• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai Syarat Ekspor Produk Kayu T1 312008601 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai Syarat Ekspor Produk Kayu T1 312008601 BAB II"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

(2)

1.

Norma-norma Perlindungan Hutan dalam Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu

a. Pengertian Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan di Indonesia merupakan salah satu bidang hukum yang sudah berumur 137 tahun, yaitu sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865 yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Istilah hukum kehutanan merupakan terjemahan dari Boswezen Recht (Belanda) atau Forrest Law (Inggris). Menurut Henry Campbell Black, berdasarkan hukum Inggris kuno yang disebut forrest law

(hukum kehutanan) adalah: “The system or body of old law relating to the royal forest“ atau “suatu sistem atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan mengatur hutan-hutan kerajaan“1. Pada awalnya memang secara historis hukum kehutanan hanya sebatas mengatur tentang perlindungan terhadap hutan sebagai aset kerajaan. Namun, dalam perkembangannya pengaturan hukum kehutanan kemudian juga menjangkau perlindungan terhadap hutan-hutan yang dimiliki rakyat. Pada tahun 1971 hukum kehutanan Inggris disempurnakan melalui Act 1971 dan di dalam Act 1971 ini tidak hanya mengatur hutan kerajaan semata-mata, tetapi juga mengatur mengenai hutan rakyat (hutan milik).

Idris Sarong Al Mar mengatakan bahwa yang disebut dengan hukum kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal

(3)

hutan dan kehutanan2. Definisi Idris Sarong Al Mar tersebut juga senada dengan definisi yang dirumuskan Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan, yaitu, bahwa hukum kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan hutan dan pengurusannya3.

Pasal 1 Angka 1 UU Kehutanan memberikan definisi tentang kehutanan sebagai sistem pengurusan4 yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu5.

Salim memberikan definisi yang cenderung berbeda dari ketiga definisi hukum kehutanan diatas karena menurutnya ketiga definisi di atas hanya menitikberatkan pada kekuasaan negara dalam pengelolaan dan pengurusan hutan dan kehutanan mata, menurut Salim hukum kehutanan bukanlah semata-mata hanya mengenai hal-hal tersebut, namun juga mengenai urusan manusia secara perorangan, jika orang tersebut mengusahakan penanaman kayu di atas tanah hak miliknya6.

2 Idris Sarong Al Mar sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., M.S., Ibid.

3 Ibid.

4 Namun menurut Penulis Sistem pengurusan inilah yang diwujudkan dalam hukum/peraturan

maupun regulasi yang akan dikeluarkan oleh Negara atau Pemerintah sebagai Penguasa semua Hutan diseluruh wilayah Indonesia., Lihat Pasal 4 UU kehutanan., menurut penulis bahwa definisi Kehutanan dalam UU Kehutanan juga senada dengan definisi Idris Sarong Al Mar dan Biro Hukum dan Organisasi Dephut. Jadi menurut Penulis definisi Kehutanan dalam UU Kehutanan adalah hukum kehutanan itu sendiri.

5 Lihat UU Kehutanan Pasal 1 Angka (1).

(4)

Dengan demikian Salim memberikan definisi mengenai hukum kehutanan sebagai “kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan”.

Definisi hukum kehutanan menurut Salim tersebut mempunyai tiga unsur yaitu: adanya kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan mengatur hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan7.

Hukum kehutanan juga mempunyai dua bentuk yaitu, hukum kehutanan yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Sedangkan hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, dan berkembang dalam masyarakat setempat, jadi hukum kehutanan tidak tertulis sifatnya lokal dan hanya mengatur mengenai hal-hal seperti hak membuka tanah dihutan, hak untuk menebang kayu, hak untuk memungut hasil hutan dan hak untuk menggembalakan ternak, dan sebagainya namun hak-hak yang sedemikian rupa itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara8.

7 Ibid.

(5)

b. Sumber-sumber Hukum Kehutanan

Secara sederhana, sumber hukum adalah tempat di mana kaidah-kaidah hukum yang mengatur bidang tertentu bida diketemukan. Dari pemahaman ini, dapat dikemukakan bahwa sumber-sumber hukum kehutanan adalah tempat di mana kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kehutanan dapat diketemukan. Untuk itu ada dua kategori hukum kehutanan, yaitu hukum kehutanan yang tertulis dan hukum kehutanan yang tidak tertulis.

1) Hukum kehutanan yang tertulis

Hukum kehutanan yang tertulis adalah hukum kehutanan yang dituangkan dalam wujud tertulis oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat hukum tertulis tersebut. Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan yang substansinya menyangkut kaidah pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan kehutanan dapat dikategorikan sebagai hukum kehutanan yang tertulis. Sesuai dengan pihak yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan, hukum kehutanan yang tertulis dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni Konstitusi, Undang-Undang dan peraturan lain di luar Undang-Undang (misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah).

a. Konstitusi (UUD 1945)

(6)

kaitan ini pasal yang relevan di dalam UUD 1945 adalah Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

b. Undang-Undang

Di Indonesia, Undang-Undang yang secara komprehensif mengatur tentang kehutanan adalah Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tetapi, di luar itu ada pula Undang-Undang yang juga terkait dengan pengaturan tentang kehutanan. Secara lebih lengkap dapat dikemukakan bahwa sumber-sumber terpenting hukum kehutanan Indonesia yang berwujud Undang-Undang meliputi:

o Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.9

o Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

o Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. o Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

o Undang-Undang No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.

9 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 ini sudah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun

(7)

c. Peraturan perundang-undangan lain

Selain Undang-Undang, kaidah-kaidah hukum kehutanan juga dapat diketemukan di dalam peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang berupa peraturan nasional maupun peraturan daerah. Peraturan perundang-undangan yang penting misalnya:

d. Peraturan Pemerintah

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 tahun 1994 tentang Perburuan

Satwa Buru.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2001 tentang

Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan

Kota.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan

(8)

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 2004 tentang

Perencanaan Kehutanan.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan

Hayati Produk Rekayasa Genetik.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

o Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2007 tentang Dana

Reboisasi.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 2008 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara Republik Indonesia.

o Peraturan Pemerintah RI Nomor 76 Tahun 2008 tentang

(9)

o Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2009 tentang Pembinaan,

Pembiayaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan.

o Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

o Peraturan Pemerintah No 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

o Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan

Kawasan Hutan.

o Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

o Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan

Umum (PERUM) Kehutanan Negara.

o Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

o Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2012 tentang Perubahan PP No

24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

o Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2012 tentang Perubahan PP No

(10)

o Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai.

e. Peraturan Presiden

o Keputusan Presiden RI No. 29 tahun 1991 tentang Perubahan

Keputusan Presiden No. 30 tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan.

o Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 2011 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.

o Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Penundaan Pemberian

Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

o Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata

Ruang Pulau Kalimantan.

o Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 62 tahun 2013 tentang

Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut.

f. Peraturan Menteri

o Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.38/Menhut-II/2009 tentang

(11)

Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin dan atau Pada Hutan Hak.

o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2012 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.32/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik

Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai.

o Peraturan Menterri Kehutanan No. P.9/Menhut-II/2012 tentang

Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu.

o Peraturan Menteri Kehutanan No .P.4/Menhut-II/2012,

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. p.48/menhut-ii/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2012 tanggal

23 April 2012 Tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.

o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2012 tanggal

11 April 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2012 tanggal

(12)

o Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2011

Tentang Pedoman Umum Penggunaan Belanja Bantuan Modal Kerja dalam Rangka Pengembangan Desa Konservasi di Daerah Penyangga Kawasan Konservasi.

o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

P.63/Menhut-II/2011 ientang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.

o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

P.61/Menhut-II/2011 Tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon 2011.

o Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Dan Rencana Teknik Tahunan Di Wilayah Perum Perhutani.

o Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8/Menhut-II/2014 tentang

Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri atau IUPHHK Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi.

2) Hukum kehutanan yang tidak tertulis

(13)

kebiasaan atau adat istiadat yang tidak tertulis. Hukum kehutanan yang tidak tertulis ini memiliki keberlakuan lokal dan umumnya hanya berlaku di antara masyarakat adat. Meski sifatnya tidak tertulis, pada prinsipnya hukum adat sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat tetap diakui sebagai hukum yang mengikat, setidaknya secara lokal.

Pengakuan terhadap pranata hukum adat tentang kehutanan juga dipertegas melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 35/PUU-X/2012. Dalam perkara tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memutus Pasal 1 Angka (6) dari Undang-Undang Kehutanan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888 sebagai bertentangan dengan konstitusi. Pasal 1 Angka (6) Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat termasuk dalam kategori hutan negara, bukan hutan hak.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 4 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali dimaknai sebagai berikut: “Penguasaan hutan oleh

Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

(14)

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa frasa “kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional” sebagai prasyarat bagi pengakuan dan

penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, dan karenanya harus dimaknai secara jelas dan tegas bahwa masyarakat hukum adat tersebut tidak hanya sekedar “ada” tetapi benar-benar yang “masih hidup”. MK juga menegaskan bahwa “apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan

tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara.

Dalam pertimbangannya pula Mahkamah Konstitusi berpendapat, Mahkamah berpendapat hutan negara dan hutan adat harus ada perbedaan perlakuan, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.

(15)

ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya."

c. Tujuan dan Asas-asas Hukum Kehutanan 1) Tujuan Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan dibuat atau dibentuk mempunyai maksud atau tujuan yaitu, untuk melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari10.

Sedangkan dalam UU Kehutanan Pasal 3 dinyatakan bahwa, penyelenggaraan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan; (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (c) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (d) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara parsitipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (e) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan11.

10 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid.

(16)

2) Asas-asas Hukum Kehutanan

Asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, Prof. Dr. R.M Sudikno Mertokusumo S.H. mengemukakan bahwa yang disebut dengan asas hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak. Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam peraturan hukum konkret12.

Jika mengacu pada pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 2, kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyataan dan keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan13.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan kesimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi14.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada sema warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan

12 Prof. Dr. R.M Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., S.H., M.S., ibid.,

hal., 8.

13 Lihat UU Kehutanan Pasal 2.

14 Supriadi, S.H., M.Hum., Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia ., Jakarta., PT

(17)

harus dicegah terjadinya praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni15.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergi antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi16.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat17.

Penyelenggaraan kehutanana berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat18.

Di samping asas yang dikemukakan diatas, dikenal juga asas lain yang berlaku secara internasional, yaitu asas ecolabelling dan asas berkelanjutan (sustainable forrest). Asas ecolabelling adalah suatu asas di mana semua kayu tropis yang dijual harus berasal dari hutan lestari melaui mekanisme pelabelan.

15 Ibid.

16 Ibid.

17 Ibid.

(18)

Asas ini diintrodusir pertama kali oleh Austria melalui undang-undang tentang

ecolabelling kayu tropis19.

Asas hutan berkelanjutan (sustainable forrest) adalah suatu asas di mana setiap negara dapat mengelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan. Asas ini dikumandangakan dalam konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, awal juni 1992, dan pada prinsipnya setiap negara peserta konferensi harus melaksanakan segala isi konvensi dan kesepakatan secara konsekuen20.

d. Kepentingan-kepentingan yang Dilindungi oleh Hukum Kehutanan

Sebagaimana telah Penulis kemukakan diatas bahwa hutan memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting negara21. Oleh karena itu hutan harus dilindungi demi kepentingan Negara dan masyarakat Indonesia pada khususnya dan agar hutan dapat berfungsi dengan baik.

UU Kehutanan Pasal 6 Ayat (2) membagi hutan menurut fungsinya menjadi 3 kategori yaitu: Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi22. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu

19 Sormin sebagaimana dikutip oleh Salim, H.S., S.H., M.S., Op.Cit., hal., 11.

20 Salim, H.S., S.H., M.S.,Ibid., hal., 11.

21 Lihat Paragraph 1 pada latar belakang masalah, hal., 1 Bab I skripsi ini, Supra.

(19)

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas tiga macam yaitu: kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan hutan buru. Hutan lindung sendiri adalah kawasan hutan yang mempeunyai fungsi pokok sebagai dasar perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi (penerobosan) air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalh kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan23.

Berdasarkan fungsi hutan diatas dapat dilihat khususnya pada fungsi hutan lindung mempunyai manfaat yang sangat penting, yaitu untuk kelestarian atau keberlangsungan lingkungan. Hutan lindung dapat mengatur dan meninggikan debit air pada musinm kemarau, dan mencegah terjadinya debit air yang berlebihan pada musim hujan. Hal ini disebabkan dalam hutan terdapat air retensi, yaitu air yang masuk ke dalam tanah, dan sebagian bertahan dalam saluran-saluran kecil yang terdapat dalam tanah. Serta hutan lindung dapat mencegah dan menghambat mengalirnya air karena adanya akar-akar kayu dan akar tumbuh-tumbuhan24.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan manfaat hutan lindung sangat penting karena secara langsung dapat berdampak terhadap lingkungan. Jika

23 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid., hal., 44.

(20)

terdapat kerusakan pada hutan lindung maka akan berdampak langsung pula pada rusaknya lingkungan.

Namun perlu disadari pula bahwa hutan lindung bukanlah hutan yang tidak diperbolehkan untuk diambil manfaatnya atau hasil hutannya. Oleh karena itu UU Kehutanan mengatur mengenai pemanfaatan hutan lindung yang diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 2725. Pemanfaatan hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Salah satunya dengan pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan jasa lingkungan adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi kawasan.

Jika dilihat dalam pasal-pasal tersebut dilihat bahwa segala pemanfaatanya adalah hasil hutan bukan kayu. Jadi hukum kehutanan melalui UU Kehutanan memberikan proteksi atau perlindungan terhadap hutan terutama pohon-pohon dalam hutan lindung yang menjadi pencegah debit air tinggi, erosi dan sebagainya. UU Kehutanan juga mewajibkan para pemegang izin pemanfaatan hutan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya serta membantu dalam rehabilitasi dan reklamasi hutan26. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum kehutanan adalah salah satu instrument perlindungan terhadap lingkungan secara langsung.

25 Lihat UU Kehutanan Pasal 26-27.

(21)

2.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu sebagai Instrumen

Perlindungan Hutan

Hutan tidak hanya penting kedudukannya bagi negara namun juga dunia internasional yang peduli terhadap kelestarian hutan khususnya di Indonesia dan tidak dapat di pungkiri pula bahwa kayu yang berasal dari Indonesia adalah komoditi Impor bagi negara lain khususnya Uni Eropa27 atau dapat dikatakan hutan di Indonesia adalah aset internasional.

Untuk menjaga agar pemanfaatan hutan bisa dikendalikan dan untuk menjaga kelestarian hutan, pada tahun 2012 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, pemerintah menekankan pentingnya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dalam ekspor produk industri kehutanan.

a. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.

Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia .

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.

(22)

Sebagai sebuah sistem, SVLK memiliki beberapa sub-sistem, di antaranya adalah: Standar VLK, Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), Pemegang Izin, Lembaga Akreditasi (Komite Akreditasi Nasional), Lembaga Penilai & Verifikasi Independen (LP&VI), Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL), Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), Tanda V-Legal, dan Dokumen V-Legal.

b. latar belakang SVLK

Komitmen Negara/Pemerintah dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal. Perwujudan good forest governance menuju pengelolaan hutan lestari. Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia28. Sebagai bentuk "National Insentive" untuk mengantisipasi semakin maraknya permintaan skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC, PEFC, dan sebagainya.

Pemberlakukan SVLK bagi kayu ekspor Indonesia dilatarbelakangi oleh: maraknya kegiatan illegal logging dan illegal trading. Pada tahun 1998 s.d 1999, isu pembalakan liar kayu hutan tropis semakin jelas mengemuka di pasar global. Dan sampai dengan 2002 peredaran kayu illegal baik domestik maupun internasional semakin merajalela. Walaupun situasi ini tidak hanya terjadi di

28 Di dunia internasional “rule” atau aturan seperti SVLK tersebut dikenal dengan nama TLAS

(23)

Indonesia, karena terjadi pula di Filipina, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam dan sejumlah Negara Afrika, tetap saja Indonesia menjadi sasaran negara-negara Amerika dan Uni Eropa yang memojokkan Indonesia sebagai hotspot pembalakan liar.

Adanya “image” dari dunia luar yang kurang baik terhadap pengelolaan hutan di Indonesia; Image yang kurang baik dari dunia luar akan berakibat pada pemasaran kayu ekspor Indonesia. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan beberapa pihak (baik instansi teknis maupun LSM Lingkungan) berusaha merumuskan sistem pemanfaatan hutan melalui sistem tata usaha kayu berbasis legalitas melalui pemberlakuan verifikasi terhadap kayu yang beredar di pasar.

Adanya kecenderungan dalam perdagangan kayu internasional yang memerlukan legalitas, seperti USA dengan “amandement Lacey Act” yang

(24)

Rendahnya kesejahteraan masyarakat, Potensi sumber daya alam berupa kehutanan yang begitu melimpah dan bisa terbarukan, harusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berusaha di sektor perkayuan. Namun pada kenyataannya usaha masyarakat di sektor kayu, terutama di tingkat hulu masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan yang signifikan. Berbagai faktor menjadi penyebab, diantaranya daya saing produk dan kepastian hukum atas status kayu dan administrasi tata usaha kayu hutan dari sisi regulasi kehutanan.

Rendahnya daya saing produk kayu Indonesia, tanpa kepastian legalitas kayu, persaingan kayu Indonesia di pasar internasional menjadi semakin dipertanyakan. Hal ini karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap kelestarian lingkungan.

Dengan diberlakukannya SVLK diharapkan kayu Indonesia akan memiliki daya saing di pasar internasional, karena konsep SVLK memberikan kepastian bagi pasar bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi Indonesia merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal. SVLK juga akan memperbaiki tata pemerintahan (Governance) kehutanan Indonesia melalui perbaikan administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif, mereduksi praktek illegal logging dan illegal trading. Ke depannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berusaha dalam bidang perkayuan dari hulu sampai hilir29.

(25)

Pembahasan terkait dengan SVLK tidak akan lepas dari pembahasan mengenai FLEGT VPA terkait dengan pemberlakuan EU Timber Regulations. Tanggal 29 – 30 Maret 2007, negosiasi pertama di Jakarta. Tim Komisi Eropa dipimpin

oleh Mr. Jean Breteché (Duta Besar Uni Eropa di Jakarta). Delegasi RI diketuai oleh Dr.

Hadi S. Pasaribu (Dirjen Bina Produksi Kehutanan/Dephut). Anggota Delegasi RI terdiri

atas perwakilan dari instansi pemerintah yang terkait (Deplu, Depdag, Deperin, Depkeu),

swasta kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat.

Tanggal 11-13 Juli 2007, Negosiasi kedua di Brussels. Dalam negosiasi kedua dibahas antara lain: mengkaji ulang elemen-elemen yang akan didiskusikan dalam VPA, cakupan produk, sistem kepastian keabsahan kayu, penegakan hukum dan tata kelola bidang kehutanan, penghindaran/peraturan (circumvention/legislation), dan insentif.

Senin dan selasa, 14-15 April 2008 telah diadakan FLEGT VPA Technical Meeting dengan hasil antara lain bahwa terkait dengan standar legalitas, Indonesia telah menyusun prinsip, kriteria dan indikator yang dikembangkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, (Standar SVLK) juga tentang perkembangan penyusunan kelembagaan terkait dengan standar tersebut.

(26)

Sedangkan dalam hal standard dan pedoman penilaiannya ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 tanggal 15 Juni 2009. Peraturan inilah yang menjadi landasan penerapan SVLK.

Indonesia bermaksud agar sejumlah kira-kira 4.500 produsen, pengolah dan eksportir Indonesia diverifikasi berdasarkan persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia secara progresif.30.

Setelah selesainya proses penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan 22 bahasa Uni Eropa lainnya, maka Persetujuan FLEGT-VPA diharapkan akan ditandatangani pada bulan April 2013. Kedua belah pihak kemudian akan memulai prosedur ratifikasi masing-masing dan diharapkan akan selesai pada bulan September 2013. Penyelesaian proses ratifikasi tersebut akan menjadi langkah hukum yang penting karena akan membuat FLEGT-VPA memiliki kekuatan mengikat secara hukum, baik untuk Indonesia dan Uni Eropa.

Setelah VPA berlaku dan dijalankan, berarti produk kayu Indonesia yang telah disertai dengan lisensi ekspor akan secara penuh diterima sebagai berkesesuaian dengan persyaratan EUTR, dan hal ini merupakan insentif yang jelas bagi para pembeli di Eropa.

Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson menyambut baik keterlibatan para pemangku kepentingan di bidang kehutanan,

30 Indonesia Wood “Wood Working Manufacture”, Sejarah SVLK Sistem Verifikasi Legalitas

(27)

termasuk kalangan masyarakat sipil, dalam pengembangan SVLK, sebagai faktor yang memungkinkan pembeli memiliki keyakinan dalam skema baru ini. Skema ini menjadi kunci untuk mendukung perdagangan kayu legal antara Indonesia dan Uni Eropa - yang bernilai sekitar 1,2 miliar USD per tahun.

Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson juga menggarisbawahi bahwa Indonesia dan Uni Eropa saat ini berada dalam tahap kritis dalam bergerak menuju implementasi penuh dari prosedur dan mekanisme perdagangan kayu yang baru ini dalam kerangka FLEGT-VPA. Namun bahkan sebelum VPA dengan Uni Eropa sepenuhnya diimplementasikan, skema SVLK yang mendasarinya merupakan keuntungan pasar bagi Indonesia dengan tersedianya jaminan legalitas kayu itu, tidak hanya untuk pasar Uni Eropa, tetapi juga ke negara pasar lainnya, menimbang pencapaian Indonesia dalam mengembangkan dan menerapkan SVLK tersebut. Umpan balik dari kontak-kontak terkini dengan para pembeli produk kayu di Eropa mengatakan bahwa mereka yakin kredibilitas skema SVLK dalam kaitannya dengan persyaratan EUTR, dikarenakan skema SVLK akan menjadi dasar bagi FLEGT-VPA.

(28)

Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto dan Duta Besar Julian Wilson setuju bahwa pihak berwenang di negara-negara anggota Uni Eropa serta para operator yang merupakan importir produk kayu Indonesia perlu menerima pesan penting ini tentang pencapaian kemajuan Indonesia sehubungan dengan produk kayu bersertifikat SVLK dan kemajuan cepat menuju implementasi penuh FLEGT-VPA. Sertifikasi SVLK adalah instrumen yang berharga dalam penilaian legalitas produk kayu Indonesia dan diharapkan hal ini dilihat sebagai unsur kuat jaminan bagi pembeli di Eropa31.

Kemudian pada tanggal 30 September 2013 Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between Republic of Indonesia and European Union on Forrest Law Enforcement, Governance and Trade Timber Products to into the European Union), sebagai hasil Perundingan antara delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa, yang bertujuan untuk memperbaiki tata kelola sektor kehutanan yang dapat menghapus tindakan pembalakan liar dan memastikan perdagangan kayu serta produk kayu Indonesia ke wilayah Uni Eropa sesuai dengan peraturan perundang-undangan kedua Negara.

31 Indonesian Legal Wood, Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), Indonesia dan Uni Eropa

(29)

Yang kemudian atas dasar tersebut Pemerintah Indonesia melalui Presiden Republik Indonesia mengesahkan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Kayu ke Uni Eropa (Voluntary Partnership Agreement between Republic of Indonesia and European Union on Forrest Law Enforcement, Governance and Trade Timber Products to into the European Union).

c. Pengaturan SVLK

SVLK Kayu diatur dalam berberapa Peraturan Perundang-undangan yaitu:

1. Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo

(30)

sertifikat, jangka waktu sertifikat, kriteria penerbitan sertifikat, hasil setelah penerbitan sertifikat (dokumen V & Tanda V Legal).

2. Pengaturan hasi SVLK sebagi syarat ekspor kayu & produk kayu: Peraturan Menteri Perdagangan No. 64 tahun 2012 jo Peraturan Menteri Perdagangan No.81 tahun 2013 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Yang berisi ketentuan pihak-pihak untuk memiliki/diwajibkan dokumen V, kriteria pengekspor/perusahaan ekspor, jenis-jenis produk yang dapat di ekspor, izin Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (EPTIK),

d. Subyek dan Obyek SVLK

SVLK terdiri dari dua komponen utama, yaitu S-PHPL dan S-LK. Menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan, pihak yang wajib memiliki S-PHPL adalah

IUPHHK-HA/HT/RE sedangkan pihak yang yang wajib memiliki S-LK dapat dibedakan

menjadi dua kategori, yaitu kategori Pemegang Izin dan Pemilik Hutan Hak serta kategori

Industri. Untuk kategori Pemegang Izin dan Pemilik Hutan Hak pihak-pihak yang wajib

memiliki S-LK adalah Hkm, HTR, HD,

IUPHHK-HTHTR, IPK, TPT, dan pemilik hutan hak sedangkan untuk kategori industri, pihak yang

harus memiliki S-LK adalah IUIPHHK, IUI dan TDI serta Industri Rumah Tangga /

(31)

WAJIB SERTIFIKAT PHPL

 Pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE dan pemegang hak

pengelolaan (yang belum memiliki S-PHPL wajib memiliki S-LK)

 Sertifikat PHPL bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang hak

pengelolaan berlaku selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.

WAJIB SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU

Level Pemegang Izin & Pemilik Hutan hak

Pemegang IUPHHK-HKm, IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, TPT, dan pemilik hutan hak wajib memiliki S-LK

Level Industri

 Pemegang IUIPHHK, IUI dan TDI serta industri rumah tangga / pengrajin

dan pedagang ekspor wajib memiliki S-LK

 Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku dari hutan

hak, wajib memfasilitasi pemilik hutan hak untuk memperoleh S-LK.

 Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK

(32)

pedagang ekspor, dan pemilik hutan hak dapat mengajukan verifikasi LK secara kelompok (group certification).

 Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang hak

pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, dan TPT berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 bulan sekali.

 Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.-

(lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor berlaku selama 6 (enam) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveilance) sekurang-kurangnya 24 bulan sekali.

(33)

pemanfaatan kayu). Sedangkan untuk PHPL yaitu meliputi verifikasi dokumen, mempelajari kondisi lapangan auditee, Verifikasi Dokumen dan Observasi Lapangan: Verifikasi dokumen adalah kegiatan yang dilakukan oleh Tim Audit untuk menghimpun, mempelajari data dan dokumen auditee, dan menganalisis menggunakan kriteria dan indikator yang ditetapkan. Observasi lapangan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Tim Audit untuk menguji kebenaran data melalui pengamatan, pencatatan, uji petik, dan menganalisis menggunakan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan.

Pelaksana penilaian dan verifikasi adalah LP dan VI yang terdiri dari Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) dan Lembaga Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPHPL) yang bertugas untuk menilai kinerja pengelolaan hutan lestari atau memverifikasi keabsahan hasil hutan kayu pada pemegang izin atau pemilik hutan hak.

e. Syarat dan prosedur permohonan SVLK

Pemegang Izin mengajukan permohonan verifikasi kepada LVLK yang memuat sekurang-kurangnya ruang lingkup verifikasi32, profil Pemegang Izin dan

32

(34)

informasi lain yang diperlukan dalam proses verifikasi LK. Sebelum melakukan kegiatan verifikasi lapangan, LVLK harus melaksanakan pengkajian permohonan verifikasi dan memelihara rekamannya untuk menjamin agar: persyaratan untuk verifikasi didefinisikan dengan jelas, dipahami, dan didokumentasikan; menghilangkan perbedaan pengertian antara LVLK dan Pemegang Izin; LVLK mampu melaksanakan jasa verifikasi LK yang diminta, dan menjangkau lokasi operasi Pemegang Izin.

LVLK menyelesaikan urusan kontrak kerja dengan Pemegang Izin. Dalam hal pelaksanaan verifikasi dibiayai dari dana Pemerintah, maka pelaksanaan verifikasi tidak melalui permohonan oleh Pemegang Izin kepada LVLK, namun dilakukan penetapan oleh Pemerintah dan Pemerintah menerbitkan Surat Pemberitahuan kepada Pemegang Izin yang akan diverifikasi. LVLK mengumumkan rencana pelaksanaan verifikasi LK terhadap Pemegang Izin di media massa dan website Departemen Kehutanan (www.dephut.go.id) minimal 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan verifikasi, agar Lembaga Pemantau Independen dapat memberi masukan atau informasi berkaitan dengan pelaksanaan verifikasi pada Pemegang Izin tersebut33.

peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No: P.02/VI- PPHH/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Lampiran 2 Ruang Lingkup.

33

(35)

Bagan 1. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)34

(36)

3.

Posisi Hutan Rakyat dalam SVLK

a. Pengertian Hutan Rakyat

Definisi atau pengertian dari hutan rakyat tidak terdapat atau dinyatakan secara jelas dalam peraturan-perundang-undangan tentang kehutanan namun Penulis menemukan pendapat yang diungkapkan oleh Salim bahwa Hutan Rakyat disebut juga dengan Hutan Milik35, Supriadi juga berpendapat bahwa yang dimaksud “hutan hak” adalah hutan yang berada di luar kawasan hutan dan

tumbuh di atas tanah yang dibebani hak atas tanah yang lazim disebut hutan rakyat36.

Hutan milik yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah hak milik dan yang dapat memiliki dan menguasai hutan milik adalah orang (baik perorangan maupun bersama-sama dengan orang lain)37, dan atau badan hukum.

Mengenai hutan yang berada diatas tanah yang telah memiliki alas title atau dibebani suatu hak Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 Angka (5) juga telah memberikan definisinya, yaitu berbunyi:

hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah

yang dibebani hak atas tanah38.

35 Salim, H.S., S.H., M.S., Ibid., hal., 42.

36 Supriadi, S.H., M.Hum., Op.Cit., hal., 369.

37 Penulis juga menyimpulkan bahwa hutan adat sebagai hutan milik, karena hutan adat biasanya

dimiliki secara bersama-sama oleh suatu masyarakat adat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat adat tersebut. Hutan adat juga bukan merupakan bagian dari hutan negara berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012/ tanggal 16 Mei 2013.

(37)

Melihat dari substansi dari bunyi Pasal tersebut jadi Penulis menyimpulkan bahwa hutan yang dimaksud dalam pasal tersebut juga berada di atas tanah yang telah debebani hak39 atau alas title.

Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak Pasal Angka (5) juga memberikan definisi hutan yang diatasnya telah dibebani hak atau alas title, yaitu yang berbunyi:

“hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah

yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas

title atau hak atas tanah40.

Melihat dari substansi Pasal tersebut dapat dilihat bahwa hutan yang dimaksud dalam Pasal tersebut juga merupakan hutan yang berada di atas tanah yang telah dibebani hak atas tanah atau alas title, yang membedakan adalah hutan tersebut bukanlah hutan yang berada dalam kawasan hutan baik itu hutan menurut jenisnya. Juga hak atau alas title tersebut haruslah dapat dibuktikan.

39 Hak-hak tersebut dapat berupa hak milik, hak pakai, hak jasa perkarangan, hak guna usaha,

hipotek dan lain-lain. Salim, H.S., S.H., M.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal., 100-133.

(38)

Melihat dari peraturan perundang-undangan tentang kehutanan dan pendapat dari Salim tersebut, Penulis berkesimpulan bahwa Hutan Rakyat dapat disebut juga sebagi hutan milik maupun hutan hak, kemudian Penulis mendefinisikannya sebagai berikut: “Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh

diatas tanah diluar kawasan hutan negara yang telah terbukti dibebani hak atas tanah atau alas title baik oleh orang-perorangan ataupun bersama-sama

(masyarakat) maupun badan hukum”.

b. Potensi Hutan Rakyat dalam Ekspor Kayu dan Produk Kayu

(39)

Kunjungan lapangan ke daerah Magelang, Wonosobo, Banyumas, dan Ciamis yang dilakukan BRIK tampak keinginan masyarakat untuk menanam kayu Afrika, Jati, Mahoni, dan Sengon cukup tinggi karena harga jualnya yang menarik. Sebut saja Ngandong sebuah dusun di lereng Gn. Merapi (Kecamatan Dukuh), rata-rata petani di sana memiliki Sengon seba-nyak 80—100 pohon yang ditanam di lahan pekarangan, pematang sawah atau lahan lainnya walaupun pada luasan yang tidak besar. Memiliki pohon Sengon merupakan investasi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sekolah dan memenuhi kebutuhan lainnya. Kayu-kayu yang dipanen langsung ditampung oleh industri Kayu-kayu yang terdapat di sekitar Jogyakarta dan Magelang, dan itupun belum dapat memenuhi kebutuhan industri kayu di dua daerah tersebut sehingga masih harus mendatangkan Sengon dari Jawa Timur. Begitu pula kunjungan ke Ciamis yang dikenal sebagai salah satu sentra produksi kayu Mahoni41.

Pemanfaatan dan pengusahaan hutan negara selama ini telah menghasilkan kerusakan hutan, yang berakibat pada menurunnya potensi hutan secara drastis, yang akan berdampak pada kontinyuitas penyediaan bahan baku hasil hutan dan peran hutan sebagai penyangga lingkungan.

Rehabilitasi hutan negara masih belum menunjukkan hasil yang memadai, artinya hutan negara belum dapat memberikan jaminan masa depan bagi pemenuhan bahan baku hasil hutan secara kontinyu dan bagi perannya dalam menyangga lingkungan hidup.

41 PT. BRIK Quality Service, HUTAN RAKYAT: PERAN YANG MAKIN NYATA, diakses dari

(40)

Hutan Negara masih menghadapi berbagai masalah, utamanya yang berkaitan dengan masalah sosial-kemasyarakatan, misal pencurian, perambahan, sengketa kepemilikan, illegal logging dsb, yang penyelesaiannya belum jelas waktunya.

Hutan rakyat sebagai hutan yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat atau hutan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat atau hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat, selama ini menunjukkan kondisi yang relatif utuh, bahkan dibeberapa tempat menunjukkan peningkatan potensinya. Pemanfaatan hutan rakyat selama ini belum optimal, sehingga belum memberikan manfaat yang memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan hutan rakyat secara benar akan memberikan jaminan kontinyuitas penyediaan bahan baku dan jaminan kontinyuitas dalam menyangga lingkungan hidup42.

Dapat dilihat bahwa hutan rakyat sangat berfungsi dan bermanfaat untuk keberlangsungan bahan baku kayu untuk Negara, kebutuhan pasar yang masih sangat tinggi atas kayu Indonesia membuat Negara membutuhkan alternative bahan baku kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan ekspor kayu yang tidak mungkin hanya jika dihasilkan dari hutan Negara saja.

Kayu rakyat juga sudah sejak lama dimanfaatkan oleh industri mebel, produk yang dihasilkan dari hutan rakyat mudah untuk menembus pasar ekspor karena legalitasnya tak diragukan. Apalagi, produk berbasis kayu rakyat bersaing

42 Dian Pengusahaan Hutan Rakyat, Hutan rakyat untuk Kesejahteraan, diakses dari

(41)

dalam hal mutu dan harga dengan produk yang berbasis kayu alam. Konsumen menyukai produk yang berkualitas dengan harga terjangkau. Kualifikasi ini bisa dicapai dengan mudah oleh kayu rakyat..

Saat ini, 100% bahan baku Jawa Furni menggunakan kayu rakyat. Perusahaan mebel itu mampu memproduksi sekitar 20 kontainer produk jadi mebel yang kesemuanya ditujukan untuk pasar ekspor. Dari produk yang diekspor, sekitar 60% ditujukan untuk wilayah Eropa, 20% untuk wilayah Amerika Serikat dan Kanada, 10% pasar Timur Tengah dan 10% sisanya untuk Eropa Timur.

Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap hutan rakyat, pihaknya bersama dengan para pihak terkait mendorong pengelolaan hutan rakyat yang lestari yang dibuktikan dengan sertifikasi.

Pengelolaan hutan rakyat yang lestari sangat menguntungkan bagi masyarakat karena memastikan keseimbangan alam. Hutan rakyat yang lestari juga memastikan masyarakat bisa secara berkelanjutan mendapat nilai ekonomi dari hutan rakyat43.

c. Posisi Hutan Rakyat dalam Skema SVLK

Pada Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan

43 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa barat, Kayu Rakyat Ungguli Produksi Perhutani, diakses dari

(42)

Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak. Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan hak44, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada diluar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alats titel atau alas hak atas tanah, hasil hutan berupa kayu juga harus dinilai dan diverifikasi oleh LP&VI yang berdasarkan pada standar verifikasi legalitas kayu.

Pemilik hutan hak/hutan rakyat juga diwajibkan untuk memiliki Sertifikat Legalitas Kayu namun kewajiban tersebut tidak diwajibkan untuk pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki sertifikat PHPL skema sukarela (voluntary), pemilik hutan hak/hutan rakyat dapat mengajukan verifikasi LK secara kelompok (group certification), pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode pertama dibebankan kepada Kementrian Kehutanan bagi pemilik hutan hak/hutan rakyat yang pelaksanaanya dilakukan secara berkelompok (group certification), pemilik hutan hak/hutan rakyat memiliki hak keberatan atas keputusan dalam setiap proses dan atau hasil penilaian dan verifikasi serta melakukan melakukan banding ke LPHL atau LVLK atau juga pemilik hutan hak/ hutan rakyat dapat mengajukan keluhan kepada KAN untuk mendapatkan penyelesaian.

Pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki Sertifikat LK dapat membubuhkan Tanda V Legal, dalam penilaian dan verifikasi yang dilakukan

44 Pendapat penulis tersebut telah penulis jelaskan pada sub bab 3 Point a Pengertian hutan rakyat.

(43)

oleh LPHPL atau LVLK akan mendapat laporan dari penilaian dan verifikasi yang disampaikan olah LPHPL atau LVLK pemilik hutan hak/hutan rakyat wajib untuk memiliki Sertifikat LK selambat-lambatnya tanggal 31 desember 2013.

Penilaian dan verfikasi yang berdasarkan pada Standar Verfikasi Legalitas Kayu pada hutan hak/hutan rakyat yang terdapat dalam Lampiran 2.3 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 tanggal 17 Desember 2012 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu berprinsip bahwa kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya yang berkriteria keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu dan perdaganganya, yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:

(44)

mengkonfirmasi ke BPN yang kemudian norma penilaiannya, “memenuhi” jika dokumen tersedia, lengkap dan absah, yang dapat

berupa: sertifikat hak milik, leter B, Girik, atau leter C atau Sertifikat HGU atau Sertifikat Hak Pakai atau surat atau dokumen lainnya yang diakui oleh BPN dengan cara mengkonfirmasi ke BPN, metode verifikasi untuk verifier dokumen legalitas pemegang HGU yang sah yang mencakup Akte Perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, dokumen lingkungan, dokumen K3 serta KKB/ peraturan perusahaan yang relevan adalah periksa keabsahan dan kelengkapan dokumen legalitas pemegang HGU dengan norma penilaiannya “memenuhi” jika kelengkapan dan keabsahan

dokumen legalitas pemegan HGU dipenuhi seluruhnya, sedangkan metode verifikasi untuk verifier peta/sketsa areal hutan hak/hutan rakyat dan batas-batasnya di lapangan adalah periksa keberadaan peta/sketsa lokasi dan juga memeriksa kejelasan tanda batas areal hutan. Dan norma penilaiannya “memenuhi” jika tersedia peta/sketsa lokasi serta terdapat tanda-tanda jelas (dapat berupa patok, ataupun pematang, atau tanaman pagar).

2) Unit kelola (baik individu maupun kelompok) mampu membuktikan dokumen angkutan yang sah. Verifiernya adalah dokumen angkutan hasil hutan yang sah dan metode verifikasinya adalah periksa keabsahan dokumen angkutan hasil hutan yang sah dan norma penilaiannya “memenuhi” jika dokumen angkutan hasil hutan yang sah diterbitkan oleh

(45)

3) Unit kelola menunjukkan bukti pelunasan pungutan pemerintah sektor kehutanan dalam hal pemungutan atas tegakan yang tumbuh sebelum pengalihan hak atau penguasaan yang verifiernya adalah bukti pembayaran hak Negara berupa PSDH/DR dan pengganti nilai tegakkan dengan metode verifikasi yaitu memerikasa kelengkapan, keabsahan dan keberadaan bukti pembayaran DR dan PSDH serta pengganti nilai tegakan dan norma penilaiannya “memenuhi” jika unit kelola dapat menunjukkan

bukti serot PSDH dan DR serta pengganti nilai tegakan sesuai dengan tagihan.

4.

SVLK Sebagai Syarat Perdagangan Internasional Kayu dan

Produk Kayu

a. Pengertian Perdagangan Internasional

Istilah “perdagangan internasional” (international trade) bisa dipahami dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Dalam arti luas, istilah “perdagangan

internasional” dimaknai sebagai setiap aktivitas transaksi perdagangan yang

melintasi batas-batas negara, sedangkan dalam arti sempit “perdagangan internasional” dipahami sebagai jual-beli internasional (international sales) yang merupakan salah satu bentuk transaksi bisnis internasional (international business transactions) yang terutama melibatkan pihak-pihak swasta. Untuk selanjutnya, perdagangan internasional dalam arti sempit akan disebut “jual-beli internasional”. Perdagangan internasional dalam arti luas diatur oleh berbagai

(46)

baik yang bersifat global (seperti Perjanjian GATT/WTO), regional (seperti Perjanjian Asean Free Trade Area/AFTA) maupun perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral. Sedangkan jual-beli internasional dalam terutama didasarkan pada kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam jual-beli internasional itu sendiri, seperti penjual (seller), pembeli (buyer), bank dan pengangkut. Beberapa norma yang mengikat jual-beli internasional berkembang melalui praktek-praktek hukum kebiasaan dalam jual-beli yang dikenal dengan istilah lex mercatoria. Namun, sebagai hubungan hukum yang bersifat perdata, jual-beli internasional terutama tetap didasarkan pada kesepakatan di antara para pihaknya.

(47)

b. Isu Perlindungan Hutan dalam Norma-norma Perdagangan Internasional

Meskipun terutama didasarkan pada kesepakatan di antara para pihak, jual-beli internasional juga tunduk pada norma-norma mengikat (binding norms)

yang dimaksudkan untuk mengatur aspek-aspek khusus yang dipandang penting terkait dengan proses ataupun objek jual-beli internasional. Norma-norma dimaksud tercermin di dalam aspek pengaturan publik yang terdapat di dalam instrumen-instrumen hukum internasional yang mengatur tentang hukum perdagangan internasional dalam makna luas.

Meskipun hukum perdagangan internasional terutama mengatur aspek perdagangan, dalam kenyataan ternyata hingga cakupan tertentu aspek-aspek non-perdagangan juga menjadi sorotan. Beberapa aspek-aspek yang sebenarnya bersifat non-perdagangan namun selama ini menjadi perhatian untuk diatur dalam hukum perdagangan internasional di antaranya adalah persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), kesehatan (sanitasi) serta persoalan kelestarian lingkungan hidup.

(48)

labour) yang dapat menekan biaya produksi barang harus dianggap sebagai salah satu bentuk ketidakjujuran dalam penentuan harga (unfair pricing).

Isu kelestarian lingkungan hidup juga sudah cukup lama dicoba dikaitkan dengan perdagangan internasional. Salah satu kasus yang menonjol terkait dengan isu lingkungan hidup dalam perdagangan internasional adalah kasus sengketa penangkapan Tuna antara AS dan Mexico45 yang pada akhirnya diselesaikan melalui forum WTO.

Hutan dianggap sebagai aset dunia yang memiliki peran penting untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dunia. Oleh karena itu, mempertahankan luasan hutan dan melindungi keberadaan hutan merupakan salah satu agenda global yang cukup penting. Untuk itu, berbagai kesepakatan tentang perlindungan hutan telah dibuat oleh negara-negara, baik melalui instrumen yang langsung berkaitan dengan perlindungan hutan, maupun melalui instrumen yang secara tidak langsung mengatur perlindungan hutan, misalnya melalui pengaturan norma-norma perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan hutan.

45

(49)

c. SVLK sebagai Syarat Ekspor Kayu dan Produk Kayu

Munculnya SVLK tidak lepas dari negosiasi panjang antara Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa. Proses menuju SVLK sudah dimulai sejak tahun 2007 saat negara-negara Uni Eropa yang merupakan konsumen bagi 15% produk kayu jadi Indonesia menghendaki agar produk kayu (termasuk mebel) yang diekspor ke negara-negara Uni Eropa dari Indonesia hanyalah produk kayu yang berasal dari kayu legal (bukan hasil pembalakan liar). Legalitas kayu yang dipergunakan untuk membuat berbagai produk kayu harus terjamin legalitasnya dan untuk itu produk kayu tersebut harus dilengkapi dengan sertifikat legalitas (certificate of legality).

Skema untuk menjamin legalitas produk kayu yang dirundingkan antara Indonesia dengan Uni Eropa tertuang dalam sebuah kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa yang disebut Perjanjian FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement) yang disepakati kedua belah pihak pada bulan April 2011.

Di pihak Indonesia, substansi perjanjian FLEGT-VPA tersebut kemudian diimplementasikan melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (selanjutnya disebut “Permendag No.64/2012”). Permendag No.64/2012 itu pada

(50)

Ekspor produk industri kehutanan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan industri kehutanan yang telah mendapat pengakuan Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) dan perusahaan perdagangan di bidang ekspor yang telah mendapat pengakuan ETPIK Non-Produsen (Pasal 3 ayat (1) Permendag No.64/2012)

(a) Ekspor produk industri kehutanan pada dasarnya harus dilengkapi dengan Dokumen V-Legal (Pasal 14 ayat (1) Permendag No. 64/2012). Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi standar verifikasi legalitas kayu. Dokumen V-Legal ini adalah output dari Sistem Verifikasi legalitas Kayu (SVLK).

(b) Dokumen V-Legal digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yang diwajibkan untuk penyampaian pemberitahuan pabean ekspor kepada kantor pabean (Pasal 14 ayat (3) Permendag No. 64/2012).

(c) Dokumen V-Legal diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK), yaitu lembaga berbadan hukum Indonesia yang memiliki kompetensi untuk melakukan verifikasi legalitas kayu (Pasal 14 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 5 Permendag No.64/2012)

(51)

Dalam perjalanan waktu, pemberlakuan kewajiban melengkapi dokumen V-Legal khususnya bagi Produk Industri Kehutanan dalam kategori Kelompok B (furniture) mengalami hambatan. Masih banyak produsen furniture, terutama dalam skala UMKM yang belum mampu mendapatkan Dokumen V-Legal karena alasan prosedur dan biaya yang dirasa mahal. Melihat kenyataan tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 81/M-DAG/PER/12/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (selanjutnya disebut “Permendag No. 81/2013”).

Permendag No. 81/2013 pada intinya menunda pemberlakuan kewajiban melengkapi dokumen V-Legal untuk Produk Industri Kehutanan yang ada dalam Lampiran I Kelompok B dari tanggal 1 Januari 2013 menjadi tanggal 1 Januari 2015 (Pasal I Permendag No.81/2013).

(52)

tidak dipenuhi, akibatnya barang yang dijual tidak akan lolos pabean (duty clearance) negara penjual.

Di sisi yang lain, tanpa dokumen V-Legal yang sah, otoritas pabean di negara-negara Uni Eropa yang menjadi tujuan ekspor juga tidak akan memberikan

import clearance. Oleh karena itu, sebagai sebuah syarat dalam ekspor produk industri kehutanan, SVLK yang terwujud dalam dokumen V-Legal merupakan syarat yang mengikat dan tidak dapat diabaikan dalam transaksi jual-beli internasional.

B. ANALISIS

1. Kedudukan SVLK sebagai instrumen untuk menjaga keutuhan dan kelestarian hutan.

Melihat dari peraturan perundang-undangan kehutanan yang mengatur mengenai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terlihat dari tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut yaitu mengenai pengurangan dan pencegahan illegal logging atau pembalakan liar46 yang berdampak langsung pada kerusakan lingkungan, dengan SVLK hasil hutan berupa kayu akan terlacak secara jelas baik dari asal-usulnya, ataupun keabsahaanya. SVLK secara khusus melindungi hasil hutan terutama kayu atau dapat Penulis simpulkan pohon-pohon kayu di dalam hutan yang memiliki fungsi sangat besar terutama apabila kayu

(53)

tersebut berasal dari hutan lindung yang mempunyai fungsi yang menjadi pencegah debit air tinggi, erosi dan sebagainya, sehingga dengan SVLK kayu akan dapat ditelusuri dari mana asalnya misal apakah kayu tersebut berasal dari hutan-hutan yang dapat diambil hasil hutannya yaitu kayu. Karena dalam instrumen hukum kehutanan hutan lindung dapat dimanfaatkan47 kecuali untuk kayunya. Maka apabila ada kayu yang berasal dari hutan lindung maka dapat dipastikan bahwa kayu tersebut adalah illegal. Jadi dapat disimpulkan dengan SVLK kayu-kayu yang berasal dari hutan-hutan di indonesia akan memiliki identitas, kayu dari hutan-hutan di Indonesia tidak dapat ditebang secara sembarangan oleh para pemilik hak, maupun para pemegang izin atas hutan maupun oleh pembalak-pembalak liar, sehingga kelestarian hutan akan terjaga penebangan pohon akan terkontrol dan terkendali. SVLK adalah sebagai instrumen perlindungan yang memproteksi hutan secara ketat karena tidak hanya berstandart nasional namun juga berstandart internasional, karena dengan SVLK kayu-kayu illegal tidak akan dapat diperdagangkan48.

2. Kedudukan Hutan Rakyat dalam SVLK

Hutan hak/hutan rakyat mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Sistem Verifikasi Legalitas kayu melihat besarnya pengaruh hutan hak/hutan rakyat terhadap pasar internasional terutama ekspor kayu dari Indonesia ke luar Indonesia, minat pasar internasional terhadap kayu-kayu maupun produk kayu

47 Lihat sub bab 1 point d Kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum kehutanan”,

Paragraph ke 2 hal 30, lihat juga UU Kehutanan Pasal 26-27.

(54)

dari hutan rakyat yang lebih disukai49 oleh konsumen internasional. Dan juga hutan hak/hutan rakyat diakui kedudukannya oleh hukum.

Melihat dari substansi Pada Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 jo Permenhut P.68/Menhut-II/2011 jo Permenhut P.45/Menhut-II/2012, jo

Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak. Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan hak, hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada diluar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alats titel atau alas hak atas tanah, hasil hutan berupa kayu juga harus dinilai dan diverifikasi oleh LP&VI yang berdasarkan pada standar verifikasi legalitas kayu.

Pemilik hutan hak/hutan rakyat juga diwajibkan (pemilik hutan hak/hutan rakyat sebagai subjek SVLK) untuk memiliki Sertifikat Legalitas Kayu namun kewajiban tersebut tidak diwajibkan untuk pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki sertifikat PHPL skema sukarela (voluntary), pemilik hutan hak/hutan rakyat dapat mengajukan verifikasi LK secara kelompok (group certification), pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode pertama dibebankan kepada Kementrian Kehutanan bagi pemilik hutan hak/hutan rakyat yang pelaksanaanya dilakukan secara berkelompok (group certification), pemilik hutan hak/hutan rakyat memiliki hak keberatan atas keputusan dalam setiap proses dan atau hasil penilaian dan verifikasi serta melakukan melakukan

49 Lihat sub bab 3 point b “potensi hutan rakyat dalam ekspor kayu dan produk kayu bab ini,

(55)

banding ke LPHL atau LVLK atau juga pemilik hutan hak/ hutan rakyat dapat mengajukan keluhan kepada KAN untuk mendapatkan penyelesaian.

Pemilik hutan hak/hutan rakyat yang telah memiliki Sertifikat LK dapat membubuhkan Tanda V Legal, dalam penilaian dan verifikasi yang dilakukan oleh LPHPL atau LVLK akan mendapat laporan dari penilaian dan verifikasi yang disampaikan olah LPHPL atau LVLK pemilik hutan hak/hutan rakyat wajib untuk memiliki Sertifikat LK selambat-lambatnya tanggal 31 desember 2013.

Penilaian dan verfikasi yang berdasarkan pada Standar Verfikasi Legalitas Kayu pada hutan hak/hutan rakyat yang terdapat dalam Lampiran 2.3 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2012 tanggal 17 Desember 2012 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu berprinsip bahwa kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya yang berkriteria keabsahan hak milik dalam hubungannya dengan areal, kayu dan perdaganganya, yang juga memiliki beberapa indikator yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 telah ditetapkan perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard

Peraturan Menteri Kehutanan No: P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilalan Kinerja Pengelolaan Hutan Produksl Lestari dan VerlfikasiLegalitas Kayu pada Pemegang

Melalui proses multipihak tersebut Kementerian Kehutanan telah menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.38/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Standard dan

P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No SK.62/PHPL/SET.5/KUM1/12/2020 tentang Pedoman, Standar dan/atau

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 tanggal 19 Juni 2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu

P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No SK.62/PHPL/SET.5/KUM1/12/2020 tentang Pedoman, Standar dan/atau

Memenuhi  Terdapat kelengkapan dokumen legal terkait dengan izin pemanfaatan hutan, berupa SK Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.307/Menhut-II/2010, tanggal 17

bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan