• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN SKRIPSI Program Studi Agribisnis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN SKRIPSI Program Studi Agribisnis"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU

KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN

SKRIPSI

Program Studi Agribisnis

Oleh:

TRI ASTUTI CAHYANINGRUM

H0808151

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU

KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Program Studi Agribisnis

Oleh:

TRI ASTUTI CAHYANINGRUM

H0808151

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU

KAYU PUTIH DI KPMKP KRAI KABUPATEN GROBOGAN

yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Tri Astuti Cahyaningrum

H0808151

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

pada tanggal:

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua Anggota I Anggota II

D. Padmaningrum, SP, M.Si Erlyna Wida Riptanti, SP, MP Prof. Dr.Ir. Endang Siti Rahayu, MS NIP. 19720915 199702 2 001 NIP. 19780708 200312 2 002 NIP. 19570104 198003 2 001

Surakarta,

Mengetahui

Universitas Sebelas Maret

Fakultas Pertanian

Dekan

(4)

commit to user

iv KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skipsi dengan judul “Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu Putih

Di Kesatuan Pengolahan Minyak Kayu Putih Krai (KPMKP Krai)”, sebagai salah

satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS, selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harisudin, M.Si, selaku Ketua Jurusan/Program Studi

Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Nuning Setyowati, SP, M.Sc, selaku Komisi Sarjana Jurusan/ Program

Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Ibu D. Padmaningrum, SP, M.Si, selaku Pembimbing Akademik sekaligus

Pembimbing Utama skripsi yang telah memberi bimbingan dan arahan

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Erlyna Wida Riptanti, SP, MP, selaku Pembimbing Pendamping dalam

skripsi ini, yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.

6. Ibu Prof. Dr. Ir. Endang Siti Rahayu, MS, selaku penguji skripsi yang telah

memberi arahan kepada penulis

7. Seluruh Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas

bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama kegiatan studi di

Fakultas Pertanian Universitas Surakarta.

8. Seluruh karyawan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah membantu admnistrsi penulis yang berkenaan dengan studi dan

(5)

commit to user

v

9. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, KBM INK dan KPMKP Krai yang

telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.

10. BPS Kabupaten Grobogan, atas bantuan kepada penulis selama kegiatan

penelitian.

11. Kesbangpolinmas Provinsi Jawa Tengah dan Kesbangpolinmas Kabupaten

Grobogan, atas bantuan kepada penulis selama kegiatan penelitian.

12. Orang tua penulis, yang selalu mendukung membantu dan mendampingi

penulis dalam segala sesuatu serta selalu memberi bimbingan dan semangat

kepada penulis.

13. Kakak-kakak penulis yang telah memberi semangat dan membimbing penulis

dalam hal akademik maunpun non akademik

14. Seluruh teman-teman Jurusan Agribisnis 2008 yang telah bersama-sama

berjuang dalam kegiatan studi di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

15. Teman-teman kos Wisma Riski yang selalu membantu penulis dan

memberikan semangat dalam menyusun skripsi ini. Terimakasih atas

kebersamaan yang telah terjalin selama ini baik di Wisma Riski maupun di

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

penyempurnaan skipsi ini. Namun penulis berharap semoga sumbangan pemikiran

ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Surakarta, 2012

(6)

commit to user

2. Pengertian Dan Peranan Persediaan ... 14

3. Jenis Persediaan ... 15

4. Pengendalian Dan Fungsi Pengendalian Persediaan... 15

5. Faktor Yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku ... 16

6. Biaya-biaya Persediaan Bahan Baku ... 17

7. Reorder Point ... 17

8. Safety Stock ... 17

9. Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku ... 18

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 23

D. Hipotesis ... 26

E. Asumsi-Asumsi ... 26

F. Pembatasan Masalah ... 26

G. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel ... 26

III.METODE PENELITIAN ... 39

A. Metode Dasar ... 39

B. Metode Penentuan Obyek Penelitian ... 39

C. Metode Pengumpulan Data ... 30

(7)

commit to user

vii

2. Teknik Pengumpulan Data ... 30

D. Metode Analisis Data ... 31

1. Analisis Kuantitas Persediaan Bahan Baku ... 31

2. Analisis Biaya Persediaan Bahan Baku ... 33

3. Analisis Penjadwalan Penanaman Dan Pemetikan Bahan Baku .... 34

IV.KONDISI UMUM KPMKP KRAI... 36

A. Tempat dan Lokasi ... 36

B. Sejarah Perusahaan ... 36

C. Struktur Organisasi ... 37

D. Ketenagakerjaan ... 42

1. Tenaga Kerja ... 42

2. Pengaturan Jam Kerja ... 42

3. Hak dan Kewajiban Karyawan ... 44

4. Kesejahteraan Karyawan ... 44

E. Produksi ... 45

A. Kebijakan Pengendalian Persediaan Bahan Baku di KPMKP Krai... 65

1. Pengamanan Bahan Baku di KPMKP Krai ... 65

2. Bahan Baku Kayu Putih ... 66

3. Pemetikan Daun Kayu Putih ... 70

B. Pengendalian Persediaan Bahan Baku Menurut Metode EPQ ... 79

1. Keadaan Persediaan Bahan Baku Telah Pasti ... 79

2. Keadaan Kekurangan Bahan Baku ... 81

C. Perbandingan Persediaan Bahan Baku Antara Kebijakan KPMKP Krai Dengan Metode EPQ ... 82

D. Penjadwalan Pemetikan Bahan Baku Kayu Putih Dan Replanting Tanaman Kayu Putih... 85

1. Menurut Kebijakan KPMKP Krai... 85

(8)

commit to user

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 1. Bahan Baku Daun Kayu Putih,Produksi Minyak Kayu Putih dan Rendemen di KPMKP Krai Tahun 2009-2011 ... 3

Tabel 2. Rencana, Realisasi Serta Selisih Antara Rencana dan Realisasi Luas Areal Pemetikan Daun Kayu Putih di Kebun Krai Tahun 2009-2011 ... 71

Tabel 3. Rencana, Realisasi Serta Selisih Antara Rencana dan Realisasi Jumlah Pemetikan Daun Kayu Putih di Kebun Krai Tahun 2009-2011 ... 71

Tabel 4. Jumlah Pemetikan Daun Kayu Putih Harian dan Produksi Harian Tahun 2009-2011 ... 74

Tabel 5. Jumlah Pemetikan Daun Kayu Putih Tahunan dan Harian Serta Produksi Harian Tahun 2009-2011 ... 74

Tabel 6. Biaya Produksi Bulanan dan Harian di KPMKP Krai Tahun 2009-2011 ... 75

Tabel 7. Sumber dan Jumlah (Kg) Bahan Baku Daun Kayu Putih Di KPMKP Krai Tahun 2009-2011Tahun 2009-2011 ... 78

Tabel 8. Penyediaan Bahan Baku Daun Kayu Putih Menurut Metode EPQ Tahun 2009-2011 ... 79

Tabel 9. Jumlah Minimum Produksi Dan Biaya Yang Dikeluarkan Per Hari Saat Terjadi Kekurangan Bahan Baku di KPMKP Krai Tahun 2009-2011 ... 81

Tabel 10. Perbandingan Kuantitas produksi Yang Dikeluarkan Menurut KPMKP Krai Dan Metode EPQ Tahun 2009-2011 ... 83

Tabel 11. Perbandingan Total Biaya Produks Per Hari Yang Dikeluarkan Menurut KPMKP Krai Dan Metode EPQ Tahun 2009-2011 ... 84

(9)

commit to user

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ... 25

(10)

commit to user

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1. Rincian Biaya Pengadaan Bahan Baku di KPMKP Krai Tahun 2009-2011 ... 96

Lampiran 2. Rincian Biaya Kebun Krai dan Perawatannya Tahun 2009-2011 ... 96

Lampiran 3. Perhitungan EPQ Tahun 2009-2011 ... 96

Lampiran 4. Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kecamatan Toroh (Areal Kebun Krai) Tahun 2009-2011 ... 104

(11)

commit to user

xi RINGKASAN

Tri Astuti Cahyanigrum. H0808151. 2012. “Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu Putih Di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan”. Skripsi dengan pembimbing D. Padmaningrum, SP, M.Si dan Erlyna Wida Riptanti, SP, MP. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu, apabila diolah dapat meningkatkan nilai tambah dan memiliki banyak manfaat. KPMKP Krai merupakan perusahaan yang memproduksi minyak kayu putih yang berada di bawah pengawasan Kesatuan Bisnis Mandiri Industri Non Kayu (KBM INK). Kapasitas produksi maksimal setiap kali produksi adalah 8 ton. Namun, kapasitas produksi di KPMKP Krai selama ini seringkali lebih sedikit dari kapasitas produksi, sehingga diperlukan adanya pengendalian persediaan bahan baku.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis kuantitas persediaan bahan baku yang ekonomis dalam setiap hari produksi; 2) mengetahui tingkat efisiensi biaya persediaan dalam setiap hari produksi: 3) mengetahui tingkat efisiensi penjadwalan penanaman dan pemetikan kayu putih di KPMKP Krai. Metode dasar penelitian ini adalah metode diskriptif analitis dan pelaksanaannya menggunakan metode studi kasus. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu KPMKP Krai, dipilih berdasarkan kenyataan bahwa KPMKP Krai merupakan pabrik minyak kayu putih yang baru berkembang, dengan kayu putih seluas 3.650 ha.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan selisih produksi harian antara kebijakan perusahaan dan perhitungan dari metode EPQ (Economic

Production Quantity) selama tiga tahun yaitu tahun 2009-2011 (dalam kg) secara

berurutan sebesar 906,80 kg; 832,58 kg dan 228,21 kg. Dari hasil ini dapat memberikan penghematan total biaya produksi dalam satu hari tahun 2009-2011 masing-masing sebesar Rp 1.544.900,00; Rp 562.200,00 dan Rp 1.011.100,00.

Dalam segi produksi KPMKP Krai belum mencapai jumlah yang ekonomis. Total biaya dan penjadwalan di perusahaan tersebut juga belum efisien. Sehingga KPMKP Krai masih perlu mengatur kuantitas produksi agar ekonomis dengan menambah kuantitas bahan baku dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan untuk penyediaan bahan baku jangka panjang dan menambah pemasok untuk jangka pendek. Selain itu, diperlukan pengaturan penjadwalan

replanting dan pemetikan daun kayu putih dengan memperhatikan curah hujan,

(12)

commit to user

xii SUMMARY

Tri Astuti Cahyanigrum. H0808151. 2012. "Analysis of Raw Material Inventory Control Eucalyptus In KPMKP Krai Grobogan Regency". Thesis with the supervisor D. Padmaningrum, SP, M.Si and Erlyna Wida Riptanti, SP, MP. Faculty of Agriculture, University of Surakarta of March.

Eucalyptus is one of non-timber forest products, when processed to increase the added value and has many benefits. KPMKP Krai is a company that produces eucalyptus oil that is under the supervision of KBM INK. Maximum production capacity of each production is 8 tons. However, the production capacity KPMKP Krai in far less often than production capacity, so it is necessary to control raw material inventory.

The study purposed to: 1) analyze the quantity of economic of raw materials supply on a day production; 2) determine the level of cost efficiency of inventory; 3) determine the level of efficiency scheduling planting and harvesting of eucalyptus in KPMKP Krai. This basic method of this research is analytical descriptive method and its implementated by case study method. KPMKP Krai selected as a research location purposively,because KPMKP Krai is an emerging eucalyptus corporate and has a eucalyptus plantation covering an area 3.650 ha.

These results indicate that the ratio of the difference between corporate policies and EPQ (Economic Production Quantity) methods for three years in 2009-2011 (in kg) in a sequence of 906.80 kg, 832.58 kg and 228.21 kg. So as to provide total savings of a day production costs in 2009-2011 amounted to Rp 1.544.900,00; Rp 562.200,00 and Rp 1.011.100,00.

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan cukup

banyak, baik berupa hutan penghasil kayu maupun hutan penghasil

produk non kayu. Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, produk-produk hasil hutan kayu dapat berupa kayu jati, kayu

rimba, kayu bakar dan jenis kayu-kayu lainnya. Produk-produk hutan

non kayu dapat berupa benda-benda hayati (nabati dan hewani) seperti

produk minyak atsiri dan minyak lemak, non hayati (fungsi konservasi

dan jasa, tidak termasuk benda-benda tambang) dan produk-produk

langsung yang diperoleh melalui proses pengolahan (disebut produk

turunan).

Hutan non kayu merupakan bagian dari hasil hutan selain kayu

yang saat ini masih berkedudukan sebagai minoritas. Lingkup hasil

hutan non kayu sendiri sebenarnya sangat luas, yakni meliputi produk

hayati yang diperoleh melalui pemungutan dan pengolahan, misalnya

produk minyak dan produk ekstraktif seperti bahan penyamak, pewarna,

alkaloid serta produk-produk hasil hutan lainnya. Perkembangan hasil

hutan non kayu dari waktu ke waktu juga memiliki prospek yang cukup

baik dan memiliki nilai cukup tinggi, sebagai contoh adalah kayu putih.

Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang

apabila diolah dapat meningkatkan nilai tambah dan memiliki banyak

manfaat. Minyak kayu putih adalah minyak atsiri hasil destilasi yang

merupakan hasil dari penyulingan daun kayu putih (Melaleuca

leucadendron L). Minyak kayu putih memiliki banyak manfaat, baik

digunakan secara tunggal sebagai obat dan digunakan sebagai campuran

untuk obat, kosmetik, minyak wangi dan penyegar makanan. Potensi

(14)

sebagai peluang bisnis yang juga bisa menyerap tenaga kerja. Menurut

Ketaren S (1985), penyulingan adalah proses pemisahan komponen

yang berupa cairan atau padatan dari dua macam campuran atau lebih

berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini dilakukan terhadap

minyak atsiri yang tidak larut dalam air.

Menurut Perum Perhutani (2011), pabrik minyak kayu putih

cukup banyak di Indonesia, di Jawa misalnya PMKP Sukun milik KBM

INK II Jatim yang berada di ponorogo, KPMKP Krai Kabupaten

Grobogan, KBM Industri Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan

Banten, LMDH Telawah dan LMDH Rawakuna Perum Perhutani KPH

Banyumas Barat. Pada beberapa tahun terakhir ini, kinerja industri

penyulingan minyak sangatlah beragam, dimana terdapat beberapa

perusahaan peyulingan yang mengalami peningkatan dan penurunan

kinerja. Penurunan kinerja industri minyak kayu putih terlihat dari

adanya perusahaan penyulingan minyak kayu putih yang memiliki

mesin-mesin yang tidak layak pakai, sehingga dapat mempengaruhi

kinerja dan menyebabkan produksi tidak optimal yang menyebabkan

adanya kerugian. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus dapat

menyebabkan pabrik penyulingan minyak kayu putih menghentikan

kegiatan produksinya.

Demikian halnya dengan Kesatuan Pengolahan Minyak Kayu

Putih Krai (KPMKP Krai) Kabupaten Grobogan, yang merupakan

perusahaan di bawah pengawasan Kesatuan Bisnis Mandiri Industri Non

Kayu (KBM INK). KBM INK sendiri berada dalam naungan Perum

Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, yang merupakan perusahaan BUMN.

KPMKP Krai merupakan perusahaan yang sedang berkembang, dimana

pada tahun 2006 KPMKP Krai secara organisasi telah dialihkan dalam

koordinasi KBM INK yang sebelumnya berada dalam naungan KPH

Gundih (KPMKP Krai, 2006). Sebagai perusahaan yang tengah

(15)

faktor pendukung seperti adanya lahan kayu putih milik KPMKP Krai

sendiri yang dapat menopang keberlanjutan kegiatan produksinya.

Produksi daun kayu putih di kebun sangat mempengaruhi

kuantitas produksi minyak kayu putih yang dihasilkan, dengan kuantitas

produksi daun kayu putih yang sesuai kapasitas pabrik dan kualitas yang

baik maka kuantitas rminyak kayu putih yang dihasilkan pun dapat

sesuai dengan kapasitas dan kualitas minyak kayu putih pun baik.

Namun, produksi daun kayu putih tidak selalu mencukupi kebutuhan

pabrik dan kualitasnya pun tidak selalu baik. Berdasarkan data dari

KPMKP Krai (2012) terdapat perbedaan produksi daun kayu putih dari

masing-masing tanaman di kebun Krai. Hal ini disebabkan adanya

pemeliharaan yang kurang baik, musim kemarau dan musim penghujan

yang tidak menentu dan adanya kemampuan daun untuk tumbuh yang

berbeda-beda antara pohon yang satu dengan pohon lainnya. Selain itu,

rencana dan realisasi penjadwalan pemetikan daun kayu putih terkadang

tidak sesuai dengan yang ditetapkan. Hal ini dapat menyebabkan

persediaan bahan baku tidak sesuai dengan kebutuhan KPMKP Krai,

sehingga produksi minyak kayu putih pun tidak dapat memenuhi

kapasitas produksi. Berikut adalah data produksi minyak kayu putih di

KPMKP Krai tahun 2009-2011:

Tabel 1. Bahan Baku Daun Kayu Putih, Produksi Minyak Kayu Putih dan Rendemen di KPMKP Krai Tahun 2009-2011.

Tahun Bahan Baku Daun Kayu Putih (Kg)

Produksi Minyak Kayu Putih (Kg)

Rendemen (%)

2009 7.398.548 56.062 0,76

2010 6.429.842 44.075 0,69

2011 7.506.934 55.450 0,74

Sumber : KPMKP Krai Tahun 2012

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa produksi kayu putih

(16)

daun kayu putih di KPMKP Krai. Dimana kapasitas produksi daun kayu

putih adalah 9.000-10.000 ton atau setara dengan 73.800-82.000 Kg

minyak kayu putih per tahun. Keadaan tersebut disebabkan tidak

tersedianya bahan baku daun kayu putih yang sesuai dengan kapasitas

produksi. Adanya fluktuasi produksi daun kayu putih yang dihasilkan

disebabkan oleh iklim ekstrim pada tahun-tahun terakhir ini. Sebagai

gambaran, pada musim hujan bahan baku berkurang sehingga produksi

menurun dan pada musim kemarau bahan baku meningkat yang

menyebabkan penumpukan bahan baku. Sebagai perusahaan yang

sedang berkembang, KPMKP Krai memerlukan pengendalian

persediaan bahan baku kayu putih. Hal ini bertujuan untuk menjaga

kontinuitas persediaan bahan baku kayu putih dengan penggunaan biaya

yang minimum.

Pada prinsipnya, kelangsungan proses produksi dipengaruhi oleh

berbagai faktor, antara lain: modal, teknologi, persediaan bahan baku,

persediaan barang jadi dan tenaga kerja. Persediaan bahan baku sebagai

elemen modal kerja merupakan unsur penting untuk menjalankan

operasi perusahaan dan merupakan aktiva yang selalu berputar

(Anonim, 2010). Adanya persediaan bahan baku secara terus menerus

dapat mengurangi resiko bahwa perusahaan pada suatu waktu tidak

dapat memenuhi keinginan pelanggan yang membutuhkan

barang-barang yang tersedia setiap saat, yang berarti resiko pengusaha

mengalami kerugian lebih kecil.

Sistem pengendalian persediaan bahan baku bertujuan untuk

menjamin dan menetapkan tersedianya bahan baku dengan mutu yang

tepat dalam waktu yang tepat. Sistem ini dilakukan dengan mengawasi

tingkat persediaan yang akan dilakukan dengan menentukan jumlah

pemesanan atau pembelian bahan baku, berapa kali pemesanan yang

akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan satu periode produksi dan

(17)

pengendalian persediaan perlu dilakukan karena jumlah modal kerja

yang ada dalam persediaan tidak kurang dari 25%. Jika pengawasan

persediaan dapat dilakukan dengan baik, maka kerugian dapat dihindari

baik kerugian yang ditimbulkan karena hilangnya bahan baku maupun

kerugian karena terhalangnya produksi akibat dari tidak adanya

bahan-bahan pada waktu yang dibutuhkan.

Penjadwalan masa tanam dan masa pemetikan daun kayu putih

sangatlah diperlukan, agar bahan baku yang dibutuhkan dapat tercukupi

dan kontinuitas bahan baku dapat terjaga agar rutinitas produksi tetap

berjalan secara terus menerus. Pemetikan dipengaruhi oleh umur

tanaman dan daun, kondisi daun dan penanaman. Pemetikan yang tepat

dipengaruhi oleh penjadwalan penanaman yang tepat pula, sehingga

kualitas maupun kuantitas daun kayu putih yang sesuai dengan

kebutuhan dapat terpenuhi. Penjadwalan pemetikan dimaksudkan agar

jumlah daun kayu putih dapat memenuhi kapasitas produksi.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengambil judul Analisis

Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu Putih Di KPMKP Krai

Kabupaten Grobogan. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan

dapat diketahui sistem pengendalian persediaan bahan baku daun kayu

putih yang dilakukan oleh KPMKP Krai sudah efisien atau belum.

B. Perumusan Masalah

KPMKP Krai merupakan perusahaan yang memproduksi minyak

kayu putih dengan menggunakan bahan baku daun dan ranting kayu

putih. Minyak kayu putih merupakan produk hasil penyulingan dari

kayu putih yang merupakan salah satu produk hutan non kayu, dimana

jumlahnya cukup banyak. Produksi minyak kayu putih di KPMKP Krai

dipengaruhi oleh banyaknya jumlah bahan baku daun kayu putih, yang

(18)

kelebihan bahan baku daun kayu putih. Kekurangan bahan baku

biasanya terjadi pada saat musim penghujan, sedangkan pada musim

kemarau biasanya terjadi kelebihan bahan baku.

Oleh karena itu, KPMKP Krai perlu melakukan pengendalian

persediaan bahan baku kayu putih agar tidak terjadi kekurangan ataupun

kelebihan bahan baku. Menurut Murdifin dan Mahfud (2007), hal-hal

yang harus diperhatikan dalam menangani persediaan adalah

memelihara sumber pasokan, memelihara material sejak berada dalam

perusahaan dan pemanfaatan persediaan pada waktu yang tepat. Dari

uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kuantitas persediaan bahan baku dalam setiap hari produksi

di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan sudah ekonomis?

2. Apakah biaya persediaan bahan baku dalam setiap hari produksi di

KPMKP Krai Kabupaten Grobogan sudah efisien?

3. Apakah strategi penjadwalan penanaman (replanting) dan pemetikan

kayu putih di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan sudah efisien?

4.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini, antara lain:

1. Untuk menganalisis kuantitas persediaan bahan baku yang ekonomis

dalam setiap hari produksi di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan

2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi biaya persediaan bahan baku

dalam setiap hari produksi di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan

3. Untuk mengetahui tingkat efisiensi penjadwalan penanaman

(replanting) dan pemetikan kayu putih di KPMKP Krai Kabupaten

Grobogan

D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk

(19)

Maret Surakarta, sekaligus bermanfaat untuk menambah

pengetahuan pengalaman peneliti.

2. Bagi perusahaan yang bersangkutan, hasil dari penelitian ini dapat

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan sumber dana

dan sumber daya yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan untuk

menentukan besarnya kuantitas produksi yang optimum dengan

biaya yang minimum.

3. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan dalam menyusun suatu kebijakan.

4. Bagi pembaca, sebagai bahan informasi dan referensi dalam

penelitian yang sejenis maupun penelitian selanjutnya.

II. LANDASAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Menurut Dewantoro (2010) dalam jurnal Pengaruh Produktivitas

Kebun Terhadap Produksi Minyak di Pabrik Penyilingan Minyak Kayu

Putih Sendangmole Kabupaten Gunungkidul, menunjukkan bahwa:

1. Produksi daun kayu putih di BDH Playen, BDH Paliyan, dan BDH

(20)

tahun mulai tahun 2001–2005, dengan produktivitas lahan kayu

putih rata-rata 0,9432 sama dengan produktivitas lahan rata-rata per

tahun sebesar satu, sedangkan produktivitas lahan tertinggi di BDH

Paliyan sebesar 1,8215.

2. Produktivitas lahan kayu putih sebagai bahan baku berpengaruh

terhadap produksi minyak kayu putih di Pabrik Sendangmole,

sedangkan faktor lain yang tidak masuk model seperti tenaga kerja,

bahan bakar, serta mesin pabrik juga berpengaruh terhadap produksi

minyak kayu putih.

3. Rasio realisasi dan target menunjukkan hasil tidak sesuai dengan

standar, yang berarti ada kesalahan dalam manajemen terutama

perencanaan dan pelaksanaan pada pabrik.

Menurut Astana, dkk (2007) dalam jurnal Analisis Distribusi

Margin Tataniaga Minyak Kayu Putih, menunjukkan bahwa:

1. Jika daun kayu putih (DKP) sebagai bahan baku utama penyulingan

minyak kayu putih (MKP) tidak dihargai. Margin tataniaga MKP

pada tingkat PMKP adalah Rp 719 per kg DKP dan pada tingkat

pabrik pengolah dan pengemas kayu putih adalah Rp 3.880 per kg

DKP. Sedangkan jika DKP dihargai sebesar Rp 400 per kg, margin

tataniaga MKP pada tingkat pabrik minyak kayu putih (PMKP)

adalah Rp 319 per kg DKP, dan pada tingkat pabrik pengolah dan

pengemas kayu putih adalah Rp 3.480 per kg DKP.

2. Dengan harga DKP sebesar Rp 500 per kg (DKP) dan harga MKP

sebesar Rp 204.805 per kg (MKP), pabrik pengolah dan pengemas

kayu putih dan PMKP tidak menderita kerugian. Keuntungan PMKP

akan mencapai nol rupiah dan pabrik pengolah dan pengemas kayu

putih tidak menderita kerugian jika harga DKP dinaikkan hingga

sebesar Rp 1.176,36 per kg, yang berarti bahwa bahan baku DKP

(21)

3. Sistem tataniaga MKP selama ini (dimana DKP tidak dihargai)

adalah tidak efisien, karena margin keuntungan lebih terserap oleh

pabrik pengolah dan pengemas kayu putih, yaitu sebesar Rp

1.545,91 per kg DKP, sedangkan PMKP hanya menerima sebesar Rp

336,65 per kg DKP dan produsen daun kayu putih bahkan menerima

(Rp 164,50 per kg DKP).

4. Dalam jangka panjang, ketidakefisienan sistem tataniaga MKP dapat

merugikan keberlanjutan industri dan perdagangan MKP, karena

produksi DKP sebagai bahan baku utama MKP lambat laun akan

semakin berkurang. Semakin berkurangnya produksi DKP

disebabkan oleh absennya biaya (karena DKP tidak dihargai) yang

diperlukan untuk meningkatkan produksi DKP melalui peremajaan

dan pemeliharaan tanaman kayu putih.

Manfaat pengendalian bahan baku adalah untuk menjamin dan

menetapkan tersedianya bahan baku yang memiliki mutu yang tepat

dalam waktu yang tepat. Sebagai contoh, pada Analisis Efisiensi

Pengendalian Persediaan Bahan Baku Teh Di PT. Rumpun Sari

Kemuning I, yang ditelliti oleh Winoto (2008) diketahui bahwa:

1. Kuantitas produksi per hari menurut perhitungan dengan metode

EPQ menunjukkan nilai yang lebih besar apabila dibandingkan

dengan perhitungan produksi menurut kebijakan perusahaan.

Kuantitas produksi menurut metode EPQ selama tahun 2004-2007

secara berturut-turut adalah 2.325 kg/hari, 3.033 kg/hari, 2.419

kg/hari dan 2.318 kg/hari. Pada tahun 2004 kuantitas produksi yang

dikeluarkan oleh perusahaan lebih besar dari pada kuantitas produksi

menurut metode EPQ, sehingga terjadi penumpukan bahan baku

sebesar 166 kg/hari. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengadaan bahan

baku produksi daun teh sebagai bahan baku teh hijau yang

diproduksi oleh PT. Rumpun Sari Kemuning I Karanganyar belum

(22)

2. Total biaya produksi pembuatan teh hijau per harinya menurut

perhitungan dengan metode EPQ lebih kecil dari pada total biaya

produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Total biaya produksi

menurut perhitungan EPQ selama tahun 2004-2007 secara

berturut-turut adalah Rp 4.013.251,00/hari, Rp 4.688.965,00/hari, Rp

4.697.421,00/hari dan Rp 4.615.640,00/hari. Rata-rata total biaya

yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp 4.515.559,00

dan rata-rata total biaya menurut metode EPQ adalah sebesar

4.503.819,00. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya yang

dikeluarkan oleh PT. Rumpun Sari Kemuning I Karanganyar belum

ekonomis. Penyediaan bahan baku pucuk daun teh perlu

memperhatikan beberapa faktor, seperti rotasi petik, waktu

peremajaan, cara pengangkutan serta analisa basah dan kering agar

jumlah produksi pucuk daun teh yang harus diadakan oleh PT.

Rumpun Sari Kemuning I Karanganyar dapat memenuhi target

secara tepat waktu dan jumlahnya ekonomis.

Penelitian-penelitian di atas digunakan sebagai bahan referensi

karena dalam penelitian tersebut terdapat kesamaan baik komoditas

maupun metode yang digunakan. Penelitian Dewantoro (2010)

menunjukkan bahwa produktivitas lahan kayu putih berpengaruh pada

produksi minyak kayu putih. Berdasarkan dari sumber pemikiran

tersebut, peneliti mencoba menganalisis produksi daun kayu putih di

kebun Krai untuk memenuhi kebutuhan penyediaan bahan baku dalam

proses produksi minyak kayu putih di KPMKP Krai.

Penelitian Astana, dkk (2007) menunjukkan bahwa sistem

tataniaga MKP pada saat DKP tidak dihargai margin keuntungan

terserap oleh pabrik pengolah dan pengemas kayu putih, sehingga

menyebabkan berkurangnya produksi daun kayu putih. Untuk

meningkatkan produksi daun kayu putih, maka harus dilakukan

(23)

pemikiran di atas, penulis menerapkan analisa penjadwalan pemetikan

daun kayu putih dan replanting tanaman kayu putih agar penyediaan

bahan baku dapat dilakukan secara terus menerus pada masa produksi

minyak kayu putih di KPMKP Krai.

Penelitian Winoto (2008) menunjukkan analisis produksi dan

total biaya yang ekonomis menggunakan metode EPQ. Komoditas

dalam penelitian ini adalah teh, dimana teh merupakan komoditas yang

dalam umur tertentu pucuk daun teh dapat dipetik dan selanjutnya

dilakukan rotasi pemetikan pucuk daun teh setiap periode tertentu

secara rutin. Hal ini sama halnya dengan tanaman kayu putih, dimana

pemetikan daun kayu putih dilakukan pada umur tanaman tertentu dan

selanjutnya dilakukan pemetikan daun secara rutin hingga umur 30

tahun. Berdasarkan sember pemikiran di atas, peneliti mencoba

menerapkan metode EPQ untuk mengalisis total biaya dan produksi

minyak kayu putih dalam pengendaliaan persediaan bahan baku kayu

putih di KPMKP Krai dan menganalisis penjadwalan pemetikan daun

kayu putih serta penjadwalan replanting tanaman kayu putih di kebun

Krai.

B. Tinjauan Pustaka

1. Kayu Putih

Luas hutan kayu putih sekitar 620.000 hektar sebagian besar

(lebih 90%) berupa hutan alam dan sisanya berupa hutan tanaman.

Hutan alam mayoritas terdapat di luar Jawa seperti Maluku, Irian

Jaya, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan,

sedangkan yang berupa hutan tanaman terutama di pulau Jawa (Jawa

Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan DIY) dan Bali. Ada 2 jenis

tanaman kayu putih yaitu jenis Buru dan Timor serta satu varietas

yaitu varietas Ponorogo. Jenis Buru daunnya lebih lebar dan tebal,

(24)

lancip, tipis, jika masih muda (pucuk) daun berwarna hijau muda

kemerahan (Kasmudjo, 2011).

Menurut Kasmudjo (1982), kayu putih merupakan jenis

tanaman semak yang tumbuh baik pada daerah yang mempunyai

musim kemarau agak basah maupun kering. Tanaman ini tumbuh

pada tanah rendah dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan

laut. Klasifikasi kayu putih adalah:

Devisio : Spermatopgyta

Sub Devisio : Angiospermeae

Sub Class : Circhichlamydeae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtaleae

Familia : Myrtaceae

Genus : Melaleuca

Spesies : Melaleuca leucadendron L

Ada dua macam jenis minyak-minyakan yaitu dua dari produk

minyak atsiri dan satu dari produk minyak lemak. Contoh produk

minyak atsiri dipilih minyak kayu putih (dari daun) dan minyak

ylang-ylang (dari bunga), sedang dari produk minyak lemak dipilih

minyak tengkawang (dari biji) saja. Minyak kayu putih adalah jenis

minyak atsiri yang dihasilkan dari pengolahan atau distilasi daun

kayu putih. Minyak kayu putih sebagai distilat merupakan minyak

encer, berwarna jernih dapat digunakan secara tunggal atayu sebagai

campuran pada industri obat-obatan, kosmetika dan makanan

(Keteran, 1986).

Pemungutan kayu putih dapat disertakan ranting-rantingnya

atau tidak. Apabila hanya berupa daun kayu putih pemungutannya

lama dan apabila dilakukan dengan tangan akan menyebabkan

(25)

dan dilakukan pengecekan kondisi lapangannya. Setelah disetujui

kemudian disiapkan sarana dan prasarananya, termasuk tenaga

pungutnya (Kasmudjo, 2007).

Persyaratan tanaman kayu putih yang akan dipungut adalah: a).

telah berumur 4 atau 5 tahun, dipungut sampai daur antara

25-30 tahun;

b). diameter batang tanaman (batang pokok atau batang trubusannya)

antara 1,5-2,5 cm (rantingnya diikutkan dalam pemasakan sebaiknya

dengan diameter maksimal 0,5 cm); c). tinggi pangkasan minimal 75

cm dan maksimal 120 cm; d). jarak waktu antara pangkasan satu

dengan pangkasan berikutnya antara 6-12 bulan, biasanya makin tua

makin lama; e). pemangkasan (daun beserta ranting) harus segera

dikirim ke pabrik setelah dikumpulkan di TPn (Tempat

Pengumpulan) agar tingkat kesegaran daun dan kandungaan

minyaknya optimal (Kasmudjo, 2011).

Menurut Kasmudjo (1982), cara pengolahan minyak kayu

putih ada 2 macam, yaitu cara langsung yang dilakukan dengan

perebusan atau water distillation dan cara tidak langsung yang terdiri

dari dua macam, yaitu cara pengukusan (water and steam distilation)

dan cara penguapan (steam distilation). Tiga cara pengolahan

minyak kayu putih tersebut memiliki perbedaan pada bahan yang

diolah. Proses perebusan biasanya digunakan untuk skala kecil,

sedangkan untuk skala besar biasanya digunakan proses penguapan.

Proses penguapan dapat menggunakan beberapa ketel pemasak

sekaligus yang diuapi secara paralel dengan uap yang diatur oleh

pengendali uap (steam header).

Rendemen minyak kayu putih (MKP) bervariasi antara

0,5-1,4%. Dengan cara penguapan, rendemen MKP yang dihasilkan di

atas 1,0%. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak

(26)

a. Iklim dan tempat tumbuh, tanaman kayu putih yang ditanam di

daerah dengan tinggi tempat kurang dari 400 m dari permukaan

laut dengan iklim tidak terlalu basah memberikan rendemen

tinggi.

b. Musim, pemungutan kayu putih agar dilakukan pada musim

kemarau (Maret sampai dengan November) agar diperoleh

rendemen tinggi.

c. Jenis tanaman, jenis tanaman buru dengan ciri-ciri daunnya

lebar, tebal, berwarna hijau kekuningan pada pucuknya,

menghasilkan rendemen paling tinggi dibanding jenis lainnya.

d. Derajat kesempurnaan (Dk), sering disebut dengan kerapatan

tajuk, yaitu derajat penutupan areal oleh tajuk tanaman. Tanaman

pada areal dengan Dk 0,7-0,9 memberikan rendemen paling

optimal.

e. Keadaan daun, daun kayu putih pada kondisi makin segar dan

segera diolah memberikan rendemen paling tinggi. Waktu

menunggu proses sebaiknya tidak lebih dari 48 jam agar

rendemennya tetap tinggi.

f. Cara pengolahan, cara pengolahan dengan penguapan

memberikan rendemen minyak kayu putih tertinggi, kemudian

cara pengukusan lebih rendah dan paling sedikit cara perebusan

(Kasmudjo, 2011).

Menurut Kasmudjo (2011), faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kualitas minyak kayu putih, antara lain:

a. Jenis tanaman, jenis tanaman timor dengan ciri daunnya

berbentuk lancip (lonjong), tipis, berwarna hijau kemerahan pada

pucuknya menghasilkan minyak kayu putih dengan kualitas

paling tinggi, sedang varietas Ponorogo memberikan kualitas

(27)

b. Cara penyimpanan daun, cara penyimpanan daun karena

menunggu proses pemasakan jangan diletakkan menggunung,

pada ruang yang kering dan cukup peredaran udaranya.

Penyimpanan diharapan tidak melebihi 48 jam karena dapat

menurunkan kualitas minyak kayu putih.

c. Cara pengisian ketel, sebaiknya tidak memadat dan cukup

ruangan antar daun. Dengan diisi sekitar tiga per empat volume

ketel pemasakdan menyertakan ranting sampai 20%, dapat

menghasilkan minyak dengan kualitas yang tetap tinggi.

d. Tahapan pengambilan minyak kayu putih, selama proses

pemasakan berlangsung, minyak kayu putih yang dihasilkan

mempunyai kualitas yang semakin meningkat kemudian

menurun pada tahapan pada tahapan akhir proses pemasakan.

Proses pemasakan antara 30 menit pertama sampai 150 menit

berikutnya mempunyai kualitas minyak kayu putih.

Minyak kayu putih yang baik adalah minyak kayu putih yang

memiliki kualitas SNI. Kualitas minyak kayu putih SNI-2006 yaitu:

a). berwarna putih kekuningan sampai kehijau-hijauan, jernih, bau

segar MKP; b). bobot jenis 0,900-0,930; c). indeks bias (20oC)

adalah 1,450-1,470; d). sudut polarisasi adalah 0o sampai dengan

(-4o); e). kelarutan dalam alkohol 80% adalah 1:1 s/d 1:10 jernih; f).

kadar sineol adalah 50-65% (Kasmudjo, 2011).

2. Pengertian dan Peranan Persediaan

Persediaan adalah sejumlah bahan-bahan yang disediakan dan

bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk

proses produksi, serta barang-barang jadi/produk yang disediakan

untuk memenuhi permintaan dari konsumen atau langganan setiap

waktu. Persediaan merupakan salah satu unsur yang paling aktif

(28)

yang kemudian dijual kembali. Pada dasarnya, persediaan berperan

untuk mempermudah atau memperlancar jalannya operasi

perusahaan pabrik yang harus dilakukan secara berturut-turut untuk

memperoduksi barang serta menyampaikannya pada konsumen.

(Assauri, 1993).

Secara fisik, item persediaan dapat dikelompokkan dalam lima

kategori, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan mentah (raw materials), yaitu barang-barang yang

berwujud seperti baja, kayu, tanah liat, atau bahan-bahan mentah

lainnya yang diperoleh dari sumber-sumber alm, atau dibeli dari

pemasok, atau diolah sendiri oleh perusahaan untuk

digunakanperusahaan dalam proses produksinya sendiri.

b. Komponen, yaitu barang-barang yang terdiri atas bagian-bagian

(parts) yang diperoleh dari perusahaan lain atau hasil produksi

sendiri untuk digunakan dalam pembuatan barang jadi atau

barang setengah jadi.

c. Barang setengah jadi (work in process), yaitu barang-barang

keluaran dari tiap operasi produksi atau perkiraan yang telah

memiliki bentuk lebih kompleks dari pada komponen, namun

masih perlu proses lebih lanjut untuk menjadi barang jadi.

d. Barang jadi (finished good), yaitu barang-barang yang telah

selesai diproses dan siap untuk didistribusikan ke konsumen.

e. Bahan pembantu (supplier materials), yaitu barang-barang yang

diperlukan dalam proses pembuatan atau perakitan barang,

namun bukan merupakan komponen barang jadi. Termasuk

bahan penolong adalah bahan bakar, pelumas, listrik dan lai-lain

(Baroto, 2002).

3. Jenis Persediaan

(29)

a. Batch stock atau lot size inventory, yaitu pembelian atau

pembuatan yang dilakukan dalam jumlah besar, sedang

penggunaan atau pengeluaran dalam jumlah kecil. Tersedianya

persediaan karena pengadaan bahan/barang yang dilakukan lebih

banyak dari yang dibutuhkan.

b. Fluctuation stock, yaitu persediaan yang diadakan untuk

menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat

diramalkan. Apabila terdapat fluktuasi permintaan yang sangat

besar, maka persediaan ini dibutuhkan sangat besar pula untuk

menjaga kemungkinan naik turunnya permintaan tersebut.

c. Anticipation Stock, yaitu persediaan yang diadakan untuk

menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diramalkan,

berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun

(Assauri, 1993).

4. Pengendalian dan Fungsi Pengendalian Persediaan

Pengendalian persediaan adalah teknik mempertahankan

persediaan barang pada tingkat yang diinginkan dengan penentuan

sebelumnya. Pengendalian persediaan dilakukan dengan manajemen

persediaan, manajemen persediaan sendiri dikaitkan dengan

penentuan kebijakan yang bertujuan untuk pengendaliaan sistem

persediaan (Atmaji, 1990).

Menurut Rangkuti (2002), fungsi-fungsi persediaan antara lain:

a. Fungsi decoupling, yaitu persediaan yang memungkinkan

perusahaan dapat memenuhi permintaan langganan tanpa

tergantung pada supplier.

b. Fungsi economic lot sizing, persediaan lot size ini perlu

mempertimbangkan penghematan-penghematan atau potongan

pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah

(30)

c. Fungsi antisipasi, yaitu apabila perusahaan menghadapi fluktuasi

permintaan yang dapat diperkirakan berdasar pengalaman atau

data masa lalu, yaitu permintaan musiman

Pengendalian persediaan menetapkan suatu persediaan dalam

jumlah tertentu sebagai tindakan pengendalian dalam kondisi nyata.

Fungsi pengendalian adalah untuk menentukan jenis dan jumlah

barang-barang yang harus dibeli untuk persediaan, sehingga dapat

meminimalkan kekurangan ataupun kelebihan persediaan.

Pengendalian persediaan ditujukan untuk dapat berhasil mencapai

tujuan perusahaan yaitu kelancaran operasi dan kelangsungan hidup

perusahaan serta dapat berkembangnya perusahaan (Assauri, 1980).

5. Faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku

Menurut Ahyari (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi

persediaan bahan baku, antara lain:

a. Perkiraan pemakaian, yaitu sebelum kegiatan pembelian bahan

baku dilaksanakan, maka manajemen harus dapat membuat

perkiraan bahan baku yang akan dipergunakan di dalam proses

produksi pada suatu periode.

b. Harga, harga dari pada bahan baku yang akan dibeli menjadi

salah satu faktor penentu pula dalam kebijakan persediaan bahan

baku

c. Biaya-biaya persediaan, yaitu biaya ini selayanya diperhitungkan

dalam penentuan besarnya persediaan bahan baku.

d. Kebijakan pembelanjaan, yaitu seberapa besar persediaan bahan

bahan baku akan mendapatkan dana dari perusahaan akan

tergantung pada kebijakan pembelanjaan dari dalam perusahaan

tersebut

e. Pemakaian senyatanya, yaitu pemakaian bahan baku senyatanya

dari periode yang lalu merupakan salah satu faktor yang perlu

(31)

f. Waktu tunggu, yaitu tenggang waktu yang diperlukan (yang

terjadi) antara saat pemesanaan bahan baku dengan datangnya

bahan baku itu sendiri.

6. Biaya-biaya Persediaan Bahan Baku

Pengambilan keputusan mengenai penentuan besarnya jumlah

persediaan harus mempertimbangkan biaya-biaya variabel sebagai

berikut:

a. Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs), yaitu

terdiri atas biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan

kuantitas persediaan.

b. Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs atau

procurement costs), adalah biaya di luar bahan dan potongan

kualitas.

c. Biaya penyiapan (manufacturing) atau set-up cost, biaya yang

timbul ketika terdapat bahan-bahan yang tidak dibeli, tetapi

diproduksi sendiri “dalam pabrik” perusahaan, perusahaan

menghadapi biaya penyiapan (set-up cost) untuk memproduksi

komponen tertentu (Rangkuti, 2002).

d. Biaya kebiasaan atau kekurangan bahan (shortage cost) adalah

biaya yang timbul apabila persediaan tidak mencukupi adanya

permintaan bahan (Rangkuti, 2002).

7. Reorder Point

Reorder point (ROP) model terjadi apabila jumlah persediaan

yang terdapat di dalam stok berkurang terus sehingga kita harus

menentukan berapa banyak batas minimal tingkat persediaan yang

harus dipertimbangkan sehingga tidak terjadi kekurangan

persediaan. Jumlah yang diharapkan tersebut dihitung selama masa

tenggang, dapat juga ditambahkan safety stock yang mengacu pada

(32)

masa tenggang. Reorder point atau biasa disebut dengan batas atau

titik jumlah pemesanan kembali termasuk permintaan yang

diinginkan atau dibutuhkan selama masa tenggang, misalnya suatu

tambahan atau ekstra stock (Rangkuti, 2002).

8. Safety Stock

Persediaan pengaman (safety stock) merupakan suatu

persediaan yang dicadangkan sebagai pengaman dari kelangsungan

proses produksi perusahaan. Dengan adanya persediaan pengaman

ini diharapkan proses produksi tidak terganggu oleh adanya

ketidakpastian bahan. Persediaan pengamaan ini akan merupakan

sejumlah unit tertentu, dimana jumlah unit ini akan tetap ditahankan,

walaupun bahan bakunya dapat berganti dengan bahan yang baru

(Ahyari, 1993).

Menurut Ahyari (1993), dalam menentukan besarnya

persediaan pengaman perlu digunakan analisa statistik. Dengan

melihat dan memperhitungkan penyimpangan-penyimpangan yang

sudah terjadi antara perkiraan bahan baku dengan pemakaian

sesungguhnya dapat diketahui besarnya standart dari penyimpangan

tersebut. Manajemen perusahaan akan menentukan seberapa jauh

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi tersebut ditolelir.

9. Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku

a. Metode ABC

Klasifikasi ABC merupakan klasifikasi dari suatu kelompok

material dalam susunan menurun berdasarkan biaya penggunaan

dari material itu per periode waktu (harga per unit material

dikalikan dengan volume penggunaan dari material itu selama

periode tertentu). Periode waktu yang umum adalah satu tahun.

Analisis ABC dapat juga diterapkan menggunakan kriteria lain

tergantung pada faktor-faktor penting apa yang menentukkan

(33)

Menurut Gasprsz (2005), pada dasarnya terdapat sejumlah

faktor yang menentukan kepentingan suatu material, yaitu:

1) Nilai total uang dari material

2) Biaya per unit dari material

3) Kelangkaan atau kesulitan memperoleh material

4) Ketesediaan sumber daya tenaga kerja dan fasilitas yang

dibutuhkan untuk membuat material tersebut.

5) Panjang dan variasi waktu tunggu (lead time) dari material,

sejak pemesanan material itu pertama kali sampai

kedatangannya

6) Ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan material tersebut

7) Resiko penyerobotan atau pencurian material tersebut

8) Biaya kehabisan stok atau persediaan dari material tersebut.

9) Kepekaan material terhadap perubahan desain.

Berbagai macam jenis barang yang ada dalam persediaan

tersebut tidak seluruhnya memiliki tingkat prioritas yang sama.

Sehingga untuk mengetahui jenis-jenis barang mana saja yang

perlu mendapat prioritas, kita dapat menggunakan metode ABC.

Analisis ABC ini dapat mengklasifikasikan seluruh jenis barang

berdasarkan tingkat kepentingannya. Adapun cara menentukan

metode ABC adalah:

1) Tentukan standart atau kriteria untuk mengukur

pengelompokan semua jenis barang

2) Urutkan semua jenis barang tersebut dalam persediaan

berdasarkan ukuran standar (Rangkuti, 2002).

b. Metode Just In Time

Just in time (JIT) atau yang sering disebut dengan sistem

produksi tepat waktu adalah cara produksi yang menentukan

jumlahnya hanya berdasakan atas jumlah barang yang

(34)

secara tepat waktu sesuai dengan kebutuhan, demikian juga

pembelian dan pemesanan masukan produksinya. Pada dasarnya

dalam sistem ini kita hanya membuat yang dibutuhkan saat ini

saja, tidak ada sisa maupun persediaan barang jadi. Persediaan

bahan baku juga tidak ada, perusahaan hanya memesan atau

membeli barang sesuai dengan kebutuhan sekarang saja

(Subagyo, 2000).

Menurut Herjanto (1999), penerapan dari sistem JIT dalam

bidang persediaan akan memberikan manfaat utama sebagai

berikut:

1) Berkurangnya tingkat persediaan

Dengan tingginya biaya penyimpanan, pengurangan tingkat

persediaan dapat menjadi faktor penting dalam program

pengurangan biaya. Pengurangan ini berarti berkurangnya

modal yang tertanam dalam persediaan, kebutuhan tempat

penyimpanan dan kemungkinan kerusakan dari barang yang

disimpan sebagai persediaan.

2) Meningkatnya pengendalian mutu

Dengan rendahnya tingkat persediaan, barang yang dipasok

harus benar-benar memenuhi kualitas dan kuantitas sesuai

dengan yang dipersyaratkan. Apabila tidak, akan

mengganggu sistem produksi misalnya efisiensi yang tidak

optimal atau terhambatnya proses produksi. JIT mendorong

pemasok untuk lebih memiliki kesadaran terhadap mutu,

yang berarti pemasok harus mensuplai barang yang mutunya

semakin hari semakin baik dan melaksanakan pengiriman

(delivery) barang secara lebih disiplin.

c. Metode Economical Order Quantity (EOQ)

Menurut Purnomo (2003), masalah utama persediaan bahan

(35)

ekonomis (Economical Order Quantity). Untuk menentukan

jumlah pemesanan yang ekonomis, perusahaan hendaknya dapat

meminimalisasi biaya pemesanan (ordering costs) dan biaya

penyimpanan (holding costs). Sekitar tahun 1915, F. Harris

mengembangkan sebuah formula yang dikenal sebagai formula

Wilson. Formula ini kemudian dikembangkan menjadi formula

untuk modal persediaan.

Awal mula adanya model Economic Order Quantity (EOQ)

didasarkan pada asumsi berikut ini:

1) Tingkat permintaan adalah konstan, berulang-ulang dan

diketahui

2) Tenggang waktu pesanan, sejak pesanan disampaikan sampai

pengiriman pesanan selalu merupakan jumlah yang tetap

3) Dengan permintaan dan senggang waktu yang tetap, maka

dapat ditentukan kapan waktu untuk memesan bahan dan

menghindari kekurangan stok

4) Bahan dipesan atau diproduksi dalam suatu partai dan

seluruh partai ditempatkan ke dalam persediaan dalam suatu

waktu.

5) Biaya satuan unit adalah konstan dan tidak ada potongan

yang diberikan untuk pembelian yang banyak

6) Satuan barang merupakan produk tunggal, tidak ada interaksi

dengan produk lain

Economical Order Quantity (EOQ) adalah jumlah

pemesanan yang paling ekonomis, yaitu jumlah pembelian

barang, misal bahan baku atau bahan pembantu yang dapat

meminimumkan jumlah biaya pemeliharaan barang di gudang

dan biaya pemesanan tiap tahun. Model EOQ ini sangat mudah

dan sederhana, namun berlakunya memerlukan asumsi-asumsi

(36)

1) Jumlah kebutuhan barang selama setahun dapat diperkirakan

dan kebutuhan barang sepanjang tahun relatif stabil.

2) Hanya ada dua macam biaya yang relevan, yaitu biaya

pemesanan dan biaya pemeliharaan barang

3) Biaya pemesanan untuk setiap kali pemesanan besarnya

selalu sama, tidak terpengaruh oleh jumlah yang dipesan

4) Biaya pemeliharaan barang setiap unit setiap tahun selalu

sama. Dengan kata lain biaya pemeliharaan barang ini

bersifat variabel, tergantung pada jumlah barang yag

disimpan dan lama waktu penyimpanan.

5) Usia barang relatif lama, tidak cepat aus, busuk atau rusak

6) Harga setiap unit barang selalu sama (stabil)

Analisa EOQ untuk mengetahui apakah kuantitas

pembelian bahan baku yang dilakukan perusahaan sudah

ekonomis (setiap kali pesan). Kuantitas pembelian bahan baku

yang ekonomis dicapai pada saat biaya pemesanan tahunan sama

dengan biaya penyimpanan tahunan.

1) Biaya pemesanan tahunan = (Jumlah pemesanan yang dilakukan

per tahun) x (biaya pemesanan setiap kali pesan).

pesan

(biaya penyimpanan per unit per tahun).

(37)

3) Jumlah pesanan bahan baku optimal ditemukan pada saat biaya

pemesanan tahunan sama dengan biaya penyimpanan tahunan,

yakni:

4) Untuk mendapatkan Q*, dilakukan perkalian silang dan dipisahkan

Q di sebelah kiri tanda sama dengan.

2DS = Q2H

Q* = Jumlah optimal per pemesanan (EOQ) (kg)

D = Permintaan tahunan (kg)

S = Biaya pemesanan setiap kali pesan (Rp)

H = Biaya penyimpanan per kg (Rp)

Persamaan di atas dapat digunakan secara langsung untuk

memecahkan masalah persediaan yang optimal di perusahaan.

d. Metode Economic Production Quantity (EPQ)

Menurut Render dan Heizer (2001), Model ini dapat

diterapkan ketika persediaan secara terus menerus atau terbentuk

sepanjang suatu periode waktu. Cara menentukan pemesanan

yang ekonomis (Q*) dalam EPQ yaitu:

Q*

Q* = Jumlah optimal per pemesanan (EOQ) (kg)

(38)

S = Biaya pemesanan per tahun (Rp)

H = Biaya penyimpanan per unit, ditunjukkan sebagai suatu

prosentase jadi ideal (Rp)

P = Tingkat produksi bulanan (Kg)

C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah

Dalam pengendalian persediaan bahan baku hal yang harus

dipahami adalah bahwa bahan baku merupakan salah satu faktor yang

dapat memperlancar proses produksi. Kegiatan ini tidak hanya terbatas

pada tingkat dan komposisi persediaan, tapi termasuk juga pengaturan

tentang pelaksanaan bahan baku yang diperlukan, sesuai dengan yang

dibutuhkan dengan biaya yang minimum.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel data pembelian

dan pemakaian bahan baku selama tiga tahun terakhir yaitu tahun

2009-2011. Selama 3 tahun itu diamati kebijakan yang diterapkan oleh

perusahaan dalam pengadaan dan pemeliharaan bahan baku. Kebijakan

tersebut meliputi kuantitas pemesanan, frekuensi pemesanan, biaya

pemesanan dan safety stock. Pola pembelian perusahaan akan

mempengaruhi besarnya persediaan pengaman pada saat pemakaian

bahan baku kayu putih diwaktu tunggu.

Setelah itu, dapat dilakukan perhitungan biaya persediaan yang

berkenaan dengan kebijakan persediaan bahan baku yang dijalankan,

kemudian dilakukan analisis terhadap data pembelian dan pemakaian

bahan baku selama 3 tahun tersebut dengan analisis EPQ. Analisis ABC

merupakan analisis dimana di suatu perusahaan terdapat berbagai

macam jenis barang dalam persediaan yang tingkat prioritas. Metode

ABC digunakan untuk mengetahui jenis barang mana yang perlu

mendapat prioritas berdasarkan tingkat kepentingannya. Metode ABC

(39)

Demikian juga, metode EOQ lebih cocok digunakan pada

perusahaan yang bahan bakunya didapatkan dengan membeli bahan

baku, dimana bahan baku tersebut belum pasti ketersediaannya. Metode

EPQ digunakan untuk menganalisis persediaan di KPMKP Krai karena

EPQ ini diterapkan untuk perusahaan yang membutuhkan persediaan

secara terus menerus atau terbentuk sepanjang suatu periode waktu dan

ketersediaan bahan baku sudah pasti ada. EPQ ini merupakan

pengembangan dari metode EOQ yang memiliki konsep dasar yang

sama, yaitu untuk meminimumkan biaya penyimpanan dengan

menaikkan produktivitas yang akan menghasilkan kuantitas dan

frekuensi pemesanan ekonomis berarti penghematan biaya persediaan.

Hasil dari analisis EPQ ini kemudian dapat dibandingkan dengan

kebijakan persediaan bahan baku yang selama ini telah diterapkan dalam

perusahaan. Dari hasil perbandingan ini dapat diketahui apakah

pengendalian persediaan bahan baku perusahaan yang diterapkan selama

ini sudah optimal dan efisien atau belum. Perusahaan dikatakan efisien

apabila total biaya persediaan kayu putih yang diperoleh dari analisis

EPQ lebih besar dari pada total biaya persediaan kayu putih yang

berdasarkan kebijakan pengendalian yang selama ini dilakukan

perusahaan.

Setelah itu dilakukan penjadwalan masa tanam dan masa petik agar

intensitas produksi selalu terjaga dan dapat dilakukan perbaikan

terhadap kinerja KPMKP dengan menerapkan metode just in time,

karena metode JIT ini merupakan sistem yang membuat produk yang

dibutuhkan saat ini saja, tidak ada sisa maupun persediaan barang jadi.

Persediaan bahan baku juga tidak ada, perusahaan hanya memesan atau

membeli barang sesuai dengan kebutuhan sekarang saja. Selain itu,

dilakukan pengamatan terhadap data curah hujan pada wilayah hutan

kayu putih agar benar-benar mengetahui bagaimana kondisi iklim yang

(40)

kayu putih ditanam pada saat musim penghujan dan setiap kali musim

penghujan dilakukan penanaman kayu putih bergilir untuk

menggantikan kayu putih yang sudah tidak produktif atau telah berumur

30 tahun.

Sesuai dengan uraian di atas maka dapat digambarkan kerangka

teori pendekatan masalah sebagai beruikut:

Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Perencanaan dan pengendalian produksi

Pengendalian persediaan bahan baku

Metode EPQ

Kebijakan Perusahaan

Analisis pemesanan bahan baku untuk proses produksi menurut kebijakan perusahaan Analisis pemesanan bahan

baku yang optimal (EPQ) untuk proses produksi

Total biaya yang dikeluarkan menurut kebijakan perusahaan Total biaya persediaan yang

dikeluarkan pada kuantitas pemesanan yang ekonomis

Dibandingkan sehingga diperoleh selisih efisiensi pemesanan bahan baku serta total biaya yang optimal

Melakukan pengaturan penjadwalan yang baik dengan

metode just in time

(41)

D. Hipotesis

1. Diduga kuantitas persediaan bahan baku dalam setiap kali produksi

di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan belum ekonomis

2. Diduga biaya persediaan bahan baku dalam setiap kali produksi di

KPMKP Krai Kabupaten Grobogan belum efisien.

3. Diduga penjadwalan penanaman (replanting) dan pemetikan kayu

putih di KPMKP Krai Kabupaten Grobogan belum efisien

E. Asumsi

1. Bahan baku selalu tersedia secara terus menerus dengan perhitungan

selama musim produksi antara bulan Maret hingga Desember

2. Kuantitas produksi dan biaya produksi diperhitungkan per hari dan

dalam satu bulan terdapat 30 hari

3. Varietas kayu putih dianggap sama

F. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini, antara lain:

1. Penelitian merupakan studi kasus pada KPMKP Krai Kabupaten

Grobogan dan memusatkan diri pada pengendalian persediaan bahan

baku kayu putih

2. Data yang digunakan terbatas selama tiga tahun terakhir yaitu tahun

2009-2011.

G. Definisi Operasional dan Konsep Pengukuran Variabel

1. Persediaan bahan baku kayu putih adalah bahan baku kayu putih

yang disediakan, dimana persediaan bahan baku kayu putih terdapat

dalam KPMKP Krai untuk proses produksi.

2. Pengendalian persediaan bahan baku kayu putih adalah upaya

perusahaan untuk menjamin kelancaran proses produksi yang

meliputi pembelian, penyimpanan dan pemeliharaan bahan baku

(42)

saat bahan baku tersebut dibutuhkan dan mempertahankan

persediaan bahan baku daun kayu putih dalam jumlah yang optimal.

3. Kebijakan pengendalian bahan baku kayu putih oleh perusahaan

adalah kebijakan penyediaan bahan baku kayu putih yang selama ini

telah dilaksanakan oleh KPMKP Krai yang meliputi pengendaliaan

jumlah produksi kayu putih dan total biaya.

4. Persediaan pengaman kayu putih adalah suatu persediaan kayu putih

yang dicadangkan sebagai pengaman dari kelangsungan proses

produksi minyak kayu puith di KPMKP Krai. Dengan adanya

persediaan pengaman ini diharapkan proses produksi tidak terganggu

oleh adanya ketidakpastian bahan.

5. Reorder point adalah titik jumlah pemesanan kembali bahan baku

kayu putih oleh KPMKP Krai sesuai dengan permintaan yang

diinginkan atau dibutuhkan selama masa tenggang produksi minyak

kayu putih.

6. EPQ (Economic Production Quantity) merupakan metode untuk

menganalisis persediaan bahan baku untuk digunakan pada

perusahaan yang terus menerus melakukan produksi secara

berkelanjutan (kontinyu).

7. Just in time adalah metode yang membuat produk yang dibutuhkan

saat ini saja, tidak ada sisa maupun persediaan barang jadi, tidak ada

persediaan bahan baku, perusahaan hanya memesan atau membeli

barang sesuai dengan kebutuhan sekarang saja.

8. Biaya persediaan kayu putih adalah biaya yang timbul dan

berhubungan dengan pengadaan bahan baku kayu putih seperti biaya

angkut dan biaya pemungutan minyak kayu putih yang diukur dalam

satuan rupiah.

9. Biaya kekurangan bahan baku kayu putih adalah biaya yang

dikeluarkan jika terjadi kekurangan bahan baku kayu putih dalam

(43)

10.Total biaya persediaan kayu putih adalah total biaya pengadaan

bahan baku kayu putih untuk proses produksi minyak kayu putih di

KPMKP Krai.

11.Penjadwalan bahan baku kayu putih di KPMKP Krai adalah suatu

cara untuk mengatur bahan baku kayu putih dari pertanaman,

pemetikan hingga produksi minyak kayu putih agar kinerja KPMKP

Krai dapat berjalan dengan lancar.

12.Masa tanam kayu putih di KPMKP Krai adalah waktu dimana

tanaman kayu putih harus segera ditanam agar dapat dipanen pada

waktunya.

13.Masa pemetikan kayu putih di KPMKP Krai adalah waktu dimana

kayu putih telah siap diolah di KPMKP Krai. Kayu putih yang

dipetik adalah tanaman yang telah berumur empat tahun dan

dilakukan pemetikan kembali setiap sembilan bulan berikutnya.

14.Masa produksi minyak kayu putih di KPMKP Krai adalah waktu

dimana KPMKP Krai telah siap melakukan pengolahan bahan baku

kayu putih karena bahan telah tersedia. Masa produksi dilakukan 10

bulan dalam satu tahun yaitu bulan maret hingga bulan desember.

15.Rendemen kayu putih adalah kadar kandungan minyak dalam daun

kayu putih atau perbandingan volume minyak kayu putih yang

dihasilkan dengan volume daun kayu putih yang digunakan yang

diukur dengan satuan persen. Apabila dikatakan rendemen kayu putih

10 %, artinya adalah dari 100 kg kayu putih yang diproduksi di KPMKP

Krai akan diperoleh minyak kayu putih sebanyak 10 kg.

16.Efisiensi adalah pengertian yang menggambarkan adanya

perbandingan pengawasan persediaan bahan baku kayu putih

menurut kebijakan perusahaan dengan metode EPQ. Jika total biaya

persediaan dari analisis EPQ lebih dari kebijakan perusahaan berarti

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

diskriptif analisis. Metode diskriptif analisis adalah memusatkan diri

pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masa

yang aktual. Data yang ada dikumpulkan, disusun, dijelaskan, kemudian

dianalisis (Surakhmad, 1994).

Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik studi kasus. Studi kasus adalah memusatkan perhatian pada suatu

kasus secara intensif dan mendetail, yang umumnya menghasilkan

gambaran yang longitudinal yaitu pengumpulan dan analisis data kasus

dalam satu jangka waktu (Surakhmad, 1994).

B. Metode Penentuan Obyek Penelitian

Pengambilan daerah penelitian dilakukan dengan cara sengaja

(purposive), yaitu pemilihan lokasi melalui pillihan-pilihan berdasarkan

kesesuaian karakteristik yang dimiliki lokasi penelitian dengan kriteria

tertentu yang ditetapkan atau dikehendaki oleh peneliti sesuai dengan

tujuan penelitiannya (Mardikanto, 2001). Obyek penelitian yang

ditentukan adalah Kesatuan Pengolahan Minyak Kayu Putih Krai

Gambar

Gambar 2. Struktur Organisasi KPMKP Krai .........................................
Tabel 1. Bahan Baku Daun Kayu Putih, Produksi Minyak Kayu Putih dan Rendemen di KPMKP Krai Tahun 2009-2011
Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah commit to user
Gambar 2. Struktur Organisasi KPMKP Krai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, motivasi belanja the shopping tourist yaitu hedonik dalam hal, memperlakukan diri secara khusus, merasa di dunia sendiri, adanya diskon, pemberian hadiah

Hal ini membuktikan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi “Terdapat pengaruh dalam penggunaan metode teams games tournaments dan metode resitasi terhadap hasil

Pada level salinitas 7 dS m -1 nilai indeks klorofil daun pada genotipe yang peka mengalami penurunan lebih dari 30%, kecuali pada G7, sedangkan genotipe toleran tidak

yang berjudul “ Keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Di Dusun Ranurejo, Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo Tahun 1932-1985 ”. Skripsi

PADA DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TEMANGGUNG NO JENIS INFORMASI DESKRIPSI INFORMASI (RINGKASAN ISI INFORMASI) PEJABAT YANG MENGUASAI INFORMASI PENANGGU NG JAWAB

Nilai dari setiap atribut yang merupakan hasil proses penginputan data dari pemohon beasiswa yang sudah dikonfersikan berdasarkan bobot kriteria yang sudah

The point cloud registration is then carried out by estimating the rigid transformation between two sparse point clouds where the weights of the 3D/3D correspondences are derived

• Bila gambar di "Memory Stick Duo" yang direkam dengan kamera lain tidak dapat diputar di kamera ini, tekan tombol MENU, lalu pilih [Mode Tampilan] t.. [Tampilan