• Tidak ada hasil yang ditemukan

nasional, peneliti hanya mengangkat beberapa yang dianggap memiliki substansi armed conflict: achievements and gaps oleh Ruth Abril Stofels

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "nasional, peneliti hanya mengangkat beberapa yang dianggap memiliki substansi armed conflict: achievements and gaps oleh Ruth Abril Stofels"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

9 spesifik membahas pemberian humanitarian assistance dalam situasi konflik di Suriah Arab Republic. Dari sekian banyak hasil penelitian dan jurnal internasional serta nasional, peneliti hanya mengangkat beberapa yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan calon peneliti, yakni sebagai berikut :

1. jurnal internasional “ Legal regulation of humanitarian assistance in

armed conflict: achievements and gaps” oleh Ruth Abril Stofels

substansi jurnal ini juga digunakan sebagai rujukan untuk penelitian ini. Masalah yang diangkat dalam jurnal ini lebih pada teknis bagaimana distribusi dan implementasi dari humanitarian assistance yang dibutuhkan oleh penduduk sipil saat terjadi konflik. dan dalam kesimpulannya menyatakan bahwa analisa dari adanya prinsip-prinsip, status hukum dan pelaksanaan dari bantuan kemanusiaan membantu implementasinya namun kadang hal ini juga terhambat oleh ketidak tersediaan dari mekanisme pelaksanaan yang sama dalam pemberian bantuan kemanusiaan kepada para penduduk sipil yang menjadi korban terjadinya konflik.

2. Jurnal Internasional Humanitarian Knowlegde Management oleh Dennis J. King substansi jurnal ini juga digunakan sebagai rujukan untuk penelitian ini. Jurnal ini secara komperhensif menyajikan dan membahas mengenai humanitarian assistance yang dapat dilakuakn oleh organisasi maupun individu untuk membantu dalam mengurangi beban dan

(2)

10 keselamatan para korban sengketa bersenjata. Dalam jurnal ini juga menyajikan data-data pembanding mengenai apa saja yang boleh ataupun tidak boleh dilakukan dalam hal humanitarian assistance diwilayah yang sedang berkonflik. Dalam jurnal ini juga dijelaskan mengenai bagaimana suatu organisasi atau individu dalam menyalurkan bantuan kemanusiaannya agar dapat diterima oleh penduduk sipil diwilayah tersebut.

3. Jurnal Internasional Humanitarian Intervention oleh Aidan Henir. Substansi dari jurnal ini juga digunakan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini. Jurnal ini secara komperhensif menyajikan mengenai konsep dalam humanitarian intervention secara umum serta siapa yang berhak memutuskan dalam melakukan humanitarian intervention. Dalam jurnal ini lebih umum diuraikan mengenai macam dari humanitarian intervention.

4. Jurnal Internasional Humanitarian Aid oleh Anna Caprile dan Pekka

Halaka, Substansi jurnal ini juga digunakan dalam penulisan jurnal ini. Jurnal ini secara komperhensif membahas mengenai bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh European Union, juga membahas dasar hukum dan siapa yang berhak menyalurkan dan menerima

(3)

11 D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. untuk mengetahui kriteria-kriteria yang dapat digunakan dal;am pemberian humanitarian assistance di Syrian Arab Republic oleh PBB 2. untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pemberian

humanitarian assistance di Syrian Arab Republic oleh PBB

E. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut :

1. Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Humaniter Internasional dalam mengumpulkan informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, sehingga informasi tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang tepat sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan di atas; 2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

pengetahuan penulis dalam bidang Hukum Internasional pada umumnya dan dalam bidang Hukum Humaniter Internasional pada khususnya.

(4)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Hukum Humaniter Internasional

A. pengertian hukum humaniter internasional

hukum humaniter internasional lahir dan berasal dari istilah laws of war yang kemudian berkembang seiring dengan perkembangan di dunia internasional menjadi

laws of armed conflict atau hukum sengketa bersenjata yang pada saat ini kita sebut

dengan istilah hukum humaniter14. Haryomataram membagi hukum humaniter ini menjadi 2(dua) bagian aturan pokok antara lain15:

a. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk

berperang / The Hague Laws ;

b. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan

penduduk sipil akibat dari perang / The Geneva Laws;

Sedangkan Mochtar Kususmaatmadja16 membagi hukum perang sebagai berikut :

a. Jus ad bellum : hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata ;

14 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print : Jakarta, hlm:5. 15. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, hlm: 1.

16. Mochtar Kusumaadmadja dalam buku Haryomataram, Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm: 6.

(5)

13 b. Jus in bello : hukum yang berlaku dalam perang yang dibagi 2(dua) yakni :

(i). Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) disebut juga dengan The Hague laws;

(ii). Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang disebut juga The Geneva Laws

Dari dua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter terdiri atas dua bagian pokok yakni The Hague Laws ( hukum Den Haag) dan The Geneva

Laws (hukum jenewa). Perubahan istilah dari Law of war (hukum perang) menjadi

Laws of armed conflict (hukum sengketa bersenjata) in terjadi karena penggunaan

istilah ini tidak disukai oleh masyarakat internasional dengan mengingat peristiwa perang dunia ke II yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan Liga Bangsa-Bangsa saat itu juga melakukan upaya untuk menghindarkan terjadinya perang antar negara-negara di dunia. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat internasional adalah dengan membentuk Liga Bangsa-Bangsa di dalam organisasi ini para anggota sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan dengan sepakat untuk tidak menggunakan jalan perang dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antar negara.

Beberapa ahli hukum internasional berusaha memberikan pengertian beserta ruang lingkup atas hukum humaniter, rumusan-rumusan tersebut antara lain:

(6)

14 a. Menurut Jean Pictet17

“International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for individual and his well being”( hukum humaniter internasional dalam arti

luas berdasarkan semua ketentuan hukum internasional baik hukum tertulis maupun kebiasaan , dan menjamin penghormatan terhadap individu dan kesejahteraannya).

b. Geza Herzegh18

“Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different”(bagian dari hukum internasional public

yang digunakan sebagai perlindungan terhadap penduduk sipil maupun individu dalam masa konflik bersenjata. Dalam penerapannya harus benar-benar dilakukan pembedaan antara penduduk sipil dan para kombatan yang angkat senjata saat terjadi konflik).

c. Mochtar Kusumaatmadja19

“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuanketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”

d. Esbjorn Rosenbland20

17. Pictet, the prisiple of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, Ibid ., hlm: 15

18. Geza Herzegh, Recent Problem of International Law, dalam Ibid ., hlm: 17

19. Mochtar Kusumaatmadja dalam Pengantar Hukum Humaniter, Arlina Permanasari, hlm: 9 20. Esbjorn Rosenbland dalam Ibid.,

(7)

15 (i). The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan:

a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Pendudukan wilayah lawan;

c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;

(ii). Law of Warfare, ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang;

b. Status kombatan;

c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang, dan orang sipil.

Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag, yaitu yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang21. Menurut Rosenblad, Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan “international humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Sengketa Bersenjata.

d. Panitia tetap hukum humaniter22

“Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang”.

21. http://arlina100.wordpress.com/2008/11/11/definisi-hukum-humaniter/, diakses pada 3 april 2013 pukul 11.53 WIB.

(8)

16 Dari beberapa pengeritan diatas dapat terlihat bahwa para ahli juga belum sepakat mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter itu sendiri. Beberapa ahli seperti Jean Pictet menyatakan bahwa hukum humaniter mempunyai artian luas yakni menyangkut hukum jenewa, hukum Den Haag dan Hukum Hak Asasi Manusia sedangkan ahli lain menyatakan bahwa hukum humaniter dalam artian sempit yakni hanya hukum Jenewa itu sendiri.

B. asas-asas utama dalam hukum humaniter internasional

Hukum humaniter internasional yang merupakan cabang dari hukum internasional publik23 dan belum banyak dikenal oleh masyarakat namun

keberadaannya dibutuhkan jika terjadi perang antar negara. Hukum humaniter ini memiliki 3 asas pokok yakni:

a. Military Necessity ( asas kepentingan Militer)

Berdasarkan asa ini maka para pihak yang bersengketa dibenarkan untuk menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang24. Asas ini juga dapat diartikan sebagai mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang25.

23. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, 2005, PT. Raja grafindo persada: Jakarta, hlm: 1.

24. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print : Jakarta, hlm:11. 25. Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm, diakses pada 12 april 2013 pukul 15.30 WIB.

(9)

17 Pelaksanaan asas kepentingan militer ini sering dijabarkan dengan adanya penerapan 2 (dua) prinsip yakni :

(i) Limitation Principle (pembatasan)

Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu26.

Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations(Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag) yang menyatakan bahwa :

Pasal 22 : The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy

is not unlimited.(hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai

musuh adalah tidak tak terbatas)

Pasal 23: In addition to the prohibitions provided by special

Conventions, it is especially forbidden : (a) To employ poison or poisoned weapons;

(b) To kill or wound treacherously individuals belonging to the hostile nation or army;

(c) To kill or wound an enemy who, having laid down his arms, or having no longer means of defence, has surrendered at discretion;

(d) To declare that no quarter will be given;

26. http://arlina100.wordpress.com/2008/11/15/asas-asas-hukum-humaniter/, diakses pada 3 april 2013 pukul 14.30 WIB.

(10)

18

(e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering;

(f) To make improper use of a flag of truce, of the national flag or of the military insignia and uniform of the enemy, as well as the distinctive badges of the Geneva Convention;

(g) To destroy or seize the enemy's property, unless such destruction or seizure be imperatively demanded by the necessities of war;

(h) To declare abolished, suspended, or inadmissible in a court of law the rights and actions of the nationals of the hostile party. A belligerent is likewise forbidden to compel the nationals of the hostile party to take part in the operations of war directed against their own country, even if they were in the belligerent's service before the commencement of the war.( Selain larangan

yang diberikan oleh Konvensi khusus, terutama dilarang (a) Untuk menggunakan racun atau senjata beracun;

(b) Untuk membunuh atau melukai individu yang setia pada negara yang saling bermusuhan atau tentara;

(c) Untuk membunuh atau melukai musuh yang, telah meletakkan senjata, atau tidak memiliki lagi sarana pertahanan, telah menyerah pada kebijaksanaan; (d) Menyatakan kuartal tidak akan diberikan;

(e) Untuk menggunakan senjata, proyektil, atau bahan yang diperhitungkan akan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;

(f) Untuk membuat penyalahgunaan bendera gencatan senjata, dari bendera nasional atau lambang militer dan seragam musuh, serta lencana khas dari Konvensi Jenewa;

(g) Untuk menghancurkan atau merampas harta musuh, kecuali penghancuran atau penyitaan secara imperatif dituntut oleh kebutuhan perang;

(h) Untuk mendeklarasikan dihapuskan, ditangguhkan, atau tidak dapat diterima di pengadilan hukum hak dan tindakan warga negara dari pihak yang bermusuhan. Sebuah berperang adalah juga dilarang untuk memaksa warga negara dari pihak yang bermusuhan untuk mengambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negara mereka sendiri, bahkan jika mereka berada dalam pelayanan berperang sebelum dimulainya perang.)

(11)

19 (ii). Proporsionalitas (Proposionally Principle).

Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa maksud proporsional di sini bukan berarti keseimbangan.27

b. Humanity (Asas Perikemanusiaan)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan dimana para pihak dilarang melakukan kekerasan yang dapat menimbulkan luka berlebihan ataupun penderitaan yang tidak perlu28 pada para korbannya. Seperti yang tercantum dalam Pasal 23 Hague Regulation yang menyatakan bahwa :

“(e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary

suffering;” ((e) Untuk menggunakan senjata, proyektil, atau bahan yang

diperhitungkan akan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;)

Dalam berperang melukai musuh, menembaki musuh ataupun membunuh musuh merupakan hal yang sah menurut hukum jika dilakukan oleh orang yang ikut serta dalam peperangan tersebut (Combatan) dan ditujukan kepada sasaran yang

27 . Ibid 28.Ibid

(12)

20 merupakan sasaran militer. Penggunaan senjata yang dapat menimbulkan luka atau penderitaan yang berlebihan atau tidak perlu ini yang menimbulkan asas ini, di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Dalam regulasi Den Haag III tahun 1907 sendiri telah mengatur larangan-larangan terhadap senjata ataupun jenis peluru dan peralatan perang lain yang dapat menimbulkan penderitaan yang tidak perlu29

c. Chivalry ( Asas Kesatriaan)

Dalam asas ini mengandung arti bahwa dalam setiap peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang digunakan30. Dalam konvensi Den Haag Ke III 1907 banyak yang menerapkan asas ini antara lain bahwa perang tidak akan dimulai jika tidak ada pemberitahuan atau peringatan yang jelas sebelumnya(Pasal 1) (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration

of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).

Pada dasarnya keberadaan Hukum Humaniter bukan melegalkan perang karena perang merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Namun tujuan dari hukum humaniter adalah untuk : (i) memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil ataupun para kombatan yang tidak ikut lagi dalam perang dari penderitaan yang

29. Ibid ;

(13)

21 tidak perlu, (ii) menjamin hak asasi manusia yang merupakan hak manusia yang paling fundamental bagi mereka yang jatuh ketanggan musuh. Parpa kombatan yang jatuh ketangan musuh hasrus diperlakukan sebagai tawanan perang yang berhak dilindungi ataupun dirawat.

C. sumber hukum humaniter internasional

Sumber hukum humaniter internasional tidak dapat terlepas dari sumber hukum internasional yang terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum dalam hukum humaniter merupakan konvensi-konvensi yang di tandatangani oleh negara-negara peserta yang mengikatkan diri di dalamnya. Hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa yang mengarur mengenai masalah perlindungan korban perang dan penduduk sipilnya serta Hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat berperang.

a. Hukum Den Haag

Merupakan hukum humaniter yang mengatur mengenai bagaimana, cara dan alat perang yang digunakan. Dalam konvensi Den Haag ada 2 konfrensi yang dilakukan yakni pada tahun 1899 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1907, konvensi-konvensi ini disebut dengan hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat yang digunakan saat perang31.konfrensi yangberakhir pada juli 1899 menghasilkan 3 (tiga) konvenan yakni : (i). konvensi I tentang Penyelesaian Damai

31. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, 2005, PT.RajaGrafindo Persada: Surabaya, hlm: 46.

(14)

22 persengketaan Internasional; (ii). Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; (iii). Konvensi III tentang Adaptasi asas-asas Konvensi Jenewa tanggal 22 agustus 1864 tentang hukum perang dilaut. Dalam Hukum Den Hag ini ada 2(dua) hal penting yang dihasilakan yakni : (i). cara dan alat tertentu dilarang digunakan untuk berperang, (ii). Adanya Martens Clause.

b. Hukum Jenewa

Merupakan sumber hukum humaniter yang mengatur mengenai korban perang dan hukum Jenewa ini terbagi dalam 4 konvensi yakni : (i). Konvensi Jenewa I tahun 1949 mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit, (ii). Konvensi Jenewa II tahun 1949 mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang laut yang luka,sakit dan korban karam, (iii). Konvensi Jenewa III tahun 1949 mengenai perlakuan tawanan perang, (iv) Konvensi Jenewa IV mengenai perlindungan orang-orang sipil waktu perang. Kumpulan konvensi Jenewa 1949 ini biasa disebur dengan hukum Jenewa, yang berbeda dengan hukum Den Haag yang mengatur cara dan alat berperang namun hukum Jenewa ini mengatur mengenai perlindungan mereka yang menjadi korban perang .

Ada beberapa hal yang penting dalam konvensi jenewa ini diatur yakni : (i). konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional juga mengatur mengenai perang/konflik bersenjata yang bersifat non internasional, yaitu perang, konflik bersenjata yang terjadi diwilayah salah satu negara pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan bersenjata pemberontak, (ii). Dalam konvenan ini terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku utama (common articles),

(15)

23 yakni ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga dicantumkan dalam keempat buku dengan perumusan yang sama32.

D. Distinction Principle (Prinsip Pembedaan)

Asas Pembedaan atau Distinction Principle merupakan asas yang penting pula dalam hukum preang, Karena dalam asas ini diatur pembedaan antara orang yang aktif turut serta dalam perang (Combatant) atau penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata (Civilian)33.

Adanya asas ini diperuntukkan untuk mengetahui siapa saja yang boleh turut serta ataupun yang terlibat secara langsung dalam perang sehingga boleh dijadikan sasaran ataupun objek kekerasan dan memisahkan dengan mereka yang tidak terlibat atau turut serta dalam peperangan sehingga tidak diperkenankan untuk menjadi sasaran ataupun objek kekerasan. Pengaturan mengenai Prinsip Pembedaan ini pada awalnya diatur dalam Hukum Den Haag 1907 kemudian disempurnakan dalam konvensi Jenewa 1949 dan dimasukkan juga dalam protokol tambahan 1977.

2. Non-internasional armed conflict

Pengaturan mengenai sengketa bersenjata internasional di atur dalam Protokol Tambahan I dan II yang merupakan pelengkap dari konvensi Jenewa 194934. Protokol Tambahan I atau Protocol Additional to the Geneva Convention of 12

32. Ibid ; Hlm 48.

33. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, 2005, International Committee of Red Cross: Jakarta, hlm: 73.

(16)

24

August 1949 and Relating to the Protection of Victims Of International Armed Conflict mengatur mengenai konflik bersenjata yang bersifat Internasional

sedangkan Protokol tambahan II mengatur mengenai konflik bersenjata

non-international armed conflict35.

Dalam hukum internasional terdapat perbedaan mendasar mengenai

International Armed Conflict dan Non-International Armed Conflict, perbedaan

tersebut terletak pada status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam International

Armed Conflict pihak yang bersengketa memiliki status hukum yang sama yaitu

keduanya adalah Negara (state) sedangkan Non-International Armed Conflict ada perbedaan status antara pihak yang bersengketa, pihak yang satu berstatus Negara (state) sedangkan pihak yang lain berstatus non-state entity. Dalam hal Non-

International Armed Conflict dapat dilihat bahwa terjadi peperangan antara angkatan

bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisir dalam suatu wilayah negara36 atau juga dapat diartikan bahwa faksi-faksi bersenjata dalam suatu Negara saling bertempur tanpa intervensi dari ankatan bersenjata pemerintahan yang sah.

Beberapa ahli dalam hukum Internasional menyampaikan pendapatnya mengenai Non- International Armed Conflict antara lain:

a). Dieter Fleck menyatakan bahwa Non- International Armed Conflict

is a confrontation between the existing governmental authority and group of person subordinate to his authority which is carried out with arms within national territory and reaches the magnitude of an armed riot or civil war (konflik bersenjata Non-Internasional adalah

konfrontasi/pertikaian antara pemerintahan yang sah dengan kelompok

35. GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusabtara Jaya:Jakarta, 2005, hlm: 19.

(17)

25 grup yang terjadi dalam wilayah negara tersebut yang mengakibatkan kerusushan bersenjata atau perang saudara)

Non- International Armed Conflict dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa

menegaskan dengan menggunakan istilah Armed Conflict Not on an International

Character, namun lebih lanjut Konvensi Jenewa tidak memberikan penafsiran lebih

lanjut mengenai istilah tersebut, sehingga penfsiran Pasal 3 konvensi ini menjadi sangat luas. Dalam Pasal 3 Konvenasi Jenewa menyatakan bahwa:

”In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following provisions:

1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those placed hors de combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, colour, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria. To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned persons:

a) violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture;

b) taking of hostages;

c) outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment;

d) the passing of sentences and the carrying out of executions without

previous judgment pronounced by a regularly constituted court, affording all the judicial guarantees which are recognized as indispensable by civilized peoples

2) The wounded and sick shall be collected and cared for. An impartial humanitarian body, such as the International Committee of the Red Cross, may offer its services to the Parties to the conflict. The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means of special agreements, all or part of the other provisions of the present Convention.

(18)

26

The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict.(“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat

internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, tiap Pihak dalampertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :(1) Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat-tempat apapun juga :

(a). tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

(b). penyanderaan;

(c). perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

(d). menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

(2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Para pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”.

Dari rumusan Pasal 3 diatas tidak secara tegas mencantumkan secara langsung mengenai penafsiran mengenai Non-International Armed Conflict atau Armed

Conflict Not on an International Character namun dalam Commentary dari konvensi

ini para ahli menyepakati syarat-syarat konvensi Jenewa dapat di aplikasikan kedalam keadaan konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional.

(19)

27 Berbeda dengan konvensi Jenewa Protokol tambahan II ayat 1 telah menggunakan istilah Non-International Armed Conflict untuk setiap jenis konflik bersenjata yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Namun dalam protokol tambahan I ini juga tidak memberikan pengertian mengenai istilah

Non-International Armed Conflict. Dalam Commentary protokol tambahan I menyatakan

bahwa protokol tidak mampu memberikan definisi mengenai Non-International

Armed Conflict karena mengingat bahwa konflik seperti ini beraneka ragam dan

sudah berkembang sejak 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri khusus dari konflik ini. Ciri yang nampak adalah adanya permusuhan antara angkatan bersenjata dari pemerintahan yang sah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir di dalam wilayah suatu negara atau adanya faksi-faksi dalam suatu negara yang bermusuhan tanpa intervensi dari angkatan bersenjata dari pemerintahan yang sah.37

3. Humanitarian Assistance

A. Pengertian dan Prinsip Humanitarian Assistance

Humanitarian Assistance adalah segala bentuk bantuan bagi para korban

bencana maupun keadaan darurat lainnya38Dalam pelaksanaan humanitarian assistance kepada para korban harus mempergunakan tiga prinsip utama dalam pemberian bantuan kemanusiaan yaitu:

37. Arlina Permanasari, loc. Cit.

38. NN, GA/RES/46/182 Strengthening of the Coordination of Humanitarian Emergency Assistance of the United Nations, http://www.un.org/Depts/dhl/resguide/r46.htm, diakses pada 10 Oktober 2012.

(20)

28 a). Humanity

Merupakan prinsip yang menyetakan bahwa dalam setiap pemberian bantuan kemanusian harus selalu konsisten dan bantuan itu harus diberikan kepada penduduk sipil yang menjadi korban dan hak-hak dasarnya dirampas akibat konflik bersenjata, bencana alam dan keadaan gawat lainnya yang terjadi dalam negaranya. Oleh karena itu penggunaan prinsip ini dilanggar ketika bantuan kemanusian itu diberikan untuk mendukung baik secara langsung atau tidak langsung salah satu pihak yang bersengketa39. Kepatuhan terhadap asas ini dapat dilihat dari bagaimana bantuan ini disalurkan kepada pihak-pihak yang bersengketa tanpa membedakan. Selain itu pihak yang bersengketa harus menghormati keberadaan bantuan kemanusiaan serta para pekerja kemanusiaan yang turut serta di dalamnya. Dari prinsip ini dapat disimpulakan bahwa prinsip Humanity adalah prinsip utama dalam pemberian bantuan kemanusiaan dan bersifat tidak membeda-bedakan penduduk sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang menjadi korban dalam peperangan, bencana alam maupun keadaan darurat lainnya.

b). Impartiality

prinsip ini menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan itu tidak boleh adanya keberpihakan dan bantuan ini harus di berikan tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun serta harus proporsional dengan kebutuhan penduduk. Ada tiga unsure penting dari prinsip Impartiality yaitu:

39

. Ruth Abril Stoffels, Legal regulation of humanitarian assistance in armed

(21)

29 1). Non-discrimination, dalam pememberian bantuan kemanusiaan para pekerja kemanusiaan tidak diperbolehkan untuk memperlakukan penduduk sipil dengan membeda-bedakan mulai dari jenis kelamin, ras,agama,suku, agama maupun asal-usul kebangsaan para korban;

2). Proportionality, pemeberian bantuan kemanusiaan harus proporsional dan di sesuaikan dengan kebutuhan penduduk sipil yang menjadi korban dalam sengketa para pihak;

3). Subjective Distinctions40, dalam pemberian bantuan kemanusiaan juga tidak diperbolehkan untuk membedakan pemberian bantuan berdasarkan status hukum korban.

c). Neutrality

pemberian bantuan kemanusian harus bersifat netral. Sifat netral dari bantuan kemanusian yang dilakukan adalah dengan hanya memberikan bantuan kemausiaan kepada warga sipil. Dalam hukum humaniter ada prinsip umum yaitu prinsip pembedaan yaitu prinsip yang dilakukan untuk membedakan kombatan dengan civilian hal ini juga dilakukan agar dalam pemberian bantuan kemanusiaan yang dilakukan dapat dibedakan orang yang masih ikut mengangkat senjata sebagai kombatan dan orang-orang yang sudah tidak lagi turut dalam sengketa terdebut. Hal ini juga untuk memberikan kemudahaan kepada para pekerja kemanusiaan guna

40. Kate Mackintosh, HPG Report: The Principles of Humanitarian Action in International Humanitarian Law, 2000, HPG Publication: London, hlm: 8.

(22)

30 menyalurkan bantuannya. Dalam konvensi Jenewa ke IV yang mengatur mengenai perlindungan terhadap para penduduk sipil saat terjadi peperangan, menyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan atau membuka akses kepada bantuan kemanusiaan untuk warga sipil yang menjadi korban dalam konflik atau sengketa tersebut dengan tetap melalui control negara yang bersengketa.

B. Dasar Hukum Pemberian Humanitarian Assistance

Dalam pemberian humanitarian assistance terhadap negara yang sedang mengalami konflik baik non-internasional armed conflict maupun international

armed conflict, baik negara, organisasi internasional maupun internasional non-government organitation( INGO) harus memiliki dasar hukum dalam melakukan

segala tindakan yang akan mereka ambil dalam pemberian bantuan terhadap negara yang mengalami konflik. Dalam Universal Declaration of Human Right telah dinyatakan bahwa adanya perlindungan terhadap semua hak dan kebebasan tanpa pengecualian baik dari warna kulit, ras, suku, agama, jenis kelamin, bahasa, hak milik, politik, pandangan, asal-usul kebangsaan, kependudukan, maupun kedudukan lainnya41. Ini merupakan dasar dari perlindungan kepada setiap orang yang di tetapkan bersama masyarakat internasional.

Pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap individu tertuang pula dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pasal 2 ( 4 dan 5 ) yang merupakan tujuan dari perserikatan bangsa-bangsa agar bangsa-bangsa dapat hidup

41. Pasal 2 Universal Declaration of Human Right (UDHR), http://www.un.org/en/documents/udhr/, diakses pada 27 mei 2013 pukul 10.47WIB.

(23)

31 berdampingan dan menjaga perdamaian dunia. Dua aturan dalam konvenan ini dirasa memang masih terlalu umum, namun Perserikatan bangsa-bangsa melalui organ-organ inti yang ada di dalamnya membnetuk resolusi khusus mengenai perlindungan dan pemberian humanitarian assistance kepada negara yang sedang mengalami konflik yang banyak rakyat dan penduduk sipilnya menjadi korban dari konflik tersebut. General Assembly dalam resolusi 46/182 mengenai strengthening of the

coordination of humanitarian emergency assistance of the united nations dalam

resolusi ini dengan jelas dinyatakan bahwa negara-negara di dunia mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan kemanusiaan jika terjadi konflik dalam suatu negara yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia internasional. Resolusi dari majelis umum ini sering digunakan sebagai dasar negara ataupun organisasi internasional yang ingin memberikan bantuan kemanusian.

Dalam Konvensi Jenewa ke IV tentang perlindungan orang-orang sipil diwaktu perang dalam Pasal 10 menyatakan :

“The provisions of the present Convention constitute no obstacle to the humanitarian activities which the International Committee of the Red Cross or any other impartial humanitarian organization may, subject to the consent of the Parties to the conflict concerned, undertake for the protection of civilian persons and for their relief.”( ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak

merupakan penghalang bagi kegiatan perikemanusiaan yang mungkin diusahakan oleh komite palang merah internasional atau tiap organisasi humaniter lain yang tidak berpihak untuk melindungi dan menolong tawanan perang selama kegiatannya mendapat persetujuan para pihak dalam sengketa yang bersangkutan)

Dari Pasal ini telah jelas dinyatakan bahwa para penduduk sipil ataupun combatant yang telah tidak mengangkat senjata berhak mendapat perlindungannya.

(24)

32 Selain Pasal 10 Konvensi Jenewa IV yang mengatur perlindungan pada penduduk sipil pada saat terjadi sengketa bersenjata internasional, Pasal 3 Konvensi ini juga mengatur mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban sengketa saat terjadi Non-Internasional Armed Conflict di wilayah negara tersebut.

C. Pihak yang Dapat Memberikan Humanitarian Assistance

Sesuai dengan tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara keamanan dan perdamaian internasional maka seluruh negara anggota dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengusahakan terwujudnya cita-cita dan tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini. Salah satu cara dalam membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mewujudkan tujuannya adalah adanya kewajiban dari negara-negara anggota untuk membantu dalam pemberian humanitarian assistance kepada negara-negara yang sedang berkonflik.

Sebenarnya pemberian Humanitarian Assistance ini tidak hanya kewajiban dari negara-negara di dunia yang menjadi anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun ada juga entitas lain yang diperbolehkan dalam pemberian Humanitarian Assistance kepada negara yang sedang bersengketa, beberapa entitas tersebut antara lain :

a). United Nations (UN)

merupakan organisasi internasional yang beranggotakan sebagian besar negara-negara di dunia. Sebagai organisasi yang besar Perserikatan bangsa-bangsa mempunyai organ-organ inti yang membantu jalannya organisasi ini. Perserikatan

(25)

33 Bangsa-Bangsa mempunyai 6 organ inti yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing dalam membantu terwujudnya tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, organ inti dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah : (i). Dewan Keamanan(Security

Council), (ii). Majelis Umum (General Assembly), (iii). Sekertariat (the Secretariat),

(iv). Dewan Ekonomi dan Sosial (the economic and social Council), (v). Dewan Perwakilan (trusteeship Council), (vi). Mahkamah Internasional (The International

Court of justice). dalam hal pemberian humanitarian assistance organ inti dari

perserikatan bangsa-bangsa ini tidak bekerja sendirian, organ inti ini dibantu oleh

special agents yang dimiliki Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempunyai

keterkaitan langsung pemberian bantuan kemanusian kepada negara yang sedang berkonflik ataupun yang bersengketa. Ada beberapa special agents yang dimiliki Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membatu dalam pemberian bantuan kemanusiaan, antara lain:

(i). United Nations Children’s Fund (UNCEF) merupakan salah satu special agents dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerjasama dengan badan lainnya untuk membangun kembali kebutuhan dasar para korban seperti tersediannya air,sanitasi, pembangunan sekolah, obat-obatan, dan jasa kesehatan lain untuk para korban42, tidak hanya itu UNCEF juga berperan dalam perlindungan terhadap anak-anak korban konflik.

(ii). United Nations Development Programme (UNDP) merupakan special agents dari pererikatan Bangsa-Bangsa yang membantu meringankan penderitaan

42. NN, Basic Facts About The United Nations, 1998, Published by the United Nations Department of Public Information, hlm: 257.

(26)

34 para korban terutama korban bencana alam mulai dari pencegahan dan saat bantuan setelah bencana itu terjadi. Jika bencana telah terjadi UNDP dapat bekerjasama dengan badan-badan local di negara yang terkena bencana itu agar memudahakan dalam penyaluran bantuan dan koordinasi di wilayah bencana tersebut.

(iii). World Food Programme (WFP)43 badan ini membatu para korban bencana alam maupun korban perang / konflik yang terjadi di suatu negara khusus pada bidang pangan, termasuk bantuan kepada para pengungsi dan penggungsi dalam negeri. Badan ini sudah bekerja sejak dua decade dan pada saat ini sudah memberikan bantuan kemanusian kepada hampir 80% negara-negara yang berkonflik.World Food

Programme (WFP) tidak bekerja sendiri dalam pemberian bantuan kemanusiaan

dalam bidang pangan namun di bantu atau juga bekerjasama dengan Food and Agriculture Organization of United Nations (FAO) untuk meningkatkan kesejahteraan para korban konflik atau pun bencana alam. Dengan adanya kerjasama dua organ ini lebih memudahkan dalam pemberian bantuan kemanusiaan terutama dalam bidang pangan sehingga mampu membantu meringankan penderitaan dari para masyarakat sipil yang menjadi korban pertikaian bersenjata dinegaranya.

(iv). World Health Organization (WHO) badan ini berfokus pada bantuan bidang kesehatanyang di butuhkan para korban sengketa. WHO juga peduli dengan penyakit menular yang mungkin menjangkit pada masa konflik seperti HIV/AIDS, bantuan yang diberikan oleh WHO biasanya berbentuk Imunisasi, distribusi

43. Ibid., hlm: 259.

(27)

35 obatan, penanganan kesehatan mental para korban, juga mengatasi penyakit malaria dan pes yang mungkin menjangkit para korban pada masa perang/konflik.

(v). United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan badan bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurursi masalah penggunsi. Badan ini membantu para penggungsi yang terpaksa keluar dari negaranya karena konflik, rasa takut, perbedaan pandangan politik, ras, agama dan perbedaan keanggotaan dalam suatu kelompok dalam negara tersebut. Tugas utama dari UNHCR adalah menjamin penghormatan bagi para penggungsi, hak asasi manusia termasuk kemampuan mereka untuk mencari suaka dan juga untuk memastikan bahwa para penggungsi tidak dikembalikan secara paksa ke negara dimana mereka memiliki alasan takut akan penganiayan ataupun akan menjadi korbanm kekerasan.44

(vi). United Nation Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA)

Merupakan badan bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berada di bawah General Assembly dengan resolusi General Assembly 48/182. Awal pembentukannya di tujukan untuk membantu mobilisasi dan koordinasi agar penyaluran bantuan kemanusiaan lebih efektif dengan berkoordinasi dengan Non-Governmental

Organization (NGO) lokal dengan International Non-Governmental Organization

(INGO) internasional yang akan menyalurkan bantuannya45. Dalam tugasnya OCHA

44. Ibid., hlm: 261

45. http://www.unocha.org/about-us/who-we-are, diakses pada 4 Maret 2012 pukul 17.30WIB

(28)

36 membatu Dewan Keamanandan majelis umum serta organ di dalamnya yang hendak menyelurkan bantuannya kepada negara dimana terjadi konflik atau perang.

b). Europian Union (EU)

Merupakan organisasi regional yang dimiliki oleh kawasan eropa yang tahapan yang dilalui Uni Eropa untuk menjadi seperti sekarang ternyata melalui proses yang cukup panjang, dimulai dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan European Atomic Community (Euroatom). Kemudian, pada 8 April 1965, ketiga organisasi tersebut (ECSC, EEC dan Euratom) digabung menjadi satu payung European Communities (EC) melalui Traktat Brussels. Pasca dibentuknya EC, semakin banyak negara di Eropa yang mencalonkan diri sebagai anggota komunitas tersebut yaitu : Denmark, Irlandia, Inggris, Yunani, Spanyol, Portugis. Penambahan jumlah anggota dalam EC menuntut kerja sama yang kompleks untuk mengurangi perbedaan antar anggota dalam konteks ekonomi. EC juga semakin memainkan peran yang penting pada 28 Februari 1986 yang diratifikasi oleh semua anggota pada 21 Maret 1987.46

Peristiwa runtuhnya Tembok Berlin diikuti penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, demokratisasi di negara-negara Eropa Tengah dan Timur, disintegrasi Uni Soviet mendorong negara-negara Eropa mengubah interaksi dengan mempererat hubungan dan menegosiasikan traktat baru yang pokok-pokoknya utamanya disetujui pada 9-10 Desember 1991. Puncaknya, lahirlah The Treaty on European Union.

(29)

37 Sebagai tambahan, EU dalam rangka perlu adanya kontrol hukum, dimana agar terjadi kesesuain peraturan di tingkat Eropa dibentuklah Pengadilan Eropa (European

Court of Justice/ECJ. Pengadilan Eropa bertugas menilai legalitas interpretasi

pengadilan nasional terhadap isi suatu peraturan Eropa.47 Selain pengadilan Eropa, EU juga membentuk Pengadilan HAM Eropa (The European Court of Human Righst) yang berwenang memeriksa pengaduan individu dan pengaduan antar negara. Pengadilan HAM Eropa ini berkedudukan di Strasbourg, Perancis.

Europian Union juga mempunyai lembaga untuk pemberian bantuan kemanusiaan kepada negara yang sedang mengalami konflik. badan bentukan dari uni eropa ini adalah European Community Humanitarian Office (ECHO) yang memberikan bantuan kemanusiaan tidak hanya untuk para korban bencana alam tapi juga pada para korban perang. Badan ini tidak bekerja sendiri tapi juga menjalin kerjasama dengan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Non-Governmental Organisations.

c. International Non-Governmental Organization (INGO)

salah satu subjek dalam Hukum Internasional yang baru di akui adalah International Non-Governmental Organization (INGO). INGO yang diakui keberadaannya adalah yang mempunyai Legal Personality48 Dengan adanya legal

47 Lihat Kedudukan Uni Eropa sebagai Subjek Hukum Internasional, oleh Peni Susetyorini 48.Reparation for injuries suffered in the service of the United Nations Case, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1949; Lihat D.J. Harris, International Law; Cases and Materials, London Sweet & Maxwell, 5th Edition, 1998, hlm 132-139, atau baca “Legalisasi NAFTA dalam Kaitannya dengan The Politics of Legalization dan The Politicization of Law”, oleh: Jessica Evangeline Manulong, FISIP UI, 2010.hlm 53.

(30)

38

personality maka organisasi tersebut adalah subjek hukum internasional dan memiliki

kapabilitas untuk memiliki hak dan kewajiban internasional dalam tataran internasional termasuk merumuskan hukum serta menegakkannya melalui mekanisme peradilan internasional. Attribusi inilah yang membedakan organisasi internasional dengan institusi atau lembaga internasional lainnya yang hanya mampu menggunakan lembaga tersebut secara fungsional melalui negara-negara anggotanya yang hanya berjumlah puluhan. Dengan kata lain, hukum internasional memiliki indikator tersendiri untuk memilih organisasi mana yang harus diperhatikan sebagai organisasi internasional dan mana yang hanya merupakan kumpulan negara-negara saja.49

Tidak semua organisasi internasional atau regional serta-merta dianggap sebagai subjek hukum dan bisa melakukan aktivitasnya seperti negara pada umumnya. Menurut Teuku M. Rudi dalam bukunya berjudul Administrasi dan Organisasi Internasional, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh organisasi internasional atau regional untuk memiliki legal personalities sendiri, yaitu:

1. Merupakan himpunan (keanggotaan) negara-negara yang bersifat tetap (permanen), serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap. Dengan kata lain, bukan sekedar komite ad-hoc yang biasanya berfungsi hanya sementara atau dalam jangka waktu tertentu

49 “Legalisasi NAFTA dalam Kaitannya dengan The Politics of Legalization dan The

(31)

39 2. Memilik perbedaan, dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi,

antara organisasi tersebut dengan negara anggota

3. Adanya kewenangan hukum organisasi itu yang dapat diterima (oleh pihak lain) serta diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruang lingkup internasional, bukan sekedar kegiatan dalam lingkup nasional salah satu atau masing-masing anggotanya. Dengan kata lain, diakui sebagai satuan atau entitas tersendiri (bukan sekedar pengelompokan beberapa negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain. Syarat di atas masih harus dilengkapi dengan:

1. Kemampuan mengadakan perjanjian (the treaty making power);

2. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki aset-aset berupa barang, modal, bangunan, peralatan (milik organisasi), serta status khusus bagi personalia yang diberi kepercayaan atau amanat;

3. Kemampuan mengajukan tuntutan (claim) terhadap negara anggota dan juga negara bukan anggota, jika terjadi hal yang merugikan organisasi;

4. Locus standi untuk mengajukan perkara ke pengadilan internasional dan berdasarkan jurisdiksi internasional;

5. Adanya perlindungan fungsional terhadap staf dan personalia;

6. Hak organisasi yang disertai pengakuan/penerimaan oleh negara atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan dalam menghadiri berbagai konferensi internasional yang bersangkutan;

(32)

40 Legitimasi bahwa organisasi internasional regional50 mempunyai ‘legal

personality’ diperkuat oleh J.G Starke dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Internasional Bagian ke-2’ pada pembahasan ‘juridicial personality’nya PBB, Selain

Charter PBB, konstitusi lembaga-lembaga internasional lainnya, baik umum maupun regional, memuat ketentuan yang serupa dengan Pasal 104 Charter atau Pasal 1 Konvensi tentang Privilege-Privilege dan Imunitas-imunitas PBB. Sesuai dengan opini nasihat International Court of Justice, yang telah dikemukakan di atas, sebagian besar lembaga-lembaga ini memiliki personalitas hukum internasional. Dalam Pasal 47 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional 1944, yang menetapkan kapasitas hukum dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), “State such legal

capacity as may be necessary for the performance of its functions. Full juridical personality shall be granted wherever compatible with the constitution and laws of the State concerned.”51 Rumusan dalam Pasal ini tampaknya membiarkan negara-negara peserta perjanjian tetap bebas untuk memberikan atau mencabut personalitas hukum apabila hukum nasionalnya mengizinkan tindakan demikian, namun ketentuan-ketentuan yang sama dalam sejumlah besar konstitusi badan-badan internasional mengikat negara-negara sepenuhnya untuk mengakui personalitas tersebut”52

50 ASEAN sebagai salah satu organisasi regional di dunia khusus kawasan Asia Tenggara 51 Pasal 47 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Chicago, 7 Desember 1944), “Organisasi harus menikmati dalam wilayah setiap negara peserta perjanjiannya kapasitas hukum yang mungkin diperlukan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya. Personalitas yuridis penuh harus diberikan apabila sesuai dengan konstitusi dan hukum dari negara-negara terkait”

(33)

41

D. Humanitarian Assistance Theory

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat tidak dapat lepas dari situasi konflik baik yang bersifat individu maupun dengan eskalasi yang lebih luas antar masyarakat atapun pemerintah dengan masyarakat. Perbedaan pandangan atau prinsip merupakan hal yang sering melatar belakangi terjadinya konflik. untuk hubungan antara masyarakat dalam satu wilayah negara dengan pemerintahan dinegara tersebut terjadinya konflik biasanya adanya perbedaan pandangan, perbedaan prinsip antara apa yang di inginkan masyarakat dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah.

Dalam hukum humaniter internasional konflik atau sengketa yang terjadi antar para pihak dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. International Armed Conflict (konflik bersenjata internasional)

b. Non-International Armed Conflict (konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional)

Pembedaan terhadap konflik diatas didasarkan pada perbedaan subjek hukum pada saat terjadinya konflik tersebut. dalam konflik bersenjata internasional pihak yang bersengketa adalah antar subjek hukum internasional sedangkan dalam konflik bersenjata yang tidak bersiat internasional subjek yang bersengketa biasanya antara

(34)

42 angkatan bersenjata pemerintahan yang sah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir (Organized Armed Groups)53.

Baik koflik yang bersifat internasional ataupun konflik yang tidak bersifat internasional, penduduk atau masyarakat sipil akan menjadi korban dalam konflik tersebut. negara sebagai subjek hukum internasional mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap para penduduk sipil baik dalam situasi damai maupun situasi konflik. terutama pada masa perang atau konflik perlindungan terhadap masyarakat sipil diatur dalam Convention IV relative to the protection of

civilian persons in time of war (Konvensi Jenewa ke IV mengenai perlindungan

orang-orang sipil diwaktu perang ), dalam Pasal 3 yang disebut juga Common Article menyatakan bahwa :

”In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following provisions: 1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those placed hors de combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinctionfounded on race, colour, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria. To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned persons:

a) violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture;

b) taking of hostages;

(35)

43

c) outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment;

d) the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounced by a regularly constituted court, affording all the judicial guarantees which are recognized as indispensable by civilized peoples

2) The wounded and sick shall be collected and cared for. An impartial humanitarian body, such as the International Committee of the Red Cross, may offer its services to the Parties to the conflict. The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means of special agreements, all or part of the other provisions of the present Convention. The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict.(“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak

bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, tiap Pihak dalampertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :(1) Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat-tempat apapun juga :

(a). tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

(b). penyanderaan;

(c). perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

(d). menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

(2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian.

Para pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari

(36)

44 ketentuan lain dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”.

Dalam Pasal 10 juga dinyatakan bahwa:

The provisions of the present Convention constitute no obstacle to the

humanitarian activities which the International Committee of the Red Cross or any other impartial humanitarian organization may, subject to the consent of the Parties to the conflict concerned, undertake for the protection of civilian persons and for their relief.” (ketentuan-ketentuan pada Konvensi ini

tidak merupakan penghalan bagi kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang mungkin diusahan oleh komite palang merah internasional atau tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak untuk melindungi dan menolong tawanan perang selama kegiatan tersebut mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan)

Kedua Pasal di atas telah menjelaskan bahwa perlindungan terhadap penduduk sipil merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh pemerinatah ataupun organisasi internasional humaniter.

Bantuan kemanusiaan atau Humanitarian Assistance diberikan kepada para penduduk sipil dikarenakan hilangnya penghormatan terhadap hak-hak individu dalam suatu negara yang sedang dilanda konflik, kebanyakan pemerintahan negara dengan menggunakan aparatur negara menjadikan rakyat atau masyarakatnya sebagai korban tidak melindungi hak-hak mereka atau pemerintahan suatu negara tidak mampu menghentikan kekerasan yang terjadi pada rakyat atau warga negaranya.54

54. Steven P. Lee, 2010, Humanitarian Intervention-eight theory,

http://www.diametros.iphils.uj.edu.pl/pdf/diam23lee.PDF, diakses pada 12 mei 2013 pukul 08.42 WIB.

(37)

45 Henry shue menyatakan bahwa55 :

“Humanitarian intervention is generally treated as an exception to the non-intervention principle, which requires us to respect the integrity of a foreign country and not to interfere in matters of domestic jurisdiction”(bantuan kemanusiaan

merupakan pengecualian dari prinsip non-intervensi terhadap teori kedaulatan suatu negara, yang mengharuskan kita untuk menghormati integritas negara asing dan tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri)

Masuknya intervensi kemanusiaan dalam suatu negara yang sedang terjadi konflik bertujuan untuk membantu para penduduk atau warga negara yang menjadi korban dari adanya kekerasan atau konflik di negara tersebut. Humanitarian Assistance yang merupakan usaha baik dari pemerintah atau organ PBB dan Non Internasional Organization untuk meringankan dan mengembalikan martabat dari para korban perang yang sebagian besar merupakan penduduk sipil56. Humanitarian

Assistance adalah bantuan yang diberikan kepada para korban konflik yang terjadi

dalam satu wilayah negara dan dilakukan oleh badan atau organisasi kemanusiaan yang bersifat netral dari perang tersebut. Pemberian humanitarian assistance dapat diberikan oleh beberapa pihak antara lain:

a). United Nations (UN)

merupakan organisasi internasional yang beranggotakan sebagian besar negara-negara di dunia. Sebagai organisasi yang besar Perserikatan bangsa-bangsa mempunyai organ-organ inti yang membantu jalannya organisasi ini. Perserikatan

55 . Ibid,. hlm: 25.

56. http://www.nceeer.org/Programs/Carnegie/Reports/Hnikoghosyan_Final_NCEEER.pdf, hlm: 22, diakses pada 20 mei 2013 pukul 12.14WIB

(38)

46 Bangsa-Bangsa mempunyai 6 organ inti yang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing dalam membantu terwujudnya tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, organ inti dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah : (i). Dewan Keamanan(Security

Council), (ii). Majelis Umum (General Assembly), (iii). Sekertariat (the Secretariat),

(iv). Dewan Ekonomi dan Sosial (the economic and social Council), (v). Dewan Perwakilan (trusteeship Council), (vi). Mahkamah Internasional (The International

Court of justice). dalam hal pemberian humanitarian assistance organ inti dari

perserikatan bangsa-bangsa ini tidak bekerja sendirian, organ inti ini dibantu oleh

special agents yang dimiliki Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempunyai

keterkaitan langsung pemberian bantuan kemanusian kepada negara yang sedang berkonflik ataupun yang bersengketa.

b). Europian Union (EU)

Merupakan organisasi regional yang dimiliki oleh kawasan eropa yang Tahapan yang dilalui Uni Eropa untuk menjadi seperti sekarang ternyata melalui proses yang cukup panjang, dimulai dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic Community (EEC), dan European Atomic Community (Euroatom). Kemudian, pada 8 April 1965, ketiga organisasi tersebut (ECSC, EEC dan Euratom) digabung menjadi satu payung European Communities (EC) melalui Traktat Brussels. Pasca dibentuknya EC, semakin banyak negara di Eropa yang mencalonkan diri sebagai anggota komunitas tersebut.

(39)

47 Europian Union juga mempunyai lembaga untuk pemberian bantuan kemanusiaan kepada negara yang sedang mengalami konflik. badan bentukan dari uni eropa ini adalah European Community Humanitarian Office (ECHO) yang memberikan bantuan kemanusiaan tidak hanya untuk para korban bencana alam tapi juga pada para korban perang. Badan ini tidak bekerja sendiri tapi juga menjalin kerjasama dengan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun Non-Governmental Organisations.

d. International Non-Governmental Organization (INGO)

salah satu subjek dalam Hukum Internasional yang baru di akui adalah International Non-Governmental Organization (INGO). INGO yang diakui keberadaannya adalah yang mempunyai Legal Personality57 Dengan adanya legal

personality maka organisasi tersebut adalah subjek hukum internasional dan memiliki

kapabilitas untuk memiliki hak dan kewajiban internasional dalam tataran internasional termasuk merumuskan hukum serta menegakkannya melalui mekanisme peradilan internasional. Atribusi inilah yang membedakan organisasi internasional dengan institusi atau lembaga internasional lainnya yang hanya mampu menggunakan lembaga tersebut secara fungsional melalui negara-negara anggotanya yang hanya berjumlah puluhan. Dengan kata lain, hukum internasional memiliki indikator

57.Reparation for injuries suffered in the service of the United Nations Case, Advisory Opinion, I.C.J. Reports 1949; Lihat D.J. Harris, International Law; Cases and Materials, London Sweet & Maxwell, 5th Edition, 1998, hlm 132-139, atau baca “Legalisasi NAFTA dalam Kaitannya dengan The Politics of Legalization dan The Politicization of Law”, oleh: Jessica Evangeline Manulong, FISIP UI, 2010.Hlm : 53.

(40)

48 tersendiri untuk memilih organisasi mana yang harus diperhatikan sebagai organisasi internasional dan mana yang hanya merupakan kumpulan negara-negara saja.58

58 “Legalisasi NAFTA dalam Kaitannya dengan The Politics of Legalization dan The

(41)

49 BAB III

METODELOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah normatif. Penelitian hukum Normatif adalah bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan59. Dalam ini penelitian ini menggunakan pendekatan statute approach yakni bagaimana mengharmonisasi aturan hukum internasional mengenai Humanitarian Assistance dapat diterapkan di negara Syrian Arab Republic yang sedang dilanda Non-International Armed Conflict. Apakah hukum internasional dapat masuk dalam situasi konflik seperti yang terjadi di Syrian Arab Republic dan dampak dari pemberian Humanitarian Assistance kepada negara Syrian Arab Republic. pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan statute

approach.

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan. Bahan kepustakaan ini lazimnya dinamakan data sekunder.60 Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum yeng terdiri atas :

59 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 2006, UI Press, Jakarta, hlm 13-14.

(42)

50 a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan

hukum mengikat yang terdiri dari:

1. The Geneva Conventions of 12 August 1949;

2. Protocol I Additional to the Geneva Conventions 1977; 3. Protocol II Additional to the Geneva Conventions 1977 4. UN Charter ;

5. Resolusi General Assembly A/RES/66/176; 6. Resolusi General Assembly A/RES/66/253; 7. Resolusi General Assembly A/RES/66/253 B; 8. Resolusi Security Council S/RES/2042 (2012); 9. Resolusi Security Council S/RES/2043 (2012).

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer61 yaitu terdiri dari pendapat para ahli yang relevan yang tertuang dalam buku-buku, jurnal ilmiah dan artikel dalam internet yang berkaitan dengan penelitian. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder62 berupa ensikolopedia dan kamus hukum.

3. Alat Penelitian

Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis alat dalam pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

61 Ibid. 62 Ibid.

(43)

51 wawancara. Ketiga alat tersebut dapat dipergunakan masing-masing atau bersama-sama. Dalam penelitian ini alat yang dipergunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka, dengan cara mempelajari buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal, majalah, artikel, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti

4. Jalannya Penelitian

Ada tiga tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Tahap persiapan, yaitu tahap penelitian yang dimulai dengan pengumpulan data, penyusunan proposal penelitian, konsultasi dengan pembimbing, dan perbaikan untuk penyempurnaan proposal penelitian; b. Tahap penelitian, yaitu tahap pengumpulan data sekunder dan hukum

lain di lokasi penelitian yang telah ditetapkan;

c. Tahap Analisa, yaitu tahap dimana peneliti melakukan proses membaca semua bahan hukum primer maupun sekunder dan tersier setelah terkumpul dan dibaca maka dilakukan pengolahan data dengan cara mensistemalisir data yang telah terkumpul, mengeksplikasi dan mengevaluasi data yang telah di sistematikasikan berdasarkan eksplikasi dab evaluasi tersebut ditariklah suatu kesimpulan yang akan menjawab masalah yang diteliti

d. Tahap penyelesaian, yaitu penulisan tesis dan konsultasi guna penyempurnaan tesis dengan diakhiri ujian tesis.

(44)

52 5. Analisis Data

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi pustakaan dengan menelaah berbagai peraturan hukum dan kaidah-kaidah hukum yang kemudian data itu dipilih dan disusun secara sistematis berdasarkan kerangka permasalahan yang diteliti63. Data sekunder yang dikumpulkan dalam tesis ini adalah data terkait

humanitarian assistance yang mencakup mengenai aturan-aturan, syarat-syarat, dan

praktek oleh negara-negara.

Data mengenai humanitarian assisatance dilihat dari beberapa konvensi yang berkaitan yakni : Geneva Convention 1949, UN Charter, Resolusi General Assembly A/RES/66/176, Resolusi General Assembly A/RES/66/253, Resolusi General Assembly A/RES/66/253 B, Resolusi Security Council S/RES/2042 (2012), Resolusi Security Council S/RES/2043 (2012). Untuk syarat pemberian humanitarian assistance dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dilihat dari UN Charter, Resolusi Security Council S/RES/2042 (2012), Resolusi Security Council S/RES/2043 (2012) dan kebiasaan praktek dari negara-negara dan untuk dampak dari pemebrian humanitarian Assistance dilihat dari Geneva Convention IV tentang protection of

civilian persons in time of war dan UN Charter dimana Syrian merupakan negara

anggota dari konvenan tersebut. Selanjutnya setelah data disusun secara sistematis maka dianalisis menggunakan metode analisis dan dilakukan evaluasi selanjutnya dibuatlah kesimpulan yang menjawab dan menyelesaikan masalah yang dikaji.

(45)

53 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kriteria-Kriteria Hukum Internasional dalam Pemberian Humanitarian

Assistance di Syrian Arab Republic oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sebagai Organisasi Internasional Perserikatan bangsa-bangsa merupakan Organisasi Internasional terbesar yang ada di dunia, dikarenakan hampir seluruh negara di dunia merupakan anggota dari Perserikatan bangsa-bangsa64. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) awalnya lahir dikarenakan kegagalan dari Liga Bangsa – Bangsa (LBB) dalam mencapai tujuannya untuk mengakhiri perang dan agar masyarakat internasional hidup tentram dan berdampingan65, kegagalan itu disebabkan terjadinya perang dunia kedua saat itu. Dengan berakhirnya perang dunia kedua banyak negara-negara di dunia berniat untuk membuat suatu organisasi internasional yang bersifat universal dan sempurna dan diharapakan mampu untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia internasional.

Pada 1 Januari 1942 dikeluarkanlah deklarasi yang dikenal dengan Declaration

of the United Nations yang ditandatangani oleh 26 negara. Dan deklarasi ini

mengawali berdirinya United Nation yang mempunyai tujuan untuk mencapai keamanan dan perdamaian antar negara-negara di dunia. Dalam Piagam Perserikatan

64. Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, hlm 1.

65. Sri Setianingsih Suwardi, 2004,Pengantar Hukum Organisasi Internasional,UI Press,Jakarta, hlm 249.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian dan hasil analisis pada bab-bab sebelumnya dan merujuk pada topik pembahasan mengenai pengaruh citra merek, inovasi produk dan iklan terhadap

Dilaksanakan latihan seminggu sekali melalui Zoom bersama kakak tingkat yang memiliki kemampuan lebih dalam bidang tari tradisional dan dengan cara

D 23 April 2015 14:00 wib Yohanes Widodo - Yohanes Widodo LUKAS Nobertus Ribut Catherine Dianti 080903594 3. PENGARUH TINGKAT KEPERCAYAAN ENDOSER IKLAN TERHADAP MINAT BELI

(2) Untuk mendapatkan cuti sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang

Adanya organ pencernaan fermentatif bagi ruminansia memiliki beberapa keuntungan (Sutardi, 1980), yaitu: 1) dapat mencerna bahan makanan dengan serat kasar yang tinggi, sehingga

Disaat penggunaan flash tidak memungkinkan (karena serangga yang akan kita foto akan lari menjauh) maka untuk mendapatkan eksposure yang baik antara bukaan

Trauma – trauma intra abdomen tumpul disebabkan oleh benturan antara orang yang mengalami trauma dan lingkungan luar tubuh dengan proses aselerasi atau deselerasi yang

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat