A. Pengertian Penyitaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa Indonesia “Beslag” namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa pengertiam yaitu :
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke dalam keadaan penjagaan
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secra resmi (official) berdasarkan permintaan Pengadilan atau Hakim
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan utang debitur atau tergugat denga jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.96
Pengertian penyitaan dirumuskan dalam pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan“.97
Dari pengertian di atas, secara hukum pidana dapat dikatakan bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik untuk :
1. Mengambil atau merampas sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan Undang-Undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum (wederrechtelijk).
2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh dan disimpan di bawah kekuasaannya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan penyitaan dalam Hukum Pidana adalah bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai bukti kejahatan/pelanggaran di depan Pengadilan.
Sedangkan penyitaan dalam Hukum Perdata terdiri dari :
1. Sita Conservatoir ialah penyitaan atas inisiatif atau usul dari kreditur selama proses pengadilan, agar debitur tidak menggelapkan kekayaan sebagai jaminan. 2. Sita Revindicatoir ialah penyitaan atas inisiatif/usul dari pemilik barang untuk
mendapatkan kembali barang miliknya dari tangan debitur.
3. SitaExecutoir ialah penyitaan untuk melaksanakan vonis hakim yang dilakukan secara sukarela oleh pihak yang kalah berperkara.
Pengertian penyitaan menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang milik penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajaknya
Apabila penyitaan dalam Hukum Pajak dihubungan dengan Sita Executoir dalam Hukum Perdata, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari SitaExecutoirdalam Hukum perdata sama dengan penyitaan dalam Hukum Pajak.98
Penguasaan barang milik penanggung pajak yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah agar penanggung pajak tidak menghilangkan, mengalihkan, menjual atau memindahtangankan hak kepemilikan atas barang tersebut kepada pihak lain, sehingga ada jaminan bahwa utang pajak tersebut akan dilunasi oleh penanggung pajak. Apabila tidak dilunasi, maka fiskus akan menjual barang tersebut dengan cara dilelang untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan yang dikeluarkan oleh fiskus.99
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 PP Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, diatur bahwa penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak guna
98
Moeljo Hadi, Dasar-Dasar Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Oleh Juru Sita Pajak Pusat Dan Daerah, PT. RajaGRafindo Persada, Jakarta, 2001, Hlm. 47
dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.100
Tujuan dari tindakan penyitaan sesungguhnya tidak untuk melakukan penjualan barang milik penanggung pajak, melainkan hanya untuk menguasai barang penanggung pajak sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sampai dengan dilakukan penyitaan, wajib pajak masih diberikan kesempatan untuk melakukan pelunasan untuk utang pajak dan biaya penagihan pajak. Akibat hukum dari penyitaan adalah beralihnya hak kepemilikan atas barang penanggung pajak kepada negara, sehingga selama masa penyitaan hak-hak kepemilikan barang penanggung pajak menjadi hilang.101
Berdasarkan PP Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan, Pasal (3) disebutkan bahwa yang dapat dijadikan objek sita adalah milik wajib pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu, salah satunya dengan diikat Hak Tanggungan.
Letak objek sita tidak menjadi masalah yang menjadi pertimbangan adalah adanya kemungkinan dapat tidaknya pejabat melakukan penjualan atas barang milik penanggung pajak tersebut, dikarenakan penguasaan barang berada di tangan pihak lain, misalnya barang tersebut disewakan atau dipinjamkan. Dan objek sita
dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu, seperti barang-barang tersebut sedang dibebani Hak Tanggungan, Hipotik dan Gadai.
Barang barang yang dapat dijadikan objek sita dapat berupa102:
a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasaan, uang tunai, deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya, yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi
kotor tertentu. Kapal dapat dianggap sebagai barang tidak bergerak jika minimum isi kotor 20 M3(dua puluh meter kubik).
Barang-barang yang berkaitan dengan kebutuhan dasar penanggung pajak dan pertimbangan lain tidak dapat dijadikan objek jaminan antara lain103:
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta perlengkapan memasak yang berada di rumah, termasuk obat-obatan yang dipergunakan penanggung pajak beserta keluarga.
3. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.
4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak, alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.
102Ibid
5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) atau jumlah lain yang ditetapkan Menteri Keuangan atau Kepala Daerah.
6. Peralatan penyandang cacat yang dipergunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Dalam pelaksanaan penagihan pajak sangat dimungkinkan terjadi keadaan jurusita pajak tidak menemukan wajib pajak. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan penagihan pajak. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut dalam pelaksanaan penagihan pajak, jurusita diberikan kewenangan untuk tidak saja melakukan tindakan terhadap wajib pajak tetapi juga terhadap pihak lain yang ikut bertanggung jawab. Pihak lain dalam sistem perpajakan Indonesia dikenal sebagai penanggung pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 25 UU KUP, penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan yang dimaksud diatas adalah Peseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Tetap (BUT), Badan Usaha lain (Persekutuan, Firma, Perseroan Komanditer) dan Yayasan.
tanggungannya, kecuali apabila terjadi perjanjian premarital secara tertulis tentang adanya pemisahan harta dan penghasilan diantara suami dan isteri.
Untuk wajib pajak badan sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili dalam hal :
1. Badan oleh pengurus
2. Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator
3. Badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan
4. Badan dalam likuidasi oleh likuidator
5. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya atau
6. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
Berdasarkan ketentuan pasal 32 tersebut diatas dimaksud dengan pengurus bagi wajib pajak badan terdiri dari :
1. Orang yang namanya tercantum dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian dan perubahannya
2. Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, misalnya dalam hal berwenang menandatangani cek. Termasuk dalam hal ini adalah komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada penanggung pajak.104
Penyitaan dilakukan dengan mendahulukan barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan terhadap barang tidak bergerak. Penentuan urutan penyitaan barang bergerak dan tidak bergerak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya. Barang bergerak cenderung lebih mudah penjualannya dibanding barang tidak bergerak. Akan tetapi, harga objek sita diprioritaskan pada asset penanggung pajak yang mudah untuk dijual atau diuangkan dan dalam jumlah yang memadai untuk melunasi utang pajak.105
Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga jurusita tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal ini, jurusita dimungkinkan menggunakan jasa penilai.106
B. Ketentuan Penyitaan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pajak Atas Barang Jaminan Yang Telah Dipasang Hak Tanggungan
Penagihan aktif merupakan alat bagi negara untuk memperoleh haknya (utang pajak). Penagihan aktif dimulai dengan penerbitan surat teguran, penyampaian surat paksa, pelaksanaan sita, pelaksanaan lelang, pencegahan ke luar negeri, dan penyanderaan wajib pajak dengan tujuan agar utang pajak beserta biaya penagihan pajak dilunasi oleh wajib Pajak.
Salah satu penagihan aktif adalah dengan melakukan penyitaan terhadap asset wajib pajak. Penyitaan terhadap asset CV. XX dilakukan pada Januari Tahun 2015, setelah terlebih dahulu diberitahukan melalui surat teguran dan surat paksa kepada CV. XX, tetapi dalam batas waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat jam) sejak pemberitahuan surat Paksa tersebut CV. XX tidak juga melunasi utang pajaknya.
KPP Pratama Medan Kota menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP), yang diterbitkan oleh Kepala KPP Pratama Medan Kota sebagai pejabat yang telah menerbitkan Surat Paksa.
SPMP dapat diterbitkan oleh107 a. Pejabat yang menerbitkan surat paksa b. Pejabat lainnya dengan ketentuan :
1. Apabila objek sita berada di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan surat paksa. Pejabat tersebut meminta bantuan kepada pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat atau lokasi objek sita berada untuk
menerbitkan SPMP terhadap objek sita dimaksud. Selanjutnya pejabat yang diminta bantuan segera menerbitkan SPMP tersebut.
2. Apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja pejabat. Pejabat dimaksud dapat menerbitkan SPMP dan memerintahkan jurusita pajaknya untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan pejabat setempat.
Berdasarkan SPMP, jurusita KPP Pratama Medan Kota melaksanakan penyitaan atas barang milik CV. XX. Sebelum dilaksanakan penyitaan, jurusita KPP Pratama Medan Kota terlebih dahulu :
a. Memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Juru Sita Pajak b. Memperlihatkan SPMP
c. Memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
KPP Pratama Medan Kota melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan penanggug pajak yang disimpan di Bank dan Sertifikat Tanah dan Bangunan108. 1. Penyitaan terhadap harta kekayaan CV. XX di Bank
Penyitaan terhadap harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pemblokiran terlebih dahulu.
Pemblokiran merupakan tindakan pengamanan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta
kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan penanggung pajak di bank diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 tanggal 6 Agustus 2007 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 tanggal 24 September 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penangihan Pajak dengan surat paksa : a. Harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank meliputi
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro atau bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Penyitaan harta kekayaan Penangggung pajak yang tersimpan di bank dilaksanakan dengan cara pemblokiran terlebih dahulu, yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundangan-udangan yang berlaku.
2. Penyitaan terhadap Sertifikat tanah dan Bangunan
Kepemilikan atas tanah meliputi antara lain109: a. Hak Milik
b. Hak Pakai
c. Hak Guna Bangunan d. Hak Guna Usaha
Prosedur penyitaan Tanah dan bangunan yang dilakukan oleh jurusita KPP Pratama Medan Kota atas tanah dan bangunan setelah diterbitkannya SPMP, berdasarkan Pedoman Penagihan Pajak 2009 sebagai berikut:
1. Persiapan
Sebelum melakukan penyitaan, jurusita harus menyiapkan dokumen dan peralatan, saksi-saksi dari KPP dan Pemda, serta berkoordinasi dengan Kepolisian setempat untuk bantuan pengaman sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan yang dihadapi.
Saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang:110 a. Telah dewasa
b. Penduduk Indonesia
c. Dikenal oleh juru sita pajak dan d. Dapat dipercaya
Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa penyitaan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Jurusita melaksanakan penyitaan.
Jurusita diperbolehkan memasuki pekarangan atau rumah dengan terlebih dahulu memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal jurusita pajak, memperlihatkan SPMP dan memberitahukan maksud dan tujuan penyitaan. Apabila Penanggung pajak, pegawainya atau penjaga tanah dan bangunan objek sita melarang jurusita untuk memasuki pekarangan atau rumah, walaupun diberitahukan dan dijelaskan maksud kedatangan jurusita, maka jurusita pajak diperkenankan memasuki pekarangan atau rumah tersebut dengan kekerasan. Jurusita pajak dapat meminta bantuan kepolisian, agar secara paksa membantu jurusita memasuki pekarangan atau rumah objek untuk melakukan penyitaan. Apabila belum ada bantuan kepolisian yang memungkinkan jurusita memasuki pekarangan atau rumah, jurusita agar menunda pelaksanakan penyitaan pada hari tersebut, untuk merencanakan pelaksanaan penyitaan pada hari atau waktu yang ditetapkan kemudian.
3. Penandatangan Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS)
Setelah penyitaan dilakukan dilakukan penandatangan BAPS oleh : a. Jurusita Pajak
b.Penanggung Pajak c. Saksi-saksi
Apabila Penanggung pajak atau wakilnya menolak untuk menandatangani BAPS, jurusita tetap dapat melanjutkan penyitaan dan membuat BAPS, menandatanganinya bersama-sama 2 (dua) orang saksi dengan menuliskan adanya penolakan Penanggung Pajak pada BAPS Tersebut. BAPS tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kepada semua pihak.
BAPS merupakan pemberitahuan kepada penanggung pajak dan masyarakat bahwa penguasaan barang penanggung pajak telah berpindah dari penanggung pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu dalam setiap penyitaan yang dilakukan jurusita pajak harus membuat BAPS secara jelas dan lengkap yang sekurang-nya memuat :
a. Hari dan Tanggal b. Nomor
c. Nama Jurusita Pajak d. Nama Penanggung Pajak
Pihak yang menandatangani BAPS untuk penanggung pajak badan adalah pihak yang juga kepada mereka diberitahukan surat paksa yaitu pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan. Penandatanganan oleh pihak-pihak tersebut dimaksudkan untuk memberi pengertian bahwa mereka turut bertanggung jawab atas kewajiban badan usaha tersebut sehingga barang-barang milik mereka juga dapat dijadikan jaminan utang pajak (dapat disita).
BAPS paling sedikit dibuat rangkap 6 (enam) : a. Lembar ke 1 untuk Kepala Seksi Penagihan b. Lembar ke 2 untuk ditempelkan pada objek sita c. Lembar ke 3 untuk penanggung pajak
d. Lembar ke 4 untuk BPN/Kepala Keluarahan/Kepala Desa e. Lembar ke 5 untuk Pengadilan Negeri
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipun penanggung pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi berasal dari Pemda setempat, sekurang-kurangnya Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa
BAPS untuk penyitaan yang tidak dihadiri oleh penanggung pajak tersebut ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi dan harus memuat alasan ketidakhadiran penanggung pajak.
4. Penempelan Salinan BAPS
Salinan BAPS ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak atau tidak bergerak yang disita berada atau di tempat-tempat umum
Pada dasarnya terhadap barang yang disita harus ditempeli salinan BAPS kecuali jika terdapat barang yang disita yang sesuai sifatnya tidak dapat ditempeli salinan BAPS, misalnya uang tunai atau sebidang tanah.
Barang BAPS yang telah ditandatangani oleh jurusita dan saksi-saksi dan segel sita yang telah ditandatangani jurusita, ditempel pada tanah atau bangunan yang disita sedemikian rupa agar penanggung pajak dan masyarakat umum mengetahui status tanah atau bangunan tersebut dalam penyitaan oleh Negara c.q Kepala KPP Pratama Medan Kota. Penempelan atau pemberian segel sita tetap dilakukan baik dihadiri atau tidak dihari oleh penanggung pajak.
5. Penyampaian Salinan BAPS
Terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, maka salinan BAPS diserahkan kepada instansi tempat kepemilikan barang dimaksud terdaftar. Hal tersebut dimaksudkan tidak dapat dipindahtangankan sebelum utang pajak beserta biaya penagihan pajak dan biaya lainnya dilunasi oleh penanggung pajak.
Salinan BAPS atas penyitaan barang yang kepemilikannya terdaftar antara lain :
2) Tanah, diserahkan kepada Badan Pertanahan Nasional
3) Kapal Laut, dengan Isi Kotor tertentu, diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Penyampaian Salinan BAPS atas barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar
Apabila penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, maka juru sita pajak menyampaikan salinan BAPS kepada Pemda dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut cara yang lazim di tempat tersebut.
Penyitaan tanah sebagai barang tidak bergerak, yang kepemilikannya belum terdaftar di badan Pertanahan Nasional, Salinan BAPS disampaikan kepada Daerah setempat untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan Riwayat Tanah untuk mencegah pemindahtangan tanah yang dimaksud. Penyampaian Salinan BAPS dimaksud untuk didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dan Pemda setempat selanjutnya mengumumkan penyitaan tersebut.
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :
a. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak
Dengan demikian, penyitaan dapat dilakukan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan, baik sebelum maupun sesudah lelang dilaksanakan.
Apabila telah dilakukan penyitaan maka penangung pajak dilarang untuk : a. Memindahkan hak, menindahtangankan, menyewakan, meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan atau merusak barang yang telah disita. b. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan Hak Tanggungan
untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan.
c. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu.
d. Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salina BAPS yang telah ditempel barang sitaan.
A. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT Nomor 4 tahun 1996.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ada dua bentuk perlindungan hukum yaitu pertama perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Kedua perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam proses pemberian kredit yang dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur kepada debitur, kemungkinan terjadinya resiko seperti kemacetan dalam pelunasan hutang oleh debitur sangatlah besar. Sehingga diperlukan jaminan kebendaan yang dipersyaratkan oleh bank kepada kreditur guna menjamin pelunasan kredit tersebut. Jaminan yang paling banyak digunakan adalah hak atas tanah, karena nilai atau harganya yang cenderung meningkat.
sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuataan eksekutorial. Dalam hak tesebut diatas, jelas bahwa perlindungan hukum diberikan kepada kreditur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah Berserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT).
UUHT dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan secara seimbang.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT adalah :
1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference). Dalam UUHT tentang kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain, ditentukan pada Pasal 1 ayat (1) UUHT yang antara lain menyebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
2. Hak Tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapapun berada.
Sesuai dengan ciri hak kebendaan. Hak Tanggungan juga mempunyai ciri dan sifat droit de suite, bahwa benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan walaupun beralih atau dialihkan, tetap mengikuti dalam tangan siapapun benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut berada.
Keetentuan dalam pasal 7 UUHT menegaskan mengenai sifat droit de suitedijelaskan sebagai berikut :
Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain. Kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji.
Sifat droit di suite yang dimaksud untuk melindungi kepentingan kreditur, dimana piutang kreditur terjamin pelusanannya, walaupun benda yang telah dijaminkan dengan Hak Tanggungan telah berpindah tangan atau beralih menjadi milik pihak ketiga. Kreditur tetap memiliki hak untuk mengeksekusi benda yang menjadi objek Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan terhadap piutangnya, apabila debitur cidera janji.
Keberadaan Hak Tanggungan ditentukan melalui pemenuhan tata cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yakni tahap pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian pokok, yakni perjanjian utang-piutang, dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh kantor pertanahan yang menandakan saat lahirnya Hak Tanggungan. APHT memuat substansi yang bersifat wajib, yakni berkenaan dengan nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili pihak-pihak bersangkutan, penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan (Pasal 11 UUHT). Di dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji sebagaimana lazimnya, yang pada umumnya membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk melakukan tindakan tertentu terhadap obyek Hak Tanggungan tanpa ijin tertulis dari pemegang Hak Tanggungan, satu dan lain hal agar obyek Hak Tanggungan tetap dalam keadaan terpelihara atau tidak merosot nilainya. Bahkan apabila hak atas tanah dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum, maka dapat diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh/sebagian dari ganti kerugian yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan.111
Dalam kaitannya dengan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek Hak
111 Maria Sumardjono, “Prinsip Dasar Hak Tanggungan Dan Beberapa Permasalahan Yang
Tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengingat bahwa penjualan obyek Hak Tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi Hak Tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan (kreditur) untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (HT), APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan, maka segala macam janji itu sudah tercantum di dalam formulir APHT.
perundang-undangan yang berlaku berdasarkan akta yang membuktikan peralihan Hak Tanggungan tersebut. Analog dengan pendaftaran Hak Tanggungan, tanggal pencatatan peralihan oleh Kantor Pertanahan adalah hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran peralihannya. Penentuan waktu ini penting karena menentukan saat berlakunya peralihan Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.112
4. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti
Salah satu ciri dan sifat lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat yaitu, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti, bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dilakukan melalui mekanisme yang sederhana tanpa melalui proses beracara di muka pengadilan.113
Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:114
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
112Maria Sumardjono, Op. Cit., hlm. 524-525 113
Rachmadi Usman, Op.cit. Hlm. 348 114
b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
c. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan. Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud. Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya.
semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat terjadi karena:115
a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif
b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya. Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar.116
Menurut pasal 6 UUHT, apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT ini memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi yang artinya
115
Ridwuan Khairandy, Problematika Yuridis Eksekusi Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 22
pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan Pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur, dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. karena kewenangan pemgang Hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (kewenangan tersebut dipunyai demi hukum), Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.
Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan, atau oleh pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan, jadi dalam Hak Tanggungan, pemegang Hak tanggungan untuk dapat melakukanparate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh pasal 6 UUHT. Dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.117
Sertifikat Hak Tanggungan, yang merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh kantor Pertanahan dan ada yang memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
117 Henny Tanuwidjaja, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum
YANG MAHA ESA” mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan berlaku senagai pengganti grosse akta hipotik sepanjang mengenai hak atas tanah. Demikian ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UUHT. Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat menggugat (proses litigasi) apabila debitur cidera janji.
Selain kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi, bagi kepentingan kreditur pemegang Hak Tanggungan disediakan tambahan perlindungan yang dinyatakan dalam Pasal 21. Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan yang diutamakan dari pemegang Hak Tanggungan, dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan berhak menjual lelang obyek Hak Tanggungan lebih dahulu untuk pelunasan piutangnya, dan sisanya dimasukkan dalam “boedel kepailitan” pemberi Hak Tanggungan.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Barang Jaminan Yang Disita Oleh Kantor Pajak
deng kreditur lainnya. Kedudukan didahulukan ini ada Pasal 1133 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa “ hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan hipotik”, dimana apabila debitur cidera janji maka kreditur pemegang Hak Tanggungan akan mempunyai kedudukan yang didahulukan dalam pelunasan piutangnya dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya yang bukan pemegang Hak Tanggungan.118
Menurut J. Satrio Memberikan penjelasan tentang hak didahulukan disini adalah sebagai berikut :
“Didahulukan dalam mengambil pelunasan atas penjualan eksekusi benda hipotik (hak Tanggungan), bahwa kedudukan preferen (lebih didahulukan) berkaitan dengan hasil eksekusi, akan tampak jelas kalau kita hubungkan dengan Pasal 1132 KUH Pedata yang menyatakan bahwa pada asasnya para kreditur berbagi pond’s-pond’s harta benda milik debitur. Dengan mempejanjikan dan memasang Hak Tanggungan dulu hipotik maka kreditur prefent atas hasil penjualan benda tertentu milik debitur atau milik pemberi jaminan yang diberikan sebagai jaminan khusus, dalam arti menyimpang dari asas 1132 tersebut di atas, ia berhak mengambil lebih dulu uang hasil hipotik”.119
Apa yang dikatakan J. Satrio dapat disimpulkan bahwa yang menjadi unsur dari kedudukan yang diutamakan atau didahulukan dari kreditur pemegang Hak Tanggungan adalah berkaitan dengan pelunasan piutang kreditur pemegang Hak Tanggungan, dan cara pelunasannya yaitu dengan cara penjualan lelang terhadap tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan (eksekusi Hak Tanggungan).
118 Herowati Poseko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi Konflik Norma
Sebenarnya sarana perlindungan hukum kepada kreditur secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut sudah merupakan asas yang sifatnya universal yang terdapat pada sistem hukum jaminan setiap Negara. Kemudian hak kreditur terhadap hasil penjualan harta kekayaan debitur diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kedua pasal tersebut merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditur. Para kreditur disini mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorium), kecuali apabila kreditur mempunyai hak istimewa yang dalam Pasal 1133 KUH Perdata yaitu Gadai dan hipotik, dan dalam perkembangan Hukum Indonesia hak istimewa diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan sebagai suatu lembaga jaminan yang kuat yang memberikan kedudukan yang diutamakan dalam pengambilan pelunasan piutang debitur. Pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti merupakan salah satu prinsip dari Hak Tanggungan yang dijabarkan dalam Pasal 20 UUHT, eksekusi Hak Tanggungan memuat 3 (tiga) cara yakni :
1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT (parate executie).
3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (Pasal 20 ayat (2) UUHT).
Namun kedudukan pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference menjadi berbeda apabila debitur tersangkut masalah utang pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 14 dan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP Nomor 19 Tahun 2000 dan Pasal 21 UU KUP Nomor 16 Tahun 2000, Negara dalam hal ini kantor pajak mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak debitur sehingga negara berhak melakukan penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak termasuk penguasaannya ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu. Termasuk utang kredit yang dimiliki debitur di bank. Ketentuan ini menetapkan kedudukan negara sebagai krediturpreferenceyang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang dimuka umum. Pembayaran kepada kreditur lain akan diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
upah buruh ditempat setelah pelunasan terhadap hak-hak Negara dan para kreditur separatis. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memutuskan apabila terjadi kepailitan, hak mendahulu atas utang pajak tidak berlaku apabila bertemu dengan upah buruh dan hak-hak pekerja.Upah buruh dan hak pekerja menjadi prioritas pertama, kemudian prioritas pelunasan kedua diberikan kepada Negara dan terakhir diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan. Kedudukan pemegang Hak Tanggungan berdasarkan putusan Mahkamah konstitusi 67/PUU-XI/2013 sebagai kreditur separatis dikalahkan dengan upah buruh dan utang pajak.
Perlindungan hukum kepada kreditur yang terdapat dalam UUHT terabaikan hak-haknya apabila berhadapan dengan negara yang mengalami kerugian akibat utang pajak debitur yang juga merupakan wajib pajak. Berdasarkan Pasal 21 UU KUP, negara dipandang memiliki kepentingan yang diutamakan daripada kepentingan kreditur preference yang dijamin oleh UUHT. Hal ini merupakan ketidakadilan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan yang telah disita barang jaminannnya oleh negara meskipun kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut telah sah berdasarkan UUHT melakukan perjanjian pengikatan Hak Tanggungan sehubungan dengan adanya perjanjian pokok yaitu hutang piutang yang dilaksanakan antara debitur dengan keditur.
wajib pajak dan penanggung pajak dengan publik dan represif untuk benturan kepentingan antara wajib pajak dan penanggung pajak dengan Negara selaku fiskus. Perlindungan hukum yang represif yang diberikan kepada wajib pajak dan penanggung pajak yaitu dengan menggunakan upaya hukum yang tersedia seperti keberatan, banding atau juga gugatan yang diajukan terhadap ketetapan pajak pusat disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayan Pajak Pratama, di mana wajib pajak berdomisili atau berkedudukan dan untuk Pajak Daerah keberatan dapat diajukan kepada Kepala Daerah di mana pajak daerah tersebut terutang.
Pada pasal 1 angka 5 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan pajak, yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak.
Badan Peradilan pajak yang dimaksud dalam UU KUP adalah pengadilan pajak yang juga merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang diatur dalam undang-undang. Pengadillan Pajak merupakan pengadilan khusus di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU PPSP, apabila pihak ketiga merasa keberatan atas penyitaan terhadap barang jaminan yang dilakukan oleh Kantor Pajak dapat melakukan :
1. Sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita ke Pengadilan Negeri. 2. Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan memberitahukan secara
tertulis kepada pejabat.
3. Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan dari Pengadilan Negeri tersebut.
4. Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
lelang, karena kepada pihak ketiga telah diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan gugatan sebelum lelang dilaksanakan.120
Dalam Kasus penyitaan barang jaminan oleh pihak jurusita KPP Pratama Medan Kota Tahun 2015, KPP Pratama Medan Kota telah memberitahukan melalui pemberitahuan secara tertulis kepada Bank YY bahwa telah dilakukan penyitaan terhadap Sertifikat Tanah dan Bangunan, dimana barang yang disita merupakan jaminan atas hutang kredit dari debitur CV. XX. Terhadap pemberitahuan tertulis yang disampaikan pihak KPP Pratama Medan Kota, Pihak Bank tidak memberikan tanggapan dikarenakan Bank Sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak atas sertifikat dan mempunyai hak untuk eksekusi. Dampak dari disitanya seluruh asset milik CV. XX, usaha yang djalankan macet sehingga tidak lagi mampu membayar utang kreditnya pada Bank YY.121
Berdasarkan hasil wawancara dengan jurusita kantor pajak KPP Pratama Medan Kota sampai dengan saat ini di tahun 2016 belum ada tanggapan dan gugatan dari pihak bank atas penyitaan yang dilakukan oleh KPP Pratama Medan Kota. Dan pihak KPP Pratama Medan Kota sendiri telah memberitahukan kepada BPN Kota Medan dengan mengirimkan salinan BAPS, bahwa Sertifikat tanah dan bangunan dengan nomor xxx/HS II telah dilakukan penyitaan sehingga tidak dapat dilakukan eksekusi dari pihak manapun. KPP Pratama Medan Kota akan melanjutkan proses lelang apabila wajib pajak belum juga melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Pengajuan permohonan lelang telah dilaksanakan oleh KPP Pratama Medan Kota akan tetapi lelang tidak dapat dilaksanakan dikarenakan terkendala dengan tidak adanya Sertifikat Hak milik yang asli.122
Perlindungan Hukum yang diberikan oleh UUHT kepada Bank YY selaku pemegang Hak Tanggungannya menjadi lemah pada kasus ini. Dikarenakan ketentuan dari Pasal 21 UU KUP, negara dalam hal ini KPP Pratama Medan Kota mempunyai hak mendahulu atas sertifikat hak milik tersebut. Hak kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditur lain, tetapi harus mengalah terhadap piutang negara. Dengan kata lain hak negara lebih utama dari kreditur pemegang hak tanggungan. Bank YY hanya dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak-haknya dengan mengajukan gugatan secara perdata terhadap KPP Pratama Medan Kota yang merugikan pihak Bank YY dikarenakan penyitaan yang dilakukan oleh KPP Pratama Medan Kota.
solution, dimana barang jaminan yang telah disita dilakukan penjualan dan hasil penjualan dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sehingga pihak bank bisa melunasi utang kredit debitur walaupun hasil penjualan tidak secara penuh dilunasi.123
Perlindungan hukum bagi bank sebagai pemegang Hak Tanggungan yang barang jaminan disita oleh Kantor pajak lemah dikarenakan tidak adanya aturan mengatur secara tegas mengenai haknya sebagai Pemegang Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Pajak tersebut. Bank hanya memiliki hak untuk menggugat secara perdata kepada Kantor Pajak, tetapi dikarenakan Pasal 21 UU KUP yang memberikan Hak untuk mendahulu atas utang pajak maka melemahkan kedudukan pemegang Hak Tanggungan sebagi kreditur preference yang seharusnya diutamakan kedudukan dalam pelunasan utang si debitur.
Pada UUHT juga tidak diatur mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita oleh negara dalam hal ini utang pajak. UUHT hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan sebagai krediturpreferenceapabila berhadapan dengan kreditur-kreditur lainnya, hak istimewa dari kreditur preference dari pemegang Hak Tanggungan menjadi terabaikan apabila dihadapkan dengan kewajiban kepada negara diantaranya utang pajak yang didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara.
Pasal 38 UU PPSP menyebutkan bahwa pihak ketiga yang dapat menyanggah kepemilikan atas barang yang disita tersebut dengan mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri. Namun apabila pejabat lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang berlangsung maka gugatan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang terjual tersebut.
Seharusnya kreditur pemegang Hak Tanggungan wajib dilindungi haknya dikarenakan adanya hak droit de suite yang mengikuti kemanapun benda itu berada sehingga tidak menghilangkan hak istimewa yang dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Bank telah melakukan pengikatan Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UUHT. Dengan dilakukannya pengikatan jaminan Hak Tanggungan terhadap Sertifikat Hak Milik tersebut maka kewenangan atas Sertifikat Hak Milik tersebut tidak lagi menjadi milik dari debitur pemberi hak tanggungan namun sudah menjadi kewenangan sepenuhnya dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut apabila debitur tidak mampu melunasi utangnya. Hak Pemilik barang jaminan akan kembali apabila telah dilakukan roya Hak Tanggungan karena utangnya telah dilunasi.
A. Kesimpulan
1. Kedudukan hukum barang jaminan yang telah dipasang Hak tanggungan yang disita oleh kantor pajak walaupun barang jaminan ini telah dikuasai oleh Kantor Pajak akan tetapi berdasarkan Pasal 7 UUHT Hak Tanggungan tetapi mengikuti dimanapun objek tersebut berada (droit de suite ) sehingga Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apapun juga.
3. Perlindungan hukum bagi bank sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah dilindungi oleh UUHT yang barang jaminan disita oleh Kantor pajak lemah dikarenakan tidak adanya aturan yang mengatur secara tegas mengenai haknya sebagai Pemegang Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Pajak. Berdasarkan Pasal 21 UU KUP yang memberikan hak untuk mendahulu Negara atas utang pajak maka melemahkan kedudukan pemegang Hak Tanggungan sebagi kreditur preference yang seharusnya diutamakan kedudukan dalam pelunasan utang debitur. Hak bank sebagai pemegang Hak Tanggungan hanya menggugat Kantor Pajak ke pengadilan Negeri secara perdata.
B. Saran
1. Hendaknya dalam Undang-Undang Hak Tanggungan diatur lebih jelas mengenai pengaturan barang jaminan yang disita dalam kaitannya utang pajak.
2. Hendaknya dalam proses penyitaan yang dilakukan oleh kantor pajak agar dapat diselesaikan sampai ke proses lelang dengan cara negoisasi dengan pihak bank sehingga mendapat solusi terbaik antara kantor Pajak dengan bank selaku pemegang Hak Tanggungan.