SERAT ISMAIL DAN JAKA MAIL:
SUATU PERBANDINGAN TEKS
Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora
Oleh:
NOPIANTI
0704020229
PROGRAM STUDI JAWA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2008
SERAT ISMAIL DAN JAKA MAIL:
SUATU PERBANDINGAN TEKS
SKRIPSI
Oleh:
NOPIANTI
0704020229
PROGRAM STUDI JAWA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2008
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya seiring terselesaikannya skripsi ini.
Betapa daya dan usaha tiada guna bila tanpa izin-Nya dan kehendak-Nya. Skripsi
yang berjudul Serat Ismail dan Jaka Mail: Suatu Perbandingan Teks ini adalah
untuk melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan guna mencapai gelar
Sarjana Humaniora pada Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
Berbagai hambatan, keterbatasan dan kemampuan penulis menyebabkan
penulis sering menemukan kesulitan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan juga. Oleh karena itu, pada kesempatan
yang berbahagia ini dengan keikhlasan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Murni Widyastuti, M.Hum., selaku dosen pembimbing filologi yang
selaku membina, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menyusun
skripsi ini. “Maaf ya bu, kalau janjian ndak pernah pas waktunya.”
2. Amyrna Leandra Saleh, M.Hum., selaku dosen pembimbing sastra yang
dengan teliti dan sabar membina penulis dalam menyusun skripsi ini.
“Makasi bu bantuan penyusunan kalimatnya.”
3. Darmoko, M.Hum., selaku Koordinator Program Studi Jawa, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
4. Nanny Sri Lestari, M.Hum., dan Dyah Widjayanti, M.Hum., selaku
penasihat akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis
mengikuti pendidikan di Universitas Indonesia.
5. Dr. Bambang Wibawarta, selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia.
6. Dr. Titik Pudjiastuti, selaku ketua sidang dalam pelaksanaan pengujian
skripsi. “Makasi bu atas saran dan kritik yang diberikan.”
7. Novika Stri Wrihatmi, M.Hum., selaku panitera dalam pelaksanaan
pengujian skripsi. “Makasi untuk semuanya ya Teh Novi, hehehe”
8. Munawar Holil, M.Hum., selaku pembaca dalam pelaksaan pengujian
skripsi. “Maaf Kang Mumu, merepotkan harus membaca tugas akhir
Opie.”
9. Ibu dan bapak dosen pengajar Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Berkat mereka, penulis
semakin bertambah wawasan dan memahami studi Jawa.
10. Keluarga tercinta, Mamah, Bapak, Teh Neneng, Teh Yuyun, ade yang
gendut, Wanti atas doa dan semua bantuannya yang tak terhingga. “Mah,
akhirnya Opie lulus juga.”
11. Resta Agung Susilo, atas bantuan jasa dan peminjaman sarana
elektroniknya. “Makasi ndol, bantuannya, hehehe”
12. Seluruh teman-teman angkatan 2004: Exa, Tia, Dipi, Vivi, Siwi, Agnes,
Tika, Rini, Astri, Shinta, Feny, Ajie, Oscar, Singgih, Rizki, Yudi, Jc,
Bayu, Otien, Eko, dan Pino. Teman-teman satu peminatan filologi Mba
Nur, Ari dan Icha. “Ayo berjuang, kapan kalian menyusul daku? hehehe”.
Untuk Joko, “thanx buat saran dan kritknya di detik-detik terakhir.”
13. Staf Perpustakaan Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
khususnya Mas Rusdi, Mas Hari.
14. Seluruh teman-teman angkatan 2004 program studi lain.
Semoga mereka tercatat sebagai pembawa amal shaleh yang tak pernah
putus. Robbana slamatan fidduniah wal akhiroh, amin ya robbal alamin.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini baru merupakan kulit luarnya
saja, belum menyentuh kepada isinya apalagi akarnya. Oleh karena itu, hadirnya
saran dan kritik sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi para pembaca.
Depok, Juli 2008
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
i
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB
1
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan
Masalah
5
1.3 Tujuan
Penelitian
5
1.4 Metodologi
Penelitian
5
1.5 Sistematika
Penulisan
6
BAB
2
KHAZANAH
NASKAH
7
2.1
Inventarisasi
Naskah
7
2.2
Deskripsi
Naskah
8
2.2.1 Naskah A (Serat Ismail)
8
2.2.2 Naskah B (Jaka Mail)
13
BAB III PERBANDINGAN TEKS
20
3.1 Perbandingan Tembang
20
3.2 Perbandingan Cariyos
24
3.2.1
Alur
24
3.2.2
Tokoh
54
BAB IV SIMPULAN
64
DAFTAR
PUSTAKA 67
LAMPIRAN
Ringkasan Cerita
Ringkasan
cerita
Serat Ismail
Ringkasan
cerita
Jaka Mail
Alih Aksara
Alih
aksara
Serat Ismail
Alih
aksara
Jaka Mail
ABSTRAK
Nopianti. Serat Ismail dan Jaka Mail: Suatu Perbandingan Teks, di bawah
bimbingan Murni Widyastuti, M.Hum., dan Amyrna Leandra Saleh, M.Hum.
Skripsi. Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Penelitian ini membahas perbandingan dua teks, yaitu Serat Ismail dan
Jaka Mail. Perbandingan teks ini difokuskan pada alur cerita dan tokoh dari kedua
naskah. Permasalahan dari penelitian ini melihat persamaan dan perbedaan teks
yang difokuskan pada alur dan tokoh yang dihadirkan kedua teks tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dalam penyajian peritiwa
penting dan perbedaan dalam penyajian detail-detail peristiwa dari kedua teks.
Dari hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan kedua penulis menyalin
dari sumber yang berbeda. Namun secara keseluruhan, alur utama, tokoh utama
serta beberapa tokoh bawahan yang dihadirkan sama.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masyarakat Jawa telah mengenal budaya bersusastra melalui tulisan yang
tertuang dalam bentuk naskah sejak abad IX
1. Berkaitan dengan tulisan dalam
bentuk naskah, Saputra (t.t.: 1--2) mengemukakan bahwa naskah dalam
pengertian pengkajian sastra lama berarti tulisan tangan di atas
lembaran-lembaran alas tulis setempat, seperti lontar dan dluwang dengan bahasa dan aksara
setempat, sementara teks adalah isinya. Adapun menurut Robson (1994: 1) naskah
adalah kesusastraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan yang dipergunakan
untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting.
Menurut Baried dkk. (1985: 55) naskah adalah semua bahan tulisan tangan
yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya
masa lampau. Dapat dikatakan naskah adalah benda konkret yang dapat dilihat
dan dipegang. Teks yang ditulis dalam bentuk naskah sangat beragam isinya,
antara lain religi, sejarah, ilmu pengetahuan, kemanusiaan, kesenian,
undang-undang, foklor, adat istiadat dan susastra.
2Teks naskah dalam khazanah kesusastraan, khususnya Jawa, dapat dibagi
dalam periode-periode. Menurut Pigeaud (1967) kesusastraan Jawa dapat dibagi
dalam 4 periode, yaitu (1) periode sebelum Islam, dimulai sekitar tahun 900-1500
1
.Zoetmulder (1985: 21). Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
2
Pigeaud (1967: 2). Literature of Java Volume. I. Sinopsis of Javanese Literature. Leiden: The
M. Pada masa ini disebut juga masa Jawa Kuno. Umumnya naskah-naskah ini
ditulis di Jawa Timur, di wilayah sekitar Sungai Brantas. (2) periode Jawa-Bali,
periode ini sekitar tahun 1500 M. Sejak abad XIII bahkan lebih tua, karya-karya
Bali mendapatkan pengaruh dari Jawa Timur. Di kerajaan Bali Selatan, pada masa
pemerintahan raja Gelgel dan Klungkung abad XVI dan XVII kesusastraan Jawa
Kuno berkembang menjadi Jawa-Bali dengan karakteristik sendiri. (3) periode
selanjutnya yaitu era Jawa Pesisir, sekitar tahun 1500 M, masa ini hadir pada
pertengahan masa Jawa-Bali. Pada abad XV dan XVI Islam mulai masuk di Pulau
Jawa, sehingga sangat mempengaruhi karya-karya kesusastraan Jawa pada masa
itu. Teks-teks pada era Jawa Pesisir, umumnya ditulis di daerah Jawa Timur, dan
Madura tepatnya di pesantren-pesantren atau kalangan muslim. Terdapat tiga
pusat penulisan masa Jawa Pesisir yaitu Surabaya (Gresik), Demak (Jepara), dan
Cirebon (Banten). Sejak masuknya Islam memberikan pengaruh yang kuat pada
karya-karya di Jawa. (4) periode yang terakhir yaitu era kebangkitan Jawa klasik
sekitar abad VIII dan IX. Pada masa ini kebudayaan berpusat di Surakarta dan
Yogyakarta.
Selain itu pada masa Jawa baru atau masa di mana adanya pengaruh Islam,
terdapat kisah-kisah yang dapat digolongkan ke dalam genre roman. Menurut
Pigeaud (1967: 212), diperkirakan di daerah Pesisir Pantai Utara pulau Jawa
berkembang roman-roman bernafaskan Islam, yaitu sekitar abad XV dan XVI
bersamaan dengan Islam masuk ke Pulau Jawa. Diperkirakan pada masa-masa
tersebut penulis Jawa menggubah cerita atau menyalin kembali cerita–cerita Islam
ke dalam kesusastraan Jawa. Diperkirakan cerita–cerita Islam tersebut masuk ke
dalam khazanah kesusastraan Jawa melalui kesusastraan Melayu atau langsung
dibawa oleh para pedagang Islam ke Pulau Jawa.
Cerita-cerita yang bernafaskan Islam yang populer di masyarakat Jawa,
antara lain Serat Menak, Ambiya/Anbiya dan Johar Manik. Dalam Literature of
Java (1967: 213) Pigeaud mengemukakan bahwa Serat Menak diperkirakan telah
dikenal di Jawa pada abad XVII. Serat Menak merupakan hasil karya sastra Jawa
yang muncul pada masa masuknya pengaruh Islam ke Jawa.
Menurut Pigeaud (1967: 220) cerita Johar Manik (Jowhar
Manikam-Melayu) adalah roman yang sangat populer di Jawa. Pada tahun 1886, cerita
Johar Manik telah diterbitkan di Semarang. Cerita Johar Manik dalam
kesusastraan Jawa diperkirakan ditulis di daerah Pesisir Timur, yaitu Gresik dan
Madura.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, di samping Serat Menak dan Johar
Manik terdapat sebuah cerita lagi yang juga cukup populer dalam khazanah
kesusastraan Jawa, yaitu Serat Anbiya atau Serat Ambiya. Penyebutan nama Serat
Anbiya atau Ambiya dalam kesusastraan Jawa berasal dari Melayu lama yaitu An
Nabiya yang kemudian disesuaikan dengan pelafalan Jawa menjadi Anbiya atau
lebih sering disebut sebagai Ambiya
3.
Serat Anbiya merupakan kumpulan cerita–cerita atau urutan para nabi,
buku para nabi atau biasa disebut pula dengan Tapel Adam. Serat Anbiya
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kisasu L-Anbiya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
menceritakan para nabi mulai dari Nabi Adam a.s. sampai Nabi Muhammad
SAW, hingga Wali Sanga.
Dari ketiga cerita Islam yang populer tersebut, Serat Menak dan Johar
Manik dapat digolongkan dalam satu jenis (genre) kesusastraan yaitu roman
(Islam). Sementara menurut Pigeaud (1967: 217) Serat Anbiya tidak termasuk
dalam genre yang sama dengan Serat Manik dan Johar Manik. Serat Anbiya
termasuk dalam genre sejarah. Bila dilihat dari pola ceritanya, memang Serat
Menak dan Johar Manik dapat dikatakan memiliki pola cerita yang kurang lebih
sama yaitu menceritakan seorang putra kerajaan yang berkelana dan dalam
pengelanaannya bertemu dengan para wanita dan akhirnya menjadi seorang raja.
Dalam penelitian ini diteliti naskah Jawa, yaitu Serat Ismail dan Jaka
Mail.
4Kedua cerita tersebut merupakan cerita bernafaskan Islam yang terdapat
dalam khazanah kesusatraan Jawa. Cerita ini dapat digolongkan ke dalam pola
seperti Serat Menak dan Johar Manik. Serat Ismail dan Jaka Mail mengisahkan
tentang seorang laki-laki (Mail) yang mengembara, dalam pengembaraannya ia
bertemu dengan sejumlah wanita dan akhirnya menjadi seorang raja.
Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan, ditemukan naskah dengan
cerita mengenai tokoh Mail sebanyak dua naskah. Dua naskah tersebut merupakan
Koleksi Perpustakaan Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tetapi
dengan judul yang berbeda yaitu Serat Ismail dan Jaka Mail. Kedua naskah
tersebut ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa dalam bentuk macapat
5.
4
Tokoh utama dalam Serat Ismail dan Jaka Mail tidak sama dengan tokoh Nabi Ismail a.s. putra Nabi Ibrahim a.s.
5
Saputra (2001: 12). Macapat adalah suatu bentuk puisi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu.
Penelitian filologis yang dilakukan terhadap kedua naskah ini, yaitu Serat
Ismail dan Jaka Mail, mengacu pada langkah kerja filologi yaitu tahap
perbandingan. Pada penelitian ini berfokus pada perbandingan teks yang dilihat
dari segi tokoh dan alur cerita.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Serat Ismail dan Jaka Mail adalah dua naskah yang mengandung teks
yang berkenaan dengan tokoh Mail. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan teks
yang disajikan dalam kedua naskah?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah menyajikan hasil perbandingan teks sehingga
dapat dilihat perbedaan dan persamaan yang muncul dalam Serat Ismail maupun
Jaka Mail.
1.4 METODOLOGI PENELITIAN
Menurut Baried (1985: 67) untuk meneliti suatu naskah, langkah yang harus
dilakukan, yaitu pengumpulan (inventarisasi) dan mencatat naskah dan teks
cetakan yang berjudul sama atau berisi cerita yang sama. Apabila teks terdapat
dalam jumlah yang banyak, maka perlu dilakukan perbandingan.
Tahap inventarisari dan deskripsi dapat menunjukan apakah objek penelitian
merupakan objek tunggal atau jamak. Objek tunggal tidak memerlukan lagi tahap
perbandingan naskah, sedangkan objek jamak memerlukan perbandingan guna
melihat sifat teks yang meliputi varian dan versi korpus teks yang menjadi objek
penelitian.
Berdasarkan langkah kerja filologi tersebut maka penelitian ini melakukan
perbandingan naskah dan perbandingan teks
6. Kriteria yang diperbandingkan
dalam penelitian ini mengacu pada Behrend (1995) meliputi tembang dan cariyos,
atau aspek puisi dan narasi. Dalam penelitian ini hal yang diperbandingkan
difokuskan pada tokoh dan alur peristiwa. Dalam aspek tembang dilihat pola
tembang yang membingkai jalan cerita, sedangkan unsur alur dan tokoh yang
berperan dalam cerita dibandingkan dalam cariyos. Adapun Panuti Sudjiman
dalam bukunya memahami cerita rekaan digunakan dalam penelitian tokoh dan
alur cerita yang diperbandingkan.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika yang disajikan terbagi dalam empat bab. Bab I Pendahuluan
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan. Bab II Khazanah Naskah berisi inventarisasi naskah
dan deskripsi naskah. Bab III berisi Perbandingan Teks, sedangkan Bab IV berisi
Simpulan dari penelitian ini. Disertai pula lampiran yang berisi ringkasan cerita
dan alih aksara dari kedua teks.
6
Menurut Nabilah Lubis (2001: 76--77) perbandingan teks adalah proses mengolah teks yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bacaan di antara masing-masing naskah yang diperbandingkan. Perbandingan naskah adalah proses mengolah naskah yang dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan secara fisik naskah yang diperbandingkan. Ciri fisik naskah seperti hal-hal yang diutarakan dalam deskripsi naskah.
BAB 2
KHAZANAH NASKAH
2. 1 Inventarisasi Naskah
Menurut Baried (1985: 67) langkah pertama dalam penelitian naskah
adalah inventarisasi naskah. Dalam langkah ini yang harus dilakukan adalah
mencatat naskah dan teks cetakan yang berjudul sama atau berisi cerita yang
sama, yang memuat dalam katalogus di berbagai perpustakaan dan koleksi-koleksi
pribadi.
Inventarisasi naskah Serat Ismail yang berada di dalam negeri ditelusuri
dengan mempergunakan Katalog Sonobudoyo (1990), Katalog Surakarta (1993),
Katalog Mangkunegara (1994), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, jilid
3A-B, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1997), Katalog Perpustakaan
Nasional (PNRI) (1998), dan Katalog Pakualaman (2005), sedangkan
inventarisasi naskah Serat Ismail yang berada di luar negeri dengan
mempergunakan katalog naskah Literature of Java (1967).
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, naskah Serat Ismail yang
memiliki kemiripan cerita ada dua naskah, yaitu Serat Ismail dan Jaka Mail.
Keduanya merupakan koleksi Perpustakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
2.2 Deskripsi Naskah
Tahap deskripsi naskah bertujuan untuk memberikan gambaran rinci
kepada pembaca tentang keadaan fisik naskah dan hal-hal lain yang penting
diketahui sehubungan dengan naskah yang menjadi objek penelitian. Tahap ini
terlebih dahulu diawali dengan inventarisasi naskah yang akan diteliti. Proses
penginventarisasian naskah ditelusuri melalui sejumlah katalog.
Deskripsi naskah yang dilakukan terhadap kedua naskah tersebut,
ditekankan pada unsur-unsur yang sama, yaitu bahan, umur, tempat penyalinan,
dan perkiraan penulisan naskah. Deskripsi bahan naskah meliputi sampul, alas
tulis, dan jilid. Perkiraan umur naskah, tempat penulisan dan waktu penulisan
naskah dilihat melalui cap kertas, manggala, kolofon, dan catatan-catatan yang
ada pada naskah. Bahasa, aksara, pada, pupuh, koreksi, rubrikasi, iluminasi, dan
ilustrasi juga dideskripsikan. Keterangan tempat penyimpanan, nomor, judul, dan
keterangan lain mengenai naskah disertakan pula pada bagian ini.
Berikut deskripsi naskah-naskah tersebut:
2.2.1 Naskah A (Serat Ismail)
Naskah A, Serat Ismail dengan nomor naskah NR Thp (Hs Thp) 280,
merupakan koleksi Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia. Berdasarkan katalog naskah Serat Ismail merupakan bagian dari cerita
Islam (CI). Jumlah teks pada naskah Serat Ismail ada tiga, yaitu a) Serat Ismail, b)
penjelasan mengenai 20 sifat yang dimiliki oleh Allah SWT dalam ajaran agama
Islam, dan c) urut–urutan nama putra Paku Buwana III. Adapun Serat Ismail
(selanjutnya disingkat dengan SI) ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara
Jawa yang disajikan dalam bentuk macapat. Dalam naskah ini tidak terdapat
tanggal awal dan akhir penulisan maupun penyalinannya, begitu pula dengan
nama penulis atau penyalinnya.
Ukuran naskah SI adalah panjang naskah 21,8 cm dan lebar naskah 33,7
cm. Ukuran isi
7naskah dengan panjang isi 17,1 cm sedangkan lebar isi naskah 28
cm. Naskah SI ditulis di atas kertas folio bergaris dengan tinta berwarna hitam.
Penulisan teks dilakukan pada tiap halaman kertas. Pada beberapa bagian halaman
teks terdapat beberapa tulisan yang agak sulit dibaca. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh tinta yang dipergunakan di beberapa halaman menembus dari
halaman satu ke halaman lainnya (mlobor). Penomoran di tengah halaman pada
naskah ini tidak teratur, seperti pada halaman 51 hingga akhir. Awal penulisan
nomor mengulang pada angka 41, tetapi nomor halaman telah diperbaiki dan
diurutkan mengikuti nomor sebelumnya.
Jika melihat keadaan fisik naskah ini dapat dikatakan bahwa kondisi naskah
cukup baik, hanya saja ada beberapa kertas yang berlubang–lubang kecil, seperti
pada bagian bawah halaman naskah. SI terdiri dari 107 halaman, tiap halaman
terdiri dari 35–37 baris, tetapi pada halaman 102 hanya 29 baris. Penulisan
halaman dilakukan secara konsisten, diletakkan pada bagian tengah atas halaman.
Isi cerita mengenai Ismail/Mail dalam naskah ini hanya sampai pada halaman 102,
halaman selanjutnya sudah masuk ke teks yang lain, yaitu keterangan 20 sifat
Allah SWT dalam agama Islam pada halaman 103-105. Teks terakhir mengenai
urut–urutan putra Paku Buwana III pada halaman 106. Pada naskah SI terdapat 3
7
lembar akhir yang tidak ditulisi teks. Dalam naskah ini, pada bagian awal dan
akhir naskah terdapat 2 lembar kertas pelindung
8.
Teks SI ini terdiri dari 54 pupuh yang disajikan dalam bentuk macapat,
setiap pergantian pupuh hanya diberi tanda
dan masih
dalam 1 baris dengan kalimat sebelumnya. Pada pergantian pupuh diberi tinta
berwarna merah.
Daftar pupuh SI adalah sebagai berikut:
No PUPUH
No PUPUH
1 Sinom
2 Dhandhanggula
3 Gambuh
4 Asmarandana
5 Pangkur
6 Mijil
7 Kinanthi
8 Mas
Kumambang
9 Pucung
10
Mijil
11 Pangkur
12 Sinom
13 Dhandhanggula
14 Asmarandana
15 Durma
16 Mas
Kumambang
17 Mijil
18 Sinom
19 Dhandhanggula
20 Asmarandana
21 Megatruh
22 Sinom
23 Asmarandana
24 Kinanthi
25 Pangkur
26 Sinom
8
Kertas pelindung adalah kertas pembatas antara cover dengan isi. Biasanya 1 lembar pada bagian awal dan 1 lembar pada bagian akhir.
27 Durma
28 Pangkur
29 Dhandhanggula
30 Sinom
31 Asmarandana
32 Mijil
33 Sinom
34 Dhandhanggula
35 Asmarandana
36 Sinom
37 Kinanthi
38 Megatruh
39 Mijil
40 Pangkur
41 Dhandhanggula
42 Sinom
43 Mijil
44 Asmarandana
45 Pucung
46 Pangkur
47 Sinom
48 Mijil
49 Sinom
50 Pangkur
51 Dhandhanggula
52 Asmarandana
53 Sinom
54 Dhandhanggula
Naskah SI menggunakan aksara Jawa. Naskah ini ditulis oleh satu orang,
karena dilihat dari jenis tulisan yang sama dari awal hingga akhir teks. Jenis
tulisan dalam naskah ini termasuk dalam jenis tulisan kursif
9. Dilihat dari ciri–ciri
tulisan dalam naskah ini, agak sulit untuk menentukan kursif lama/kecil atau
kursif baru, karena dapat dikatakan tulisan Jawa cetakan yang secara tegas dapat
9
Pudjiastuti. (2006: 17). Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
Jenis tulisan kursif atau miring, seperti ciri suku, bentuknya runcing dan panjang ke bawah. Cakra, naik dengan gerakan membentuk bulatan setinggi aksaranya.
membedakannya
10. Berdasarkan pepet, suku dan cakra dalam naskah SI jenis
tulisannya dapat digolongkan dalam bentuk kursif.
Dalam naskah ini juga terdapat rubrikasi. Menurut Rujiati (1994: 69)
rubrikasi adalah pewarnaan dengan tinta merah pada kata atau kalimat yang
dianggap penting. Dalam naskah SI kata–kata yang diberikan tinta merah terdapat
pada kata Allah SWT, yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab.
Seperti pada contoh potongan teks berikut:
Penjilidan pada naskah ini dengan menggunakan bahan sampul (cover)
kertas tebal (karton) berwarna coklat. Sampul naskah yang dipergunakan SI rapi.
Naskah ini terdiri dari 4 kuras
11, tetapi pada setiap kuras jumlah kertasnya tidak
sama, kuras pertama 5 lembar kertas folio, kuras kedua 10 lembar dan kuras
ketiga dan keempat terdiri dari 8 lembar kertas folio.
Pada kertas pelindung lembar pertama naskah SI posisi di pojok kanan atas
terdapat tulisan:
Uittreksel Mandrasatra
10
Molen. (hlm. 69). Huruf cetakan Jawa. Perbedaannya dapat dilihat dari bentuknya. Ciri kursif lama/kecil adalah bentuk kursif, ukuran kecil, tanda suku tidak membelok ke bawah, pepet berbentuk bulat yang besar dan terbuka, dan cakra tidak melewati aksara. Adapun ciri-ciri kursif baru adalah ukuran besar dan tebal, pepet berbentuk bulat panjang bukan bulan purnama, cakra lebih besar dan berakhir tepat di atas tinggi aksara.
11
Pudjiastuti. (2006: 14). Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
Kuras istilah untuk menyebut sejumlah lembar kertas yang dilipat dua dan dijahit tengahnya dengan benang. Bentuknya seperti buku dan dapat menyatakan jumlah halaman.
Arti dari tulisan tersebut adalah diringkas oleh Mandrasastra. Pada bagian
pojok kiri atas, bertuliskan kode naskah SI.
Hs. ThP. No. 280
Kode naskah ini sesuai dengan kode naskah yang terdapat dalam Katalog
Induk Naskah Nusantara Fakultas Sastra jilid 3A. Di lembar pertama kertas
pelindung naskah SI, pada bagian tengah terdapat tulisan dengan menggunakan
aksara latin:
Serat
Ismail
Surakarta Jan’35
R. M. Admo Sutirto
Seluruh tulisan pada lembar kertas pelindung dengan menggunakan aksara
latin. Naskah SI juga sudah dibuat dalam bentuk mikrofilm dengan nomor
Rol.117.03.
2.2.2 Naskah B (Jaka Mail)
Naskah B dengan nomor naskah NR Thp (Hs Thp) 286, Jaka Mail,
merupakan koleksi Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia. Berdasarkan katalog naskah Jaka Mail merupakan bagian dari cerita
Islam (CI). Teks dalam naskah Jaka Mail (selanjutnya disingkat dengan JM)
hanya satu, naskah ini menggunakan bahasa dan aksara Jawa yang disajikan
dalam bentuk macapat.
Dalam naskah ini terdapat sengkalan yang terdapat pada halaman terakhir
naskah.
sinengkalan candra muka jalma manembah
//atur uninga dhateng para maos/ punika srat cariyos Jaka Mail/ babon
asal saking Ngayoja/ kagunganipun Masbehi/ Mangun Seduta/ rehning wau serat
Jaka Mail sampun rangsak sarta kathah ingkang ical/ kamulyakaken sarta
kaanggit/ dening Raden Mas Puspasudirja/ saweg cobi-cobi nganggit serat bilih
awon/ utawi sae naming nyumanggak kaki dhateng ingkang maos//
“sengkala candra muka jalma manembah
ditujukan untuk para pembaca/ ini serat cerita Jaka Mail/ induk asal dari
Yogja/ kepunyaan Masbehi/ Mangun Seduta/ yang tadi serat Jaka Mail sudah
rusak serta banyak yang hilang/ memuliakan serta dikarang/ oleh Raden Mas
Puspasudirja/ sedang mencoba-coba mengarang serat kalau jelek/ atau baik hanya
menyerahkan kepada yang membaca”
Diperkirakan tanggal akhir penyalinannya, berupa kalimat candra muka
jalma manembah dalam angka tahun sama dengan tahun 1111. Diperkirakan
dalam tahun masehi sama dengan tahun 1189 M
12. Menurut kolofon, naskah ini
merupakan milik Masbehi Mangun Seduta dan disalin oleh Raden Mas
Puspasudirja. Adapun tempat penyalinannya tidak disebutkan. Pada halaman
terakhir naskah JM, Raden Mas Puspasudirja menyebutkan bahwa ia menyalin
dari naskah babon yang berasal dari Yogyakarta.
Ukuran naskah JM dengan panjang naskah 21,1 cm dan lebar naskah 17,5
cm. Dengan memiliki ukuran isi naskah 11,5 cm sedangkan lebar isi naskah 9,5
cm. Tinggi punggung naskah ini 2,8 cm. Naskah ini menggunakan kertas HVS
12
Resowidjojo. (1987: 78). Almanak Gampang 1900-2000. Jakarta: Balai Pustaka. Dalam hitungan tahun saka menjadi tahun masehi, angka tahun saka ditambah 78 atau 79.
dengan tinta berwarna hitam, tetapi karena sudah terlalu lama agak terlihat seperti
berwarna cokelat. Aksara dituliskan pada tiap halaman kertas (bolak–balik)
walaupun demikian tulisan masih dapat terbaca, karena kertas yang dipergunakan
cukup tebal. Halaman terakhir pada naskah ini oleh penulis dibuat membentuk
kerucut terbalik.
Keadaan fisik naskah ini dapat dikatakan baik, hanya saja ada beberapa
kertas yang berlubang–lubang kecil. Pada data katalog, naskah JM terdiri dari 348
halaman, tiap halaman terdiri dari 19 baris. Penulisan halaman dilakukan secara
konsisten, diletakkan pada bagian tengah atas halaman dengan menggunakan
aksara Jawa. Berdasarkan hasil penelitian, halaman pada naskah JM tidak runtut,
terbukti dari halaman 51 diteruskan dengan halaman 53, 85 diteruskan dengan
halaman 96, halaman 88, 89 dan 235 diulang dua kali. Dapat dikatakan halaman
naskah ini tidak berjumlah 348, tetapi 339 halaman. Halaman pada naskah JM
dimulai pada halaman 2. Dalam naskah ini, awal dan akhir bagian naskah terdapat
2 lembar kertas pelindung.
Naskah ini terdiri dari 35 pupuh yang disajikan dalam bentuk macapat,
setiap pergantian pupuh hanya diberi tanda
dan masih
dalam 1 baris dengan kalimat sebelumnya.
Daftar pupuh JM adalah sebagai berikut:
No Pupuh No
Pupuh
1. Asmarandana
2. Sinom
3. Megatruh
4. Dhandhanggula
7. Durma
8. Pucung
9. Sinom
10.
Mijil
11. Mas
Kumambang
12.
Kinanthi
13. Dhandhanggula
14.
Blabak
15. Dhandhanggula
16.
Sinom
17. Dhandhanggula
18.
Wirangrong
19. Dhandhanggula
20.
Asmarandana
21. Mijil
22.
Sinom
23. Megatruh
24.
Gambuh
25. Dhandhanggula
26.
Mijil
27. Kinanthi
28.
Sinom
29. Pucung
30.
Blabak
31. Wirangrong
32.
Girisa
33. Dhandhanggula
34.
Swaladara
35. Basonta
Naskah JM menggunakan aksara Jawa. Naskah ini ditulis oleh satu orang,
karena dilihat dari jenis tulisan yang sama dari awal hingga akhir teks. Jenis
tulisan dalam naskah ini termasuk dalam jenis tulisan kursif tetapi agak bulat.
Dalam naskah ini tidak terdapat rubrikasi. Teks dalam naskah ini dimulai pada
halaman 2, pada halaman ini terdapat wadana, yang terdiri dari 2 pada.
Penjilidan pada naskah ini dengan menggunakan bahan sampul (cover)
kertas tebal (karton) berwarna coklat tua. Sampul naskah yang dipergunakan JM
masih terbilang rapi, walaupun beberapa halaman belakang sudah terlepas dari
sampulnya. Pada kertas pelindung lembar pertama naskah JM, pada bagian kanan
atas terdapat tulisan dengan menggunakan pensil dan menggunakan aksara Latin.
Berupa kode naskah JM, seperti berikut ini:
ThP. 286
Pada bagian kertas pelindung lembar kedua, di pojok kanan atas terdapat
tulisan berupa:
Gekocht Yogyakarta
Mei 1935
Uittreksel Mandrasastra
Sept’35
ook woorden
Maksud dari kalimat di atas naskah ini dibeli di Yogyakarta pada bulan
Mei tahun 1935. Naskah ini oleh Mandrasastra telah dibuat ringkasannya.
Pada lembar kertas pelindung yang sama, di pojok kiri atas terdapat kode
naskah JM.
Hs ThP NR
No. 286
Kode naskah ini sesuai dengan kode naskah yang terdapat pada Katalog
Induk Naskah Nusantara Fakultas Sastra jilid 3A. Pada bagian tengah halaman
yang sama terdapat tulisan beraksara Jawa:
“punika sěrat cariyosipun Jaka Mail, kaanggit děning Raden Mas
Puspasudirja“
Artinya dari kalimat di atas adalah serat ini ceritanya Jaka Mail, dikarang
oleh Raden Mas Puspasudirja. Naskah JM juga sudah dibuat dalam bentuk
mikrofilm dengan nomor Rol. 117.04.
Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan, maka dapat dilihat
masing-masing naskah SI dan JM, seperti jumlah halaman, jumlah pupuh, penanggalan
dan tulisan dari kedua naskah yang ada.
Berdasarkan wujud fisik naskah SI dan JM, naskah JM lebih tebal
dibandingkan dengan SI. Jumlah halaman JM sebanyak 339 halaman, sedangkan
jumlah halaman SI sebanyak 112 halaman. Walaupun demikian bila dilihat
jumlah pupuh dari kedua naskah ini, jumlah pupuh dalam naskah SI lebih banyak,
yaitu 54 pupuh, bila dibandingkan dengan JM 34 pupuh.
Informasi mengenai penanggalan hanya terdapat pada naskah JM. Pada
halaman belakang naskah JM disebutkan bahwa cerita ini merupakan salinan
Raden Mas Puspasudirja, dengan candra sengkala: candra muka jalma
manembah dalam tahun Jawa sama dengan tahun 1111
13. Disebutkan pula bahwa
naskah JM merupakan milik Masbehi Mangun Seduta.
Kesamaan antara kedua naskah ini adalah menggunakan aksara Jawa
dengan model tulisan kursif. Jika diteliti dari ciri–ciri tulisan, agak sulit untuk
menentukan kursif lama/kecil atau kursif baru, karena aksara kursif ditulis dengan
13
tangan, dan dapat dikatakan bahwa tulisan Jawa cetakanlah yang secara tegas
dapat membedakan jenis tulisan kursif lama/kecil atau kursif baru.
Contoh tulisan pada naskah SI:
Contoh tulisan pada naskah JM:
PERBANDINGAN TEKS
Perbandingan teks adalah proses mengolah teks yang dimaksudkan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan bacaan di antara masing-masing naskah
yang diperbandingkan. Dari perbedaan yang muncul, maka teks-teks tersebut
dikelompok-kelompokkan ke dalam versi dan varian.
Menurut Baried (1985: 66) teks dikatakan seversi apabila mengandung
pola cerita yang sama. Akan tetapi perbedaan hanya sebatas pemilihan kata, maka
hal tersebut dikatakan sevarian. Dalam penelitian ini penulis melakukan langkah
kerja filologi, berupa inventarisasi, deskripsi naskah dan memfokuskan pada kerja
perbandingan teks, karena kedua teks ini masing-masing memiliki keistimewaan
tersendiri khususnya pada narasi.
Kriteria yang diperbandingkan dalam penelitian ini mengacu pada
Behrend (1995) meliputi tembang dan cariyos, atau aspek puisi dan narasi. Dalam
aspek tembang dilihat pola tembang yang membingkai jalan cerita, sedangkan
unsur alur dan tokoh yang berperan dalam cerita dibandingkan dalam cariyos.
3.1 Perbandingan Tembang
Menurut Behrend (1984: 225) dalam usaha memilah-milah ke dalam
resensi, membandingkan garap ulang syair yang berkali-kali, metrumlah yang
ditelaah lebih dulu, karena apa pun penyimpangan yang membedakan satu resensi
dengan yang lain, metrumlah yang dapat didekati paling langsung dan paling
mudah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini metrum dihadirkan sebagai bahan
perbandingan.
Pada tabel perbandingan metrum dapat dilihat perbedaan dalam
pemakaian metrum untuk tiap-tiap teks. Teks A diawali dengan metrum sinom,
sedangkan teks B diawali dengan metrum asmarandana. Dilihat dari segi
ceritanya kedua teks ini dapat dikatakan sebagai teks pesisiran. Menurut Saputra
(2005: 83) naskah pesisiran adalah naskah yang ditulis di kawasan pantai (utara
Jawa). Saputra memberikan beberapa ciri naskah yang mengandung teks
pesisiran, antara lain (1) apabila disusun dengan prosodi macapat, kebanyakan
pupuh pertama bermetrum asmarandana
14, (2) teks yang diawali dengan teks
macapat diawali dengan mukadimah khas, berupa larik sun amiwiti amuji, anebut
namaning sukma atau sun amiwiti anulis, ing dina...., atau larik-larik yang
bermakna sama dengan larik-larik tersebut. (3) kolofon kebanyakan tidak
memberi keterangan titimangsa penulisan atau penyalinan secara lengkap.
Berikut tabel perbandingan metrum kedua teks:
Tabel 1. Perbandingan Metrum
Pupuh Teks A
Serat Ismail (SI)
Teks B Jaka Mail (JM) 1 Sinom Asmarandana 2 Dhandhanggula Sinom 3 Gambuh Megatruh
14
Suripan, (1984: 57). Berdasarkan tutur, metrum asmarandana diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri Kedaton. Ada dugaan bahwa metrum ini digunakan pada pupuh awal, terutama pada sastra Jawa Islam aliran Sunan Giri.
4 Asmarandana Dhandhanggula
5 Pangkur Pangkur
6 Mijil Gambuh
7 Kinanthi Durma
8 Mas Kumambang Pucung
9 Pucung Sinom
10 Mijil Mijil
11 Pangkur Mas kumambang
12 Sinom Kinanthi
13 Dhandhanggula Dhandhanggula
14 Asmarandana Blabak
15 Durma Dhandhanggula
16 Mas Kumambang Sinom
17 Mijil Dhandhanggula 18 Sinom Wirangrong 19 Dhandhanggula Dhandhanggula 20 Asmaradana Asmarandana 21 Megatruh Mijil 22 Sinom Sinom 23 Asmarandana Megatruh 24 Kinanthi Gambuh 25 Pangkur Dhandhanggula 26 Sinom Mijil 27 Durma Kinanthi
28 Pangkur Sinom 29 Dhandhanggula Pucung 30 Sinom Blabak 31 Asmarandana Wirangrong 32 Mijili Girisa 33 Sinom Dhandhanggula 34 Dhandhanggula Swaladara 35 Asmarandana Basonta 36 Sinom 37 Kinanthi 38 Megatruh 39 Pangkur 40 Pangkur 41 Dhandhanggula 42 Sinom 43 Mijil 44 Asmarandana 45 Pucung 46 Pangkur 47 Sinom 48 Mijil 49 Sinom 50 Pangkur 51 Dhandhanggula
52 Asmarandana
53 Sinom
54 Dhandhanggula
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah metrum yang
dipergunakan dalam teks A lebih banyak dibandingkan dengan teks B.
Berdasarkan kriteria yang telah disebutkan di atas, pada teks A pola tembang yang
dipergunakan tidak menunjukan ciri pesisiran, karena pupuh awal tidak
mempergunakan tembang asmarandana. Pada teks B pola tembang yang
dipergunakan sesuai dengan ciri pesisiran, pupuh awal menggunakan tembang
asmarandana.
3.2 Perbandingan Cariyos
Menurut Behrend (1995: 271) cariyos adalah unsur kisah atau alur dalam
sebuah cerita. Mengacu pula pada pernyataan Behrend (1995: 272), unsur narasi
(alur) yang berperan dalam cerita diperbandingkan dalam cariyos.
3.2.1 Alur
Menurut Sudjiman mengutip dari Marjorie Boulton (1984: 75), alur adalah
peristiwa yang diurutkan sehingga membangun tulang punggung cerita.
Menurut Luxemburg (1984: 150) peristiwa adalah peralihan dari keadaan
yang satu kepada keadaan yang lain. Luxemburg membagi 3 peristiwa, yaitu:
1. Peristiwa fungsional atau peristiwa penting adalah peristiwa-peristiwa
yang secara menentukan mempengaruhi perkembangan alur.
2. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang mengkaitkan
peristiwa-peristiwa penting.
3. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak langsung berpengaruh bagi
perkembangan sebuah alur, tidak turut menggerakan jalan cerita, tetapi
mengacu kepada unsur-unsur lain seperti bagaimana watak seseorang,
bagaimana suasana yang meliputi para pelaku dan sebagainya.
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan peristiwa-peristiwa, baik
peristiwa penting, kaitan maupun acuan dalam teks A dan teks B.
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, peristiwa penting
dalam alur teks A dan teks B mirip dengan Serat Menak dan Johar Manik yang
lebih populer, yaitu menceritakan tentang seorang putra kerajaan yang berkelana
dalam pengelanaannya ia bertemu dengan beberapa wanita dan akhirnya menjadi
seorang raja.
Tabel di bawah ini menunjukan gambaran tentang urutan peristiwa
tiap-tiap teks. Bagian yang memuat peristiwa penting yang sama dari kedua teks
ditandai dengan penomoran dan huruf yang dicetak tebal (bold). Nomor yang
sama dan huruf yang dicetak tebal, menujukan persamaan peristiwa penting dari
kedua teks. Sedangkan peristiwa kaitan dan acuan dihadirkan tanpa penomoran
dan tanpa huruf cetak tebal.
Berikut urutan peristiwa dan peristiwa penting dalam teks A dan teks B:
Tabel 2. Perbandingan Cariyos
No. Naskah A (Serat Ismail) No. Naskah B (Jaka Mail)
Menceritakan Prabu Abdul Jalal raja di Balsorah, Arab.
Menceritakan Kanjeng Nabi Suleman, seorang Raja di Mesir. Ia membuat undang-undang tidak boleh
ada yang menyakiti orang yang tak berdosa.
1. Prabu Abdul Jalal mempunyai
putra bernama Mail.
// mangkana wau kocapa/ Sri Dul Jalal narapati/ kang wonten sajroning pura/ ing wau nuju marengi / bakda salat ngaseri/ lenggah lan garwa myang sunu/ mungging emper paningrat/ putra nata mung sawiji/ priya bagus pidegsaa mawa cahya// (hlm. 1; pupuh 1: pada 6)
“demikian tadi perkataan/ Sri Dul Jalal narapati/ yang berada di dalam pura/ di hari yang bersamaan dengan/ bakda shalat asar/ duduk bersamaan dengan istri dan anak/ di pinggir teras istana/ putra raja hanya satu/ laki-laki yang tampan dan bercahaya.”
// ywanjana murti namanya/ peparap sisarip Mail/ sudibya prawireng yuda/ mandraguna sura sekti/ putusing elmu ais/ sabarang reh agalembut/ putusa ngajinira/ agamanira netepi/ rama ibu saklangkung ing putra// (hlm. 1; pupuh 1: pada 7)
“ywanjana murti namanya/ dengan panggilan Mail/ perwira perang yang luhur/ sakti dan mandraguna/ sudah selesai ilmu ais/ seluruhnya reh agalembut/ sudah selesai mengajinya/ meneguhkan agama/ ayah ibu sehingga sedemikian pada putranya.”
Menceritakan Jim Sakar dengan kedua putranya bernama Sakarji dan
2. Mail meminta izin untuk pergi berguru ke Desa Dadhapan bertemu dengan Pangulu Ki
Danajati
// Ki Pangulu gupuh angurmati/ tamunira pinĕthun ing latar/ ajawap asta kalihe/ sumangga anak bagus/ laju panjing empering masjid/ dungkap mahrip sembahyang/ dyan Mail lon matur/ rehning wanci wus meh telat/ sae sami lajeng ambil toyastuti/ pangulu nayubagya// (hlm. 3; pupuh 2: pada 1)
“Ki Pangulu menghormati/ tamunya yang berada di latar/ menyalami kedua tangannya/ silahkan anak yang tampan/ langsung di teras masjid/ menjelang shalat maghrib/ dyan Mail berbicara pelan/ waktunya sudah telat/ baiknya bersama-sama mengambil air wudhu/ pangulu mengiyakan”
Jim Sakar tidak terima dengan adanya undang-undang yang dibuat oleh Kanjeng Nabi Suleman, karena ia telah terbiasa memakan manusia.
3. Ki Pangulu menikahkan Mail
dengan anak R. Ripangi bernama Rara Pumi.
// dyan Ripangi ingkang ampil adil/ angrampungi prakara rukunan/ wiyosipun kula raden/ mila mba kusung-kusung/ atur surat bilih marengi/ yayi mas sakaliyan/ putranta sang ayu/ dereng darbe calon garwa/ kula suwun dhaup lan pulunan mami/ dyan Mail namanira// (hlm. 5; pupuh 2: pada 19)
“dyan Ripangi yang adil/ menyelesaikan masalah rukunan/ intinya saya raden/ jika saya berhubungan/ member surat bersamaan/ dengan yayi mas semua/ putra yang ayu/ belum punya calon suami/ saya meminta menikah dengan keponakan saya/ ia
Ia pergi ke hutan untuk mencari dan memakan manusia.
bernama Mail.”
4. Rara Pumi berselingkuh dengan
teman R. Ripangi.
// nanging sang dyah tan weruh/ kawenangan lalampahanipun/ sarip Mail gupuh denira manggihi/ kenek kusir dasihipun/ winangsit saliring wadon// (hlm. 7; pupuh 3: pada 26) “tetapi sang dyah tidak mengetahui/ pikirannya mengawang/ Mail menemui dia dengan tergopoh-gopoh/ kenek kusir temannya/ mendapat mendamping wanita.”
Menceritakan suami istri Jagasari beserta anaknya. Mereka dihadang oleh Sakar dan ingin memakannya.
Mereka tak dapat berbuat apa-apa dan pasrah.
Mail melanjutkan perjalanannya
dan sampai di rumah Ki Ahmad Besari di Maghrib.
Sepasang burung peksi menemukan mayat keluarga Jagasari, lalu dilaporkannya pada Nabi Suleman. Ki Ahmad Besari menerima Mail
dan dinikahkan dengan putrinya.
Nabi Suleman menanyakan apa yang jadi dengan keluarga Jagasari tetapi
tidak ada yang bisa memberi keterangan.
Ken Rara bertemu dengan anak pemimpin, dan mereka saling
menyukai.
Ia meminta pertolongan pada
Malaikat Jabarail dan diberikan jimat kehidupan bagi orang yang sudah
mati. Mail pulang ke pondokan dan pergi
melanjutkan pengelanaannya.
Seketika itu juga, keluarga Jagasari hidup dan memberitahu bahwa Jim
Sakar yang telah membunuh. Sampailah Mail di rumah Sayit
Abdul Majid.
Nabi Suleman meminta pertolongan raksasa untuk mencari Jim Sakar.
5. Mail menikah dengan anak Sayit
Abdul Majid, bernama Dyah Marianah.
// dulu putranya sang dewi/ ngandika mring sang ywanjana/ paran sira wau angger/ apa wus wruh mring arinta/ mesem ri sang wanjana/ pan sarwi pasrangkara rum/ dhuh sang ambega para marta// (hlm. 26; pupuh 14: pada 8)
“sang dewi melihat pada putranya/
Raksasa Sagar bertemu dengan Jim Sakar, tetapi ia tidak mau menurut
berbicara dengan sang ywanjana/ bagaimana kamu nak/ apa sudah tahu sekarang kepada adikmu/ sang ywanjana tersenyum/ sambil berbicara perlahan/ duh sang satria di hati.”
6. Dyah Marianah selingkuh dengan
Gandarwa.
// wus pragad rembaging putri lan putra/ Marianah wot sari/ dyan tindak prayoga/ Mail kari anggara/ ngentosi neng pojok puri/ ngandhap ron kroya/ ing wanci sirěp janmi// (hlm. 28; pupuh 15: pada 9)
“sudah selesai pembicaraan putra dan putri/ Marianah berbicara pelan/ lebih baik raden pergi/ iya Mail tidak ikut pergi/ menunggu di pojok puri/ bawah pohon kroya/ di waktu orang tidur.”
// sang kusuma sang raptaning ngandhap kroya/ mangu denya ngentosi/ mring bedhanganira/ gandarwa raja singa/ sasmita nguwuh sang dewi/ raja Gandarwa/ prapta mondhong sang putri// (hlm. 28; pupuh 15: pada 10)
“sang kusuma di bawah kroya/ menunggu dengan bingung/ kepada kekasihnya/ Gandarwa raja/ memberi tanda menyebut sang dewi/ raja Gandarwa/ sampai membopong sang putri.”
Nabi Suleman dipertemukan dengan Jim Sakar dan mempertanyakan perihal kematian keluarga Jagasari.
Mail melanjutkan perjalanannya dan sampai di hutan Djaballar.
Jim Sakar dihukum, ia dimasukan ke dalam kotak dan ditenggelamkan ke
laut.
7. Mail yang sedang beristirahat
dihampiri oleh 2 orang: Sakarjan dan Sakarji.
// yogyanira sumangga den aglis/ pinarak jin karo/ jin Sakarjan anut mring rayine/ wus lumampah
Kedua anak Jim Sakar (Sakarji dan Sakarjan) ingin membantu bapaknya,
tetapi tidak bisa karena kedua kakinya masuk kedalam tanah.
Sakarjan Sakarji/ mring unggyan sang Mail/ denira pitekur// (hlm. 30; pupuh 17: pada 16)
“sebaiknya cepat lho anakku/ dipersilahkan kedua jin/ jin Sakarjan mengikuti adiknya/ Sakarji dan Sakarjan sudah berjalan/ ke tempat sang Mail/ ia sedang duduk berzikir.”
8. Mail membagikan harta tersebut,
dan ia mendapat sebuah pedang sebagai upah. Pedang tersebut memiliki kekuatan bisa terbang.
// mangkene pambegeningwang/ bisane nyamleng tan luwih/ Sakarjan iku kang tuwa/ pantes pusakanta keris/ dhasar eluk respati/ luwih kasayate ampuh/ Sakarji sira mudha/ pantes nampani jemparing/ uga ampuh lan kerise nora beda// (hlm. 31; pupuh 18: pada 7)
“begini pembagianku/ bisanya pas tidak lebih/ Sakarjan itu yang tua/ pantes pusakanya keris/ memang sesuai di hati/ ternyata lebih sakti/ Sakarji kamu muda/ pantes menerima panah/ juga sakti dan tidak beda dengan keris.”
// tur padha paringi rama/ dene pedhang kang darbeni/ iku pantese mung ingwang/ awit ingsun ingkang maris/ dadine nora luwih/ iku yen pamikir ningsun/ kaya panjalukira/ katanpa turah sawiji/ lah kapriye apa jebles apa ora// (hlm. 31; pupuh 18: pada 8)
“dan sama pemberian bapak/ kalau pedang yang dimiliki/ itu pantesnya untuk saya/ awal saya yang membagi warisan/ jadinya tidak lebih/ kalau itu pemikiran saya/ seperti permintaan anda/ menerima satu tidak lebih/ lah bagaimana
Sesampainya di rumah mereka
setuju atau tidak.”
9. Mail melanjutkan perjalanannya
dan sampai di rumah Nabi Ishak.
//empere ling pager bata/ ciptanira sarip Mail/ punikarsa pinarekan/ enggaliyup sarip Mail/ ginelan sampun prapti/ neng ngandhap sang dibyarjanung/ dene kang kasat mata/ wau jatine puuradi/ patilasanira kangjeng Nabi Iskak // (hlm. 31; pupuh 18: pada 18) “dipinggirnya pager bata/ yang ada dalam pikiran Mail/ didekatkan rasa itu/ Mail segera meneduh/ ia pun telah sampai/ dari bawah sang dibyarjanung/ yang kasat mata/ ternyata kerajaan yang bagus itu/ tempat peristirahatan Kanjeng Nabi Ishak.”
Kanjeng Nabi Suleman adalah keturunan malaikat, ia memerintahkan agar mencari ikan
sungai dan akan diberikan hadiah bagi yang mendapatkannya.
10. Mail membantu wanita miskin
melahirkan, tetapi dengan syarat jika bayinya lahir akan dibawa
oleh Mail.
// saya meteg nora bisa mari/ wau sang wanjana duk miarsa / nyai miskin sasambate/ beka welas kalangkung/ angandika sarwi marpegi/ heh nyahi yen sembada/ eklas ing atimu/ mengko sun tulunginira/ kang supaya glis lahire jabang bayi/ yya suwe laranira// (hlm. 35; pupuh 19: pada 19) “terlalu lelah tidak bisa melakukan/ sang ywanjana melihat/ nyai miskin meminta tolong/ lebih kesulitan/ berbicara sambil menghampiri/ heh nyai jika bersedia/ ikhlas di hatimu/ nanti saya menolong kamu/ supaya mudah keluarnya jabang bayi/ jangan lama-lama kamu sakit.” // nanging ingsun kudu minta jangji/ lamun ing měngko atmajanira/ mětu wadon sun tukune/ sekět dinar mas
Seorang nelayan bernama Satruna, mendapatkan ikan sungai dan memberikannya kepada Nabi
wutuh/ lamun uwis saguh sireki/ nuli manapa enggal/ sun paringi jamu/ nyai aturnya mlasarsa/ inggih raden sakarsa kula nyagahi/ anggěripun dang mědal// (hlm. 35; pupuh 19: pada 20)
“tetapi saya harus meminta janji/ jika nanti bayi kamu/ keluar wanita saya beli/ 50 dinar emas utuh/ jika anda sudah setuju/ segera cepat/ saya beri jamu/ nyai meminta belas kasihan/ iya raden saya menyetujui/ anaknya sudah keluar.”
11. Bayi tersebut perempuan, diberi
nama Umi Sakrah.
//tinengeran namane kang bayi/ Umi Sakrah wus sira atara/ sapuluh warsa umure/ Umi Sakrah puniku/ katon warnanira gumrining/ tan mantra putreng sudra/ sang ywanjana ngungun/ mila Sakrah umi sigra/ dyan winulang paring kramaning pawestri/ mangulah samubarang// (hlm. 35; pupuh 19: pada 25)
“bayi yang diberi nama/ Umi Sakrah sudah di antara kamu/ sepuluh tahun usianya/ Umi Sakrah itu/ terlihat rupa ia bersih/ tidak doa putra miskin/ sang ywanjana kagum/ Umi Sakrah segera ikut/ dyan diberi ajaran mengenai wanita/ melakukan semua hal.”
Satruna diberi imbalan uang dan ia mengubur uang tersebut di hutan.
12. Mail ingin menikahi Umi Sakrah,
lalu berusaha mencari bapak Umi Sakrah sebagai wali.
// sarehning sira saiki/ wus diwasa rěmbuging wang/ ngupaya walinta angger/ supaya aningkahen/ ingsun dhaup lan sira/ mungguh prayoganing laku/ benjang enjang ingsun pangkat// (hlm. 36: pupuh 20: pada 10)
Rubiyah (istri Satruna) mempunyai hubungan dengan seorang kusir,
tetapi tak lama istri Satruna meninggal.
“kamu sekarang/ sudah dewasa saya bicarakan/ mencari orang tua anak perempuan/ supaya dinikahkan/ saya menikah dengan kamu/ pantes tingkah laku yang baik/ besok pagi saya berangkat.”
Anak Raja Bagedad bernama R. Sogelen sedang berburu hewan di
hutan.
1. Satruna mempunyai putra
bernama Mail.
//darbe sunu/ jalu nenggih namainipun/ peparapnya suta/ Ismail warnanya sigit/ maksih alit tur bekti maring sudarma// (hlm. 97; pupuh 8: pada 43)
“mempunyai anak/ laki-laki namanya yaitu/ panggilannya anak/ Ismail yang bagus/ masih kecil dan juga berbakti kepada bapaknya.” R. Sogelen sampai di rumah Mail,
dan bertemu dengan Umi Sakrah.
Mail menawarkan kepada ayahnya untuk menikah dengan janda
Suliyah.
13. Umi Sakrah berselingkuh dengan
R. Sogelen.
// rampung pinondhong sang dewi/ lajeng lenggah sakaliyan/ neng taman minum sakloron/ nentremken lungguh ing/ anggaga sare sakaliyan/ tan winarna dalunipun/ enjang wus lenggah neng jaba// (hlm. 41; pupuh 23: pada 8)
“selesai digendong sang dewi/ lalu duduk bersama-sama/ di taman minum bersama/ tentram duduk di/ lantai stirahat bersama/ tidak terasa malamnya/ pagi sudah duduk di dalam.”
Suliyah mempunyai hubungan
dengan seorang kenek kusir.
14. Menerangkan sayit dari Rum
bernama Abdullah.
//enengen sang ywanjana/ ingkang magsih sumlagrangi aneng uwit/ gantya kang winarne nglaku/ wonten janma ngumbara/ aneng
Satruna sangat kecewa, sakit dan meninggal.
wiyat wiyose Sayit si ngerum/ kalangan kadya kukila/ ri sang ywanjana musti wrin // (hlm. 43; pupuh 25: pada 1)
“sang ywanjana tidak berubah/ yang masih melintang berada di atas pohon/ berganti yang diceritakan/ ada orang yang mengembara/ berada di udara keluar sayit dari Ngerum/ terhalang seperti burung/ sang ywanjana mesti tahu.”
Abdullah menikah dengan sang dewi.
Sebelum meninggal ia telah memberitahu mengenai harta yang ia
kubur di hutan kepada Mail.
15. Sang dewi berselingkuh dengan
kekasihnya bernama Abdul Abid.
// tansah ginawa lelana/ pasti
dahat buta repan sang Sayit/ tan
dangu wau jeng ratu/ wusnya
tininggal garwa/ sigra nguwuh
uwuh mring bedhanganipun/
Abdul Abit wastanira/ neng jro
suweng gone Abit// (hlm. 44;
pupuh 25: pada 8)
“selalu dibawa berkelana/ memang sang sayit yang besar/ tidak lama sang ratu/ sesudahnya ditinggal suaminya/ segera mengeluarkan kekasihnya/ bernama Abdul Abit/ yang berada dalam telinga Abit.”
Sayit Abdullah bertemu dengan Mail di tengah perjalanannya.
Semua barang-barang dan hartanya diserahkan kepada Suliyah.
16. Mail mengadakan perjamuan
makan, setelah selesai makan Mail menyuruh Sayit Abdullah
mengeluarkan istrinya.
// sang Mail lon wuwus mring umi sakrah/ heh undangane mariki/ kang net iku/ arsengsun ajak dhahar/ kumepyur sang retna dupi/ miarsa sabda/ andreswas wau
2. Mail pamit untuk mengembara.
// yen si Mail sida nglangut/ saya geng sesuka mami/ mangkana ciptanira/ Jaka Mail wusnya pamit/ anembah mangaras pada/ sampun pamit gya lumaris// (hlm. 169; pupuh 12: pada 14)
mijil// (hlm. 48; pupuh 27: pada 15) “sang Mail berbicara pelan kepaada Umi Sakrah/ heh ajaklah kesini/ yang di lemari itu/ sebaiknya saya ajak makan/ sang retna hanya diam/ terdengar perkataan/ tidak takut untuk keluar.”
sesuka saya/ demikianlah keinginannya/ Jaka Mail sudah pamit/ meminta izin/ setelah pamit segera pergi.”
17. Mail juga menyuruh Umi Sakrah
mengeluarkan kekasihnya dari lemari: R.Sogelen.
// wau sang dyah umi sakrah kang mring wisma/ ambuka benet aglis/ radyan garagapan/ sang dyah sruteng wis sira/ ribenging wardaya kadi/ mur catmanira/ temah mung kontrang kantring// (hlm. 49; pupuh 27: pada 21)
“sang dyah Umi Sakrah ke wisma/ membuka lemari/ radyan gugup/ sang dyah berkata kepada ia/ tanpa berbicara hatinya seperti/ ia mati/ takdirnya tidak tenang.”
Mail berguru pada Kyai Dul Basir di Gunung Horawari.
18. Mail menyuruh Sang dewi putri
dari Rum, untuk mengeluarkan kekasihnya Abdul Abid.
// dadya wruh sarandunira/ ngusap rabi riwut denya ningali/ sarwi geget wajanipun/ kumitir latinira/ netra andika ngadhu rancana idemipun/ saya sang Sayit duk wikan/ wijilira Abdul Abit// (hlm. 51; pupuh 28: pada 25)
“jadi ia sudah mengetahui semua/ mengusap istrinya hingga terlihat/ sambil wajahnya kaku/ ia kuatir/ matanya beradu merencanakan hal yang sama/ sang sayit tahu/ keluarlah Abdul Abit.”
3. Mail dinikahkan dengan putri
Kyai Dul Basir yang bernama Sawiyah.
// dene suka karsaningsun/ iya putraningsun Mail/ sun dhaupken lawan putrengsun/ dimen karasan neng ngriku/ lah dadia badalingwang/ mulanga ing santri mami// (hlm. 177; pupuh 12: pada 63)
“dari keinginan saya/ iya putra saya Mail/ saya nikahkan dengan putri saya/ supaya tinggal di sini/ lah jadilah wakil saya/ pulanglah santri.”
Selesainya perjamuan, Mail dan Sayit Abdullah merundingkan
19. R. Sogelen menikah dengan Umi Sakrah, Abdul Abid menikah
dengan putri Rum.
//tan dangu rampung denya
bukti/ sang ywanjana aris
aturira/ dhuh kakang sun
nyambat kowe/ ningkahen den
gupuh/ dyan Sogelen lawan si
Umi/ Sakrah ingsun wus rila/
lisegsanan gupuh/ rampungnya
sayit wacana/ ingsun yayi
anyambat mring sira ganti/ jeng
ratu ningkahan// (hlm. 52; pupuh
29: pada 8)
“tidak lama selesai makan/ sang
ywanjana berbicara pelan/ duh
kakang saya meminta tolong
kamu/ segera nikahkan/ dyan
Sogelen dan si Umi/ Sakrah saya
sudah rela/ segera laksanakan/
selesainya sayit berbicara/ saya
adhi berganti meminta tolong
pada kamu/ jeng ratu nikahkan.”
// iya lawan Sayit Abdul Abit/
Mail trangginas sampun
kalakyan/ jjng ratu den
ningkahake/ rampung
kakalihipun/ gya bubaran sang
Mail nuli/ malbeng wisma
kancana/ lan sang ambeg
luhung/ Sayit kang wiratameng
tyas/ dyan Sogĕlen kelawan dyah
Sakrah umi/ sampun samya
pinernah // (hlm. 52; pupuh 29:
pada 9)
“iya Sayit Abdul Abit/ sudah
terlaksana dengan cepat oleh
Mail/ menikahkan kanjeng ratu/
keduanya sudah selesai/ setelah
selesai Mail segera/ masuk ke
wisma emas/ dan sang agung
luhur / sayit yang utama hatinya/
Ketiga murid lainnya, Kasan, Umar dan Dul Jalil tidak menyukai Mail. Mereka menggunakan gendam agar
Sawiyah tidak menyukai Mail walaupun telah menikah.
Dyan Sogelen dan Dyan Sakrah
Umi/ sudah pada tempatnya.”
Selesainya perjamuan, Mail dan Sayit Abdullah merundingkan
masalah ini.
4. Sawiyah berselingkuh dengan Dul
Jalil.
// kang pengantyan kekalih ningali/ sapolahe santri kang slawatan/ sang rara osik jro tyase/ Dul Jalil kae bagus/ dhasar bisa akarya kingkin/ bok malih nyuwae/ sun arsaa ngrungu/ mangkana osiking sang dyah/ kawarnaa Dul Jalil alon mucuki/ sekarira bela baga// (hlm. 185; pupuh 14: pada 3)
“kedua penganten melihat/ tingkahnya santri yang slwatan/ sang rara ingat dalam hatinya/ Dul Jalil yang bagus/ memang bisa membuat rindu sekali/ kalau memang begitu/ saya merasa mendengar/ demikianlah sang dyah ingat dengan Dul Jalil/ mulai perlahan Dul Jalil/ ia membela wanita.”
20. Mail dengan Sayit Abdullah
memutuskan untuk melanjutkan pengembaraannya.
// ginantya ing purnamaning sasi/ sang Sayit lan sira sang ywanjana/ lĕnggahan sakarong roneng/ palataran kang pungkur/ Sayit sami ngenggar diyatdi/ duk candra mawayahnya/ angayomi gunung/ sang Sayit aris wadhana/ manuswe ru kang bisa wruh ing dumadi/ dadining kasampurnan// (hlm. 52; pupuh 29: pada 11)
“berganti di bulan berikutnya/ sang sayit dan ia sang ywanjana/ duduk bersama di/ pelataran yang ada di belakang/ sayit yan dibunuh/ waktu bulan/ mengayomi gunung/ sang sayit berbicara/ manusia yang bisa tahu jadi/ jadinya kesempurnaan.”
Mail mengetahuinya dan pamit
untuk pergi.
Bagedad, yang sedang mengadakan sayembara. Sayit Abdullah tertarik
mengikuti sayembara tersebut.
Kombang.
Sayit Abdullah dijadikan raja menggantikan mertuanya.
Mail berguru pada Kyai Luka.
Mail pamit untuk melanjutkan pengembaraannya.
5. Kyai Luka mengangkat Mail
sebagai menantu.
// ya ta sampun prapteng wanci/ bakda ngisa pinanggihnya/ neng pandhapa patemone/ suraking santri sadaya/ apan ambal ambalan/ sawusnya panggya alungguh/ Jaka Mail lan Sri Wulan// (hlm. 220; pupuh 19: pada 79)
“ya sudah datang waktunya/ bakda isya pertemuannya/ di pendapa pertemuannya/ semua santri bersorak/ lalu lalang/ selesainya bertemu lalu duduk/ Jaka Mail dan Sri Wulan.”
Patih beserta pengawal dari Bagedad sedang berunding ingin
menyingkirkan raja muda: Sayit Abdullah.
6. Rara Sri Wulan berselingkuh
dengan kekasihnya Gandarwa.
//tanpa dangu Sri Wulan amijil/ neng jawi pinanggah/ lan Gandarwa neng ngisor nangkane/ sadangunya Sri Wulan amijil/ jegul kang winarni/ andingkik sang ayu// (hlm. 221; pupuh 20: pada 1)
“tidak lama Sri Wulan keluar/ dipertemukan di keluar/ dan Gandarwa dibawahnya/ setelah keluarnya Sri Wulan/ yang serupa benang/ sang ayu mengintip.”
Utusan raja muda menyampaikan pesan Sayit Abdullah kepada bupati
Branwes, sebab sang bupati tidak datang sewaktu ada pertemuan karena bupati Branwes merasa tidak
sudi berada di bawah perintah raja muda.
Mail sangat kecewa dan keesokan paginya ia pamit untuk pergi
berkelana kembali.
menyuruh raksasa pergi ke Bagedad.
dihampiri dua jin dan meminta bantuan untuk membagi harta
warisan.
// kudu kalih kang sun tedha/ Sakarji meksa tan apti/ meksa kalih kang den tedha/ dadya predangdi wong kalih/ marma prapta ing ngriki/ Mail ingsun jaluk tulung/ kalamun sira bisa/ benering prakara iki/ Jaka Mail alon wijiling wacana// (hlm. 235; pupuh 21: pada 23)
“harus dua yang saya makan/ Sakarji memaksa tidak berharap/ memaksa dua yang dimakan/ jadi perjanjian dua orang tersebut/ karena sudah sampai di sini/ Mail saya minta tolong/ kalau kamu bisa/ menyelesaikan masalah ini/ Jaka Mail pelan perkataannya.”
Sesampainya di Bagedad bupati Branwes disambut oleh Sayit Abdullah dan bupati Branwes tewas
beserta raksasanya.
8. Mail mendapat bagian pedang
sakti dan ia dapat terbang.
//Sakarjan sira wong tuwa/ wajib tampa panah iki/ iya luhur prenahira/ lan sira metu rumiyin/ dene sira Sakarji/ rehning anem prenahipun/ wajib nampa curiga/ pedhang iki kanggo mami/ iya ingsun kang mikengka jegsanira // (hlm. 236; pupuh 21: pada 29) “Sakarjan yang tua/ wajib menerima panah ini/ iya tinggi tempatnya/ saya keluar sebentar/ kalau kamu Sakarji/ kamu jatuh muda/ wajib menerima keris/ pedang ini untuk saya/ saya yang menjadi jaksa.”
Di tengah perjalanan, Mail bertemu dengan seorang wanita.
Mail dihampiri oleh Pandita Jahman bernama Ayuman, ia memberitahu mengenai kerusakkan yang terjadi di
rumah Nabi Ilyas. Mail dinikahkan dengan wanita itu,
pada saat akan bersenggama tanpa sebab wanita itu meninggal.
9. Mail membawa Jahman ke nagari
Sam untuk melihat rumah Nabi Ilyas.
//Jaka Mail saya celak/ pager banon den ideri/ anulya manggya gapura/ Jaka tumedhak mring siti/ gapura den tingali/ ing luhur wonten kadulu/ seratan cara ngesam/ ungelira punang tulis/ kratonira jeng Nabi Ilyas ing kina // (hlm. 239-240; pupuh 21: pada 41)
“Jaka Mail semakin dekat/ pager batu bata sudah dikelilingi/ ia segera menemukan gapura/ Jaka turun ke bumi/ gapura sudah dilihatnya/ di atas terlihat ada/ tulisan yang bercorak dari Ngesam/ bunyi yang tertulis/ keraton Nabi Ilyas di jaman dulu.”
Mail meminta agar istrinya dapat hidup lagi.
10. Mail yang sedang mengembara,
menolong Bok Amiyah melahirkan, tetapi dengan syarat
setelah melahirkan bayi tersebut akan dibawa oleh Mail.
// Jaka Mail anambungi wuwusipun/ iya yen mangkana iki/ nanging ingsun darbe panjaluk/ lamun putranira mijil/ iya iku kanggo ingngong// (hlm. 250; pupuh 22: pada 20)
“Jaka Mail menyambungi perkataannya/ iya kalau demikian/ tapi saya punya permintaan/ kalau putra kamu sudah keluar/ iya itu untuk saya.”
//sedyaning tyas arsa sun pundhut sadulur/ aprenah riningsun bibi/ bapa sira iku asung/ Amiyah umatur inggih/ sok bayi sageda miyos// (hlm. 250; pupuh 22: pada 21) ”jika bersedia di hati saya angkat saudara/ oleh saya bibi/ diminta bapak kamu itu/ Amiyah berkata iya/ kalau bayi bisa keluar.”