ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada 220 orang responden. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Perhitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Riasnugrahani dengan menggunakan teknik korelasi dari pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dan reliabilitas 0.8181 yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah sebanyak 75% dan yang memiliki derajat self-compassion yang tinggi sebanyak 25%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar dari siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang tergolong rendah. Saran yang dapat diberikan adalah meneliti lebih lanjut mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi.
ABSTRACT
This research is conducted to determine the degree of self-compassion in students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung. This research was conducted to 220 students. This research used a descriptive methods with a survey technique. Measuring instruments used a measuring tool made by Neff (2003 ) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani in 2012. After that , the instruments translated back into English by Sarintohe in 2012 and has been approved by Neff. Validity and reliability calculations performed by Riasnugrahani with Pearson correlation and Cronbach alpha of the 26 items Valid 0.8181 and reliability is high. Based on the result of data processing , it is known that the students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung has degree low self-compassion as much as 75 % and that has a degree of self - compassion were higher by 25 %. Conclusions of this research are mostly of students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung has a degree of self-compassion is low. The suggestion was to further examine the correlation of self- compassion with the factors that affect.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN …………. ...
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR BAGAN ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Maksud Penelitian ... 8
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ... 8
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 8
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9
1.5 Kerangka Pikir ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Self-Compassion ... 22
2.1.1 Komponen dari Self-Compassion ... 23
2.1.2 Kaitan Antar Komponen ... 29
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion ... 31
2.1.3.1 Faktor Internal ... 31
2.1.3.2 Faktor Eksternal ... 36
2.1.4 Manfaat Self-Compassion ... 40
2.1.5 Perbedaan Pengertian Self-Compassion dengan Self Pity, Self Indulgence, Self Esteem ... 42
2.2 Masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia………. 44
2.2.1 Tionghoa Totok dan Peranakan………. 44
2.2.3 Ajaran-Ajaran Pada Masyarakat Tionghoa………... 46
2.3 Values ... 52
2.3.1 Definisi ... 52
2.3.2 Chinese Values………... 55
2.4 Culture………….. ... 58
2.4.1 Definisi ... 58
2.5 Acculturation ... 61
2.5.1. Akulturasi Kelompok dan Individual……… 61
2.5.2. Strategi Akulturasi……… 63
2.6 Adolescence ... 67
2.6.1 Definisi dan Karakteristik Adolescence……….. 67
2.6.2 Perkembangan Kognitif pada Adolescence……… 68
2.6.3 Kognisi Sosial pada Adolescence………. 69
2.6.4 Perkembangan Sosio-emosional pada Adolescence………. 70
2.6.5. Values pada Adolescence……….…………. 71
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 73
3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 73
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 74
3.3.1 Variabel Penelitian ... 74
3.3.2 Definisi Konseptual ... 74
3.3.3 Definisi Operasional ... 74
3.4 Alat Ukur ... 75
3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 75
3.4.2 Proses Pengisian Alat Ukur ... 77
3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 77
3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 78
3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 79
3.3.2 Validitas Alat Ukur ... 79
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sample ... 80
3.5.1 Populasi Sasaran ... 80
3.5.2 Karakteristik Populasi ... 80
3.5.3 Teknik Penarikan Populasi ... 80
3.6 Teknik Analisis Data ... 81
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ………... 82
4.2 Hasil Penelitian ………. 83
4.3 Pembahasan ……….. 85
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 96
5.2 Saran ……….. 97
5.2.1 Saran Teoretis ……….………….. 97
5.2.2 Saran Praktis ………..……….. 98
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RUJUKAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Self Compassion
Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesioner Self Compassion
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia
Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion
Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan
Komponen Self-Kindness
Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan
Komponen Common Humanity
Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion
Lampiran 2 : Lembar Persetujuan
Lampiran 3 : Tabel Data Mentah
Lampiran 4 : Validitas dan Reliabilitas kuesioner Self-Compassion
Lampiran 5 : Kuesioner
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia terdiri atas banyak suku, bahasa, budaya, etnis dan agama.
Selain etnis yang berasal dari Indonesia asli, terdapat juga etnis yang berasal dari
bagian daerah lain, dan salah satunya adalah etnis Tionghoa. Sebagai etnis yang
mewarisi budaya dari negeri Tiongkok yang merupakan salah satu budaya tertua di
dunia, budaya etnis Tionghoa didasari oleh values (nilai-nilai) yang disebut juga
sebagai Chinese Values. Pada saat para imigran Tionghoa datang ke Indonesia dari
negeri Tiongkok, mereka turut membawa Chinese Values dalam diri mereka dan
mewariskannya kepada keturunan mereka. Chinese Values memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan values yang lain, karena salah satu dimensi Chinese Values
berasal dari Confucian Ethos yang merupakan nilai fundamental dalam masyarakat
Tiongkok. (Bond, 2000).
Confucian Ethos berisi mengenai ajaran keseimbangan. Ajaran ini mengungkapkan suatu hal “timbal balik” seperti yang terungkap dalam bentuk
“jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang anda tidak inginkan”. SMA
“X” merupakan salah satu sekolah swasta di kota Bandung yang berdasarkan
nilai-nilai kristiani. Sebanyak 90% siswa/siswi di SMA “X” memiliki etnis Tionghoa.
Ajaran keseimbangan yang terdapat dalam Confucian Ethos tersebut dapat
2
keberadaan Chinese values pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang ada
sekarang ini terlihat sudah bercampur dengan nilai lain seperti misalnya
nilai-nilai budaya Sunda dan nilai-nilai-nilai-nilai ajaran agama Kristen.
Salah satu contoh Value dalam Chinese Values yaitu melakukan timbal balik
dan membalas budi jika mendapatkan pertolongan/ hadiah dari orang lain. Beberapa
contoh lainnya yaitu berbakti kepada orang tua, bertoleransi terhadap orang lain,
hidup harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, tahu malu dan
sebagainya (Bond, 2000). Value-value yang ada menunjukkan bahwa Chinese Values
memiliki tuntutan kepada seseorang untuk dapat melakukan compassion for others.
Seperti hal nya yang terjadi pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”, mereka
juga dituntut untuk dapat melakukan compassion for others.
Self-compassion merupakan keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu, memberikan pengertian pada diri
sendiri tanpa menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat
suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Self-compassion
seseorang dibangun oleh tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan
mindfulness (Neff, 2011). Menurut Neff (2011), bila seseorang ingin melakukan compassion for others dengan baik, harus diimbangi dengan adanya self-compassion atau compassion terhadap diri sendiri.
Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” memasuki masa late adolescence
yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Pada masa late adolescence remaja
3
sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Santrock(2011) yaitu remaja mengalami
perubahan yang mencakup kognitif, biologis dan sosial emosional. Remaja memiliki
emosi yang gampang berubah-rubah dan menjadi lebih sensitif. Pada masa-masa ini
banyak mimpi dan harapan yang dimiliki oleh remaja. Dalam lingkungan
pembelajaran sehari-hari di sekolah tidak jarang siswa/siswi memiliki keinginan besar
untuk berkompetisi dalam sekolahnya. Bagi beberapa siswa yang memiliki bakat dan
minat tertentu biasanya lebih mengasah kemampuannya untuk dapat lebih
dikembangkan. Mereka mengikuti beberapa kursus, berlomba-lomba meraih prestasi
dan popularitas yang dapat dibanggakan melalui perlombaan atau kompetisi.
Remaja memiliki keinginan untuk bisa menonjolkan dirinya baik dalam hal
prestasi juga dalam penampilan fisik agar bisa dianggap lebih menarik oleh lawan
jenis misalnya. Tidak jarang saat mengejar keinginan ini mereka juga mungkin saja
mengalami suatu kegagalan dan menimbulkan tekanan terhadap dirinya sendiri.
Tekanan yang dihadapi remaja dapat membuat emosinya menjadi lebih sensitif.
Ketika remaja sedang memiliki emosi yang tidak stabil, hal yang dianggap biasa oleh
orang lain dapat menjadi sesuatu yang sensitif. Remaja yang lebih sensitif contohnya
menunjukkan sikap yang cepat marah dan mudah tersinggung.
Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat
self-compassion yang tinggi akan lebih mampu melihat apa yang benar dan salah ketika menghadapi suatu kegagalan, sehingga dapat mengarahkan dirinya untuk bangkit dari
kegagalan yang dimiliki. Selain itu juga, adanya Chinese Values yang dimiliki oleh
4
mereka. Melalui adanya compassion for others tersebut, maka siswa/siswi etnis
Tionghoa di SMA “X” akan dapat memiliki self-compassion yang tinggi. Sementara
itu siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat self-compassion
yang rendah ketika mengalami suatu kegagalan maka dirinya akan bereaksi
emosional secara berlebihan, terus menerus mengkritik diri dan menyalahkan dirinya
sehingga dapat memengaruhi pola pikirnya dalam bertindak.
Menurut hasil survey awal yang di dapat dari 60 orang yang mencakup tiga
jenjang kelas (X, XI, dan XII) pada siswa/siswi etnis Tionghoa yang berada pada di
SMA “X” kota Bandung” diperoleh gambaran mengenai masalah yang sering dialami
oleh siswa/siswi tersebut. Sebanyak 73% masalah yang sering terjadi adalah siswa
banyak merasa belum dapat memenuhi nilai ketuntasan kelulusan minimal yang telah
ditetapkan oleh pihak sekolah dengan baik sehingga banyak siswa merasa mengalami
kegagalan. Selain itu, 26% masalah lain yang banyak dialami oleh siswa/siswi di
SMA “X” ini adalah materi pelajaran yang dianggap terlalu sulit. Saat tidak dapat
mengerti materi pelajaran yang dianggap sulit, hal yang terjadi pada siswa/siswi di
SMA “X” membuat mereka malas belajar dan cepat menyerah serta merasa gagal
dalam menentukan target yang telah ditetapkan oleh mereka sebelumnya. 1%
kegagalan lain yang dialami oleh siswa/siswi di SMA “X” diantaranya adalah pernah
mengalami kegagalan saat mengikuti perlombaan tertentu.
Adapun sebanyak 53% siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA”X” tidak
menyalahkan dirinya saat menghadapi kegagalan. Mereka menyatakan bahwa
5
guru yang menyampaikan materi di kelas dirasa kurang dapat menjelaskan dengan
jelas. Hal tersebut dinamakan self-kindness yaitu bersikap hangat dan memahami diri
sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa
menghakimi diri (Neff, 2003). Sebanyak 47% siswa/siswi etnis Tionghoa lainnya
menyatakan bahwa kegagalan yang dialaminya disebabkan karena diri sendiri yang
kurang dapat mengatur waktu belajar dengan baik, lebih mementingkan kesenangan
diri sendiri, malas belajar dan cenderung menunda-nunda waktu belajar, kurang
serius dalam belajar, tidak berkonsentrasi saat guru menerangkan dan juga kurangnya
persiapan saat akan menghadapi pelajaran atau beberapa mata pelajaran tertentu yang
dianggap sulit. Hal tersebut dinamakan self-judgement yaitu sikap individu yang
mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau penderitaan (Neff,
2003).
Dari hasil yang diperoleh dari siswa/siswi di SMA “X” 93% menyatakan
bahwa kegagalan yang mereka alami semuanya merupakan hal yang biasa dan
banyak orang yang mengalami kegagalan tersebut. Adapun alasan siswa/siswi ialah
mereka menganggap kegagalan yang dialami sebagai hal yang biasa dialami oleh
setiap orang. Penghayatan yang mereka rasakan saat menghadapi kegagalan
diantaranya ialah merasa kecewa, sedih, memikirkan mengapa mereka mengalami
kegagalan tersebut, menerima dengan lapang dada, dan juga ada yang menghayatinya
dengan membiarkan kegagalan yang telah terjadi. Ketika menghadapi kegagalan ini
siswa/siswi di SMA “X” mengatakan hal tersebut merupakan suatu kewajaran yang
6
pernah mengalami kegagalan” dan “Tidak ada orang yang tidak pernah gagal”. Hal
ini dinamakan common humanity yaitu kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan
kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia,
bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Sisanya sebanyak 7% siswa/siswi
etnis Tionghoa di SMA “X” menganggap bahwa kegagalan yang mereka alami
merupakan hal yang jarang dan hampir tidak pernah dialami oleh semua orang. Hal
ini menunjukkan adanya isolation yaitu saat individu menganggap bahwa hanya
dirinya yang mengalami kegagalan dan menganggap bahwa kegagalan bukanlah
kejadian yang pasti dialami oleh semua manusia (Neff, 2003).
Sebanyak 86% Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” menjawab saat
menghadapi kegagalan mereka akan menginstropeksi diri, belajar dengan lebih giat
lagi, menetapkan target yang lebih baik, meminta saran dari orang tua, mencoba
melakukan usaha yang lebih baik lagi, menghibur diri untuk tidak terus memikirkan
kegagalan tersebut, dan juga berdoa. Mereka mengatakan kegagalan tersebut tidak
begitu berpengaruh terhadap diri mereka dan cenderung membiarkan kegagalan
tersebut lewat begitu saja serta tidak memikirkannya terlalu berlarut-larut. Hal ini
dinamakan mindfulness yaitu kemampuan individu untuk menerima dan melihat
secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan dengan apa
adanya, tanpa disangkal atau ditekan (Neff, 2003). Sisanya sebanyak 14% siswa/siswi
etnis Tionghoa di SMA ”X” menjawab bahwa mereka akan terus menerus
merenungkan kegagalan tersebut, merasa cemas berlebihan dan kemudian memilih
7
identification yaitu saat individu menyangkal atau bereaksi secara berlebihan terhadap kegagalan yang dialami (Neff, 2003).
Penjabaran komponen tersebut menunjukkan bahwa siswa/siswi etnis
Tionghoa di SMA “X” memiliki derajat self-compassion yang bervariasi. Hal ini juga
ditunjukkan oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan menyeimbangkan
tuntutan yang diharapkan dari pihak sekolah maupun orang tua dan budaya yang
dimilikinya dengan tetap melakukan compassion terhadap dirinya. Dari uraian
tersebut, dapat dikatakan self-compassion memiliki cukup peran dalam masa remaja.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana derajat self-compassion
pada remaja khususnya pada etnis Tionghoa.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran self-compassion
pada siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” Kota Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 . Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang derajat
8
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat self-compassion dan
faktor-faktor yang mempengaruhi siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Kota
Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoretis
Memberikan informasi tambahan pada bidang ilmu psikologi perkembangan
dan kesehatan mental mengenai self-compassion pada siswa/siswi Etnis
Tionghoa di SMA “X” Kota Bandung.
Memberikan informasi tambahan dan referensi bagi peneliti lain yang
berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion yang
diterapkan dalam bidang ilmu psikologi pendidikan dan perkembangan.
1.4.2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi-mengenai gambaran self-compassion dan informasi
kepada guru BK, wali kelas dan orang tua murid agar dapat menciptakan
suasana yang dapat mendukung terciptanya self-compassion lebih baik lagi
pada siswa/siswi untuk meningkatkan kesejahteraan siswa/siswi nya dan
9
Memberikan informasi kepada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”
dalam rangka untuk meningkatkan self-compassion yang dimiliki.
1.5. Kerangka Pikir
Etnis Tionghoa adalah salah satu dari banyak etnis yang ada di negara
Indonesia. Pada awalnya, terdapat dua pembagian jenis masyarakat etnis Tionghoa,
yaitu Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan. Istilah Tionghoa totok diberikan
kepada etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia, namun kurang memiliki orientasi ke
Indonesia, lebih berorientasi ke negara Tiongkok, dan tidak melakukan akulturasi
dengan budaya setempat. Istilah Tionghoa peranakan diberikan kepada etnis
Tionghoa yang tinggal di Indonesia, memiliki orientasi ke negara Indonesia dan
melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Berbagai penelitian (Suryadinata
2002; dan Tan, 2008) mengatakan orang Tionghoa yang dahulunya datang sebagai
perantau telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bond dan sekelompok peneliti yang
dikenal secara kolektif sebagai Chinese Culture Connection, ditemukan hasil bahwa
persepsi value yang dimiliki oleh orang-orang dari etnis Tionghoa sangatlah berbeda
dengan penelitian yang dilakukan terhadap etnis lain. Etnis Tionghoa memiliki suatu
pemahaman values yang berbeda. Value didefinisikan sebagai suatu belief mengenai
tujuan yang diinginkan yang mengarahkan perilaku spesifik (Schwartz & Bilsky,
10
proses kognitif seseorang. Chinese Values adalah beliefs yang bertahan yang
mendasari cara bertingkah laku (mode of conduct) atau keadaan akhir yang dianggap
ideal (end state of existence) yang secara personal lebih dianggap penting dan disukai
oleh etnis Tionghoa. Meskipun kebanyakan values yang dianut oleh etnis Tionghoa
bersifat universal, tetapi terdapat juga values unik yang bernuansa Confucian
(Hofstede, 1991). Ajaran Confucian mengajarkan tentang adanya keseimbangan yang
harus dilakukan dalam diri seseorang.
Dalam Chinese Values terdapat ajaran yang terkait dengan compassion for
others dan self-compassion pada remaja etnis Tionghoa. Beberapa contoh Chinese Values yang menunjukkan adanya compassion for others diantaranya: berbakti kepada orang tua (patuh kepada orang tua, menghormati orang tua, menghormati dan
menghargai leluhur yang telah meninggal, menafkahi dan menghidupi orang tua),
bertoleransi terhadap orang lain, hidup harmonis, dapat menyesuaikan diri dengan
orang lain, melakukan timbal balik dan membalas budi jika mendapatkan
pertolongan/hadiah dari orang lain, kebaikan hati, memaafkan orang lain, mengasihi
orang lain, solider dengan orang lain, kompak, membalas budi jika mendapat
kebaikan dan membalas dendam jika mendapat kejahatan, menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan situasi dan menghormati tradisi etnis pribadi. Selain itu juga ada
beberapa Chinese Values yang menunjukkan tentang self-compassion diantaranya:
mengambil jalan tengah, tidak berlebihan, tahu malu, stabilitas dalam hidup dan
11
Menurut Santrock (2007) remaja digolongkan kedalam dua tahapan yaitu
early adolescence dan late adolescence. Early adolescence adalah masa remaja yang berkisar pada waktu individu memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah
pertama dan pada masa ini terjadi banyak perubahan (pubertas), sedangkan late
adolescence merujuk pada bagian akhir dari dekade kedua dalam kehidupan mereka. Pada kebanyakan budaya di dunia saat ini, masa adolescence dimulai pada usia 10-13
tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa late adolescence dimulai pada usia
15 tahun. Remaja mengalami perubahan dalam tiga ranah yang dijelaskan oleh
Santrock (2007) yaitu proses perkembangan biologis, perkembangan kognitif, dan
perkembangan sosio-emosional. Pada proses perkembangan biologis remaja akan
mengalami perubahan hormonal yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam
hal fisik seperti pertumbuhan tinggi dan kematangan seksual. Proses perkembangan
kognitif remaja meliputi perubahan dalam hal pikiran, inteligensi dan bahasa.
Selanjutnya pada proses perkembangan sosio-emosional remaja mengalami
perubahan emosi dalam hubungan individu dengan orang lain, dalam emosi, dan
peran dalam konteks sosial.
Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar
dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri
ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa
menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami
self-12
kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self-kindness adalah kemampuan siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang berada pada tahap late
adolescence untuk dapat bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan dalam kegiatan sekolahnya, tanpa
menghakimi diri (Neff, 2011). Remaja tidak hanya berhenti menghakimi diri atau
mengkritik diri, tetapi secara aktif memberikan kenyamanan atau menghibur diri,
seperti menghibur orang lain yang mengalami penderitaan. Mereka memberikan
kehangatan, kelembutan, dan simpati kepada diri sendiri saat menghadapi
penderitaan, kegagalan, dan ketidak sempurnaan mereka.
Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat self-kindness yang
tinggi, saat ia mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah misalnya, ia tidak akan mengkritik kekurangan yang
dimilikinya secara berlebihan dan menganggap dirinya tidak berguna, tetapi
menerima dan memahami kekurangannya serta mentoleransi kegagalannya, ia
mengatakan kepada dirinya bahwa ia memang memiliki kekurangan dan karena itu ia
harus mulai memperbaiki diri. Saat siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” tidak
mencapai suatu target yang diinginkan dalam ujian, kemudian merasa telah
mengecewakan orang tuanya, mereka akan dapat mentolerir kegagalannya tersebut
dan menganggapnya sebagai suatu pembelajaran untuk dapat memperoleh hasil yang
lebih baik lagi. Siswa/siswi etnis Tionghoa SMA “X” dengan derajat self-kindness
yang rendah, saat mengalami kegagalan maka akan mengkritik diri sendiri secara
13
adalah suatu tindakan yang sangat bodoh karena tidak bisa menghindari kesalahan
itu. Ia akan larut dalam rasa sedih dan kekecewaan terhadap dirinya secara terus
menerus dan mengkritik diri karena kekurangannya itu.
Komponen yang kedua yaitu common humanity adalah kesadaran
siswa/siswi etnis Tionghoa yang berada pada tahap late adolescence di SMA “X”
bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami
oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Siswa/siswi
etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat common humanity yang tinggi akan
memandang suatu kesalahan atau kegagalan dirinya sebagai hal wajar yang mungkin
saja dapat dialami oleh semua teman-teman sebayanya. Kesalahan atau kegagalan
dipandang sebagai kejadian biasa yang dialami oleh semua orang dan merupakan
bagian hidup yang pasti dialami oleh semua manusia. Siswa/siswi etnis Tionghoa di
SMA “X” dengan derajat common humanity yang rendah terhadap dirinya akan
memiliki perspektif yang sempit dengan berpikir bahwa diantara seluruh
teman-temannya hanya dirinya yang bodoh dan melakukan kesalahan. Ia akan mencari-cari
alasan atau kekurangan dirinya sendiri lalu merasa hanya dirinya sendiri saja yang
paling banyak memiliki kekurangan. Ia merasa bahwa orang lain boleh melakukan
kesalahan, tetapi dirinya sendiri tidak boleh melakukan kesahalan itu.
Komponen yang ketiga yaitu mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan
siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang berada pada tahap late adolescence
untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri dengan apa
14
kenyataan. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat mindfulness yang
tinggi, saat melakukan kesalahan tidak akan melebih-melebihkan atau menyangkal
kesalahannya itu, tetapi berpikir secara moderat. Ia menyadari bahwa dirinya telah
melakukan suatu kesalahan, walaupun ia menyesali dirinya, merasa kecewa dan sedih
namun ia tidak akan membiarkan perasaan itu terus berlarut-larut dalam dirinya. Ia
dapat memperbaiki kesalahannya pada kesempatan selanjutnya dan berpikir
kesalahan tersebut tidak akan terjadi lagi pada masa selanjutnya. Sedangkan
siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat mindfulness yang rendah
akan melebih-lebihkan kesalahannya itu dan memandang kesalahan yang telah
dibuatnya dapat terjadi pada situasi lain secara berulang sehingga kemudian dirinya
akan dipenuhi oleh rasa cemas dan takut.
Ketiga komponen yang membentuk self-compassion tersebut menurut Neff
(2003) memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Setiap komponen saling
berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi.
Seseorang harus dapat menggabungkan ketiga komponen tersebut untuk membentuk
self-compassion yang tinggi. Self-compassion siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dikatakan memiliki derajat yang tinggi apabila ketiga komponen tersebut
memiliki derajat yang tinggi. Sebaliknya bila salah satu dari derajat
komponen-komponen tersebut rendah maka derajat self-compassion siswa/siswi etnis Tionghoa
di SMA “X” tersebut dikategorikan sebagai self-compassion yang rendah.
15
eksternal yaitu role of culture, pola asuh pada masing-masing siswa/siswi etnis
Tionghoa di SMA “X” dalam attachment dan early family experience.
Jenis kelamin adalah faktor yang memengaruhi self-compassion pada
siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”. Laki-laki dan perempuan memiliki persepsi
yang berbeda dalam menentukan nilai-nilai apa yang penting bagi dirinya, misalnya
dalam nilai-nilai mengenai kekuasaan, tradisi, universalisme dan prestasi (Lyons,
2005). Menurut penelitian Neff, perempuan cenderung memiliki derajat
self-compassion yang rendah dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan cenderung lebih sering merenungkan masa lalu secara terus
menerus dibandingkan laki-laki. Tuntutan lingkungan juga mengharuskan peempuan
harus dapat lebih memperhatikan orang lain, tetapi mereka tidak diajarkan untuk
memperhatikan diri mereka sendiri.
Tipe personality yang dimiliki masing-masing siswa/siswi etnis Tionghoa di
SMA “X” akan memengaruhi derajat self-compassion. Neff mengatakan semakin
tinggi self-compassion maka semakin rendah level dari neuroticism. Misalnya dalam
hal menghadapi kegagalan saat merasa telah mengecewakan orang tua karena prestasi
buruk di sekolahnya, siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat
self-compassion tinggi akan cenderung untuk bersikap tenang dan tidak cemas. Seorang siswa/siswi seperti ini pun lebih bisa menerima saran-saran yang diberikan oleh orang
lain pada dirinya (agreeableness) dan dapat dengan mudah menceritakan masalah
16
Self-compassion juga dipengaruhi oleh budaya (role of culture). Secara global kebudayaan dibagi menjadi dua jenis yaitu kebudayaan Barat dan Timur.
Kebudayaan Timur adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan
cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Pelatihan fisik dapat
dicontohkan dengan cara menjaga pola makan dan minum ataupun makanan apa saja
yang boleh dimakan dan minuman apa saja yang boleh diminum, karena hal tersebut
dapat berpengaruh pada pertumbuhan maupun terhadap fisik. Sedangkan untuk
pelatihan mental yaitu dapat berupa kegiatan yang umumnya dilakukan sendiri,
seperti : bersemedi, bertapa, berdoa, beribadah. Hal yang paling dominan timbul
dalam kebudayaan timur adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh
(http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id).
Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung mengalami proses
akulturasi dan enkulturasi. Akulturasi pada remaja etnis Tionghoa merupakan
perubahan values, gaya hidup, dan bahasa yang merupakan hasil dari kontak langsung
dengan budaya yang berbeda dan budaya asli yang dimiliki individu yang
bersangkutan sacara berkesinambungan. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”
mengalami proses akulturasi antara budaya Tionghoa dengan kebudayaan yang
berada di Indonesia diantaranya dalam hal berbahasa mayoritas siswa/siswi di SMA
“X” ini dalam kesehariannya sudah menggunakan bahasa Indonesia, selain itu terlihat
juga ada beberapa gaya hidup siswa/siswi yang sudah cenderung ke arah modern.
Enkulturasi pada remaja etnis Tionghoa dikatakan sebagai suatu hal yang mendorong
17
Proses enkulturasi melibatkan orang tua, orang dewasa lain, dan teman sebaya.
Keberadaan orang tua dan teman sebaya yang memiliki etnis yang sama pada
siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” menimbulkan kecenderungan untuk
memiliki kesamaan dalam berperilaku. Jika enkulturasi berhasil, hasil akhirnya
adalah individu yang kompeten dalam budaya tersebut, termasuk dalam bahasa, ritual
dan values-nya.
Kebudayaan dapat memengaruhi bagaimana cara seseorang berpikir dan
juga bersosialisasi dengan orang lain. Dikatakan bahwa meskipun budaya Asia
terlihat merupakan budaya collectivist dan bergantung kepada orang lain, serta
memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi dibandingkan budaya Barat, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” berada dalam
kebudayaan timur yang kolektivistik. Budaya yang berbeda mendorong orang-orang
untuk memiliki derajat yang lebih tinggi atau rendah dalam self-compassion. Budaya
Tionghoa memiliki Chinese Values yang dipengaruhi oleh budaya Konfusian dan
membentuk siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” agar bisa memiliki
self-compassion yang seimbang dengan self-compassion for others. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang menerapkan Chinese Values dalam kehidupan
sehari-harinya akan dapat mencapai self-compassion yang tinggi, sedangkan siswa/siswi
etnis Tionghoa di SMA “X” yang kurang dapat menerapkan Chinese Values
cenderung akan memiliki self-compassion yang rendah.
Faktor eksternal lain yang memengaruhi self-compassion adalah pola asuh.
18
self-compassion yang tinggi atau rendah. Schafer (1964, 1968), dalam Neff, (2003) menyatakan bahwa empati dikembangkan melalui proses internalisasi saat masih
anak-anak. Begitu juga Stolorow, Brandchaft, dan Atwood (1987) menyatakan bahwa
kemampuan untuk menyadari dan melakukan empati berkaitan dengan empati yang
diberikan oleh pengasuh saat masih anak-anak. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA
“X” yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan
orang tua mereka (maternal support), serta siswa/siswi etnis Tionghoa yang
menerima dan compassion kepada orang tua mereka, cenderung akan memiliki
self-compassion yang lebih tinggi. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang tinggal dengan orang tua yang “dingin” dan sering mengkritik (maternal critism), cenderung
akan memiliki self-compassion yang lebih rendah (Brown, 1999).
Selain itu (Gilbert dalam Neff 2003), menyatakan bahwa self-compassion
muncul dari sistem attachment atau kedekatan. Attachment dalam penjabarannya
yaitu kasih sayang yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya. Siswa/siswi etnis
Tionghoa di SMA “X” yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mengalami
hubungan yang saling mendukung dengan pengasuh mereka atau dengan kata lain
mereka mendapat secure attachment akan lebih mungkin memperlakukan diri mereka
dengan sikap peduli dan compassion. Sebaliknya bila siswa/siswi etnis Tionghoa di
SMA “X” tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, stresfull, mengancam dan
banyak mengalami kritikan dari pengasuh mereka (insecure attachment), akan
cenderung memiliki self-critical daripada self-compassion (Gilbert & Proctor, 2006
19
Penjabaran diatas dapat dilihat dalam bagan kerangka pikir dibawah ini :
Bagan 1.1. Kerangka Pikir Remaja Etnis
Tionghoa (Usia 15-18 tahun) di SMA
“X’ Bandung
Self-Compassion
Tinggi
Rendah Faktor yang
mempengaruhi:
Internal: Personality Jenis kelamin
Eksternal:
Role of Parents : Early Family Experience, Attachment.
Role of culture
Komponen Self-Compassion
Self-Kindness Mindfulness
20
1.6. Asumsi Penelitian
Siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat
self-compassion yang tinggi akan memiliki derajat self-compassion for others yang tinggi juga, begitu pula sebaliknya apabila derajat self-compassion yang
dimilikinya rendah maka derajat compassion for others yang dimiliki akan
menjadi rendah juga.
Self-compassion terdiri dari 3 komponen yaitu self-kindness,
common-humanity, dan mindfulness yang menentukan derajat self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung.
Self-compassion yang dimiliki siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu
personality dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal yaitu budaya dan pola asuh dalam attachment, maternal critism, dan modeling parents. Hal
tersebut akan mendukung self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi
Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian dan pembahasan ini,
diperoleh simpulan sebagai berikut :
1. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung sebagian besar memiliki
derajat self-compassion yang rendah dengan komponen self-kindness,
common humanity dan mindfulnes yang rendah.
2. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA
“X” Bandung dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Ditemukan derajat
self-compassion yang lebih rendah pada anak laki-laki.
3. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA
“X” Bandung dipengaruhi oleh faktor maternal critism dan fearfull
attachment. Semakin tinggi maternal critism maka semakin rendah self-compassion dan semakin tinggi fearfull attachtment maka semakin rendah self-compassion yang dimiliki.
4. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA
97
5. Faktor akulturasi budaya yang terjadi memengaruhi derajat self-compassion
yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung. Semakin
tinggi derajat siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung yang
memiliki tradisi Tionghoa yang sudah berbaur dengan budaya lain semakin
rendah derajat self-compassion.
6. Faktor-faktor seperti derajat ekstraversion, agreeableness, dan openess to
experience dari The Big Five Personality, Maternal Support dan Secure Attachment tidak menunjukkan adanya pengaruh dengan derajat self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai
compassion, disarakan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi, khususnya mengenai personality. Disarankan juga untuk menjaring data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion dengan menambah pertanyaan melalui open question
melalui pertanyaan yang lebih spesifik dan mempertajam pertanyaan agar mendapat
data yang lebih mendalam khususnya mengenai penghayatan. Dapat dilakukan juga
penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh
gambaran mengenai self-compassion yang lebih luas. Selain itu juga untuk penelitian
98
5.2.2 Saran Praktis
1. Kepada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung, agar
meningkatkan self-compassion yang mereka miliki dengan cara berbagi
pengalaman, bersikap terbuka baik dengan orang tua ataupun teman lainnya
dan mengarahkan diri untuk berpikir positif.
2. Kepada kepala sekolah dan guru BK di SMA “X” Bandung yang memiliki
siswa/siswi etnis Tionghoa, agar dapat menggunakan pengetahuan dan
pemahaman mengenai penghayatan self-compassion yang dimiliki oleh
murid-muridnya sehingga dapat memberikan bimbingan dan konseling yang
dapat mengembangkan self-compassion.
3. Kepada keluarga dan orang tua siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”
Bandung dengan lebih memberikan perhatian dan support, mendengarkan
penjelasan siswa/siswi tersebut terlebih dahulu serta tidak mengkritik secara
berlebihan bilamana siswa/siswi tersebut mengalami suatu kegagalan atau
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Laura K dan John F. Curry. 2011. Self-Compassion : Conceptualization, Corelates, & Intervensions. American Psychological Assosiation.
Berry, John W., Poortiga, Ype H., Segall, Marshall H. & Dasen, Pierre R. 1992. Cross-Cultural Psychology: Research and Application, 1st Edition. New York: Cambridge University Press.
Bond, Michael H. 1993. The Psychology of Chinese People. Hongkong: University Press.
----, Michael H. 1998. Finding Universal; Dimensions of Individual Variation in Multicultural Studies of Values: The Rokeach and Chinese Value Surveys. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 55, 6, 1009-1015.
Chinese Culture Connections. 1987. Chinese Values and The Search For A Culture-free Dimension of Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, 18, 143-164.
Herkovits, M.J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alfred Knopf.
Hofstede, Geert. 1991. Cultures and Organixations: Software of the Mind. London:McGraw-Hill.
Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide For Beginners. London: SAGE Publications Ltd
Meij, Lim Sing. 2009. Ruang sosial baru perempuan Tionghoa, Sebuah kajian pascakolonial. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Neff, K. D. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA
----, K. D. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA ----, K. D., Rude, Stephanie, S., Kirkpatrick, L.K. 2006. An examination of
Universitas Kristen Maranatha psychological functioning. USA: Educational Psychology Department, University of Texas at Austin, 1 University Station.
----, K. D. & McGeehee, P. 2009. Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.
----, 2009. Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press.
----, Kristin. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. Harper Collins Publisher
----,Kristin., Pommier, Elizabeth., 2012. The Relationship between Self-compassion and Other-focused Concern among College Undergraduates,Community Adults, and Practicing Meditators. Self and Identity. USA: Educational Psychology Department, University of Texas at Austin, 1 University Station.
----, K. D., Hsieh, Ya-Ping., Tanpa Tahun. Dejitterat, Kullaya. Self-compassion, Achievement Goals, and Coping with Academic Failure.
Pratiwi, P. H. Tanpa Tahun. ASIMILASI DAN AKULTURASI: Sebuah Tinjauan Konsep.
Rammstedt, Beatrice. 2007. Measuring personality in one minute or less:A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German.
Santrock, John W. 2007. Adolescence. 11th edition. New York: McGraw-Hill Stolorow, R., Brandchaft, B. & Atwood, G. 1987. Psychoanalytic Treatment: An
Intersubjective Approach. Hillsdale, NJ: The Analytic Press.
Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.
Feransa, Selly. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Ethnic Identity Pada Dewasa Awal Keturunan Tionghoa Di Paguyuban “X”. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Santosa, Agoes. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Chinese Values Pada Mahasiswa Etnis Tionghoa Yang Berada Pada Tahap Late Adolescence Di Fakultas Psikologi Universitas “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Schwartz, Shalom H. Basic Human Values: An Overview (Basic Human Values: Theory, Methods, and Applications). (Online).