• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Pengantar. Tim Penyusun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Pengantar. Tim Penyusun"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Kata Pengantar

Pujisyukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang MahaEsa, karena berkat rahmadNya Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Hutan Kota Pematangsiantar dapat diselesaikan.

Naskah Akademik ini merupakan tahapan lanjutan setelah Laporan Pendahuluan dibuat setelah dilakukan proses pengumpulan, kompilasidananalisis data terkait Hutan Kota. Setelah data terkumpul, mekanisme penyusunan dilakukan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam lampiran Undang-UndangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam Naskah Akademik ini terdapat enam (6) bab yaitu; Pendahuluan, kajian Teoritis dan Praktik Empiris, Evaluasi dan Analisa Peraturan Perundang-Undangan Terkait, Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Rancangan Peraturan daerah dan Penutup.

Akhir kata tim penyusun mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan daerah tentang Hutan Kota Kota Pematangsiantar.

Pematngsiantar, Oktober 2015

(4)

DAFTAR ISI

HalamanJudul Kata Pengantar Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

BAB II KajianTeoretis Dan PraktikEmpiris

BAB III EvaluasidanAnalisisPeraturanPerundang-UndanganTerkait BAB IV LandasanFilosofis, Sosiologis, danYuridis

BAB V Jangkauan, ArahPengaturan, Dan RuangLingkupMateriMuatanPeraturan Daerah Provinsi, atauPeraturan Daerah Kabupaten/Kota

BAB VI Penutup DaftarPustaka

(5)

Latar Belakang

Seiring dengan meningkatnya lingkungan fisik kritis perkotaan, semakin banyak bermunculan fenomena masalah lingkungan di perkotaan seperti suhu udara dan tingkat polusi yang semakin meningkat, hilangnya ruang terbuka hijau yang diikuti hilangnya berbagai habitat keanekaragaman flora dan fauna, hilang atau rusak dan menurunnya fungsi resapan air, pemandangan alami serta berbagai macam masalah sosial. Hutan kota sebagai bagian dari sistem pendukung kehidupan masyarakat di wilayah perkotaan memegang peranan penting dalam mengatur kualitas lingkungan perkotaan yang berasal dari faktor tata air, kualitas udara dan kualitas lingkungan hidup.Dalam upaya menciptakan wilayah perkotaan yang berwawasan lingkungan yang berkualitas perlu dilakukan upaya meminimalkan pengaruh bahan pencemaran baik yang disebabkan oleh bahan pencemar di udara, darat dan air.

Dampak negatif dari bahan pencemar yang dimaksud di wilayah perkotaan dapat direduksi dan diregulasi oleh keberadaan hutan kota. Dalam tatanan pembangunan kota, keberadaan hutan kota ini perlu ditegaskan melalui peraturan pemerintah agar dapat mengikat kepentingan-kepentingan lainnya yang bersifat antagonis namun memiliki manfaat yang lebih kecil. Perencanaan kota terpadu tidak sekedar pembagian ruang/wilayah atas kepentingan-kepentingan tertentu melainkan harus mempehatikan karakter dan fungsi sumberdaya alam untuk menunjang kehidupan masyarakat perkotaan dalam jangka panjang.

Hutan kota kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, yang memiliki fungsi utama sebagai penunjang ekologis kota yang juga diperuntukkan sebagai ruang terbuka penambah dan pendukung nilai kualitas lingkungan dan budaya suatu kawasan. Keberadaan hutan kota sangatlah diperlukan dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Hutan kota memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi intrinsik sebagai penunjang ekologis dan fungsi ekstrinsik yaitu fungsi arsitektural (estetika), fungsi sosial dan ekonomi.

Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kota dimana hutan kota tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu

BAB I

PENDAHULUAN

LatarBelakang IdentifikasiMasalah Maksud Dan TujuanPenyusunan MetodePenyusunan

(6)

wilayah kota. Sedangkan hutan kota untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota (Dirjen PU, 2005).

Proporsi 30% luasan hutan kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yangdapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Kawasan pusat Kota Pematangsiantar merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan masyarakat Kota Pematangsiantar akan tetapi fungsi kawasan tersebut pada kenyataannya tidak didukung oleh adanya hutan kota yang mampu berfungsi secara ekologis, estetika maupun sosial budaya dan ekonomi, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan proporsi dan distribusi hutan kota pada kawasan pusat Pematangsantar sehingga diperlukan adanya konsep hutan kota yang mampu memenuhi proporsi dan distribusi ruang terbuka hijau sehingga mampu memenuhi fungsinya sebagai penunjang kualitas ekologis, estetika, serta sosial budaya dan ekonomi dari kawasan pusat Kota Pematangsiantar.

Dalam rangka mendukung upaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota diperlukan sebuahtindakan dari pengawasan legal. Pemerintah telah mendukung usaha-usaha ini dengan menerbitkanPeraturan Pemerintah No.63/2002 tentang Hutan Kota dan kebijakan teknis berupa Peraturan MenteriKehutanan No. P.71/2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota. Sebagai derivasi dari peraturan nasional, peraturan daerah diharapkan mendukung di dalamupaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota pada level regional. Pemerintah daerah dapatmengeluarkan peraturan daerah untuk petunjuk teknis dalam strategi jangka pendek menegah dan jangka panjang.

Untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup dan merevitalisasi ekosistem di perkotaan dengan mengelola Ruang Terbuka Hijau (RTH), salah satu alternatif pemecahan yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan dan pengelolaan hutan kota. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan kebijakan dan peraturan Daerah (Perda) yang mendukung dan aplikatif. Kebijakan pengembangan hutan kota yang mengatur tentang penyelenggaraan hutan kota meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan, pengawasan, peran serta masyarakat, dan pembiayaan.

(7)

Upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan akan tercapai apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem perkotaan. Ekosistem perkotaan merupakan bagian dari ekosistem buatan, contohnya antara lain: sempadan sungai, situ atau danau dan bendungan, ruang terbuka hijau, areal pemukiman, kawasan industri, jalan raya, jalan tol dan lain-lain

Dalam kajian ini Peraturan Daerah tentanghutan kota yang ada di Kota Pematangsiantar dikaji termasuk aspek hukum, perencanaan wilayah serta para pihak dan peranannyadalam pengelolaan hutan kota.

Kemudian secara langsung maupun tidak, akhirnya lahan-lahan yang semula berupa zona hijau adalah yang paling banyak dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota metropolitan ini, karena penilaian sebagian besar masyarakat termasuk para pengelola kota ruang terbuka initidaklah ada manfaatnya, hanya sebagai tempat hidup vektor penyakit, tempat dimana para pengemis dan gelandangan hidup. Hukum pun menjadi sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup berbahaya, seperti bantaran sungai dan pantai, jalur kereta api.

Untuk mencapai lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan

berkelanjutan, diperlukan penataan ruang yang sejauh mungkin harus disesuaikan dengan kondisi bio-geografi lingkungan alaminya. Artinya sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan alam sekitar, apabila tidak ingin menuai bencana. Kebijakan penataan ruang harus menerapkan keseimbangan antara ruang binaan dan ruang alam, sehingga proses asimilasi dan metabolisme alami dalam lingkungan perkotaan tetap bisa berlangsung secara alami pula, dengan tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi (economical advantage), menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) terutama di segala penjuru kota, yang dijalin dalam suatu sistem “Metropolitan Tropical Park” dan dapat mencapai seluruh sudut kota terutama di sekitar pemukiman.

Permasalahan degradasi Lingkungan Hidup (LH) perkotaan, digambarkan dari semakin mewabahnya penyakit-penyakit akibat kualitas Lingkungan Hidup yang juga semakin memburuk bahkan sulit diatasi, akibat tidak adanya ruang bagi penampung buangan kegiatan manusia baik berbentuk cairan maupun padatan, yang semakin menumpuk di mana-mana dan tentu saja subur sebagai media pertumbuhan penyakit akibat pencemaran lingkungan ini.

Pencemaran berbagai media lingkungan, apakah itu badan air, tanah ataupun udara telah terjadi secara nyata, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

(8)

Penataan Ruang, telah mengatur bahwa hakekatnya ruang terbagi kedalam dua kategori, yaitu berupa kawasan budidaya atau terbangun, dan kawasan lindung (alami, konservasi). Akibatnya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan air, udara dan tanah di hampir seluruh wilayah kota.

Berbagai kondisi Lingkungan Hidup yang negatif tersebut, memacu kejadian kerusakan Lingkungan Hidup kota menjadi berantai, kait mengkait. Pada kawasan permukiman kota tepi air, masalah klasik adalah bencana banjir, air bah, atau terjadinya kerusakan dan pencemaran. Pada kota-kota di daerah lereng pegunungan terjadi tanah longsor dan juga banjir (lumpur) akibat tak adanya tanaman yang bisa mengikat atau menahan air hujan yang terakumulasi, apalagi kalau debit air hujan tinggi, dan seterusnya.

Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dengan menyisihkan sebagian ruang kota, terutama di wilayah-wilayah yang rawan bencana, harus segera ditetapkan. Artinya ruang-ruang yang rawan tersebut bukan diproyeksi untuk permukiman, seperti tepian badan air, atau mendirikan bangunan pada lereng yang relatif tajam. Ruang untuk menampung kegiatan konservasi LH-kota harus dikaitkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota, sampai ke Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) sampai ke kawasan-kawasan kelurahan atau dusun.

Perlu ada pengertian bagi seluruh warga penghuni kota, bahwa terdapat hubungan sangat strategis antara Pembangunan Kota dan Perencanaan RTH-Kota. Kaidah-kaidah pembangunan kota-kota layak huni (Eco-cities) harus terus disebarluaskan. Bagaimana membangun: Kota (Taman) yang Sehat, telah dituangkan ke dalam strategi pembangunan secara menyeluruh dalam target waktu yang tertentu pula, sebab akibat dari perkembangan kota yang baik atau buruk perlu diketahui seluruh warga kota, terutama para pengelola kota.

Sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya “ruang rekreasi” gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.

B. Identifikasi Masalah

Dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi kepentingan hidup manusia telah menimbulkan permasalahan lingkungan karena semakin merosotnya kulaitas lingkungan karena tidak berfungsinya unsur-unsur dan komponen lingkungan hidup seperti air tanah,

(9)

udara, vegetasi dan lain sebagainya, sehingga perlu perbaikan kualitas lingkungan dengan memaksimalkan Hutan Kota.

Pembangunan Hutan Kota perlu dibahas, baik secara ilmiah maupun pada penerapan menyeluruh secara praktis berdasar prinsip-prinsip pembangunan RTH kota secara ekologis, ekonomi, dan sosiologis. Yang sudah banyak dibahas adalah pentingnya eksistensi RTH secara umum, sebagian besar masih berupa wacana atau penerapan penerapan empiris dan parsial berdasar pengalaman individual.

Selain dari paru-paru kota keberadaan hutan kota adalah sebagai resapan air tanah. Semakin banyak pohon yang tumbuh maka semakin banyak air yang diserap dan disimpan dalam tanah sebagai keseimbangan alam. Dengan di serapnya air kedalam tanah maka kekurangan air bersih dapat teratasi.

C. Maksud dan Tujuan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Naskah Akademis ini disusun untuk menyiapkan landasan pemikiran dengan menggunakan pendekatan akademis teoritis, yuridis sebagai arahan dalam penyusunan norma-norma pengaturandalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Hutan Kota Pematangsiantar diharapkan akan menghasilkan sebuah Peraturan Daerah yang mampu menjamin pengelolaan lingkungan yang dapat dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, transparan, partisipatif dan akuntabel, sehinggatujuan pembangunan Hutan Kota dapat diwujudkan dengan lebih efektif.

D. Metode Penyusunan

Dalam penyusunan naskah akademis ini dengan menggunakan data sekunder, yang didapatkan melaluikajian peraturan perundang-undangan, literatur dan publikasi terkait dengan pengelolaanhutan kota (dari sisi yuridis, empiris dan sosiologis).

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan menguraikan data secarabermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektifsesuai dengan topik penelitian sehinggamemudahkan pemahaman dan interpretasidata.

(10)

E. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Pematangsiantar Propinsi Sumatera Utara. Objek penelitian meliputi : (1) Dokumen kebijakan mencakup surat keputusan (SK) dan peraturan daerah (Perda) tentang hutan kota secara spesifik, dan peraturan daerah terkait lainnya seperti penataan ruang, kawasan hijau, ruang terbuka hijau, dan kawasan lindung; (2) Peta lokasi penelitian dan peta posisi hutan kota; dan (3) Laporan kependudukan dan perekonomian daerah.

(11)

A. Kajian Teoritis

A.1 Kajian tentang Hutan Kota

Hutan kota menjadi suatu kebutuhan bagi seluruh wilayah kota. Defenisi hutan kota adalah tumbuhan vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberi manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan proteksi, rekreasi dan estetika lingkungan. Pemeritah menyediakan payung hukum tentang hutan kota Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 tentang hutan kota, karena hutan kota mempunyai fungsi:

a. Manfaat estetis

Manfaat estetis atau keindahan dapat diperoleh dari tanaman-tanaman yang

sengaja ditata sehingga tampak menonjol keindahannya. Misalnya, warna hijau dan aneka bentuk dedaunan serta bentuk susunan tajuk berpadu menjadi suatu pandangan yang menyejukkan

b. Manfaat orologis

Manfaat orologis ini penting untuk mengurangi tingkat kerusakan tanah terutama longsor dan menyangga kestabilan tanah. Misalnya, pepohonan yang tumbuh di atas tanah akan mengurangi erosi.

c. Manfaat hidrologis

Struktur akar tanaman mampu menyerap kelebihan air apabila hujan turun sehingga tidak mengalir dengan sia-sia melainkan dapat terserap oleh tanah. Hal ini sangat mendukung daur alami air tanah sehingga dapat menguntungkan kehidupan manusia.

d. Manfaat klimatologis

Faktor-faktor iklim seperti kelembaban, curah hujan, ketinggian tempat dan sinar matahari akan membentuk suhu harian maupun bulanan yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

e. Manfaat edaphis

Manfat edaphis berhubungan erat dengan lingkungan hidup satwa di perkotaan yang semakin terdesak lingkungannya dan semakin berkurang tempat huniannya.

f. Manfaat ekologis

BAB II

KAJIAN TEORITIS

DAN PRAKTIK

EMPIRIK

KajianTeoritis KajianterhadapAzas/Prinsip KajiantehadapPraktik KajianterhadapImplikasi

(12)

Keserasian lingkungan bukan hanya baik untuk satwa, tanaman atau manusia saja. Kehidupan makhluk hidup di alam ini saling ketergantungan. Apabila salah satunya musnah maka makhluk hidup lainnya akan terganggu hidupnya.

g. Manfaat protektif

Pohon dapat menjadi pelindung dari teriknya sinar matahari di siang hari. Manfaat ini sangat penting bagi kehidupan manusia sehari-hari

h. Manfaat hygienis

Dengan adanya tanaman bahaya polusi ini mampu dikurangi karena dedaunan tanaman mampu menyaring debu dan mengisap kotoran di udara, bahkan tanaman mampu menghasilkan gas oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.

i. Manfaat edukatif

Semakin langkanya pepohonan yang hidup di perkotaan membuat sebagian warganya tidak mengenal lagi, sehingga penanaman kembali pepohonan di perkotaan dapat bermanfaat sebagai laboratorium alam.

A.2 Urgensi Pembentukan Naskah Akademik Peraturan Daerah

Dalam penyususnan sebuah peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan daerah, nakah akademik sangat diperlukan dalam rangka pembentukan rancangan undang-undang. Tujuannnya antara lain adalah agar undang-undang yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat dan dapat meminimalisir permasalahan dikemudian hari.

Naskah akademik adalah naskah yang berisi uaraian penjelasan tentang: a. Perlunya sebuah peraturan harus dibuat

b. Tujuan dan kegunaan peraturan yang akan dibuat c. Materi-materi yang harus diatur pertauran tersebut d. Aspek-aspek teknis penyusunan

Naskah akademik harus memuat dasar filosofis, sosiologis dan yuridis pokok dan materi yang diatur. Dasar folosofis: merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah kedalam peraturan perundang-undangan. Dasar folososfis sangat perlu karena menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat. Dasar Yuridis:ketentuan yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis terdiri dari dasar formil yaitu dan dasar materiil. Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan

(13)

yang lain untuk memberi kewenangan bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil adalah dasar hukum yang mengatur permasalahan (obyek) yang diatur. Dengan demikian dasar yuridis sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu perturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hkum atau pertentangan hukum. Dasar Sosiologis: naskah akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan masyarakat, aspek sosial ekonomi dan rasa keadilan masyarakat. Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari terserabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosilanya masyarakat.

Dalam proses penyususnan pertauran perundang-undangan yang dibentuk tanpa kajian teoritis dan sosiologis yang mendalam ketika diterapkan di dalam masyarakat sering terjadi penolakan-penolakan karena masyarakat merasa tidak memiliki atas suatu peraturan perundang-undangan sebagai akibat pembentukannya tidak partisipatif dengan mengikut sertakan dan meminta pendapat dari masyarakat.

B. Kajian terhadap Azas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan

Norma

Dalam pembuatan naskah akademis Peraturan Daerah, pemerintah telah memberikan rambu-rambu azas hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20111 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang meliputi: Kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan dapat dilaksanakan kedayagunaan dan hasilgunaan, kejelasan rumusan, keterbukaan.

a. Kejelasan tujuan: bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Kelembagaan yang tepat: setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pemebntuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan : dalam pembentukan perturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis peraturan perundang-undangan

1

(14)

d. Dapat dilaksanakan: setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, bail secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan: setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memenag benar-benar dibutuhkan dab bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

f. Kejelasan rumusan: setiap peraturan dan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.

g. Keterbukaan: dalam proses pemebntukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Peraturan Pemerintah harus mengandung asas-asas sebagai berikut:

a.Asas pengayoman: setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b.Asas kemanusiaan: setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi

c.Asas kebangsaan: bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pruralistik dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

d.Asas kekeluargaan : bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap mengambil keputusan

e.Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

f. Asas keadilanbahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.

g. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(15)

C. KajianterhadapPraktikPenyelenggaraandanKondisi yang Ada

sertaPermasalahan yang Dihadapi

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah pada daerah perkotaan sangat beragam antara lain ledakan jumlah penduduk, tingginya pertumbuhan kendaraan, kurangnya kesadaran masyarakat akan emisi kendaraan, serta sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Meningkatnya jumlah kendaraan dan kapasitas jalan tidak seimbang mengakibatkan akses jaringan jalan belum optimal, sedangkan pertambahan kendaraan bermotor meningkat 25 % setiap tahunnya dan sangat mempengaruhi kualitas lingkungan terutama asap kendaraan yang mengakibatkan polusi udara.

Kondisi tersebut perlu dibenahi dengan pengadaan Hutan Kota, karena akan mampu mengurangi jumlah zat yang beracun.Permasalahannya sampai saat ini Kota Pematangsiantar belum memiliki Perda tentang Hutan Kota. Oleh Karena itu perlu dibentuk Peraturan daerah tetang Hutan Kota di Pematangsiantar.

TABEL JUMLAH KENDERAAN BERMOTOR

D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistim Baru yang Akan Diatur

dalam Peraturan Daerah terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat

dan dampaknya terhadap Aspek Ekonomi

Pembuatan Peraturan Daerah tentang Hutan Kota di Pematangsiantar akan membawa dampak positif yaitu masyarakat Pematangsiantar akan menikmati keseimbangan dan keserasian lingkungan, sosial dan budaya. Dalam hal lingkungan dengan penetapan lokasi Hutan Kota akan membantu mengurangi polusi udara, tingkat kebisingan, genangan air serta tingkat keasaman air. Tingkat sosial dengan adanya hutan kota interkasi masyarakat yang biasanya di mall, pertokoan atau tempat resmi lainnya dapat berubah menjadi di Hutan Kota. Masyarakat luas dapat menikmati Hutan Kota, berinteraksi dan sekaligus rekreasi sehingga terjalin keakraban.

Dengan ditetapkannya Perda Hutan Kota, maka kualitas lingkungan akan semakin baik, hutan kota sebagai paru-paru kota sangat mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat karena dengan kualitas lingkungan yang baik maka tingkat kesehatan masyarakat juga akan semakin tinggi.

(16)

Perkembangan pembangunan hutan kota sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam fungsi regulasi. Pengaturan mengenai Hutan Kota tentu mempunyai keterkaitan langsung dengan:

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung mengatur pembangunan dan pengelolaan hutan kota adalah :

1. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan.

Berikut evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait hutan kota:

A. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang nasional yang mengatur tentang hutan dan kehutanan di Indonesia dan merupakan peraturan perundang-undangan induk dalam pengelo laan sumberdaya hutan. UU ini merupakan pembaharuan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1967 yang mengatur tentang fungsi, peruntukan dan pemanfaatan hutan untuk kesejahteraan masyarakat.

Hutan kota dalam dalam UU 41 Tahun 1999 diatur dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air, disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota, selanjutnya dalam ayat (2) bahwa ketentuan lebih lanjut tentang hutan kota akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam UU 41 Tahun 1999, bahwa pengaturan hutan kota sifatnya hanya sebatas himbauan dan tidak mewajibkan pemerintah kota untuk melakukan pembangunan dan pengembangan hutan kota. Pengaturan yang tidak tegas ini berimplikasi pada

BAB III

EVALUASI DAN

ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT

Undang-undangNomor 41 Tahun 1999 tentangKehutanan PeraturanPemerintahNomor 63 Tahun 2002 tentangHutan Kota MetodePenyusunan

(17)

keseriusan pemerintah kota untuk membangun hutan kota. Kecenderungan saat ini bahwa pembangunan hutan kota bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena pemerintah kota berprinsip bahwa daya dukung perkotaan masih mampu mengatasi permasalahan lingkungan. Kecendrungan hutan kota dinilai belum terlalu mendesak dibandingkan pembangunan lainnya yang bersifat pelayanan publik dan menyentuh masyarakat banyak.

Untuk itu sangat rasional apabila dilakukan revisi terhadap UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya aspek-aspek yang mengatur tentang hutan dalam penyeimbang lingkungan. Pengaturan ini penting dilakukan karena apabila tidak ada ketegasan maka arahan pembangunan hutan kota bukan meupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan segera. Kondisi lain yang memperkuat perlu di lakukan revisi terhadap UU 41 Tahun 1999 karena UU tersebut sudah tidak sejalan dengan perkembangan kondisi hutan dan kehutanan Indonesia khususnya yang terkait dengan pentingnya fungsi pengaturan hutan untuk tujuan perbaikan lingkungan hidup.

B. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

a. Evaluasi terhadap isi peraturan perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air, disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota, selanjutnya dalam ayat (2) bahwa ketentuan lebih lanjut tentang hutan kota akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan ini terdiri dari 8 Bab yang mengatur tentang (1) ketentuan umum yang berkaitan dengan hutan kota, (2) penyelenggaraan hutan kota, (3) pembinaan dan pengawasan, (4) peran serta masyarakat , (5) pembiayaan, (6) sanksi, (7) ketentuan peralihan dan (8 ) ketentuan penutup.

Dalam peraturan ini pengertian hutan kota yang megadopi pengertian hutan pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa pengertian hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat didalam wila yah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

(18)

Proses penyelenggaraan hutan kota meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan dan pengelolaan dilaksanakan oleh Walikota dan Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Lokasi hutan kota merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan, dimana lokasi yang ditunjuk sebagai hutan kota dapat berada pada tanah negara atau tanah hak. Terhadap tanah hak yang ditunjuk sebagai lokasi hutan kota diberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan yang berlaku. Penunjukan lokasi hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 hektar dan presentase luas hutan kota paling sedikit 10 % dari wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Pembangunan hutan kota dilakukan berdasarkan penunjukan lokasi dan luas hutan kota, dimana pembangunannya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota atau Kabupaten dan khusus untuk daerah khusus ibukota Jakarta, pembangunan dilaksanakan oleh Gubernur. Pembangunan hutan kota meliputi kegiatan perencanaan dan pelaksanaan. Perencanaan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Khusus untuk daerah ibukota Jakarta pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Rencana pembangunan hutan kota disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial dan budaya masyarakat setempat. Rencana pembangunan hutan kota memuat rencana teknis tentang tipe danbentuk hutan kota. Tipe hutan kota meliputi : tipe kawasan permukiman, kawasan industry, rekreasi, pelestarian plasma nutfah, perlindungan dan tipe pengamanan. Sementara itu bentuk hutan kota yang akan dibangun harus menyesuaikan karakteristik lahan. Bentuk hutan kota tersebut dapat berbentukjalur,mengelompok atau menyebar.Untuk melaksanakanpemba-ngunan hutan kota, tahapan kegiatan yang dapat dilakukan yaitu : penataan areal, penanaman, pemeliharaan dan pembangunan sipil teknis.

Pengelolaan hutan kota dilakukan sesuai dengan tipe dan bentuk hutan kota agar berfungsi secara optimal berdasarkan penetapan hutan kota. Pengelolaan hutan kota meliputi tahapan: penyusunan rencana pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan dan pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan hutan kota yang berada di tanah Negara dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan atau masyarakat. Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak.

Dalam rangka optimalisasi pengelolaan hutan kota, maka pengelola diwajibkan untuk menyusun rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang meliputi: penetapan tujuan pengelolaan, penetapan program jangka pendek dan jangka

(19)

panjang, penetapan kegiatan dan kelembagaan dan penetapan sistem monitoring dan evaluasi. Pemeliharaan hutan kota diarahkan dalam rangka menjaga dan optimalisasi fungsi dan manfaat hutan kota melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tanaman dan peningkatan kualitas tempat tumbuh. Sementara itu perlindungan dan pengamanan hutan kota dilaksanakan dengan tujuan untuk menjaga keberadaan hutan kota dalam kondisi tetap berfungsi secara optimal. Upaya perlindungan dan pengamanan hutan kota meliputi: pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan, pencurian flora dan fauna, kebakaran hutan dan pengendalian hama penyakit.

Untuk itu agar hutan kota dapat berfungsi secara optimal maka setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan dan atau penurunan fungsi hutan kota. Selain itu setiap orang juga dilarang untuk melakukan kegiatan yang mengarah pada kerusakan hutan kota antara lain: (1) membakar hutan kota, (2) merambah hutan kota, (3) menebang, memotong, mengambil dan memusnakan tanaman dalam hutan kota, tanpa izin dari pejabat yang berwenang, (4) membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kebakaran atau membahayakan kelangsungan fungsi hutan kota, dan (5) mengerjakan, menggunakan, atau menduduki hutan kota secara tidak sah.

Disamping sebagai fungsi ekologi, hutan kota juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan : (a) pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga, (b) penelitian dan pengembangan, (c) pendidikan, (d) pelestarian plasma nutfah dan atau (e) budidaya hasil hutan bukan kayu. Pada prinsipnya pemanfaatan hutan kota dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan kota sebagai fungsi ekologi.

Dalam hal pembinaan dan pengawasan maka secara hirarki, menteri kehutanan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan hutan kota yang dilaksanakan oleh gubernur.Menteri kehutanan dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan hutan kota di Kab/ Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah. Pembinaan pemerintah meliputi: pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervise. Disamping itu juga pemerintah melakukan pembinaan hutan kota yang dikelola oleh masyarakat.

Mengingat keberhasilan pembangunan hutan kota bukan hanya ditentukan oleh pemerintah saja melainkan merupakan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan: (a) pendidikan dan pelatihan, (b) penyuluhan, (c) bantuan teknis dan insentif. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan hutan kota dapoat berbentuk : (a) penyediaan lahan untuk penyelenggaraan hutan kota, (b) penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan hutan kota;

(20)

(c) pemberian masukan dalam penentuan lokasi hutan kota, (d) pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota, (e) kerjasama dalam penelitian dan pengembangan, (f) pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyelenggaraan hutan kota, (g) pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (h) bantuan pelaksanaan pembangunan, (i) bantuan keahlian dalam penyelenggaraan hutan kota, (j) bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan pengelolaan, (k) menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi hutan kota.

Dalam hal pembiayaan, pembangunan hutan kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lainnya yang sah.

b. Analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan

1) Pengertian hutan kota dalam peraturan ini merupakan hasil adopsi dari pengertian hutan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, yaitu hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat didalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

2) Penyelenggaran hutan kota meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan dan pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah d inilai sudah tepat dan telah sejalan desentralisasi kewenangan di bidang kehutanan.

3) Namun demikian pembangunan dan pengembangan hutan kota cenderung jalan ditempat yang disebabkan oleh pandangan sebagian besar pemerintah daerah menganggap bahwa pembangunan hutan kota dinilai belum mendesak dibandingkan pembangunan lainnya yang bersifat pelayanan public dan menyentuh rakyat banyak.

4) Pedoman, kriteria dan standar penunjukan hutan kota sebagaimana diatur dalam PP Nomor 63 Tahun 2002, pasal 9 diatur oleh Menteri Kehutanan. Namun demikian hingga saat ini Keputusan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang pedoman, kriteria dan standar penunjukan hutan kota belum ditetapkan. Belum diterapkan keputusan Menhut tersebut berimplikasi pada pelaksanaan pembangunan hutan kota.

5) Tata cara penunjukan lokasi dan luas hutan kota sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 2 dalam PP Nomor 63 Tahun 2002 diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah setempat. Pendelegasian pengaturan ini dinilai kurang optimal pelaksanaannya karena pandangan Pemerintah Daerah terhadap hutan kota

(21)

sangat bervariasi. Bagi daerah yang paham tentang manfaat hutan kota maka pendelegasian ini merupakan tanggungjawab yang harus segera direalisasikan. Namun bagi daerah yang pemahaman tentang hutan kota rendah, maka kemungkinan arahan regulasi untuk mengembangkan hutan hutan tidak segera direalisasikan karena mereka menilai bahwa hutan kota dinilai belum mendesak jika dibandingkan dengan pembangunan lainnya yang bersifat pelayanan public dan menyentuh rakyat. Untuk itu peraturan pemerintah ini agar segera disosialisasikan dan segera dibuat peraturan peralaksanaannya yang lebih akomodatif.

6) Pelaksanaan pembangunan kota tidak hanya menjadi tanggungjawab sektor kehutanan pada tingkat Kabupaten/Kota. Pembangunan hutan kota perlu diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Untuk itu pembangunannya perlu melibatkan bagian perencanaan, lingkungan hidup dan kehutanan sebagai leading sektornya. Peraturan Pemerintah ini dinilai cenderung menonjolkan ego sektoral karena tidak melibatkan sektor yang menangani urusan lingkungan hidup dan departemen dalam negeri. Kondisi ini apabila tidak segera diatasi maka pelaksanaan pembangunan hutan kota akan mengalami hambatan karena kemungkinan hutan kota tidak diakomodir dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan dan Rencana Pembangunan Menengah Jangka Menengah (RPJMD). Untuk itu disarankan agar dalam PP ini juga mengatur tanggung jawab dan tanggung gugat dari masing-masing sektor yang berpengaruh langsung terhadap pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan kota.

7) Dalam hal penetapan hutan kota, yang diatur dalam pasal 19 PP Nomor 63 Tahun 2002 bahwa tanah hak yang karena keberadaannya, dapat dimintakan penetapannya sebagai hutan kota oleh pemegang hak tanpa pelepasan hak atas tanah, pemegang hak memperoleh insentif atas tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota dan pemberian insentif diatur dalam Peraturan Daerah. Kemungkinan penerapan pasal ini akan terjadi hambatan dilapangan. Karena apabila memanfaatkan hutan hak untuk pembangunan hutan kota maka perlu ada pelepasan dari pemilik hak. Begitu juga pada hutan adat seperti yang terjadi di wilayah Papua maka apabila pemerintah atau swasta ingin menggunakan tanah adat untuk pembangunan harus mendapatkan persetujuan dari pemilik hak dan harus ada pelepasan hak atas kepemilikan. Untuk itu pasal ini perlu ditinjau kembali dengan pengaturan yang lebih bersifat akomodatif terhadap seluruh stakeholder yang berhubungan langsung dengan proses penetapan hutan kota.

(22)

8) Dalam hal perlindungan dan pengamanan, pasal 26 PP Nomor 63 Tahun 2002 mengatur tentang larangan kegiatan yang dapat merusak dan menurunkan kualitas hutan kota, pengaturan ini dinilai tidak tepat karena larangan dan sanksi telah diatur dalam UU 41 Tahun 1999 dan tidak perlu lagi diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari UU.

9) Dalam hal pemanfaatan, sebagaimana diatur dalam pasal 27 PP Nomor 63 Tahun 2002, bahwa hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga hingga untuk keperluan budidaya hasil hutan bukan kayu, diprediksi tidak dapat berjalan secara optimal karena tidak jelas diatur kelembagaan yang mengelola hutan kota. Untuk itu dalam rangka pemanfaatan hutan kota secara optimal perlu dibentuk lembaga pengelola yang secara fungsional melakukan tugas penyusunan rencana, pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi, pengawasan dan pengendalian.

10)Dalam hal pembinaan dan pengawasan hutan kota yang diatur dalam pasal 30 dan 31 PPNomor 63 Tahun 2002, bahwa pembinaan dan pengawasan secara hirarki dan berjenjang telah diatur sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembinaan dan pengawasan yaitu bahwa kegiatan ini jangan dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya rutinitas, tetapi perlu dilihat bahwa kegiatan ini merupakan proses pendampingan dan transfer pengetahuan dan teknologi. Untuk itu pembinaan,pengawasan dan pengendalian perlu dilakukan secara kontinyu dengan tujuan untuk lebih meningkatkan kinerja pengelolaan hutan kota.

11)Dalam hal peran serta masyarakat, yang diatur dalam pasal 34 dan 35 PP Nomor 63 Tahun 2002, telah dengan jelas diatur peranserta masyarakat dalam pembangunan dan pengembangan hutan kota, dimana masyarakat dilibatkan dalam tahapan sejak penunjukan, pembanguann, penetapan, pembinaan dan pengawasan. Saran-saran yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan peranserta masyarakat yaitu pengaturan hak hak prosedural seperti hak untuk mengadu, hak untuk melakukan gugatan (termasuk hak Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menggugat) dan hak untuk mendapatkan akses informasi hutan kota.

12)Dalam hal pembiayaan yang diatur dalam pasal 36 PP Nomor 63 Tahun 2002, bahwa biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari APBD atau sumber dana lainnya yang sah. Pengaturan ini dinilai sangat sulit dilaksanakan oleh daerah karena sebagian besar daerah berprinsip bahwa pembangunan hutan kota bukan merupakan pembangunan yang sifatnya mendesak dibandingkan pembangunan lainnya yang bersifat pelayanan public dan menyentuh rakyat banyak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu

(23)

dipertimbangkan untuk mencari alternative lain dalam hal pembiayaan pembangunan hutan kota. Misalnya dengan pendanaan hutan kota dilakukan dengan scenario sharing anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dapat menggunakan dana reboisasi dan rehabilitasi untuk membangun hutan kota.

C. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang

a. Evaluasi terhadap isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hutan kota.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan UU yang mengatur tentang penataan ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang didalam bumi maupun sebagai sumberdaya. UU nomor 26 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan ruang. Adapun tujuan dari penerbitan UU nomor 26 tahun 2007 adalah agar upaya pengelolaan tata ruang dapat berjala n secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna untuk keberlajutan sumberdaya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara material terdiri dari 13 Bab dan 80 Pasal. Salah satu yang menarik dari UU ini adalah asas yang dicantumkannya, yaitu (a) keterpaduan, (b) keserasian, keselarasan dan kesimbangan, (c) keberlanjutan dan (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, (e) keterbukaan, (f) kebersamaan dan kemitraan, (g) perlindungan kepentingan umum, (h) kepastian hukum dan keadilan dan (i) akuntabilitas. Berdasarkan asas yang dimunculkan tersebut, dapat dikatakan bahwa telah ada kesadaran untuk memasukan prinsip-prinsip demokrasi.

UU penataan ruang ini mengatur tentang hak dan kewajiban, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian; tentang rencana tata ruang, serta wewenang dan pembinaan. Penataan ruang, baik wilayah tingkat nasional, tingkat propinsi ataupun tingkat kabupaten/kotamadya dilakukan secara terpadu (intergrated) dan tidak dipisah-pisahkan. Untuk wilayah yang meliputi lebih dari satu kawasan propinsi, penyusunannya dikoordinasikan oleh Menteri untuk kemudian dipadukan kedalam rencana tata ruang wilayah propinsi yang bersangkutan, dan untuk kawasan yang melebihi satu kawasan daerah kabupaten dilakukan oleh Gubernur. Penataan ruang tingkat propinsi dan kabupaten/kotamadya disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan

(24)

dan udara sampai batas tertentu. Pelaksanaan penataan ruang dilaksanakan dalam kerangka otonomi daerah.

Dalam UU ini secara tegas tidak mengatur tentang hutan kota tetapi mengatur Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai bagian dari Tata Ruang Wilayah Kota. Dalam panataan ruang khususnya dalam perencanaan tata ruang wilayah kota maka perencanaan tata ruang meliputi :

(a) rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; (b) rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau; dan (c) rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan social ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.

Dalam hal ruang terbuka hijau, terdiri dari ruang terbuka hijau public dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah dan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.

Yang dimaksud ruang terbuka hijau dalam UU ini merupakan ruang terbuka hijau yang dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai dan pantai. Yang term asuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun dan halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

b. Analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hutan kota

1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinilai berdasarkan cakupan isi dari material merupakan UU yang berdiri sendiri karena dalam konsideran menimbang tidak dimasukan UU lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses penataan ruang seperti UU kehutanan, UU lingkungan hidup, UU perencanaan nasional dan UU pemerintah daerah. Implikasi dari tidak diperhatikannya UU lain dalam penyusunan UU penataan ruang yaitu (a) implementasinya tidak mendapatkan legitimasi dari stakeholder lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses penataan ruang, (b) kemungkinan besar akan terjadi tumpang tindih dan duplikasi pengaturan pada obyek yang sama. Untuk itu disarankan agar dalam perumusan UU yang sifatnya pengaturan

(25)

pengelolaan sumberdaya alam perlu memperhatian sistem nilai dan peraturan perundang-undangan sektor lain.

2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tata Ruang Kota dalam kaitanya dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Yang dimaksud RTH dalam UU ini adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang Terbuka Hijau (RTH) meliputi meliputi Ruang Terbuka Hijau Publik dan Ruang Terbuka Hijau Privat. Ruang Terbuka Hijau Publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai dan pantai. Sedangkan yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau Privat adalah, adalah kebun dan halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Pembangunan RTH dimaksud untuk keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan oleh masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Selanjutnya untuk meningkatkan fungsi dan proporsi RTH di Kota, pemerintah, masyarakat dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan diatas bangunan gedung miliknya.

3) Dalam UU ini secara implisit tidak mengatur tentang pembangunan dan pengembangan hutan kota. Tetapi secara ekplisit makna pengaturan hutan kota telah dirumuskan dalam bentuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau. Tidak diaturnya secara tegas hutan kota sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau, kemungkinan akan berdampak pada tidak diakomodirnya hutan kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Untuk itu walaupun tidak diakomodir secara tegas hutan kota dalam UU ini bukan berarti pembangunan dan pengembangan hutan kota tidak dilaksanakan, namun demikian pembangunan hutan kota tetap dilaksanakan dengan mengacu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

(26)

D. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

a. Ulasan terhadap isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hutan kota

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dilatarbelakangi oleh tingkat perkembangan kota yang disertai dengan meningkatnya alih fungsi lahan yang pesat, kondisi kerusakan lingkungan yang cukup tinggi dan menurunnya daya dukung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat diperkotaan.

Peraturan ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, khususnya dalam penataan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan.

Dalam peraturan ini diatur jenis Ruang Terbuka Hijau meliputi : taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan pemukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parker terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara dan taman atap (roof garden).

Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengamanan. Dalam hal perencanaan RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Luas ideal RTHKP minimal 20 % dari luas kawasan perkotaan yang mencakup RTHKP public dan privat.

Perencanaan pembangunan RTHKP memuat jenis, lokasi, luas, target pencapaian luas, kebutuhan biaya, target waktu pelaksanaan dan desain teknis, untuk itu perencanaan pembangunan perlu melibatkan para pelaku pembangunan. Perencanaan pembanguann RTHKP ini lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Selanjutnya perencanaan pembangunan RTHKP dituangkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

(27)

PemanfaatanRTHKP mencakup kegiatan pembangunan baru, pemeliharaan dan pengamanan. Dalam pemanfaatan RTHKP publik dikelola oleh pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku pembanguann dan tidak dapat dialihfungsikan. Pemanfaatan RTHKP dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga ataupun antar pemerintah daerah. Pemanfaatan RTHKP privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam pemanfaatan RTHKP diperkaya dengan memasukan berbagai kearifan local dalam penataan ruang dan kontruksi bangunan taman yang mencerminkan budaya setempat.

Dalam hal pengendalian, lingkup pengendalian RTHKP meliputi : target pencapaian luas minimal, fungsi dan manfaat, luas dan lokasi, kesesuaian spesifikasi konstruksi dengan desain teknis. Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perijinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban, dimana penebangan pohon di areal RTHKP publik dibatasi secara ketat dan harus seizin kepala daerah.

Penataan RTHKP melibatkan peranserta masyarakat, swasta, lembaga/badan hukum dan atau perseorangan. Peran serta masyarakat dimulai sejak pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Peranserta dapat dilakukan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penataan RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.

Dalam hal pelaporan, pembinaan dan pengawasan, Bupati/Walikota melaporkan kegiatan penataan RTHKP kepada Gubernur dan selanjutnya dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri paling sedikit 1(satu) tahun sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan. Secara berjenjang Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penataan RTHKP, Gubernur mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan terhadap penat aan RTHKP Kabupaten/Kota.

Dalam rangka meningkatkan kinerja penataan RTHKP, gubernur dapat memberikan insentif kepada pemerintah kabupaten/kota yang berhasil dalam penataan RTHKP. Bupati/walikota dapat memberikan insentif kepada penyelenggara RTHKP privat yang berhasil meningkatkan kualitas dan kuantitas sesuai dengan tujuan RTHKP

Untuk pembangunan, pendanaan penataan RTHKP propinsi bersumber dari APBD propinsi, partisipasi swadaya masyarakat dan atau swasta serta pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat. Untuk penataan RTHKP Kab/Kota, pendanaan bersumber dari APBD kabupaten/kota, partisipasi swadaya masyarakat dan atau swasta serta sumber pendanaan lainnya yang sah dan tidak mengikat.

(28)

b. Analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hutan kota.

1) Cakupan jenis Ruang Tebuka Hijau yang diatur dalam peraturan ini cukup banyak dan beragam. Implikasi dari banyaknya jenis RTHKP yang diatur dalam peraturan ini diprediksi tidak dapat diimplementasikan secara optimal apabila manajemen kolaboratif dengan mengedepankan fungsi koordinasi tidak dilaksanakan. Untuk itu disarankan agar penataan dan pembangunan RTHKP dapat berjalan secara optimal maka perlu dibentuk kelembagaan pengelola diluar struktur pemerintahan yang ada saat ini. Lembaga tersebut berfungsi secara independen untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang meliputi: fungsi perencanaan, penataan, pemanfaatan, monitoring dan pengendalian kegiatan lapangan. Lembaga ini dibawah kontrol langsung oleh Gubernur untuk tingkat propinsi dan bupati/ walikotamadya untuk tingkat Kab/Kota.

2) Penataan dan Pembangunan RTHKP privat, tanggungjawabnya diserahkan kepada badan hukum swasta, perorangan dan masyarakat yang dikendalikan dalam bentuk ijin pemanfaatan ruang. Kebijakan ini dinilai cukup tepat karena akan memperluas dan mempercepat pembangunan Ruang Terbuka Hijau. Namun demikian perlu dilakukaan pengawasan secara intensif. Apabila pengawasan tidak dilakukan secara intensif maka kemungkinan besar akan terjadi praktek alih fungsi lahan RTH menjadi peruntukan lain yang diakibatkan oleh meningkatnya kebutuhan organisasi dan terbatasnya lahan di perkotaan.

(29)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS,

SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS

LandasanFilosofis LandasanSosiologis LandasanYuridis

A. Landasan Filosofis

Di dalam Ilmu Hukum terdapat dua sumber hukum, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalulintas), perkembangan internasional, keadaan geografis, dan lain-lain. Sedang Sumber Hukum Formil, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku. Yang diakui umum sebagai sumber hukum formal ialah undang-undang, perjanjian antar Negara, yurisprudensi dan kebiasaan.

Sumber Hukum Tata Negara materiil adalah Pancasila, sehingga nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam setiap peraturan perundang-undangan. Menurut Teori Jenjang Norma (stuffenbau theorie) oleh Hans Kelsen dikatakan bahwa suatu norma hukum harus harus bersumber pada norma hukum yang lebih atas. Norma hukum yang lebih atas akan bersumber pada norma hukum yang lebih atas lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dpat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).

Pancasila bisa disebut Grundnorm, sebab Pancasila merupakan norma puncak atau norma yang tidak lagi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi. Pancasila sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya.

Sebagai cita hukum (rechsidee), Pancasila berfungsi sebagai penentu arah tercapainya cita-cita masyarakat. Di samping sebagai tolok ukur yang regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak, Pancasila juga berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpanya hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.

Cita Hukum Pancasila dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945, di samping mengandung tujuan Negara juga termaktub sila-sila Pancasila. Penjabaran

(30)

tentang Cita Hukum Indonesia sebenarnya terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Namun setelah perubahan UUD 1945, Penjelasan UUD 1945 tidak berlaku lagi, karena telah diintegrasikan dalam Pasal-pasal UUD 1945. Dengan demikian, untuk memahami tentang Cita Hukum Negara Indonesia, maka Pembukaan UUD 1945 menjadi rujukan satu-satunya. Sumber Cita Hukum Negara Indonesia terdapat dalam alinea IV UUD 1945, yang menyatakan bahwa, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yangberkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan berasab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan srosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Berdasarkan pernyataan alinea IV Pembukaan UUD 1945 di atas, maka dapat ditegaskan bahwa setiap Peraturan perundang-undangan harus memberikan perlindungan terhadap seluruh rakyat. Bukan hanya melindungi segolongan kelompok saja. Artinya sebuah peraturan perundang-undangan harus bersifat mengayomi. Peraturan perundang-undangan juga harus mencerminkan persatuan bagi seluruh lapisan masyarakat. Jangan sampaisebuah peraturan perundang-undangan justru membuat perpecahan dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan juga harus mencerminkan nilai demokrasi. Demokrasi di sini sangat berkaitan dengan prosedur. Sebuah peraturan perundang-undangan yang mempunyai dampak pada masyarakat luas harus selalu melibatkan partisipasi masyarakat.

Suatu Peraturan Daerah tentu akan mempunyai dampak yang cukup luas, meskipun jangkauannya hanya meliputi wilayah tertentu saja. Dengan demikian pelibatan masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah merupakan hal yang mutlak dilakukan. Peraturan Daerah Tentang Hutan Kota Pematangsiantar tentu juga harus mempunyai nilai-nilai yang selaras dengan Cita Hukum yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Karena jika tidak, maka peraturan daerah tersebut tidak akan dalat berjalan dalam masyarakat Kota Pematangsiantar.

(31)

B. Landasan Sosiologis

Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan atau dasar sosiologis (sociologische grondslag) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Kondisi dan kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara Efektif.

Bertalian dengan hal tersebut, maka dikenal dengan duateori yaitu:

1. Teori kekuasaan (machtteorie), yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat.

2. Teori pengakuan (Anerkennungstheorie) yang berpokok pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.

Secara sosiologis, Peraturan Daerah yang disusun mengindikasikan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial dalam masyarakat akan menimbulkan perubahan sosial, perubahan sosial yang diakibatkan oleh perubahan hukum.

Ketidakpatuhan masyarakat akan suatu aturan bisa saja disebabkan oleh ketidak tahuan masyarakat terhadap aturan tersebut. Meskipun ada fiksi hukum yang menyatakan bahwa masyarakat dianggap tahu tentang hukum, tetapi asas fiksi hukum itu tidak dapat diterapkan secara sembarangan. Bukan dalam artian pemerintah membuat suatu aturan lalu masyarakat dipaksa patuh terhadap aturan tersebut. Asas fiksi hukum baru bisa dilaksanakan dengan baik jika masyarakat sudah tahu tentang aturan yang akan diberlakukan itu melalui proses sosialisasi.

Selain itu, kepatuhan masyarakat terhadap suatu aturan juga bisa disebabkan karena aturan tersebut memang tidak dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan cenderung untuk melanggar, sehingga aturan tersebut tidak bisa berlaku secara efektif.Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah sebagai penyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; meresapkan air; menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

(32)

Kota Pematangsiantar secara geografis terletak di bagian tengah Sumatera Utara, terletak pada garis 2

°

53’ 20” Lintang Utara (LU) dan 99

°

1’ 00” - 99

°

6’ 35” Bujur Timur (BT) pada peta bumi dan berada di tengah-tengah Kabupaten Simalungun. Wilayah administrasi Kota Pematangsiantar terbagi menjadi 8 kecamatan. Luas wilayah administrasi Kota Pematangsiantar adalah 79,971 km², tetapi berdasarkan hasil kajian dari Provinsi Sumatera Utara, luasan dari Kota Pematangsiantar adalah 79,94 km² atau 7.994 ha sehingga nanti akan dilakukan penyesuaian tata batas dan dicantumkan di dalam indikasi program.

Pada tahun 2008, penduduk Kota Pematangsiantar berjumlah 249.985 jiwa dengan kepadatan sebesar 3.126 jiw /km² (Sumber: Kota Pematangsiantar Dalam Angka Tahun 2009). Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk Kota Pematangsiantar mencakup 1,92% dari jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara, sementara kepadatan penduduk kota lebih tinggi dari kepadatan penduduk provinsi (179 jiwa/km²).

Berdasarkan hasil interpretasi foto satelit diperoleh informasi penggunaan lahan (land-use) Kota Pematangsiantar sebagai berikut:

Tabel.4.1.Penggunaan Lahan Kota Pematangsiantar

No. Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase (%)

A NON URBAN 5.078,05 63,50

A.1 Sawah 2750,02 34,39

A.2 Kebun Sawit 1025,39 12,82

A.3 Kebun Campuran 1210,10 15,13

A.4 Sungai 92,54 1,16

B URBAN 2.615,73 32,71

B.1 Industri 149,03 1,86

B.2 Perdagangan dan Jasa 189,18 2,37

B.3 Kesehatan 18,94 0,24 B.4 Pendidikan 85,36 1,07 B.5 Kantor Pemerintah 34,14 0,43 B.6 Pemukiman Rendah 305,70 3,82 B.7 Pemukiman Sedang 1289,44 16,12 B.8 Pemukiman Tinggi 413,02 5,16

B.9 Olahraga dan Budaya 18,12 0,23

B.10 Peribadatan 7,14 0,09

B.11 Militer 53,06 0,66

B.12 Taman Lingkungan Perumahan 1,92 0,02

B.13 Taman Kota 3,71 0,05 B.14 Pariwisata 1,65 0,02 B.15 Terminal 10,09 0,13 B.16 TPU 31,89 0,40 B.17 TPA 3,32 0,04 C UTILITAS 303,32 3,79 C.1 Outer Ringroad 44,83 0,56

(33)

C.2 Jalan 250,29 3,13

C.3 Rel KA 8,20 0,10

TOTAL 1997,10 100,00

Sumber: Hasil interpretasi data citra tahun 2008

Hasil interpretasi menunjukkan bahwa terdapat 24 kategori pemanfaatan ruang di Kota Pematangsiantar, yang dibagi dalam 3 kategori yaitu non-urban, urban dan utilitas. Dari table tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan lahan terbesar di Kota Pematangsiantar adalah sawah dengan luas 2.750,02 Ha (34,39%), diikuti oleh pemukiman dengan luas 2.008,16 Ha (25,11%), kebun sawit dengan luas 1.025,39 (12,82%) dan kebun campuran dengan luas 1.210, 10 Ha (15,13%). Adapun penggunaan lahan lainnya antara lain meliputi proporsi yang rendah, seperti jalan (3,13%), perdagangan dan jasa (2,37%), industri (1,86%), pendidikan (1,07%).

Dari angka-angka tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan lahan Kota Pematangsiantar masih didominasi oleh kelompok non-urban (pertanian yang meliputi 63,88% dari total wilayah kota, dimana sawah merupakan komponen terbesar. Sementara penggunaan lahan kelompok urban hanya meliputi 32,26% dari total wilayah kota. Angka-angka tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Pematangsiantar tidak memiliki lahan/area dengan kategori “kawasan lindung” yang meliputi hutan primer, hutan sekunder, rawa dan sebagainya.

Jika dilihat dari kondisi Pematangsiantar, maka secara singkat dapat dilihat potensi bencana yang ada yaitu bencana banjir, longsor dan gempa. Karena kondisi topograpfi dan morfologi dari Kota Pematangsiantar adalah datar dan memiliki atau dilalui cukup banyak sungai dan anak sungai sehingga ada kemungkinan terjadi banjir dan longsor pada curah hujan yang tinggi. Bencana alam yang terjadi juga dapat diakibatkan oleh adanya gerakan tanah dan adanya gunung berapi yang mungkin menyebabkan gempa maupun letusan gunung berapi.

Tantangan pengembangan kota Pematangsiantar dalam waktu mendatang adalah mengendalikan dan mengarahkan pertumbuhan fisik kota sehingga berlangsung pada lokasi yang direncanakan dengan intensitas yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, dengan mempertimbangkan:

1. Perkembangan fisik di kawasan pusat kota berlangsung secara intensif dengan orientasi pada sektor perdagangan dan jasa. Dengan demikian dituntut kebijakan yang dapat mengakomodasi perkembangan tersebutsekaligus merevitalisasi kawasan pusat kota.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data observasi dan wawancara, diperoleh informasi bahwa proses integrasi sikap keingintahuan dalam kegiatan pembelajaran mengamati,

Tujuan dari kegiatan aplikatif ini adalah pembuatan peta perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta berdasarkan dari analisis dua citra

Gambar 7 Kurva Luasan Area A dan Area B Hasil yang akan ditimbulkan karena pangaruh bilge keel adalah luasan area B lebih besar dari pada luasan area A.dari hasil analisa

Pendekatan error correction model (ECM) digunakan pada data time series dengan tujuan untuk dapat mengetahui pergerakan dinamis jangka pendek dan jangka panjang.. Sedangkan untuk

Dalam penelitian Soraya (2013) yang berjudul “Pengaruh Pembiayaan Pendidikan Oleh Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas X Sma Negeri.” Variabel biaya

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan tarik hasil pengelasan gesek ( friction welding ) dengan variasi kecepatan putar, durasi gesek dan tekanan serta

User-user yang mengirimkan data-data sensitif dapat ditempatkan dalam 1 VLAN tertentu, dan user yang tidak berada dalam VLAN yang sama tidak akan dapat

Berdasarkan dari data hasil pengukuran ketebalan lapisan dan struktur mikro yang telah dilakukan, ternyata pengaruh variasi waktu proses pelapisan Hot Dip Galvanizing pada