BAB III
KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN PENDANAAN
3.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro daerah mempunyai peranan penting dalam mendukung
laju pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi banyak ditentukan oleh
berbagai faktor seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi dan Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Kondisi ekonomi daerah Kabupaten Ponorogo dalam kurun waktu lima tahun
terakhir mengalami fluktuasi seiring dengan terjadinya perubahan kondisi sosial politik baik
secara nasional maupun regional. Adanya pemilihan anggota DPR, DPRD, pemilihan
Presiden, pemilihan kepala daerah, timbulnya berbagai bencana di tanah air mulai gempa
bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, gunung meletus dan masih adanya terorisme serta
gangguan keamanan dan ketertiban berdampak terhadap perekonomian nasional maupun
perekonomian daerah.
3.1.1. Kondisi Perekonomian Nasional
Kondisi perekonomian nasional selama kurun waktu tahun 2011, cukup
kondusif, hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu
tumbuh sebesar 6,60% yang naik 0,50% dari tahun sebelumnya yang hanya
mampu tumbuh sebesar 6,10%. Hal demikian tidak bisa lebih dari kondisi secara
Nasional Tahun 2010 akan menjadi tahun "spesial" bagi Indonesia menyambut
berlakunya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang diberlakukan mulai
Januari tahun 2010. Perekonomian Indonesia pada tahun 2010 mengalami
pertumbuhan sebesar 6,1 persen dibanding tahun 2009. Nilai Produk Domestik
Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2010 mencapai Rp2.310,7
triliun, sedangkan pada tahun 2009 dan 2008 masing-masing sebesar Rp2.177,7
triliun dan Rp2.082,5 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun
2010 naik sebesar Rp819,0 triliun, yaitu dari Rp5.603,9 triliun pada tahun 2009
menjadi sebesar Rp6.422,9 triliun pada tahun 2010.
Selama tahun 2010, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang
mencapai 13,5 persen, diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 8,7
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,7 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air
Bersih 5,3 persen, Sektor Industri Pengolahan 4,5 persen, Sektor Pertambangan
dan Penggalian 3,5 persen, dan Sektor Pertanian 2,9 persen. Pertumbuhan PDB
tanpa migas pada tahun 2010 mencapai 6,6 persen yang berarti lebih tinggi dari
pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 6,1 persen.
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang mengalami pertumbuhan sebesar
8,7 persen memberikan sumbangan terhadap sumber pertumbuhan terbesar
terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,5 persen. Selanjutnya diikuti oleh
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan Sektor Industri Pengolahan yang
memberikan peranan masing-masing sebesar 1,2 persen.
Perekonomian Indonesia pada Triwulan I-2011 bila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya (q-to-q), yang digambarkan oleh PDB atas dasar harga
konstan 2000, mengalami peningkatan sebesar 1,5 persen. Peningkatan tersebut
terjadi pada Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (18,1 persen)
dan Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (2,7 persen).
Sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah Sektor Konstruksi (minus 3,6 persen),
Sektor Pertambangan dan Penggalian (minus 2,0 persen), Sektor Listrik, Gas dan
Air Bersih (minus 1,9 persen), Sektor Industri Pengolahan (minus 1,2 persen),
Sektor Jasa-jasa (minus 0,4 persen), Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
(minus 0,2 persen), dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (minus 0,1 persen).
Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan pada Triwulan I-2011
meningkat tajam 18,1 persen terhadap Triwulan IV-2010, sebagai refleksi dari
mulai adanya musim panen tanaman padi, dengan kenaikan Subsektor Tanaman
Bahan Makanan sebesar 53,6 persen. Subsektor Pertanian lainnya mengalami
penurunan masing-masing sebesar minus 19,9 persen untuk Subsektor Tanaman
Perkebunan, minus 17,7 persen untuk Subsektor Kehutanan, minus 3,0 persen
Subsektor Peternakan dan Hasilhasilnya, dan minus 1,3 persen untuk Subsektor
Perikanan.
Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (q-to-q) tumbuh
sebesar 2,7 persen. Peningkatan di Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa
Perusahaan tersebut terutama ditunjang oleh Subsektor Bank yang tumbuh
sebesar 4,6 persen. PDB Triwulan I bila dibandingkan dengan triwulan yang sama
tahun sebelumnya mencerminkan pertumbuhan PDB selama satu tahun pada
meningkat sebesar 6,5 persen, terjadi pada semua sektor. Peringkat terbesar
adalah Sektor Pengangkutan dan Komunikasi meningkat sebesar 13,8 persen,
diikuti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7,9 persen, Sektor Keuangan,
Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,3 persen, Sektor Jasajasa 7,0 persen, Sektor
Industri Pengolahan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,6 persen,
Sektor Konstruksi 5,3 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 4,2 persen, dan
Sektor PertanianPeternakan, Kehutanan dan Perikanan 3,4 persen. Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh sebesar 7,9 persen merupakan sektor
yang memberikan sumber pertumbuhan terbesar (y-on-y) pada perekonomian Indonesia Triwulan I-2011 yaitu sebesar 1,3 persen. PDB Tanpa Migas secara
berantai (q-to-q) Triwulan I-2011 dibandingkan Triwulan IV-2010 tumbuh sebesar
1,7 persen. Sementara bila Triwulan I-2011 dibanding triwulan yang sama tahun
sebelumnya (y-on-y) tumbuh sebesar 6,9 persen.
3.1.2.
Perkembangan Ekonomi Makro Jawa Timur
Secara komulatif pertumbuhan ekonomi Jawa timur mulai
Januari-desember 2011 mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dan
mampu melampaui target dan pertumbuhan ekonomi nasional. Perekonomian
Jawa Timur mampu tumbuh sebesar 7,22% naik sebesar 0,55% dari tahun 2010
yang mampu tumbuh sebesar 6,67%. Pertumbuhan perekonomian di Jawa timur
yang cukup besar ini tidak bisa lepas dari pertumbuhan sebelumnya yang secara
kumulatif Januari – Desember tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur
c-to-c dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 mencapai 6,67 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar
10,67 persen, selain tumbuh tinggi, ternyata sektor perdagangan, hotel dan
restoran menjadi penyumbang sumber pertumbuhan tertinggi, mencapai 3,19
persen (hampir separuh total pertumbuhan ekonomi cto-c). Sektor berikutnya yang
juga mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor angkutan dan komunikasi,
sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan serta sektor konstruksi dan sektor listrik, gas dan air bersih, yang
masing-masing tumbuh sebesar 10,07 persen, 9,18 persen, 7,27 persen, 6,64
Januari – Desember tahun 2010 masing-masing sebesar 0,72 persen, 0,20 persen,
0,39 persen, 0,21 persen dan 0,09 persen.
Sementara sektor industri pengolahan dan sektor pertanian walau hanya
mampu tumbuh sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen, tetapi keduanya
memberikan sumbangan yang besar yakni 1,13 persen dan 0,33 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa tiga sektor ekonomi utama Jawa Timur masih dimotori
oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, industri pengolahan dan sektor
pertanian, meskipun pada tahun 2010 ini sektor pengangkutan dan komunikasi
sumber pertumbuhannya cukup tinggi mencapai 0,72 persen
.
Perkembangan ekonomi Jawa Timur triwulan IV tahun 2010 dibanding
triwulan sebelumnya memperlihatkan pertumbuhan yang baik di hampir semua
sektor, walaupun pertumbuhan di sektor pertanian mengalami kontraksi akibat pola
musiman dan kondisi iklim yang kurang bersahabat. Beberapa fenomena ekonomi
yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur antara lain kondisi
ekonomi global yang terus membaik, ekonomi domestik nasional cukup stabil, serta
keberangkatan Jemaah Haji, Perayaan Lebaran Idul Adha, Natal dan Tahun Baru
2011, disamping penyerapan anggaran akhir tahun oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Timur dan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Timur serta pembangunan
beberapa infrastruktur jalan tol dan bangunan rumah layak huni untuk fakir miskin.
Dengan kondisi perkembangan global dan domestik yang mendukung tersebut
membuat kinerja perekonomian Jawa Timur pada triwulan IV tahun 2010 baik
secara y-on-y maupun c-to-c tumbuh tinggi, masing-masing sebesar 7,16 persen dan 6,67 persen.
Motor penggerak pertumbuhan ekonomi y-on-y umumnya didominasi oleh
sektor non tradable goods, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi; sector perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan, yang masing-masing tumbuh sebesar 11,16 persen, 9,74 persen dan
9,00 persen. Disamping tumbuh tinggi, ketiga sektor ini juga memberikan kontribusi
yang tinggi terhadap PDRB Jawa Timur, dengan sektor perdagangan, hotel dan
restoran berkontribusi sebesar 3,04 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi
sebesar 0,84 persen, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
sebesar 0,50 persen. Pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran,
makanan maupun non makanan, dan restoran, sementara pertumbuhan sektor
pengangkutan dan komunikasi sebagian besar didorong oleh subsektor komunikasi
dan subsektor angkutan rel, dan pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan terutama karena subsektor perbankan cukup berhasil dalam
menjalankan fungsi intermediarisnya. Meskipun sektor non tradable goods tumbuh
cukup baik, tetapi sektor lain khususnya sektor tradable goods juga mengalami pertumbuhan dengan cukup tinggi seperti sektor industri pengolahan sebesar 5,93
persen dengan kontribusi pertumbuhan sebesar 1,58 persen; sektor
pertambangan dan penggalian 9,25 persen dengan sumber pertumbuhan 0,22
persen. Sektor pertanian tumbuh sebesar 1,50 persen dengan sumber
pertumbuhan sebesar 0,19 persen. Sektor lain juga tumbuh pada tingkat yang
relatif tinggi seperti sektor listrik, gas dan air bersih 8,31 persen dengan sumber
pertumbuhan 0,11 persen. Sektor konstruksi tumbuh 8,80 persen dengan sumber
pertumbuhan 0,29 persen, dan sektor jasa-jasa sebesar 4,08 persen dengan
sumber pertumbuhan 0,39 persen. Perkembangan ekonomi Jawa Timur secara
q-to-q juga dimotori oleh sektor sektor non tradable goods, sementara sektor pertanian karena pola musiman dan perubahan iklim yang kurang bersahabat
membuat pertumbuhannya negatif sebesar 19,37 persen terutama subsektor
tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan dan perikanan, sementara
subsektor peternakan tumbuh positif karena penggemukan berat ternak cukup
berhasil dalam menyambut perayaan Lebaran Idul Adha. Sektor-sektor non tradable goods sangat dominan pada pertumbuhan ekonomi Jawa Timur q-to-q. Hal ini diduga karena fenomena ekonomi yang telah disebutkan di atas sehingga
membuat perkembangan yang cukup nyata di dalam roda ekonomi Jawa Timur,
seperti sektor konstruksi tumbuh 3,47 persen dengan sumber pertumbuhan 0,11
persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 2,12 persen dengan
sumber pertumbuhan 0,66 persen; sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh
3,42 persen dengan sumber pertumbuhan 0,26 persen; sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan tumbuh 3,35 persen dengan sumber
pertumbuhan 0,18 persen; dan sektor jasa-jasa tumbuh 3,32 persen dengan
3.1.3. Perkembangan Perekonomian Eks Karisedenan Madiun
Perekonomian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester
I-2010 diproyeksikan mengalami pertumbuhan pada kisaran angka 5,30% - 5,50%
(yoy). Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
Nasional dan Jawa Timur pada periode yang sama yang masing-masing tumbuh
sebesar 5,99% (yoy) dan 6,20% (yoy).
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun dari
sisi permintaan yang ditunjukkan berbagai indikator konsumsi dan investasi
menunjukkan terjadinya peningkatan. Sementara itu dari sisi penawaran,
pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun diperkirakan akan tetap
ditopang oleh kinerja sektor-sektor dominan. Kinerja sektor industri pengolahan
sebagai salah satu sektor dominan di wilayah Eks Karesidenan Madiun pada
semester I-2010 menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil penelitian oleh
Kantor Bank Indonesia Kediri terhadap beberapa pelaku usaha sektor industri
pengolahan diperolah informasi bahwa telah terjadi peningkatan permintaan serta
peningkatan kapasitas utilisasi perusahaan seiring dengan adanya kegiatan
investasi pada periode sebelumnya.
Kinerja sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) pada semester
I-2010 diperkirakan tumbuh stabil seiring dengan tingginya aktivitas konsumsi
masyarakat. Beberapa indikator peningkatan kinerja sektor PHR yaitu kredit
perbankan sektor PHR, perkembangan penjualan kendaraan bermotor
memberikan konfirmasi adanya peningkatan pada periode ini. Kinerja sektor
pertanian pada semester I-2010 diperkirakan akan mengalami perlambatan.
Perlambatan kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun tersebut
tercermin dari penurunan luas lahan panen sebesar 3,27% (yoy). Tidak optimalnya
musim panen pada semester I-2010 dipengaruhi oleh faktor gangguan cuaca yang
disebabkan adanya pergeseran musim penghujan. Di sisi lain, adanya kenaikan
harga pupuk pada bulan April menyebabkan kenaikan biaya produksi serta
terhambatnya distribusi pupuk juga menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya
musim panen pada periode ini.
Perkembangan harga yang diukur dengan perubahan IHK baik di Kota
Madiun, maupun Nasional, pada semester I-2010 mengalami peningkatan jika
I-2010 masing-masing tercatat sebesar 2,59% (sts) dan 1,99% (sts), sedangkan
nasional tercatat 2,42% (sts). Secara tahunan, laju inflasi di Kota Madiun pada
semester I-2010 masing-masing tercatat sebesar 5,32% (yoy) dan 4,40% (yoy).
Secara komulatif, kenaikan harga tertinggi di Kota Madiun pada
semester I-2010 terjadi pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau, serta kelompok perumahan, air, listrik, gas dan
bahan bakar. Tingginya inflasi pada kelompok komoditas tersebut diperkirakan
dipicu oleh faktor volatile food.
Dari sisi volatile food, tingginya inflasi pada kelompok bahan makanan
dipicu oleh kenaikan harga pada komoditas beras, telur ayam ras, daging ayam
ras, daging sapi, cabe, bawang merah, bawang putih, serta komoditi
sayur-sayuran. Dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dipicu oleh
kenaikan komoditas gula pasir dan rokok. Pada kelompok perumahan, air, listrik,
gas dan bahan bakar komoditas yang diperkirakan menjadi pemicu inflasi Kota
Madiun adalah komoditas sub kelompok bahan bakar rumah tangga (minyak tanah
dan tarif PDAM).
Memasuki semester pertama tahun 2010, kegiatan perekonomian di
Wilayah Eks Karesidenan Madiun mulai menggeliat dan terus menunjukkan
perkembangan positif, sebagaimana tercermin dari hasil Survey Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU). Kondisi ini turut mendorong peningkatan kinerja perbankan (Bank
Umum dan BPR), diantaranya tercermin pada meningkatnya jaringan kantor bank,
aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun, serta kredit yang
disalurkan.
Berdasarkan hasil laboran BI kediri bahwa total aset perbankan di
Wilayah Eks Karesidenan Madiun posisi semester I-2010 tercatat sebesar Rp.
25,644 triliun. DPK yang berhasil dihimpun perbankan di Wilayah Eks Karesidenan
Kediri dan Madiun pada akhir semester I-2010 tercatat sebesar Rp. 22,976 triliun
atau meningkat 1,46% dibandingkan dengan semester II-2009 yang tercatat
sebesar Rp. 22,647 triliun. Pergerakan DPK yang relatif stabil tersebut dipicu oleh
penurunan suku bunga simpanan yang mengikuti tren penurunan BI rate, sehingga
terjadi perpindahan dana simpanan (outflow), khususnya untuk simpanan deposito
dan giro. Adapun untuk simpanan jenis tabungan justru mengalami peningkatan
disebabkan karakteristik nasabah tabungan yang tidak terlalu sensitif terhadap
Dibandingkan dengan semester II-2009, kredit yang disalurkan di
Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester I-2010 tercatat tumbuh sebesar
10,46%, yaitu dari sebesar Rp. 15,912 triliun menjadi sebesar Rp. 17,576 triliun.
Dari sisi penawaran, relatif tingginya pertumbuhan kredit perbankan pada semester
I-2010 tersebut terutama didorong oleh sikap perbankan yang terus memacu
ekspansi kreditnya seiring dengan pemulihan ekonomi global yang ditandai mulai
menggeliatnya situasi ekonomi baik lokal maupun nasional. Sementara dari sisi
permintaan, meningkatnya pertumbuhan kredit antara lain dipicu oleh turunnya
suku bunga kredit sebagai respon terhadap penurunan BI rate sebagai suku bunga
acuan. Kondisi ini cukup kondusif bagi pelaku usaha untuk lebih menggerakkan
sektor riil dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dari sisi kelembagaan, jumlah bank yang beroperasi di Wilayah Eks
Karesidenan Madiun pada semester I-2010 tercatat sebanyak 125 bank, dengan
jumlah jaringan kantor sebanyak 1.216 kantor meliputi 904 kantor bank umum (868
kantor bank umum konvensional dan 36 kantor bank umum syariah) dan 312
kantor BPR. Jumlah jaringan kantor bank tersebut meningkat sebesar 0,33%
dibandingkan dengan posisi semester II-2009 yang tercatat sebanyak 1.212 kantor.
Perekonomian Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010
diperkirakan akan kembali mengalami peningkatan dibandingkan dengan semester
II-2009. Pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester
II-2010 diperkirakan akan menunjukkan perbaikan dan tumbuh positif dalam
rentang 5,50% - 6,00% (yoy). Proyeksi pertumbuhan ekonomi pada semester
II-2010 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada
semester II-2009 (4,70%).
Perkembangan inflasi di Wilayah Eks Karesidenan Madiun diperkirakan
akan mengalami peningkatan. Untuk Kota Madiun tingkat inflasi semesteran
diperkirakan akan berada pada rentang 2,80% - 3,00% (sts). sedangkan tingkat
inflasi tahunan Kota Madiun diperkirakan akan berada pada rentang 5,50% - 5,60%
(yoy).
Proses penyaluran kredit perbankan di Wilayah Eks Karesidenan
Madiun pada semester II-2010 diperkirakan akan mengalami peningkatan sejalan
dengan mulai menggeliatnya perekonomian dan kegiatan dunia usaha ditengah
pemulihan krisis keuangan global yang berlangsung lebih cepat dari perkiraan
sebelumnya diperkirakan akan cenderung stabil pada level 6,50% seiring dengan
meningkatnya tekanan inflasi pada semester II-2010. Prospek penghimpunan Dana
Pihak Ketiga (DPK) perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester
II-2010 diperkirakan akan cenderung stabil. Pergerakan DPK yang relatif stabil
tersebut dipicu oleh penurunan suku bunga simpanan yang mengikuti tren
penurunan BI Rate, sehingga terjadi perpindahan dana simpanan (outflow),
khususnya untuk jenis simpanan deposito dan giro. Kualitas penyaluran kredit
perbankan di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada semester II-2010 yang
tercermin dari rasio kredit bermasalah / Non Performing Loan (NPL) diperkirakan
akan tetap terjaga dibawah target Bank Indonesia Kediri sebesar 5%.
Perekonomian di Wilayah Eks Karesidenan Kediri dan Madiun pada
semester I-2010 diproyeksikan mengalami pertumbuhan pada kisaran angka
5,30% - 5,50% (yoy). Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi Nasional dan Jawa Timur pada periode yang sama yang
masing-masing tumbuh sebesar 5,99% (yoy) dan 6,20% (yoy).
Sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya baik secara nasional
maupun regional (Jawa Timur) sampai dengan semester I-2010, pertumbuhan
ekonomi dari sisi permintaan didorong oleh peningkatan aktivitas investasi dan
perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Peningkatan aktivitas investasi swasta
terlihat dari berbagai indikator antara lain meliputi pertumbuhan impor barang
modal, pertumbuhan kredit investasi, dan keyakinan produsen akan prospek
ekonomi pasca krisis yang cukup positif. Di sisi lain, seiring dengan perbaikan
ekonomi global telah berdampak pada meningkatnya kinerja perdagangan luar
negeri Jawa Timur yang semakin baik sehingga mengalami surplus pada neraca
perdagangannya.
Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi pada semester I/2010
didukung oleh peningkatan kinerja pada sektor-sektor utama yaitu sektor Industri
Pengolahan, dan sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR). Sedangkan,
sektor Pertanian menunjukkan perlambatan sebagai akibat penundaan masa
tanam sebagai akibat tidak menentunya kondisi cuaca. Peningkatan kinerja sektor
Industri Pengolahan pada semseter ini adalah sejalan dengan telah pulihnya
permintaan di pasar domestik maupun luar negeri. Sementara itu, untuk sektor
liburan sekolah, sehingga berdampak pula pada peningkatan arus perdagangan
dan tingkat hunian hotel.\
Perekonomian Kota/Kabupaten di Wilayah Eks Karesidenan Madiun
pada semester I/2010 diproyeksikan tumbuh sebesar 5,30% - 5,50% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan semester sama tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,47
%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun
pada semester I/2010 diperkirakan ditopang oleh aktivitas konsumsi dan investasi.
Aktivitas konsumsi masyarakat pada semester I/2010 diperkirakan mengalami
peningkatan dengan adanya momen tahun ajaran baru serta liburan sekolah.
Sedangkan dari aktivitas investasi, sebagaimana hasil liaison diperkirakan
disebabkan adanya realisasi investasi oleh sektor swasta pada semester ini.
Sementara itu, realisasi anggaran pemerintah daerah pada semester I/2010
diperkirakan masih akan melanjutkan tren periode tahun-tahun sebelumnya, yang
baru merealisasikan anggarannya pada semester II/2010. Namun dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, beberapa daerah Kota/Kabupaten telah
menunjukkan kemajuan dalam mengelola/merealisasikan anggarannya.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks Karesidenan Madiun dari
sisi permintaan yang ditunjukkan berbagai indikator konsumsi dan investasi
menunjukkan terjadinya peningkatan dan mengkonfirmasi pertumbuhan ekonomi di
wilayah ini, antara lain adalah perkembangan realisasi kredit konsumsi oleh
perbankan dan jumlah transfer dana (remitansi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Kredit perbankan untuk tujuan pada semester I/2010 tumbuh relatif tinggi, yaitu
29,26% (yoy). Sedangkan remintasi TKI yang merupakan salah satu indikator
konsumsi karena sebagian besar penggunaannya untuk konsumsi masyarakat
pada semester I/2010 juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan nominalnya,
remintasi TKI pada semester I/2010 meningkat sebesar 56,54% (yoy), sedangkan
berdasarkan volume (jumlah lembar) transaksinya terjadi peningkatan sebesar
108,15% (yoy).
Sementara itu dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi Wilayah Eks
Madiun diperkirakan akan tetap ditopang oleh kinerja sektor-sektor dominan.
Kinerja sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor dominan di Wilayah
Eks Karesidenan Madiun pada semester I/2010 menunjukkan peningkatan.
Berdasarkan hasil survey Kantor Bank Indonesia Kediri terhadap beberapa pelaku
peningkatan permintaan serta peningkatan kapasitas utilisasi perusahaan seiring
dengan adanya kegiatan investasi pada periode sebelumnya. Faktor musiman
yaitu datangnya musim giling tebu di beberapa pabrik gula di Wilayah Eks
Karesidenan Madiun diperkirakan juga menjadi salah satu faktor pendorong
peningkatan aktivitas sektor industri. Indikator aktivitas sektor industri diantaranya
adalah tingkat konsumsi listrik sektor industri mengkonfirmasi terjadinya
peningkatan aktivitas sektor ini. Sementara itu, kredit perbankan untuk sektor
industri pengolahan pada periode ini juga menunjukkan peningkatan. Peningkatan
ini terutama terjadi pada akhir semester I/2010 seiring dengan siklus pembelian
bahan baku oleh perusahaan. Kredit perbankan yang digunakan untuk membiayai
sektor industri pada semester I/2010 meningkat sebesar 12,39% (yoy). Sedangkan
tingkat konsumsi listrik sekor industri di Wilayah Eks Karesidenan Madiun
mengalami kenaikan sebesar 27,18% (yoy). Secara umum aktivitas sektor industri
pengolahan pada semester I/2010 diperkirakan akan meningkat.
Kinerja sektor PHR pada semester I/2010 diperkirakan tumbuh stabil
seiring dengan tingginya aktivitas konsumsi masyarakat. Beberapa indikator
peningkatan kinerja sektor PHR yaitu kredit perbankan sekor PHR, perkembangan
penjualan kendaraan bermotor memberikan konfirmasi adanya peningkatan pada
periode ini. Pada semester I/2010 kredit perbankan sektor PHR tercatat tumbuh
sebesar 1,75% (yoy), sedangkan volume penjualan kendaraan bermotor (mobil dan
motor) di Wilayah Eks Karesidenan Madiun tercatat tumbuh sebesar 13,03% (yoy).
Secara umum, kinerja sektor PHR diproyeksikan akan mengalami peningkatan.
Kinerja sektor pertanian pada semester I/2010 diperkirakan akan
mengalami perlambatan. Perlambatan kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks
Karesidenan Madiun tersebut tercermin dari penurunan luas lahan panen sebesar
3,27% (yoy). Tidak optimalnya musim panen pada semester I/2010 dipengaruhi
oleh faktor gangguan cuaca yang disebabkan adanya pergeseran musim
penghujan. Di sisi lain, adanya kenaikan harga pupuk pada bulan April
menyebabkan kenaikan biaya produksi serta terhambatnya distribusi pupuk juga
menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya musim panen pada priode ini. Hal ini
juga terlihat dari perkembangan pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian
pada semester I/2010 tercatat mengalami penurunan sebesar 19,93% (yoy).
Secara umum, kinerja sektor pertanian di Wilayah Eks Karesidenan Madiun pada
Perkembangan harga secara umum (inflasi) di Wilayah Eks
Karesidenan Madiun dapat digambarkan dengan perubahan Indeks Harga
Konsumen (IHK). Perkembangan harga yang diukur dengan perubahan IHK baik di
Kota Madiun, maupun Nasional, pada semester I/2010 mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan semester I/2009. Peningkatan tingkat inflasi baik yang terjadi
di wilayah regional dan Nasional masih lebih rendah dibandingkan tingkat inflasi
yang terjadi pada tahun 2008. Laju inflasi di Kota Madiun pada semester I/2010
pada masing-masing tercatat sebesar 2,59% (sts) dan 1,99% (sts), sedangkan
nasional tercatat 2,42% (sts). Per semester, laju inflasi Kota Madiun lebih rendah
dibandingkan dengan inflasi nasional. Secara umum, besaran Indeks Harga
Konsumen (IHK) di Kota Madiun lebih tinggi dibandingkan Nasional. Kondisi ini
mencerminkan bahwa tingkat harga di Kota Madiun lebih tinggi dibandingkan
Nasional, dengan laju kenaikan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
laju kenaikan harga Nasional.
Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan
Madiun pada semester I/2010 tercatat sebesar Rp 16,37 triliun atau meningkat
sebesar Rp 1,5 triliun (10,27%) dibandingkan dengan semester II/2009.
Peningkatan ini sejalan dengan mulai menggeliatnya perekonomian dan kegiatan
dunia usaha di tengah pemulihan krisis keuangan global yang berlangsung lebih
cepat dari perkiraan semula. Relatif stabilnya BI-Rate sebagai suku bunga acuan pada angka 6,5% selama beberapa bulan mulai disikapi perbankan dengan
menurunkan suku bunga kredit, meski penurunan tersebut masih dapat lebih
dioptimalkan lagi, terutama untuk bank-bank milik pemerintah.
Sementara itu, peningkatan kredit pada semester I/2010 terjadi untuk
semua jenis penggunaan, dengan peningkatan tertinggi terjadi pada kredit
investasi (22,44%), disusul kredit konsumsi dan modal kerja masing-masing
sebesar 16,27% dan 5,57%. Apabila dibandingkan dengan semester I/2009, posisi
kredit yang disalurkan pada semester I/2010 mengalami peningkatan sebesar
21,46% (yoy). Peningkatan tertinggi terjadi pada kredit investasi (42,09%), disusul
kredit konsumsi (29,26%) dan kredit modal kerja (14,87%). Melihat perkembangkan
realisasi kredit dari perbankan sampai dengan semester I/2010, target kredit
sampai akhir tahun 2010 sebesar 17%-20% diperkirakan dapat tercapai. Namun
demikian, tetap harus dicermati agar tetap dalam koridor pencapaian rencana,
suplai perekonomian. Hal ini ditempuh untuk memastikan agar peningkatan di sisi
permintaan dapat diimbangi sisi penawaran secara memadai sehingga tidak
menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan.
Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan
Madiun digunakan untuk membiayai sektor-sektor produktif, antara lain untuk
keperluan modal kerja sebesar Rp 9,65 triliun (59%) dan investasi sebesar Rp 1,74
triliun (11%). Sementara untuk keperluan konsumsi tercatat sebesar Rp 4,98 triliun
(30%).
Berdasarkan pangsa kredit persektor ekonominya, kredit yang
disalurkan oleh bank umum di Wilayah Eks Karesidenan Madiun sebagian besar
terserap ke sektor lain-lain yang pangsanya terhadap total kredit mencapai 40 %.
Sementara itu, sektor lain yang menyerap kredit bank umum cukup besar pada
semester I/2010 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) dan
sektor industri pengolahan masing-masing sebesar 34% dan 11%.
Dibandingkan dengan semester II/2009, peningkatan kredit tertinggi
pada semester I/2010 terjadi pada sektor Jasa Sosial sebesar 335,62%, kemudian
diikuti sektor lain-lain (45,24%) dan sektor pertambangan (14,52%). Tingginya
pertumbuhan kredit untuk sektor Jasa Sosial disebabkan meningkatnya permintaan
kredit multiguna untuk para pegawai seiring dengan meningkatnya kebutuhan
memasuki tahun ajaran baru anak sekolah serta menjelang bulan Ramadhan dan
Idul Fitri.
Berdasarkan pangsa kredit perwilayah, Kota/Kabupaten Kediri memiliki
pangsa pasar tertinggi (35,21%) terhadap totdal kredit di Wilayah Eks Karesidenan
Madiun. Sedangkan terendah di Kabupaten Trenggalek (3,35%). Dibandingkan
semester II/2009,tingkat pertumbuhan kredit bank umum semester I/2010 di
Wilayah Eks Karesidenan Madiun, Kabupaten Pacitan memiliki peringkat yang
relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, yaitu sebesar 19,04%.
Sebagian besar kredit yang disalurkan bank umum di Wilayah Eks Karesidenan
Madiun pada semester I-2010, yaitu sebesar 87,42% digunakan untuk membiayai
sektor UMKM. Posisi kredit UMKM pada semester I-2010, tercatat sebesar Rp.
14,31 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 9,81% dibandingkan dengan
semester II-2009 yang tercatat sebesar Rp. 13,03 triliun. Sementara itu,
dibandingkan dengan semester I-2009 terjadi peningkatan sebesar 21,66% (yoy).
UMKM yang selama ini dinilai lebih tahan terhadap guncangan krisis dan didukung
dengan komitmen perbankan untuk terus meningkatkan pembiayaan bagi
pemberdayaan sektor tersebut.
Berdasarkan skala usaha yang dibiayai, sebagian besar kredit UMKM
disalurkan kepada usaha mikro dengan plafon sampai dengan Rp. 50 juta yang
pada semester I-2010 penyalurannya mencapai Rp. 5,80 triliun (41%), sedangkan
kredit kepada usaha kecil dengan plafon > Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta
mencapai Rp. 5,80 triliun (40%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha mikro dan kecil
menjadi pasar yang potensial dan diminati oleh perbankan.
Meski dalam perkembangannya kredit UMKM di Wilayah Eks
Karesidenan Madiun terus meningkat, namun dalam prakteknya ekspansi
penyaluran kredit UMKM masih saja terkendala beberapa persoalan mendasar,
antara lain seperti pemenuhan aspek administratif berupa kelengkapan perijinan
usaha dan aspek legalitas jaminan (collateral) yang belum memenuhi persyaratan
perbankan. Mengingat pentingnya peranan UMKM bagi perekonomian, terutama di
Wilayah Eks Karesidenan Madiun, maka UMKM yang bersifat feasible namun
kesulitan untuk memperoleh akses kredit perbankan yang disebabkan belum
terpenuhinya persyaratan baku perbankan perlu mendapat perhatian bersama.
3.2. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah
Arah kebijakan ekonomi daerah adalah mewujudkan ekonomi daerah yang
mencakup peningkatan perekonomian kabupaten yang tangguh, sehat dan berkeadilan
dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap peningkatan kegiatan
ekonomi akan berpengaruh pada peningkatan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yg
pada akhirnya akan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Maknanya
bahwa setiap potensi ekonomi yang dimiliki harus dimanfaatkan secara optimal dengan
memperhatikan peluang-peluang yg ada guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian melihat prediksi satu tahun yang akan datang, ternyata prosentasi
kenaikan belanja lebih besar dari pada kenaikan pendapatan. Oleh karena itu beberapa
langkah harus dilakukan dalam upaya membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan.
Dalam hal APBD diperkirakan defisit, maka pembiayaan pembangunan dapat didanai
dengan sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari dana cadangan, hasil
pembangunan melalui hutang harus memenuhi syarat yaitu hutang tersebut dipergunakan
untuk investasi dan/atau mempunyai dampak yang luas terhadap kepentingan masyarakat.
Disamping itu, kebijakan umum anggaran tahunan diarahkan untuk memantapkan landasan
ekonomi daerah yang mandiri dijiwai nilai-nilai religius berbasis pertanian yang tangguh
yang mengarah pada agrobisnis dan agroindustri untuk mewujudkan kota Ponorogo
sebagai Kota Metropolitan yang berbasis Pertanian (Agropolitan) melalui :
a. Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dalam bentuk
pemantapan kehidupan beragama, pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas
kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak dengan memprioritaskan
pada golongan masyarakat miskin.
b. Mendorong pertumbuhan ekonomi secara adil dan merata dengan prioritas pada bidang
pertanian yang didukung perdagangan dan jasa sebagai tulang punggung perkonomian
daerah dengan memacu wilayah pengembangan.
c. Meminimalisasikan gejolak fluktuasi ekonomi dengan memberikan bantuan dan proteksi
kepada masyarakat miskin agar tetap mampu mencukupi kebutuhan dasar
minimumnya.
d. Mengembangan ekonomi kerakyatan melalui peningkatan kesempatan berusaha,
optimalisasi potensi ekonomi lokal, pemberdayaan usaha sektor informal, Koperasi dan
UKM serta keadilan kesempatan untuk berusaha dalam iklim yang kondusif.
e. Meningkatkan iklim investasi guna mendorong agar dapat mengurangi
hambatan-hambatan baik yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, permodalan, infrastruktur,
kelembagaan serta kepastian dan keamanan berinvestasi.
f. Mengoptimalkan pendapatan melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversivikasi
sumber-sumber pendapatan tanpa membebani masyarakat.
g. Mengoptimalkan pengelolaan Asset dan kekayaan daerah agar dapat memberikan nilai
tambah bagi pendapatan daerah, melalui profesionalisme manajemen.
h. Menumbuh kembangkan iklim yang sehat di BUMD sehingga mampu memberikan
kontribusi optimal bagi pendapatan daerah termasuk mendirikan BUMD dan/atau
perusahaan milik Pemerintah daerah yang profitable.
i. Mengembangkan iklim kondusif bagi peningkatan swadaya melalui pola/skema
kemitraan baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat, pemerintah daerah
dengan swasta atau masyarakat dengan swasta.
j. Perekonomian Kabupaten Ponorogo diarahkan untuk mewujudkan struktur
agroindustri) menjadi basis aktivitas perekonomian yang didukung oleh aktivitas
perekonomian lainnya seperti perdagangan dan jasa-jasa.
j. Setiap pengeluatan daerah harus mendasarkan pada, standar analisa belanja, standar
harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal serta memperhatikan prinsip
efisiensi dan efektifitas.
3.3 Arah Kebijakan Keuangan Daerah
Di era desentralisasi dan otonomi daerah, Kebijakan pengelolaan keuangan daerah
ditekankan pada prinsip keadilan, kepatuhan dan manfaat sebagai konsekuensi hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah secara umum mengacu pada
paket reformasi keuangan negara, yang dituangkan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah.
Sebagai subsistem dari pengelolaan keuangan negara dan merupakan kewenangan
pemerintah daerah, pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini telah dijabarkan secara lebih rinci dan teknis dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 memuat berbagai kebijakan terkait
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar
penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, APBD dapat dipandang sebagai instrumen kebijakan fiskal bagi pemerintah
daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Artinya, dengan APBD tersebut, paling
tidak, pemerintah daerah bisa mempengaruhi seluruh kegiatan perekonomian daerah dengan
melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, APBD juga dapat dipandang sebagai dokumen
politik dan dokumen ekonomi. Sebagai dokumen politik, APBD akan menjelaskan siapa-siapa
atau sektor-sektor apa saja yang menerima bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah
daerah, serta siapa-siapa yang menanggung beban pembiayaan pemerintah daerah. Sebagai
dokumen ekonomi, APBD menjelaskan seberapa besar alokasi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah daerah yang digunakan mempengaruhi pencapaian target-target pembangunan.
Mengingat begitu strategisnya peran APBD dalam konstelasi pembangunan daerah,
maka keseluruhan proses penetapan APBD ini dirasa perlu diatur dalam
perundang-undangan, yang diharapkan dapat mengharmoniskan pengelolaan keuangan daerah, baik
antara pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat, serta antara pemerintah daerah dan DPRD,
ataupun antara pemerintahan daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat
mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, berdasarkan tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas,
dan partisipatif.
Dalam perkembangan terakhir, isu-isu strategis tentang penerimaan daerah
(pendapatan daerah) dan pengeluaran daerah (belanja daerah) adalah berkaitan dengan
bagaimana meningkatkan ruang gerak fiskal (fiscal space) pemerintah daerah, sehingga
meningkatkan kapabilitas penerimaan daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan
pembangunan. Selain itu dari sisi pengeluaran adalah bagaimana meningkatkan kondisi
pengeluaran daerah (belanja daerah) untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan
dasar lainnya.
Semuanya itu akan sangat dipengaruhi oleh pola hubungan transaksi antara lembaga
eksekutif dan legislatif dalam menentukan APBD, serta kondisi ekonomi sebagai faktor
internal, dan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal, yaitu kondisi lingkungan ekonomi global
dan nasional yang menentukan kemampuan Pemerintah Pusat dalam membiayai
pembangunan daerah melalui desentralisasi fiskal.
Ruang gerak fiskal (fiscal space) ada ketika pemerintah dapat meningkatkan
pengeluaran tanpa menyebabkan pengaruh buruk terhadap solvabilitas fiskal, atau dapat juga
tanpa mengganggu solvabilitasnya. Ruang gerak fiskal didefinisikan sebagai total pengeluaran
dikurangi pengeluaran untuk pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan transfer ke daerah.
Ketika pendapatan asli daerah (PAD) hanya dapat meningkat dalam jumlah terbatas,
sedangkan dana perimbangan dari pemerintah pusat bersifat given, maka di sisi lain kebutuhan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta
layanan dasar lainnya sesuai amanat undang-undang tidak dapat dihindari, maka upaya
meningkatkan ruang gerak fiskal menjadi sangat penting artinya.
Dalam konteks di daerah, peningkatan ruang gerak fiskal ini salah satunya dapat
dicapai melalui harmonisasi hubungan transaksional antara eksekutif dan legislatif dalam
penetapan APBD. Peningkatan ruang gerak fiskal ini tercapai jika keleluasaan eksekutif untuk
menentukan anggaran-anggaran yang menjadi prioritas kebutuhan pembangunan yang
disusun berdasarkan visi, misi dan program kepala daerah semakin meningkat.
Permasalahan yang terkait aspek perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah
adalah bagaimana melakukan sinkronisasi antara kebijakan, perencanaan, dan
penganggaran. Apa yang sudah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah daerah harus sama
dengan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Selanjutnya pada saat dilakukan
penganggaran, apa yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran
harus diterjemahkan sama dalam dokumen penganggaran, agar dapat dilihat hubungan
keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan bentuk manajemen keuangan
daerah dalam pengalokasian sumber daya di daerah secara optimal, sekaligus juga alat
evaluasi prestasi pemerintah dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya. Karena itu,
setiap belanja pemerintah harus ditujukan untuk kepentingan publik, dan harus
dipertanggungjawabkan pemakaiannya. Dengan kata lain, APBD harus bermanfaat
sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Ada tiga fungsi utama dalam pengelolaan anggaran pemerintah daerah, yakni
alokasi, distribusi dan stabilitas. Fungsi alokasi dimaksudkan agar APBD digunakan untuk
kepentingan penyelenggaraan pemerintah sehingga pelayanan publik semakin baik, termasuk
penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai. Pemerataan pendapatan dan
pengentasan masyarakat miskin merupakan perwujudan fungsi distribusi. Sementara fungsi
stabilitas ditujukan menciptakan lingkungan kondusif bagi kegiatan ekonomi, untuk
Penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun secara
umum mengalami peningkatan walaupun bersifat fluktuatif. Peningkatan pendapatan masih
didominasi oleh sumber-sumber pendapatan yang diperoleh dari dana perimbangan baik pos
bagi hasil pajak/ bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Salah satu ukuran untuk mengetahui
kemampuan fiskal daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan masyarakat dapat dilihat dari
kapasitas keuangan daerah yakni dengan membandingkan antara pendapatan dengan APBD.
Kenyataan menunjukkan bahwa masih tingginya ketergantungan terhadap anggaran yang
berasal dari dana perimbangan.
Ada tiga komponen penting dalam pengelolaan keuangan daerah sesuai peraturan
pemerintah, yaitu pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Sesuai
peraturan pemerintah, maka penjabaran masing-masing komponen dilakukan sejalan dengan
hal tersebut. Secara umum arah kebijakan keuangan daerah tetap mengacu pada ketentuan
perundangan yang berlaku, antara lain, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
3.3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah
Kebijakan pengelolaan pendapatan daeah diarahkan untuk menggali dan
mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi pendapatan daerah termasuk mengembangkan sektor-sektro potensial yang
selama ini belum optimal. Optimalisasi peningkatan pendapatan daerah terhadap obyek yang
betul-betul potensial dilakukan dengan tidak memberatkan masyarakat serta tidak merusak
lingkungan
Merujuk pada konsep hak dan kewajiban, dan menerapkannya pada pengelolaan
keuangan daerah, maka pendapatan daerah merupakan hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih, dan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, komponen pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana
Perimbangan, dan lain-Lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak
daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
PAD yang sah. Dana Perimbangan, yang berasal dari pemerintah pusat, terdiri dari Dana
dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak. Selain itu lain-lain pendapatan daerah yang sah dapat
berupa hibah, dana darurat, dan bantuan keuangan pemerintah daerah lainnya.
Pada dana perimbangan ini (DAU, DAK, bagi hasil pajak / bagi hasil bukan pajak),
akurasi penggunaan pendekatan metode proyeksi belum ada yang benar – benar dapat
dipergunakan sebagai pedoman, karena penentuan dana perimbangan yang berasal dari
pusat merupakan pemberian langsung (given) dan sangat tergantung kepada beberapa hal
antara lain :
a. Kebutuhan fiskal adalah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar, dengan dasar ukuran jumlah penduduk,
luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, PDRB perkapita dan IPM (Index
Pembangunan Manusia).
b. Kapasitas fiskal adalah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal
dari PAD dan dana bagi hasil.
Pengelolaan pendapatan daerah harus memperhatikan upaya untuk meningkatkan
pajak dan retribusi serta penerimaan daerah lainnya. Hal ini dimungkinkan karena pendapatan
daerah dalam sruktur APBD Kabupaten Ponorogo masih merupakan momen yang cukup
penting perananya dalam mendukung penyelengggaraan pemerintahan maupun pelayanan
publik.
Arah pengelolaan pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2011 ditekankan
pada mobilisasi sumber-sumber PAD dan penerimaan lainnya guna lebih mengoptimalkan
kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan daerah
Kabupaten Ponorogo meliputi 3 (tiga) sumber pendapatan yaitu:
1. Pendapatan Asli Daerah
2. Dana Perimbangan
3. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Adapun proyeksi pendapatan daerah Kabupaten Ponorogo untuk tahun 2011 secara rinci
Tabel 3.1. Proyeksi Pendapatan Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Pendapatan Daerah
NO URAIAN
Tahun 2012 Tahun 2013
1. Pendapatan Asli Daerah 77.381.702.550,00 81.387.000.000,00 1.1 Pajak Daerah 12.847.200.000,00 13.223.000.000,00 1.2 Retribusi Daerah 14.688.576.950,00 15.791.000.000,00 1.3 Hasil Pengelolaan Daerah yang
dipisahkan 1.496.481.000,00 1.607.000.000,00
1.4 Lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah 48.349.444.600,00 50.766.000.000,00
2. Dana Perimbangan 907.372.284.310,69 957.962.972.966,69 2.1 Dana bagi hasil pajak/ bukan
pajak 65.907.865.310,69 65.907.865.310,69
2.2 Dana Alokasi Umum 779.077.679.000,00 829.668.367.655,00 2.3 Dana Alokasi Khusus 62.386.740.000,00 62.386.740.000,00
3 Lain-lain Pendapatan Daerah
Yang Sah 196.536.865.681,49 189.536.411.159,00
3.1 Hibah - -
3.2 Dana Darurat - -
3.3 Dana Bagi Hasil Pajak dari
Propinsi dan Pemda lainnya 48.292.454.522,49 50.292.000.000,00 3.4 Dana Penyesuaian otonomi
khusus 108.490.939.320,00 99.490.939.320,00
3.5 Bantuan Keuangan dari
Propinsi atau Pemda Lainnya 39.753.471.839,00 39.753.471.839,00
Jumlah Pendapatan APBD 1.181.290.852.542,18 1.228.886.384.124,69
Sumber: DPPKAD Tahun 2012
3.3.2. Arah Pengelolaan Belanja Daerah
Arah pengelolaan belanja daerah Kabupaten Ponorogo pada tahun 2012
ditekankan pada peningkatan proporsi belanja untuk kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Ponorogo dengan tetap memperhatikan proporsi dan eksistensi
penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga perlu penekanan pada efisiensi belanja
prioritisasi program dalam mendukung pembangunan daerah.Belanja daerah, atau
yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai salah satu instrumen
kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah (pemerintah daerah), di samping pos
pendapatan pemerintah daerah.
Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan
perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan
yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan-penerimaan yang bersumber
dari masyarakat, maka akan dapat mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian
(terjadi kontraksi perekonomian).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 menegaskan, belanja daerah
merupakan semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas
dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (provinsi ataupun
kabupaten/kota) yang meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 juga telah menentukan,
struktur belanja terdiri dari belanja tidak langsung, dan belanja langsung. Belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja bunga, belanja
subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak
terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, belanja
barang dan jasa, serta belanja modal.
Selain itu belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang
diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial
dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Proyeksi belanja
Tabel 3.2. Proyeksi Belanja Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2013
Belanja Daerah
No Uraian
Tahun 2012 Tahun 2013 2.1 Belanja Tidak Langsung 845.267.216.124,50 874.085.485.027,00 2.1.1 Belanja Pegawai 770.362.177.110,00 808.063.186.127,00
2.1.2 Belanja Bunga 37.000.000,00 -
2.1.3 Belanja Subsidi - -
2.1.4 Belanja Hibah 1.627.500.000,00 1.627.500.000,00 2.1.5 Belanja Bantuan sosial 10.423.070.000,00 10.423.070.000,00 2.1.6 Belanja Bagi Hasil Kepada
Propinsi/ Kabupaten/ Kota dan Pemerintah Desa
2.320.075.000,00 2.320.075.000,00
2.1.7 Belnja Bantuan Keuangan Propinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa
48.651.653.900,00 48.651.653.900,00
2.1.8 Belanja Tidak Terduga 11.845.740.114,50 3.000.000.000,00
2.2 Belanja Langsung 394.995.836.751,38 364.600.899.097,69 2.2.1 Belanja Pegawai 34.368.603.500,00
2.2.2 Belanja Barang dan Jasa 159.376.999.521,00 2.2.3 Belanja Modal 201.250.233.730,38
Jumlah Belanja 1.240.263.052.875,88 1.238.686.384.124,69 Surplus/ (Defisit) (58.972.200.333,70) (9.800.000.000,00) Sumber: DPPKAD Tahun 2012
3.3.3. Arah Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk
menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Jika pendapatan daerah lebih
kecil daripada belanja daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang defisit, dan harus ditutupi
dengan penerimaan daerah. Sebaliknya, jika pendapatan daerah lebih besar daripada belanja
daerah, maka terjadi transaksi keuangan yang surplus, dan harus digunakan untuk
pengeluaran daerah. Karena itu, pembiayaan daerah terdiri penerimaan daerah dan
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, penerimaan daerah
berasal dari sumber antara lain, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu (Silpa);
Pencairan dana cadangan; Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; Penerimaan
pinjaman daerah; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan penerimaan piutang daerah.
Sedangkan sumber pengeluaran daerah, antara lain, Pembentukan dana cadangan;
Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah; Pembayaran pokok utang; dan pemberian
pinjaman daerah. Secara rinci proyeksi pembiayaan daerah tahun 2012 sebagaimana dalam
tabel berikut:
Tabel 3.3. Proyeksi Pembiayaan Daerah Kabupaten Ponorogo tahun 2013
Pembiayaan Daerah
Nomor Uraian
Tahun 2012 Tahun 2013 3.1 Penerimaan Pembiayaan 59.538.450.333,70 10.300.000.000,00 3.1.1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Tahun Sebelumnya (SILPA) 59.238.450.333,70 10.000.000.000,00
3.1.2 Pencaiaran Dana Cadangan - -
3.1.3 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah
yang dipisahkan - -
3.1.4 Penerimaan Pinjaman - -
3.1.6 Penerimaan Piutang 300.000.000,00 300.000.000,00
3.2 Pengeluaran Pembiayaan 566.250.000,00 500.000.000,00
3.2.1 Pembentukan Dana Cadangan - -
3.2.2 Penyertaan Modal (Investasi)
Pemerintah daerah 150.000.000,00 500.000.000,00 3.2.3 Pembayaran pokok hutang yang
jatuh tempo 416.250.000,00 -
3.2.4 Pemberian pinjaman daerah - -