SINTESIS INHIBITOR KOROSI MELALUI REAKSI
AMINOLISIS TERHADAP
PALM KERNEL OIL
(PKO) DAN
UJI PERFORMANYA PADA BAJA
LAPORAN TUGAS AKHIR
Oleh:
Norma Nindya Kirana
105116028
FAKULTAS SAINS DAN ILMU KOMPUTER
PROGRAM STUDI KIMIA
UNIVERSITAS PERTAMINA
AGUSTUS 2020
Universitas Pertamina – i
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir
: Sintesis Inhibitor Korosi melalui Reaksi
Aminolisis terhadap
Palm Kernel Oil
(PKO) dan Uji Performanya pada Baja
Nama Mahasiswa
: Norma Nindya Kirana
Nomor Induk Mahasiswa
: 105116028
Program Studi
: Kimia
Fakultas
: Sains dan Ilmu Komputer
Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 08 September 2020
Jakarta, 14 September 2020
Disetujui oleh,
Pembimbing I
Pembimbing II
15/09/2020
Dr. Eng. Haryo S.O, S.Si., M.Eng.
Dr. Eng. Sri Hastuty, S.T., M.T., M.Eng.
NIP
: 116104
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi
Dr. Nila Tanyela Berghuis, M.Si.
118001
Universitas Pertamina - ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul
“
Sintesis Inhibitor
Korosi melalui Reaksi Aminolisis terhadap
Palm Kernel Oil
(PKO) dan Uji
Performanya pada Baja
”
ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya
sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali telah
dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan secara jelas sesuai
dengan kaidah penulisan karya ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (
non-exclusive
royalty-free right
) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan
hak bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan,
mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkatan data
(
database
), merawat, dan mempublikasikan Proposal Tugas Akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Jakarta, 14 September 2020
Yang membuat pernyataan,
Universitas Pertamina - iii
ABSTRAK
Norma Nindya Kirana. 105116028.
Sintesis Inhibitor Korosi melalui Reaksi
Aminolisis terhadap
Palm Kernel Oil
(PKO) dan Uji Performanya pada Baja.
Penelitian tugas akhir ini adalah mensintesis inhibitor korosi berbahan dasar
Palm Kernel Oil
(PKO) dengan metode aminolisis yang dibantu dengan katalis
CaO dan menghasilkan inhibitor korosi berupa
fatty acid diethanolamide
dengan 2 rasio, yaitu 1:6 dan 1:20. Produk inhibitor korosi dikarakterisasi
menggunakan
Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FTIR), dan
menunjukkan bahwa terdapat pembentukan peak pada bilangan gelombang
1620 cm
-1(1:6) dan 1622 cm
-1(1:20) yang mengindikasikan telah
terbentuknya gugus fungsi C=O amida tersier. Uji performa inhibitor korosi
dilakukan terhadap baja karbon rendah (ASTM A36) dengan metode polarisasi
potensiodinamik. Pengujian dilakukan dengan 5 konsentrasi inhibitor korosi
yang berbeda yaitu 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm yang
dilarutkan dalam larutan uji korosif berupa NaCl 3,5%. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa penambahan inhibitor korosi dapat menurunkan laju
korosi menjadi 0,01 mm/year dengan efisiensi penghambatan 93,18% (rasio
1:6) dan 0,06 mm/year dengan efisiensi penghambatan 73,79% (rasio 1:20).
Kata kunci: Aminolisis
, palm kernel oil
,
fatty acid diethanolamide,
inhibitor
Universitas Pertamina - iv
ABSTRACT
Norma Nindya Kirana. 105116028
. Synthesis of Corrosion Inhibitors
through Aminolysis Reaction to Palm Kernel Oil (PKO) and its Performance
Test on Steel.
This final project research is to synthesize a corrosion inhibitor based on Palm
Kernel Oil (PKO) with the aminolysis method assisted by CaO catalyst and
produce a corrosion inhibitor in the form of fatty acid diethanolamide with 2
ratios, namely 1: 6 and 1:20. Corrosion inhibitor products were characterized
using Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) and showed that there
was peak formation at wavenumbers 1620 cm-1 (1: 6) and 1622 cm-1 (1:20)
which indicated that the C = O (tertiary amide) functional group had been
formed. The corrosion inhibitor performance test was carried out on low
carbon steel (ASTM A36) by the potentiodynamic polarization method. Tests
were carried out with 5 different concentrations of corrosion inhibitors,
namely 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, and 1000 ppm dissolved in a
corrosive test solution in the form of NaCl 3.5%. The test results show that the
addition of corrosion inhibitor can reduce the corrosion rate to 0.01 mm/year
with an inhibition efficiency of 93.18% (ratio 1: 6) and 0.06 mm / year with an
inhibition efficiency of 73.79% (ratio 1:20).
Keywords: Aminolysis, palm kernel oil, fatty acid diethanolamide, corrosion
inhibitor, corrosion rate, inhibition efficiency
Universitas Pertamina - v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan izin-Nya
laporan tugas akhir
yang berjudul “
Sintesis Inhibitor Korosi melalui Reaksi
Aminolisis terhadap
Palm Kernel Oil
(PKO) dan Uji Performanya pada Baja
”
dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini, tentunya penulis mendapat bantuan
dan dukungan dari orang-orang, secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak tersebut,
antara lain :
1.
Orang Tua dan adik (Chandrika Amaranila) yang selalu memberikan doa,
dukungan, dan semangat dalam penyusunan laporan tugas akhir,
2.
Ibu Dr. Nila Tanyela Berghuis, M.Si. selaku ketua Program Studi Kimia
Universitas Pertamina, yang telah senantiasa memberi dukungan bagi
mahasiswa Kimia 2016 dalam penyelesaian laporan tugas akhir,
3.
Bapak Dr. Eng. Haryo Satriya Oktaviano, S.Si., M.Eng. selaku pembimbing
I tugas akhir, yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan dalam
penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir,
4.
Ibu Dr. Eng. Sri Hastuty, S.T., M.T., M.Eng. selaku pembimbing II tugas
akhir, yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan dalam
penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir,
5.
Bapak Agung Nugroho, Ph.D., selaku dosen Teknik kimia dan dosen
pembimbing I bagi Franky dan Ariel yang telah senantiasa membantu
dalam pengujian inhibitor korosi di Laboratorium,
6.
Ayu, Franky, Ariel, Himawan, dan Rico sebagai rekan satu tim penelitian
tugas akhir yang saling memberikan dukungan dan semangat dalam
penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir ini,
7.
Seluruh tim bimbingan Pak Haryo dan teman
–
teman Program Studi
Kimia angkatan 2016 yang selalu memberikan dukungan dan semangat
dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini, dan
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
laporan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun agar laporan tugas akhir ini dapat mencapai
kesempurnaan. Semoga laporan tugas akhir ini dapat memberikan manfaat
kepada pihak-pihak dengan bidang terkait.
Jakarta, 14 September 2020
Universitas Pertamina - vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK... iii
ABSTRACT ... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR PERSAMAAN ... xii
DAFTAR SINGKATAN ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Rumusan masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Batasan masalah ... 4
1.5 Tujuan penelitian ... 4
1.6 Manfaat penelitian ... 5
1.7 Lokasi penelitian ... 5
1.8 Waktu pelaksanaan penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1
Palm kernel oil
(PKO) ... 6
2.2 Aminolisis ... 7
2.3 Baja ASTM A36 ... 8
2.4 Korosi ... 9
2.5 Inhibitor korosi
...
14
2.6 FTIR (
Fourier Transform Infrared Spectroscopy)...
16
2.7 XRD (
X-Ray Diffraction)...
17
Universitas Pertamina - vii
BAB III METODE PENELITIAN ...19
3.1 Bentuk penelitian ...19
3.2 Alat dan bahan ...19
3.2.1 Alat ...19
3.2.2 Bahan ...20
3.3 Prosedur kerja ...20
3.3.1 Penentuan %ALB pada
palm kernel oil
(PKO) ...20
3.3.2 Karakterisasi katalis CaO ...21
3.3.3 Aminolisis PKO dengan dietanolamina ...22
3.3.4 Pemurnian
fatty acid diethanolamide
...23
3.3.5 Uji densitas dan viskositas ...23
3.3.6 Uji performa inhibitor korosi ...25
3.4 Metode Analisis Data ...25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...26
4.1 Penentuan %asam lemak bebas pada
palm kernel oil
(PKO) ...26
4.2 Hasil karakterisasi katalis CaO dengan XRD ...27
4.3 Aminolisis PKO dengan dietanolamina ...28
4.4 Hasil karakterisasi FTIR ...30
4.5 Pengukuran densitas dan viskositas ...32
4.6 Pengujian performa inhibitor korosi pada material baja karbon rendah
(ASTM A-36) ...35
4.7 Mekanisme Penghambatan Korosi pada Permukaan Baja ASTM A-36
...35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...45
5.1 Kesimpulan ...45
5.2 Saran ...46
DAFTAR PUSTAKA ...47
Universitas Pertamina - viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Komposisi minyak inti sawit ... 6
Tabel 2.2 Komposisi baja ASTM A-36 ... 8
Tabel 4.1. Data hasil penentuan %ALB pada palm kernel oil (PKO) ... 26
Tabel 4.2. Persentase (%) yield yang dihasilkan pada reaksi aminolisis ... 30
Tabel 4.3. Data hasil karakterisasi menggunakan FTIR ... 31
Tabel 4.4. Hasil pengukuran densitas ... 33
Tabel 4.5. Hasil pengukuran viskositas ... 34
Tabel 4.6 Data nilai Eocp ... 36
Tabel 4.7 Nilai Ecorr, Icorr, βa, βc, laju korosi, dan %efisensi penghambatan ... 40
Universitas Pertamina - ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mekanisme reaksi aminolisis ... 7
Gambar 2.2. Korosi seragam ... 10
Gambar 2.3. Ilustrasi korosi celah ... 11
Gambar 2.4. Korosi lubang ... 11
Gambar 2.5. Korosi intergranullar ... 12
Gambar 2.6. Pelindian selektif atau dealloying ... 12
Gambar 2.7. Pola aliran pada korosi erosi ... 13
Gambar 2.8. Korosi kavitasi ... 13
Gambar 2.9. Fourier Transform Infrared Spectroscopy ... 16
Gambar 2.10. X-ray Diffraction... 17
Gambar 2.11. Potensiostat ... 18
Gambar 3.1. Diagram alir standarisasi larutan KOH ... 20
Gambar 3.2. Diagram alir penentuan %ALB ... 20
Gambar 3.3. Diagram alir karakterisasi katalis CaO ... 21
Gambar 3.4. Diagram alir prosedur aminolisis (PKO : DEA (1:6)) ... 22
Gambar 3.5. Diagram alir prosedur aminolisis (PKO : DEA (1:20)) ... 22
Gambar 3.6. Diagram alir pemisahan fatty acide diethanolamide ... 23
Gambar 3.7. Diagram alir uji densitas ... 24
Gambar 3.8. Diagram alir uji viskositas ... 24
Gambar 3.9. Diagram alir uji performa inhibitor korosi ... 25
Gambar 4.1. Palm kernel oil (PKO) ... 26
Gambar 4.2. Katalis CaO ... 27
Gambar 4.3. Hasil XRD untuk katalis CaO ... 28
Gambar 4.4. Reaksi aminolisis ... 29
Gambar 4.5. (A) PKO : DEA (1:6), (B) PKO : DEA (1:20) ... 29
Gambar 4.6. Spektrum FTIR inhibitor korosi rasio 1:6 dan 1:20 ... 30
Gambar 4.7. Rangkaian alat untuk uji performa inhibitor korosi ... 35 Gambar 4.8. Tafel uji performa inhibitor korosi 1:6 pada larutan uji korosif NaCl 3,5% ... 37
Universitas Pertamina - x Gambar 4.9. Tafel uji performa inhibitor korosi 1:20 pada larutan uji korosif NaCl 3,5% ... 37 Gambar 4.10. Grafik hubungan konsentrasi dengan laju korosi pada inhibitor FAD 1:6 dan 1:20 ... 41 Gambar 4.11. Grafik hubungan konsentrasi dengan %efisiensi penghambatan pada inhibitor FAD 1:6 dan 1:20 ... 41
Universitas Pertamina - xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gantt chart perencanaan agenda penelitian tugas akhir ... 52
Lampiran 2. Perhitungan MW PKO ... 52
Lampiran 3. Penentuan %asam lemak bebas (ALB) pada palm kernel oil (PKO) ... 52
Lampiran 4. Analisis ukuran kristalit pada sampel CaO ... 53
Lampiran 5. Perhitungan persen (%) yield hasil sintesis inhibitor korosi ... 54
Lampiran 6. Perhitungan densitas dan viskositas ... 54
Lampiran 7. Fitting tafel polarisasi potensiodinamik ... 57
Lampiran 8. Perhitungan laju korosi (mm/year) dan efisiensi penghambatan (%) .. 57
Lampiran 9. Foto larutan uji ... 59
Universitas Pertamina - xii
DAFTAR PERSAMAAN
Persamaan [2.1] Reaksi pada anoda... 10
Persamaan [2.2] Reaksi reduksi pada katoda ... 10
Persamaan [2.3] Reaksi katodik dalam media asam ... 10
Persamaan [2.4] Reaksi katodik dalam media netral ... 10
Persamaan [2.5] Reduksi oksigen ... 11
Persamaan [2.6] Reaksi oksidasi ... 11
Persamaan [2.7] Hukum bragg ... 17
Persamaan [4.1] %ALB ... 26
Persamaan [4.2] Densitas ... 32
Persamaan [4.3] Viskositas ... 32
Persamaan [4.4] Laju korosi ... 38
Persamaan [4.5] %Efisiensi penghambatan ... 38
Persamaan [4.6] Reaksi pada anodik ... 41
Persamaan [4.7] Reaksi pada katodik ... 41
Universitas Pertamina - xiii
DAFTAR SINGKATAN
Lambang/Singkatan
Arti Keterangan
FTIR
Fourier Transform Infrared SpectroscopyPKO
Palm Kernel Oil
PP
Phenolptalein
CI
Corrosion Inhibitor
DEA
Diethanolamine
XRD
X-ray Diffraction
OCP
Open Circuit Potential
Universitas Pertamina - 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan untuk pemenuhan sumber energi di dunia tidak dapat dipisahkan dari peran industri minyak atau gas alam, di mana hasil produksi menyumbang 60% dari kebutuhan energi global [1-2]. Industri ini melibatkan banyak peralatan proses yang kompleks dan bekerja terus menerus pada suhu tinggi, tekanan tinggi, dan aliran yang memiliki nilai pH atau konsentrasi ion yang berbeda. Salah satu peralatan ini adalah unit desalinasi, di mana unit ini penting untuk memproses bahan baku, seperti pemisahan minyak mentah dari komponen pengotornya, berupa pasir dan garam. Komponen garam yang biasanya ada dalam minyak mentah adalah kalsium, natrium, dan magnesium klorida. Oleh karena itu, kandungan garam ini harus dikurangi hingga 10-20 PTB (pon per seribu barel) [3].
Komponen umum yang digunakan dalam peralatan tersebut adalah besi dan paduannya. Salah satu contoh bahan yang biasa digunakan dalam peralatan dan komponen industri adalah baja karbon, seperti untuk komponen struktural atau pipa industri. Baja karbon dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan kandungan karbonnya, termasuk baja karbon rendah (<0,25% C), baja karbon sedang (0,25-0,70% C) dan baja karbon tinggi (0,70-1,05% C) [4]. Kemudian, jenis logam yang sering digunakan untuk peralatan industri adalah baja karbon rendah, misalnya baja karbon rendah digunakan dalam unit desalinasi [3].
Bahan baja karbon rendah yang digunakan ternyata rentan terhadap degradasi, seperti ketika bersentuhan langsung dengan air. Kemudian, hal ini dapat diperburuk dengan kehadiran ion klorida, misalnya dalam air laut [3]. Dengan demikian, pipa atau peralatan industri yang berbahan dasar baja karbon rendah tidak dapat terhindar dari fenomena korosi [5]. Korosi baja yang terjadi secara alami, dapat menghasilkan dampak yang dapat mempengaruhi aspek ekonomi, lingkungan, dan keselamatan [6-7].
Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengontrol proses korosi adalah penggunaan inhibitor korosi yang ditambahkan pada suatu aliran fluida dalam pipa. Secara umum, inhibitor korosi dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan bahan bakunya, yaitu inhibitor organik dan inhibitor anorganik. Inhibitor anorganik seperti nitrit, fosfat, dan kromat merupakan bahan kimia yang mahal, dan berbahaya bagi kesehatan manusia serta lingkungan. Misalnya, senyawa kromat, yang mengandung sifat toksik hingga dapat menyebabkan kanker pernapasan, saat digunakan dalam skala besar. Sementara itu, inhibitor organik yang terkenal adalah senyawa heteroatom yang mengandung unsur nitrogen, fosfor, oksigen, dan sulfur [8]. Keberadaan molekul organik mampu bertindak sebagai inhibitor korosi, karena afinitasnya terhadap permukaan logam, dan membentuk film yang dapat mencegah proses pelarutan logam [9].
Universitas Pertamina - 2 Berdasarkan kelebihannya, proses pengembangan inhibitor korosi organik tentu membutuhkan bahan baku yang tidak beracun, biodegradable, ramah lingkungan, dan tersedia secara luas. Sumber bahan baku terbarukan yang memiliki peran signifikan dalam pengembangan produk penghambat korosi berbasis kimia hijau adalah tanaman biji minyak, seperti minyak sawit [10].
Minyak kelapa sawit adalah komoditas tanaman terbesar di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Selain itu, tanaman ini sangat produktif, dengan biaya produksi yang cukup rendah, tetapi memberikan manfaat yang cukup besar, dan sampai saat ini tidak ada tanaman biji minyak lain yang mampu mendekati tanaman minyak sawit dalam hal hasil dan biaya produksi [11]. Pabrik kelapa sawit menghasilkan dua jenis produk, yaitu crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO). Crude palm oil (CPO) umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk membuat produk makanan, seperti minyak goreng dan margarin. Sementara itu, minyak inti sawit digunakan sebagai bahan dasar utama produk non makanan termasuk sabun, detergen, surfaktan, dan kosmetik [12].
Kemudian, kelanjutan dari proses perluasan untuk kemajuan produk kelapa sawit, selain dari produk CPO adalah mengembangkan minyak inti sawit (PKO), yang dapat digunakan sebagai bahan utama untuk membuat produk non pangan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai produk dari minyak inti sawit, dan divisi non pangan dapat menjadi pilihan yang tepat, karena tidak akan bersaing dengan kebutuhan manusia yang penting, dalam segmen makanan, dan juga karena memiliki prospek besar apabila dikembangkan [13-14].
Berdasarkan laporan penelitian sebelumnya, inhibitor organik juga telah dikembangkan dengan menggunakan bahan baku seperti ekstrak tumbuhan, ekstrak kulit
Diospyros Kaki L.f., tandan kosong kelapa sawit, minyak dedak padi, dan minyak kelapa [5][9][15-17]. Seiring perkembangannya, inhibitor organik dapat diproses untuk memiliki nilai tambah menjadi inhibitor korosi, dengan mensintesis asam lemaknya, untuk menghasilkan produk, seperti fatty acid diethanolamide. Dalam penelitian sebelumnya, telah dijelaskan juga bahwa fatty acid diethanolamide. dapat diproduksi dari produk sampingan agroindustri, dalam bentuk minyak dedak padi, dan penelitian ini melaporkan bahwa minyak dedak padi mampu menghambat korosi dalam elektrolit 3,5% NaCl dengan efisiensi penghambatan naik hingga 95% [9].
Proses produksi inhibitor korosi organik terdiri dari beberapa metode yang umum digunakan, termasuk metode ekstraksi cair-cair atau padat-cair yang umumnya dilakukan pada bagian tanaman atau limbah dari produk tanaman, yang telah dikeringkan dan dihaluskan terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan larutan alkohol atau larutan organik [17-18]. Kemudian, metode hidrolisis digunakan untuk mendapatkan asam lemak yang akan disintesis menggunakan metode sulfonasi (yang dicampur dengan asam sulfat), untuk mendapatkan produk inhibitor korosi [19]. Selain itu, ada metode aminolisis yang merupakan proses sintesis amida langsung, dengan bahan baku dalam bentuk minyak nabati yang dicampur dengan sumber amina, untuk diubah menjadi produk penghambat korosi [9-10].
Universitas Pertamina - 3 Namun, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan beberapa metode yang telah dijelaskan, metode aminolisis belum dikembangkan dengan baik untuk menghasilkan inhibitor korosi [5][9][15-17]. Oleh karena itu, penelitian ini bekerja pada pembuatan inhibitor korosi, dalam bentuk fatty acid diethanolamide berbasis PKO melalui metode aminolisis dan pengujian korosi pada material baja karbon rendah dalam elektrolit NaCl.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah yang muncul pada penelitian tugas akhir ini, yaitu:
1. Bagaimana sintesis inhibitor korosi berbahan dasar palm kernel oil?
2. Bagaimana kemampuan inhibitor korosi dalam menghambat laju korosi pada material baja karbon rendah (ASTM A36) di larutan uji korosif berupa NaCl 3,5%?
3. Bagaimana pengaruh konsentrasi inhibitor korosi (fatty acid diethanolamide) terhadap laju korosi dan efisiensi penghambatan pada material baja karbon rendah (ASTM A36)?
4. Berapakah konsentrasi optimum inhibitor korosi (fatty acid diethanolamide) dalam menghambat laju korosi pada material baja karbon rendah (ASTM A36) di dalam larutan uji korosif berupa NaCl 3,5%?
1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari masalah yang dihadapi dan akan diuji dan dibuktikan kebenarannya. Penelitian ini dilakukan untuk memproduksi inhibitor korosi yang dapat menurunkan laju korosi serta memiliki efisiensi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan konsentrasi inhibitor korosi dalam suatu larutan uji bersifat korosif, yaitu NaCl 3,5%. Berikut merupakan perumusan hipotesis dari penelitian ini :
H0 : Penggunaan inhibitor korosi berupa fatty acid diethanolamide yang berbahan dasar palm kernel oil (PKO) dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm tidak dapat menurunkan laju korosi dan tidak menghasilkan nilai %efisiensi penghambatan korosi pada baja karbon rendah (ASTM A36) dalam larutan uji korosif berupa NaCl 3.5%.
H1 : Penggunaan inhibitor korosi berupa fatty acid diethanolamide yang berbahan dasar palm kernel oil (PKO) dengan konsentrasi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm dapat menurunkan laju korosi dan menghasilkan nilai %efisiensi penghambatan korosi pada baja karbon rendah (ASTM A36) dalam larutan uji korosif berupa NaCl 3.5%.
Universitas Pertamina - 4
1.4 Batasan Masalah
Penelitian tugas akhir ini memiliki ruang lingkup masalah agar bersifat lebih spesifik untuk menjawab rumusan masalah. Batasan masalah pada penelitian tugas akhir ini, yaitu:
1. Inhibitor korosi berasal dari bahan alam dan senyawa organik, yaitu berupa palm kernel oil dan dietanolamina dengan rasio 1:6 dan 1:20.
2. Metode sintesis Inhibitor korosi yang digunakan adalah metode aminolisis. 3. Katalis yang digunakan dalam metode aminolisis adalah katalis heterogen berupa
kalsium oksida.
4. Uji densitas dan viskositas dilakukan terhadap inhibitor korosi, baik pada rasio 1:6 maupun 1:20.
5. Material uji yang digunakan adalah material baja karbon rendah (ASTM A36). 6. Pengamatan laju korosi pada material baja karbon rendah (ASTM A36) dilakukan
dengan menggunakan inhibitor korosi yang berasal dari hasil sintesis palm kernel oil dengan dietanolamina dalam konsentrasi inhibitor korosi yang berbeda-beda, yaitu 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm.
7. Uji performa yang dilakukan meliputi penentuan laju korosi dan efisiensi penghambatan yang dilakukan dengan pengukuran menggunakan metode polarisasi potensiodinamik.
8. Penentuan laju korosi dan efisiensi penghambatan dilakukan terhadap material uji berupa baja karbon rendah (ASTM A36) dalam lingkungan uji korosif berupa NaCl 3,5%.
9. Hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan
Fourier Transform Infrared
Spectroscopy
(FTIR) untuk mengetahui keberadaan gugus fungsi amida.1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian tugas akhir ini memiliki beberapa tujuan untuk mengatasi beberapa rumusan masalah yang muncul, yaitu:
1. Mensintesis inhibitor korosi berbahan dasar palm kernel oil untuk menghasilkan produk berupa fatty acid diethanolamide yang merupakan senyawa amida tersier. 2. Menentukan nilai laju korosi dan %efisiensi penghambatan dari inhibitor korosi pada material baja karbon rendah (ASTM A36) dalam larutan korosif berupa NaCl 3,5 % dengan konsentrasi inhibitor korosi sebesar 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm.
3. Menentukan konsentrasi optimum inhibitor korosi untuk menghambat korosi pada material baja karbon rendah (ASTM A36) dalam larutan korosif berupa NaCl 3,5 %.
Universitas Pertamina - 5
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya:
1. Memberikan informasi tentang pentingnya mengembangkan inhibitor korosi hasil sintesis dari palm kernel oil dengan dietanolamina, yang dapat digunakan sebagai inhibitor alternatif yang lebih ramah lingkungan daripada inhibitor korosi organic dan anorganik.
2. Memberikan informasi tentang efisiensi inhibitor korosihasil sintesis dari palm kernel oil dengan dietanolamina dalam menurunkan laju korosi pada material uji baja karbon rendah (ASTM A36) dalam lingkungan uji korosif berupa NaCl 3,5 %.
1.7 Lokasi Penelitian
Penelitian tugas akhir ini dilakukan di Laboratorium Terintegrasi Universitas Pertamina, yang beralamat di Jl. Teuku Nyak Arief, RT.7/RW.8, Simprug, Kec. Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kode pos 12220.
1.8 Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian tugas akhir ini dimulai pada bulan Oktober 2019 hingga Agustus 2020. Persiapan penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2019 hingga November 2019. Penelitian dalam laboratorium dilakukan pada bulan Desember 2019 hingga Juli 2020. Penyusunan laporan tugas akhir dan studi literatur dimulai pada bulan Januari 2020 hingga Agustus 2020. Agenda penelitian tugas akhir ini berada pada Lampiran 1.
Universitas Pertamina - 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Palm Kernel Oil (PKO)
Minyak inti sawit adalah salah satu hasil produksi dari tanaman sawit yang berasal dari bagian inti sawit dan biasa digunakan sebagai bahan baku untuk produk pangan maupun non pangan. Minyak inti sawit juga merupakan minyak dengan mayoritas kandungannya adalah asam laurat. Pada suhu ruang, minyak inti sawit berbentuk cair dan dapat difraksinasi berdasarkan perbedaan kelarutan antar komponen trigliseridanya. Komposisi asam lemak pada minyak inti sawit terdapat pada Tabel 2.1, sebagai berikut [20]:
Tabel 2.1. Komposisi minyak inti sawit [20]
Komponen Asam Lemak pada PKO Persentase Komposisi (%)
Asam heksanoat (C6:0) 0,28 Asam Kaprilat (C8:0) 4,73 Asam Kaprat (C10:0) 3,57 Asam Laurat (C12:0) 50,96 Asam Miristat (C14:0) 15,67 Asam Palmitat (C16:0) 7,31 Asam Stearat (C18:0) 1,93 Asam Oleat (C18:1) 13,29 Asam Linoleat (C18:2) 2,20 Asam Arakidat (C20:0) 0,07 Asam Paulinat (C20:1) 0,06
Tanaman minyak sawit memiliki representasi sosial ekonomi yang penting bagi negara-negara yang memproduksinya. Saat ini, komoditas sawit adalah salah satu tanaman biji minyak terbesar di dunia, dengan perkiraan produksi 18,59 juta ton pada tahun 2017. Produsen dunia utamanya adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Nigeria dan Kolombia. Negara Kolombia dan Thailand merupakan negara yang memiliki tingkat produksi tertinggi di antara 3 negara lainnya. Produksi minyak dapat memberikan manfaat sosial dan lingkungan, khususnya terhadap aspek pekerjaan dan pendapatan yang mengakibatkan kualitas hidup yang meningkat serta pengembangan pada sektor perdagangan juga meningkat [21].
Universitas Pertamina - 7 Minyak inti sawit dapat diekstraksi dengan beberapa metode, seperti: metode ekstraksi mekanik, ekstraksi pelarut, mikroemulsi, dan ekstraksi dengan cairan superkritis. Kemajuan teknologi dan potensi minyak inti sawit yang produktif dibandingkan dengan minyak biji lainnya juga mendorong pengembangan untuk pengaplikasian inti sawit. Selain itu, hasil produksi yang dihasilkan sekitar 10% dari total minyak sawit, dan mampu mencapai 0,4 hingga 0,6 MT palm kernel oil (PKO) per hectare [21].
2.2 Aminolisis
Aminolisis merupakan reaksi organik dasar untuk pembentukan senyawa amida. Reaksi ini terjadi antara senyawa ester (seperti halnya, palm kernel oil) dengan senyawa amina (salah satu contohnya adalah dietanolamina). Reaksi ini akan menghasilkan produk komersial berupa surfaktan, detergent, maupun produk inhibitor korosi, seperti
alkanolamide ataupun fatty acid amide. Berikut reaksi aminolisis beserta mekanismenya yang telah tertera pada Gambar 2.1 [22].
Gambar 2.1. Mekanisme Reaksi Aminolisis [22]
Reaksi yang terjadi berjalan dengan mekanisme adisi nukleofilik-eliminasi. Adisi nukleofilik merupakan reaksi yang terjadi antara senyawa kimia yang memiliki ikatan rangkap atau rangkap tiga, atau elektrofilik, atau ikatan π, dengan reaktan yang kaya elektron (nukleofil). Pada reaksi ini akan terjadi adisi nukelofilik dari nukleofilik amina ke karbonil, di mana ikatan rangkap akan terputus dan terjadi pembuatan dua ikatan tunggal
baru, atau σ. Lalu, dikarenakan banyak amina yang terdapat dalam reaksi, maka nitrogen akan cepat terdeprotonasi dan membentuk zat antara (intermediet) tetrahedral yang bermuatan negatif. Kemudian, untuk mengembalikan gugus C=O, maka gugus yang harus dilepaskan untuk membentuk amida adalah gugus alkoksi (-RO-). Hal ini dilakukan
Universitas Pertamina - 8 berdasarkan perbandingan nilai pKa alkohol (16) dan amina (38), di mana dapat diketahui bahwa gugus alkoksi merupakan basa yang jauh lebih lemah, sehingga lebih baik untuk menjadi leaving group dalam reaksi ini daripada basa konjugasi amina. Jadi, saat pasangan elektron bebas bergerak untuk mengembalikan ikatan C=O, maka gugus alkoksi akan dieliminasi dan amida akan dihasilkan [22].
Kemudian, metode aminolisis ini memiliki kelebihan diantaranya, gugus amida yang dihasilkan dapat menambahkan sifat hidrofilik pada sebuah produk inhibitor korosi, dan gugus amida yang dihasilkan akan digunakan untuk membentuk lapisan inhibisi pada permukaan logam. Namun, dalam sintesis ini terdapat keterbatasan, yaitu kondisi reaksi membutuhkan suhu tinggi, nukleofilisitas alkohol, dan waktu reaksi yang cukup lama. Oleh karena itu, pada reaksi aminolisis dapat menggunakan katalis berupa logam alkali, enzim seperti misalnya lipase, ataupun katalis heterogen seperti kalsium oksida [10][21][22].
2.3
Baja ASTM A-36
Material ASTM A-36 merupakan salah satu jenis material baja karbon rendah, yang memiliki densitas sebesar 7,85 g/cm3. Material ini memiliki sifat yang cocok dan umum digunakan dalam konstruksi jembatan, bangunan, pembentukan tangki, dan juga peralatan otomotif. ASTM A36 tersedia dalam beberapa bentuk, yaitu persegi panjang, persegi, maupun batang melingkar. Elemen-elemen penyusun material baja ASTM A36 terdapat pada Tabel 2.2 [23].
Tabel 2.2. Komposisi baja ASTM A-36 [23]
Elemen Persentase Berat (%)
Karbon 0.25-0.29 Tembaga 0.20 Besi 98 Mangan 1.03 Fosfor 0.040 Silikon 0.0280 Sulfur 0.050
Universitas Pertamina - 9
2.4 Korosi
Korosi merupakan proses yang terjadi secara impulsif pada logam, berupa destruksi logam. Fenomena ini didorong oleh interaksi kimia ataupun elektrokimia antara logam dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses korosi, yaitu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi, keberadaan oksigen, kandungan asam anorganik maupun organik, tekanan tinggi, dan temperatur [8]. Selain itu, pergerakan elektron juga dapat mempengaruhi proses terjadinya korosi [24]. Salah satu fenomena korosi yang sering ditemui adalah ketika logam kontak dengan udara, kemudian menghasilkan lapisan cokelat, yang disebut “karat” [25].
Karat merupakan hasil dari proses korosi dan ia tidak hanya tersusun dari oksida besi tunggal, namun juga tersusun dari campuran besi oksida. Proses terbentuknya karat pada logam lebih cepat terjadi pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi, karena keberadaan air yang cukup banyak [25]. Selain itu, proses korosi hingga akhirnya menghasilkan karat dapat terus berlanjut dan semakin meningkat apabila logam berada dalam lingkungan yang agresif, seperti natrium klorida (NaCl), karena pada lingkungan yang agresif, konduktivitas larutan pada permukaan logam meningkat [6].
Prinsip dasar korosi dibagi menjadi dua jenis, diantaranya korosi basah dan korosi kering. Korosi basah dapat terjadi apabila logam memiliki kontak dengan elektrolit [6]. Semakin lama logam kontak dengan elektrolit, semakin banyak juga produk korosi yang dihasilkan. Produk korosi tersebut akan terlarut di dalam elektrolit dan laju korosinya pun akan meningkat [24]. Pada saat yang sama, korosi kering adalah reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya seperti gas atau garam cair [6]. Dalam korosi kering, film yang stabil secara termodinamik terbentuk dan prosesnya terus dipercepat karena adanya oksigen. Film tersebut berguna bagi logam titanium, kromium, dan stainless steel sebagai lapisan pelindung. Namun, hal ini tidak diinginkan bagi logam non pasif. Pada jenis korosi ini, keberadaan sulfida dapat memperburuk permukaan logam dan menghancurkan film pelindung yang telah terbentuk [24].
Korosi memiliki berbagai bentuk dan efek pada logam. Menurut perubahan bentuk, dapat dibagi menjadi korosi seragam, korosi galvanik, korosi celah, korosi lubang, korosi
intergranullar, dealloying, korosi erosi, korosi tumbukan, korosi kavitasi, korosi fretting, stress corrosion cracking, dan Korosi fatigue [6].
Korosi seragam adalah korosi pada logam yang umum terjadi dan dapat dilihat penampakan fenomena korosinya pada Gambar 2.2. Bahaya yang ditimbulkan dari korosi ini tidak cukup tinggi karena tidak menyerang satu area (titik) tertentu pada logam serta tidak mengganggu masalah teknis pada logam. Namun, jenis korosi ini tidak diinginkan, karena dapat mengurangi berat logam serta endapannya dapat menghalangi atau bahkan menyumbat peralatan produksi [6].
Universitas Pertamina - 10 Gambar 2.2. Korosi seragam [24]
Korosi galvanik adalah bentuk korosi di mana permukaan logam menjadi anodik karena kontak dengan logam lain yang lebih mulia. Pada anoda terjadi reaksi seperti pada persamaan 2.1 [6] :
M: M → M2+ + 2e [2.1]
Sedangkan, katoda yang merupakan logam yang lebih mulia dalam media aerasi, netral, atau alkali, reaksi reduksi oksigennya dapat dilihat pada persamaan 2.2. Lalu, dalam lingkungan asam, reaksi katodik akan berlanjut untuk melepaskan hidrogen, yang reaksi nya dapat dilihat pada persamaan 2.3, dan dalam lingkungan netral reaksinya dapat dilihat pada persamaan 2.4 [6]:
O2 + 2H2O + 2e → 2OH− [2.2]
2H3O+ + 2e → 2H2O + H2 [2.3] 2H2O+ + 2e → 2OH− + H2 [2.4]
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya serangan korosi galvanik adalah bentuk geometris serta konduktivitas listrik dari elektrolit, dan perbandingan area antara logam
noble dengan logam yang kurang noble. Jika logam noble lebih dominan maka potensi korosi jadi lebih negatif, dan menyebabkan laju korosi yang lebih tinggi [6].
Selain itu, luas area permukaan juga memiliki dampak karena arus korosi tambahan berasal dari area permukaan yang lebih kecil. Sehingga terjadi reaksi anodik dengan densitas arus yang tinggi dan laju korosi yang meningkat [6]. Jenis dari korosi galvanik lainnya adalah korosi pitting galvanik, jenis ini terjadi karena adanya pembentukan endapan logam noble diatas logam yang tidak noble [6].
Korosi celah biasa disebut korosi dibawah deposit dan sensitif terhadap logam aktif
– pasif, di mana ilustrasi fenomena korosinya dapat terlihat pada Gambar 2.3. Kehadiran ion Cl- sangat kondusif untuk korosi celah [6]. Korosi celah terjadi saat oksigen secara terbatas masuk melalui difusi dan bergerak ke daerah celah yang menghasilkan konsentrasi oksigen terlarut yang berbeda dan terjadi dalam sel aerasi yang sama. Reaksi dalam korosi celah melibatkan proses reduksi dan oksidasi, seperti yang dapat dilihat pada persamaan reaksi 2.5 dan 2.6 [8]:
Universitas Pertamina - 11 REDUKSI OKSIGEN :
O2 +2H2O+4e-→ 4OH– [2.5]
OKSIDASI :
Fe → Fe2+ + 2e- [2.6]
Gambar 2.3. Ilustrasi korosi celah [8]
Seiring berjalannya waktu, keberadaan oksigen dalam celah menurun, dan tingkat reduksi oksigen turun secara drastis. Tetapi secara umum, tingkat reduksi oksigen tidak akan berubah karena kontinu di area permukaan luar dan ukurannya lebih besar dari luas permukaan dibawah celah [8].
Korosi lubang adalah jenis yang terjadi secara terlokalisir dan berbahaya, karena diameter dari lubang yang terbentuk sangat kecil, sulit dideteksi, dan terkadang ditutupi oleh produk korosi, fenomena korosi nya dapat terlihat pada Gambar 2.4 [6]. Kecenderungan terjadinya korosi lubang pada logam dapat diperkirakan dengan mengamati perbedaan antara Epitting dengan Eprotektif. Jika nilai Eprotektif lebih negatif dari nilai Epitting, maka kemungkinan lubang terbentuk semakin tinggi. Ada 2 jenis korosi lubang yang dibedakan berdasarkan penyebabnya, yaitu lubang klorida pada stainless steel karena halida dan lubang pada material baja karbon karena serangan oksigen [6].
lingkungan yang mengandung klorida akan mendukung ataupun meningkatkan proses korosi lubang pada logam. Karena, kehadiran ion Cl- dapat mencegah terbentuknya
repassivation dari bagian yang rusak, sehingga korosi lubang terus terjadi. Di dalam lubang keberadaan logam yang larut akan mempengaruhi perpindahan klorida ke daerah yang lebih positif pada lubang. Hal ini akan menyebabkan proses hidrolisis dan memicu terbentuknya hidroksida (zat tak larut), yang akan kontak dengan oksigen di luar lubang, lalu membentuk asam hidroklorat dan menginisiasi korosi celah [6].
Universitas Pertamina - 12 Korosi intergranullar adalah korosi logam batas butir, dengan ilustrasi fenomena korosinya dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pembentukan batas butir karena jarak partikel-partikel kecil pada logam yang sangat berdekatan. Dibandingkan dengan area yang jauh lebih besar pada butir, area kecil dalam butir akan bersifat lebih anodik atau refaktif, sehingga dapat menyebabkan penurunan kekuatan dan ketahanan struktural akibat hilangnya butir-butir yang membentuk material logam [6].
Gambar 2.5. Korosi intergranullar [6]
Dealloying merupakan penghilangan selektif unsur-unsur dari sebuah alloy akibat proses korosi, di mana ilustrasi fenomena korosinya dapat dilihat pada Gambar 2.6. Korosi ini tidak mampu dideteksi dengan mata telanjang. Ada komponen penyusun teraktif dan terlemah dalam paduan, komponen teraktif akan masuk ke larutan, sedangkan yang lemah akan tetap menjadi masa berpori dan kekuatannya sangat lemah untuk jangka waktu tertentu. Contoh yang sering ditemui adalah pelindian pada kuningan [24].
Pelindian pada zinc ataupun paduan zinc disebut Dezincfication. Ada dua jenis
Dezincfication, yaitu uniform (dezincficationlayer) dan terlokalisasi (dezincficationplug). Berdasarkan dua bentuk ini, dezincfication plug yang paling serius, karena akan membentuk lubang kerucut yang mengandung tembaga murni. Hasil dealloying adalah perubahan komposisi karena pembubaran atau pelarutan selektif [24].
Gambar 2.6. Pelindian selektif atau dealloying [6]
Korosi erosi adalah fenomena yang terjadi karena adanya aliran pada logam dengan kecepatan tinggi dalam lingkungan yang korosif, di mana ilustrasi pola aliran pada korosi erosi dapat dilihat pada Gambar 2.7 [6][8]. Efek umum yang ditimbulkan adalah keausan mekanik dan abrasi. Jenis korosi ini mudah menyerang logam dengan lapisan pelindung yang sudah mengalami kerusakan. Partikel padat ataupun gelembung dalam cairan akan secara serius mendegradasi material. Turbulensi yang terjadi juga akan menyebabkan korosi dengan produk berupa ion terlarut. Korosi ini dapat diketahui melalui bentuk aliran yang berbeda pada lubang kecil ataupun parit [6].
Universitas Pertamina - 13 Gambar 2.7. Pola aliran pada korosi erosi [6]
Korosi kavitasi adalah fenomena yang terjadi karena adanya pembentukan gelembung eksplosif dalam fluida yang berada dekat dengan daerah permukaan, dan penampakan korosi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.8 [6]. Gelembung-gelembung yang telah terbentuk akan menghancurkan antarmuka dalam kondisi aliran turbulen [8].
Gambar 2.8. Korosi kavitasi [24]
Korosi fretting adalah korosi yang terjadi ketika dua permukaan terhubung satu sama lain. Selain itu, jenis ini juga dapat disebabkan oleh retakan berulang antara 2 permukaan, frekuensi getaran, dan adanya muatan listrik pada kedua permukaan. Jenis ini diyakini sebagai pembentukan las mikro pada titik kontak, yang mengganggu getaran. Gesekan itu akan membentuk lapisan oksida yang akan terurai sehingga menyebabkan korosi fretting
dan aus pada logam [6][24].
Stress corrosion cracking adalah jenis korosi yang disebabkan oleh regangan tarik konstan yang bekerja pada permukaan [6]. Tekanan adalah faktor utama dalam mekanisme terjadinya korosi ini dan juga disebabkan karena perlakuan panas atau proses pendinginan seperti pengelasan. Korosi ini tidak akan menyebabkan kerugian besar, namun dapat menyebabkan material gagal secara tiba-tiba [24].
Tingkat pertumbuhan retak dipengaruhi oleh tekanan, temperatur, dan konsentrasi lingkungan korosif. Untuk meminimalkan retak, dilakukan pemilihan material logam yang tidak rentan gagal, pengurangan tekanan, dan mengontrol kondisi lingkungan tempat logam digunakan [24].
Korosi Fatigue adalah korosi yang disebabkan oleh pengulangan tegangan dan fluktuasi pada lingkungan korosif. Efek korosi ini akan mempersingkat masa pakai material. Jenis korosi ini dapat dialami oleh beberapa material, seperti titanium alloy, aluminium alloy, dan baja yang mudah mengalami SCC (stress corrosion cracking) ketika terkena lingkungan korosif [6].
Universitas Pertamina - 14 Korosi yang mengalami perubahan bentuk, tentunya memiliki efek yang cukup serius. Dari perspektif teknis, ekonomi dan social. Dampak korosi dari perspektif teknis yaitu mempercepat masa pakai aset produksi dan sistem transportasi. Tentu saja, ini dapat menyebabkan kegagalan dini hingga kecelakaan [6].
Konsekuensi teknis lain dari korosi adalah gangguan kinerja mekanik dan peralatan. Adanya korosi pada bagian yang bergerak, akan menghambat alat tersebut dan juga dapat menyebabkan kegagalan yang tidak terduga, terutama untuk komponen yang tidak bergerak secara terus menerus. Selain itu, konsekuensi teknis mungkin juga dalam bentuk kebocoran, yang disebabkan oleh korosi lubang lokal. Kebocoran akan menyebabkan kehilangan produk dan pencemaran lingkungan karena kontaminasi dari produk tersebut [6].
Kemudian, dampak ekonomi dari korosi adalah akibat dari biaya yang harus dibayarkan untuk mengatasi masalah korosi. Biaya-biaya ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk pencegahan korosi. Misalnya, modal mencakup biaya pemasangan, biaya alat berat, biaya kontrol, biaya proteksi dan penggantian struktural prematur. Selain itu, biaya untuk desain dan kontrol, perawatan khusus, perbaikan serta biaya untuk pembelian material atau bahan konstruksi yang memiliki kualitas dan ketahanan material yang jauh lebih baik [6]. Kemudian, biaya tak langsung merupakan biaya terkait dengan kehilangan produk yang disebabkan oleh kebocoran dan kerusakan alat. Biaya tidak langsung meliputi kerugian bunga, cadangan tambahan, dan asuransi, yang disebabkan oleh korosi, atau disebut juga dengan overdesign yang meliputi biaya untuk material yang jauh lebih tebal atau dari segi harga jauh lebih mahal. [6].
Lalu, dari perspektif sosial, dampak korosi terkait dengan pengurangan produk yang diakibatkan oleh korosi, tentu akan mencemari lingkungan dan menyebabkan masalah kesehatan bagi orang-orang yang terpapar langsung. Selain itu, kerusakan struktural karena dampak teknis korosi juga dapat menyebabkan dampak sosial, seperti peralatan yang rusak, sehingga mempengaruhi ketahanannya, yang bila didiamkan terus-menerus, maka akan menyebabkan kerusakan dan mengancam keselamatan orang lain [6].
2.5 Inhibitor Korosi
Inhibitor korosi digunakan untuk melindungi logam dari korosi. Perlindungan mencakup perlindungan sementara selama penyimpanan atau transportasi, serta perlindungan lokal. Langkah perlindungan ini juga digunakan untuk mencegah korosi karena akumulasi sejumlah kecil fase agresif dan non agresif. Contoh fase yang agresif adalah air garam, sedangkan, dalam fase non agresif adalah minyak [8-9].
Ada dua jenis inhibitor korosi, yaitu inhibitor anorganik dan inhibitor organik. Inhibitor anorganik biasanya terdiri dari nitrit, nitrat, kromat, dan dikromat. Inhibitor anorganik ini, tingkat toksisitasnya cukup tinggi dan karenanya tidak baik bagi lingkungan. Kemudian, pilihan lain adalah inhibitor korosi organik yang memiliki kandungan S, N, atau O serta senyawa heterosiklik organik yang memiliki gugus polar [8-9].
Universitas Pertamina - 15 Inhibitor yang efisien kompatibel dengan lingkungan, ekonomis untuk aplikasi, dan menghasilkan efek yang diinginkan ketika hadir dalam konsentrasi kecil. Inhibitor secara umum, dapat dikalsifikasikan menjadi 2 fasa, yaitu fasa liquid dan fasa uap. Fasa liquid diklasifikasikan kembali menjadi 3 jenis, yaitu [27]:
1. Inhibitor anodik
Inhibitor anodik sering disebut inhibitor pasif. Pengendalian korosi menggunakan inhibitor ini digunakan dalam larutan yang hampir netral di mana produk korosi yang sedikit larut (oksida, hidroksida, atau garam) akan terbentuk. Pembentukan ini akan menghasilkan film pasif yang digunakan untuk menghambat pembentukan reaksi disolusi logam anodik. Namun, apabila inhibitor anodik yang digunakan tidak mencukupi untuk melakukan pencegahan, maka proses korosi akan terus meningkat. Maka dari itu, konsentrasi kritis pada inhibitor ditentukan pada sifat dan konsentrasi ion agresifnya. 2. Inhibitor katodik
Inhibitor katodik melakukan pengendalian korosi dengan pengurangan laju reduksi (racun katodik) ataupun dengan melakukan pengendapan selektif pada area katodik (endapan katodik). Selain itu, inhibitor juga bertindak untuk memperlambat laju reaksi evolusi hidrogen katodik dan dengan demikian akhirnya memperlambat proses korosif. Inhibitor katodik diklasifikasikan kembali menjadi 3 jenis, yaitu oksigen scavengers, endapan katodik dan racun katodik.
Salah satu contoh inhibitor yang bertindak sebagai racun katodik, yaitu arsen dan antimon yang membuat hubungan atom hidrogen selama evolusi hidrogen katodik. Lalu, contoh untuk inhibitor yang bertindak dengan membentuk endapan katodik adalah magnesium, kalsium dan seng, dalam bentuk oksida yang mengendap pada situs katodik dan bertindak sebagai penghalang antara logam dan elektrolit. Kemudian, contoh inhibitor yang bertindak sebagai oksigen scavengers adalah hidrazin dan natrium sulfit yang dapat berasosiasi dengan molekul oksigen di sekitarnya.
3. Inhibitor campuran
Inhibitor campuran melindungi logam dalam tiga cara yaitu adsorpsi fisik, adsorpsi secara kimia dan pembentukan film. Adsorpsi fisik merupakan hasil dari tarikan elektrostatika antara inhibitor dan permukaan logam. Inhibitor yang teradsorpsi secara fisik berinteraksi dengan cepat, tetapi mereka juga mudah dikeluarkan dari permukaan. Peningkatan suhu akan berpengaruh dan meningkatkan desorpsi molekul inhibitor yang teradsorpsi secara fisik.
Kemudian, adsorpsi secara kimia merupakan cara yang spesifik dan tidak sepenuhnya reversible. Inhibitor dengan cara ini bekerja paling efektif dengan melibatkan pembagian muatan atau transfer muatan antara molekul inhibitor dan permukaan logam. kemisorpsi berlangsung lebih lambat daripada adsorpsi fisik. Dengan meningkatnya suhu, maka adsorpsi dan penghambatan juga akan meningkat [27].
Universitas Pertamina - 16 Lalu, penghambatan dengan cara pembentukan film dilakukan dengan pengadsorpsian molekul inhibitor yang dapat mengalami reaksi pada permukaan dan menghasilkan film. Perlindungan korosi ini akan meningkat secara nyata ketika film dari lapisan yang teradsorpsi bertambah banyak menjadi film tiga dimensi hingga beberapa ratus angstrom ketebalannya. Penghambatan ini hanya efektif apabila film melekat, tidak larut, dan mencegah akses larutan ke logam. Film pelindung yang dihasilkan akan bersifat non konduktor (kadang-kadang disebut inhibitor ohm karena mereka meningkatkan resistansi sirkuit, sehingga menghambat proses korosi) [27].
Inhibitor jenis ini sekitar 80% adalah senyawa organik yang tidak dapat ditetapkan secara khusus sebagai anodik atau katodik. Efektivitas inhibitor organik terkait dengan sejauh mana mereka menyerap dan menutupi permukaan logam. Kemudian juga, adsorpsi yang terjadi tergantung pada struktur inhibitor, pada muatan permukaan logam, dan pada jenis elektrolit [27].
2.6 FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)
FTIR yang terlihat pada Gambar 2.9 merupakan instrumen yang berguna untuk analisis dengan menggunakan berkas radiasi inframerah untuk mengidentifikasi gugus-gugus atau kelompok-kelompok fungsional dalam suatu bahan, baik berbentuk gas, padat, maupun cair. Ketika radiasi inframerah dikenai pada sampel, ia akan menyerap cahaya dan menciptakan berbagai mode getaran, serta penyerapan ini berkaitan dengan sifat ikatan dalam molekul. Spektroskopi inframerah mengukur penyerapan radiasi IR pada masing-masing ikatan dalam molekul dan hasil pengukurannya berupa spektrum yang umum diketahui sebagai %transmitansi versus bilangan gelombang (cm-1). Kemudian, rentang frekuensi yang diukur sebagai bilangan gelombang biasanya sekitar 4000-600 cm− 1. Lalu, Spektrum FTIR diukur sebagai bilangan gelombang dikarenakan bilangan gelombang berhubungan langsung dengan energi dan frekuensi [28].
Gambar 2.9. Fourier Transform Infrared Spectroscopy
Bahan-bahan yang mengandung ikatan kovalen akan menyerap radiasi elektromagnetik di wilayah IR yang berada pada energi yang lebih rendah dan panjang gelombang yang lebih tinggi daripada cahaya UV yang tampak serta memiliki energi yang lebih tinggi atau panjang gelombang yang lebih pendek daripada radiasi gelombang mikro. Selain itu, syarat untuk menentukan gugus fungsi dalam suatu molekul adalah ia harus aktif IR yang mana molekul tersebut memiliki momen dipol. Sehingga, ketika radiasi IR berinteraksi dengan ikatan kovalen yang memiliki momen dipol listrik, molekul akan menyerap energi dan terjadi osilasi [28].
Universitas Pertamina - 17 Namun, radiasi IR tertentu (frekuensi) akan diserap oleh ikatan tertentu juga dalam suatu molekul, karena setiap ikatan memiliki mode vibrasi yang khusus. Seperti halnya, molekul asam asetat (CH3COOH) yang mengandung berbagai ikatan (C-C, C-H, C-O, O-H, dan C = O), semua ikatan tersebut akan diserap pada panjang gelombang tertentu, namun, tidak terpengaruh oleh ikatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, dua molekul dengan struktur berbeda tidak memiliki spektrum inframerah yang sama, walaupun beberapa frekuensinya mungkin memiliki kesamaan [28].
2.7 XRD (X-Ray Diffraction)
XRD (X-Ray Diffraction) merupakan teknik untuk mengidentifikasi struktur kristal dan jarak atom [29]. Proses yang terjadi pada instrumen XRD tertera pada Gambar 2.10, di mana difraksi sinar-X didasarkan pada interferensi konstruktif sinar-X monokromatik dan sampel kristal. Difraktometer sinar-X terdiri dari 3 komponen dasar, yaitu tube sinar-X, wadah untuk sampel, dan detektor sinar-X [30]. Sinar-X berasal dari dalam tube sinar katoda yang terjadi pemanasan filamen untuk memproduksi elektron, mempercepat elektron menuju target dengan menerapkan tegangan, dan mengenai bahan target dengan elektron. Ketika energi elektron cukup untuk mengeluarkan elektron kulit bagian dalam dari bahan target, spektrum sinar-X yang khas dihasilkan. Spektrum ini terdiri dari beberapa komponen, yang paling umum adalah Ka dan Kb [29].
Gambar 2.10. X-Ray Diffraction [31]
Interaksi sinar datang dengan sampel menghasilkan interferensi konstruktif (dan sinar difraksi) ketika kondisi memenuhi hukum Bragg:
nλ = 2dsin𝜃 [2.7]
Hukum ini menghubungkan panjang gelombang (λ) radiasi elektromagnetik ke sudut difraksi (𝜃) dan jarak kisi dalam sampel kristal. Sinar-X yang terdifraksi ini kemudian dideteksi, diproses, dan dihitung. Dengan memindai sampel melalui rentang sudut 2𝜃, semua arah difraksi yang mungkin dari kisi harus diperoleh karena orientasi acak dari bahan serbuk. Konversi puncak difraksi ke jarak d memungkinkan identifikasi senyawa karena setiap senyawa memiliki jarak d yang khusus. Biasanya, ini dicapai dengan perbandingan jarak d dengan pola referensi standar [29].
Universitas Pertamina - 18
2.
8 Potensiostat
Gambar 2.11. Potensiostat [32]
Potentiostat yang terlihat pada Gambar 2.11 merupakan amplifier yang digunakan untuk mengontrol tegangan antara dua elektroda, working electrode dan reference electrode, hingga mencapai nilai yang konstan [33]. Pada penelitian GopinathAshwini dan Russell [34], telah dijelaskan bahwa potensiostat dapat juga digunakan dalam teknik elektroanalitik untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengkarakterisasi macam-macam aktif redoks, diantaranya jenis anorganik, organik, dan biokimia. Potensiostat juga digunakan untuk mengevaluasi parameter termodinamika dan kinetik dari peristiwa transfer elektron. Lalu, beberapa metode elektroanalitik yang memerlukan kendali potensiostatik dari percobaan, meliputi analisis korosi (seperti halnya Tafel), analisis sifat bahan, dan deteksi in vivo biologis seperti glukosa dan amina katekol [34].
Analisis korosi dibantu dengan intrumen potensiostat, dan metode yang biasanya digunakan adalah polarisasi potensiodinamik. Metode ini memungkinkan untuk mendapat informasi yang cukup untuk proses elektroda, meliputi informasi laju korosi, kerentanan pitting, passivity, serta perilaku katodik dari sistem elektrokimia [35].
Dalam pengoperasiannya, potensiostat biasa dihubungkan dengan 3 jenis elektroda yang umum, yaitu reference electrode, working electrode, dan counter electrode. Reference electrode harus mendekati kondisi non polarizable yang ideal, contohnya adalah Ag / AgCl atau elektroda kalomel, karena elektroda ini akan menetapkan potensial dari referensi secara konstan dalam sel elektrokimia, di mana potensial dari working electrode dapat ditentukan juga dengan presisi yang relatif tinggi [35]. Lalu, perubahan lokasi puncak sekecil 1,0 mV dapat menjadi penting juga dalam pengukuran elektrokimia yang presisi, misalnya, ketika menentukan parameter termodinamika atau kinetik untuk sistem redoks [36].
Selain sifat elektroda referensi yang penting dalam memastikan stabilitas potensial referensi, desain potentiostat juga termasuk hal yang penting. Arus minimal diambil melalui reference electrode karena sinyal arusnya di input ke arus yang besar melalui
counter electrode seperti platinum dan berbagai bentuk karbon (misalnya glassy carbon
ataupun grafit). Selain itu, Arus yang timbul dari peristiwa transfer elektron pada working electrode juga diukur pada counter electrode. Salah satu contoh working electrode yang sangat murah, adalah timbal. Selain itu, grafit dari pensil mekanik juga dapat digunakan sebagai working electrode. Dalam studi laju korosi, working electrode yang digunakan merupakan bahan yang akan diselidiki ketahanannya terhadap proses korosi [33].
Universitas Pertamina - 19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Bentuk Penelitian
Penelitian “Sintesis Inhibitor Korosi melalui Reaksi Aminolisis terhadap Palm Kernel Oil (PKO) dan Uji Performanya pada Baja” dilakukan dalam bentuk eksperimental di dalam laboratorium. Tahapan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, yang diperoleh dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber kuantitatif dan sumber data kualitatif. Sumber data kuantitatif diperoleh dengan 3 proses utama, yaitu literature review, penyusunan dan pembuatan rencana penelitian, serta pengamatan dan eksperimen di laboratorium.
Literature review merupakan proses untuk mencari informasi dan data yang mendukung penelitian mengenai sintesis inhibitor korosi [9-10][37]. Informasi serta data yang dibutuhkan dapat dicari melalui buku ataupun jurnal. Selanjutnya, penyusunan dan pembuatan rencana penelitian, proses ini merupakan tahapan yang cukup penting dalam membuat sebuah penelitian. Informasi dan data yang telah didapatkan, kemudian dikembangkan menjadi sebuah ide atau masalah yang digunakan sebagai dasar pembuatan sebuah penelitian. Lalu, tahap selanjutnya merupakan tahapan utama, yaitu pengamatan dan eksperimen. Pada tahap ini, rencana dalam penelitian yang telah dibuat akan diaplikasikan, diamati, serta dikumpulkan hasilnya, untuk dijadikan sebuah data yang tersusun secara rinci dan sistematis.
Selain itu, pengumpulan data dapat dilakukan secara kualitatif, dengan mengamati perubahan yang terjadi pada hasil-hasil penelitian secara kasat mata. Pengamatan ini dibantu dengan pengambilan foto atau gambar sebagai bukti dokumentasi selama proses pengamatan dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Tahapan selanjutnya adalah menganalisis data eksperimen yang telah didapat dan tahapan terakhir adalah menyimpulkan tentang data yang telah dianalisis.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah labu bundar 2 leher 250 mL (Iwaki), kondensor (Iwaki), heating mantel (Electrothermal), viskometer ostwald, piknometer 10 mL, rangkaian pompa refluks, thermometer alkohol 0-150°C, labu erlenmeyer 100 mL (Iwaki), gelas kimia (Iwaki dan Pyrex), sudip, corong kaca, sentrifugasi (Eppendorf Centrifuge 5430), tabung sentrifugasi (Isolab), hot plate (Thermo Scientific Cimarec+ SP88857105), klem, statif, magnetic stirrer, buret 50 mL (Iwaki), gelas ukur 100 mL (Iwaki), labu takar 100 mL (Iwaki dan Pyrex), pipet ukur 25 mL (Iwaki), pipet ukur 5 mL (Iwaki), neraca digital analitik (OHAUS CP 214), dan kertas saring. Kemudian, uji performa dan karakterisasi inhibitor korosi dengan menggunakan alat XRD, potensiostat (Autolab) dan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) (Thermo scientific Nicolet iS5).
Universitas Pertamina - 20
3.2.2 Bahan
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah palm kernel oil (PKO), CaO (Pro Analysis), dietanolamina (Pro Analysis), heksana (Pro Analysis), KOH (Pro Analysis), asam oksalat (Pro Analysis), indikator
phenolptalein
, iso-propanol (Pro Analysis), NaCl (Pro Analysis), material baja karbon rendah (ASTM A-36) dan akuades.3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya penentuan kadar asam lemak bebas pada palm kernel oil, karakterisasi katalis CaO, aminolisis palm kernel oil dengan dietanolamina, pemurnian fatty acid diethanolamide, karakterisasi inhibitor korosi, uji densitas dan viskositas terhadap palm kernel oil dan inhibitor korosi dan uji performa inhibitor korosi.
3.3.1 Penentuan % Asam Lemak Bebas (ALB) pada Palm Kernel Oil (PKO)
A. Standarisasi Larutan KOHProses standarisasi larutan KOH dapat dilihat pada Gambar diagram alir 3.1, di mana padatan KOH sebanyak 0,7 gram dilarutkan dalam labu takar 250 mL. Kemudian, dimasukkan ke dalam buret 50 mL. Larutan KOH tersebut dibakukan dengan asam oksalat sebanyak 0,05 gram yang telah dilarutkan di dalam akuades sebanyak 20 mL. Larutan asam oksalat ditambahkan indikator phenolptalein (PP) (±3 tetes). Kemudian, dilakukan titrasi pembakuan dengan pengulangan sebanyak 3 kali (triplo).
Gambar 3.1. Diagram alir standarisasi larutan KOH KOH (0.7 gram) larutkan di dalam
labu takar 250 mL
Di titrasi dengan asam oksalat (0.05 gram + 20 mL akuades) + indikator PP ( 3 tetes )
Warna larutan sampel berubah menjadi merah jambu
Mulai
Universitas Pertamina - 21 B. Penentuan % Asam lemak bebas [38]
Proses penentuan % Asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar diagram alir 3.2, di mana sampel Palm Kernel Oil (0.5 gram) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL. Lalu, sampel tersebut dilarutkan dalam iso-propanol (suhu
50˚C) dan ditambahkan indikator phenolptalein (PP) sebanyak 3 tetes. Kemudian, sampel tersebut dititrasi dengan larutan KOH yang telah dibakukan. Warna larutan sampel hasil titrasi akan berubah menjadi merah jambu. Setelah larutan mencapai warna tersebut, volume titrasi dicatat dan titrasi diulangi sebanyak 3 kali (triplo).
Gambar 3.2. Diagram alir penentuan %ALB 3.3.2 Karakterisasi katalis CaO
Proses karakterisasi katalis CaO dapat dilihat pada diagram alir 3.3, di mana katalis CaO komersial dihaluskan hingga 200 mesh. Kemudian, dikarakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Difraction).
Gambar 3.3. Diagram alir karakterisasi katalis CaO mulai
PKO (0.5 gram) ditambah iso-propanol (20 mL) dan indikator PP (3 tetes), dan dititrasi dengan Larutan KOH
Warna larutan sampel berubah menjadi merah jambu
Selesai
Mulai
Sample CaO komersial dihaluskan hingga 200 mesh
Dikarakterisasi menggunakan XRD
Universitas Pertamina - 22
3.3.3 Aminolisis PKO dengan Dietanolamina
A. Rasio mol PKO : Dietanolamina (1:6) [10]
Proses aminolisis dengan rasio mol (1:6) dapat dilihat pada diagram alir 3.4, di mana sebanyak 25 gram PKO, 22,57 gram dietanolamina, dan CaO sebanyak 5% dari berat feedstock ditambahkan ke dalam labu bundar yang telah dirangkai dengan peralatan lainnya untuk melakukan proses refluks (kondensor, termometer, dan heating mantel). Proses refluks dilakukan selama 4 jam dengan suhu 130°C (dengan pengadukan).
Gambar 3.4. Diagram alir prosedur aminolisis (PKO : DEA (1:6)) B. Rasio PKO : Dietanolamina (1:20) [10]
Proses aminolisis dengan rasio PKO : Dietanolamina (1:20) dapat dilihat pada diagram alir 3.5, di mana sebanyak 15 gram PKO, 45,14 gram dietanolamina, dan CaO sebanyak 5% dari berat feedstock ditambahkan ke dalam labu bundar yang telah dirangkai dengan peralatan lainnya untuk melakukan proses refluks (kondensor, termometer, dan heating mantel). Proses refluks dilakukan selama 4 jam dengan suhu 130°C (dengan pengadukan).
Gambar 3.5. Diagram alir prosedur aminolisis (PKO : DEA (1:20)) Mulai
PKO + dietanolamina (rasio mol (1:6) 25 gram : 22,57 gram) direfluks 130°C selama 4 jam dengan katalis CaO 5%(w/w)
Larutan homogen didinginkan hingga menjadi suhu ruang
Selesai
Mulai
PKO + dietanolamina (rasio mol (1:20) 15 gram : 45,14 gram) direfluks 130°C selama 4 jam dengan katalis CaO 5%(w/w)
Larutan homogen didinginkan hingga menjadi suhu ruang
Universitas Pertamina - 23
3.3.4 Pemurnian fatty acid diethanolamide
Proses pemurnian fatty acid diethanolamide dapat dilihat pada diagram alir 3.6, di mana
larutan (
T = ±40˚C) disentrifugasi, dan supernatan yang dihasilkan dimasukkan ke dalam corong pisah. Kemudian, ditambahkan heksana 50 mL, dihomogenkan, dan fasa atas nya dipisahkan. Fasa atas yang telah dipisahkan,dipanaskan ±80˚C untuk menguapkan heksana yang tersisa [10].
Gambar 3.6. Diagram alir pemurnian fatty acid diethanolamide
3.3.5 Uji Densitas dan Viskositas terhadap Inhibitor Korosi
Palm kernel oil merupakan salah satu bahan baku pembuatan inhibitor korosi dan fatty acid diethanolamide merupakan inhibitor korosi yang dihasilkan dari sintesis pada penelitian ini. Larutan-larutan tersebut akan diuji densitas serta viskositasnya dengan merujuk pada ASTM-D446 2017 [39].
A. Uji densitas
Proses uji densitas dapat dilihat pada diagram alir 3.7, di mana piknometer kosong ditimbang terlebih dahulu, lalu masing-masing larutan palm kernel oil
dan larutan inhibitor korosi ditambahkan sebanyak 10 mL ke dalam piknometer secara bergantian. Kemudian, piknometer yang sudah terisi, ditimbang kembali dan dicatat massanya.
Larutan dipisahkan di corong pisah
Fasa atasnya dipisahkan, dan heksana nya diuapkan (±80˚C)
Supernatan + heksana 50 mL
Crude fatty acid diethanolamide
(T=±40°C) disentrifugasi Mulai
Universitas Pertamina - 24 Gambar 3.7. Diagram alir uji densitas
B. Uji viskositas
Proses uji viskositas dapat dilihat pada diagram alir 3.8, di mana viskometer Ostwald disiapkan, lalu masing-masing larutan palm kernel oil dan larutan inhibitor korosi ditambahkan ±10 mL ke dalam viskometer secara bergantian. Kemudian, laju alir dari larutan tersebut dihitung dan dicatat.
Gambar 3.8. Diagram alir uji viskositas Piknometer yang berisi larutan
inhibitor korosi ditimbang kembali dan dicatat massanya Ditambahkan ±10 mL larutan palm kernel
oil dan inhibitor korosi ke dalam piknometer (secara bergantian)
Piknometer ditimbang Mulai
Selesai
Laju alir larutan tersebut dihitung dan dicatat
Ditambahkan ±10 mL larutan palm kernel oil dan inhibitor korosi ke dalam viscometer (secara bergantian)
Viskometer Ostwald
Mulai
Universitas Pertamina - 25
3.3.6 Uji Performa Inhibitor Korosi
Uji performa inhibitor korosi dapat dilihat pada diagram alir 3.8, di mana pengujian dilakukan menggunakan metode polarisasi potensiodinamik. Pengujian dilakukan pada material baja karbon rendah (ASTM A 36) berukuran 2 cm x 2 cm. Pengujian yang dilakukan menggunakan alat potensiostat dengan rentang potensial adalah -1 Vocp – 1 Vocp, dan diuji dalam larutan uji korosif berupa NaCl 3,5%. Material uji dimasukkan ke dalam larutan uji korosif yang telah ditambahkan inhibitor korosi dengan 5 variasi konsentrasi larutan uji korosif, yaitu 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm. Pengujian dilakukan menggunakan 3 elektroda, di mana reference yang digunakan adalah Ag/AgCl, counter electrode nya berupa platina wire, dan working electrode nya berupa baja karbon rendah (ASTM A-36).
Gambar 3.9. Diagram alir uji performa inhibitor korosi
3.4 Metode Analisis Data
Prosedur analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisis hasil karakterisasi katalis CaO menggunakan XRD, menganalisis hasil karakterisasi inhibitor korosi menggunakan FTIR, menganalisis densitas dan viskositas pada inhibitor korosi, serta menganalisis hasil uji performa inhibitor korosi menggunakan instrumen potensiostat dan software NOVA 2.1.3.
Baja karbon rendah dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm
Ditambahkan larutan uji korosif (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm)
Data tafel polarisasi Mulai