuna kelapa sawit apabila musim kemarau sering terjadi kekeringan dan apabila musim penghujan cepat terjadi banjir. Menurut Suku Anak - Dalam apabila dilihat sudut pandang adat istiadat masih enak hutan yang dulu sebelum adanya adanya transmigrasi dan perkebuanan kelapa sawit, mereka sangat sedih melihat kondisi hutan yang semakin sempit. Tetapi apabila dilihat dari sudut pandang perekonomian, Suku Anak - Dalam terbantu setelah adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Dengan masuknya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit, Suku Anak - Dalam mulai menjual hasil hutan kepada orang luar dan hasil penjualan biasanya mereka belanjakan makanan di warung, sebelumnya adanya transmigrasi dan perkebuanan kelapa sawit, Suku Anak - Dalam tidak bisa menjual hasil hutan, biasanya mereka konsumsi sendiri atau
ditukar dengan barang lain. Dengan adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit berdampak positif untuk apabila dilihat dari sudut pandang perekonomian dan berdampak negatif apabila dilihat dari sudut pandang adat istiadat.
Apabila dilihat dari latar belakang budaya, Suku Anak - Dalam merupakan salah satu masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya terhadap hutan. Untuk bertahan hidup di dalam hutan, Suku Anak - Dalam telah beradaptasi dengan lingkungan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan banyaknya hutan yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, maka terjadi perubahan lingkungan tempat tinggal Suku Anak - Dalam dari hutan menjadi perkebuanan kelapa sawit. Dengan adanya perubahan lingkungan tempat tinggal, Suku Anak - Dalam mau tidak mau harus beradaptasi kembali terhadap lingkungan barunya yaitu di perkebuanan kelapa sawit. Adapaun adaptasi yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam dilingkungan perkebunan kelapa sawit yaitu dengan merubah pola hidup mereka untuk mempertahankan kehidupan mereka. Adapun adaptasi yang dilakukan Suku Anak - Dalam akibat berubahnya lingkungan tempat tinggal mereka dari hutan menjadi perkebuanan kelapa sawit yaitu :
a. Mengkonsumsi makanan dari luar hutan
Sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit, Suku Anak - Dalam masih gampang untuk mencari lauk pauk dan bahan makanan lainnya dari hutan seperti ikan, umbi-umbian, hasil binatang buruan dan buah-buahan yang merupakan hasil hutan yang bisa diolah oleh mereka. Setelah adanya perkebunan kelapa sawit menyebabkan luas hutan semakin sempit dan semakin susah Suku Anak - Dalam untuk mencari lauk pauk. Hal inilah yang menyababkan mereka mulai membeli lauk pauk dipasar dan
mulai mengkonsumsi makanan kemasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya Suku Anak–Dalam membeli makanan dipasar-pasar tradisional dan warung-warung yang ada didesa, misalkan kelompok Suku Anak – Dalam Air Hitam biasanya berbelanja dipasar SPI dan Pasar Pakuaji. Pasar di SPI dan Pakuaji menyediakan banyak ragam kebutuhan Suku Anak-Dalam. Biasanya mereka berbelanja dengan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh lima menit. Suku Anak-Dalam kini mengkonsumsi makanan dalam kemasan, misalkan mie instan, roti, makanan ringan, sarden dan bumbu masak dalam kemasan. Sebenarnya dalam adat Suku Anak - Dalam tidak boleh mengkonsumsi makanan yang terbuat dari telor, karena telor diharamkan dalam adat mereka. Dalam adat Suku Anak-Dalam binatang yang dipelihara, haram untuk dimakan.karena menurut kepercayaan mereka binatang yang dipelihara banyak mengandung penyakit. Tetapi kini secara tidak sadar mereka mulai meninggalkan kepercayaan tersebut dan mulai mengkonsusmsi makanan yang terbuat dari bahan telor dan makanan kemasan lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kondisi hutan yang semakin sedikit sumberdayanya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan Suku Anak - Dalam. Selain karena tidak cukupnya sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka, penggunaan uang dalam kehidupan mereka juga merupakan faktor penyebab mereka mengkonsumsi makanan dari luar.
b. Penggunaan teknologi baru dalam kehidupan Suku Anak - Dalam
Strategi adaptasi yang dilakukan Suku Anak - Dalam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ditengah-tengah menurunnya sumberdaya hutan yang
semakin sedikit dalam memenuhi kehidupan Suku Anak - Dalam yaitu dengan menggunakan teknologi baru dalam kehidupan Suku Anak - Dalam. Penggunaan peralatan tradisional yang digunakan dalam mata pencaharian kini mulai ditinggalkan dan digantikan dengan peralatan modern. Dalam berburu Suku Anak - Dalam menggunakan senapan api rakitan untuk menggantikan fungsi dari tombak. Saat berburu pada malam hari mereka tidak lagi menggunakan obor sebagai alat penerangnya, kini mereka menggunakan senter sebagai alat penerang dalam berburu pada malam hari. Penggunaan senjata api rakitan dan senter sebagai alat berburu untuk memudahkan mereka mendapatkan binatang buruan yang semakin sedikit. Tidak hanya dalam aktivitas berburu dalam berladang pun mereka kini sudah menggunakan alat modern. Dahulu Suku Anak - Dalam, dalam membuka lahan hutan untuk dijadikan ladang mereka hanya menggunakan beliung untuk menebang pohon. Kini fungsi beliung telah digantikan dengan chinsaw. Penggunaan chinsaw untuk mempermudah dan mempercepat proses penebangan pohon untuk dijadikan ladang. Dahulu waktu menggunakan beliung proses pembukaan lahan untuk dijadikan ladang bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan tetapi dengan menggunakan chinsaw dapat dilakukan dalam hitungan minggu. Yang paling menarik lagi dalam penggunaan teknologi modern dalam kehidupan Suku Anak - Dalam adalah penggunaan sepeda motor. Sepeda motor ini digunakan untuk mempermudah mobilitas mereka dalam beraktivitas berburu. Karena semakin jarangnya binatang buruan dan semakin sempitnya luas hutan maka mengharuskan mereka pergi jauh dalam mencari binatang
buruan, karena itu Suku Anak - Dalam menggunakan sepeda motor untuk mempermudah mobilitas mereka. Penggunaan sepeda motor tidak hanya untuk membantu aktivitas berburu tetapi digunakan juga untuk melangsir kelapa sawit ketph. Peralatan- peralatan tersebut mereka dapatkan dari pasar SPC dengan jarak dua puluh kilometer, pasar Mentawak Baru dengan jarak tujuh kilometer, pasar SPI dan pasar pakuaji yang masih dalam kawasan Kecamatan Air Hitam (Terlampir).
c. Berubahnya mata pencaharian
Sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mata pencaharian Suku Anak - Dalam berburu , meramu dan mengumpulkan hasil hutan berupa rotan dan sebagainya yang bisa dimanfaatkan oleh mereka dan hasilnya mereka pergunakan sendiri tanpa dikomersilkan. Sedangkan setelah adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit hasil buruan dan rotan sudah mereka jual kepengepul. Dengan adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mata pencaharian mereka mulai berubah dengan seiringnya luas hutan yang semakin sempit. Dengan masuknya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit, Suku Anak - Dalam mulai menanam kelapa sawit dan karet. Dengan menanam kelapa sawit dan karet mereka menjadi peladang tetap. Kini mereka tidak lagi perpindah-pindah dalam sistem berladang. Hal ini dilakukan karena semakin sempit luas hutan jelajah mereka dan mereka menjadi memilih berkebun sawit dan karet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena sumberdaya hutan yang tidak cukup lagi memnuhi kebutuhan hidup mereka.
d. Pola pembukaan lahan
Semakin menipisnya luas hutan di Kecamatan Air Hitam yang
menyebabkan semakin sulitnya Suku Anak - Dalam untuk mencari sumber makanan didalam hutan. Dengan alasan tersebut lah Suku Anak - Dalam mulai membuka lahan berhektar-hektar untuk ditanami kelapa sawit dan karet untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dahulu sebelum adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit Suku Anak - Dalam membuka lahan untuk berladang hanya sekitar sepuluh meter tetapi setelah adanya transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit mereka mulai membuka hutan berhektar hektar untuk ditanami karet dan kelapa sawit. Dengan adanya perkebunan kelapa sawit membuat nilai lahan menjadi tinggi, sehingga banyak Suku Anak - Dalam yang membuka lahan hutan dan dijual kepada orang luar. Tanpa disadari dengan adanya perkebunan kelapa sawit yang membuat nilai lahan tinggi telah mempengaruhi Suku Anak - Dalam untuk membuka lahan hutan dan menambah laju konversi hutan. Penggunaan teknologi baru dalam sistem berladang juga sangat mempengaruhi dalam pola pembukaan lahan yang dilakukan Suku Anak - Dalam. Seperti yang telah disebutkan, dahulu Suku Anak - Dalam hanya menggunakan beliung untuk membuka lahan dan lahan yang dibuka pun tidak terlalu luas tetapi setelah menggunakan alat chinsaw mereka dapat membuka lahan sampai berhektar-hektar luasnya.Tidak hanya itu saja, penggunaan uang dan sifat konsumtif yang menyebabkan mereka ingin cepat dan menghasilkan uang banyak inilah yang menyebabkan maraknya pembukaan lahan hutan. Lahan yang sudah dibuka tidak diolah sendiri oleh mereka tetapi mereka jual kepada orang luar untuk mendapatkan uang banyak untuk membeli kebutuhan sehari-hari (Terlampir).
4. Implementasi Pembelajaran Geografi di SMA Dalam Menyerap Nilai-nilai Kearifan Lokal
Sudah selayaknya dalam dunia pendidikan mencoba menggali kembali nilai-nilai budaya lokal, agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman untuk diwariskan generasi masa depan. Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin mengglobal, sekolah tidak hanya melaksanakan transformasi budaya kepada generasi muda namun juga membantu dalam menentukan cara hidup, nilai-nilai serta kemampuan dan keterampilan yang harus ditempuh dan diperoleh anak didiknya. Dengan kata lain sekolah membantu anak didik dalam menentukan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berfungsi sebagai wahana sosialisasi, membantu anak-anak dalam mempelajari cara-cara hidup ditempat mereka dilahirkan. Sekolah berfungsi mentransmisi dan mentransformasi kebudayaan, mengajarkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda. Sekolah berfungsi mentransformasi budaya, artinya untuk mengubah bentuk kebudayaan agar tetap sesuai dengan masyarakat yang semakin maju dan komplek dengan tidak meninggalkan kultur kebudayaan kita. Sekolah berfungsi menempa ketrampilan sosial siswa. Karena itu nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh generasi tua ke generasi muda tidak boleh ditinggalkan, maka sekolah mempunyai peranan besar dalam menjaga eksistensi nilai-nilai luhur tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan itu ditentukan oleh kebudayaan masyarakat dimana proses pendidikan itu berlangsung. Kearifan lokal diperlukan untuk terciptanya ketertiban, kedamaian, keadilan, mencegah konflik, kesopanan, kesejahteraan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, pengembangan sistem nilai, pengembangan kelembagaan, dan perubahan tingkah laku. Pembelajaran berbasis ketrampilan sosial dengan mengaktualisasikan nilai – nilai kearifan lokal diharapkan dapat menumbuhkan semangat dan motivasi belajar.
Salah satu pembelajaran geografi yang harus diberikan di sekolah adalah materi mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara arif. Materi ini disampaikan kapada siswa kelas sebelas semester satu, Standar Kompetensi “Memahami Sumber Daya Alam”, Kompetensi Dasar “Menjelaskan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Arif”. Untuk bisa menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan bisa menyerap nilai-nilai kearifan lokal, maka pada materi ini harus memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajarnya. Suku Anak - Dalam merupakan salah satu masyarakat yang sangat menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam yang ada di hutan. Kebudayaan mereka dalam mengelola hutan dapat dijadikan materi pembelajaran dalam pokok bahasan pemanfaatan sumber daya alam secara arif, karena Suku Anak - Dalam memiki aturan-aturan yang ditaati apabila akan memanfaatkan sumber daya alam yang ada dihutan dan tidak sembarangan dalam memanfaatkan hutan sehingga jarang terjadi kerusakan, yang kemudian aturan-aturan tersebut menjadi nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan materi pembelajaran Geografi di SMA. Suku Anak - Dalam memiliki aturan-aturan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada dihutan. Misalkan apabila mereka mau membuka lahan untuk dibuat ladang mereka harus meminta ijin terlabih dahulu kepada Temenggung mereka, kemudian Temenggung meminta ijin kepada Dukun apakah lahan tersebut bisa dijadikan ladang atau tidak. Dalam membuka lahan hutan, lahan hutan yang mereka tebang untuk di jadikan ladang tidak begitu luas rata-rata
mereka hanya membuka lahan sepuluh meter persegi saja, setelah lahan dibuka kemudian ditanami ubi dan dibiarkan sampai dengan waktu yang lama sehingga lahan yang dibuka tutupan lahannya menjadi rapat kembali. Kemudian didalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dihutan, seperti kayu. Mereka tidak bisa menebang wilayah hutan dan kayu yang ada dihutan sembarangan. Karena mereka memiliki larangan-larangan didalam hutan. Misalkan seperti tanah peranakan dan tanah bedewa-dewa merupakan wilayah hutan yang tidak boleh ditebang apalagi dirusak. Karena mereka menganggap wilayah tersebut sakral dan memiliki fungsi yang sangat tinggi bagi Suku Anak - Dalam sehingga tidak boleh dirusak. Kemudian ada pohon sialang, setubung, dan pohon tenggeris yang tidak boleh ditebang didalam hutan. Karena pohon tersebut memiliki fungsi yang sangat tinggi bagi Suku Anak - Dalam. Misalkan pohon sialang, memiliki fungsi sebagai lebah membuat madu dan mereka menganggap pohon ini berdewa sehingga siapapun tidak boleh merusak pohon tersebut apalagi merusak. Apabila dirusak atau ditebang akan dikenakan sangsi adat.
Aturan-aturan tersebut secara tidak langsung memiliki nilai yang sangat tinggi didalam menjaga kelestarian hutan. Misalkan larangan tidak bolehnya menebang pohon sialang. Dikarenakan pohon sialang ini merupakan pohon yang sangat besar dan memiliki umur sampai ratusan tahun dan sekarang ini sangat jarang dijumpai. Secara tidak langsung larangan tersebut juga memiliki makna untuk menjaga kelestarian pohon sialang yang semakin langka, walaupun Suku Anak - Dalam memanfaatkan pohon ini. Ini merupakan contoh kearifan lokal Suku Anak - Dalam, dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada dihutan secara arif dan tidak merusak wilayah hutan. Kearifan lokal Suku Anak – Dalam,
dalam mengelola hutan dapat dijadikan materi pembelajaran Geografi di SMA untuk pokok bahasan pemanfaatan sumber daya alam secara arif pada kelas sebelas semester satu, Standar Kompetensi “Memahami Sumber Daya Alam”, Kompetensi Dasar “Menjelaskan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Arif”.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, terjadi perubahan pada sistem penguasaan hutan yang dilakukan Suku Anak – Dalam di Kecamatan Air Hitam. Jaman dahulu penguasaan hutan dan pemanfaatan hutan datur oleh Temenggung dan Dukun. Wilayah hutan yang mereka tempati dianggap merupakan tanah mereka. Suku Anak - Dalam tidak mengenal tentang kepemilikan lahan, sehingga semua wilayah hutan yang menjadi tempat jelajah, mereka menganggap itu merupakan wilayah hutan milik mereka. Karena Suku Anak - Dalam yang sudah mulai mengenal perkebunan kelapa sawit dan karet, semakin banyak Suku Anak - Dalam yang menebang hutan secara besar-besaran untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet yang menyebabkan semakin menyempitnya luas hutan di Kecamatan Air Hitam. Sehingga hal ini merubah sistem penguasaan hutan yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam. Pemerintah dan Suku Anak - Dalam bekerjasama membentuk sebuah hutan adat. Kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah hutan adat tidak boleh ditebang untuk dijadikan ladang oleh Suku Anak - Dalam. Sementara Suku Anak -Dalam yang hidup didalam kawasan hutan adat, boleh menebang hutan tetapi harus mengikuti aturan adat. Aturan tersebut adalah tidak boleh menebang hutan untuk dijadikan perkebuanan sawit dan karet, hanya untuk menanam ubi dan tanaman buah-buahan agar tutupan lahannya bisa rapat kembali, luas lahan hutan yang ditebang untuk dijadikan lahan pun terbatas, misalkan
50 m untuk beberapa orang. Kearifan lokal Suku Anak - Dalam yang masih mereka jaga dan berhasil dalam menjaga kelestarian hutan yaitu Hompongan. Hompongan dalam bahasa Suku Anak - Dalam berarti bendungan. Hompongan ini dibuat oleh kelompok Pak Tarib untuk menjaga kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dengan membuat ladang-ladang yang menyambung antara satu dan yang lainnya yang digunakan sebagai pembatas antara ladang masyarakat Melayu dengan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas untuk menghambat proses perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Melayu. Selain Hompongan, Suku Anak - Dalam masih menjaga larangan-larangan atau aturan-aturan dalam mengelola hutan yang berupa kawasan hutan dan pohon-pohon yang tidak boleh ditebang atau dirusak yaitu Tanah Peranakan, Tanah Bedewa – bedewa, Bento Benuaran, Pohon Sialang, Pohon Setubung, dan Pohon Tenggeris. Dengan banyaknya hutan yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, maka terjadi perubahan lingkungan tempat tinggal Suku Anak - Dalam dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan adanya perubahan lingkungan tempat tinggal, Suku Anak - Dalam mau tidak mau harus beradaptasi kembali terhadap lingkungan barunya yaitu di perkebunan kelapa sawit. Adapaun adaptasi yang dilakukan oleh Suku Anak - Dalam dilingkungan perkebunan kelapa sawit yaitu
dengan merubah pola hidup mereka untuk mempertahankan kehidupan mereka. Adapun adaptasi yang dilakukan Suku Anak - Dalam akibat berubahnya lingkungan tempat tinggal mereka dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yaitu mengkonsumsi makanan dari luar hutan, penggunaan teknologi baru dalam kehidupan Suku Anak – Dalam, berubahnya mata pencaharian, dan pola pembukaan lahan. Kearifan lokal Suku Anak – Dalam, dalam mengelola hutan merupakan lingkungan sosial yang dapat dijadikan sumber belajar dan materi pembelajaran Geografi di SMA untuk pokok bahasan pemanfaatan sumber daya alam secara arif pada kelas sebelas semester satu, Standar Kompetensi “Memahami Sumber Daya Alam”, Kompetensi Dasar “Menjelaskan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Arif”.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetijo, A. (2011). Serah Jajah Dan
Perlawanan Etnografi Orang Rimba di Jambi. Jakarta. Wedatama Widya
Sasatra
Badan Pusat Statistik (2010). Profil Suku
Anak Dalam Hasil Sensus Penduduk 2010. Provinsi Jambi