• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI KELEMBABAN TANAH DENGAN PEMANFAATAN GELOMBANG MIKRO SENSOR PALSAR SATELIT ALOS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI KELEMBABAN TANAH DENGAN PEMANFAATAN GELOMBANG MIKRO SENSOR PALSAR SATELIT ALOS"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI KELEMBABAN TANAH DENGAN

PEMANFAATAN GELOMBANG MIKRO SENSOR PALSAR

SATELIT ALOS

(Studi Kasus Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya )

Ahmad Efi Ramdani

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

IDENTIFIKASI KELEMBABAN TANAH DENGAN

PEMANFAATAN GELOMBANG MIKRO SENSOR PALSAR

SATELIT ALOS

(Studi Kasus Daerah Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya)

Ahmad Efi Ramdani

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRACT

Ahmad Efi Ramdani. Identification of soil moisture by using Microwave ALOS Palsar satellite (Case Study of Bekasi District and it’s surrounding). Supervised by IDUNG RISDIYANTO and

INDAH PRASASTI

Soil moisture one of important factor in determining the level of dryness of the land. Therefore, monitoring the characteristics of spatial and temporal distribution of soil moisture is essential. Effective method for monitoring soil moisture on a large scale is by remote sensing. This research using the image of the PALSAR ALOS satellite which is a type of SAR (Synthetic Aperture Radar) that is sensitive to soil moisture content. Detection of soil moisture content was obtained based on the dielectric constant values that derived from values of backscatter of radar image. The purpose of this research is to study the characteristics and identify the soil moisture levels in some areas land cover Bekasi District and it’s surrounding using PALSAR ALOS satellite imagery. There are two empirical models used in soil moisture model prediction, they are the Dubois and top models. Both methods are suitable for open areas with a relatively flat surface. Dubois used to predict the value of dielectric constant and surface roughness, on the other hand the Top models used to predict soil moisture based on the value of the dielectric constant. This research tried to study the six types of land cover of water bodies, paddy fields, fallow paddy fields, open land, the land building, and land vegetation.

The results showed that the highest dielectric constant values are found in water bodies with an average value of 7.9 and the lowest is in the fallow paddy field with an average value of 5.2. The highest soil moisture values are found in the land of vegetation with an average value of 25% and the lowest is in the fallow paddy field with a value of 20%.

Keywords : Soil Moisture, Palsar ALOS, Synthetic Aperture Radar (SAR), Dubois Model (1995)

(4)

ABSTRAK

AHMAD EFI RAMDANI. Identifikasi Kelembaban tanah dengan Pemanfaatan Gelombang Mikro Satelit Palsar ALOS (Studi Kasus Daerah Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya). Dibawah

bimbingan IDUNG RISDIYANTO dan INDAH PRASASTI

Kelembaban tanah merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat kekeringan suatu lahan. Oleh karena itu, pemantauan karakteristik distribusi spasial dan temporal dari kelembaban tanah sangatlah penting. Metode yang efektif untuk pemantauan kelembaban tanah dalam skala besar adalah dengan metode penginderaan jauh. Pada penelitian ini digunakan citra PALSAR ALOS yang merupakan jenis satelit SAR (Synthetic Aperture Radar) yang sensitif terhadap kadar air tanah. Deteksi kadar air tanah ini dapat diperoleh berdasarkan nilai konstanta dielektrik yang dapat diturunkan dari nilai hamburan balik (backscatter) citra radar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan mengidentifikasi tingkat kelembaban tanah pada beberapa penutupan lahan daerah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya menggunakan citra satelit PALSAR ALOS.

Ada dua model empiris yang digunakan dalam pendugaan kelembaban tanah yaitu model Dubois dan model Top. Kedua metode ini sangat cocok untuk daerah terbuka dengan permukaan relatif datar. Model Dubois digunakan untuk menduga nilai konstanta dielektrik dan kekasaran permukaan, dan model Top untuk menduga kelembaban tanah berdasarkan nilai konstanta dielektrik. Pada penelitian ini mencoba mengkaji enam jenis tutupan lahan yaitu badan air, sawah, sawah bera, lahan terbuka, lahan terbangun, dan lahan vegetasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai konstanta dielektrik tertinggi terdapat pada badan air dengan nilai rata-rata 7.9 dan terendah terdapat pada lahan sawah bera dengan nilai rata-rata 5.2. Nilai kelembaban tanah tertinggi terdapat pada lahan vegetasi dengan nilai rata-rata 25% dan terendah terdapat pada lahan sawah bera dengan nilai 20%.

Kata kunci : Kelembaban tanah, Palsar ALOS, Synthetic Aperture Radar (SAR), Model Dubois (1995)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjat ke hadirat Allah SWT karena atas segala nikmat dan karunia-Nya lah Penelitian ini dapat berjalan dan selesai dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rosulallah SAW yang telah memberikan inspirasi dan bimbingan kepada penulis untuk tetap semangat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Identifikasi

Kelembaban Tanah dengan Pemanfaatan Gelombang Mikro Sensor PALSAR Satelit ALOS (Studi Kasus Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya)” yang bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB serta di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Jakarta bagian Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.

Penulis ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang telah membantu selama penyelesaian skripsi ini, antara lain :

1. Kedua orang tua, kedua kakak, dan adik atas segala doa, perhatian, dan semangatnya selama ini.

2. Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc.I.T dan Ir. Indah Prasasti , M. Si sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak masukan, arahan, nasehat, serta semangat selama penyelesaian penelitian ini.

3. Ir. Ita Carolita, M.Si selaku pembimbing LAPAN yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, serta arahan dalam penyelesaian penelitian ini.

4. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis menyelesaikan studi.

5. Dosen dan staf pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

6. Seluruh staf/pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi (Mas Aziz, Mbak Wanti, Pak Pono, Pak Udin, Mbak Icha, Pak Badrudin, Pak Khoirun, Bu Inda, Pak Jun) atas bantuannya selama ini.

7. Intan Kasih Ananda atas segala ketulusan, perhatian, dan semangatnya.

8. Yohanes Ariyanto, Singgih Bayu dan Hengky Hariadi yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

9. Teman – teman GFM angkatan 42 (Indah, Dewy, Anis, Lisa, Devita, Hertati, Ningrum, Veza, Tanjung, Rifa, Cici, Nancy, Wita, Ivan, Dori, Gito, Victor, Anton, Indra, Franz, Apit, Budi, Ghulam, Hardie, Hengky, Nizar, Zahir, Galih, Heri, Wahyu, Aan, Obet, Tumpal, Irvan, Singgih) atas rasa berbagi, persahabatan, kebrsamaan yang telah terjalin selama ini. “You are my best friends”.

10. Kakak dan adik kelas atas persahabatan dan kebersamaannya.

11. Teman-teman VB (Ahad, Fuadi, Johan, Goni, Darda, Bima, dan Firman) atas segala kebersamaan, persahabatan, dan semangatnya.

12. Sahabat-Sahabat ku (Wahyu, Yubi, dan Umam) atas segala kebersamaan, rasa memiliki, dan semangatnya.

13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada semua pihak tersebut.

Akhir kata, Penulis hanya dapat menyampaikan bahwa jika tidak ada pribadi-pribadi diatas mungkin penelitian ini tidak dapat selesai dengan baik. Penulis berharap semoga tulisan dalam tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya, walaupun penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna.

Bogor, Februari 2010

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Identifikasi Kelembaban Tanah dengan Pemanfaatan Gelombang

Mikro Sensor PALSAR Satelit ALOS (Studi Kasus Kabupaten

Bekasi dan Sekitarnya)

Nama : Ahmad Efi Ramdani

NRP

: G24051326

Menyetujui,

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc.I.T Ir. Indah Prasasti, M.Si

NIP. 19730823 199802 1 002

NIP. 19630305 199003 2 005

Mengetahui,

Kepala

Departemen Geofisika dan Meteorologi

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 19 Mei 1987 dar ipasangan Bapak Sukanda dan Ibu Ibay. Penulis memulai pendidikan formalnya di SDN 02 Petang Poltangan Jakarta Selatan pada tahun 1993-1999. Tahun 1999-2002, penulis melanjutkan studi ke SLTPN 239 Jagakarsa Jakarta Selatan dan tahun 2002-2005 ke SMU Negeri 109 Srengseng Sawah Jakarta Selatan, penulis lulus seleksi masuk IPB sebagai mahasiswa Mayor-Minor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan setahun kemudian diterima pada program mayor Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi dan minor Statistika Industri Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa perkuliahan di IPB, penulis aktif dalam organisasi Himagreto masa jabatan periode 2007-2008. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum meteorologi satelit untuk program sarjana tahun 2009 dan asisten praktikum Klimatologi Satelit untuk program pasca sarjana tahun 2009.

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN ………... xi

I.PENDAHULUAN ……… 1

I.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Tujuan Penelitian ………. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 1

2.1 Kelembaban Tanah ………... 1

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelembaban Tanah ………... 2

2.2.1 Neraca Air ………... 2

2.2.2 Suhu Permukaan Tanah ………... 2

2.2.3 Kapasitas Panas ………... 2

2.2.4 Radiasi ………... 3

2.2.5 Pengaruh Jenis Tanah Terhadap kelembaban tanah ……… 3

2.3 Pendugaan nilai Evapotranspirasi ……….... 4

2.3.1 Panci Klas A ………... 4

2.3.2 Pendugaan Evapotranspirasi dengan Rumus-Rumus Empirik ……….... 4

2.3.2.1 Model Penman (1948) ………. 4

2.3.2.2 Model Penman-Monteith (1964) ………. 5

2.3.2.3 Model Makkink (1957) dan Priestly Taylor (1972) ………... 5

2.3.3 Evapotranspirasi Tanaman ………... 5

2.4 Estimasi Kelembaban Tanah ………... 5

2.4.1 Perhitungan Kelembaban Tanah di Lapangan (Metode Gravimetrik) …………... 5

2.4.2 Estimasi Kelembaban Tanah dengan Sistem Satelit SAR ………. 6

2.4.2.1 Model-Model Empiris ………... 6

2.4.2.1.1 Model Oh ... 6

2.4.2.1.2 Model Dubois ………. 7

2.5 Sifat Konstanta Dielektrik Kompleks ……… 7

2.6 Hubungan Konstanta Dielektrik dengan Kelembaban Tanah ………. 8

2.7 Satelit ALOS ………... 8

2.8 Sensor AVNIR-2 dan Karakteristik Datanya ………... 9

2.9 Sensor PALSAR dan Karakteristik Datanya ………... 10

III. METODOLOGI ……… 11

3.1 Waktu dan Tempat ………... 11

3.2 Bahan dan Alat ……… 11

3.3 Metode Penelitian ……… 11

3.3.1 Pengolahan Awal Data Citra PALSAR ALOS ………... 11

3.3.2 Koreksi Geometrik ……….. 12

3.3.3 Delineasi Batas-Batas Wilayah Berdasarkan Masing-Masing Tutupan Lahan ….. 12

3.3.4 Estimasi Konstanta Dielektrik Berdasarkan Model Dubois ………. 12

(9)

viii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 14

4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya ………... 14

4.2 Pengolahan Awal Data Citra PALSAR ALOS ……….. 14

4.3 Pendugaan Koefisien Hamburan Balik (σo) ……….. 15

4.4 Estimasi Konstanta Dielektrik Menggunakan Model Dubois ………... 15

4.5 Estimasi tingkat kelembaban tanah berdasarkan persamaan polinomial Top …………... 17

4.6 Hubungan Konstanta Dielektrik dengan Kelembaban Tanah ………... 18

4.7 Pengaruh Kekasaran Permukaan Terhadap Kelembaban Tanah ………... 18

V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 19

5.1 Kesimpulan ……….. 19

5.2 Saran ……… 19

DAFTAR PUSTAKA ………. 19

(10)

x DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Satelit ALOS ……… 8 2. Sensor AVNIR-2 ………. 9 3. Sensor PALSAR ……….. 10

4. Diagram alir penelitian ……… 13

5. Keadaan geografis daerah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya ……… 14

6. Distribusi konstanta dielektrik (ε’) satelit PALSAR ALOS Kabupaten Bekasi dan sekitarnya tanggal 11 April 2007 pukul 15 : 34 :59 ……… 16

7. Distribusi kelembaban tanah (mv) satelit PALSAR ALOS Kabupaten Bekasi dan sekitarnya tanggal 11 April 2007 pukul 15 : 34 :59 ……… 17

8. Hubungan dielektrik konstanta dengan kadar air tanah ………... 18

9. Pengaruh kekasaran permukaan terhadap sudut pantul ……… 18

10. Pengaruh sudut pantul terhadap konstanta dielektrik ……… 18

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbedaan panas pada objek yang berbeda ………... 3

2. kisaran-kisaran porositas beberapa batuan ………... 4

3. Harga perkiraan koefisien permeabilitas bahan-bahan granular penyusun lapisan tanah ………... 4 4. Spesifikasi beberapa satelit SAR ……….. 6

5. Karakteristik teknis sensor dan data citra AVNIR-2 ……… 10

6. Karakteristik teknis sensor dan data citra PALSAR ………. 11

7. Mode Observasi Default PALSAR ………... 11

8. Kisaran nilai koefisien hamburan balik (σohh) ……….. 15

9. Kisaran nilai koefisien hamburan balik (σovv) ……….. 15

10. Kisaran nilai konstanta dielektrik ………. 16

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Citra PauliRGB satelit PALSAR ALOS sebelum dilakukan

Koreksi geometrik……… 23 2. Citra PauliRGB satelit PALSAR ALOS setalah dilakukan

koreksi geometrik………. 23 3. Peta PauliRGB Kabupaten Bekasi dan sekitarnya yang sudah

terkoreksi geometrik……… 24

4. Citra hamburan HH satelit PALSAR ALOS setelah dilakukan

koreksi geometrik………. 24

5. Citra hamburan VV satelit PALSAR ALOS setelah dilakukan

koreksi geometrik………. 24 6. Distribusi hamburan balik σ°hh satelit PALSAR ALOS setelah dilakukan

koreksi geometrik………. 25 7. Distribusi hamburan balik σ°vv satelit PALSAR ALOS setelah dilakukan

koreksi Geometrik……… 25 8. Distribusi kekasaran permukaan (ks) satelit PALSAR ALOS setelah

dilakukan koreksi geometrik……… 26 9. Peta tutupan Lahan Satelit AVNIR-2 ALOS Tanggal

(13)

1

I.PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Kelembaban tanah pada suatu lahan sangat dipengaruhi oleh besarnya tingkat kadar air di dalam tanah. Kadar air tanah adalah banyaknya kandungan air yang tertahan di dalam tanah. Kelembaban tanah merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan tingkat kekeringan dari suatu lahan. Semakin tinggi tingkat kelembaban tanah pada suatu lahan maka akan semakin kecil peluang terjadinya kekeringan pada lahan tersebut. Pemantauan karakteristik distribusi spasial dan temporal dari kelembaban tanah sangatlah

penting. Hal ini karena secara fakta

kelembaban tanah dapat mengendalikan

pertumbuhan tanaman, daur hidrologi tanah, dan kemampuan tanah dalam menahan erosi (Sanli et al., 2008).

Kelembaban tanah dapat diidentifikasi dengan beberapa metode, antara lain: metode Gravimetrik, metode microwave radiometer, dan metode wind scatterometer. Dewasa ini dengan semakin berkembangnya teknologi penginderaan jauh, identifikasi kelembaban tanah dapat pula dilakukan melalui teknik pengideraan jauh (inderaja). Kelebihan dalam penggunaan teknik inderaja ini adalah dapat mencakup wilayah identifikasi yang lebih luas dan sebaran kelembaban tanahnya dapat mencerminkan karakteristik permukaan yang ada.

Penggunaan citra satelit jenis SAR (Synthetic Aperture Radar) yang memiliki gelombang mikro (microwave) sangat efektif

dalam menentukan tingkat karakteristik

permukaan karena terbebas dari pengaruh tutupan awan. SAR merupakan jenis inderaja gelombang mikro yang sensitif terhadap kadar air tanah karena memiliki nilai konstanta dielektrik yang sangat berhubungan dengan nilai kandungan air (Sonobe et al., 2008). Konstanta dielektrik untuk air paling sedikit sepuluh kali besarnya dibandingkan dengan konstanta dielektrik tanah kering, oleh karena itu adanya air pada beberapa sentimeter di lapisan atas tanah dapat dideteksi dengan citra SAR (Lillesand and Kiefer, 2000). Besarnya perbedaan antara konstanta dielektrik air

dengan tanah kering pada frekuensi

gelombang mikro merupakan faktor utama dalam pendugaan kelembaban tanah (Wang, 1980). Kesulitan utama dalam memperoleh informasi kelembaban tanah menggunakan citra SAR dikarenakan adanya pengaruh

kekasaran permukaan dan penutupan

vegetasi.

Jenis-jenis citra SAR yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi

kelembaban tanah, antara lain adalah ERS Envisat, Radarsat, ERS SAR, PALSAR ALOS. Pada penelitian ini, penentuan atau

pendugaan kelembaban tanah dilakukan

dengan menggunakan citra PALSAR ALOS. Sensor PALSAR bekerja pada gelombang L-band (23.6 cm) dengan frequensi 1.27 GHz serta memiliki multipolarisasi. Sensor L-band sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan sehingga hasil kelembaban tanah memiliki nilai yang tidak pasti. Menurut Dubois (1995), ratio koefisien hamburan balik σ°hh /σ°vv

meningkat dengan meningkatnya kekasaran permukaan dan meningkatnya kelembaban tanah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik dan mengidentifikasi tingkat kelembaban tanah pada beberapa penutupan lahan daerah Kabupaten Bekasi dan sekitarnya menggunakan citra satelit PALSAR ALOS.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembaban Tanah

Kelembaban tanah dipengaruhi oleh

besarnya kandungan air dalam tanah.

Kelembaban tanah merupakan salah satu parameter yang digunakan sebagai indikasi tingkat kekeringan. Menurut Asdak (1995)

kelembaban tanah umumnya terbentuk

melalui tiga proses :

a. Kelembaban higroskopis adalah

kelembaban yang terjadi karena air terikat pada lapisan tipis butir-buitr tanah. Air terikat ini tidak dapat bergerak dan oleh karenanya tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

b. Kelembaban kapiler adalah

kelembaban tanah yang terjadi oleh adanya gaya tarik-menarik antara

butir-butir tanah. Air yang

dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

c. Kelembaban gravitasi adalah

kelembaban yang terjadi sebagai akibat adanya gaya tarik bumi, yaitu air dalam posisi peralihan menuju ke pori-pori tanah yang lebih besar. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai kelembaban tanah. Hal tersebut dijelaskan Yang dan Tian (1991) melalui rumus kandungan air dalam tanah, sebagai berikut :

(14)

2 ∂W

∂t = 𝑃 + 𝐼 − 𝐸 − 𝑅 + 𝐷 + 𝐺………...(1) Dengan:

∂W

∂t = kandungan air pada zona akar (cm) P = presipitasi (cm)

I = irigasi (cm)

E = evapotranspirasi (cm) R = runoff (cm)

D = air tanah yang hilang (cm) G = recharge air tanah (cm)

Persamaan tersebut menggambarkan

bahwa kelembaban tanah dipengaruhi oleh kondisi cuaca (seperti presipitasi, suhu udara, dan kecepatan angin) dalam memberikan masukan dan menghilangkan kandungan air yang ada. Presipitasi sebagai masukan merupakan sumber air dalam meningkatkan kelembaban tanah. Selain presipitasi, masukan air juga berasal dari hilangnya air tanah pada lapisan dibawahnya hasil dari evaporasi. Pada tanah yang gundul, evaporasi ini dipengaruhi oleh jenis tanah, difusivitas air tanah, suhu permukaan tanah, flux pemanasan tanah, dan albedo radiasi netto. Sedangkan evaporasi tanah di bawah tajuk tanaman, dipengaruhi oleh radiasi netto yang mencapai permukaan tanah (setelah melewati tajuk), kadar air tanah, dan sifat-sifat tanah.

Selain masukan dari presipitasi,

kelembaban tanah juga dipengaruhi oleh hilangnya air yang terkandung dalam tanah.

Hilangnya air ini disebabkan oleh

evapotranpirasi dan juga masuknya air ke dalam lapisan tanah di bawahnya (baik infiltrasi maupun perkolasi). Hilangnya air ini menyebabkan kelembaban tanah menurun. Menurut Hanson (1991) dalam Hadiyanto (2007), sebagai bagian dari siklus hidrologi,

evapotranspirasi merupakan komponen

penting dalam sistem neraca air.

Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang menguap akibat proses penguapan (evaporasi) dari permukaan air yang terbuka, permukaan tanah basah, lipatan salju, lapisan tanah, dan transpirasi yaitu air yang menguap dari vegetasi. Unsur iklim yang paling dominan terhadap evapotranspirasi adalah radiasi matahari dan kecepatan angin.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelembaban Tanah

2.2.1 Neraca Air

Air merupakan kebutuhan yang sangat

esensial bagi kelangsungan kehidupan.

Masukan air terbesar ke bumi berasal dari presipitasi. Pada suatu areal pertanian

penyedian air tanaman berasal dari presipitasi (P) dan irigasi (I), sedangkan kehilangan air

dapat berupa drainase (D), limpasan

permukaan (runoff, Ro), evaporasi (E) dan transpirasi (T). Sedangkan air disimpan

sebagai cadangan dalam tanah (∆S).

Keseluruhan masukan (input) dan keluaran (output) air ini dapat dirumuskan sebagai neraca air, yaitu :

P + I = D + Ro + E + T +∆S…………..…(2) Semua unsur dinyatakan dalam satuan yang sama, misalnya mm hari-1 atau m3 ha-1 hari-1.

Salah satu faktor yang mengakibatkan

hilangnya air pada permukaan yaitu

evapotranspirasi. Kehilangan air melalui

evaporasi mempunyai akibat terhadap

fisiologi tanaman secara tidak langsung, seperti mempercepat penurunan kadar air pada lapisan atas dan memodifikasi iklim mikro di sekitar tanaman (Tanner, 1981).

2.2.2 Suhu Permukaan Tanah

Suhu pemukaan merupakan suhu bagian terluar dari suatu objek yang dihasilkan dari suatu tanggapan terhadap berbagai fluks energi yang melalui permukaan. Kelembaban tanah memiliki hubungan yang erat dengan suhu permukaan tanah. Tingginya suhu permukaan tanah akan meningkatkan laju evaporasi. Hilangnya air karena evaporasi menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam tanah.

2.2.3 Kapasitas Panas

Jumlah panas pada suatu benda tergantung dari seberapa besar kapasitas panasnya. Semakin besar kapasitas panas pada suatu benda maka akan semakin besar jumlah panas

yang dibutuhkan oleh benda tersebut.

Berdasarkan Tabel 1, nilai kapasitas panas pada lahan basah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering dan konduktifitas bahang pada lahan basah lebih besar dibandingkan dengan lahan kering. Sifat fisik molekul-molekul air yang tidak teratur menyebabkan molekul air mudah tertarik oleh ion-ion elektrostatik. Semakin banyaknya gaya tarik magnet yang tercipta oleh ion-ion elektrostatik maka akan meningkatnya medan listrik pada daerah tersebut. Tingginya medan listrik akan

meningkatkan konduktifitas bahang.

Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya kandungan air pada suatu lahan akan meningkatkan medan listrik pada area tersebut sehingga konduktifitas bahang akan semakin tinggi.

(15)

3 Tabel 1 Perbedaan panas pada objek yang berbeda (Sumber : Geiger et al., 1961)

Benda Massa jenis (g m-3) Panas jenis (J g-1oC-1) Kapasitas panas (J m-3 oC-1) Konduktivitas bahang (W m-1 oC-1) Difusivitas bahang (cm2 sec-1) Lahan basah 8 x10 -7 - 1 x 10-6 - 2.51x10 -6 -3.35 x10-6 2.93x10-2-4.18 x10-2 0.9x10 -4 - 1.6 x10-4 Lahan kering 3x10 -7 - 6x10-7 - 0.42 x10 -6 -0.84x10-6 0.42 x10-2-1.26 x10-2 0.5 x10 -4 - 3 x10-4 Tanah liat basah 1.7x10

-7 - 2.2x10-6 0.71-0.84 1.25 x10 -6-1.67x10-6 8.37 x10-2-20.93x10-2 5 x10 -4 - 17 x10-4 Tanah liat kering - 0.71-0.84 0.42 x10-6-1.67x10-6 0.84 x10-2-6.28 x10-2 0.5 x10

-4 - 15 x10-4 Pasir basah - 0.84 0.84 x10-6-2.51x10-6 8.37 x10-2-25.12x10-2 3 x10 -4 - 12 x10-4 Pasir kering 1.4x10 -6 - 1.7x10-6 0.84 0.42 x10 -6-1.67x10-6 0.075 x10-2-2.93x10-2 1 x10 -4 - 7 x10-4 Batu 2.5x10 -6 - 2.9x10-6 0.71-0.84 1.79 x10 -6 -2.42x10-6 16.75x10-2-41.87x10-2 7 x10 -4 - 23 x10-4 Besi 7.9x10-6 0.44 3.42 x10-6 879.27 x10-2 256 x10-4 Beton 2.2x10 -6 - 2.5x10-6 0.88 2.17 x10 -6 46.057 x10-2 22 x10-4 Air tenang 1x10-6 4.18 4.18 x10-6 5.44 x10-2-6.28 x10-2 1.3 x10 -4 - 1.5 x10-4 Udara tenang 1x10 -9 - 1.4x10-9 1.0046 0.001 x10-6-0.0014 x10-6 0.21 x10 -2 -0.25 x10-2 147 x10 -4 - 250 x10-4 2.2.4 Radiasi

Radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan berbanding lurus dengan pangkat empat suhu mutlak permukaan tersebut (hukum Stefan Boltzman). Energi radiasi

gelombang panjang yang dipancarkan

permukaan bumi sebagian diserap atmosfer dan sisanya akan keluar dari sistem atmosfer bumi. Energi radiasi yang datang ke bumi adalah 1368 Mw-2. Radiasi yang diteruskan ke permukaan bumi sekitar 50% dari radiasi yang datang ke bumi. Radiasi yang tinggi akan meningkatkan suhu udara. Besarnya nilai evapotranspirasi cenderung mengikuti pola suhu udara maksimum selama bulan-bulan musim panas dan suhu udara minimum

selama musim dingin. Fluktuasi nilai

evapotransiprasi selama musim panas sangat tergantung pada nilai kelembaban udara pada awal musim kering dan panjang musim keringnya. Selama musim panas penguapan

dari permukaan air terbuka akan meningkat, sedangkan transpirasi oleh tanaman pada umumnya menurun. Sebaliknya pada musim dingin penguapan dari permukaan air terbuka akan berkurang namun transpirasi meningkat. Berdasarkan pernyataan tersebut, tingginya radiasi akan meningkatkan evapotranspirasi

sehingga kelembaban tanah semakin

berkurang.

2.2.5 Pengaruh Jenis Tanah Terhadap kelembaban tanah

Kecepatan laju infiltrasi maupun perkolasi air dan evaporasi pada tanah tergantung kepada sifat kelulusan lapisan tanah atau lapisan batuan yang akan dilaluinya. Sifat kelulusan lapisan batuan adalah daya lapisan batuan untuk menyerap dan ditembus air atau tingkat kekedapan terhadap air, disebut dengan permeabilitas. Tanah dengan tekstur liat atau debu memiliki permeabilitas lebih

(16)

4 tinggi dibandingkan dengan tanah bertekstur

pasir. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengetahui permeabilitas suatu lapisan tanah dan batuan adalah porositas dan koefisien permeabilitas (Seyhan, 1990). Porositas adalah persentase volume ruang-ruang kosong antara partikel-partikel batuan yang membentuk lapisan. Sedangkan, koefisien permeabilitas adalah kuantifikasi kecepatan aliran air tanah selama melintasi pori-pori (celah, retakan, dan rekahan) batuan dalam satuan waktu. Namun porositas yang lebih besar tidak selalu disertai oleh permeabilitas yang lebih baik (Sosrodarsono & Takeda, 1993). Sebagai contoh adalah lempung. Porositas lapisan batuan yang tersusun atas lempung sangat besar, tetapi permeabilitasnya kecil karena ukuran ruang-ruang porinya sangat kecil. Pada Tabel 2 dan 3 terdapat nilai

porositas dan koefisien permeabilitas

berdasarkan tipe-tipe tanah.

Tabel 2 kisaran-kisaran porositas beberapa batuan (Sumber: Todd (1959) dalam Seyhan (1990))

No Batuan Porositas

(%)

1 Liat 45-55

2 Debu 40-50

3 Pasir campuran medium

hingga kasar 35-40

4 Pasir yang seragam 30-40 5 Pasir campuran halus

hingga médium 30-35

6 Kerikil 30-40

7 Kerikil dan pasir 20-35

8 Batu pasir 10-20

9 Serpihan 1-10

10 Batuan kapur 1-10

11 Batuan granit 1-5

Tabel 3 Harga perkiraan koefisien

permeabilitas bahan-bahan granular penyusun lapisan tanah (Sumber: Damm (1966) dalam Seyhan (1990))

Tipe tanah Ukuran partikel efektif (mm)

Koefisien permeabilitas

Debu 0.002-0.02 0.01

Pasir sangat halus 0.02-0.2 0.1 Pasir halus 0.02-0.02 0.1-0.001

Pasir kasar 0.2-2 0.1-0.001

Kerikil dan pasir >2 0.0001

Kerikil 0.00001

2.3 Pendugaan nilai Evapotranspirasi

Terdapat beberapa metode untuk

menghitung nilai evapotranspirasi,

diantaranya yaitu melalui metode panci klas

A, model-model empiris, dan model

evapotranspirasi pertanaman.

2.3.1 Panci Klas A

Cara yang paling sederhana untuk

menduga evapotranspirasi potensial (ETp) adalah dengan menggunakan panci klas A : ETp = Kp · Eo……….….(3) dengan :

Eo = Evaporasi panci klas A (mm)

Kp = koefisien panci, berkisar 0.7-0.8

2.3.2 Pendugaan Evapotranspirasi dengan Rumus-Rumus Empirik 2.3.2.1 Model Penman (1948)

Model Penman (1948) dalam Handoko (1995) ini menggunakan dua komponen yaitu

radiasi dan aerodinamik. Penman

menggunakan nilai albedo α = 0.25 untuk permukaan vegetasi (ETp) dan α = 0.05 untuk permukaan air (Eo). Berikut adalah model pendugaan menurut Penman :

ETp = {∆ Qn + γ f(u) (es - ea)}/{ λ (∆ + γ)}…..(4)

dengan :

∆ = gradien tekanan uap air jenuh terhadap suhu udara (Pa K-1) Qn = radiasi netto (MJ m-2)

γ = konstanta psikrometer (66.1 Pa k-1) f(u) = fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1) (es – ea) = defisit tekanan uap air atau vpd

(Pa)

λ = panas spesifik untuk penguapan (2.454 MJ kg-1)

Model ini mengalami beberapa modifikasi yang sebagian besar didasarkan pada neraca energi, dan dikoreksi dengan beberapa faktor untuk menghitung pengaruh termal (radiasi) dan aerodinamik. Sampai saat ini, model-model tersebut terus mengalami modifikasi dan perbaikan. Nilai-nilai peubah dalam persamaan diatas dapat diukur langsung ataupun diduga seperti yang dijelaskan oleh Meyer et al. (1987) dalam Handoko (1995). Gradien tekanan uap air jenuh terhadap suhu udara dapat diduga berdasarkan :

∆ = 0.1 e{21.255 – 5304/(T + 273.1)} x { 5304 /(T

(17)

5 T = (Tmax + Tmin)/2, Tmax dan Tmin adalah

nilai maksimum dan minimum suhu harian (oC).

Fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1) didekati dari :

F(u) = 4.84 + 0.0472 u………...……(6) u adalah kecepatan angin harian pada ketinggian 2 m (km hari-1).

2.3.2.2 Model Penman-Monteith (1964)

Persamaan yang dikembangkan Monteith (1964) dalam Handoko (1995) merupakan

modifikasi persamaan Penman. Dalam

persamaan ini secara eksplisit dimasukkan faktor tahanan aerodinamik (ra) dan tahanan

kanopi (rc). Persamaan tersebut adalah seperti

berikut :

ETp = {( ∆Qn + ρwcp (es – ea) / ra)

/ (( ∆ + γ) λ + rc / ra )}λ………..…(7)

cpadalah panas jenis udara pada tekanan tetap

dan ρw adalah kerapatan udara lembab.

Persamaan Penman-Monteith ini lebih

menekankan kegunaannya pada skala

penelitian karena membutuhkan lebih banyak parameter tajuk tanaman yang memerlukan pengukuran tersendiri.

2.3.2.3 Model Makkink (1957) dan Priestly Taylor (1972)

Model Makking (1957) dan Priestly Taylor (1972) dalam Handoko (1995) hanya menyederhanakan bentuk model persamaan Penman, sehingga hanya didasarkan pada komponen radiasi dan suatu konstantata yang mewakili nilai iklim dan sifat tumbuhan suatu wilayah. Persamaan yang digunakan :

Model makkink :

ETp = k1(∆/(∆+γ) Qs λ………...(8) Model Priestly-Taylor :

ETp = k2 (∆ / (∆ + γ) Qn / λ…………..…(9) Nilai k1 dan k2 untuk beberapa jenis tanaman

adalah : untuk kedelai nilai k1 antara 0.72-0.78

dengan rata-rata k1 = 0.75 (Sakuratani, 1987).

Nilai rata-rata untuk semua tanaman adalah k1

= 1.26 (Priestly-Taylor, 1972). Khusus untuk kedelai, nilai k2 antara 1.05-1.32 (Sakuratani,

1987) dan untuk jagung k2 = 1.35 (Rosenthal

et al. 1977 dalam Handoko (1995)).

2.3.3 Evapotranspirasi Tanaman

Istilah evapotranspirasi tanaman (ETc) umumnya digunakan untuk perencanaan irigasi. Nilai ETc selalu berubah-ubah menurut umur dan fase perkembangan

tanaman. Perubahan tersebut berkaitan dengan luas penutupan tajuk tanaman sebagai bidang penguapan. ETc bukan merupakan kehilangan air aktual melalui evapotranspirasi (ETa) karena ETc tidak memperhitungkan pengaruh-pengaruh seperti fluktuasi kadar air tanah dan kejadian presipitasi yang mempengaruhi laju evaporasi tanah. ETc dianggap merupakan kebutuhan air optimum dalam perencanaan irigasi tanaman yang didekati dari :

ETc = Kc · ETo……….(10) dengan :

Kc = koefisien tanaman yang tergantung

umur dan fase perkembangan

tanaman

ETo = Evapotarnspirasi aktual (mm)

2.4 Estimasi Kelembaban Tanah 2.4.1 Perhitungan Kelembaban Tanah di

Lapangan ( Metode Gravimetrik )

Kelembaban tanah dapat dinyatakan dalam jumlah air (% massa dan % volume) atau dalam energi potensialnya (water potential) dalam satuan bar, atm, atau Pa. Kelembaban tanah yang dinyatakan dalam % massa (gravimetrik) selalu berdasarkan massa kering massa tanah yang telah dikeringkan dalam oven (105oC) selama 24 jam.

Kadar air tanah berdasarkan % massa (gravimetrik) :

Өm = {Mw/Ms}100%...(11) Kadar air tanah berdasarkan % volume (volumetrik ) :

Өv = {Vw/Vt} 100% = {Vw/(Vw + Va + Vs)}100%...(12) dengan :

Ms = massa tanah kering (g)

Mw = massa air (g)

Vt = volume total (cm3)

Vs = volume padatan tanah kering (cm3)

Va = volume udara (cm3)

Vw = volume air (cm3)

Pengukuran kadar air tanah secara

gravimetrik dan volumetrik dapat dilakukan dengan mengambil contoh tanah dari lapang

kemudian dilakukan penimbangan dan

pengeringan dengan oven. Pengukuran secara volumetrik, volume air dihitung berdasarkan massa air yang terukur dengan menganggap kerapatan air sebesar 1 g cm-3. Sedangankan, volume tanah total sama dengan volume ring sampler yang digunakan untuk mengambil contoh tanah tersebut.

(18)

6 Tabel 4 Spesifikasi beberapa satelit SAR (Sumber : Moran. M. S. et al., 2004 yang telah

dimodifikasi)

Spesifikasi Satelit SAR RADARSAT ERS SAR ERS ENVISAT

ASAR ALOS PALSAR

Besar sudut (°) 20-50 23 15-45 10-51 Panjang gelombang (cm) 5.7 5.7 5.7 23.6 SAR band C C C L Polarisasi HH VV HH, VV, VH, HV HH, VV, HH, HV, VV, VH Resolusi (m) 10-100 30 10-100 10-100 Pengulangan (hari) 24 35 35 46

2.4.2 Estimasi Kelembaban Tanah dengan Sistem Satelit SAR

Satelit yang memiliki resolusi tinggi yang

dapat memberikan informasi tentang

pengelolaan batas DAS (Daerah Aliran Sungai) saat ini hanya dapat ditemui pada satelit yang memiliki sensor gelombang mikro aktif. Bentuk pencitraan gelombang mikro aktif terdapat pada sistem satelit SAR (Synthetic Aperture Radar). Prinsip dasar dari pencitraan SAR adalah pemancaran energi

gelombang elektromagnetik (EM yang

selanjutnya disebut sebagai sinar radar atau energi radar) ke permukaan bumi, dan merekam energi balik dari bumi ke radar melalui pencatatan kuantitas energi balik dan waktu tunda dari energi balik yang sampai ke radar (relatif terhadap waktu transmisinya). Energi pantulan ini disebut hamburan balik (backscatter) radar.

Menurut Ulaby et al. (1982) terdapat

beberapa alasan untuk menggunakan

gelombang mikro sebagai sumber energi untuk pencitraan data SAR. Alasan utama dan sangat penting adalah bahwa kemampuan gelombang mikro untuk menembus awan, hujan, dan gelombang mikro aktif dapat memberikan energinya sendiri dan tidak tergantung pada cahaya matahari. Pengaruh hujan terhadap atenuasi (pemadaman) sinyal terjadi jika panjang gelombang lebih kecil dari 2 cm. Saat ini, ada beberapa sistem satelit SAR dengan frequensi yang dapat digunakan untuk mendeteksi kadar air tanah, diantaranya

seperti pada Tabel 4. Sistem SAR

menyediakan resolusi dengan cakupan liputan 10-100 m sampai piksel yang memiliki lebar liputan 50-500 km yang merupakan syarat untuk aplikasi skala batas DAS.

2.4.2.1 Model-Model Empiris 2.4.2.1.1 Model Oh

Pengembangan model empiris ini

dilakukan oleh Y. Oh, K. Sarabandi, dan F. T. Ulaby di Universitas Michigan tahun 1992.

Pengukuran radar digunakan dalam

pengembangan model ini yaitu dengan menggunakan operasi scatterometer (LCX POLARSCAT) pada tiga frekuensi (1.5, 4.5, 9.5 GHz) dalam mode full polarimetrik dengan sudut yang terbentuk antara 10o sampai 70o. Berdasarkan hasil pengukuran scatterometer dan pengukuran tanah tersebut, dihasilkan sebuah model empiris yang menyatakan fungsi untuk rasio hamburan balik antara HH dengan VV (co-polarised) dan hamburan balik silang (cross-polarised) antara HV dan VV sebagai berikut:

p = 𝜎 𝐻𝐻 𝑜 𝜎 𝑉𝑉𝑜 = 1 − 2𝜃 𝜋 1 3Γo . 𝑒−𝑘𝑠 2 ……(13) q = 𝜎 𝐻𝑉 𝑜 𝜎 𝑉𝑉𝑜 = 0.23 Γ𝑜 1 − 𝑒 −𝑘𝑠 ………...(14)

p dan q menunjukkan rasio hamburan balik antara HH dengan VV (co-polarised) dan hamburan balik silang (cross polarized). θ adalah sudut yang terbentuk, ks adalah besar RMS yang dinormalisasi terhadap panjang gelombang, dan Γo koefisien reflektifitas Fresnel pada nadir (jika θ = 0). Berdasarkan rasio hamburan balik co-polarised dan cross-polarised tersebut, maka nilai Γ𝑜 dapat diduga dengan persamaan berikut :

2𝜃 𝜋

1

Γ𝑜 1 − 𝑞

0.23 Γ𝑜 + 𝑝 − 1 …………(15) Pendugaan nilai Γ𝑜 juga dapat menggunakan pendekatan teknik iterasi Newton, yaitu : 𝑥𝑛= 𝑎 𝑥𝑛−1 23 1−𝑏∙ 𝑥𝑛 −1 +𝑐 2∙𝑥𝑛−1 3 ∙ln 𝑎 ∙ 1−𝑏∙𝑥𝑛 −1 −𝑏 𝑎 𝑥𝑛−1 2 3 …………..(16) dengan : 𝑥 = 1 Γ𝑜 , 𝑎 = 2𝜃 𝜋 , 𝑏 = 𝑞 0.23 , 𝑐 = 𝑝 − 1

(19)

7 Selanjutnya, nilai Γ𝑜 digunakan untuk

menduga konstanta dielektrik ( 𝜀′) dengan persamaan :

𝜀

=

1 + Γ𝑜

1− Γo ………...…(17)

nilai Γ𝑜 digunakan kembali untuk menduga nilai ks (kekasaran permukaan) berdasarkan persamaan :

𝑘𝑠 = 𝑙𝑛

𝑝+1 2𝜃 𝜋 1 3Γ𝑜 ……….….(18) 2.4.2.1.2 Model Dubois

Inversi algoritma empiris model Dubois et al. (1995) lebih sederhana dibandingkan dengan inversi algoritma empiris model Oh et al. (1992). Nilai konstanta dielektrik maupun kekasaran permukaan dapat diketahui dari model yang menggunakan hamburan balik antara HH dan VV (co-polarised) dan sudut yang terbentuk. Nilai konstanta dielektrik dapat diduga dengan persamaan :

𝜀=𝑙𝑜𝑔10 (𝜎𝑜 𝐻𝐻)0.7857 𝜎𝑉𝑉𝑜 10 −0.19 𝑐𝑜𝑠1.82𝜃𝑠𝑖𝑛0.93𝜃𝜆0.15 −0.042 tan 𝜃 ………...(19) dengan : ε’ = konstanta dielektrik

σo = koefisien hamburan balik (db)

θ = sudut yang terbentuk (o)

λ = panjang gelombang (23.6 cm)

Selanjutnya, nilai konstanta dielektrik dapat

pula digunakan untuk menduga nilai

kekasaran permukaan : 𝑘𝑠 = 𝜎𝐻𝐻𝑜 1 1.4102.751.4 𝑠𝑖𝑛2.57𝜃 𝑐𝑜𝑠1.07𝜃10−0.02 𝜀 tan 𝜃 𝜆−0.5…(20) ks = kekasaran permukaan ε’ = konstanta dielektrik

σo = koefisien hamburan balik (db)

θ = sudut yang terbentuk (o)

λ = panjang gelombang (23.6 cm)

Algoritma ini cukup baik digunakan untuk area yang bervegetasi jarang pada frekuensi rendah. Rasio σ°VH / σ°VV baik untuk

digunakan dalam mengindikasikan area

bervegetasi dengan nilai rasio σ°VH / σ°VV <

-11 db. Inversi algoritma tersebut tidak memperhitungkan penutupan kanopi pada suatu area. Sangat penting untuk ditekankan bahwa pada model Dubois et, al. (1995) kondisi penutupan oleh kanopi yang memiliki permukaan yang kasar (ks> 3) dapat

menyebabkan kekeliruan dalam

menginterpretasikan kelembaban permukaan. Nilai konstanta dielektrik (ε’) yang telah

diestimasi dapat dimasukan ke dalam

persamaan polinomial Top et al. (1980) untuk mengkonversi nilai dielektrik konstanta ke dalam nilai kadar air tanah (mv) :

mv = -5.3 10 -2

+ 2.29 10-2ε’ – 5.5 10-4ε’2

+ 4.3 10-6ε’3……….………...(21)

dengan :

mv = kadar air tanah (%)

ε’ = konstanta dielektrik

2.5 Sifat Konstanta Dielektrik Kompleks

Fenomena dielektrika yang diteliti pertama kali oleh M. Faraday adalah fenomena yang

terjadi akibat material non-konduktor

terpengaruhi oleh medan elektrik. Parameter utama yang menggambarkan perilaku material non-konduktor dalam sebuah medan elektrik

disebut konstanta dielektrik kompleks.

Konstanta dielektrik ini bergantung pada banyak faktor parameter seperti frequensi, suhu, salinitas, dan kandungan ferromagnetik.

Pada teori gelombang elektromagnetik,

komponen nyata dari konstanta dielektrik kompleks digambarkan sebagai gelombang yang di refraktif atau reflektif antara dua media yang berbeda (Hukum Snellius).

Indeks refraktif merupakan sebuah fungsi dari sudut yang terbentuk dan kecepatan dari

gelombang yang ditransmisikan. Indeks

refraktif ini memiliki hubungan dengan sudut refraktif dan kecepatan dari perambatan pada lapisan perbatas gelombang. Indeks refraktif didefinisikan sebagai akar kuadrat dari konstanta dielektrik kompleks berdasarkan ketebalan media jika dalam ruang hampa atau udara.

Konstanta dielektrik kompleks diukur dari

respon medium terhadap gelombang

elektromagnetik. Respon ini terdiri dari 2 bagian yaitu real dan imaginer (Stratton 1941, Von Hippel 1954), dimana persamaan konstanta dielektrik kompleks :

ε = ε’ – jε’’……….…(22)

ε’ adalah permitifitas dari material dan ε’’ adalah faktor kehilangan dielektrik dari material dan menggambarkan feasibilitas dari sebuah medium terhadap adsorbsi gelombang dan terhadap perpindahan energi ke dalam bentuk lain. Umumnya untuk permukaan natural ε’’ << ε’.

Konstanta dielektrik media natural

umumnya antara 1 sampai 6, dan meningkat dengan meningkatnya kadar air. Air bebas

(20)

8 mempunyai nilai dielektrik diatas media

natural sampai 81 dan menunjukkan frequensi

yang rendah (Ulaby, 1986). Hal ini

menunjukkan tingkat sensitifitas gelombang mikro terhadap kandungan air pada benda yang diamati. Sensitifitas ini juga dipengaruhi

oleh perputaran molekul-molekul,

pembekuan, dan kerapatan partikel tanah yang

dapat mengurangi konstanta dielektrik

kompleks (ε)terhadap air.

Perilaku konstanta dielektrik kompleks (ε) dalam media homogen seperti pada air murni dan es penting diketahui. Frekuensi konstanta

dielektrik pada air murni berdasarkan

persamaan Debye (1929) dalam Von Hippel (1954) :

ε

w

=

ε

w +

𝜀𝑤 0−εw∞

1+𝑗2𝜋𝑓 𝜏𝑤 ………...……(23)

εw0 adalah konstanta dielektrik statis dari air

murni dan εw∞ adalah tinggi limit frekuensi

(atau optikal) dari εw. τw adalah waktu jeda

dari kadar air murni dalam menit dan f adalah frekuensi elektromagnetik dalam Hz.

Pada keadaan tanah kering, nilai konstanta dielektrik yang nyata memiliki variasi pada kisaran nilai 2-4, sedangkan nilai konstanta dielektrik imaginer dibawah 0.05 (Ulaby, 1986). Nilai konstanta dielektrik kompleks

meningkat dengan semakin tingginya

pergerakan molekul-molekul air karena gaya matriks yang bekerja pada molekul-molekul air.

2.6 Hubungan Konstanta Dielektrik dengan Kelembaban Tanah

Banyak model-model empiris maupun teoritis yang menjelaskan hubungan konstanta

dielektrik dengan kelembaban tanah.

hubungan tersebut telah banyak dituangkan dalam persamaan-persamaan polinomial yang bergantung pada volumetrik kandungan air tanah dan persentase pasir dan liat yang terisi

di dalam tanah. Persamaan-persamaan

tersebut beracuan pada jenis klasifikasi tanah

berdasarkan USGS (United State

Classification System). Tetapi, persamaan-persamaan polinomial tersebut tidak dapat secara langsung diterapkan pada tipe-tipe tanah Asia karena memiliki sistem klasifikasi tanah yang berbeda dengan US. Untuk

menghilangkan ketergantungan pada

parameter-parameter yang sesuai, Dobson et al. (1985) mengembangkan sebuah model fisik tanah yang bergantung hanya pada pengukuran karakteristik tanah dan tidak memerlukan parameter-parameter yang sesuai

untuk mendapatkan data pengukuran

eksperimen yang baik.

Model tersebut berdasarkan pada dua parameter yaitufraksi air terkekang dan fraksi air bebas menurut ukuran distribusi pori-pori dari ukuran distribusi partikel. Menurut Top et al. (1980), De Loor (1982), Shivola (1989), dan Stacheder (1996) pada permitivitas campuran dielektrik menunjukkan bahwa untuk frequensi 1 sampai 10 GHz pada indeks refraktif volumetrik bahan kering dan air bebas merupakan pendekatan yang cukup baik untuk kebanyakan tipe-tipe tanah.

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan

tersebut, dibangun hubungan polinomial oleh Top et al. (1980) yang digunakan untuk mengkonversi volumetric soil water (mv) ke bagian nyata dari konstanta dielektrik ε’. Pengukuran dan penilaian bagian imaginer ε’’ dari konstanta dielektrik kompleks tidak dipertimbangkan dalam studi ini karena hal itu memberikan pengaruh yang hampir tak berarti pada jumlah total ε.

2.7 Satelit ALOS

ALOS (Advanced Land Observation

Satellite) adalah satelit penginderaan jauh (inderaja) Jepang yang diutamakan untuk pengamatan daratan dengan menggunakan

teknologi terdepan. Satelit ALOS

diprogramkan untuk meneruskan dan

meningkatkan fungsi satelit JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite-1) dan setelit

ADEOS (Advanced Earth Observing

satellite). Satelit ALOS adalah satelit pengamatan bumi terbesar yang pernah dibangun di Jepang. Panjangnya satelit ALOS lebih-kurang 9 meter, lebarnya 28 m, dan massanya 4000 kg. Satelit inderaja ALOS telah berhasil diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket H-IIA, dari lokasi peluncuran Tanegashima

Space Center di Jepang bagian selatan (NASDA, 2006).

Gambar 1 Satelit ALOS (Sumber

(21)

9 Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama,

yaitu :

a. Untuk memperlengkapi peta-peta

Jepang dan Negara-negara lain

yang termasuk wilayah

Asia-Pasifik ( Kartografi ).

b. Untuk melakukan pengamatan

regional dalam rangka

pengembangan berkesinambungan (pengamatan regional ).

c. Untuk melakukan pemantauan

bencana alam seluruh dunia

(pemantauan bencana alam ).

d. Untuk mmelakukan penelitian

sumbar daya alam ( penelitian sumber daya alam ), dan

e. Untuk mengembangkan teknologi

satelit pengamatan bumi masa depan ( pengembangan teknologi ) (NASDA, 2004 ; JAXA, 2004 ). Satelit ALOS bergerak pada orbit sinkron matahari pada ketinggian 691,65 km pada equator, inklinasi 98, 16 derajat. Periode (siklus) pengulangaan orbit adalah 46 hari,

dengan suatu potensi kemampuan

pengulangan 2 hari untuk sensor pandangan sisi (side-looking). Satelit dirancang untuk dapat tetap beroperasi pada orbitnya di dalam kurun waktu 3-5 tahun. Satelit tersebut melintas ekuator pada pukul 10.30 waktu lokal pada posisi satelit arah kutub selatan atau mode menurun (descending mode) dan pukul 22.30 pada posisi satelit arah kutub utara atau mode menaik (ascending mode).

Satelit ALOS dilengkapi tiga sensor inderaja dengan kemampuan pandangan sisi. Tiga sensor inderaja tersebut terdiri dari dua

sensor optik yaitu sensor PRISM

(Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (advanced Visible and Nera Infrared Radiometer type-2), dan sebuah sensor gelombang mikro (radar) yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar ) (NASDA, 2004b). Sensor-sensor pengamatan pada satelit ALOS dilengkapi dengan subsistem pendukung misi, yaitu :

a. subsistem pengontrol orbit dan

kedudukan satelit.

b. Subsistem penentu kedududkan

satelit dan posisi secara otomatis. c. Subsistem penanganan data misi.

2.8 Sensor AVNIR-2 dan Karakteristik Datanya

AVNIR-2 adalah suatu sensor yang

dirancang untuk meneruskan dan

meningkatkan sensor VNIR/OPS pada satelit JERS-1 dan AVNIR pada satelit ADEOS. Satelit JERS-1 adalah satelit Jepang untuk pengamatan daratan, banyak data yang tersedia di EOC Jepang untuk pengguna.

AVNIR/ADEOS adalah sensor optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi spasial 16 m untuk pengamatan daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2

merupakan peningkatan dari sensor

AVNIR/ADEOS. Bagian utama yang

dimodifikasi adalah detektor dan

elektroniknya. Sensor AVNIR-2 melakukan

scanning dengan metode push broom dengan 1 buah CCD untuk masing-masing kanal spectral. Kemampuan elektroniknya dan dan

detektor CCD pada AVNIR/ADEOS

(mempunyai 5000 piksel setiap CCD), ditingkatkan menjadi 7000 piksel setiap CCD

pada AVNIR-2/ALOS. Berdasarkan

modifikasi ini, maka akan dihasilkan

peningkatan resolusi spasial dari 16 m pada AVNIR/ADEOS menjadi 10 m dengan lebar liputan satuan citra sebesar 70 km pada AVNIR-2/ALOS.

Gambar 2 Sensor AVNIR-2 (Sumber :http: // www.eorc.jaxa.jp/)

Modifikasi yang lain adalah pada kemampuan pointing AVNIR-2 yaitu dengan suatu kemampuan pandangan menyilang jejak satelit pada +44o sampai -44o (+/- 44o) dari nadir. Kemampuan pandangan sisi dan kemampuan pointing dari sensor AVNIR-2 ini merealisasikan pengamatan yang dilakukan berulang kali yaitu setiap 48 jam (2 hari) pada daerah dengan garis lintang bumi yang lebih

tinggi. Berdasarkan kemampuan pointing

AVNIR-2 juga dapat pula diperoleh daerah pengamatan yang lebih lebar sampai dengan 1500 km (lebar pointing maksimum dari AVNIR-2). Kemampuan ini efektif untuk pengamatan global (Osawa, 2005).

(22)

10 Tabel 5. Karakteristik teknis sensor dan data citra AVNIR-2 (sumber : Sitanggang, 2008)

PARAMETER KARAKTERISTIK TEKNIS

Jumlah kanal spectral 4

Metode scanning Push broom dengan 1 CCD untuk

masing-masing kanal

Panjang gelombang Kanal 1 : 0.42-0.50 µm

Kanal 2 : 0.52-0.60 µm Kanal 3 : 0.61-0.69 µm Kanal 4 : 0.76-0.0.89 µm

FOV 5.8o

IFOV 14.28 µ rad

Lebar liputan satuan citra 70 km (pada nadir)

Resolusi spasial 10 m (pada nadir)

S/N >200

MTF@ Frekuensi Nyquist Kanal 1 s.d. 3 : >0.25

Kanal 4 : >0.20

Jumlah detector 7000/kanal spectral

Sudut pengarahan titik (pointing angle) (+/-44o) dari nadir

Kuantisasi 8 bit

Berdasarkan kemampuan tersebut, tujuan utama dari AVNIR-2 untuk pemantauan bencana alam dan pemetaan penutupan lahan di dalam pemantauan lingkungan regional dapat direalisasikan dan pengamatan

daerah-daerah bencana alam dalam waktu

pengulangan 2 hari dapat dilakukan.

Kemampuan pandangan sisi dari sensor-sensor ALOS juga memungkinkan observasi AVNIR-2 secara serentak dengan PALSAR, hal ini merupakan suatu sifat unik yang diharapkan dapat memberikan kontribusi aplikasi fusi data optik (AVNIR-2) dan gelombang mikro (PALSAR ).

2.9 Sensor PALSAR dan Karakteristik Datanya

PALSAR adalah suatu sensor gelombang mikro aktif pada L-band (frekuensi-pusat 1270 MHz/23,6 cm) untuk pengamatan siang dan malam hari, bebas awan dan cuaca. Sensor PALSAR merupakan peningkatan dari SAR/JERS-1 (polarisasi HH, sudut off nadir 35o, beroperasi pada L-band), dikembangkan oleh JAXA bekerja sama dengan JAROS (Japan Resources Observation Systems Oganization). Antenna PALSAR terdiri dari 4 segmen dengan ukuran total 8.9 m bila disebarkan.

Sensor PALSAR mempunyai suatu

kemampuan off-nadir yang variable antara 10o sampai 51o (sudut datang 8o-60o) dengan menggunakan teknik phased array aktif dengan 80 modul untuk mentransmisikan /

penerimaan. PALSAR adalah suatu

instrument yang secara penuh merupakan

polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari mode, yaitu :

a. Polarisasi tunggal (HH atau VV)

b. Polarisasi rangkap 2 (HH+HV atau

VV+VH)

c. Polarimetrik penuh

Polarisasi diubah dalam setiap pulsa dari sinyal transmisi dan sinyal polarisasi ganda diterima secara simultan. Operasi dibatasi dalam sudut dating yang lebih rendah untuk mencapai hasil guna yang lebih baik. Pada (terjadi pada kondisi kecepatan data 240 Mbps.

mode polarisasi, lebar liputan satuan citra adalah 30 km dengan resolusi spasial 30 m

Gambar 3 Sensor PALSAR (Sumber

(23)

11 Tabel 6 Karakteristik teknis sensor dan data citra PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008)

Mode operasi

Fine beam single pol-

(fbs)

Fine beam dual pol- (fbd) Scansar Polarimetrik Chirp Bandwidth 28 MHz 14 MHz 14 MHz, 28 MHz 14 MHz Polarisasi HH, VV HH+HV, VV+VH HH, VV HH+VV+HV+VH Sudut datang 8o-60 o 8 o-60 o 18 o-43 o 8 o-30 o Resolusi spasial Range 7-44 m 14-88 m 100 m (multi look) 24-89 m

Lebar liputan satuan citra 40-70 km 40-70 km 250-350 km 20-65 km

Panjang bit 5 bit 5 bit 5 bit 3/5 bit

Kecepatan data 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps, 240 Mbps 240 Mbps

Akurasi radiometrik Citra (scene) : 1 dB/ orbit : 1.5 dB Titik tengah kisaran

spektrum

L-band (1270 MHz)

Tabel 7 Mode Observasi Default PALSAR (Sumber : Sitanggang, 2008)

Polarisasi Sudut Off-Nadir

(Lebar Liputan Satuan Citra, Resolusi)

HH 34.3o (70 km, 10 m)

VV 43.4o (70 km, 10 m)

HH + VV 34.3o (70 km, 20 m)

HH + HV 43.4o (70 km, 20 m)

HH + HV + VH + VV 21.5o (30 km, 30 m)

ScanSAR 5- Beam mode (350 km, 100 m)

PALSAR secara teknik dapat dioperasikan dalam 132 mode yang berbeda. Akan tetapi, dari titik pandang aplikasi, sejumlah besar dari kombinasi mode potensial menjadi agak kontra-produktif. tujuh mode operasi telah diidentifikasi sebagai default modes yang ditujukan pada Tabel 9 Untuk meminimalkan konflik-konflik dari mode yang demikian, Pemilihan default mode dibuat sebagai suatu

kompromi kriteria ilmiah, aspek-aspek

programatik, dan pembatasan-pembatasan

operasional satelit menjadi pertimbangan. Kecepatan perekaman data 240 Mbps dalam mode tunggal, mode rangkap dua (dual), dan mode polarimetrik penuh. Oleh karenanya diperlukan aliran data dari satelit ke stasiun bumi (down-linking) melalui

DRTS. Akan tetapi, mode scanSAR

beroperasi pada 120 Mbps, yang

memungkinkan aliran data secara langsung dari satelit ke berbagai stasiun bumi local (di dalam jaringan stasiun bumi ALOS).

Data PALSAR dapat digunakan untuk bermacam aplikasi seperti pembuatan citra DEM, interferometri dari pergerakan lahan, biomassa hutan, pemantauan kebakaran hutan,

pertanian, pemantauan polusi minyak,

pemantauan banjir, kelembaban tanah, dan pemantauan kapal ( NASDA, 2005 ).

III. METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 hingga September 2009 dilaksanakan di Laboratorium meteorologi dan kualitas udara serta di Lembaga

Penerbangan dan Antariksa (LAPAN)

Pekayon Jakarta Timur.

3.2 Bahan dan Alat

Data yang digunakan adalah data citra PALSAR ALOS level 1.1 pada tanggal 11 April 2007 pukul 15: 34: 59 WIB dan data citra AVNIR-2 tanggal 5 Oktober 2007

diperoleh dari Pusbangja (Pusat

Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi

Penginderaan Jauh) LAPAN, Pekayon,

Jakarta. Alat yang digunakan adalah

perangkat lunak (software) Polsar pro versi 4.0, Envi versi 4.3, Er Mapper versi 7.0, Adobe Photoshop CS3 dan Microsoft office 2007.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengolahan Awal Data Citra PALSAR ALOS

Data citra PALSAR ALOS yang

digunakan merupakan citra wilayah

Kabupaten Bekasi dan sekitarnya yang diambil pada tanggal 11 april 2007. Data citra

(24)

12 PALSAR ini menggunakan data level 1.1

yang terdiri dari polarisasi yang lengkap atau

quad-pol.

Pada tahap awal pengolahan citra

PALSAR dengan menggunakan software

polsar pro untuk mendapatkan citra hamburan (scattering). Citra-citra hamburan yang telah diolah dengan Polsar pro 4.0, kemudian diproses dengan Envi 4.3 untuk mendapatkan citra PALSAR berformat ers yang nantinya agar dapat diolah lebih lanjut dengan perangkat lunak Er Mapper 7.0. Pengolahan menggunakan Er Mapper dimaksudkan untuk mendapatkan citra distribusi kelembaban tanah.

3.3.2 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukan dengan membandingkan citra yang belum terkoreksi secara geometrik dengan citra yang telah dikoreksi secara geometrik. Proses koreksi ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Er Mapper 7.0. Pada tahap ini, dilakukan penentuan titik-titik GCP (Ground Control Point) pada kedua citra tersebut. Berdasarkan hasil penentuan titik-titik GCP maka akan terlihat nilai RMS (Root Mean Square) yang menjelaskan tingkat penyimpangan citra belum terkoreksi terhadap citra terkoreksi. Apabila citra telah memiliki nilai RMS kurang dari 0.5 maka telah memiliki koordinat sesuai dengan citra terkoreksinya.

3.3.3 Delineasi Batas-Batas Wilayah Berdasarkan Masing-Masing Tutupan Lahan

Citra AVNIR-2 merupakan citra optik yang mampu menggambarkan tutupan lahan dengan jelas. Pada penelitian ini, citra AVNIR-2 digunakan untuk menentukan batas-batas masing-masing jenis tutupan lahan. Sebelumnya, Citra Avnir-2 telah

terkoreksi secara geometrik. Kemudian,

dilakukan delineasi batas-bata jenis tutupan lahan

Setelah tutupan lahan terbagi-bagi dalam beberapa poligon kemudian hasil poligon tersebut di save sebagai citra vektor berformat erv. Hasil citra vektor AVNIR-2 digunakan untuk cropping masing-masing tutupan lahan pada citra PALSAR.

3.3.4 Estimasi Konstanta Dielektrik Berdasarkan Model Dubois

Citra hamburan yang telah dikonversi ke format .ers kemudian diolah menggunakan Er Mapper untuk mendapatkan nilai koefisien hamburan balik (backscatter) dari

masing-masing citra hamburan tersebut. Pada model Dubois, citra hamburan yang akan diubah nilainya menjadi nilai koefisien hamburan balik adalah citra dengan polarisasi HH dan VV. Menurut Sonobe et al., (2008), nilai koefisien hamburan balik dapat diperoleh melalui persamaan :

σ° = 10 log10 DN 2

+ CF………...……….(24) dengan :

σ° = koefisien hamburan balik (db)

DN = nilai digital number dari citra hamburan CF = faktor kalibrasi (-86 db)

Selanjutnya, setelah diketahui nilai hamburan balik dari citra polarisasi HH dan VV maka pendugaan kelembaban tanah dapat dilakukan dengan menggunakan model

Dubois et al. (1995) untuk menduga nilai kelembaban tanah.

Nilai konstanta dielektrik maupun

kekasaran permukaan dapat diketahui dari model yang menggunakan nilai koefisien hamburan balik antara HH dan VV ( co-polarised) dan sudut yang terbentuk.

Konstanta dielektrik dapat diketahui

berdasarkan persamaan 25 : 𝜀 =𝑙𝑜𝑔10 (𝜎𝑜𝐻𝐻)0.7857 𝜎𝑉𝑉𝑜 10−0.19 𝑐𝑜𝑠1.82𝜃𝑠𝑖𝑛0.93𝜃𝜆0.15 −0.042 tan 𝜃 ……….(25) dengan : ε’ = konstanta dielektrik σo

= koefisien hamburan balik(db) θ = sudut yang terbentuk (o)

λ = panjang gelombang (23.6 cm)

dengan menggunakan estimasi konstanta dielektrik, maka nilai kekasaran permukaan dapat diketahui berdasarkan persamaan 26 : 𝑘𝑠 = 𝜎𝐻𝐻𝑜 1 1.4102.751.4 𝑠𝑖𝑛2.57𝜃 𝑐𝑜𝑠1.07𝜃10−0.02 𝜀 tan 𝜃 𝜆−0.5…..(26) dengan : ks = kekasaran permukaan ε’ = konstanta dielektrik

σo = koefisien hamburan balik (db)

θ = sudut yang terbentuk (o)

λ = panjang gelombang (23.6 cm)

3.3.5 Estimasi Kelembaban Tanah Menggunakan Persamaan Top

Estimasi konstanta dielektrik (ε’) yang telah dilakukan dapat diolah lebih lanjut untuk

mengestimasi nilai kelembaban tanah.

(25)

13

(1980) mengkonversi nilai konstanta

dielektrik ke dalam nilai kelembaban tanah (mv) : mv = -5.3 10 -2 + 2.29 10-2ε’ – 5.5 10-4ε’2 + 4.3 10-6ε’3………...………...…..(27) dengan :

mv= kelembaban air tanah (%) ε’ = konstanta dielektrik

secara keseluruhan, proses metodologi

terangkum dalam sebuah diagram alir pada gambar 4.

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

Kekasaran permukaan (ks) Kelembaban tanah (mv)

hamburan balik (σ°)

Konstanta dielektrik (E) Koreksi Geometrik

Citra Palsar ALOS

Citra hamburan

(scattering) Citra PauliRGB

Citra avnir-2 ALOS

Koreksi Geometrik

Delineasi masing-masing tutupan lahan

Citra vektro (.erv) dari tutupan lahan : 1. Badan air 2. Sawah berair 3. Sawah bera 4. Lahan terbuka 5. Lahan bervegetasi 6. Lahan terbangun

(26)

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bekasi

dan Sekitarnya

Gambar 4 Keadaan geografis daerah

Kabupaten Bekasi dan

sekitarnya tahun 2009

(sumber : // http: www. googlemaps. com)

Kajian cakupan kawasan penelitian

berdasarkan citra Satelit PALSAR ALOS yang diamati meliputi daerah Kabupaten

Bekasi dan sekitarnya yang meliputi

Kabupaten Karawang dan Kabupaten

Purwakrta. Berdasarkan aspek klimatologi, keadaan iklim pada Kabupaten Bekasi ditunjukkan bahwa Suhu udara yang terjadi di Kabupaten Bekasi berkisar antara 28-32 oc. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Febuari dan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari. Keadaan Iklim di Kabupaten

Karawang sesuai dengan bentuk

Morfologinya sebagian besar terdiri dari daratan rendah dengan temperatur udara rata-rata 27 celcius, tekanan udara rata-rata-rata-rata 1010 milibar, dengan penyinaran Matahari 66% dan kelembaban nisbi 8%, dengan dipengaruhi angin muson kecepatan rata-rata per jam mencapai 30-35 Km, curah hujan rata-rata tiap tahun 1000-2000 mm di wilayah utara 2000-2500 mm di wilayah dengan 2000-2500-3000 mm di wilayah selatan. iklim di Kabupaten Purwakarta termasuk pada zona iklim tropis, dengan rata-rata curah hujan 3.093 mm/tahun dan terbagi ke dalam 2 wilayah zona hujan, yaitu: Zona dengan suhu berkisar antara 22o -28o dan zona dengan suhu berkisar 17o-26o. Dibandingkan tahun 2002, curah hujan dan rata- rata hari hujan tahun 2003 lebih sedikit.

Berdasarkan keadaan geografis dan

topografinya, Kabupaten Karawang memiliki Jenis tanah bermacam-macam jenis di antaranya Aluvial dan Gleihumus, jenis tanah ini terdapat di wilayah utara, seperti Batujaya,

Telagasari, Rawamerta, Cilamaya, Jatisari, Karawang dan di sepanjang sungai Citarum. Glumusol, jenis tanah ini terdapat di wilayah selatan seperti Pangkalan dan Teluk Jambe. Di Kab. Purwakarta, Zona mata air yang

berpengaruh terhadap keseimbangan air

permukaan wilayah regional terdapat di

Gunung Burangrang, Sanggabuana,

Pegunungan Parang, Pasir Kutangandak di Kecamatan Wanayasa dan Pasir Madang di

Kecamatan Campaka. Zona air tanah

merupakan zona air tanah sedang sampai dangkal, terdapat di wilayah Sungai Cikao Kecamatan Purwakarta, Plered dan Campaka, serta zona air tanah dalam terdapat di wilayah Kecamatan Darangdan dan Wanayasa. Zona air permukaan berupa air sungai dan air genangan. Sungai terbesar yang terdapat di Kabupaten Purwakarta adalah sungai Citarum dan Sungai kecil meliputi Sungai Cikao, Sungai Ciherang dan Sungai Cilamaya. Air

genangan yang tedapat di Kabupaten

Purwakarta adalah Waduk Ir. H. Juanda dan sebagian Waduk Cirata. Kabupaten Bekasi memiliki Topografi terbagi atas dua bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian

wilayah bagian utara dan dataran

bergelombang di wilayah bagian

selatan.Ketinggian lokasi antara 6 - 115 meter dan kemiringan 0 - 25 %.

4.2 Pengolahan Awal Data Citra PALSAR ALOS

Data awal citra PALSAR ALOS diolah menggunakan software Polsar Pro 4.0

menghasilkan keluaran citra hamburan

(scattering) 11, 12, 21, 22 dengan format BIN. Citra 11, 12, 21, 22 menunjukkan jenis polarisasi yaitu 1 untuk H (horizontal) dan 2 untuk V (vertikal). Citra hamburan dapat terlihat pada lampiran 4 dan 5. Selain citra hamburan, hasil keluaran dari Polsar pro juga terdapat citra PauliRGB atau citra sebenarnya berformat bmp. Citra hamburan digunakan lebih lanjut dalam proses estimasi kelembaban tanah. Citra PauliRGB yang belum terkoreksi dan telah terkoreksi secara geometrik dapat terlihat pada lampiran 1, 2, dan 3.

Citra PALSAR ALOS yang digunakan untuk dikoreksi geometrik adalah citra sebenarnya (pauliRGB) dan citra hamburan. Nilai RMS yang dihasilkan berada dibawah

nilai 0.5 sehingga tingkat keakuratan

hubungan antara titik GCP pada citra yang belum terkoreksi dengan citra yang terkoreksi sangat tinggi. Oleh karena itu, koreksi citra cukup layak untuk dilakukan lebih lanjut. Citra yang belum dan sudah terkoreksi dapat

Gambar

Gambar  1  Satelit  ALOS  (Sumber  :http://www.eorc.jaxa.jp/)
Gambar 2 Sensor AVNIR-2 (Sumber : http: //
Gambar  3  Sensor  PALSAR  (Sumber  :http://www.csrsr.ncu.edu.tw)
Gambar 4 Diagram Alir Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen didalam modal secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yang digunakan

Dengan melihat kebijakan kepemilikan asing yang meluas dan dikawatirkan mem- bahayakan perbankan nasional, maka Bank Indonesia pada tahap berikutnya menerbitkan kebijakan

Produsen tersebut akan melakukan bisnis dengan menjual dan memasarkan produk mereka kepada konsumen tanpa ada umpan balik dari pelanggan untuk melakukan bisnis kembali ke

Bahwa Termohon telah benar dalam hal melakukan penghitungan suara dan menetapkan perolehan suara di tingkat Nasional sebagaimana Keputusan Komisi Pemilihan Umum

b) membatasi jam operasional restoran atau tempat makan yang mulai dibuka pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB, serta tidak menyediakan layanan

Penulisan ini akan membahas proses pencarian kata kunci visual sebagai tahapan awal perancangan instalasi novel ‘Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi’ yang mengisahkan

7// saben ari aneng sirah mami/ pasthine yen apa apa sira/ tan lunga neng gundhul kene/ sang ywanjana angguyu (51)/ sang Sogelen arsa guyu jrih/ esemi pinekan Mail gya turipun/

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sikap pedagang tentang penggunaan bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin di pasar