• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Siswa/Siswi Etnis Tionghoa di SMA "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion pada Siswa/Siswi Etnis Tionghoa di SMA "X" Kota Bandung."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada 220 orang responden. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survey. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Perhitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Riasnugrahani dengan menggunakan teknik korelasi dari pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dan reliabilitas 0.8181 yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah sebanyak 75% dan yang memiliki derajat self-compassion yang tinggi sebanyak 25%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar dari siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang tergolong rendah. Saran yang dapat diberikan adalah meneliti lebih lanjut mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi.

(2)

ABSTRACT

This research is conducted to determine the degree of self-compassion in students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung. This research was conducted to 220 students. This research used a descriptive methods with a survey technique. Measuring instruments used a measuring tool made by Neff (2003 ) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani in 2012. After that , the instruments translated back into English by Sarintohe in 2012 and has been approved by Neff. Validity and reliability calculations performed by Riasnugrahani with Pearson correlation and Cronbach alpha of the 26 items Valid 0.8181 and reliability is high. Based on the result of data processing , it is known that the students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung has degree low self-compassion as much as 75 % and that has a degree of self - compassion were higher by 25 %. Conclusions of this research are mostly of students with Chinese ethnic at high school " X " Bandung has a degree of self-compassion is low. The suggestion was to further examine the correlation of self- compassion with the factors that affect.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN …………. ...

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 8

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9

1.5 Kerangka Pikir ... 9

(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Self-Compassion ... 22

2.1.1 Komponen dari Self-Compassion ... 23

2.1.2 Kaitan Antar Komponen ... 29

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion ... 31

2.1.3.1 Faktor Internal ... 31

2.1.3.2 Faktor Eksternal ... 36

2.1.4 Manfaat Self-Compassion ... 40

2.1.5 Perbedaan Pengertian Self-Compassion dengan Self Pity, Self Indulgence, Self Esteem ... 42

2.2 Masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia………. 44

2.2.1 Tionghoa Totok dan Peranakan………. 44

2.2.3 Ajaran-Ajaran Pada Masyarakat Tionghoa………... 46

2.3 Values ... 52

2.3.1 Definisi ... 52

2.3.2 Chinese Values………... 55

2.4 Culture………….. ... 58

2.4.1 Definisi ... 58

2.5 Acculturation ... 61

2.5.1. Akulturasi Kelompok dan Individual……… 61

2.5.2. Strategi Akulturasi……… 63

(5)

2.6 Adolescence ... 67

2.6.1 Definisi dan Karakteristik Adolescence……….. 67

2.6.2 Perkembangan Kognitif pada Adolescence……… 68

2.6.3 Kognisi Sosial pada Adolescence………. 69

2.6.4 Perkembangan Sosio-emosional pada Adolescence………. 70

2.6.5. Values pada Adolescence……….…………. 71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 73

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 73

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 74

3.3.1 Variabel Penelitian ... 74

3.3.2 Definisi Konseptual ... 74

3.3.3 Definisi Operasional ... 74

3.4 Alat Ukur ... 75

3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 75

3.4.2 Proses Pengisian Alat Ukur ... 77

3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 77

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 78

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 79

3.3.2 Validitas Alat Ukur ... 79

(6)

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sample ... 80

3.5.1 Populasi Sasaran ... 80

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 80

3.5.3 Teknik Penarikan Populasi ... 80

3.6 Teknik Analisis Data ... 81

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ………... 82

4.2 Hasil Penelitian ………. 83

4.3 Pembahasan ……….. 85

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 96

5.2 Saran ……….. 97

5.2.1 Saran Teoretis ……….………….. 97

5.2.2 Saran Praktis ………..……….. 98

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RUJUKAN

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Self Compassion

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Kuesioner Self Compassion

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Gambaran Responden berdasarkan Usia

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan

Komponen Self-Kindness

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan

Komponen Common Humanity

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion dengan

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kisi-Kisi Alat Ukur Self-Compassion

Lampiran 2 : Lembar Persetujuan

Lampiran 3 : Tabel Data Mentah

Lampiran 4 : Validitas dan Reliabilitas kuesioner Self-Compassion

Lampiran 5 : Kuesioner

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia terdiri atas banyak suku, bahasa, budaya, etnis dan agama.

Selain etnis yang berasal dari Indonesia asli, terdapat juga etnis yang berasal dari

bagian daerah lain, dan salah satunya adalah etnis Tionghoa. Sebagai etnis yang

mewarisi budaya dari negeri Tiongkok yang merupakan salah satu budaya tertua di

dunia, budaya etnis Tionghoa didasari oleh values (nilai-nilai) yang disebut juga

sebagai Chinese Values. Pada saat para imigran Tionghoa datang ke Indonesia dari

negeri Tiongkok, mereka turut membawa Chinese Values dalam diri mereka dan

mewariskannya kepada keturunan mereka. Chinese Values memiliki keunikan

tersendiri dibandingkan values yang lain, karena salah satu dimensi Chinese Values

berasal dari Confucian Ethos yang merupakan nilai fundamental dalam masyarakat

Tiongkok. (Bond, 2000).

Confucian Ethos berisi mengenai ajaran keseimbangan. Ajaran ini mengungkapkan suatu hal “timbal balik” seperti yang terungkap dalam bentuk

“jangan melakukan sesuatu kepada orang lain apa yang anda tidak inginkan”. SMA

“X” merupakan salah satu sekolah swasta di kota Bandung yang berdasarkan

nilai-nilai kristiani. Sebanyak 90% siswa/siswi di SMA “X” memiliki etnis Tionghoa.

Ajaran keseimbangan yang terdapat dalam Confucian Ethos tersebut dapat

(11)

2

keberadaan Chinese values pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang ada

sekarang ini terlihat sudah bercampur dengan nilai lain seperti misalnya

nilai-nilai budaya Sunda dan nilai-nilai-nilai-nilai ajaran agama Kristen.

Salah satu contoh Value dalam Chinese Values yaitu melakukan timbal balik

dan membalas budi jika mendapatkan pertolongan/ hadiah dari orang lain. Beberapa

contoh lainnya yaitu berbakti kepada orang tua, bertoleransi terhadap orang lain,

hidup harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan orang lain, tahu malu dan

sebagainya (Bond, 2000). Value-value yang ada menunjukkan bahwa Chinese Values

memiliki tuntutan kepada seseorang untuk dapat melakukan compassion for others.

Seperti hal nya yang terjadi pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”, mereka

juga dituntut untuk dapat melakukan compassion for others.

Self-compassion merupakan keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindari penderitaan itu, memberikan pengertian pada diri

sendiri tanpa menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat

suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Self-compassion

seseorang dibangun oleh tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan

mindfulness (Neff, 2011). Menurut Neff (2011), bila seseorang ingin melakukan compassion for others dengan baik, harus diimbangi dengan adanya self-compassion atau compassion terhadap diri sendiri.

Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” memasuki masa late adolescence

yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Pada masa late adolescence remaja

(12)

3

sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Santrock(2011) yaitu remaja mengalami

perubahan yang mencakup kognitif, biologis dan sosial emosional. Remaja memiliki

emosi yang gampang berubah-rubah dan menjadi lebih sensitif. Pada masa-masa ini

banyak mimpi dan harapan yang dimiliki oleh remaja. Dalam lingkungan

pembelajaran sehari-hari di sekolah tidak jarang siswa/siswi memiliki keinginan besar

untuk berkompetisi dalam sekolahnya. Bagi beberapa siswa yang memiliki bakat dan

minat tertentu biasanya lebih mengasah kemampuannya untuk dapat lebih

dikembangkan. Mereka mengikuti beberapa kursus, berlomba-lomba meraih prestasi

dan popularitas yang dapat dibanggakan melalui perlombaan atau kompetisi.

Remaja memiliki keinginan untuk bisa menonjolkan dirinya baik dalam hal

prestasi juga dalam penampilan fisik agar bisa dianggap lebih menarik oleh lawan

jenis misalnya. Tidak jarang saat mengejar keinginan ini mereka juga mungkin saja

mengalami suatu kegagalan dan menimbulkan tekanan terhadap dirinya sendiri.

Tekanan yang dihadapi remaja dapat membuat emosinya menjadi lebih sensitif.

Ketika remaja sedang memiliki emosi yang tidak stabil, hal yang dianggap biasa oleh

orang lain dapat menjadi sesuatu yang sensitif. Remaja yang lebih sensitif contohnya

menunjukkan sikap yang cepat marah dan mudah tersinggung.

Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat

self-compassion yang tinggi akan lebih mampu melihat apa yang benar dan salah ketika menghadapi suatu kegagalan, sehingga dapat mengarahkan dirinya untuk bangkit dari

kegagalan yang dimiliki. Selain itu juga, adanya Chinese Values yang dimiliki oleh

(13)

4

mereka. Melalui adanya compassion for others tersebut, maka siswa/siswi etnis

Tionghoa di SMA “X” akan dapat memiliki self-compassion yang tinggi. Sementara

itu siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat self-compassion

yang rendah ketika mengalami suatu kegagalan maka dirinya akan bereaksi

emosional secara berlebihan, terus menerus mengkritik diri dan menyalahkan dirinya

sehingga dapat memengaruhi pola pikirnya dalam bertindak.

Menurut hasil survey awal yang di dapat dari 60 orang yang mencakup tiga

jenjang kelas (X, XI, dan XII) pada siswa/siswi etnis Tionghoa yang berada pada di

SMA “X” kota Bandung” diperoleh gambaran mengenai masalah yang sering dialami

oleh siswa/siswi tersebut. Sebanyak 73% masalah yang sering terjadi adalah siswa

banyak merasa belum dapat memenuhi nilai ketuntasan kelulusan minimal yang telah

ditetapkan oleh pihak sekolah dengan baik sehingga banyak siswa merasa mengalami

kegagalan. Selain itu, 26% masalah lain yang banyak dialami oleh siswa/siswi di

SMA “X” ini adalah materi pelajaran yang dianggap terlalu sulit. Saat tidak dapat

mengerti materi pelajaran yang dianggap sulit, hal yang terjadi pada siswa/siswi di

SMA “X” membuat mereka malas belajar dan cepat menyerah serta merasa gagal

dalam menentukan target yang telah ditetapkan oleh mereka sebelumnya. 1%

kegagalan lain yang dialami oleh siswa/siswi di SMA “X” diantaranya adalah pernah

mengalami kegagalan saat mengikuti perlombaan tertentu.

Adapun sebanyak 53% siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA”X” tidak

menyalahkan dirinya saat menghadapi kegagalan. Mereka menyatakan bahwa

(14)

5

guru yang menyampaikan materi di kelas dirasa kurang dapat menjelaskan dengan

jelas. Hal tersebut dinamakan self-kindness yaitu bersikap hangat dan memahami diri

sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa

menghakimi diri (Neff, 2003). Sebanyak 47% siswa/siswi etnis Tionghoa lainnya

menyatakan bahwa kegagalan yang dialaminya disebabkan karena diri sendiri yang

kurang dapat mengatur waktu belajar dengan baik, lebih mementingkan kesenangan

diri sendiri, malas belajar dan cenderung menunda-nunda waktu belajar, kurang

serius dalam belajar, tidak berkonsentrasi saat guru menerangkan dan juga kurangnya

persiapan saat akan menghadapi pelajaran atau beberapa mata pelajaran tertentu yang

dianggap sulit. Hal tersebut dinamakan self-judgement yaitu sikap individu yang

mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau penderitaan (Neff,

2003).

Dari hasil yang diperoleh dari siswa/siswi di SMA “X” 93% menyatakan

bahwa kegagalan yang mereka alami semuanya merupakan hal yang biasa dan

banyak orang yang mengalami kegagalan tersebut. Adapun alasan siswa/siswi ialah

mereka menganggap kegagalan yang dialami sebagai hal yang biasa dialami oleh

setiap orang. Penghayatan yang mereka rasakan saat menghadapi kegagalan

diantaranya ialah merasa kecewa, sedih, memikirkan mengapa mereka mengalami

kegagalan tersebut, menerima dengan lapang dada, dan juga ada yang menghayatinya

dengan membiarkan kegagalan yang telah terjadi. Ketika menghadapi kegagalan ini

siswa/siswi di SMA “X” mengatakan hal tersebut merupakan suatu kewajaran yang

(15)

6

pernah mengalami kegagalan” dan “Tidak ada orang yang tidak pernah gagal”. Hal

ini dinamakan common humanity yaitu kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan

kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia,

bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Sisanya sebanyak 7% siswa/siswi

etnis Tionghoa di SMA “X” menganggap bahwa kegagalan yang mereka alami

merupakan hal yang jarang dan hampir tidak pernah dialami oleh semua orang. Hal

ini menunjukkan adanya isolation yaitu saat individu menganggap bahwa hanya

dirinya yang mengalami kegagalan dan menganggap bahwa kegagalan bukanlah

kejadian yang pasti dialami oleh semua manusia (Neff, 2003).

Sebanyak 86% Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” menjawab saat

menghadapi kegagalan mereka akan menginstropeksi diri, belajar dengan lebih giat

lagi, menetapkan target yang lebih baik, meminta saran dari orang tua, mencoba

melakukan usaha yang lebih baik lagi, menghibur diri untuk tidak terus memikirkan

kegagalan tersebut, dan juga berdoa. Mereka mengatakan kegagalan tersebut tidak

begitu berpengaruh terhadap diri mereka dan cenderung membiarkan kegagalan

tersebut lewat begitu saja serta tidak memikirkannya terlalu berlarut-larut. Hal ini

dinamakan mindfulness yaitu kemampuan individu untuk menerima dan melihat

secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan dengan apa

adanya, tanpa disangkal atau ditekan (Neff, 2003). Sisanya sebanyak 14% siswa/siswi

etnis Tionghoa di SMA ”X” menjawab bahwa mereka akan terus menerus

merenungkan kegagalan tersebut, merasa cemas berlebihan dan kemudian memilih

(16)

7

identification yaitu saat individu menyangkal atau bereaksi secara berlebihan terhadap kegagalan yang dialami (Neff, 2003).

Penjabaran komponen tersebut menunjukkan bahwa siswa/siswi etnis

Tionghoa di SMA “X” memiliki derajat self-compassion yang bervariasi. Hal ini juga

ditunjukkan oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan menyeimbangkan

tuntutan yang diharapkan dari pihak sekolah maupun orang tua dan budaya yang

dimilikinya dengan tetap melakukan compassion terhadap dirinya. Dari uraian

tersebut, dapat dikatakan self-compassion memiliki cukup peran dalam masa remaja.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana derajat self-compassion

pada remaja khususnya pada etnis Tionghoa.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran self-compassion

pada siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” Kota Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 . Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah memperoleh gambaran tentang derajat

(17)

8

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat self-compassion dan

faktor-faktor yang mempengaruhi siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Kota

Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi tambahan pada bidang ilmu psikologi perkembangan

dan kesehatan mental mengenai self-compassion pada siswa/siswi Etnis

Tionghoa di SMA “X” Kota Bandung.

 Memberikan informasi tambahan dan referensi bagi peneliti lain yang

berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion yang

diterapkan dalam bidang ilmu psikologi pendidikan dan perkembangan.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Memberikan informasi-mengenai gambaran self-compassion dan informasi

kepada guru BK, wali kelas dan orang tua murid agar dapat menciptakan

suasana yang dapat mendukung terciptanya self-compassion lebih baik lagi

pada siswa/siswi untuk meningkatkan kesejahteraan siswa/siswi nya dan

(18)

9

 Memberikan informasi kepada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”

dalam rangka untuk meningkatkan self-compassion yang dimiliki.

1.5. Kerangka Pikir

Etnis Tionghoa adalah salah satu dari banyak etnis yang ada di negara

Indonesia. Pada awalnya, terdapat dua pembagian jenis masyarakat etnis Tionghoa,

yaitu Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan. Istilah Tionghoa totok diberikan

kepada etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia, namun kurang memiliki orientasi ke

Indonesia, lebih berorientasi ke negara Tiongkok, dan tidak melakukan akulturasi

dengan budaya setempat. Istilah Tionghoa peranakan diberikan kepada etnis

Tionghoa yang tinggal di Indonesia, memiliki orientasi ke negara Indonesia dan

melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Berbagai penelitian (Suryadinata

2002; dan Tan, 2008) mengatakan orang Tionghoa yang dahulunya datang sebagai

perantau telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bond dan sekelompok peneliti yang

dikenal secara kolektif sebagai Chinese Culture Connection, ditemukan hasil bahwa

persepsi value yang dimiliki oleh orang-orang dari etnis Tionghoa sangatlah berbeda

dengan penelitian yang dilakukan terhadap etnis lain. Etnis Tionghoa memiliki suatu

pemahaman values yang berbeda. Value didefinisikan sebagai suatu belief mengenai

tujuan yang diinginkan yang mengarahkan perilaku spesifik (Schwartz & Bilsky,

(19)

10

proses kognitif seseorang. Chinese Values adalah beliefs yang bertahan yang

mendasari cara bertingkah laku (mode of conduct) atau keadaan akhir yang dianggap

ideal (end state of existence) yang secara personal lebih dianggap penting dan disukai

oleh etnis Tionghoa. Meskipun kebanyakan values yang dianut oleh etnis Tionghoa

bersifat universal, tetapi terdapat juga values unik yang bernuansa Confucian

(Hofstede, 1991). Ajaran Confucian mengajarkan tentang adanya keseimbangan yang

harus dilakukan dalam diri seseorang.

Dalam Chinese Values terdapat ajaran yang terkait dengan compassion for

others dan self-compassion pada remaja etnis Tionghoa. Beberapa contoh Chinese Values yang menunjukkan adanya compassion for others diantaranya: berbakti kepada orang tua (patuh kepada orang tua, menghormati orang tua, menghormati dan

menghargai leluhur yang telah meninggal, menafkahi dan menghidupi orang tua),

bertoleransi terhadap orang lain, hidup harmonis, dapat menyesuaikan diri dengan

orang lain, melakukan timbal balik dan membalas budi jika mendapatkan

pertolongan/hadiah dari orang lain, kebaikan hati, memaafkan orang lain, mengasihi

orang lain, solider dengan orang lain, kompak, membalas budi jika mendapat

kebaikan dan membalas dendam jika mendapat kejahatan, menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan situasi dan menghormati tradisi etnis pribadi. Selain itu juga ada

beberapa Chinese Values yang menunjukkan tentang self-compassion diantaranya:

mengambil jalan tengah, tidak berlebihan, tahu malu, stabilitas dalam hidup dan

(20)

11

Menurut Santrock (2007) remaja digolongkan kedalam dua tahapan yaitu

early adolescence dan late adolescence. Early adolescence adalah masa remaja yang berkisar pada waktu individu memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah

pertama dan pada masa ini terjadi banyak perubahan (pubertas), sedangkan late

adolescence merujuk pada bagian akhir dari dekade kedua dalam kehidupan mereka. Pada kebanyakan budaya di dunia saat ini, masa adolescence dimulai pada usia 10-13

tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Masa late adolescence dimulai pada usia

15 tahun. Remaja mengalami perubahan dalam tiga ranah yang dijelaskan oleh

Santrock (2007) yaitu proses perkembangan biologis, perkembangan kognitif, dan

perkembangan sosio-emosional. Pada proses perkembangan biologis remaja akan

mengalami perubahan hormonal yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam

hal fisik seperti pertumbuhan tinggi dan kematangan seksual. Proses perkembangan

kognitif remaja meliputi perubahan dalam hal pikiran, inteligensi dan bahasa.

Selanjutnya pada proses perkembangan sosio-emosional remaja mengalami

perubahan emosi dalam hubungan individu dengan orang lain, dalam emosi, dan

peran dalam konteks sosial.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar

dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri

ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa

menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami

(21)

self-12

kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2011). Self-kindness adalah kemampuan siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang berada pada tahap late

adolescence untuk dapat bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan dalam kegiatan sekolahnya, tanpa

menghakimi diri (Neff, 2011). Remaja tidak hanya berhenti menghakimi diri atau

mengkritik diri, tetapi secara aktif memberikan kenyamanan atau menghibur diri,

seperti menghibur orang lain yang mengalami penderitaan. Mereka memberikan

kehangatan, kelembutan, dan simpati kepada diri sendiri saat menghadapi

penderitaan, kegagalan, dan ketidak sempurnaan mereka.

Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat self-kindness yang

tinggi, saat ia mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan dalam kegiatan

pembelajaran di sekolah misalnya, ia tidak akan mengkritik kekurangan yang

dimilikinya secara berlebihan dan menganggap dirinya tidak berguna, tetapi

menerima dan memahami kekurangannya serta mentoleransi kegagalannya, ia

mengatakan kepada dirinya bahwa ia memang memiliki kekurangan dan karena itu ia

harus mulai memperbaiki diri. Saat siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” tidak

mencapai suatu target yang diinginkan dalam ujian, kemudian merasa telah

mengecewakan orang tuanya, mereka akan dapat mentolerir kegagalannya tersebut

dan menganggapnya sebagai suatu pembelajaran untuk dapat memperoleh hasil yang

lebih baik lagi. Siswa/siswi etnis Tionghoa SMA “X” dengan derajat self-kindness

yang rendah, saat mengalami kegagalan maka akan mengkritik diri sendiri secara

(22)

13

adalah suatu tindakan yang sangat bodoh karena tidak bisa menghindari kesalahan

itu. Ia akan larut dalam rasa sedih dan kekecewaan terhadap dirinya secara terus

menerus dan mengkritik diri karena kekurangannya itu.

Komponen yang kedua yaitu common humanity adalah kesadaran

siswa/siswi etnis Tionghoa yang berada pada tahap late adolescence di SMA “X”

bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami

oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003). Siswa/siswi

etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat common humanity yang tinggi akan

memandang suatu kesalahan atau kegagalan dirinya sebagai hal wajar yang mungkin

saja dapat dialami oleh semua teman-teman sebayanya. Kesalahan atau kegagalan

dipandang sebagai kejadian biasa yang dialami oleh semua orang dan merupakan

bagian hidup yang pasti dialami oleh semua manusia. Siswa/siswi etnis Tionghoa di

SMA “X” dengan derajat common humanity yang rendah terhadap dirinya akan

memiliki perspektif yang sempit dengan berpikir bahwa diantara seluruh

teman-temannya hanya dirinya yang bodoh dan melakukan kesalahan. Ia akan mencari-cari

alasan atau kekurangan dirinya sendiri lalu merasa hanya dirinya sendiri saja yang

paling banyak memiliki kekurangan. Ia merasa bahwa orang lain boleh melakukan

kesalahan, tetapi dirinya sendiri tidak boleh melakukan kesahalan itu.

Komponen yang ketiga yaitu mindfulness. Mindfulness adalah kemampuan

siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang berada pada tahap late adolescence

untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri dengan apa

(23)

14

kenyataan. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat mindfulness yang

tinggi, saat melakukan kesalahan tidak akan melebih-melebihkan atau menyangkal

kesalahannya itu, tetapi berpikir secara moderat. Ia menyadari bahwa dirinya telah

melakukan suatu kesalahan, walaupun ia menyesali dirinya, merasa kecewa dan sedih

namun ia tidak akan membiarkan perasaan itu terus berlarut-larut dalam dirinya. Ia

dapat memperbaiki kesalahannya pada kesempatan selanjutnya dan berpikir

kesalahan tersebut tidak akan terjadi lagi pada masa selanjutnya. Sedangkan

siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat mindfulness yang rendah

akan melebih-lebihkan kesalahannya itu dan memandang kesalahan yang telah

dibuatnya dapat terjadi pada situasi lain secara berulang sehingga kemudian dirinya

akan dipenuhi oleh rasa cemas dan takut.

Ketiga komponen yang membentuk self-compassion tersebut menurut Neff

(2003) memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Setiap komponen saling

berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi.

Seseorang harus dapat menggabungkan ketiga komponen tersebut untuk membentuk

self-compassion yang tinggi. Self-compassion siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dikatakan memiliki derajat yang tinggi apabila ketiga komponen tersebut

memiliki derajat yang tinggi. Sebaliknya bila salah satu dari derajat

komponen-komponen tersebut rendah maka derajat self-compassion siswa/siswi etnis Tionghoa

di SMA “X” tersebut dikategorikan sebagai self-compassion yang rendah.

(24)

15

eksternal yaitu role of culture, pola asuh pada masing-masing siswa/siswi etnis

Tionghoa di SMA “X” dalam attachment dan early family experience.

Jenis kelamin adalah faktor yang memengaruhi self-compassion pada

siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”. Laki-laki dan perempuan memiliki persepsi

yang berbeda dalam menentukan nilai-nilai apa yang penting bagi dirinya, misalnya

dalam nilai-nilai mengenai kekuasaan, tradisi, universalisme dan prestasi (Lyons,

2005). Menurut penelitian Neff, perempuan cenderung memiliki derajat

self-compassion yang rendah dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan cenderung lebih sering merenungkan masa lalu secara terus

menerus dibandingkan laki-laki. Tuntutan lingkungan juga mengharuskan peempuan

harus dapat lebih memperhatikan orang lain, tetapi mereka tidak diajarkan untuk

memperhatikan diri mereka sendiri.

Tipe personality yang dimiliki masing-masing siswa/siswi etnis Tionghoa di

SMA “X” akan memengaruhi derajat self-compassion. Neff mengatakan semakin

tinggi self-compassion maka semakin rendah level dari neuroticism. Misalnya dalam

hal menghadapi kegagalan saat merasa telah mengecewakan orang tua karena prestasi

buruk di sekolahnya, siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” dengan derajat

self-compassion tinggi akan cenderung untuk bersikap tenang dan tidak cemas. Seorang siswa/siswi seperti ini pun lebih bisa menerima saran-saran yang diberikan oleh orang

lain pada dirinya (agreeableness) dan dapat dengan mudah menceritakan masalah

(25)

16

Self-compassion juga dipengaruhi oleh budaya (role of culture). Secara global kebudayaan dibagi menjadi dua jenis yaitu kebudayaan Barat dan Timur.

Kebudayaan Timur adalah kebudayaan yang cara pembinaan kesadarannya dengan

cara melakukan berbagai macam pelatihan fisik dan mental. Pelatihan fisik dapat

dicontohkan dengan cara menjaga pola makan dan minum ataupun makanan apa saja

yang boleh dimakan dan minuman apa saja yang boleh diminum, karena hal tersebut

dapat berpengaruh pada pertumbuhan maupun terhadap fisik. Sedangkan untuk

pelatihan mental yaitu dapat berupa kegiatan yang umumnya dilakukan sendiri,

seperti : bersemedi, bertapa, berdoa, beribadah. Hal yang paling dominan timbul

dalam kebudayaan timur adalah adat istiadat yang masih dipegang teguh

(http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id).

Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung mengalami proses

akulturasi dan enkulturasi. Akulturasi pada remaja etnis Tionghoa merupakan

perubahan values, gaya hidup, dan bahasa yang merupakan hasil dari kontak langsung

dengan budaya yang berbeda dan budaya asli yang dimiliki individu yang

bersangkutan sacara berkesinambungan. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”

mengalami proses akulturasi antara budaya Tionghoa dengan kebudayaan yang

berada di Indonesia diantaranya dalam hal berbahasa mayoritas siswa/siswi di SMA

“X” ini dalam kesehariannya sudah menggunakan bahasa Indonesia, selain itu terlihat

juga ada beberapa gaya hidup siswa/siswi yang sudah cenderung ke arah modern.

Enkulturasi pada remaja etnis Tionghoa dikatakan sebagai suatu hal yang mendorong

(26)

17

Proses enkulturasi melibatkan orang tua, orang dewasa lain, dan teman sebaya.

Keberadaan orang tua dan teman sebaya yang memiliki etnis yang sama pada

siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” menimbulkan kecenderungan untuk

memiliki kesamaan dalam berperilaku. Jika enkulturasi berhasil, hasil akhirnya

adalah individu yang kompeten dalam budaya tersebut, termasuk dalam bahasa, ritual

dan values-nya.

Kebudayaan dapat memengaruhi bagaimana cara seseorang berpikir dan

juga bersosialisasi dengan orang lain. Dikatakan bahwa meskipun budaya Asia

terlihat merupakan budaya collectivist dan bergantung kepada orang lain, serta

memiliki derajat self-compassion yang lebih tinggi dibandingkan budaya Barat, tetapi

kenyataannya tidak demikian. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” berada dalam

kebudayaan timur yang kolektivistik. Budaya yang berbeda mendorong orang-orang

untuk memiliki derajat yang lebih tinggi atau rendah dalam self-compassion. Budaya

Tionghoa memiliki Chinese Values yang dipengaruhi oleh budaya Konfusian dan

membentuk siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” agar bisa memiliki

self-compassion yang seimbang dengan self-compassion for others. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang menerapkan Chinese Values dalam kehidupan

sehari-harinya akan dapat mencapai self-compassion yang tinggi, sedangkan siswa/siswi

etnis Tionghoa di SMA “X” yang kurang dapat menerapkan Chinese Values

cenderung akan memiliki self-compassion yang rendah.

Faktor eksternal lain yang memengaruhi self-compassion adalah pola asuh.

(27)

18

self-compassion yang tinggi atau rendah. Schafer (1964, 1968), dalam Neff, (2003) menyatakan bahwa empati dikembangkan melalui proses internalisasi saat masih

anak-anak. Begitu juga Stolorow, Brandchaft, dan Atwood (1987) menyatakan bahwa

kemampuan untuk menyadari dan melakukan empati berkaitan dengan empati yang

diberikan oleh pengasuh saat masih anak-anak. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA

“X” yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan

orang tua mereka (maternal support), serta siswa/siswi etnis Tionghoa yang

menerima dan compassion kepada orang tua mereka, cenderung akan memiliki

self-compassion yang lebih tinggi. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” yang tinggal dengan orang tua yang “dingin” dan sering mengkritik (maternal critism), cenderung

akan memiliki self-compassion yang lebih rendah (Brown, 1999).

Selain itu (Gilbert dalam Neff 2003), menyatakan bahwa self-compassion

muncul dari sistem attachment atau kedekatan. Attachment dalam penjabarannya

yaitu kasih sayang yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya. Siswa/siswi etnis

Tionghoa di SMA “X” yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mengalami

hubungan yang saling mendukung dengan pengasuh mereka atau dengan kata lain

mereka mendapat secure attachment akan lebih mungkin memperlakukan diri mereka

dengan sikap peduli dan compassion. Sebaliknya bila siswa/siswi etnis Tionghoa di

SMA “X” tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, stresfull, mengancam dan

banyak mengalami kritikan dari pengasuh mereka (insecure attachment), akan

cenderung memiliki self-critical daripada self-compassion (Gilbert & Proctor, 2006

(28)

19

Penjabaran diatas dapat dilihat dalam bagan kerangka pikir dibawah ini :

Bagan 1.1. Kerangka Pikir Remaja Etnis

Tionghoa (Usia 15-18 tahun) di SMA

“X’ Bandung

Self-Compassion

Tinggi

Rendah Faktor yang

mempengaruhi:

Internal: Personality  Jenis kelamin

Eksternal:

Role of Parents : Early Family Experience, Attachment.

Role of culture

Komponen Self-Compassion

Self-Kindness Mindfulness

(29)

20

1.6. Asumsi Penelitian

Siswa/siswi Etnis Tionghoa di SMA “X” yang memiliki derajat

self-compassion yang tinggi akan memiliki derajat self-compassion for others yang tinggi juga, begitu pula sebaliknya apabila derajat self-compassion yang

dimilikinya rendah maka derajat compassion for others yang dimiliki akan

menjadi rendah juga.

Self-compassion terdiri dari 3 komponen yaitu self-kindness,

common-humanity, dan mindfulness yang menentukan derajat self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung.

Self-compassion yang dimiliki siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu

personality dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal yaitu budaya dan pola asuh dalam attachment, maternal critism, dan modeling parents. Hal

tersebut akan mendukung self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi

(30)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Sehubungan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian dan pembahasan ini,

diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung sebagian besar memiliki

derajat self-compassion yang rendah dengan komponen self-kindness,

common humanity dan mindfulnes yang rendah.

2. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA

“X” Bandung dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Ditemukan derajat

self-compassion yang lebih rendah pada anak laki-laki.

3. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA

“X” Bandung dipengaruhi oleh faktor maternal critism dan fearfull

attachment. Semakin tinggi maternal critism maka semakin rendah self-compassion dan semakin tinggi fearfull attachtment maka semakin rendah self-compassion yang dimiliki.

4. Derajat self-compassion yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA

(31)

97

5. Faktor akulturasi budaya yang terjadi memengaruhi derajat self-compassion

yang rendah pada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung. Semakin

tinggi derajat siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung yang

memiliki tradisi Tionghoa yang sudah berbaur dengan budaya lain semakin

rendah derajat self-compassion.

6. Faktor-faktor seperti derajat ekstraversion, agreeableness, dan openess to

experience dari The Big Five Personality, Maternal Support dan Secure Attachment tidak menunjukkan adanya pengaruh dengan derajat self-compassion yang dimiliki oleh siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai

compassion, disarakan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi, khususnya mengenai personality. Disarankan juga untuk menjaring data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion dengan menambah pertanyaan melalui open question

melalui pertanyaan yang lebih spesifik dan mempertajam pertanyaan agar mendapat

data yang lebih mendalam khususnya mengenai penghayatan. Dapat dilakukan juga

penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh

gambaran mengenai self-compassion yang lebih luas. Selain itu juga untuk penelitian

(32)

98

5.2.2 Saran Praktis

1. Kepada siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X” Bandung, agar

meningkatkan self-compassion yang mereka miliki dengan cara berbagi

pengalaman, bersikap terbuka baik dengan orang tua ataupun teman lainnya

dan mengarahkan diri untuk berpikir positif.

2. Kepada kepala sekolah dan guru BK di SMA “X” Bandung yang memiliki

siswa/siswi etnis Tionghoa, agar dapat menggunakan pengetahuan dan

pemahaman mengenai penghayatan self-compassion yang dimiliki oleh

murid-muridnya sehingga dapat memberikan bimbingan dan konseling yang

dapat mengembangkan self-compassion.

3. Kepada keluarga dan orang tua siswa/siswi etnis Tionghoa di SMA “X”

Bandung dengan lebih memberikan perhatian dan support, mendengarkan

penjelasan siswa/siswi tersebut terlebih dahulu serta tidak mengkritik secara

berlebihan bilamana siswa/siswi tersebut mengalami suatu kegagalan atau

(33)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Barnard, Laura K dan John F. Curry. 2011. Self-Compassion : Conceptualization, Corelates, & Intervensions. American Psychological Assosiation.

Berry, John W., Poortiga, Ype H., Segall, Marshall H. & Dasen, Pierre R. 1992. Cross-Cultural Psychology: Research and Application, 1st Edition. New York: Cambridge University Press.

Bond, Michael H. 1993. The Psychology of Chinese People. Hongkong: University Press.

----, Michael H. 1998. Finding Universal; Dimensions of Individual Variation in Multicultural Studies of Values: The Rokeach and Chinese Value Surveys. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 55, 6, 1009-1015.

Chinese Culture Connections. 1987. Chinese Values and The Search For A Culture-free Dimension of Culture. Journal of Cross-Cultural Psychology, 18, 143-164.

Herkovits, M.J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alfred Knopf.

Hofstede, Geert. 1991. Cultures and Organixations: Software of the Mind. London:McGraw-Hill.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology: A Step-by-step Guide For Beginners. London: SAGE Publications Ltd

Meij, Lim Sing. 2009. Ruang sosial baru perempuan Tionghoa, Sebuah kajian pascakolonial. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.

Nazir, Mohammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, K. D. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA

----, K. D. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. University of Texas at Austin, Austin, Texas, USA ----, K. D., Rude, Stephanie, S., Kirkpatrick, L.K. 2006. An examination of

(34)

Universitas Kristen Maranatha psychological functioning. USA: Educational Psychology Department, University of Texas at Austin, 1 University Station.

----, K. D. & McGeehee, P. 2009. Self-compassion and psychological resilience among adolescents and young adults. Self and Identity, 9, 225-240.

----, 2009. Self-Compassion. In M. R. Leary & R. H. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 561-573). New York: Guilford Press.

----, Kristin. 2011. Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. Harper Collins Publisher

----,Kristin., Pommier, Elizabeth., 2012. The Relationship between Self-compassion and Other-focused Concern among College Undergraduates,Community Adults, and Practicing Meditators. Self and Identity. USA: Educational Psychology Department, University of Texas at Austin, 1 University Station.

----, K. D., Hsieh, Ya-Ping., Tanpa Tahun. Dejitterat, Kullaya. Self-compassion, Achievement Goals, and Coping with Academic Failure.

Pratiwi, P. H. Tanpa Tahun. ASIMILASI DAN AKULTURASI: Sebuah Tinjauan Konsep.

Rammstedt, Beatrice. 2007. Measuring personality in one minute or less:A 10-item short version of the Big Five Inventory in English and German.

Santrock, John W. 2007. Adolescence. 11th edition. New York: McGraw-Hill Stolorow, R., Brandchaft, B. & Atwood, G. 1987. Psychoanalytic Treatment: An

Intersubjective Approach. Hillsdale, NJ: The Analytic Press.

Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Tan, Mely G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

(35)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung.

Feransa, Selly. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Ethnic Identity Pada Dewasa Awal Keturunan Tionghoa Di Paguyuban “X”. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Santosa, Agoes. 2011. Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Chinese Values Pada Mahasiswa Etnis Tionghoa Yang Berada Pada Tahap Late Adolescence Di Fakultas Psikologi Universitas “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Schwartz, Shalom H. Basic Human Values: An Overview (Basic Human Values: Theory, Methods, and Applications). (Online).

(

http://segr-did2.fmag.unict.it/Allegati/convegno%207-8-10-05/Schwartzpaper.pdf) diakses 10 Oktober 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode role playing dapat meningkatkan hasil belajar siswa untuk mengatasi kesulitan siswa

dalam selembar kertas, l paragraf tentang konsep karya ujian praktek hari ini, dan teori Nirmana apa saja yang terdapatdaram kmyaanda.. lfrha$wa yang tidakmengumpulkan tugas

Marina Ulfah (0800162), “Pengaruh Promosi Dalam Upaya Meningkatkan Keputusan Menggunakan Meeting Package di Golden Flower Hotel Bandung ” (Survei Pada Tamu Bisnis

tetap optimis bahwa hidup mereka yang akan datang dapat lebih baik dari kehidupan

“Kajian atau ruang lingkup pendidikan politik adalah penanaman nilai moral kepada siswa dengan tujuan membentuk karakter anak bangsa sesuai dengan kemampuannya masing-masing yang

Apakah terdapat perbedaan hasil belajar ranah kognitif aspek memahami (C2) antara siswa yang menggunakan dan tidak menggunakan media Prezi Desktop dengan pretest-posttest pada

Penelitian ini merupakan penelitian kelas dengan menggunakan metode kuasi eksperimen, data yang penulis kumpulkan berupa informasi tentang proses pembelajaran siswa

Skor 3: Jika siswa mampu menyalin kalimat sederhana dengan benar proporsi huruf sesuai dengan tempat, jarak antar kata jelas dengan bantuan verbal. Skor 2: Jika siswa mampu