i DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
... ABSTRAK ... xiv
... ABSTRACT ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang ... 1
... 1.2 RumusanMasalah ... 6
1.3 RuangLingkupMasalah ... 7
1.4 Orisinalitas ... 8
1.5 TujuanPenulisan ... 10
1.5.1 TujuanUmum... ... 10
1.5.2 TujuanKhusus... ... 11
ii
1.6 ManfaatPenulisan ... 11
1.6.1 ManfaatTeoritis... 11
1.6.2 ManfaatPraktis ... 11
1.7 LandasanTeoritis ... 12
1.8 MetodePenelitian... 24
1.8.1 JenisPenelitian ... 25
1.8.2 JenisPendekatan ... 25
1.8.3 SifatPenelitian ... 25
1.8.4 Data danSumber Data ... 25
1.8.5 TeknikPengumpulan Data ... 28
1.8.6 TeknikPenentuanSampelPenelitian ... 28
1.8.7 TeknikPengolahandanAnalisis Data ... 28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA, DAN LABEL 2.1. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen ... 30
2.1.1. Pengertian Konsumen ... 31
2.1.2. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 35
2.1.3. Pengertian Pelaku Usaha ... 36
2.1.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 37
2.1.5. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 39
2.2. Tinjauan Umum Pangan Industri Rumah Tangga ... 44
2.3. Tinjauan Umum tetang Label ... 46
BAB III TINDAKAN PELAKU USAHA YANG MENGEDARKAN PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGATANPA MENCANTUMKAN LABELDI PASAR BATU KANDIK DENPASAR BARAT 3.1. Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi ... 48
3.2. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Berlabeldi Pasar Batu Kandik Denpasar Barat ... 56
iii
3.3. Sanksi terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Mencantumkan Label ... 63 BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH TERKAIT
PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA YANG TIDAK MENCANTUMKAN LABEL DI PASAR BATU KANDIK DENPASAR BARAT SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN
4.1. Gambaran Umum Dinas Kesehatan dan BPOM ... 71 4.2. Bentuk-bentuk Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah terkait
dengan Produk Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Mencantumkan Label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai Upaya Perlindungan Konsumen ... 77 4.3. Kendala Pemerintah dalam Pembinaan dan Pengawasan terkait
dengan Produk Pangan Industri Rumah Tangga yang Tidak Mencantumkan Label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat 85 BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ... 88 5.2. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN RINGKASAN
iv ABSTRAK
Pelaku usaha Pangan Industri Rumah Tangga (pangan IRT) di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat tidak mencantumkan label padahal tidak mencantumkan label adalah perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf (i) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan pelaku usaha yang tidak mencantumkan label tersebut bisa dikenakan pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban ini memunculkan permasalahan mengenai bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat dan bagaimana pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen, sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat perlu dilakukan suatu penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris,dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta.Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang didapatkan langsung dari lapangan dan data sekunder dengan melakukan penelitian kepustakaan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Dan analisis data dengan menggunakan informasi dari lapangan kemudian dianalisis dengan teknik kualitatif dan disajikan secara deskriptif dan sistematisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pelaku usaha diatur dalamPasal 19 UUPK. Namun dalam pelaksanaannya, pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat belum pernah dimintakan pertanggungjawaban walaupun tidak mencantumkan label. Hal ini dikarenakan keberadaan dari kelima pelaku usaha tersebut belum diketahui oleh BPOM maupun Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Sedangkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen ternyata tidak pernah dilaksanakan. Hal ini dikarenakan Dinas Kesehatan Kota Denpasar hanya melakukan pembinaan kepada pelaku usaha yang terdaftar sedangkan pelaku usaha pangan IRT di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat tidak terdaftar karena kurangnya pengetahuan dan tidak memahami prosedur. Dan BPOM lebih mengutamakan efisiensi pengawasan di daerah-daerah yang rawan terjadi pelanggaran, sering terjadi laporan, daripada daerah yang relatif kondusif, yang tidak pernah terjadi laporan, jalur perdagangan langsung dari petani seperti di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sehingga Pasar Batu Kandik Denpasar Barat tidak pernah mendapat pengawasan dari BPOM.
Kata Kunci: Label, Pangan Industri Rumah Tangga, Pertanggungjawaban, Pembinaan, Pengawasan.
v ABSTRACT
The household food industry businesses (food IRT) in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat is not including the label even though did not include the label is the prohibited acts for the businesses according to the Phase 8 verse 1 letter (i) Consumer Protection Act and the businesses that did not include those label can be charged with responsibilities. This responsibilities can start the problems on how the businesses responsibility to market the food IRT without including the label in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat and how the ongoing making and the government supervision related to the IRT food products that does not include the label in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat as an effort of consumer protection, so that to answer those question it is significantly important to conduct a research.
The type of research that is being used in this research is the “Yuridis Empiris”
research type, by using the act approach and fact approach. Data that is used is the primary data which is the data that comes straight from the field and the secondary data by using the literature research. The data gathering in this research is using the document study technique and interview technique. And the data analysis with using the information from the field then being analyzed with the qualitative technique that is served with descriptive and systematic.
According to the result of the research that is conducted in facing those problems, can be summarized that the responsibilities of the businesses is arranged in the Phase 19 UUPK. However in the conduction, the businesses that issued food IRT in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat have never been asked of the responsibilities even though did not include the label. This things is caused by the existence of those five businesses have never been acknowledged by the BPOM and the Health Department of Denpasar city (Dinas Kesehatan Kota Denpasar). The ongoing process of making and government supervision in relation to the food IRT products that does not include label in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat as an effort of Consumer Protection have actually never been conducted. This thing happens because the Health Department of Denpasar City (Dinas Kesehatan Kota Denpasar) have only teach the businesses that has been registered and the food IRT businesses in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat is not registered because lack of knowledge and does not understand the procedure. And BPOM is prioritize the effieciency of supervision in dangerous area of offense, many reports, instead of the area that never report anything, the commerce lane straight from the farmer such as in Pasar Batu Kandik Denpasar Barat so that Pasar Batu Kandik Denpasar Barat never get a supervision from BPOM.
Key Words: Label, Household food industry, Responsibilities, Making, Supervision.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Hal ini terutama sekali ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara historis, awalnya yayasan ini muncul berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan terjamin yang pada akhirnya lahirlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK).
Dalam penjelasan UUPK alenia ke-7 disebutkan bahwa: “Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.”
UUPK ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia seutuhnya yang berlandaskan pada filosofi kenegaraan Republik Indonesia, yaitu Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun1945.
Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup.1
Di era globalisasi seperti saat ini, banyak orang yang berlomba-lomba membuat produk pangan baru yang bisa diterima di masyarakat seperti makanan yang dibuat warna warni untuk menarik konsumen khususnya anak-anak, kripik-kripik dengan berbagai macam level pedas yang saat ini digandrungi remaja. Contoh nyata penulis dapat dari beberapa toko di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat. Dalam toko tersebut dijual secara bebas makanan berupa snack yang tidak berlabel. Makanan tersebut seperti kue kering, keripik singkong, snack kacang polong, kerupuk, makaroni, pisang sale, biskuit dan snack lain yang berjejer rapi di dalam toko. Tapi sayangnya,
1 AZ.Nasution, Konsumen dan Hukum, 1995, Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 64.
pelaku usaha ada yang tidak peduli dengan pelabelan produk makanan yang mereka buat sehingga secara tidak langsung sangat merugikan konsumen.
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani dan rohani.2 Untuk memenuhi kebutuhan pangan, manusia tidak bisa terlepas satu sama lain. Disatu sisi terdapat peran sebagai pelaku usaha pangan yang bertugas untuk memproduksi kebutuhan konsumsi manusia, sedangkan disisi lain ada pihak yang berperan sebagai konsumen, yakni pihak yang menggunakan hasil produksi dari pelaku usaha pangan dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya. Mereka memiliki peran yang sangat penting karena mereka sama-sama saling membutuhkan.
Karena pangan merupakan kebutuhan utama manusia, banyak masyarakat yang mencoba membuka usaha dibidang pangan yaitu melalui Industri Rumah Tangga Pangan (selanjutnya disebut IRTP). IRTP adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Hasil olahan dari IRTP disebut Pangan Industri Rumah Tangga (selanjutnya disebut pangan IRT).
2 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h.169.
Pelaku usaha harus mengedarkan olahan pangannya sesuai dengan Pasal 111 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) seperti yang dijelaskan dalam pasal berikut:
Pasal 111
1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaku usaha pangan IRT di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat seperti kue kering, keripik singkong, snack kacang polong, kerupuk, makaroni, pisang sale dan biskuit masih banyak yang belum mencantumkan label padahal pengertian pangan IRT sesuai dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (selanjutnya disebut
PerKBPOM No. Hk.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang CPPB-IRT) adalah pangan olahan hasil produksi Industri Rumah Tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel.
Tidak mencantumkan label merupakan perbuatan yang dilarang seperti yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) huruf (i) UUPK, “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.”
Label menjadi sumber informasi konsumen sebelum membeli suatu barang.
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 4 UUPK. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan- kecurangan dapat terjadi. Kecurangan tersebut seperti pengedaran pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan- perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat sehingga dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak, yang dilakukan melalui penipuan pada label pangan. Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
IRTP yang mengedarkan pangan IRT tidak mencantumkan label membutuhkan pembinaan dan pengawasan dari pemerintah agar produk pangan yang dihasilkan sesuai dengan standar ketentuan pangan yang aman untuk dikonsumsi konsumen.
Pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (selanjutnya disebut BPOM).
Selain melanggar Pasal 8 ayat 1 huruf (i) UUPK dan Pasal 111 UU Kesehatan, tidak memasang label juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan) Pasal 97 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (selanjutnya disebut PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan) pada Pasal 3, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (selanjutnya disebut PerKBPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang SPP-IRT), serta PerKBPOM No.
Hk.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang CPPB-IRT yang mewajibkan kepada pelaku usaha untuk mencantumkan label yang sesuai pada produk makanannya.
Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA YANG MENGEDARKAN PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA TANPA MENCANTUMKAN LABEL (STUDY DI PASAR BATU KANDIK DENPASAR BARAT)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan di dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat?
2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian dan membatasi areal penelitian. Dalam penulisan karya ilmiah, diperlukan suatu ketegasan tentang materi yang diuraikan, hal ini disebabkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka untuk menghindari agar jangan terlalu meluas dan nantinya pembahasan diuraikan terarah dan tertuju pada pokok permasalahan.3
3 Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Cet. VII, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.111.
Oleh karena itu, tulisan ini diberikan batasan ruang lingkup permasalahannya.
Hal yang akan ditulis dalam penelitian ini yaitu dipembahasan yang pertama mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat, sedangkan dipembahasan yang kedua yaitu mengenai pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen.
1.4. Orisinalitas
Sejauh ini penelitian tentang “Pertanggungjawaban Pelaku Usaha yang Mengedarkan Produk Pangan Industri Rumah Tangga tanpa Mencantumkan Label (Study di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat)” ini belum pernah dilakukan di Provinsi Bali, fakta ini diperoleh dengan observasi di Ruang Koleksi Skripsi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, secara umum belum ada penelitian yang mengangkat mengenai Pertanggungjawaban Pelaku Usaha yang Mengedarkan Produk Pangan Industri Rumah Tangga tanpa Mencantumkan Label khususnya area Pasar Batu Kandik Denpasar Barat. Menjadi hal yang menarik dimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap pengedaran produknya yang tidak berlabel.
Adapun indikator pembeda antara penelitian yang telah ada terdahulu dengan penelitian penulis dapat penulis sajikan sebagai berikut:
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1. Pelaksanaan Pengawasan
Hak Konsumen Atas Informasi Dan Keamanan Dalam Mengkonsumsi Pangan Industri Rumah Tangga (Studi Di Dinas Kesehatan Kota Malang)
Asri Wahyu Thahara
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang)
1. Bagaimana
pelaksanaan pengawasan hak konsumen atas informasi dan keamanan dalam mengkonsumsi pangan industri rumah tangga oleh Dinas Kesehatan Kota Malang?
2. Apa faktor penghambat pelaksanaan
pengawasan hak
konsumen atas informasi dan keamanan dalam mengkonsumsi pangan industri rumah tangga serta upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Malang?
2. Pertanggungjawaban Terhadap Produk Industri Rumah Tangga (Home Industry) Tanpa Izin Dinas Kesehatan
Abrianto (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar)
1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki registrasi Dinas Kesehatan?
2. Bagaimana
pertanggungjawaban
pemerintah terhadap
konsumen yang
mengalami kerugian akibat mengonsumsi barang yang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan?
3. Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Industri Rumah Tangga
Tanpa Tanggal
Kadaluwarsa berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif
Mey Minanda (Muamalat Fakultas
Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)
1. Bagaimana
perlindungan konsumen terhadap produk pangan industri rumah tangga
tanpa tanggal
kadaluwarsa berdasarkan hukum Islam?
2. Bagaimana
perlindungan konsumen terhadap produk pangan industri rumah tangga
tanpa tanggal
kadaluwarsa berdasarkan hukum positif?
3. Bagaimana peran
hukum Islam
menyempurnakan
peraturan perlindungan konsumen dalam hukum positif?
1.5. Tujuan Penulisan 1.5.1.Tujuan Umum
1 Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat.
2 Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Untuk dapat memahami mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat.
2. Untuk dapat memahami mengenai pelaksanaan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang
tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen.
1.6. Manfaat Penulisan 1.6.1. Manfaat Teoritis
Penelitian skripsi ini dapat membagikan pemikiran dalam perkembangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya tentang tanggung jawab pelaku usaha yang mengedarkan pangan IRT tanpa mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat dan pembinaan dan pengawasan pemerintah terkait dengan produk-produk pangan IRT yang tidak mencantumkan label di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat sebagai upaya perlindungan konsumen.
1.6.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari skripsi ini:
1. Sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian selanjutnya;
2. Bagi konsumen, hasil kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat bahwa konsumen memiliki hak-hak terutama hak untuk mendapatkan informasi;
3. Bagi pelaku usaha, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk memproduksi Pangan IRT yang baik dan benar.
1.7. Landasan Teoritis
Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.4 Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Teori Negara Hukum
Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari “rechtsstaat”. Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh undang-undang, yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.5
Selain istilah “rechtsstaat”, dikenal pula istilah “rule of law” yang diartikan sama dengan negara hukum. Sudargo Gautama menyatakan bahwa: “ ... dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.”6
Moch. Kusnardi menegaskan lagi mengenai persamaan “rule of law” dengan negara hukum, bahwa: “Lain daripada negara Eropa Barat, di Inggris sebutan bagi
4 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
5 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 9.
6 Sudargo Gautama, Ibid., h.8.
Negara Hukum (rechtsstaat) adalah the rule of law, sedangkan di Amerika Serikat diucapkan sebagai Government of Law, but not of man.”7
Selain itu ada pula pendapat yang berbeda, yaitu dari Phillipus M. Hadjon yang tidak menyetujui istilah negara hukum disamakan dengan rechtsstaat ataupun rule of law. Ia pun membedakan antara rechtsstaat dengan rule of law berdasarkan latar
belakang dan sistem hukum yang menopang kedua istilah tersebut. Phillipus M.
Hadjon lebih lanjut menyatakan bahwa konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, yang bertumpu atas sistem hukum kontinental (civil law). Sebaliknya, konsep the rule of law berkembang secara evolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law.8
Atas perbedaan pendapat ini, Azhary menyatakan bahwa secara formal istilah negara hukum dapat disamakan dengan rechtsstaat ataupun rule of law, mengingat ketiga istilah tersebut mempunyai arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Perbedaannya terletak pada arti materiil atau isi dari ketiga istilah tersebut, yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan pandangan hidup suatu bangsa.9
Indonesia merupakan negara hukum yang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum secara umum ialah
7 Moh Kusnardi, 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 79.
8 Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya1987, h. 72.
9 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, h. 33-34.
bahwasannya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum.10
Hukum konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen khususnya tentang label mendapatkan landasan hukumnya pada:
a. UUD 1945
UUD 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi: “ ... kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”
Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata “segenap bangsa”
sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi, disamping itu, dari kata “melindungi”
menurut Az. Nasution didalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Ketentuan tersebut berbunyi: “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penjelasan autentik Pasal 27
10 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.8.
ayat (2) berbunyi: “Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara.”
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak/pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut.
Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang.
b. TAP MPR
Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan Ketetapan Terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut TAP MPR) Tahun 1993 makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.
Salah satu yang menarik dari TAP MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan konsumen.
Susunan kalimat tersebut berbunyi: “ ... meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen.”
Dengan susunan kalimat demikian, terlihat jelas arahan MPR tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.
Kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.
c. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) KUHPer juga menjadi landasan hukum bagi perlindungan konsumen.
KUHPer memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan hukum dan masalah antar pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut.
d. Peraturan Terkait dengan Label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etikel. Ketentuan tentang label terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu seperti yang termuat dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (i) UUPK, “tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat.”
Ketentuan tentang label juga diatur dalam Pasal 111 UU Kesehatan, UU Pangan Pasal 97 ayat (3), PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada Pasal 3, PerKBPOM No. Hk.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang CPPB-IRT, serta PerKBPOM No. HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang SPP-IRT yang mewajibkan kepada pelaku usaha untuk mencantumkan label yang sesuai pada produk makanannya.
2. Teori Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah suatu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlindungan konsumen mengandung aspek perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapat perlindungan bukan hanya fisik investor selaku konsumen produk dan jasa investasi, melainkan juga pada hak-haknya yang bersifat abstrak. Hak-hak konsumen ini merupakan suatu bentuk cerminan kepentingan-kepentingan konsumen yang juga harus dilindungi dan dipenuhi dengan baik oleh para pelaku usaha. Dengan kata lain, perlindungan konsumen itu sendiri sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum kepada konsumen sekaligus haknya.11 Perlindungan konsumen meliputi perlindungan yang berawal dari
11 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. III, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.19.
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut.
Perlunya peraturan yang mengatur perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha, karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun sehingga kenyataannya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Campur tangan negara sendiri dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen. Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut:
1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;
2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pambangunan nasional;
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. 12
12 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.6.
Norma-norma (perlindungan konsumen) lainnya diluar UUPK ini, dijadikan acuan dengan menempatkan UUPK sebagai sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Konstruksinya adalah dengan merujuk Pasal 64 (Bab XIV Ketentuan Peralihan). Melalui ketentuan tersebut dapat dipahami secara implisit bahwa UUPK merupakan ketentuan khusus (Lex Specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UUPK. Sesuai asas lex specialis de rogat lex generalis yang artinya, ketentuan-ketentuan diluar UUPK tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUPK.13 Melalui ketentuan peralihan ini, segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi hak konsumen yang telah ada pada saat UUPK diundangkan, tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan UUPK.
Berdasarkan UUPK, masyarakat wajib mendapat perlindungan hak yang paling asasi yaitu, mendapatkan informasi dan keamanan terhadap makanan yang dibeli dipasaran. Label merupakan sumber informasi dari suatu produk. Tanpa adanya label bisa saja konsumen membeli makanan yang kenyataannya sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Karena jika masyarakat mengkonsumsi makanan kadaluwarsa, tentu akan sangat membahayakan kesehatan.
Teori perlindungan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum represif dan
13 Yusuf Sofie, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 10.
perlindungan hukum preventif.14 Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif ini dipergunakan jika terjadi kerugian konsumen terhadap produk pangan IRT karena hak konsumen akan informasi yang tidak dipenuhi. UUPK di Indonesia sudah menyediakan saluran- saluran hukum untuk para konsumen untuk menuntut haknya apabila terjadi ketidakjujuran produsen ataupun importir. Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), konsumen diberikan kesempatan untuk menuntut pihak produsen terhadap cacatnya produk maupun kerugian yang dideritanya.
Selanjutnya perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan sebelum terjadi sengketa, dalam hal ini menuntut sikap kehati-hatian dari konsumen dalam pemilihan produk pangan. Sikap kehati-hatian ini dimaksudkan agar konsumen jeli dalam memilih produk yang akan dikonsumsinya namun tidak semua konsumen memiliki sikap kehati-hatian karena minimnya pengetahuan akan perlindungan konsumen. Perlindungan preventif kepada konsumen tercantum dalam UUPK yakni dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan terhadap konsumen agar terselenggara perlindungan terhadap konsumen secara memadai. Pembinaan dan pengawasan meliputi: produk dan pelaku usaha, sarana dan prasarana produksi, iklim usaha secara keseluruhan, serta konsumen itu sendiri. Dengan pembinan dan pengawasan diharapkan hak-hak konsumen dapat terpenuhi. Pembinaan terhadap pelaku usaha ditujukan untuk mendorong pelaku usaha bertindak sesuai dengan
14 Philipus M. Hadjon, Op.cit, h. 3.
undang-undang yang berlaku. Dengan demikian pelaku usaha akan memproduksi dan mengedarkan produk pangan IRT sesuai dengan PerKBPOM No.
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang CPPB-IRT. Pembinaan kepada konsumen digunakan untuk meningkatkan sumber daya konsumen sehingga mempunyai kesadaran atas hak-haknya. Oleh karena itu pembinaan dan pengawasan ini diupayakan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kerugian akibat mengkonsumsi pangan yang tidak berlabel.
Terhadap permasalahan ini, Dinas Kesehatan setempat memiliki peran yang sangat besar dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Dalam Bab IV UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan bahwa sesungguhnya pemerintah berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, instansi terkait khususnya Dinas Kesehatan dan BPOM memiliki peranan yang cukup penting untuk perlindungan konsumen dalam hal label suatu produk sehingga dapat menciptakan peningkatan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Kenyataan menunjukkan beragam faktor penting yang menunjukkan lemahnya kedudukan konsumen. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional (selanjutnya disebut BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah:
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;
2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang dan/atau jasa yang sewajarnya;
3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;
4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan;
5. Posisi konsumen yang lemah.15 3. Teori Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab dalam bahasa Indonesia, sudah dipakai secara umum oleh masyarakat untuk terjemahan responsibility dan liability dalam bahasa Inggris.
Namun banyak juga kalangan serjana hukum yang memisahkan antara kata responsibility dengan liability yaitu menerjemahkan responsibility dengan tanggung
jawab dan liability dengan tanggung gugat. Tanggung jawab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggung jawab pelaku usaha yang mengedarkan produk pangan IRT tanpa mencantumkan label yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam
15 Badan Hukum Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 1992, Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Konsumen Atas Kelalaian Produsen, Departemen Kehakiman RI, h. 70.
hukum maupun dalam administrasi.16 Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggungjawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menaggung, memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Menurut hukum perdata, dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).17 Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggungjawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggungjawab sebagai risiko usahanya.
Menurut Abdulkadir Muhammad, teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:
16 Asrul Azwar, 1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, PT Binapura Aksara, Jakarta, h. 1.
17 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 48.
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian;
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend);
c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
1.8. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam proses penelitian, ilmu yang membahas metode ilmiah dan mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.18
18 Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi 1, Granit, Jakarta, h.1.
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan mengkaji suatu permasalahan yang muncul berdasarkan norma-norma hukum lalu mengkaitkannya dengan fakta-fakta nyata yang ada di masyarakat.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yaitu dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan fakta (the fact approach) dengan melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat atau di lapangan
dalam perlindungan konsumen terhadap produk Pangan IRT yang tidak berlabel.
1.8.3. Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam skripsi ini adalah penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan mengkaji hukum tertulis lalu mengkaitkannya dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.
1.8.4. Data dan Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersumber pada:
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis di lapangan (Field Reaserch) melalui 5 responden dengan cara observasi dan wawancara. Dalam
penelitian ini, penentuan tempat atau wilayah dan objek penelitian ditetapkan di wilayah Denpasar, dan studi di Pasar Batu Kandik Denpasar Barat.
2. Data sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian kepusatakaan (library research) yaitu dengan mengkaji bahan-bahan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diperoleh dari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen resmi pemerintah. Adapun jenis-jenis data sekunder antara lain:
a. Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis seperti pendapat para sarjana, tulisan para ahli, pejabat, pakar hukum, dan bahan hukum lainnya;
b. Bahan hukum primer merupakan bahan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer adalah semua aturan yang dibentuk dan dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan lembaga atau badan pemerintahan yang untuk penegakannya diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi oleh aparat negara. Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum primer yang berkaitan dengan penelitian ini, meliputi undang-undang yaitu:
1. UUD NRI 1945;
2. TAP MPR;
3. KUHPer;
4. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
5. UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
6. UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi, dan Pangan;
10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga;
11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga.
c. Bahan hukum tertier merupakan bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia.
1.8.5. Teknik Pengumpulan Data
1. Teknik studi dokumen yaitu teknik penelitian yang dilakukan dengan menelaah dan mengklasifikasi bahan-bahan hukum dan buku-buku yang relevan dengan pokok permasalahan penelitian;
2. Teknik wawancara yaitu teknik penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung bertatap muka terhadap beberapa responden dengan mengajukan pertanyaan sehingga memperoleh jawaban yang relevan terhadap permasalahan penelitian.
1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian yang dilakukan penulis adalah Non Probality Sampling karena memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk
menentukan pengambilan sampelnya. Dan dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya sebagaimana halnya dalam teknik random sampling.
1.8.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data tersebut terkumpul, kemudian diidentifikasi dan dikumpulkan untuk dijadikan sumber utama di dalam membahas pokok permasalahan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terperinci dan sistematis, selanjutnya data tersebut dianalisa, diklasifikasi, dihubungkan antara
satu dengan yang lainnya. Kemudian nantinya ditarik kesimpulan untuk menjawab masalah yang ada dan disajikan secara deskriptif analisis.19
19 Hadi Sutrisno dan Sri Diamuli, 1997, Metedologi Research, Jilid III, Gama University Press, Yogyakarta, h.159.