BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tablet
Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempacetak, dalam bentuk
tabung pipih atau sirkuler, kedua pemukaannya rata atau cembung, mengandung
satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Zat tambahan yang
digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat
pelicin, zat pembasah atau zat lain yang cocok (Ditjen POM, 1979).
Menurut Anief (1987), untuk membuat tablet diperlukan bahan tambahan
berupa:
a. Bahan pengisi (diluent)
Bahan ini dimaksudkan untuk memperbesar volume tablet. Zat-zat yang
digunakan seperti: sakarum laktis, amilum.
b. Bahan pengikat (binder)
Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak pecah dan dapat merekat. Zat-zat
yang digunakan seperti: mucilago gummi arabici 10-20%, mucilago amyli
10%, larutan gelatin 10-20% (panas), larutan methylcellulose 5%.
c. Bahan penghancur (disintegrator)
Bahan ini dimaksudkan agar tablet dapat hancur dalam perut. Zat-zat yang
Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan (matrys). Zat-zat
yang digunakan seperti: talkum, magnesii stearas.
2.1.1 Cara Penggunaan Tablet
Menurut Ansel (1989), cara penggunaan tablet dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Tablet Oral
a) Tablet biasa yaitu tablet yang dicetak, tidak disalut diabsorpsi disaluran
cerna dan pelepasan obatnya cepat untuk segera memberikan efek
terapi.
Contoh: tablet parasetamol.
b) Tablet kunyah, dikunyah dulu baru ditelan.
Contoh: antasida.
2. Tablet penggunaanya melalui rongga mulut
a) Tablet bukal, disisipkan diantara gusi dan pipi.
Contoh: tablet progesteron.
b) Tablet sublingual, diletakkan dibawah lidah. Tablet ini cepat melarut
dan bahan obatnya cepat diabsorpsi.
c) Tablet hisap = troches = lozengs. Tablet dihisap dan obatnya terlarut
sedikit demi sedikit dan diserap di rongga mulut.
Contoh: antiseptika dan lokal anestesi.
3. Tablet penggunaannya di bawah kulit
a) Tablet implantasi, ditanamkan didalam jaringan di bawah kulit.
Tujuannya untuk pemakaian tempo lama.
Contoh: tablet hormon KB.
b) Tablet hipodermik, tablet ini sebelum digunakan dilarutkan dahulu
dalam pelarutnya.
Contah: atropin sulfat.
4. Tablet everfessen, tablet ini dilarutkan dulu dalam air kemudian diminum.
Contoh: Tablet Ca sandoz.
5. Tablet vagina, pemakaiannya melalui vagina. Bentuknya pipih oval
ujungnya lebih kecil. Tablet ini mengandung antibiotika dan antibakteri.
2.1.2 Keuntungan Tablet
Karena popularitasnya yang besar dan penggunaannya yang sangat luas
sebagai sediaan obat, tablet terbukti menunjukkan suatu bentuk yang efisien,
sangat praktis dan ideal untuk pemberian zat aktif tetapi secara oral (Siregar,
Menurut Siregar (2008), keuntungan tablet adalah sebagai berikut:
1. Rasa obat yang pahit atau memuakkan atau tidak menyenangkan dibuat agar
dapat diterima dan bahkan enak dengan menutup keseluruhan tablet atau
granul tablet dengan suatu salut pelindung yang cocok.
2. Keuntungan tablet yang paling nyata adalah kemudahan pemberian dosis
yang akurat. Dosis dapat didistribusikan secara seragam dalam keseluruhan
tablet untuk memberi kemudahan dalam pemerian dosis yang akurat apabila
tablet dipotong menjadi dua bagian atau lebih untuk pemerian pada
anak-anak.
3. Tablet tidak mengandung alkohol. Alkohol sering diperlukan untuk
meningkatkan kelarutan atau stabilitas bentuk sediaan lain.
4. Kandungan tablet dapat segera disesuaikan dalam berbagai dosis zat aktif.
5. Sifat tablet yang sangat mendasar adalah mudah dibawa, bentuk kompak,
stabilitas yang memadai, ekonomis dibandingkan dengan bentuk sediaan lain,
segera tersedia, mudah diberikan, memastikan kesan psikologis yang baik
bagi penerimaan hampir semua pasien.
2.2 Analgetik-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang dapat mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan Antipiretik adalah obat yang
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Suhu tubuh normal adalah 36–370 C.
Kebanyakan analgetik juga memberi efek antipiretik. Tetapi sebaliknya antipiretik
yang mana efeknya paling dominan. Contoh: acetominofen (parasetamol),
asetosal (aspirin). Obat-obat tersebut efek antipiretiknya lebih besar daripada
analgetiknya. Sedangkan methampyronum (novalgin) mempunyai daya analgetik
lebih besar daripada daya antipiretik (Anief, 1997).
2.3 Uraian Umum Parasetamol
Pemerian : Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan
rasa pahit jarak lebur 1690 sampai 1720 C
Rumus Bangun Parasetamol
OH
NHCOCH3
Rumus Struktur : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16
Kelarutan : 1 gram dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 250
C, 1 gram larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml
alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam
dalam benzene dan eter, dan larut dalam larutan alkali
hidroksida (Connors, 1992).
Nama Kimia : 4’- Hidroksiasetanilida (Farmakope Indonesia Ed.IV).
2.3.1 Farmakokinetik
Asetaminofen/parasetamol diserap cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam, masa
paruh dalam plasma antara 1-3 jam. Obat ini tarsebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma sebagian parasetamol terikat oleh protein plasma, 25%.
Obat ini mengalami metabolisme oleh enzim-enzim mikrosom dalam hati.
80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil
dengan asam sulfat dalam hati. Selain itu obat ini juga dapat mengalami
hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis ertrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi (Setiabudy, 2007).
2.3.2 Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek
sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu
merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa (Setiabudy, 2007).
2.3.3 Efek Samping
Tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah.
Pada pengguna kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis
diatas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini
disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal
oleh glutathione (suatu tripeptida dengan -SH). Pada dosis di atas 10 g, persediaan
peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH
di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek
fatal.
Overdosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia.
Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar
(asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10
jam setelah intoksikasi (Tjay, 2002).
2.3.4 Indikasi
Digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri dan menurunkan
suhu badan yang tinggi. Misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid,
keseleo, demam imunisasi, demam flu dan lain sebagainya. Obat-obat golongan
sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal dan batu
empedu, kanker) perlu menggunakan jenis obat keras, dan untuk demam yang
berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter.
2.3.5 Sediaan dan Dosis
Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada
penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak: 4-6 dd 10 mg/kg, yakni
rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12
tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari.
Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12
bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12
tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay, 2002).
2.4 Disolusi
Disolusi adalah proses suatu zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan
suatu larutan. Disolusi secara singkat didefenisikan sebagai proses suatu solid
melarut.
Pentingnya laju disolusi zat aktif dari sediaannya pada manfaat klinis dan
system penghantaran zat aktif telah lama diakui. Sifat bentuk sediaan yang sangat
penting adalah konstribusinya pada laju dan besarnya ketersediaan zat aktif (obat)
dalam tubuh (Siregar, 2008).
Dari jenis alat, ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam
masing-masing monografi:
a. Alat 1 (Tipe Keranjang)
Alat terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca, suatu batang logam
yang digerakkan oleh motor dan wadah disolusi (keranjang) berbentuk
silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm−175 mm, diameter 98
mm−106 mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada
posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap
titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus dan tanpa
goyangan. Sebuah tablet diletakkan dalam keranjang saringan kawat kecil
yang diikatkan pada bagian bawah batang logam yang digerakkan oleh
motor yang kecepatannya dapat diatur. Wadah dicelupkan sebagian di
dalam suatu tangas air yang sesuai sehingga dapat mempertahankan suhu
dalam wadah pada 370±0,50C selama pengujian dan menjaga agar gerakan
air halus dan tetap. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk
mencegah penguapan digunakan suatu penutup yang pas.
b. Alat 2 (Tipe Dayung)
Alat ini sama dengan alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung
yang terdiri dari daun dan batang logam sebagai pengaduk. Daun melewati
diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi
spesifikasi dengan jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar
wadah yang dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan obat
berputar. Gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk
mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995).
2.4.2 Prosedur Pengujian Disolusi
Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti
yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan
dibiarkan media disolusi mencapai temperature 370C. Satu tablet dicelupkan
dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian
pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi.
Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah
pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang
berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk
analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi
syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen
POM, 1995).
2.4.3 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap.
Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka
akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet
tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan
lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria
penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah ini.
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang
tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada
etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan
lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu
titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan
alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994).
2.4.4 Faktor yang Memengaruhi Disolusi Zat Aktif
Menurut Siregar (2008), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk
sediaan, antara lain:
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif Tahap
tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari
Q – 15%
S3 12
Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah
sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak
lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil
dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang
Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi:
karakteristik fase solid, polimorfisa, kopresipitasi dan/atau kompleksasi,
karakteristik partikel, kelarutan zat aktif.
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan meliputi: eksipien dan
zat tambahan, zat pengisi (zat pengencer), disintegran, pengikat dan zat
penggranulasi, lubrikan, antilekat (antiadherent) dan glidan. Pengaruh zat
tambahan lainnya yaitu pengaruh surfaktan dan pengaruh zat pewarna
larut-air pada laju disolusi.
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan
Bermacam-macam faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan yaitu
metode granulasi/prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat
aktif-eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan pada lau disolusi.
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi yaitu eksentrisitas gerakan
pengaduk, vibrasi/getaran, intensitas pengadukan, kesejajaran unsur
pengadukan dan gangguan pola aliran.
e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji disolusi
Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik
disolusi zat aktif. Faktor-faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik
media disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah terbukti
memengaruhi daya guna disolusi suatu zat aktif.
Selain faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya, ada berbagai faktor
yang tidak tercakup, tetapi secara signifikan memengaruhi karakteristik
disolusi zat aktif. Beberapa diantaranya yaitu kontaminasi dari dinding
wadah, adsorpsi, sorpsi dan kelembapan.
2.5 Penetapan Kadar
Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis
penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008).
Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet Parasetamol
yaitu spektrofotometri sinar uv. Spektrofotometri sinar uv adalah pengukuran
berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan
untuk molekul dan ion-ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spektrum
UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang
struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran