Available online at : http://ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/
Jurnal Kesehatan
| ISSN (Print) 2085-7098 | ISSN (Online) 2657-1366 |
DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v12i1.722 Jurnal Kesehatan is licensed under CC BY-SA 4.0
© Jurnal Kesehatan Literatur Review
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANALGETIK DI RUMAH SAKIT
Nindya Prastiwi
1, Hansen Nasif
2, Yufri Aldi
31,2,3 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Indonesia
INFORMASI ARTIKEL A B S T R A K
Received: October 16, 2020 Revised: November 01, 2020 Accpeted: January 04, 2020 Available online: March 01, 2020
Pendahuluan : Nyeri merupakan keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien di rumah sakit. Nyeri yang masih dirasakan pasien setelah menerima analgesic, menandakan bahwa terdapat ketidakefektifan penggunaan analgetik pada pasien. Keefektifan penggunaan analgetik menentukan keberhasilan terapi.
Tujuan : Mengetahui efektifitas penggunaan analgetik dalam penatalaksanaan nyeri pada pasien terutama dalam penggunaannya di Rumah Sakit.
Metode : Literatur review. Strategi pencarian data yaitu adalah mencari langsung grey literatur melalui mesin pencarian data Google dan menggunakan database Google Scholar, Pubmed dan ScienceDirect dengan kata kunci “Efektivitas Analgetik Rumah Sakit”. Research question dibuat dengan format PEOS dan penyaringan data menggunakan PRISMA Flowcart. Kriteria inklusi meliputi jurnal tentang efektivitas analgetic yang telah dipublikasi dalam sepuluh tahun terakhir (2010-2020), jurnal nasional dengan akreditasi sinta 1-6, dan jurnal internasional yang terindex scopus dengan ranking Q1-Q4. Kriteria eksklusi meliputi jurnal yang tidak terfokus membahas efektivitas analgetic atau intensitas nyeri, dan jurnal yang dengan metode review.
Hasil : Dari 18 jurnal yang direview, Sebagian besar jurnal tersebut membahas perbandingan efektivitas antara dua atau lebih analgetik, baik analgetik tunggal maupun kombinasi. Dari perbandingan tersebut penggunaan analgetic kombinasi dianggap efektif digunakan pengganti opioid.
Kesimpulan : Efektivitas suatu analgetic dapat tercapai dengan baik bila disesuaikan dengan derajat nyeri pasien. Saat ini, penggunaan terapi multimodal sering digunakan di rumah sakit, karena selain efektif menurunkan intensitas nyeri, kombinasi analgetik opioid dengan analgetik non narkotik mampu menekan efek samping yang ditimbukan oleh opioid, mengurangi ketergantungan penggunaan opioid pada pasien, serta mempercepat masa pemulihan, sehingga meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan.
Introduction: Pain complaints are most often expressed by patients in the hospital. The pain that the patient still feels after receiving analgesics indicates that there is an ineffective use of analgesics in the patient. The effectiveness of using analgesics supports therapy.
Objective: To determine the effectiveness of using analgesics in pain management in patients, especially in hospital use.
Method: Literature review. The data search strategy was to directly search for gray literature using the Google, Google Scholar, Pubmed, and ScienceDirect databases with the keyword
"Hospital Analgetic Effectiveness". Research questions were made with PEOS format and data filtering using PRISMA Flowchart. Inclusion criteria include journals on analgesic effectiveness that have been published in the last ten years (2010-2020), national journals with Sinta 1-6 accreditation, and Scopus indexed international journals with a Q1-Q4 rating. The exclusion criteria included journals that did not focus on analytic authority or pain intensity and journals with a review method.
Results: From 18 journals reviewed, most of the journals discussed the comparison between two or more analgesics, both single and combined analgesics. From these uses, the use of combined analgesics is effective when used.
Conclusion: The effectiveness of analgesic can best be achieved if it is adjusted to the degree of patient pain. Currently, the use of multimodal therapy is often used in hospitals, because it is effective in reducing pain intensity, in addition to opioid analgesics with non-narcotic analgesics that can withstand the side effects caused by opioids, reduce dependence on opioid use in patients, and speed up the recovery period, thereby increasing satisfaction. patients to health services.
KATA KUNCI
Nyeri; Analgetik; Efektivitas Analgetik;
Rumah Sakit
KORESPONDENSI Hansen Nasif
E-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien saat datang untuk berobat di rumah sakit. Diantaranya
sering dikeluhkan oleh pasien pasca operasi, pasien di ruang ICU, serta pasien di poli gigi. Nyeri yang dirasakan dapat berupa nyeri akut, namun bila penanganan yang tidak tepat dapat berlanjut menjadi nyeri kronis. Beberapa penelitian mengatakan sekitar 9
dari 10 orang di Amerika menderita rasa nyeri, lebih kurang 25 juta orang Amerika mengalami nyeri akut karena cedera atau tindakan pembedahan. Pada tahun 1990 The Royal College of Surgeons (RCS) juga melaporkan adanya rasa nyeri pada 30-70% pasien pasca bedah, meskipun kejadian nyeri pasca bedah telah berkurang 2% pertahun selama 30 tahun terakhir namun 30% pasien masih mengeluhkan nyeri parah [1]. Nyeri pasca operasi yang masih dirasakan pasien setelah menerima analgesic, menandakan bahwa masih terdapat ketidakefektifan penggunaan analgetik pada pasien.
Keefektifan penggunaan analgetik juga menentukan keberhasilan terapi [2].
Literatur review dari jurnal internasional tentang nyeri yang telah ada sebelumnya membahas mengenai penggunaan analgetik pada pasien fraktur, keefektifan dan kelemahan dari beberapa teknik pemberian analgetik dalam manajemen nyeri. Sedangkan literatur review tentang nyeri dari jurnal nasional yang sudah ada sebelumnya membahas mengenai pencegahan nyeri kronis pasca operasi. Dalam literatur tersebut dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian nyeri kronis pasca operasi, diantaranya; faktor preoperative, intraoperative dan postoperative. Kerusakan saraf intraoperative akibat operasi dianggap sebagai penyebab terjadinya nyeri kronis pasca operasi.
Namun tidak semua kerusakan saraf dapat menyababkan nyeri kronis pasca operasi, tetapi ada faktor lain yang berperan, seperti durasi operasi. Durasi operasi berpengaruh terhadap timbulnya nyeri kronis, durasi operasi yang berlangsung selama 3 jam dapat meningkatnya resiko terjadinya nyeri kronis. Sehingga pada saat diputuskannya tindakan operasi maka perlu dipertimbangkan untuk memilih teknik yang dapat meminimalisir kerusakan saraf seperti laparoskopi dan membatasi durasi operasi [3]. Penelitian lainnya yang mengkaji tentang efektivitas analgetika di suatu rumah sakit melaporkan bahwa masih ditemukannya ketidaksesuaian antara penggunaan analgetik dengan derajat nyeri pasien sehingga memberikan kontribusi ketidakefektifan dalam penanganan nyeri pasien [4].
Dalam literatur review ini, mengkaji efektifitas penggunaan analgetik pada berbagai kasus nyeri, membahas keefektifan antara analgetik tunggal dan analgetik kombinasi serta membahas faktor apa saja yang mempengaruhi keefektifan analgetik. Keberhasilan terapi berupa penurunan dan hilangnya rasa nyeri yang dirasakan pasien yang meliputi nyeri akut maupun nyeri kronis,
menggambarkan sudah tercapainya atau belum tercapainya penggunaan analgetik yang efektif pada rumah sakit. Maka berdasarkan pemaparan diatas, perlu adanya kajian lebih.
METODE
Metode yang digunakan adalah Literatur Review. Sumber data berasal dari jurnal penelitian tentang analgetik dan efektivitas analgetik dari berbagai sumber nasional maupun internasional.
Strategi pencarian data yang digunakan adalah mencari langsung grey literatur melalui mesin pencarian Google serta menggunakan database Google Scholar, Pubmed dan Science Direct dengan kata kunci “Efektivitas Analgetik Rumah Sakit” atau “Hospital Analgesic effectiveness”.
Research question dibuat dengan format PEOS (Population, Exposure, Outcome, dan Study Design) serta untuk penyaringan data menggunakan PRISMA Flowcart. Kriteria inklusi meliputi jurnal tentang efektivitas analgetic yang telah dipublikasi dalam sepuluh tahun terakhir (2010-2020), jurnal nasional dengan akreditasi Sinta 1-6, dan jurnal internasional yang terindex Scopus dengan ranking Q1-Q4. Kriteria eksklusi meliputi jurnal yang tidak terfokus membahas efektivitas analgetic atau intensitas nyeri, jurnal yang tidak terakreditasi, dan jurnal penelitian dengan metode review.
Penggunaan PEOS membantu dalam mengidentifikasi konsep-konsep kunci dalam literatur review, mengembangkan istilah pencarian yang sesuai untuk menggambarkan masalah, dan menentukan kriteria inklusi dan eksklusi yang sesuai dengan topik.
Sedangkan PRISMA Flowchart digunakan untuk menyaring data yang sesuai dengan kriteria topik dalam literatur review. Adapun keterangan Population, Exposure, Outcome, dan Study Design (PEOS) yang digunakan pada literatur review ini disajikan pada tabel 1, dan tahapan penyaringan data literatur disajikan pada gambar 1.
Tabel 1. Framework PEOS
Population Exposure Outcome Study Design Pasien di
rumah sakit yang merasakan nyeri
Penggunaan analgetik
Penurunan rasa nyeri atau hilangnya rasa nyeri
Study prevalensi
Gambar 1. Prisma Flowchart
Berdasarkan strategi pencarian pada database yang telah dijelaskan sebelumnya maka ditemukan lebih kurang 197 jurnal yang berkaitan, kemudian dilakukan screening judul dan abstrak maka sebanyak 120 jurnal harus dikeluarkan karena dianggap tidak relevan dengan topik penelitian, sehingga yang tersisa sebanyak 77 jurnal. Dari 77 jurnal tersebut dilakukan screening kelayakan jurnal, ditemukan 33 jurnal yang bisa digunakan. Kemudian dilakukan lagi screening kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, maka dikeluarkan sebanyak 13 jurnal karena tidak memenuhi kriteria
yang sudah ditetapkan dan sisanya sebanyak 18 jurnal digunakan untuk direview.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terdapat 18 jurnal nasional dan internasional tentang efektivitas analgetik yang digunakan dalam review, hasil dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Hasil literatur review
Peneliti Judul Akreditasi/Reputasi
Jurnal Metode Hasil Referensi
Hendra Herman., et al. (2013).
Evaluasi ADR dan efektivitas
penggunaan ketorolak pada pasien pascabedah saraf di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makasar
Sinta-5 dan Garuda Eksperimental Ketorolak efektif sebagai analgetik pasca bedah saraf, ditandai dengan penurunan skala nyeri pada hari pertama sampai ketiga dan hilang (skala 0) pada hari keempat pasca operasi.
[5]
Dita Aryanti., et al.
(2018)
Efektivitas
Analgesik 24 Jam Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017
Sinta-2 dan Garuda Deskriptif observasional prospektif crossectional
Efektivitas analgetik pascaoperasi di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2017 masih belum memenuhi target bebas nyeri 100% karena masih terdapat seperempat dari jumlah pasien yang mengeluhkan nyeri sedang (skala ≥ 4).
[4]
Bernadeth., et al.
(2019) Efektivitas
Analgesik
Pascaoperasi pada Pasien Pediatrik di
Sinta-2 dan Garuda Deskriptif observasional prospektif
Efektivitas analgetik pascaoperasi di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung periode Juni– November 2018
[6]
Identifikasi pencarian grey literatur dan database Pubmed, Science Direct, Google Scholar, Google
(n = 197)
Penyaringan judul dan relevansi abstrak (n = 77)
Pemeriksaan eligibility (n = 33)
Pemeriksaan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi (n = 18) Kriteria Inklusi dan kriteria eksklusi (n = 20)
Total artikel yang relevan dengan Literatur Review (n = 18)
Exclude artikel (n = 120)
Exclude artikel (n = 44)
Exclude artikel (n = 13)
Ruang Pemulihan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Juni–
November 2018
masih belum memenuhi target bebas nyeri 100% disebabkan karena masih terdapat ketidaksesuaian antara pilihan analgetik dengan derajat nyeri.
Ismail Muhammad., et al. (2013)
Perbedaan Efektivitas
Parasetamol Oral Dengan Tramadol Oral Sebagai Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi Transurethral Resection of The Prostate
Sinta-3 dan Garuda Eksperimental Parasetamol 500 mg oral dan Tramadol 50 mg oral memiliki efektivitas yang sama dalam mengatasi nyeri pasca operasi TURP (Transurethral Resection of The Prostate ) dengan intensitas nyeri ringan.
[7]
Dina Ratna Juwita., et al. (2019)
Studi Penggunaan Obat Analgesik pada Pasien Pasca Partus Pervaginal dan Sectio Caesarea di RSU Bunda Purwokerto
Sinta-3 dan Garuda Non eksperimental - Deskriptif observasional
Analgetik pasca persalinan normal yaitu asam mefenamat tablet, analgetik pasca sectio caesarea yaitu ketoprofen suppositoria dan analgetik pasca persalinan lainnya efektif menurunkan nyeri, yang ditandai dengan terjadi penurunan skala VAS pada pasien.
[8]
Oktofina K. Mose., et al. (2013)
Perbandingan Analgesia Epidural Menggunakan Bupivakain 0,125%
dengan Kombinasi Bupivakain 0,0625% dan Fentanil 2 μg/mL terhadap Nyeri dan Blok Motorik pada Persalinan Normal.
Sinta-2 dan Garuda Eksperimental - Uji klinik acak tersamar buta ganda
Analgetik epidural kombinasi bupivikain 0,0625% + fentanil 2µg/mL dan analgetik epidural bupivikain 0.125% memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan intensitas nyeri dari nyeri hebat menjadi tidak nyeri (skala 0) selama 2 jam pascapersalinan
[9]
Taufiqurrachman.,
et al. (2016) Perbandingan Pengaruh Pemberian Analgetik
Etoricoxib Dengan Natrium Diclofenak Terhadap Rasa Nyeri Pasca Odontektomi (Impaksi Kelas 1, Molar 3 Rahang Bawah).
Sinta-5 dan Garuda Quasi eksperimen - random post test only controlled group design.
Analgetik etoricoxib lebih efektif dibandingkan dengan natrium diclofenak dalam menurunkan intensitas nyeri pasca odontektomi (impaksi kelas 1, molar 3 rahang bawah) yang ditandai dengan perbedaan skor VDS yang signifikan.
[10]
Dicky Kresnadi R.,
et al. (2016) Perbandingan Pengaruh Pemberian
Analgetik Cox-2 Dengan Asam Mefenamat Terhadap Rasa Nyeri Pasca Odontektomi (Impaksi Kelas 1, Molar 3 Rahang Bawah).
Sinta-5 dan Garuda Quasi eksperimen - random post test only controlled group design.
Analgetik COX-2 (etoricoxib) lebih efektif dibandingkan dengan asam mefenamat dalam menurunkan intensitas nyeri pasca odontektomi (impaksi kelas 1, molar 3 rahang bawah) yang ditandai dengan perbedaan skor VDS yang signifikan.
[11]
Muhamad Adli Boesoirie., et al.
(2015)
Perbandingan Parasetamol dengan Ketorolak Intravena Sebagai Analgesia Pre-emtif terhadap Skala Nyeri Pascabedah Labioplasti pada Pasien Pediatrik.
Sinta-2 dan Garuda Eksperimental - Uji klinik acak tersamar buta ganda
Pemberian analgetik pre-emtif ketorolac 0,5 mg/kgBB i.v lebih efektif dibandingkan pemberian parasetamol 20 mg/kgBB dalam mengurangi skala nyeri pascabedah labioplasti pada pasien pediatric walaupun keduanya
[12]
berada pada rentang nyeri ringan.
Dendi Karmena., et
al. (2015) Perbandingan Kombinasi Tramadol Parasetamol Intravena dengan Tramadol Ketorolak Intravena terhadap Nilai Numeric Rating Scale dan Kebutuhan Opioid Pascahisterektomi.
Sinta-2 dan Garuda Eksperimental - Uji klinik acak tersamar buta ganda
Pemberian analgetik kombinasi tramadol+parasetamol i.v memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian kombinasi tramadol+ketorolac i.v dalam menurunkan rasa nyeri pada pasien pascahisterektomi.
[13]
Hilmy Manuapo., et al. (2019)
Perbandingan Preemptive Analgesia Kombinasi
Ibuprofen 75 Miligram dan Parasetamol 250 Miligram per Oral dengan Parasetamol 1 Gram per Oral terhadap Lama Analgesik
Pascabedah Odontektomi.
Sinta-2 dan Garuda Eksperimental - Uji klinik acak tersamar buta ganda
Kombinasi preemtif analgetik ibuprofen + parasetamol lebih efektif dari pada parasetamol dosis tunggal dalam menurunkan intensitas nyeri pasca odontektomi pada pasien.
[14]
I Nengah Putra Yasa., et al. (2017)
Efektifitas Pemberian
Tramadol 100 mg supp. dibandingkan Ketoprofen 100 mg supp. untuk Mengurangi Nyeri selama 24 jam pada Pasien Pasca Operasi Bedah di RS. Bhayangkara menggunakan VAS skor.
Sinta-2 dan Garuda Analitik observasional
Analgetik tramadol supp. 100 mg lebih efektif dibandingkan dengan ketoprofen supp. 100 mg dalam mengurangi nyeri pasca bedah. Hal ini dikarenakan penggunaan tramadol memiliki skor nyeri lebih rendah dibandingkan penggunaan ketoprofen.
[15]
Arie Faishal Madjan., et al.
(2018)
Perbandingan Efektivitas Patient- Controlled
Analgesia (PCA) Fentanil, PCA
Morfin dan
Tramadol Intravena Sebagai Analgetik Pasca Operasi Modified Radical Mastectomy (MRM)
Sinta-4 dan Garuda Uji klinis tersamar ganda
Efektivitas analgetik pasca operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) secara berurutan mulai dari yang terbaik adalah PCA fentanil, PCA morfin lalu tramadol. Hal ini dikarenakan skor NRS tramadol yang lebih tinggi dibandingkan PCA fentanyl dan PCA morfin, serta efektivitas analgetik PCA fentanyl yang lebih baik daripada PCA morfin.
[16]
Clara Valentia Josephine., et al.
(2019)
Perbandingan Intensitas Nyeri dan Kadar Prostaglandin Kombinasi
Tramadol dan Deksketoprofen dengan Tramadol dan Parasetamol Intravena pada Pasien Bedah Ortopedi
Ekstremitas Bawah.
Sinta-2 dan Garuda Uji klinis tersamar ganda
Pemberian kombinasi analgetik tramadol 50 mg dan deksketoprofen 50 mg intravena lebih efektif dibanding dengan kombinasi tramadol 50 mg dan parasetamol 1.000 mg dalam menurunkan intensitas nyeri pasca bedah ortopedi ekstremitas bawah.
[17]
Mari A. Griffioen.,
et al. (2018) Change in Pain Score after Administration of Analgesics for
Q1 Kohort retrospektif Semua analgetic yang
digunakan di UGD efektif menurunkan nyeri pasien, namun persentase penurunan
[18]
Lower Extremity Fracture Pain during Hospitalization
nyeri terbesar adalah hydromorphine. Sedangkan di rawat inap tidak semua dosis memiliki persentase penurunan nyeri yang baik, persentase penurunan nyeri terbesar adalah penggunaan morphin 4 mg IV.
Luis Antônio BorgesI.,et al.
(2017)
Randomized clinical study on the analgesic effect of local infiltration versus spinal block for
hemorrhoidectomy
Q3 Randomized
clinical study
Tidak ada perbedaan intensitas nyeri yang bermakna antara teknik infiltrasi local maupun teknik spinal block pada 24 jam pascaoperasi, namun efektivitas analgetic pascaoperasi pada infiltrasi local lebih baik dari pada teknik spinal blok, terutama bila infiltrasi local dikombinasi dengan analgetic preventif multimodal.
[19]
Scott E.
Regenbogen., et al.
(2016)
Hospital Analgesia Practices and Patient-reported
Pain After
Colorectal Resection
Q1 Retrospective
cohort Beragam variasi perawatan atau praktik manajemen nyeri pascaoperasi reseksi kolorektal memperlihatkan hasil bahwa efektivitasnya manajemen nyeri tercapai diawal kontrol nyeri pascaoperasi
[20]
Sahas Bilalee, BSN,
RN., et al. (2019). The Effectiveness of an Evidence-Based Pain Management Program on Pain Intensity and Chest Rehabilitation Improvement Among Chest Trauma Patients in a Thai Hospital
Q1 Quasi
eksperimental – two group repeated measures
Program manajemen nyeri berbasis-bukti yang diterapkan pada pasien dengan trauma dada terbukti efektif dalam menurunkan intensitas nyeri dan meningkatkan kapasitas vital paru pada pasien.
[21]
Dari hasil pencarian literatur pada review ini, ditemukan jurnal dengan subjek penelitian berbagai kasus nyeri. 18 jurnal yang dibahas dalam review ini melibatkan penggunaan opioid, NSAID, dan analgetic Cox-2 inhibitor yang dikaitkan dengan penurunan intensitas nyeri. Instrument yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri responden adalah Visual Analog Scale (VAS), Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Descriptive Scale (VDS), dan skala prilaku Face, Legs, Activity, Cry, Consolability (FLACC).
Dari 18 jurnal yang direview, 11 jurnal diantaranya membahas perbandingan efektivitas antara dua atau lebih analgetik yang digunakan baik analgetik dosis tunggal maupun kombinasi, dan 7 jurnal lainnya membahas efektivitas manajemen nyeri atau penggunaan analgetik dalam menurunkan intensitas nyeri pasien.
Kasus yang paling banyak diteliti adalah nyeri pascaoperasi. Nyeri pasca operasi disebabkan oleh adanya rangsangan mekanik luka yang menyebabkan tubuh mengeluarkan mediator – mediator kimia nyeri dan bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai nyeri berat namun menurun sejalan dengan proses penyembuhan. Manajemen nyeri pascaoperasi merupakan hal penting karena nyeri yang tidak tertangani memiliki dampak negatif terhadap kehidupan sosial dan
pekerjaan pasien. Kasus pascaoperasi yang ditemukan meliputi operasi odontektomi, section caesarea, operasi TURP (Transurethral Resection of The Prostate ), operasi Modified Radical Mastectomy, operasi ortopedi ekstremitas bawah, operasi histerektomi dan kasus operasi secara umum di rumah sakit.
Efektivitas Analgetik pada Nyeri Pascaoperasi
Efek analgesia dapat dipengaruhi oleh mekanisme kerja dari masing masing golongan obat analgetik. Mekanisme kerja NSAID sebagai analgetik dan antiinflamasi ialah dengan cara menghambat enzim siklo-oksigenase, sehingga mengurangi sintesa metabolit asam arakidonat (seperti prostaglandin dan tromboxan).
Paracetamol (acetaminophen) bekerja utama di system saraf pusat.
Memiliki efek analgetik dan antipiretik dan merupakan penhambatan lemah pada sub-kelompok siklo-oksigenase COX-1 dan COX-2 namun tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi. Di dalam SSP berfungsi dengan menghambat sintesa prostaglandin di hipotalamus, mencegah pelepasan prostaglandin di sumsum tulang belakang, dan menghambat sintesa oksida nitrat dalam makrofag.
Sedangkan opioid bekerja sebagai analgetik dengan cara
mengaktivasi reseptor opiod. Opioid bekerja dengan jalan menduduki reseptor reseptor nyeri di SSP, sehingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioid berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa sisa reseptor nyeri tersebut.
Opioid merupakan analgetik pilihan yang utama untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat. Akan tetapi opioid memiliki berbagai keterbatasan antara lain adalah efek samping yang mungkin timbul, seperti depresi napas, mengantuk, menurunkan motilitas saluran cerna, mual dan muntah, menyebabkan ketagihan dan juga berpotensi disalahgunakan. Akibat efek samping opioid tersebut, para peneliti terus mengembangkan cara pemberian analgetik secara multimodal untuk mengurangi dosis opioid pascabedah.
Penggunaan terapi multimodal membuat skor nyeri lebih rendah, mempercepat masa pemulihan, meningkatkan kepuasan pasien, serta mengurangi lama perawatan di rumah sakit [22].
Terdapat 6 jurnal yang membandingkan efektivitas antara beberapa analgetik tunggal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh I Nengah yang membandingkan efektivitas pemberian Tramadol 100 mg supp. dengan Ketoprofen 100 mg supp. pada pasien pascabedah. Didapatkan hasil bahwa Tramadol 100 mg supp. lebih efektif dibandingkan Ketoprofen 100 mg supp. hal ini dikarenakan tramadol merupakan golongan opioid yang mekanisme kerjanya didasarkan pada blockade reuptake serotonin dan terbukti menghambat fungsi transporter noreepinefrin. Dalam penghantaran nyeri tramadol bekerja pada impuls modulasi, dengan penghambatan reseptor opioid sehingga menghambat terjadinya modulasi nyeri dan menyebabkan pelepasan neurotransmitter monoaminergik. Sehingga efisien mengatasi nyeri sedang hingga berat [15]. Namun perbedaan golongan obat ini tidak selalu memberikan hasil bahwa analgetic narkotik lebih efektif dibandingkan analgetic non narkotik. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Ismail Muhammad yang membandingkan efektivitas parasetamol oral dengan tramadol oral sebagai tatalaksana nyeri pasca operasi transurethral resection of the prostate. Pemakaian paracetamol oral dan tramadol oral pascaoperasi termasuk salah satu analgetik yang direkomendasikan dalam guidelines manajemen nyeri pasca TURP oleh European Association of Urology. Untuk tramadol diberikan secara oral, im, sc atau iv dengan dosis 50 – 100 mg tiap 6 jam. Sedangkan parasetamol diberikan secara oral atau iv dengan dosis 500 – 1000 mg diberikan tiap 6 jam. Dengan menerapkan dosis minimal yang direkomendasikan oleh guidelines ini, ternyata memberikan hasil bahwa efektivitas parasetamol oral 500 mg sebanding dengan tramadol oral 50 mg sebagai tatalaksana nyeri pasca TURP, dengan intensitas nyeri ringan [7].
Perbandingan efektivitas beberapa analgetic golongan narkotik juga dilakukan oleh Arie Faisal. Dalam penelitiannya
membandingkan efektivitas PCA fentanyl, PCA morfin dan tramadol. PCA merupakan metode baru pemberian analgesia yang disesuaikan kebutuhan pasien dan dikendalikan sendiri oleh pasien dengan atau tanpa disertai infuse kontinyu. Pasien yang mendapat analgetik PCA fentanil atau PCA morfin lebih tidak nyeri dibandingkan yang mendapat bolus tramadol intermitten karena pemakaian PCA akan memberikan penanganan nyeri yang lebih baik karena terapi yang lebih bersifat individualistik, disesuaikan kebutuhan/permintaan pasien dan kadar opioid plasma dapat dipertahankan dengan konstan setelah MEAC tercapai. Kemudian secara farmakologis fentanil lebih poten dan 160 kali lebih bersifat lipofilik sehingga mempunyai onset yang lebih cepat. Pemberian bolus fentanil memberikan respon analgetik yang lebih cepat daripada morfin. Sedangkan bila dibandingkan tramadol, PCA morfin lebih efektif dikarenakan secara farmakologis morfin 10- 15x lebih poten dibandingkan tramadol. Maka selain dari kemampuan secara farmakologis, faktor penggunaan PCA dapat mempengaruhi efektivitas analgetic terhadap rasa nyeri pasien [16].
Analgesia preventif mencakup terapi analgesia multimodal sebelum dan pascabedah yang bertujuan menurunkan nyeri dan mengurangi konsumsi analgesia pascabedah. Penggunaan obat- obat dan teknik anestesi yang bekerja pada proses sensitisasi sentral dan perifer dalam konsep Preventive Multimodal Analgesia menjadi pedoman penanganan nyeri pascabedah saat ini. Saat ini analgesia multimodal pascabedah banyak memakai opioid yang dikombinasikan dengan obat lain, di antaranya non-steroidal anti- inflammatory drug (NSAID), parasetamol, ketamin dosis rendah, dan pemberian anestesi lokal perioperative. Penanganan multimodal analgesia dapat dilakukan berdasar atas intensitas nyeri yang mungkin timbul akibat pembedahan yang dibagi berdasar atas intensitas ringan, sedang, dan berat. Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting yang diperbaharui tahun 2012 oleh American Society of Anesthesiologists (ASA) dinyatakan bahwa penggunaan acetaminophen, non steroidal anti inflammatory drugs (NSAID), COXIB dapat dijadikan pertimbangan untuk pengelolaan nyeri akut pascabedah sebagai bagian dari konsep analgesia multimodal. Obat-obat tersebut sebagai regimen tunggal mungkin tidak mencukupi untuk mengobati nyeri berat (severe), tetapi obat tersebut dapat dikombinasikan dengan opioid dan dapat menurunkan kebutuhan dosis opioid sehingga kemungkinan muncul efek samping opioid dapat diturunkan [17].
Terdapat 4 jurnal membandingkan efektivitas antara analgetic kombinasi dan analgetic tunggal. Penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut : (1) Analgetik kombinasi menyebabkan efek analgetik yang lebih lama daripada analgesic tunggal. Ini dapat dipengaruhi oleh perbedaanmekanisme kerja,
absorpsi dan metabolism, kecepatan mencapai onset terapi dan lama durasi aksi dari analgetik kombinasi. (2) Analgetik kombinasi memberikan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan analgetik tunggal. Hal ini dikarenakan pendekatan multimodal dengan beberapa agen analgetic (contoh :ibuprofen + parasetamol) mampu mengurangi aktivitas reseptor nyeri dan respon hormone local terhadap kerusakan jaringan. Kombinasi analgetic memiliki efek sinergis dibandingkan analgetic tunggal. Kombinasi adalah salah satu penanganan nyeri dengan berbagai target jaras nyeri ( baik pusat atau perifer). Berdasarkan jaras nyeri, ibuprofen memiliki aktivitas pada tahap transduksi dengan menghambat sintesa prostaglandin dan enzim coox, sedangkan parasetamol memiliki aktivitas pada tahap persepsi dengan cara menghambat prostaglandin dan enzim coox di sentral dan perifer. Itu sebabnya hambatan proses nyeri kombinasi ibuprofen + parasetamol lebih kuat dan lebih efektif dibandingkan parasetamol tunggal. (3) Analgetik kombinasi mampu menurunkan efek samping dibandingkan pemberian analgetic tunggal [14].
Efektivitas Analgetik pada Nyeri Persalinan
Persalinan dan pelahiran menyebabkan kontraksi maupun pembedahan abdomen dan dinding uterus sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri harus dikontrol secara adekuat agar tidak mempengaruhi sistem di dalam tubuh serta tidak menimbulkan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas ibu melahirkan.
Intensitas nyeri yang dialami pada Ibu pasca melahirkan termasuk ketegori nyeri sedang. Kategori tersebut digolongkan sesuai WHO Pain Ladder (2018) dengan skala nyeri 4-6. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dina Ratna, yang memperoleh hasil bahwa pada ibu pasca Sectio caesarea memiliki skalas nyeri yaitu 5,4 dan pada ibu pasca melahirkan normal memiliki skala nyeri yaitu 5,28 yang artinya pada kedua kondisi tersebut berada pada rentang nyeri sedang. Pemberian obat analgesik disesuaikan dengan derajat nyeri seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien pasca partus pervaginal dan sectio caesarea di RSU Bunda Purwokerto,diperoleh hasil bahwa analgetic yang banyak digunakan pada persalinan normal adalah asam mefenamat yang diberikan secara oral. Asam mefenamat memiliki aktivitas antiinflamasi yang dinilai sangat dibutuhkan pada ibu yang melahirkan normal, karena respon peradangan/inflamasi digunakan untuk memastikan penyembuhan perineum sehingga mencegah masuknya microorganism penyebab infeksi. sedangkan analgetic yang banyak digunakan pada persalinan secio cesarea adalah ketoprofen yang diberikan secara rektal. Karena ketoprofen dapat menurunkan resiko pendarahan serta mual dan muntah pasca secio cesarea. Rute rektal dinilai cocok diberikan untuk pasien yang susah menelan, mual dan
muntah karena efek samping dari anestesi prabedah. Pemilihan analgetic yang tepat dan sudah disesuaikan dengan intensitas nyeri pasien, maka akan memberikan hasil yang efektif untuk menurunkan nyeri pasca persalinan [8].
Ketidakefektifan Penggunaan Analgetik
Penilaian rasa nyeri adalah langkah pertama dalam menentukan tata laksana nyeri yang tepat. Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi persepsi dan tingkah laku seseorang terhadap nyeri, yaitu (1) usia: semakin kecil usia pasien (<7 thn) maka belum dapat menggambarkan rasa nyeri yang dirasakan, sehingga memungkinkan nyeri tidak terdiagnosa dengan tepat.
Sedangkan pada usia >7 thn pasien sudah dapat menggambarkan rasa nyeri yang dirasakannya, sehingga bila analgetic tidak efektif dapat terdiagnosa dengan jelas;(2) sosial budaya; (3) tumbuh kembang; (4) lingkungan. Prediktor nyeri pascaoperasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) nyeri praoperasi; (2) kecemasan; (3) jenis operasi.
Terdapat 2 jurnal yang menyatakan bahwa efektivitas analgetik disuatu rumah sakit belum memenuhi target bebas nyeri 100%. Berdasarkan guidelines beberapa rumah sakit yang ada, yang membagikan golongan obat analgetic sesuai dengan derajat nyeri yang dirasakan, yaitu untuk nyeri ringan digunakan analgetic non opioid; nyeri sedang digunakan analgetic non opioid + opioid lemah; dan nyeri berat digunakan opioid kuat + non opioid/ anestesi local. Pemberian analgetik yang tidak disesuaikan dengan derajat nyeri pasien akan menyebabkan ketidakefektifan. Apabila nyeri akut yang tidak tertangani dengan baik akan berkembang menjadi nyeri kronis yang akan lebih sulit diatasi dan akan mengakibatkan penurunan kualitas hidup seseorang [6].
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketidakefektifan analgetik dalam penanganan nyeri pada pasien dewasa, yaitu sebagai berikut: (1) sikap tenaga medis dalam melakukan perawatan terhadap nyeri; (2) tidak ada pengkajian nyeri yang berulang; (3) kurang edukasi mengenai nyeri pascaoperasi;(4) komunikasi yang tidak baik antara tenaga kesehatan dan pasien dalam penyampaian rasa nyeri; (5) kurang jenis obat-obat analgesik; (6) kurang pengetahuan tenaga medis mengenai nyeri; (7) pemberian analgetic yang tidak tepat waktu; (8) pemberian analgetic yang tidak disesuaikan dengan derajat nyeri.
Nyeri yang tidak ditangani dengan tepat tidak hanya menyebabkan nyeri berkepanjangan tetapi juga menyebabkan respon nyeri yang berlebihan. Berikut World Health Organization (WHO) merekomendasikan lima prinsip penggunaan analgesik yang tepat untuk meningkatkan efektivitas penanganan nyeri: (1) segera mengganti pemberian analgesik melalui oral (by mouth) setelah nyeri NRS <4; (2) analgesic harus diberikan dengan interval
yang sama (by the clock); (3) pemberian analgesik harus sesuai dengan derajat nyeri yang dievaluasi menggunakan skala nyeri (by the ladder); (4) dosis analgesik disesuaikan untuk tiap-tiap individu (for individual); (5) pemberian resep analgesik harus diperhatikan secara rinci (attention to detail) [4].
Keterbatasan pada literature review ini adalah tema literatur yang terlalu luas mencakup semua jenis kasus nyeri yang menggunakan analgetik, sehingga hasil dari review menjadi kurang terfokus. Kemudian adanya keterbatasan pemilihan jurnal yaitu jurnal yang berasal dari 10 tahun terakhir dan hanya jurnal hasil penelitian yang digunakan, sedangkan jurnal jenis review juga memberikan hasil yang lebih signifikan terhadap efektivitas analgetik. Selain itu,adanya keterbatasan kemampuan dan pengalaman dari penulis dalam membuat hasil review yang baik pada literatur review ini.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil literatur review diatas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas suatu analgetic dapat tercapai dengan baik bila disesuaikan dengan derajat nyeri pasien, yaitu untuk nyeri ringan digunakan analgetic non opioid; nyeri sedang digunakan analgetic non opioid + opioid lemah; dan nyeri berat digunakan opioid kuat + non opioid/ anestesi local. Selain harus adanya penyesuaian dengan derajat nyeri, efek analgetik juga dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya mekanisme kerja analgetik itu sendiri. Saat ini, penggunaan terapi multimodal sering digunakan di rumah sakit, karena selain efektif menurunkan intensitas nyeri, kombinasi analgetik opioid dengan analgetik non narkotik mampu menekan efek samping yang ditimbukan oleh opioid, mengurangi ketergantungan penggunaan opioid pada pasien, serta mempercepat masa pemulihan, sehingga meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak/Ibu dosen dan tenaga kependidikan Fakultas Farmasi Universitas Andalas serta semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu, membimbing serta memberikan ide dan gagasan kepada penulis dalam menyelesaikan literatur review ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] L. A. Darajatun, I. Alifiar, and T. Nofianti, “Gambaran Penggunaan Analgetika Pada Pasien Pasca Bedah di Ruang III dan Melati Lantai 4 RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya,” J. fitofarmaka, vol. 7, no. 1, 2017. doi:
10.33751/jf.v7i1.798.
[2] A. Ali, Z. Maulina, R. Al Fath, and M. Z. Asfar,
“Perbandingan Visual Analogue Scale antara Pemberian Analgetik Asam Mefenamat , Paracetamol dan Ibuprofen Peroral Sebelum Sirkumsisi,” J. Medula, vol. 6, pp. 636–
640, 2019, doi:
http://dx.doi.org/10.46496/medula.v6i3.9637.
[3] E. Suseno, M. Carrey, yohanes edwin Jonathan, J. F. A.
Barus, and T. N. Tanumiharja, “Pencegahan nyeri kronis pasca operasi,” Maj. Kedokt. Andalas, vol. 40, no. 1, p. 40, 2017, doi: 10.22338/mka.v40.i1.p40-51.2017.
[4] D. A. Prabandari, Indriasari, and T. T. Maskoen,
“Efektifitas Analgesik 24 jam Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017,” J.
Anestesi Perioper., vol. 6, no. 2, pp. 98–104, 2018, doi:
https://doi.org/10.15851/jap.v6n2.1221.
[5] H. Herman, Z. Ikawati, and R. Handayani, “Evaluasi Adverse Drug Reactions dan Efektivitas Panggunaan Ketorolak Pada Pasien Pasca Bedah Saraf di Rumah Sakit Umum Pendidikan Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,”
J. As-Syifaa, vol. 05, no. 02, pp. 169–175, 2013. URL:
https://jurnal.farmasi.umi.ac.id/index.php/as- syifaa/article/view/58.
[6] Bernadeth, E. Oktaliansah, and Indriasari, “Efektivitas Analgesik Pascaoperasi pada Pasien Pediatrik di Ruang Pemulihan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Juni-November 2018,” J. Anestesi Perioper., vol. 7, no.
38, pp. 68–74, 2019, doi:
https://doi.org/10.15851/jap.v7n1.15647.
[7] I. Muhammad, Alvarino, N. Puar, and H. Bachtiar,
“Perbedaan Efektivitas Parasetamol Oral Dengan Tramadol Oral Sebagai Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi Transurethral Resection of The Prostate,” J. Kesehat.
Andalas, vol. 2, no. 1, pp. 38–41, 2013, doi:
https://doi.org/10.25077/jka.v2i1.66.
[8] D. R. Juwita, N. Faradani, and M. I. N. A. Wibowo, “Studi Penggunaan Obat Analgesik pada Pasien Pasca Partus Pervaginal dan Sectio Caesarea di RSU Bunda Purwokerto,” J. Farm. Indones., vol. 16, no. 02, pp. 265–
277, 2019, doi: 10.30595/pharmacy.v16i2.5627.
[9] O. K. Mose, U. Sabarudin, R. H. Sitanggang, and C. E.
Boom, “Perbandingan Analgesia Epidural Menggunakan Bupivikain 0,125% dengan Kombinasi Bupivikain 0,0625% dan Fentanil 2µg/mL Terhadap Nyeri dan Blok Motorik Pada Persalinan Normal,” J. Anestesi Perioper.,
no. 1, pp. 94–104, 2013, doi:
http://dx.doi.org/10.15851/jap.v1n2.120.
[10] Taufiqurrachman and K. Mulyo, “Perbandingan Pengaruh Pemberian Analgetik Etoricoxib dengan Natrium Diclofenak Terhadap Rasa Nyeri Pasca Odontektomi (Impaksi Kelas 1, Molar 3 Rahang Bawah),” J. Kedokt.
Diponegoro, vol. 5, no. 3, pp. 222–234, 2016. doi:
https://doi.org/10.14710/dmj.v5i3.13093.
[11] D. K. R and K. Mulyo, “Perbandingan Pengaruh Pemberian Analgetik Cox-2 Dengan Asam Mefenamat Terhadap Rasa Nyeri Pasca Odontektomi (Impaksi Kelas 1, Molar 3 Rahang Bawah),” J. Kedokt. Diponegoro, vol.
5, no. 1, pp. 58–64, 2016. doi:
https://doi.org/10.14710/dmj.v5i1.11359.
[12] M. A. Boesoirie, E. Oktaliansah, and T. Bisri,
“Perbandingan Parasetamol dengan Ketorolak Intravena Sebagai Analgesia Pre-emtif Terhadap Skala Nyeri Pascabedah Labioplasti pada Pasien Pediatrik,” J. Anestesi Perioper., vol. 3, no. 38, pp. 81–86, 2015, doi:
10.15851/jap.v3n1.573.
[13] D. Karmena, E. Oktaliansah, and E. Surahman,
“Perbandingan Kombinasi Tramadol Parasetamol Intravena dengan Tramadol Ketorolak Intravena terhadap Nilai Numeric Rating Scale dan Kebutuhan Opioid Pascahisterektomi,” J. Anestesi Perioper., vol. 3, no. 1, pp.
189–195, 2015, doi: 10.15851/jap.v3n3.612.
[14] H. Manuapo, R. W. Sudjud, and D. Tavianto,
“Perbandingan Preemptive Analgesia Kombinasi Ibuprofen 75 Miligram dan Parasetamol 250 Miligram per Oral dengan Parasetamol 1 Gram per Oral terhadap Lama Analgesik Pascabedah Odontektomi,” J. Anestesi Perioper., vol. 7, no. 38, pp. 181–187, 2019, doi:
https://doi.org/10.15851/jap.v7n3.1834.
[15] I. N. P. Yasa, E. Kresnoadi, and P. I. Nandana, “Efektifitas Pemberian Tramadol 100 mg supp. Dibandingkan Ketoprofen 100 mg supp. Untuk Mengurangi Nyeri Selama 24 Jam Pada Pasien Pasca Operasi Bedah di RS.
Bhayangkara Menggunakan VAS SKor,” J. Kedokt.
Unram, vol. 6, no. 2, pp. 17–20, 2017. URL:
http://jku.unram.ac.id/article/view/128.
[16] A. F. Madjan and W. I. Nurcahyo, “Perbandingan Efektivitas Patient-Controlled Analgesia (PCA) Fentanil, PCA Morfin dan Tramadol Intravena sebagai Analgetik Pasca Operasi Modified Radical Mastectomy,” Medica Hosp. J. Clin. Med., vol. 6, no. 2, pp. 112–124, 2019, doi:
10.36408/mhjcm.v6i2.392.
[17] C. V. Josephine, M. R. Ahmad, Hisbullah, and A. Wahab,
“Perbandingan Intensitas Nyeri dan Kadar Prostaglandin Kombinasi Tramadol dan Deksketoprofen dengan Tramadol dan Parasetamol Intravena pada Pasien Bedah Ortopedi Ekstremitas Bawah,” J. Anestesi Perioper., vol.
7, no. 2, pp. 75–82, 2019, doi: 10.15851/jap.v7n2.1691.
[18] M. A. Griffioen, M. L. Ziegler, R. V. O’Toole, S. G.
Dorsey, and C. L. Renn, “Change in Pain Score after Administration of Analgesics for Lower Extremity Fracture Pain during Hospitalization,” Pain Manag. Nurs., vol. 20, no. 2, pp. 158–163, 2019, doi:
10.1016/j.pmn.2018.09.008.
[19] L. A. Borges, P. D. C. Leal, E. C. R. Moura, and R. K.
Sakata, “Randomized clinical study on the analgesic effect of local infiltration versus spinal block for hemorrhoidectomy,” Sao Paulo Med. J., vol. 135, no. 3, pp. 247–252, 2017, doi: 10.1590/1516- 3180.2017.0001260117.
[20] S. E. Regenbogen et al., “Hospital analgesia practices and patient-reported pain after colorectal resection,” Ann.
Surg., vol. 264, no. 6, pp. 1044–1050, 2016, doi:
10.1097/SLA.0000000000001541.
[21] S. Bilalee, K. Maneewat, W. Sae-Sia, and S. Nimmaanrat,
“The Effectiveness of an Evidence-Based Pain Management Program on Pain Intensity and Chest Rehabilitation Improvement Among Chest Trauma Patients in a Thai Hospital,” Pain Manag. Nurs., vol. 20,
no. 6, pp. 656–661, 2019, doi:
10.1016/j.pmn.2019.06.002.
[22] K. Hargreaves and P. V Abbott, “Drugs for pain management in dentistry,” Aust. Dent. J., vol. 50, no. s2, pp. S14–S22, 2005, doi: 10.1111/j.1834- 7819.2005.tb00378.x.