• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASTI SEKOLAH BOGOR 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASTI SEKOLAH BOGOR 2012"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

A

ANALISIS

KABUPA

IN

S NERAC

ATEN KU

ASTI SEKOLAH NSTITUT P

CA SUMBE

UNINGAN

I ISTIQOM H PASCASA PERTANIA BOGOR 2012

ERDAYA

N, JAWA B

MAH ARJANA AN BOGOR

A HUTAN

BARAT

R

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Neraca Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Asti Istiqomah NRP H351090121

(3)

ABSTRACT

Asti Istiqomah. Analysis of Forest Resources Accounting in Kuningan, Jawa Barat. Under the guidance of AKHMAD FAUZI and SAHAT M.H. SIMANJUNTAK.

Payment for environmental services (PES) scheme has been applied between Kuningan Regency and the City of Cirebon. However, although the mechanism has been running, the destruction of forests in this regency is still high. This condition indicates failures in the institutional management. There are several types of wood productions produced under co-production involving local communities known as Community Forest Management (PHBM). Similarly, forest production, and forest management also involve community known as PKKBM (Community Conservation Areas Management). The National Park of Ciremai Mountain has sixteen types of tourisms. As for the forest people, the management carried out by forest communities. The results of physical and monetary account analysis shows the decline in income of the community forest. The degradation of forests is caused by the decline in the productivity of the forest. Revenue of forest conservation have increased due to non-timber forest products, water resources and tourism. Similarly, the physical and monetary account of production forests shows that the opening stock has increased. The forest management in this regency involves Perhutani KPH Kuningan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Forest Village Community, Village Government, and NGOs. Transaction costs always appear each month and have a high value. The minimum water production is 1,202,604 m3 in order to obtain the benefits exceed the cost of the transaction.

Keywords : physical account, monetary account, opening stock, transaction costs, Kuningan Regency

(4)

RINGKASAN

Asti Istiqomah. Analisis Neraca Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan SAHAT M.H. SIMANJUNTAK. Terjadinya kerusakan lingkungan seperti deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan yang terlihat dari tingginya deforestrasi hutan Indonesia telah menjadi salah satu faktor disusunnya Undang-undang tentang lingkungan. Adanya Undang-undang No. 32 tahun 2009 khususnya pasal 42 tentang pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka menerapkan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pada pasal 45 juga dikatakan bahwa pemerintah, dewan perwakilan rakyat RI, pemerintah daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup khususnya pasal 5 sampai pasal 23 juga mendorong dibuatnya neraca sumberdaya dimana pemerintah dan pemerintah daerah dalam setiap pengambilan keputusan penetapan target pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan atas kajian Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.

Dalam rangka menerapkan instrumen ekonomi lingkungan, Kabupaten Kuningan sudah menerapakan suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services / PES ) dengan Kota Cirebon. Akan tetapi, meskipun mekanisme tersebut telah berjalan, kerusakan hutan di Kabupaten Kuningan terbilang masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah luasan hutan kritis yang ada di kabupaten Kuningan. Kondisi tersebut sungguh ironis dan mengindikasikan adanya kegagalan dalam kelembagaan ataupun kesalahan dalam pengelolaan.

Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi jenis dan penggunaan sumberdaya hutan yang ada di Kabupaten Kuningan, analisis neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan, dan analisis kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan. Identifikasi jenis dan penggunaan dianalisis secara deskriptif dimana informasi diperoleh dari masyarakat sekitar kawasan hutan yang memanfaatkan sumberdaya hutan serta data-data sekunder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan.

Sementara untuk analisis neraca sumberdaya hutan sebagian besar menggunakan data sekunder dimana data primer digunakan untuk melihat deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan. Penyusunan neraca sumberdaya hutan ini didasarkan pada kerangka SEEA (Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting). Deplesi sumberdaya hutan diestimasi dengan productivity approach dan degradasi lingkungan diestimasi dengan pendekatan unit rent. Sedangkan untuk jasa (service) seperti wisata Taman Nasional Gunung Ciremai diestimasi dengan Contingent Choice Modelling (CCM). Dari hasil analisis neraca sumberdaya hutan akan dilihat PDRB hijau sektor kehutanan Kabupaten Kuningan. Dari analisis ini dapat ditunjukkan manfaat hutan dalam PDRB dan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan. Analisis kelembagaan kehutanan dilakukan secara deskriptif dan dilakukan juga transaction cost

(5)

analysis dimana di dalamnya dianalisis aturan-aturan yang berlaku, organisasi dan biaya organisasi serta biaya transaksi dari pengelolaan hutan. Hasil analisis dapat menunjukkan bagaimana pengaruh kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan.

Jenis dan penggunaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kuningan bisa dibedakan berdasarkan tujuan yaitu hutan produksi (Perhutani), hutan konservasi (TNGC), dan hutan rakyat. Di hutan produksi terdapat beberapa jenis kayu yang diproduksi dengan pengelolaanya yang ikut melibatkan masyarakat sekitar yang dikenal dengan istilah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sama halnya dengan hutan produksi, pengelolaan hutan juga melibatkan masyarakat yaitu PKKBM (Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat). Namun, yang lebih dikembangkan oleh TNGC yaitu wisata Taman Nasional yang saat ini sudah terdapat 16 jenis wisata di hutan konservasi tersebut. Sedangkan untuk hutan rakyat, pengelolaan dilakukan oleh rakyat dengan sumberdaya andalannya adalah kayu.

Berdasarkan hasil neraca fisik dan moneter diperoleh bahwa telah terjadi penurunan pendapatan di hutan rakyat. Penurunan disebabkan adanya degradasi dari hutan rakyat tersebut dalam hal ini adalah penurunan produktivitas dari hasil hutan (tingkat kematian yang semakin tinggi dan tingkat pertumbuhan alamiah yang semakin menurun). Sedangkan untuk hutan konservasi peningkatan pendapatan dari hutan terlihat sangat besar dikarenakan adanya akumulasi lain berupa hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan masyarakat sekitar dan sumberdaya air serta adanya wisata. Sama halnya dengan hutan produksi tidak terlihat adanya masalah karena baik dari neraca fisik maupun moneter, stok awal terus mengalami peningkatan.

Dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan melibatkan beberapa aktor yang benar-benar sangat terkait yaitu Perhutani KPH Kuningan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Masyarakat Desa Hutan (Kelompok Tani Hutan), Pemerintah Desa, dan LSM. Sedangkan apabila kaitannya dengan pembayaran jasa air di Paniis, maka ada aktor lain yang terlibat secara tidak langsung dengan pengelolaan hutan yaitu Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan. Biaya transaksi selalu muncul tiap bulan dan memiliki nilai yang cukup tinggi. Batas produksi air minimum yaitu 1.202.604 meter kubik agar benefit yang diperoleh melebihi biaya transaksi. Kata Kunci : neraca Fisik, neraca Moneter, stok awal, biaya transaksi, Kabupaten

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.

(7)

ANALISIS NERACA SUMBERDAYA HUTAN

KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT

ASTI ISTIQOMAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Neraca Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat

Nama : Asti Istiqomah NIM : H351090121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua

Ir. Sahat MH Simanjuntak, M.Sc Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan karuniaNya, maka tesis berjudul “Analisis Neraca Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat” telah penulis selesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan sekaligus sebagai ketua komisi pembimbing penulis yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis;

2. Ir. Sahat M.H. Simanjuntak, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing penulis yang senantiasa memberikan pencerahan ilmu,

3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis, dan

4. Pihak Perhutani Unit III, Balai Konservasi TNGC, Dishutbun Kabupaten Kuningan, Dispenda Kabupaten Kuningan, Bappeda Kabupaten Kuningan, PDAM Kota Cirebon, The Bakrie Graduate Fellowships, rekan-rekan PS ESL serta semua pihak yang telah memberikan banyak support data untuk kepentingan penelitian penulis.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam tesis ini. Namun, dengan kekurangan yang ada, semoga tesis yang telah disusun ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi pedoman bagi penyusunan neraca sumberdaya hutan.

Bogor, Februari 2012

Asti Istiqomah

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Subang pada tanggal 23 September 1986 dan menimba ilmu sampai SMA di Subang. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2008. Setelah itu, pada tahun 2009, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program studi magister Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010, penulis juga memperoleh sholarship, leadership training serta seminar internasional dari The Bakrie Graduate Fellowships sehingga memperluas pengetahuan dan memperkaya pengalaman dari penulis.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxii

DAFTAR GAMBAR ... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 7

2.2 Kerangka SEEA ... 8

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 10

2.4 Konsep Contingent Choice Modelling (CCM) ... 12

2.4.1 Aplikasi Contingent Choice Modelling (CCM) ... 12

2.4.2 Kelebihan dari CCM ... 12

2.4.3 Isu-Isu dan Keterbatasan CCM ... 14

2.5 Biaya Transaksi ... 15

2.5.1 Definisi Biaya Transaksi ... 15

2.5.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi ... 16

2.5.3 Penggolongan Biaya Transaksi ... 17

2.6 Penelitian Terdahulu ... 19

2.6.1 Penelitian Tentang Hutan ... 19

2.6.2 Penelitian Tentang Neraca Sumberdaya ... 20

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

(13)

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 27

4.3 Penentuan Sampel Penelitian ... 28

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 31

4.5 Metode Analisis ... 31

4.5.1 Productivity Approach (Pendekatan Produktivitas) ... 31

4.5.2 Unit Rent ... 32

4.5.3 Contingent Choice Modelling (CCM) ... 32

4.5.4 Analisis Biaya Transaksi ... 34

BAB V. GAMBARAN UMUM KAWASAN HUTAN DI KABUPATEN KUNINGAN ... 37

5.1 Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH (Kawasan Pemangkuan Hutan) Kuningan ... 37

5.1.1 Letak Geografis ... 37

5.1.2 Kondisi Fisik ... 37

5.1.3Perkembangan Luas Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Kuningan ... 38

5.2 Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ... 39

5.2.1 Letak Geografis ... 39

5.2.2 Topografi ... 39

5.2.3 Iklim ... 39

5.2.4 Hidrologi ... 40

5.2.5 Kondisi Biologis ... 40

5.2.6Perkembangan Luas Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ... 41

5.3 Hutan Rakyat Kuningan ... 41

(14)

5.4 Karakteristik Responden Pengunjung Ekowisata Taman

Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ... 42

5.4.1 Jenis Kelamin ... 42

5.4.2 Tipe Pengunjung ... 42

5.4.3 Asal Pengunjung ... 43

5.4.4 Pendidikan Terakhir ... 44

5.4.5 Jenis Pekerjaan ... 45

5.5 Karakteristik Responden Masyarakat Pemanfaat Hasil Hutan . 45 5.5.1 Pendidikan Terakhir ... 45

5.5.2 Pekerjaan Istri ... 46

5.5.3 Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ... 46

5.5.4 Frekuensi Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ... 47

5.5.5 Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ... 48

5.5.6 Frekuensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ... 48

5.5.7 Pemanfaatan Sumberdaya Air ... 49

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

6.1 Jenis dan Penggunaan Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan ... 51

6.1.1Kawasan Hutan Produksi dan Produksi Terbatas Perum Perhutani KPH Kuningan ... 51

6.1.2 Kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Kabupaten Kuningan ... 51

6.1.3 Hutan Rakyat ... 55

6.2 Neraca Sumberdaya Hutan Kabupaten Kuningan ... 56

6.2.1 Neraca Fisik Hutan produksi (Perum Perhutani) ... 56

6.2.2 Neraca Moneter Hutan produksi (Perum Perhutani) ... 56

(15)

6.2.4 Neraca Moneter Hutan Rakyat Kabupaten Kuningan ... 75

6.2.5Neraca Fisik Hutan Konservasi ... 75

6.2.6Neraca Moneter Hutan Konservasi Kabupaten Kuningan ... 82

6.3 Analisis Kelembagaan ... 84

6.3.1 Organisasi ... 84

6.3.2 Peraturan ... 105

6.3.3Analisis Biaya Transaksi Dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon ... 105

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 115

7.1 Simpulan ... 115

7.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB (Miliar Rupiah) ... 2

2 Deforestrasi Hutan Indonesia Tahun 2000-2005 ... 2

3Share Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Periode Tahun 2001-2008 ... 5

4 Kerangka SEEA ... 10

5 Matriks Penelitian ... 28

6 Jumlah Responden Per Kecamatan ... 30

7 Perkembangan Luas Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Kuningan ... 39

8 Perkembangan Luas Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ... 41

9 Perkembangan Luas dan Produksi Hutan Rakyat Kabupaten Kuningan ... 42

10 Neraca Fisik (Physical Account) Sumberdaya Hutan Perum Perhutani KPH Kuningan 2008-2011 ... 57

11 Harga Jual Dasar Kayu ... 60

12 Analisis Ekonomi Produksi Kayu Tahun 2008-2011 di Hutan Produksi Kabupaten Kuningan ... 61

13 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Jati ... 62

14 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Pinus ... 63

15 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Sonobrit ... 63

16 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Sonokeling ... 64

17 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Mahoni ... 64

18 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Johar ... 65

19 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Sengon ... 65

20 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Accasia ... 66

21 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Rimba Lain ... 66

22 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu Rimba ... 67 23 Neraca Moneter (Monetary Account) Sumberdaya Hutan Perum

(17)

24 Neraca Moneter (Monetary Account) Sumberdaya Hutan Perum Perhutani KPH Kuningan 2008-2011( Non Agregat)Dalam Juta

Rupiah ... 69

25 Neraca Fisik Hutan Rakyat Kabupaten Kuningan ... 73

26 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu di Hutan Rakyat Kabupaten Kuningan ... 72

27 Neraca Moneter Hutan Rakyat Kabupaten KuninganDalam Juta Rupiah ... 76

28 Rata-rata Biaya yang dikeluarkan responden untuk ke TNGC ... 76

29 Hasil Regresi Logistik Binomial Alternatif Pilihan Wisatawan ... 79

30 Neraca Fisik Hutan Konservasi TNGC Kabupaten Kuningan ... 81

31 Hasil Perhitungan Unit Rent Untuk Kayu di Hutan Konservasi Kabupaten Kuningan ... 82

32 Neraca Moneter Hutan Konservasi Kabupaten KuninganDalam Juta Rupiah ... 83

33 Persentase Neraca Moneter Terhadap Pendapatan Daerah Dalam Juta Rupiah ... 84

34 Peran Organisasi Dalam PHBM ... 90

35 Peraturan Kehutanan ... 105

36 Persentase Dana Kompensasi Pembayaran Sumberdaya Air Paniis oleh Pemerintah Cirebon terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan ... 112

37 Estimasi Biaya Transaksi dalam Sistem Pembayaran Jasa Air Paniis ... 112

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 25

2 Peta Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ... 28

3 Komposisi Jenis Kelamin Responden Pengunjung TNGC Kuningan ... 42

4 Tipe Pengunjung TNGC Kuningan Berdasarkan Asal ... 43

5 Daerah Asal Pengunjung TNGC Kuningan ... 44

6 Pendidikan Terakhir Pengunjung TNGC Kuningan ... 45

7 Jenis Pekerjaan Pengunjung TNGC Kuningan ... 46

8 Pendidikan Terakhir Responden ... 46

9 Pekerjaan Istri Responden ... 46

10 Jenis Hasil Hutan Kayu yang Dimanfaatkan ... 47

11 Frekuensi Pemanfaatan Hasil Hutan kayu ... 47

12 Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu yang Dimanfaatkan ... 48

13 Frekuensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu ... 49

14 Pemanfaatan Sumberdaya Air ... 49

15 Hubungan Antara Produksi, Biaya Transaksi, dan Benefit ... 115

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Kuesioner CCM ... 123

(20)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya alam. Kondisi ini juga telah menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Upaya mengurangi terjadinya over eksploitasi sumberdaya alam telah lama diperkenalkan melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).

Hutan menghadapi ancaman yang serius di sebagian besar bagian dunia. Rata-rata hampir 15 juta hektar hutan hilang setiap tahun selama tahun 1900-an, sebagian besar di daerah tropis. Kehilangan hutan ini telah diikuti dengan hilangnya banyak jasa (service) yang disediakan hutan seperti regulasi aliran hidrologis, penyerapan karbon dan sumber biodiversitas. Hutan merupakan lahan yang digunakan dengan dominasi pohon sebagai penutup. Hutan menurut definisi dalam Undang-undang No.41 Tahun 1999 adalah suatu ekosistem dalam hamparan lahan yang berisikan sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Hutan tidak selalu memiliki nilai yang sama. Struktur, komposisi, dan lokasi dari hutan memainkan peranan yang penting dalam menentukan jenis jasa apa yang disediakan dan untuk siapa.

(21)

Hutan juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB selama periode tahun 2004-2009 rata-rata sebesar 0,85 persen per tahun. Besarnya kontribusi tersebut berfluktuasi tiap tahunnya namun tidak terlalu besar. Perkembangan besarnya kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB (Miliar Rupiah)

Tahun Kontribusi terhadap PDB

% Kontribusi Terhadap PDB 2004 20.290 0,88 2005 22.561,8 0,81 2006 30.065,7 0,90 2007 36.154,1 0,92 2008 40.375,1 0,82 2009 44.952,1 0,80 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010

Namun, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi maka tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Eksploitasi yang berlebihan telah menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan. Kerusakan hutan di Indonesia bisa dilihat dari laju deforestasi yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 20,42 persen per tahun. Selama periode 2000-2005, deforestasi hutan Indonesia mengalami fluktuasi dimana kenaikan tertinggi yaitu pada tahun 2002-2003. Berikut ini adalah data mengenai deforestasi di Indonesia.

Tabel 2. Deforestasi Hutan Indonesia Tahun 2000-2005

Tahun Deforestasi (Ha/tahun)

2000-2001 1.018.200 2001-2002 926.300 2002-2003 1.906.100 2003-2004 634.700 2004-2005 962.500 Jumlah 5.447.800 Sumber : Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, 2010

(22)

Adanya kerusakan hutan telah menyebabkan dampak ekonomi yang besar. Fungsi hutan sebagai regulator hidrologis, penyerap karbon dan sumber biodiversitas tentunya akan berkurang. Sebagai contoh, menurunnya fungsi hidrologis hutan telah terlihat dari banyaknya man-made disaster seperti banjir dan erosi. Deplesi dan degradasi sumberdaya hutan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Penyebab kerusakan hutan Indonesia yaitu adanya over exploitation akibat semakin meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya hutan. Kurangnya enforcement terhadap peraturan juga semakin memperparah kerusakan hutan.

Indikator keberhasilan pembangunan suatu Negara yang digunakan selama ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, PDB ini tidak memperhitungkan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan. PDB juga tidak memasukkan jasa lingkungan. Sehingga, dalam pembangunan berkelanjutan penggunaan PDB sebagai indikator pembangunan masih belum cukup.

Untuk memasukkan PDB dengan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan, maka dapat dilakukan dengan membuat neraca terpisah sebagai satelit dari sistem pendapatan nasional. Neraca satelit ini mengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakan Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Resource accounting pada dasarnya bertujuan menyediakan informasi terhadap kondisi sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya sehingga indikator ini menjadi ukuran yang lebih baik dalam mengukur kesejahteraan suatu Negara.

Dengan adanya Undang-Undang (UU) No.32 Tahun 2009 khususnya pasal 42, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka menerapkan fungsi lingkungan hidup. Pada pasal 45 juga dikatakan bahwa pemerintah, dewan perwakilan rakyat RI, pemerintah daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup khususnya pasal 5 sampai pasal 23 juga mendorong dibuatnya neraca sumberdaya. Dalam RPP

(23)

tersebut dinyatakan bahwa neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan instrumen sebagai dasar perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyusun dan menggunakan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam setiap pengambilan keputusan penetapan target pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan atas kajian Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Hal ini memperkuat pentingnya disusun neraca sumberdaya khususnya sumberdaya hutan.

Hutan di Jawa Barat memiliki luasan yang cukup besar yaitu mencapai 764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat menghasilkan 200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di provinsi ini setiap tahun sekitar 4 juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar 893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup potensial antara lain jamur, pinus, getah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatakan bahwa luas ideal hutan adalah 30 persen, maka hutan di Jawa Barat sudah tidak ideal karena hanya ada 17,3 persen dari daratan. Hal ini disebabkan banyaknya illegal logging sehingga keberadaan hutan yang sudah di bawah ideal ini sangat perlu dipertahankan dengan pengelolaan yang lebih baik.

Kabupaten Kuningan merupakan daerah yang mempunyai potensi hutan yang cukup besar di Jawa Barat. Bahkan Kabupaten Kuningan telah menerapkan sistem pembayaran jasa lingkungan (payment for services) khususnya jasa air dengan Kota Cirebon. Hal ini menunjukkan bahwa selain perlu disusunnya neraca sumberdaya hutan, perlu juga dilakukan analisis kelembagaan di kawasan hutan Kabupaten Kuningan.

(24)

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Kuningan memiliki hutan seluas 52.979,67 hektar (44,95 persen dari luas daratan) dimana sebagian besar berupa hutan konservasi yaitu sebesar 48,70 persen. Hutan konservasi di Kabupaten Kuningan berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai. Melalui

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.424/MENHUT-II/2004, dinyatakan bahwa fungsi Kawasan Hutan

Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas ± 15.500 hektar, terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Akan tetapi meskipun kawasan hutan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi, namun tetap saja masih terjadi pencurian kayu ataupun illegal logging oleh masyarakat sekitar hutan.

Sebanyak 37,6 persen hutan di Kabupaten Kuningan merupakan hutan produksi terbatas dan 13,5 persen hutan produksi. Sementara hutan lindung hanya 0,2 persen saja. Hutan produksi dikelola oleh Perum Perhutani KPH Kuningan. Pengelolaan hutan produksi melibatkan masyarakat dimana masyarakat dapat ikut memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman non kayu. Kesepakatan dilakukan antara Perum Perhutani dengan kelembagaan yang sudah terbentuk di masyarakat. Selama periode tahun 2001-2008, sektor kehutanan Kabupaten Kuningan memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu rata-rata sebesar 0,44 persen. Kontribusi sektor kehutanan mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2002 dan 2007 terjadi penurunan share. Adapun share sektor kehutanan selama periode tahun 2001-2008 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Share Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Periode Tahun 2001-2008 Tahun PDRB (Juta Rp) Share Kehutanan (Juta Rp) % Share

2001 2.733.027,29 9.836,85 0,36 2002 2.844.195,77 9.916,95 0,35 2003 2.943.730,59 10.506,06 0,36 2004 3.060.811,59 11.070,48 0,36 2005 3.198.189,03 15.010,57 0,47 2006 3.330.314,69 18.593,91 0,56 2007 3.470.961,58 17.633,36 0,51 2008 3.619.663,22 18.893,16 0,52

(25)

Akan tetapi kondisi di atas belum memperhitungkan deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan yang terjadi di hutan Kabupaten Kuningan. Fakta menunjukkan bahwa dari keseluruhan hutan yang ada di Kabupaten Kuningan, sebesar 7,37 persen hutan tersebut dalam kondisi kritis dan berpotensi kritis (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2010). Namun kondisi ini sangat ironis mengingat sebenarnya di Kuningan telah dibangun suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan Kota Cirebon, dalam hal ini jasa air sehingga kondisi tersebut mengindikasikan adanya kegagalan dalam pengelolaan ataupun kelembagaan yang ada. Oleh karenanya, perlu adanya perhitungan dan analisis neraca sumberdaya khususnya sektor kehutanan di Kabupaten Kuningan serta perlu dilakukan analisis kelembagaan.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana jenis dan penggunaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kuningan ?

2. Bagaimana manfaat hutan dalam PDRB dan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan ?

3. Bagaimana pengaruh kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi jenis dan penggunaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kuningan;

2. Menganalisis neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan; 3. Menganalisis kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan.

Adapun manfaat penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi mengenai neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Neraca sumberdaya alam dan lingkungan telah dikembangkan sejak tahun 1970-an namun masing-masing Negara memiliki kerangka dan metodologi yang berbeda. Sejak tahun 1980-an telah disetujui kerangka dan metodologi yang distandarisasi oleh the United Nations Statistics Division, Eurostat, OECD, World Bank, dan organisasi lain. The United Nations mempublikasikan buku pedoman neraca sumberdaya dan lingkungan pada tahun 1993 dan telah direvisi menjadi the System of Integrated Economic and Environmental Accounting 2003.

Pendekatan dalam neraca sumberdaya di Negara berkembang didasarkan pada empat prinsip. Pertama, secara keseluruhan tujuan dari sistem neraca adalah untuk memperbaiki kualitas dalam pengambilan kebijakan dimana tujuannya adalah pembangunan. Pendekatan ini melihat bahwa lingkungan memerankan peran yang penting terhadap kesejahteraan banyak orang di Negara berkembang. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan aset dan jasa lingkungan non pasar ke dalam sistem neraca sehingga dapat secara penuh dinilai.

Kedua, neraca ini lebih merupakan neraca ekonomi bukan neraca ekologi. Perbedaannya terletak pada nilai dalam neraca dimana jika aset atau jasa tersebut ketersediaannya langka, maka akan ada opportunity cost yang positif yang dihubungkan dengan penggunaannya. Jadi, sumberdaya dalam kondisi penawaran yang berlebih, untuk konsumsi oleh satu pengguna tidak akan membebankan biaya ke yang lain dan tidak akan dimasukkan ke dalam neraca. Sebagai contoh, di sebuah pulau tropis dengan pantai yang luas. Dengan populasi penduduk asli yang sedikit, mungkin pantai tersebut lebih dijadikan solitary beach dibandingkan resident buse, sehingga penggunaan masing-masing orang tidak akan mengurangi akses terhadap orang lain karena supply melebihi demand. Dalam kasus ini nilai ekonomi dari sumberdaya adalah nol dan tidak akan muncul dalam neraca. Akan tetapi jika sebuah hotel dibangun dan banyak pengunjung yang datang, maka akan dengan sangat cepat pengunjung mengurangi akses penduduk asli maupun yang lain dan permintaan akan melebihi supply. Apakah akses terhadap pantai dijual dalam bentuk uang atau tidak, pantai tersebut akan memiliki nilai ekonomi dan

(27)

akan dimasukkan ke dalam neraca. Peran supply dan demand dalam penentuan nilai merupakan pendekatan neo klasik dalam neraca. Ketiga, pendekatan ini berorientasi pada pengelolaan.

Tujuan dari neraca sumberdaya dan lingkungan adalah sebagai mekanisme untuk mengembangkan data yang akan memperbaiki keputusan mengenai aktivitas makroekonomi dengan memasukkan aset dan jasa lingkungan yang sebelumya diabaikan. Neraca sumberdaya harus memasukkan aset dan jasa lingkungan baik yang memiliki pasar maupun yang tidak memiliki pasar (marketed and non-marketed assets and environmental services). Jika neraca adalah untuk analysis permit trade off dari beberapa pilihan keputusan, maka neraca harus dimonetarisasikan dibandingkan hanya memasukkan data fisik.

2.2 Kerangka SEEA (Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting)

Sebagai neraca satelit, SEEA memiliki struktur yang sama dengan SNA (System National Account). SEEA terdiri dari stock dan flow dari barang-barang dan jasa-jasa lingkungan. SEEA menggambarkan indikator agregat untuk memantau performance ekonomi dan lingkungan pada setiap sektor dan tingkatan makroekonomi juga sebagai statistik untuk memandu pengelola sumberdaya dalam keputusan kebijakan yang akan memperbaiki performance ekonomi lingkungan di masa yang akan datang. Definisi barang-barang dan jasa-jasa lingkungan di dalam SEEA lebih luas dibandingkan SNA, dimana SEEA secara prinsip berusaha mengukur nilai ekonomi total tidak hanya transaksi pasar saja.

SEEA memiliki empat komponen utama :

1. Asset account yaitu melihat stock dan perubahan dalam stock sumberdaya alam sepanjang waktu.

2. Flow account atau production account untuk melihat informasi material, energi dan polusi pada tingkat industri mengenai penggunaan energi dan material sebagai input untuk produksi dan permintaan akhir.

3. Environmental protection and resource management expenditure accounts mengidentifikasi pengeluaran sektor publik dan swasta untuk mengelola sumberdaya dan melindungi lingkungan.

(28)

4. Environmentally-adjusted macroeconomic aggregates termasuk indikator yang digunakan dalam melihat performance makroekonomi yang telah disesuaikan untuk menggambarkan keberlanjutan secara lebih baik, seperti environmentally-adjusted gross domestic product (GDP), net domestic product (NDP), national savings atau national wealth.

SEEA memasukkan physical accounts dan monetary accounts. Valuasi beberapa barang-barang dan jasa-jasa dapat menjadi sulit. Sehingga, ada beberapa teknik valuasi yang mungkin akan diaplikasikan. Perbedaan dengan database lingkungan yang lain, tujuan dari SEEA adalah untuk menghubungkan data lingkungan secara langsung ke dalam neraca ekonomi. Kontribusi dari SEEA untuk analisis kebijakan sangat penting pada tingkat sektoral maupun tingkat makroekonomi. Pada tingkat makroekonomi, SEEA berguna sebagai alat perencanaan untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan di kementerian yang berbeda dan menilai dampak antar sektor, menimbang alternatif-alternatif dan trade off di antara sektor-sektor. Adapun kerangka SEEA dapat dilihat pada Tabel berikut.

(29)

2.3 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter. Barang dan jasa yang dihasilkan bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai rupiah atau nilai ekonominya karena kita asumsikan bahwa pasar itu eksis (market based) sehingga transaksi barang dari sumberdaya alam tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi, selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi langsung, sumberdaya juga dapat menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain seperti manfaat amenity. Manfaat tersebut merupakan manfaat fungsi ekologis (ecological function) sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan

Tabel 4. Kerangka SEEA

(30)

menyeluruh terhadap nilai dari sumberdaya. Pentingnya fungsi-fungsi ekonomi dan non-ekonomi dari sumberdaya alam menyebabkan perlunya memberikan nilai yang komprehensif terhadap sumberdaya alam itu, tidak hanya nilai pasar barang yang dihasilkan melainkan juga nilai jasa lingkungan dari sumberdaya tersebut.

Permasalahan di atas tidak mampu terjawab oleh metode analisis biaya dan manfaat (cost benefit analysis / CBA) yang konvensional karena konsep CBA konvensional tidak memasukkan manfaat ekologis dalam analisisnya. Permasalahan ini menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi khususnya valuasi non-pasar.

Konsep nilai dalam ekonomi yaitu pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini merupakan keinginan membayar (willingness to pay / WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan WTP nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi, 2006). Konsep WTP ini terkait dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan. Pengukuran nilai ekonomi dari sisi lain yaitu willingness to accept (WTA). WTA merupakan jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Akan tetapi, dalam praktiknya, WTP lebih sering dipakai karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi berbasis perilaku manusia.

Teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dikelompokkan menjadi dua yaitu revealed WTP (tidak langsung) dan expressed WTP (langsung / survey). Beberapa teknik yang termasuk kelompok revealed WTP yaitu hedonic pricing, travel cost, dan random utility model. Sementara yang termasuk kelompok expressed WTP yaitu contingent valuation dan discrete choice method.

(31)

2.4 Konsep Contingent Choice Modelling (CCM)

CCM adalah teknik preferensi yang dinyatakan (stated preference technique) dimana responden memilih pilihan penggunaan sumberdaya yang paling disukai dari sejumlah alternatif. Dalam CCM, individu diberikan suatu hipotesis dan diminta untuk memilih alternatif yang disukai di antara beberapa alternatif dalam suatu sekumpulan pilihan dan mereka biasanya diminta juga untuk memilih beberapa sekumpulan pilihan. Masing-masing alternatif dijelaskan melalui sejumlah atribut dimana subjek analisis termasuk atribut moneter. Responden membuat trade off di antara tingkat suatu atribut dan tingkat atribut lain secara implisit menimbang dan menilai atribut-atribut dalam sekumpulan pilihan. CCM memberikan pemahaman dan model bagaimana individu-individu mengevaluasi atribut-atribut produk dan memilih di antara penawaran yang bersaing.

Atribut-atribut dan tingkatan atribut untuk model CCM dikembangkan dengan menggunakan hasil dari dua hal yaitu focus group discussions dan menguji sampel. Fokus grup digunakan untuk menentukan atribut-atribut yang menunjukan isu-isu, definisi atribut, jumlah tingkatan atribut, tingkat atribut moneter, susunan kata, dan dampak foto.

Tujuan CCM yaitu mengestimasi nilai ekonomi untuk jasa lingkungan dan ekosistem. Diperoleh dengan menanyakan orang untuk membuat trade off di antara sekumpulan jasa atau karakteristik lingkungan dan ekosistem, namun tidak ditanyakan secara langsung menanyakan kesediaan untuk membayar akan tetapi dengan diduga dari trade off yang juga memasukkan biaya sebagai sebuah atribut.

2.4.1 Aplikasi Contingent Choice Modelling (CCM)

Ada berbagai macam format untuk mengaplikasikan CCM yaitu :

• Contingent Ranking yaitu menanyakan kepada individu untuk membandingkan dan merangking alternatif program outcomes dengan berbagai karakteristik termasuk biaya. Singkatnya, orang diminta untuk membandingkan dan merangking beberapa program perbaikan lingkungan.

(32)

Responden diminta untuk merangking alternatif-alternatif berdasarkan preferensi mereka.

Discrete Choice yaitu responden secara simultan menunjukkan dua atau lebih alternatif-alternatif yang berbeda dan karakteristiknya dan diminta untuk mengidentifikasi alternatif dalam pilihan yang paling disukai.

Paired Rating yaitu variasi dari format pilihan diskret, dimana responden diminta untuk membandingkan dua alternatif situasi dan diminta untuk me-rating preferensinya. Singkatnya, orang diminta untuk membandingkan dua program perbaikan lingkungan dan hasilnya, dan menyatakan mana yang paling disukai dan apakah strongly, moderately, atau slightly preferred dibandingkan program lain.

2.4.2 Kelebihan dari CCM

1. CCM dapat digunakan untuk menilai hasil dari suatu tindakan secara keseluruhan, juga berbagai macam atribut atau efek dari suatu tindakan. 2. Metode ini mengizinkan responden untuk memikirkan trade off, yang

mungkin lebih mudah daripada secara langsung menyatakan dalam nilai uang. Proses trade off mungkin mendorong responden untuk introspeksi dan membuat lebih mudah untuk mengecek konsistensi dari tanggapannya. Selain itu, responden mungkin dapat memberikan jawaban yang lebih memiliki arti untuk menjawab pertanyaan mengenai perilaku mereka (mereka lebih memilih suatu alternatif dibandingkan yang lain), dibandingkan dengan pertanyaan yang menanyakan mereka secara langsung mengenai nilai uang dari suatu barang atau jasa atau nilai dari perubahan kualitas lingkungan.

3. Responden secara umum lebih nyaman memberikan ranking atau rating secara kualitatif dari atribut yang termasuk harga

4. Metode survey mungkin lebih baik dalam mengestimasi nilai relatif dibandingkan nilai absolut. Jadi, jika estimasi nilai dolar absolute tidak tepat, nilai relatif atau prioritas yang diperoleh dari survey CCM menjadi valid dan berguna untuk keputusan kebijakan.

(33)

5. Metode ini meminimisasi banyak bias yang dapat meningkat dalam CVM dimana responden dihadapkan pada kenyamanan yang tidak memiliki pasar dan tidak familiar.

6. Metode ini memiliki potensi untuk mengurangi permasalahan seperti pernyataan nilai simbolis, protest bids, dan potensi bias lain dalam CVM.

2.4.3 Isu-Isu dan Keterbatasan CCM

1. Responden mungkin menemukan beberapa kesulitan dalam mengevaluasi trade off karena mereka tidak familiar.

2. Perilaku responden dalam hasil pokok dari CCM tidak dipahami dengan baik. Responden mungkin terpaksa menyederhanakan aturan keputusan jika pilihan terlalu rumit, yang dapat menjadi bias dalam hasil analisis statistika.

3. Jika jumlah atribut atau tingkatan atribut meningkat, ukuran sampel dan atau jumlah perbandingan masing-masing responden juga harus meningkat.

4. Ketika dihadapkan pada sejumlah pertanyaan trade off yang banyak, responden mungkin akan kehilangan minat atau menjadi pusing.

5. CCM mungkin mengambil preferensi dalam bentuk sikap daripada tujuan perilaku.

6. Dengan hanya menyediakan jumlah pilihan yang terbatas, itu mungkin membuat responden membuat pilihan yang mungkin mereka buat secara terpaksa.

7. Contingent ranking membutuhkan lebih banyak teknik statistika untuk mengestimasi kesediaan membayar.

8. Penerjemahan jawaban ke dalam nilai uang, mungkin menyebabkan ketidakpastian yang lebih besar dalam nilai barang atau jasa.

9. Walaupun CCM telah digunakan dalam penelitian, tapi validitas dan realibilitas untuk menilai komoditas non market sebagian besar belum teruji.

(34)

2.5 Biaya Transaksi

2.5.1 Definisi Biaya Transaksi

Biaya transaksi memiliki definisi yang berbeda berdasakan dua golongan utama yaitu golongan neoklasik dan golongan hak kepemilikan. Golongan neoklasik mendefinisikan biaya transaksi yaitu biaya yang ditimbulkan oleh transfer hak kepemilikan. Definisi ini merujuk pada hak kepemilikan namun biaya transaksi hanya muncul pada saat transfer terjadi (Allen, 1999). Biaya transaksi juga dapat dikatakan sebagai biaya untuk melaksanakan transaksi (cost of transacting) atau biaya yang muncul pada saat melakukan pertukaran (costs that arise in an exchange).

Sementara itu, menurut golongan hak kepemilikan yang digagas oleh Allen (1991), biaya transaksi adalah segala sumberdaya yang digunakan untuk membangun dan menjaga hak-hak kepemilikan (resources used to establish and maintain property rights). Definisi ini secara tegas menyatakan hubungan antara biaya transaksi dengan hak kepemilikan. Implikasi dari definisi ini yaitu biaya transaksi sebesar nol dan hak kepemilikan yang lengkap adalah dua situasi yang sama.

Biaya transaksi sama dengan nol adalah sama dengan situasi ketika hak kepemilikan terdefinisikan dengan sempurna (perfectly defined property rights). Jika hak kepemilikan tidak terdefinisikan dengan sempurna, maka usaha akan dilakukan untuk menyempurnakannya. Biaya atas usaha yang dilakukan ini disebut sebagai biaya transaksi. Oleh karena itu, biaya transaksi adalah sumber bagi segala penjelasan mengenai distribusi hak kepemilikan (distribution of property rights) (Allen 1991). Pembeda lain antara golongan neoklasik dengan golongan hak kepemilikan adalah jenis biaya penegakan (enforcement-type cost) di dalam perusahaan bukanlah biaya transaksi. Hal ini disebabkan biaya transaksi hanya muncul antar perusahaan atau individu pada saat proses pertukaran terjadi (Allen 1999).

(35)

2.5.2 Penyebab Timbulnya Biaya Transaksi

Menurut Allen (1991), biaya transaksi akan muncul pada tiga situasi. Pertama, biaya transaksi akan muncul pada situasi pertukaran yang dipaksakan (coerced exchange) seperti pencurian. Biaya tas kunci pengaman, anjing penjaga, dan senjata api yang digunakan untuk mencegah perampokan adalah biaya transaksi. Kedua, biaya transaksi akan muncul pada usaha-usaha untuk mencegah atau mengambil keuntungan melalui free riding pada barang-barang publik (public goods). Ketiga, biaya transaksi muncul pada semua jenis transaksi lainnya. Pada setiap pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchanges), biaya transaksi muncul sebagai usaha yang dilakukan untuk menangkap kesejahteraan (wealth) orang lain sekaligus mencegah kesejahteraannya sendiri diambil orang lain.

Biaya transaksi memang tidak dapat dihilangkan dan biaya transaksi sebesar nol tidak dapat terjadi di dunia nyata. Hal ini disebabkan hak kepemilikan tidak pernah lengkap dan tidak pernah sempurna (Allen 2005). Hak kepemilikan dikatakan tidak lengkap jika sebagian hak atas suatu barang/sumberdaya berada di tangan orang lain. Hak kepemilikan dikatakan tidak sempurna jika penegakan atas hak akan suatu barang/sumberdaya terlalu mahal untuk dilakukan (Allen 2005).

Penyebab munculnya biaya transaksi adalah eksternalitas dan pembatasan-pembatasan hak oleh peraturan-peraturan, baik formal maupun informal. Biaya transaksi juga terkait dengan informasi yang tidak gratis. Implikasinya yaitu bahwa biaya informasi adalah syarat perlu (necessary condition) bagi permasalahan biaya transaksi. Namun, biaya informasi tidak selalu menjadi biaya transaksi. Biaya yang muncul atas pengumpulan informasi yang independen terhadap suatu pertukaran, dalam arti biaya ini ada meskipun tanpa terjadinya sebuah pertukaran, adalah biaya informasi dan bukan biaya transaksi.

Cordella (2001) menyatakan bahwa biaya transaksi timbul dikarenakan kompleksitas (complexity) dan ketidakpastian (uncertainty) dari sistem ekonomi sehingga biaya transaksi didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat efisiensi dalam mengelola ketidakpastian. Knight (1971 dalam Allen 1991) menambahkan bahwa ketidakpastian adalah situasi dimana distribusi probabilitas tidak diketahui (unknown probability distributions).

(36)

McManus (1975 dalam Allen 1991) menyatakan bahwa ketidakpastian yang disampaikan oleh Knight tersebut disebabkan oleh perilaku oportunistik. Sama halnya dengan McManus, Cordella (2001) menyatakan bahwa kompleksitas dan ketidakpastian tersebut terkait dengan perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events). Perilaku oportunistik tentunya hanya dapat terjadi pada kasus dimana barang yang ditransaksikan bersifat dapat berubah karena alam (variable) dan oleh manusia (alterable).

Perilaku manusia atau lingkungan (human behaviour or environmental) dan hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable events) adalah hasil dari distribusi informasi yang timpang (unequal distribution of information) di antara para aktor yang terlibat di dalam transaksi. Ackerlof (1970 dalam Allen 1991) menyatakannya dengan istilah lain yaitu informasi asimetris (asymetric information). Adanya informasi yang asimetris menyebabkan informasi bukan hanya tidak gratis, tetapi juga lebih mahal (more costly) bagi satu pihak untuk mendapatkannya dibandingkan pihak yang lain. Usaha-usaha yang dilakukan untuk memanfaatkan keuntungan dari informasi yang timpang akan mengakibatkan munculnya biaya transaksi.

Biaya transaksi juga muncul akibat adanya spesifisitas aset (asset specificity). Spesifisitas aset adalah keterbatasan aset untuk dialihkan (lack of transferability) penggunaannya ke penggunaan lain yang berbeda dari yang dimaksudkan pada awalnya. Menard (2004, diacu dalam Poel 2005) mendefinisikan spesifisitas aset sebagai nilai dari investasi yang akan hilang jika aset digunakan secara berbeda dibanding penggunaan yang dimaksudkan di awal. Aset dengan spesifisitas yang tinggi membutuhkan kontrak yang kuat atau internalisasi untuk mengantisipasi ancaman perilaku oportunistik.

2.5.3 Penggolongan Biaya Transaksi

Williamson (1996) menggolongkan biaya transaksi ke dalam dua jenis yaitu (i) ex ante costs, dan (ii) ex post costs. Ex ante costs adalah biaya yang meliputi perancangan, negosiasi, dan rencana pengamanan (safeguarding) sebuah

(37)

kesepakatan. Di dalam sebuah kemitraan, ex ante costs akan meningkat pada proses-proses awal.

Ex ante costs dapat digolongkan kembali menjadi biaya pencarian (search costs) dan biaya pembuatan kesepakatan (contracting costs). Biaya pencarian meliputi biaya identifikasi dan evaluasi mitra potensial, sedangkan biaya pembuatan kontrak meliputi negosiasi dan penyusunan kesepakatan antara mitra. Ex ante costs seringkali muncul pada saat sebelum kemitraan secara resmi dimulai (Williamson 1985; North 1990; diacu dalam Jobin 2005).

Ex post costs dibedakan atas biaya pengawasan (monitoring costs) dan biaya penegakan (enforcement costs). Biaya pengawasan muncul pada saat dilakukannya pengawasan untuk memastikan bahwa setiap mitra memenuhi segala ketentuan yang tertuang dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Biaya penegakan meliputi negosiasi ulang (renegotiation atau ex post bargaining) dan pemberian sangsi kepada mitra yang tidak dapat memenuhi kesepakatan yang dibuat.

North & Thomas (1973) diacu dalam Rodrik (1999) membagi biaya transaksi ke dalam tiga tipe yaitu (i) biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapat informasi mengenai keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi (costs of negotiating the terms of the exchange), dan (iii) biaya penegakan (enforcement cost) yaitu biaya untuk menegakan suatu kontrak atau transaksi. Furubotn & Richter (1997) diacu dalam benham & Benham (2001) mendefinisikan dua varian dalam setiap tipe biaya transaksi yaitu (i) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yaitu investasi khusus dan (ii) biaya transaksi peubah (variable transaction cost), yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Cordella (2001) melakukan pemodelan yaitu biaya transaksi (TC) sebagai dependent variable dipengaruhi independent variable meliputi biaya infrastruktur (CI) dan biaya koordinasi (CC). Biaya infrastruktur adalah fixed cost sedangkan biaya koordinasi adalah variable cost.

De Soto (1989) dalam Anggraini (2005) menyatakan bahwa biaya transaksi juga muncul dari aspek-aspek non-pasar (non-marketed transaction cost). Biaya transaksi non-pasar tersebut diantaranya adalah sumberdaya yang dikeluarkan/dihabiskan dalam situasi menunggu (resource spent in waiting),

(38)

mendapatkan izin usaha, upacara peresmian (cutting through red tapes), dan menyuap pejabat (bribing officials).

Menurut mahzab hak kepemilikan, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan. Mahzab hak kepemilikan menyatakan bahwa biaya transaksi tidak hanya muncul sebagai biaya antar aktor pasar (across market). Berdasarkan mahzab tersebut, biaya transaksi tidak hanya muncul ketika ada transfer hak kepemilikan pada situasi pertukaran sukarela, tetapi juga muncul pada upaya-upaya untuk mencegah atau mengambil keuntungan dari pertukaran yang dipaksakan.

2.6 Penelitian Terdahulu 2.6.1 Penelitian tentang hutan

Hutajulu, Halomoan (2010) melakukan penelitian tentang Kerugian Ekonomi Negara Akibat Penebangan Liar Dan Dampak Kerusakan Hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Terhadap Masyarakat Di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. Tujuan penelitian tersebut yaitu (1) mendeskripsikan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan masyarakat, (2) memperkirakan dampak ekonomi penebangan liar dan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat, (3) merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan CAPC dan merekomendasikan pengembangan CAPC yang baik agar dapat mengurangi kerusakan CAPC. Metode analisis yang digunakan yaitu pendekatan perubahan produktivitas, pendekatan cost of illness, pendekatan deskriptif kualitatif, pendekatan transfer benefit, pendekatan nilai ekonomi total (TEV) dan pendekatan analisis hirarki proses (AHP).

Hasil analisis menunjukkan bahwa total kerugian Negara akibat penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat adalah Rp 1.942.866.894.272 yang berasal dari potensi kehilangan kayu, iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dan iuran Dana Reboisasi (DR). Sementara total kerugian masyarakat akibat banjir/longsor Cycloops yaitu Rp 53.854.755.600 yang terdiri dari penurunan produktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan, meningkatnya

(39)

volume penyakit, kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu, kerusakan sarana dan prasarana umum, dan kerusakan perumahan. Kebijakan yang tepat adalah berupa Hutan Lestari dan Ramah Lingkungan. Kebijakan pengembangan kawasan Cycloops adalah kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Hutan.

Pada tahun 2005, penelitian mengenai nilai hasil hutan bukan kayu di Amazon dilakukan oleh Shone, Bryan M. dan Jill L. Caviglia-Harris dalam paper Quantifying and comparing the value of non-timber forest products in the Amazon. Paper ini menguji manfaat dari mengumpulkan dan memanen hasil hutan bukan kayu di hutan tropis dengan menggunakan berbagai metode dengan menggunakan data panel rumahtangga yang dikumpulkan pada tahun 1996 dan 2000 di Ouro Preto do Oeste, kawasan Rondo di Brazil. Paper ini juga mengestimasi nilai guna dari lahan hutan, pertanian, penggembalaan dan melengkapi estimasi dengan data sensus dan analisis regresi.

Estimasi ini menyatakan bahwa praktek rumahtangga dalam pemanfaatan berkelanjutan yaitu dalam bentuk agroforestry dan mengumpulkan hasil hutan bukan kayu dengan tingkat diversifikasi yang tinggi. Disimpulkan bahwa kebijakan secara langsung menuju strategi win-win mungkin tidak diinginkan untuk mengurangi kemiskinan maupun deforestasi di daerah ini karena tidak ditemukan bukti yang jelas. Kebijakan pengembangan berkelanjutan seharusnya fokus dalam peningkatan nilai hutan atau mengurangi biaya oportunitas dari meninggalkan hutan.

2.6.2 Penelitian tentang neraca sumberdaya

Tahun 2000, Harapriya, G.S meneliti tentang neraca sumberdaya hutan di India dengan paper “Integrated Environmental and Economic Accounting: An Application to the Forest Resources in India”. Penelitian ini membahas physical account untuk masing-masing strata dan agregasi volume account dari berbagai macam strata ke dalam 5 zona yang berbeda : Utara, Pusat, Barat, Selatan, dan Timur Laut. Selain itu juga dibahas mengenai monetery account. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai deplesi yaitu Rs 101,980 juta dengan menggunakan metode net price. Akumulasi lain bertanda negatif yang berarti bahwa terjadi konversi hutan untuk penggunaan ekonomi. Adanya gap antara NDP dengan EDP

(40)

menunjukkan adanya deplesi dan degradasi yang menjadi sinyal pentingnya berbagai efek lingkungan. Komposisi gap tersebut dapat digunakan untuk melihat permasalahan lingkungan yang harus diprioritaskan.

Penelitian mengenai neraca sumberdaya perikanan dilakukan oleh Fauzi, dan Anna (2002). Dalam penelitian yang berjudul Natural Resource Accounting Melalui Penilaian Depresiasi : Aplikasi Pada Sumberdaya Perikanan bertujuan untuk mengembangkan metode resource accounting dengan pendekatan depresiasi sumberdaya melalui pemodelan bioekonomi. Resource accounting dihitung berdasarkan depresiasi sumberdaya yang didasarkan pada foregone benefit serta perbedaan antara level pada tingkat sustainable, optimal dan aktual baik untuk input maupun output. Selanjutnya penelitian ini juga menganalisis depresiasi sumberdaya ikan akibat pencemaran.

Hasil penelitian menunjukkan perlu memperhatikan aspek depresiasi baik yang diakibatkan oleh kegiatan ekonomi (penangkapan) maupun non-ekonomi (dalam hal ini pencemaran) sehingga diperoleh gambaran yang utuh mengenai kemampuan sumberdaya untuk menghasilkan rente ekonomi yang sustainable. Selain itu, jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal, depresiasi sumberdaya akan dapat diminimisasi sehingga akan diperoleh potential rent yang maksimum dalam jangka panjang.

Pada tahun 2002, penelitian mengenai neraca sumberdaya lahan tandus untuk tanaman penghijauan dilakukan oleh Suwondo, Siti Imami. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kemungkinan pemanfaatan lahan tandus desa Larete, Kecamatan Poleang Timur Provinsi Sulawesi ditinjau dari segi ekonomi lingkungan; selain itu mengkoordinasikan antara ekonomi dan lingkungan sumberdaya lahan agar tetap lestari dan bermanfaat untuk masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode penilaian dampak lingkungan yang analisisnya dinyatakan dalam nilai uang atau dirupiahkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan Delphi dengan kegiatan utama wawancara langsung dengan masyarakat desa Larete.

Hasil analisis menunjukkan neraca sumberdaya lahan bahwa tanah terbuka atau tandus di Desa Larete apabila dihijaukan dengan tanaman jambu mete dan sengon ternyata masih mempunyai prospek atau kelayakan dengan keuntungan

(41)

selain menahan erosi, juga menahan air tanah dan menambah pendapatan masyarakat baik dari tanaman utamanya maupun tanaman sela.

Purwanto, Arief dan Surna pada tahun 1998 melakukan penelitian mengenai perhitungan neraca fisik dan neraca moneter sumberdaya ikan tuna dan udang laut. Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan udang dan tuna merupakan komoditi hasil laut hayati yang telah berkontribusi dalam perolehan devisa Negara. Dari pengamatan terhadap data beberapa tahun terkahir yaitu tahun 1993 telah terjadi eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang terus meningkat. Sementara itu untuk udang laut terjadi fluktuasi eksploitasi. Hasil perhitungan neraca fisik ikan tuna dan udang memperlihatkan bahwa kedua jenis komoditi ini belum mengalami deplesi. Namun demikian diperlukan perhitungan ulang berdasarkan atas data-data yang lebih lengkap meliputi data mengenai stok awal, angka pertumbuhan dan kematian alami serta hasil eksploitasi atau penangkapan yang lebih detail.                          

(42)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

Terjadinya kerusakan lingkungan seperti deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan yang terlihat dari tingginya deforestrasi hutan Indonesia telah menjadi salah satu faktor disusunnya Undang-undang tentang lingkungan. Adanya Undang-undang No. 32 tahun 2009 khususnya pasal 42 tentang pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka menerapkan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pada pasal 45 juga dikatakan bahwa pemerintah, dewan perwakilan rakyat RI, pemerintah daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup khususnya pasal 5 sampai pasal 23 juga mendorong dibuatnya neraca sumberdaya dimana pemerintah dan pemerintah daerah dalam setiap pengambilan keputusan penetapan target pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus didasarkan atas kajian Neraca Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.

Dalam rangka menerapkan instrumen ekonomi lingkungan, Kabupaten Kuningan sudah menerapakan suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services / PES ) dengan Kota Cirebon. Akan tetapi, meskipun mekanisme tersebut telah berjalan, kerusakan hutan di Kabupaten Kuningan terbilang masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah luasan hutan kritis yang ada di kabupaten Kuningan. Kondisi tersebut sungguh ironis dan mengindikasikan adanya kegagalan dalam kelembagaan ataupun kesalahan dalam pengelolaan.

Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi jenis dan penggunaan sumberdaya hutan yang ada di Kabupaten Kuningan, analisis neraca sumberdaya hutan Kabupaten Kuningan, dan analisis kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan. Identifikasi jenis dan penggunaan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dimana informasi diperoleh dari masyarakat sekitar kawasan

(43)

hutan yang memanfaatkan sumberdaya hutan serta data-data sekunder dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan.

Sementara untuk analisis neraca sumberdaya hutan sebagian besar menggunakan data sekunder dimana data primer untuk melihat deplesi sumberdaya dan degradasi lingkungan. Penyusunan neraca sumberdaya hutan ini didasarkan pada kerangka SEEA. Deplesi sumberdaya hutan diestimasi dengan productivity approach dan degradasi lingkungan diestimasi dengan pendekatan unit rent. Sedangkan untuk jasa (service) seperti wisata Taman Nasional Gunung Ciremai diestimasi dengan Contingent Choice Modelling (CCM). Dari hasil analisis neraca sumberdaya hutan akan dilihat PDRB hijau Kabupaten Kuningan. Dari analisis ini dapat ditunjukkan manfaat hutan dalam PDRB dan pembangunan daerah Kabupaten Kuningan.

Analisis kelembagaan kehutanan dilakukan secara deskriptif dan dilakukan juga transaction cost analysis dimana di dalamnya dianalisis aturan-aturan yang berlaku, organisasi dan biaya organisasi serta biaya transaksi dari pengelolaan hutan. Hasil analisis dapat menunjukkan bagaimana pengaruh kelembagaan kehutanan di Kabupaten Kuningan. Dari ketiga analisis tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sektor kehutanan di Kabupaten Kuningan sehingga pengelolaan hutan berkelanjutan dapat tercapai. Kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan dalam Gambar 1.

(44)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Biaya Transaksi RPP tentang instrumen ekonomi lingkungan Pasal 5 - 23 Mengidentifikasi jenis dan penggunaan SD Hutan Kab. Kuningan

Menganalisis neraca SD Hutan Kab. Kuningan

Menganalisis kelembagaan kehutanan di Kab. Kuningan

Manfaat hutan dalam PDRB dan pembangunan

daerah Kab. Kuningan

Pengaruh kelembagaan kehutanan di Kab. Kuningan Pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan Organisasi, Peraturan, Pembiayaan Kenaikan Deforestrasi Hutan

UU No. 32 Tahun 2009 pasal 42,45

Mekanisme PES di Kab. Kuningan

Deforestrasi hutan Kab. Kuningan tetap tinggi Kegagalan dalam kelembagaan Contingent Choice Modelling (CCM) Deskriptif

Neraca Fisik dan Moneter Deskripsi Jenis dan

penggunaan flora, jenis fauna, hasil hutan bukan kayu, sumber air,dan jasa

lingkungan lain  Degradasi Stok, Deplesi, Afforestation,Addition Option Value (Nilai ekowisata) Productivity approach Unit Rent Biaya Transaksi Deskriptif  

(45)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yaitu Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Alasan penentuan lokasi karena hutan Kabupaten Kuningan merupakan salah satu hutan terbesar di Jawa Barat. Selain itu, disana masih terdapat kerusakan hutan yang cukup tinggi meskipun sudah diterapkan suatu mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Sementara, untuk waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2011. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Kabupaten Kuningan, Jawa Barat 4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data sekunder berasal dari Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jawa Barat, Badan Pusat Statistik, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, Perum Perhutani KPH Kuningan, Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai, dan PDAM Kota Cirebon. Sementara data primer

(46)

diperoleh dari wawancara dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan dan pengunjung kawasan wisata Taman Nasional Gunung Ciremai.

Tabel 5. Matriks Penelitian

No Tujuan Metode Analisis

Jenis Data Sumber Data 1 Mengidentifikasi

jenis dan penggunaan SD

Hutan Kab. Kuningan

Deskriptif Data primer dan sekunder jenis dan penggunaan SD Hutan Kab. Kuningan

Wawancara, instansi terkait (Dinas Kehutanan Kab. Kuningan, Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai, dan Perhutani KPH Kuningan) 2 Menganalisis neraca SD Hutan Kab. Kuningan Productivity approach, unit rent, CCM

Data primer dan sekunder tentang :

1. Stok kayu

2. Shifting cultivation 3. Pertumbuhan alamiah

(mean annual increment) 4. Regenerasi

5. Konversi hutan 6. Logging damage 7. Afforestation 8. Kebakaran hutan

9. Stand mortality, insects & disease

10. Logging/harvest 11. Illegal logging 12. Animal grazing 13. Hasil hutan bukan kayu 14. Nilai ekowisata 15. Degradasi lingkungan Wawancara, instansi terkait (Dinas Kehutanan Kab. Kuningan, Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai, dan Perhutani KPH Kuningan) 3 Menganalisis kelembagaan di Kab. Kuningan Deskriptif, transaction cost analysis

Data primer dan sekunder tentang organisasi, peraturan, dan biaya organisasi

Wawancara

4.3 Penentuan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah masyarakat yang tinggal di kawasan hutan Kabupaten Kuningan dan memanfaatkan hasil hutan. Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive. Pemilihan teknik pengambilan sampel secara purposive ini dikarenakan adanya keterbatasan seperti luasan hutan yang sangat besar.

Sampel penelitian yang diambil khususnya untuk analisis kelembagaan dalam penelitian sebanyak 9 kecamatan yaitu Kecamatan Kramatmulya, Cigandamekar, Cilimus, Japara, Cidahu, Kalimanggis, Karangkancana, Subang,

(47)

dan Selajambe. Penentuan sampel didasarkan pada luas areal hutan yang ada di daerah tersebut yang mewakili dari areal hutan terluas sampai yang terkecil. Sementara, untuk mengestimasi jasa (service) wisata dilakukan di Taman Nasional Gunung Ciremai dengan populasinya adalah pengunjung Taman Nasional Gunung Ciremai. Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive dikarenakan tidak adanya sampling frame. Jumlah sampel diambil dengan menggunakan teknik pengambilan contoh sosial ekonomi yang dikembangkan oleh Fauzi (2001) yaitu :

,

, ……… 3.1

Keterangan :

n = jumlah sampel yang diambil

N = jumlah populasi (yang diketahui dan diperkirakan)

Z =standar deviasi yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan (lihat tabel Z statistik)

d = tingkat akurasi/presisi (biasanya antara 0,05 atau 0,01)

Jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Kuningan adalah 308.921  Kepala Keluarga (KK) (Pemerintah Kabupaten Kuningan, 2009), sehingga berdasarkan rumus Fauzi (2001) didapatkan sampel sebesar :

308.921 1,65 0,25

0,1 308.921 1 1,65 0,25 68,05 68

Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini khususnya untuk analisis kelembagaannya adalah sebanyak 68 responden, dimana dari 5 kecamatan masing-masing diambil 8 responden dan 4 kecamatan masing-masing diambil 7 responden. Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(48)

Tabel 6. Jumlah Responden Per Kecamatan

Kecamatan Jumlah Responden

Kramatmulya 8 Cigandamekar 8  Cilimus 8  Japara 8  Cidahu 8  Kalimanggis 7 Karangkancana 7  Subang 7  Selajambe 7 Total 68

Jumlah wisatawan yang datang ke Taman Nasional Gunung Ciremai adalah 1500 jiwa (Balai Konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai, 2009), sehingga berdasarkan rumus Fauzi (2001) dengan tingkat presisi 10% (0,1) dan dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai Z = 1,65, sehingga akan didapatkan sampel sebesar :

1.500 1,65 0,25

0,1 1.500 1 1,65 0,25 65,15 65

Sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 65 responden.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan cara :

a. Studi literatur untuk mengumpulkan data terkait PDRB Kab. Kuningan, stok kayu, shifting cultivation, pertumbuhan alamiah (mean annual increment), regenerasi, konversi hutan, logging damage, afforestation, kebakaran hutan, dan stand mortality, insects & disease.

Gambar

Tabel 1. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDB (Miliar Rupiah)
Tabel 3. Share Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Periode Tahun 2001-2008  Tahun PDRB  (Juta  Rp)  Share Kehutanan (Juta Rp)  % Share
Tabel 4. Kerangka SEEA
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional  Analisis Biaya TransaksiRPP tentang instrumen ekonomi lingkungan Pasal 5 - 23 Mengidentifikasi jenis dan penggunaan SD Hutan Kab
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisisinya didapati kesimpulan bahwa Gambaran Profesionalisme Guru di Madrasah Ibtidaiyah Tahfidz Al-Asyhar Malang dapat di lihat

Rory, merupakan sosok hantu anak kecil yang terlihat memang tidak menganggu, tetapi justru malah ingin membantu dan mencoba memberitahu tentang kejahatan apa yang

mempengaruhi biaya bunga perusahaan karena bunga pinjaman yang diminta oleh. bank komersial atau kreditor berdasarkan tingkat suku bunga pasar,

Untuk menentukan pilihan rumus proyeksi jumlah penduduk yang akan digunakan dengan hasil perhitungan yang paling mendekati kebenaran harus dilakukan analisis dengan

 Sekiranya dalil yang lain itu ialah adat yang diterima kerana berlaku pada zaman Nabi, maka dalil ini sabit dengan sunnah, atau kerana berlaku pada zaman

SATELLITE REMOTE SENSING TECHNOLOGY FOR FOREST TYPE CLASSIFICATION AND INVENTORY IN GUNUNG STONG FOREST.. RESERVE,

Menurut Saudara, aktivitas penting yang perlu dilakukan pada fase identifikasi dalam workshop value engineering pada tahap pelaksanaan proyek bangunan gedung di PT X adalah :

Menurut saya kedisiplinan waktu bisa diatasi dengan cara mengatur waktu dengan baik. Bagi mereka yang harus mengantar orang tuanya pergi ke pasar atau yang