1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di dalam setiap diri manusia terdapat suatu kerinduan mendalam yaitu hasrat untuk
menemukan penghiburan, untuk dilengkapi dan untuk ditemani.1 Kerinduan mendalam yang
memunculkan hasrat terakumulasi dalam perasaan dan ungkapan cinta. Saat manusia memiliki
keyakinan bahwa cinta telah menjadi unsur penting dalam mengembangkan relasi yang semakin
intens, dan relasi mengarah pada stabilisasi keterlibatan emosi menuju penyesuaian yang
nyaman, aman dan produktif,2 maka komitmen untuk menyatukan cinta membawa kepastian
untuk melangkah pada lembaga pernikahan. Dengan kata lain pernikahan dipandang sebagai
salah satu wadah yang dapat mengakomodir peneguhan komitmen untuk memadukan,
mengembangkan, membina relasi cinta diantara dua insan manusia.
Pernikahan dalam pandangan kekristenan kekinian telah melalui proses historis yang
cukup panjang. Pada awal kekristenan praktik pernikahan Kristen merupakan hasil kolaborasi
antara praktik pernikahan Yunani-Romawi, Yahudi dan etos khusus yang dihadirkan sebagai
penyaring dari tata susila pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi untuk disesuaikan dengan etos
kekristenan.3 Etos Kristen dalam pernikahan mengarahkan setiap pribadi Kristen untuk
menghayati pernikahan dan seksualitas menurut aturan-aturan masyarakat Kristen saat itu. Pada
abad II ZB terdapat karangan Kristen yaitu surat kepada Diognetos 175-200 ZB yang berkaitan
1
James Walker, Suami yang Tidak Mau Memberi Teladan dan Istri yang Tidak Mau Mencontoh (Batam: Interaksara, 2003), 11.
2
Yusak B. Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2014), 28.
3
2
dengan pernikahan. Karangan itu menunjukkan bahwa lembaga pernikahan tidak dapat
diwujudkan jika di dalamnya terjadi kontradiksi dengan unsur-unsur yang ada dalam etos
Kristen, seperti: perceraian.4 Dapat dikatakan etos Kristen dalam pernikahan yang menolak
perceraian menjadi cikal bakal dari pemahaman dasar yang dianut gereja.
Ignatius pada abad kedua mengungkapkan bahwa dalam perwujudan pernikahan maka
mempelai laki-laki dan perempuan harus meminta persetujuan uskup sebagai wujud dari
pemahaman bahwa pernikahan yang dilakukan tidak hanya didasari oleh keinginan duniawi
semata melainkan menurut kehendak Allah. Kemudian, pada abad III banyak gereja yang turut
berperan aktif dalam proses pernikahan sampai pada peneguhan dan pemberkatan nikah.5 Pada
abad XIII gereja mulai mengedepankan pelaksanaan pernikahan dilakukan oleh seorang pejabat
gereja. Realita ini memunculkan kemungkinan pernikahan tidak lagi berada pada undang-undang
profan (pemerintah) melainkan berada di bawah wewenang gereja, bahkan para ahli teologi saat
itu mulai menekankan bahwa pernikahan adalah suatu sakramen. Pada saat itu dalam misa nikah
yang dilakukan oleh seorang imam dibacakan Efesus 5:22-23 dan Matius 19:3-6, kemudian
dilanjutkan dengan berkat yang diucapkan untuk kedua mempelai.6
Tidak heran pernikahan merupakan salah satu peristiwa yang menjadi pusat perhatian
gereja. Pernikahan menurut doktrin Kristen pun memakai dasar-dasar Alkitabiah untuk
menunjukkan bahwa pernikahan merupakan persekutuan hidup yang dikehendaki Allah dan
berlaku seumur hidup (Kej 2:24; Mat 19:3-6).7 Janji pernikahan Kristen meliputi keberadaan
cinta, pemeliharaan dan kemitraan abadi “sampai maut memisahkan kita”, sehingga konsekuensi
4
Groenen, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral,
85-90. 5
J.L.Ch. Abineno, “Peneguhan dan Pemberkatan Nikah,” dalam Weinata Sairin & J.M.Pattiasina (ed.), Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 20-21.
6
J.L.Ch. Abineno, Buku Katekisasi Sidi Nikah, Peneguhan dan Pemberkatannya (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 44. Abineno, Peneguhan dan Pemberkatan Nikah,” dalam Weinata Sairin & J.M.Pattiasina (ed.), Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, 22.
7
3
dari pemahaman pengajaran kekristenan ini berimplikasi pada afirmasi pernikahan untuk
seumur hidup.8 Salah satu pendekatan untuk afirmasi pernikahan ini hadir dari beberapa teolog
Kristen yang mengungkapkan bahwa pernikahan itu tak terceraikan. Augustinus (354-430 ZB)
seorang teolog Kristen mengklaim bahwa pernikahan yang tidak terceraikan adalah pernikahan
yang tidak dapat larut dalam keadaan apapun, dengan kata lain pernikahan merupakan suatu
ikatan sakramen antara kedua pribadi sehingga pernikahan adalah permanen. Pengajaran
Augustinus secara definitif dianut Gereja Roma Katolik dan Ortodoks Timur.9
Tradisi Protestan sendiri menolak gagasan bahwa pernikahan itu adalah sakramen. Marthin
Luther menegaskan bahwa pernikahan adalah suatu kebebasan untuk menikah dengan
memegang janji menciptakan pernikahan yang tak terpisahkan di hadapan Allah dan dunia.10
Sementara Yohanes Calvin (1509-1564) menegaskan bahwa pernikahan yang benar terjadi
sekali, disucikan dan permanen. Walaupun pernikahan bagi Luther dan Calvin bukanlah
sakramen namun Katolik dan Protestan berada pada pemahaman utama yang sama yaitu
memahami bahwa inisiasi menuju kehidupan pernikahan adalah ikatan yang kekal.11 Marthin
Luther dan Yohanes Calvin memahami pernikahan merupakan institusi kudus melibatkan
laki-laki dan perempuan yang diteguhkan dan diberkati Allah. Yohanes Calvin membahasakan
pernikahan merupakan “tatanan yang baik dan kudus dari Allah”.12 Yohanes Calvin dikenal
sebagai reformator Kota Geneva. Tindakan reformasi yang dilakukan oleh Calvin di Geneva
salah satunya adalah melakukan perubahan terhadap pemikiran teologis Barat tentang
8
Abineno, Sekitar Etika dan Soal-Soal Etis, 152.
9Wioleta Polinska, “Till
Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian Studies 30 (2010), 29.
10
Polinska,“Till Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian Studies, 31.
11
Polinska,“Till Death Do Us Part: Buddhist Insights on Christian Marriage” Buddhist-Christian Studies, 32.
12
4
hukum yang mengatur seks, pernikahan dan keluarga.13 Calvin membawa reformasi dalam
pernikahan di Geneva (1541), ia beranggapan bahwa peraturan pernikahan yang berlaku saat itu
perlu untuk dipelajari dan disusun kembali sehingga menghasilkan suatu pernikahan yang seturut
dengan firman Tuhan.14 Peraturan pernikahan (Marriage Ordinances) pada tahun 1547 yang
diprakarsai oleh Calvin akhirnya diterbitkan di Geneva, yang kemudian baru diresmikan tahun
1561.15 Bagi Calvin pernikahan merupakan institusi penyatuan laki-laki dan perempuan yang
telah diinstitusikan Allah oleh karena itu bersifat sakral, kudus. Pernikahan Kristen merupakan
wadah dimana pasangan Kristen menjalankan panggilan imannya.16 Segala tindakan yang
memisahkan institusi ini dalam perceraian merusak pernikahan karena bertentangan dengan
kehendak Allah sebagaimana ditegaskan oleh Yesus dalam Matius 19:6 “Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.”
Pemahaman Yohanis Calvin masih menjadi pegangan bagi gereja-gereja protestan arus
utama di Indonesia yang salah satunya adalah GMIST. Pengajaran tentang pernikahan GMIST
dipaparkan dalam tata ibadah pernikahan yang berisi tentang hakikat dari pernikahan Kristen.
13 Megawati Rusli, “Konsis
tensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan Hidup
Pernikahannya” Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan 10, 1 (April 2009), 73.
14
Doktrin gereja tentang pernikahan disusun setelah revolusi Paus (1075-1300). Doktrin gereja mengalami pengkategorian, penyusunan dan pemurnian. Gereja abad pertengahan membuat undang-undang pernikahan yang kompleks dan menyeluruh dinamakan cannon law of marriage. Undang-undang ini didasarkan atas dasar teologis yang memandang pernikahan sebagai asosiasi alamiah yang telah diciptakan, perjanjian yang disetujui bersama dan sakramen iman. Namun, sekalipun pernikahan itu dipahami sebagai institusi yang ditetapkan Allah, pernikahan dipandang rendah, natural, dan buruk dibandingkan dengan selibat karena pernikahan dianggap sekadar kewajiban, khususnya bagi mereka yang lemah terhadap godaan seksual. Keputusan seseorang untuk menikah menjadi salah satu alasan agar ia terhindar dari dosa sedangkan selibat meninggikan seseorang dengan kebajikannya melalui institusi yang bersifat supranatural. Rusli, “Konsistensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan
Hidup Pernikahannya” Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan , 74-75.
15
Rusli, “Konsistensi Antara Pengajaran Calvin akan Pernikahan Kristen dan Hidup Pernikahannya”
Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan, 78
16
5
Berikut ini beberapa pengajaran pernikahan yang tertulis dalam Tata Ibadah Peneguhan
Pernikahan GMIST :17
Nomor 7 : Titah Pernikahan :
“Sebab itu hendaklah saudara-saudara mendengar sabda Allah yang
memberitakan bahwa nikah itu adalah satu titah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dan yang juga menciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan. Tuhan
Allah berfirman tidak baik manusia seorang diri saja aku akan menjadikan penolong
baginya yang sepadan dengan dia (Kej 2: 18) sebab itu janganlah kamu ragu-ragu
apakah nikah itu berkenan kepada Tuhan Allah atau tidak? karena firmannya
menyaksikan kepada kita bahwa Ia sendiri telah menciptakan untuk Adam seorang
perempuan menjadi istrinya demikianlah sampai sekarang juga Ia hendak
menyatakan kepada kita bahwa Ialah yang dengan tanganNya sendiri hendak
mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan”.
Nomor 10 : Pengakuan dan Ikrar :
“Tuhan kiranya mengabulkan ikrar dan janjimu dan menjadi penolongmu!
demikian diperbuat Tuhan akan kamu, maka hanyalah maut dapat menceraikan
kamu!”
Nomor 14 : Berkat :
“Karena itu apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
(Mat 19:6)
17
6
Dengan demikian pengajaran pernikahan yang tertuang dalam Tata Ibadah GMIST
menunjukkan secara signifikan pemahaman GMIST tentang pernikahan. Pernikahan dipandang
memiliki ikatan kekal atau permanen yang tidak dapat dipisahkan, dan dengan demikian
perceraian merupakan suatu keadaan yang harus dihindari karena merupakan pelanggaran
terhadap ajaran-ajaran gereja. Gereja telah menentukan posisinya dalam memandang perceraian
yaitu menolak perceraian padahal dalam realitanya banyak keluarga yang telah bercerai,
sehingga perceraian merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam realita hidup pernikahan.
Data perceraian menunjukkan bahwa angka perceraian semakin meningkat secara drastis di
Indonesia. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama
periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Tingkat perceraian
sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010, terjadi 285.184
perceraian di seluruh Indonesia. Perceraian pasangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggung jawab 78.407
perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Ditjen Badilag juga mengungkapkan, pemicu
perceraian adalah masalah politik. Tercatat ada 334 kasus perkara perceraian yang dipicu
masalah politik. 18
Sementara itu meningkatnya angka perceraian ini tidak terdeteksi secara statistik dalam
GMIST Mahanaim, hal ini disebabkan GMIST Mahanaim sangat terikat pada doktrin gereja anti
perceraian. Nampaknya mencatat data yang berkaitan dengan perceraian dalam jemaat dianggap
sebagai bentuk persetujuan perihal perceraian dan juga menunjukkan kegagalan gereja dalam
menangani konflik rumah tangga dalam jemaat. Berdasar hasil wawancara dengan kepala kantor
18
7
GMIST Mahanaim Jakarta, 4 orang dari pelayanan kategorial perempuan dan 3 orang majelis
diungkapkan beberapa kasus perceraian yang terjadi dalam jemaat, seperti berikut: 15 kasus
perceraian resmi yang dilakukan di pengadilan negeri, 22 kasus pisah rumah tanpa perceraian.19
Perceraian ternyata tidak hanya terjadi di luar tembok gereja tetapi telah masuk ke dalam
gereja dan menjadi realitas hidup jemaat. Kesepakatan untuk bercerai merupakan dampak dari
kegagalan membangun relasi harmonis antara suami dan istri. Kegagalan dalam membangun
relasi yang harmonis tidak hanya berpusat karena cinta yang telah hilang dalam relasi suami atau
pun istri tetapi sering disebabkan oleh beragam persoalan yang mencuat dalam kehidupan rumah
tangga, seperti persoalan gejolak politik dan ekonomi dalam negara yang dapat berimbas pada
keterhimpitan ekonomi keluarga yang berujung pada konflik dalam rumah tangga. Persoalan
gender yang berkaitan dengan budaya patriakhi yang masih dijunjung tinggi berakibat pada
ketimpangan peran antara suami dan istri, suami menganggap dirinya sebagai pemegang tampuk
kekuasaan dan keputusan dalam rumah tangga sehingga dapat melakukan tindakan semena-mena
terhadap istri. Kondisi yang menghadirkan beragam persoalan semakin menegaskan kesuraman
ketika persoalan-persoalan yang terjadi diatasi dengan menggunakan kekerasan terhadap suami
atau pun istri baik secara fisik dan psikis. Melalui media massa ataupun media elektronik kita
dapat membaca, melihat, mendengar kasus-kasus kekerasan yang dialami dalam ruang lingkup
rumah tangga.
Kasus-kasus kekerasan merupakan sebuah realita yang menggambarkan penganiayaan
yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Penganiayaan yang pada umumnya menunjukkan
perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam pengalaman penganiayaan
yang dialami akibat kekerasan dalam rumah tangga maka bukanlah suatu jaminan jika
19
8
pernikahan dipertahankan maka kebahagiaan tetap menjadi bagian dalam lingkup rumah tangga.
Kebahagiaan yang ada mungkin hanya sebagai topeng untuk menghindari kecaman masyarakat
dan agama. Namun di dalam hati dan fisik yang telah teraniaya pernikahan telah menjadi batu
sandungan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Tidak heran jika kasus-kasus kekerasan yang
muncul dalam rumah tangga menyebabkan terjadinya perceraian.
Persoalan perceraian adalah persoalan yang dilematis karena setiap perceraian selalu
membawa konsekuensi bagi setiap orang yang memutuskan untuk bercerai. Ada konsekuensi
etis, psikologis, finansial, serta berhubungan dengan status dalam masyarakat termasuk dalam
persekutuan gereja. Di Indonesia sendiri orang yang bercerai akan mendapatkan reputasi yang
buruk karena mereka dianggap sebagai pengkhianat rumah tangga.20
Dalam Kekristenan yang juga nampak dalam GMIST, perceraian dianggap sebagai suatu
pelanggaran terhadap ketetapan Tuhan. Kekristenan memegang doktrin anti perceraian seperti
yang terdapat dalam Alkitab yaitu Matius 19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Bahkan
permasalahan-permasalahan dengan beragam bentuk salah satunya berupa kekerasan dalam
pernikahan dianggap sebagai pergumulan ataupun jalan salib yang harus dilalui dan jalan salib
itu mendorong pertobatan, pengampunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa doktrin
Kristen anti perceraian merupakan suatu kemutlakan untuk tetap menyatu dalam pernikahan
sekalipun terjadi ketimpangan keadilan, penganiayaan dan perenggutan hak asasi manusia
sebagai pribadi yang patut untuk dicintai, dihargai, dihormati. Bahkan tidak jarang pemahaman
terhadap doktrin anti perceraian memunculkan sikap pembenaran terhadap penganiayaan dan
20
9
penyiksaan yang dialami oleh suami atau pun istri. Sikap pembenaran ini merupakan bagian
wajib yang harus dijalani sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan, tidak heran walaupun terjadi
kekerasan dalam rumah tangga tetapi mereka lebih memilih bertahan terhadap penyiksaan itu,
dibandingkan keluar dari penyiksaan tersebut. Doktrin Kristen anti perceraian telah
menyembunyikan realita kekerasan dalam rumah tangga yang terbungkus oleh teks-teks yang
terdapat dalam Alkitab yang berkaitan dengan larangan perceraian.
Doktrin anti perceraian ini yang membentuk sikap gereja saat berhadapan dengan
persoalan perceraian dalam jemaat. Bahkan doktrin tersebut menjadi dasar bagi gereja
melakukan sikap yang diskriminatif terhadap keluarga yang bercerai. Seperti contoh : pertama,
ketika suami atau pun istri yang bercerai memegang jabatan majelis dalam gereja maka secara
otomatis mereka akan dikenakan disiplin gereja yaitu diskors dari kemajelisan. Kedua, bagi para
ibu rumah tangga yang aktif dalam kepengurusan organiasai gereja dan memilih untuk bercerai
mendapatkan disiplin gereja. Untuk sementara waktu dinonaktifkan dari kepengurusan gereja.
Ketiga, keluarga yang bercerai seringkali menjadi topik perbincangan dalam komunitas jemaat,
bahkan mengarah pada sikap mengucilkan keluarga yang memutuskan untuk bercerai karena
dianggap telah melanggar perintah Allah dan dianggap sebagai pengkhianat rumah tangga.
Gereja seringkali mengambil sikap menghakimi tanpa menyelidiki persoalan yang
mendasari perceraian, sehingga yang sering terjadi adalah korban kekerasan dalam rumah tangga
juga menjadi korban dalam gereja. Gereja lebih sering memilih untuk mengambil sikap “diam”
dan menyerahkan kepada legalitas hukum pemerintah untuk menyelesaikan kasus perceraian.
Doktrin Kristen anti perceraian merupakan dasar dari sikap pasif gereja terhadap persoalan
10
Persoalan dilematis ini semakin memperuncing keadaan psikis dari keluarga yang bercerai.
Padahal suatu keutuhan terhadap diri manusia yang begitu berharga diciptakan oleh Tuhan dan
tersia–siakan dalam lembaga pernikahan seharusnya juga menjadi dasar pemikiran gereja untuk
turut memberikan sarana ataupun media dalam penanganan perceraian, dimana pernikahan yang
dijalani telah menjadi ajang untuk mematikan karakter manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Kebahagiaan mereka justru terenggut dalam lembaga pernikahan. Gereja harus mampu memberi
jawaban yang arif, dan objektif bersangkut paut dengan persoalan perceraian, sehingga keutuhan
akan diri sebagai ciptaan Tuhan untuk meneruskan hidup dengan optimis dapat dirasakan oleh
setiap individu dalam jemaat yang telah menjadi korban kekerasan dalam lembaga pernikahan.
Hidup bukan untuk ketertindasan tetapi untuk kemerdekaan. Mengembalikan keutuhan sebagai
manusia yang memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan merupakan tugas dan tanggung
jawab bersama.
Sikap gereja merupakan salah satu dari sikap komunitas kristen lain terhadap perceraian
yang di akibatkan karena benturan doktrin Kristen anti perceraian. Jika demikian bukankah
doktrin Kristen yang anti perceraian juga turut mengambil bagian melegalkan penindasan,
penganiayaan, penjajahan yang terjadi dalam lembaga pernikahan. Bahkan menghantar kepada
“maut” itu sendiri, atau pemahaman yang keliru terhadap doktrin Kristen yang berbicara tentang
perceraian dalam Matius 19: 1-12 menjadi penyebab dari keabsahan penderitaan dan
penganiayaan, penjajahan dalam rumah tangga. Dalam konteks permasalahan demikian maka
penulis akan mengkaji permasalahan ini melalui hermeneutik poskolonial yang lebih
memberikan penekanan pada pembebasan dari keterjajahan. Kajian yang akan dilakukan
berdasarkan konteks pembebasan dari keterjajahan dalam rumah tangga, komunitas Kristen dan
11
merekonstruksi dari perspektif postkolonial pengalaman orang–orang yang mengalami
perceraian dari Matius 19:1-12, melakukan studi hermeneutik berdasarkan perspektif
hermeneutik poskolonial, dan melakukan tinjauan kritis terhadap doktrin Kristen anti perceraian
terhadap matius 19:1-12. Berdasar kompleksitas permasalahan di atas yang bersangkut paut
dengan perceraian, maka judul dari tesis ini adalah
Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim
dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial terhadap Matius 19:1-12.
1.2. Perumusan Masalah
Untuk menjawab permasalahan ini, maka rumusan permasalahan adalah sebagai
berikut:
1. Apakah pengalaman diskriminasi yang dialami oleh korban perceraian di GMIST Mahanaim?
2. Apakah makna teks Matius 19:1-12 menurut perspektif orang-orang yang mengalami
diskriminasi akibat perceraian di GMIST Mahanaim?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jawaban dari tiga permasalahan yang terdapat
dalam rumusan masalah yaitu:
1. Mengetahui pengalaman diskriminasi pada orang yang bercerai di GMIST Mahanaim.
2. Merekonstruksi makna teks Matius 19:1-12 berdasar perspektif orang yang bercerai di
GMIST Mahanaim dengan menggunakan konteks sosio budaya dalam Matius yang bersentuhan
12
1.4. Urgensi Penelitian
Urgensi dari penelitian tidak hanya sekedar bersifat teoritis tetapi juga dapat bersifat
praktis. Bersifat teoritis karena penelitian ini akan menyentuh konsep perceraian berdasar latar
belakang menyejarah dari Matius 19:1-12, sehingga urgensi yang bersifat teoritis ini akan
melakukan tinjauan kritis terhadap doktrin Kristen anti perceraian dan akan memberikan
perspektif yang benar tentang perceraian yang dimaksudkan oleh Matius 19:1-12 kepada gereja
dan warga gereja, dengan demikian akan dilakukan peninjauan ulang terhadap doktrin Kristen
anti perceraian.
Perspektif yang benar tentunya akan berdampak pada sikap yang benar dalam menghadapi
permasalahan perceraian yang terjadi dalam jemaat. Urgensi bersifat praktis ini merupakan
kelengkapan dari perspektif teoritis tentang perceraian, sehingga warga gereja dapat menyikapi
perceraian dengan bijaksana. Bijaksana disini memiliki pengertian kemampuan warga gereja dan
gereja untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap mereka yang bercerai, dan tetap memberikan
mereka peluang atau pun kesempatan dalam karya pelayanan. Gereja pun kiranya dapat berperan
serta dalam upaya meletakkan rancangan-rancangan strategis dalam persoalan perceraian.
1.5. Jenis & Metodologi Penelitian
Pada tulisan ini metode yang digunakan adalah hermeneutik poskolonial. Hermeneutik
poskolonial merupakan interpretasi yang memahami teks dengan melibatkan konteks.
Interpretasi terhadap teks tidak muncul dalam situasi terisolasi namun berada dalam konteks
konkrit dimana penafsir berada dan bergulat dengan persoalan-persoalan komunitasnya.21
21
13
Hermeneutik poskolonial yang berhubungan dengan pembelajaran Alkitab adalah untuk
menempatkan situasi kolonialisme ditengah Alkitab dan interpretasi Alkitab. Apa yang di
temukan pada segi sejarah dan naskah hermeneutik dari pengetahuan tentang Alkitab lebih dari
empat ratus tahun adalah dampak dari reformasi atau reformasi balasan atau efeknya dari
pergerakan filosofi Eropa pada abad 18 dan membentuk disiplin oleh pemikiran rasionalis atau
sesuatu yang berkembang dalam kritik sejarah. Namun terdapat keengganan yang luar biasa
untuk menyebutkan imperialisme sebagai pembentuk garis batas pengetahuan tentang Alkitab.
Apa yang dilakukan oleh kritik poskolonial dalam Alkitab terfokus pada keseluruhan isu tentang
perluasan, dominasi dan imperalisme sebagai pusat kekuatan dalam mendefenisikan antara narasi
Alkitab dan interpretasi Alkitab. 22
Metode hermeneutik poskolonial yang digunakan untuk membaca teks Matius 19: 1-12
yang berpusat pada konteks penafsir yang didominasi oleh beragam bentuk diskriminasi kiranya
dapat memberikan kontribusi positif dalam penafsiran yang baru untuk menghapus bentuk
kekerasan dan diskriminiasi yang dialami oleh mereka yang bercerai sehingga membawa
keadilan dan kemerdekaan untuk mereka.
Selain penggunaan metode hermeneutik poskolonial, maka dalam tulisan yang berpusat
pada konteks penafsir yang bersinergi dengan rekonstruksi perspektif dari pengalaman
orang-orang yang mengalami tindakan kekerasan dan diskrimasi berkaitan dengan perceraian
dibutuhkan metode pendekatan sekunder dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memberikan penekanan pada kualitas entitas, proses dan makna yang tidak
melakukan kajian dari ukuran secara eksperimental dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau
frekuensi. Peneliti kualitatif mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang menyoroti cara
UKSW, 2014), 1-4.
22
14
munculnya pengalaman sosial berikut perolehan makna di dalamnya.23 Penggunaan metode ini
dapat mengarahkan penulis untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang pengalaman
tindak kekerasan dan diskriminatif yang mereka alami.
Untuk mendukung penulis menemukan gambaran secara holistik dari pengalaman
diskriminasi dan makna baru didalamnya maka penulis menggunakan teknik wawancara. Penulis
akan mewawancarai lima orang yang mengalami perceraian, langkah ini merupakan teknik
pengambilan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif tentang pemahaman
perceraian dari perspektif mereka berkaitan dengan Matius 19:1-12, sebab dan dampak
perceraian. Waktu penelitian selama delapan minggu dari tanggal 27 November 2013-22 Januari
2014. Selain itu pula penulis akan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang
menjadi sumber data, berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini.
1.6. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dalam lima Bab. Pada Bab I dipaparkan tentang latar belakang,
rumusan masalah, urgensi penelitian, manfaat penelitian, jenis dan metode penelitian, serta
sistematika penulisan. Bab II akan memaparkan kerangka teori studi poskolonial, pengalaman
diskriminasi dari orang yang bercerai dengan memperhatikan faktor-faktor yang memicu
perceraian seperti dominasi kultur patriakhi yang berkolaborasi dengan kapitalisme global yang
mengakibatkan tindakan kekerasan. Pemaparan dari pengalaman-pengalaman tersebut akan
memunculkan rekonstruksi perspektif dari pengalaman diskriminasi orang yang bercerai di
GMIST Mahanaim. Pada Bab III memaparkan konteks sosio budaya dari teks Matius 19:1-12
meliputi: konteks penulisan Matius, imperialisme Romawi, dinamika kehidupan antara
23
15
Romawi, Yahudi, dan Kristen. Serta konsep pernikahan Yunani-Romawi dan Yahudi. Bab IV
akan memaparkan tinjauan kritis doktrin Kristen anti perceraian dari perspektif poskolonial